Kajian Pustaka
Discovery Learning didefinisikan sebagai model pembelajaran yang menekankan pada
pengembangkan cara berfikir ilmiah dengan pengalaman langsung, dimana murid ditempatkan
sebagai subjek yang belajar, peranan guru dalam model pembelajaran Discovery Learning
sebagai pembimbing dan fasilitator [9]. Sehingga, siswa memperoleh pengetahuan yang belum
diketahuinya tidak melalui pemberitahuan dari pengajar melainkan melalui penemuan sendiri,
pentingnya pemahaman struktur atau ide – ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui
keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran [9]. Dalam penggunaan dari Discovery
Learning ini menjadikan kondisi belajar yang pasif menjadi aktif, dengan mengubah
pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengungkapkan bahwa peran guru di
dalam discovery learning sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar secara aktif, dengan peran guru sebagai pembimbing, guru harus dapat
mengarahkan kegiatan belajar siswa dengan tujuan [9].
Tahapan dalam model pembelajaran Discovery Learning [10] yakni; 1) dengan
memberikan stimulasi atau rangsangan kepada siswa untuk menarik minat siswa terkait dengan
topik pembelajaran, 2) Perumusan masalah atau pertanyaan terbuka dengan mengajak siswa
untuk memahami dan mengarinformatikaan masalah sehingga siswa dapat menemukan dan
melewati proses dalam pengambilan kesimpulan, 3) Pengumpulan data dan informasi yang
relevan terkait dengan observasi yang dilakukan siswa, 4) Pengolahan data yang telah siswa
kumpulkan akan diolah dan di diskusikan bersama kelompok siswa, 5) Verifikasi data, yakni
siswa menguji kebenaran dari hasil diskusi kelompok, 6) Penarikan Kesimpulan dengan
menghubungkan dan mengembangkan pemahaman siswa yang lebih mendalam mengenai
topik dan permasalahan yang sedang dipelajari.
Kelebihan dari model ini mampu untuk menumbuhkan berperan aktif selama proses
pembelajaran berlangsung, motivasi minat belajar siswa, konsep dari model ini tidak hanya
menghafal sehingga konsep, prinsip mudah diingat, dan Membantu peserta didik dalam proses
pembelajaran, sebab yang menjadi pusat belajar adalah peserta didik, guru hanya memposisikan
diri sebagai teman belajar [11]. Sementara model pembelajaran ini juga memiliki kekurangan
yakni model pembelajaran ini hanya efektif diterapkan apabila jumlah peserta didik dalam kelas
tidak terlalu banyak, model ini akan susah diterapkan apabila tingkat kemampuan peserta didik
sangat beragam, Tuntutan kepada peserta didik untuk berfikir lebih kreatif, sebab posisi guru
hanya sebatas teman, padahal kreatifitas masing-masing anak berbeda-beda dan kesiapan
peserta didik tentang materi yang akan diajarkan. Jadi dalam pembelajaran ini peserta didik
setidaknya sudah belajar terlebih dahulu tentang materi yang akan dibahas dalam pertemuan di
kelas.
Pembelajaran Informatika
Informatika adalah sebuah disiplin ilmu yang mencari pemahaman dan mengeksplorasi
dunia di sekitar kita, baik natural maupun artifisial yang secara khusus tidak hanya berkaitan
dengan studi, pengembangan, dan implementasi dari sistem komputer, tetapi juga pemahaman
terhadap prinsip-prinsip dasar pengembangan [7]. Mata pelajaran informatika memberikan
landasan untuk keterampilan memecahkan masalah atau problem solving, ini adalah
keterampilan umum yang penting dengan pesatnya perkembangan teknologi digital [7]. Mata
pelajaran informatika juga mengembangkan keterampilan siswa dalam logika, analisis data dan
interpretasi yang diperlukan untuk keterampilan literasi, numerasi, dan ilmu dasar, serta
pemodelan dan simulasi dalam ilmu cetak (ilmu komputasi) menggunakan INFORMATIKA
[5]. Membekali siswa dengan kemampuan pemrograman yang mendukung proses
pembelajaran mata pelajaran informatika dieksplorasi oleh mahasiswa (student centered
learning) menggunakan prinsip pembelajaran berbasis pertanyaan, pembelajaran berbasis
masalah, dan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) [12] . Guru dapat mengatur
topik dan kasus sesuai dengan kondisi setempat, terutama topik dan kasus analisis data [5] .
Pembelajaran informatika pada jenjang SMP menekankan pada fondasi berpikir
komputasional (Computational Thinking), diintegrasikan dalam tema atau mata pelajaran
lainnya terutama dalam Bahasa, Matemainformatikaa dan Sains [13]. Peserta didik tidak hanya
mempelajari mata pelajaran informatika dengan tujuan menjadi pengguna komputer, tetapi juga
menyadari peran mereka sebagai pemecah masalah [14]. Dokumen kurikulum menyebutkan
bahwa mata pelajaran informatika bertujuan untuk membimbing peserta didik menjadi
"pencipta yang melek komputasi" yang memiliki pemahaman yang kuat tentang konsep
informatika. [15].
Model CIPP
Model CIPP adalah model evaluasi yang sering digunakan oleh para evaluator. Model
CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam di Ohio State University. Singkatan CIPP sendiri
merujuk pada empat tahap evaluasi yang meliputi Evaluasi Konteks (Context Evaluation),
Evaluasi Input (Input Evaluation), Evaluasi Proses (Process Evaluation), dan Evaluasi Produk
(Product Evaluation) [16]. Model CIPP ini sangat membantu suatu program yang sedang
berlangsung dalam memberi informasi akuntabilitas dari pihak sekolah untuk mengambil
tindakan yang tepat dalam memajukan program yang ada [17]. Model CIPP sangat baik dalam
melihat sejauh mana program-program yang sedang dilaksanakan, dengan ini program tersebut
bisa dilihat semua aspek yang dijalani sebelumnya [17].
Kelebihan model CIPP [18] yakni memiliki pendekatan yang holistic dalam evaluasi
yang bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail atau luas terhadap suatu proyek,
mulai dari konteksnya hingga saat proses penerapannya, memiliki potensi untuk bergerak di
wilayah evaluasi formatif dan sumatif sehingga sama baiknya dalam melakukan perbaikan
selama program berjalan maupun memberi informasi final, Lebih komprehensif atau lebih
lengkap menyaring informasi dan mampu memberikan dasar yang baik dalam mengambil
keputusan dan kebijakan maupun penyusunan program selanjutnya. Sedangkan kelemahan
Evaluasi Model CIPP (Contexts, Input, Process, Product) Dalam Evaluasi Model CIPP juga
mempunyai kelemahan [18] yaitu, terlalu mementingkan dimana proses seharusnya dari pada
kenyataan dilapangan, terlalu top down dengan sifat manajerial dalam pendekatannya,
cenderung fokus pada rational management daripada mengakui kompleksitas realiatas empiris
dan penerapan dalam bidang pembelajaran dikelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang
kurang tinggi.
Model CIPP digolongkan menjadi empat komponen yaitu context, input, process, dan
product [19]. Model ini memiliki keunikan yang terletak pada hubungan setiap tipe evaluasi
dengan pengambil keputusan terkait perencanaan dan operasional program. Salah satu
keunggulan utama dari model CIPP adalah memberikan format evaluasi yang komprehensif
pada setiap tahap evaluasi [20]. Keempat komponen model CIPP menurut Stufflebeam yakni;
1) Evaluasi Context yang mengidentifikasi nilai dan kebutuhan yang mendasari disusunnya
suatu program dengan menilai seluruh keadaan organisasi, mengidentifikasi kelemahan,
menginterventarisir kelebihan untuk menutupi kelemahan, mendiagnosis masalah yang
dihadapi. Penilaian konteks meliputi profil sekolah. Informasi yang dikumpulkan digunakan
sebagai dasar dalam pertimbangan program 2) Evaluasi input dengan mengidentifikasi masalah
dalam mengambil keputusan, memenuhi kebutuhan dan tujuan melalui rencana, tindakan, dan
mempertimbangkan kompetensi untuk melakukan perubahan dalam menentukan tujuan.
Penilaian input meliputi peserta didik, bahan ajar, guru, dan sarana belajar. Data dikumpulkan
selama tahap penilaian digunakan sebagai pengambil keputusan. 3) Evaluasi process meninjau
kembali rencana dan mengevaluasi dari rencana yang sudah dibuat agar program yang
dijalankan dapat sesuai dengan tujuan. Penilaian proses adalah kegiatan penilaian selama
pelaksanaan pembelajaran. Penilaian ini berkaitan langsung dengan pelaksanaan aktivitas
pembelajaran, media pembelajaran, pemberian tugas, dan tenaga pendidik 4) Evaluasi product
yakni menganalisis penilaian tentang keberhasilan atau kegagalan dalam suatu program yang
telah dikumpulkan menjadi satu dari berbagai sudut pandang. Penilaian produk berhubungan
dengan hasil belajar peserta didik. Penilaian dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh
pelaksanaan pembelajaran informatika di kelas telah berhasil mencapai tujuan berdasarkan
kriteria yang ditetapkan, yang meliputi hasil belajar peserta didik. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa evaluasi model CIPP yang dikembangkan oleh
Stufflebeam tidak hanya memfokuskan pada hasil belajar, tetapi juga melibatkan evaluasi dari
berbagai aspek termasuk konteks, input, proses, dan produk yang dihasilkan. Dengan demikian,
evaluasi yang dilakukan memiliki karakter informatika yang kompleks dan menyeluruh.
Metodologi penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengevaluasi pelaksanaan model pembelajaran discovery learning pada mapel
informatika kelas VII SMP Negeri 1 Getasan menggunakan model CIPP dan mengetahui
keefektifan proses pembelajaran informatika. Sehingga metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini dimulai dari observasi, pedoman wawancara yang ditujukan kepada kepala
sekolah, guru, dan siswa. Untuk memudahkan monitoring evaluasi menggunakan model CIPP,
maka perlu dilihat indikator indikator yang terdapat dalam konteks, input, proses dan output
yang digunakan dalam evaluasi dengan kriteria sesuai komponen , aspek, indikator, sumber
data, dan instrumen pengumpulan data sebagai berikut [21];
Teknik
Komponen Aspek Indikator Sumber Data Pengumpulan
data
Komponen Context
Penilaian konteks meliputi profil sekolah, visi misi sekolah dan kondisi geografis
sekolah [19]. Informasi yang dikumpulkan digunakan sebagai dasar dalam pertimbangan
evaluasi mata pelajaran informatika. Profil tempat pembelajaran dilaksanakan di SMPN 1
Getasan Kabupaten Semarang, dikhususkan pada siswa Kelas VII. SMPN 1 Getasan
Kabupaten Semarang mempunyai Visi Terdepan dalam perilaku luhur dan tergigih dalam
meraih prestasi dan Misi 1) Peningkatan perolehan ujian nasional, 2) Peningkatan kegiatan
ekstra kurikuler, 3) Peningkatan kedisiplinan siswa, 4) Mengembangkan kehidupan yang
didasari keimanan dan ketaqwaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Total jumlah peserta
didik kelas VII di SMPN 1 Getasan Kabupaten Semarang berjumlah 190 peserta didik. Jumlah
guru keseluruhan berjumlah 20 orang. Kelas VII terbagi menjadi 5 kelas yang terdiri dari a, b,
c, d, dan e dimana setiap kelas terdapat 38 peserta didik. Guru Informatika untuk semua kelas
termasuk kelas VII di SMPN 1 Getasan didapatkan hanya 1 orang. Bentuk fisik bangunan
SMPN 1 Getasan layak untuk menyelenggarakan pendidikan dan memiliki kualifikasi guru
yang sesuai dengan mata pelajaran informatika. Sesuai dengan Permendiknas RI Nomor 40
Tahun 2008 mengenai profil sekolah, latar belakang program pembelajaran sekolah, faktor
geografis-demografis yang layak dan memadai. Pembelajaran informatika diadakan seminggu
sekali, untuk materi dilaksanakan di kelas sedangkan untuk praktek di laboratorium komputer
siswa. Untuk pembelajarannya sudah layak, namun sangat disayangkan jumlah guru pengajar
informatika hanya satu. Dalam penggunaan metode belajar discovery learning di sekolah ini
dinilai kurang efisien karena kurangnya fasilitas di laboratorium komputer siswa seperti
beberapa peralatan penunjang pembelajaran telah rusak karena jarang digunakan, sedangkan
guru informatika di sekolah ini hanya satu, menyebabkan kurangnya interaksi antara siswa dan
guru, serta metode ini kurang cocok diterapkan di SMPN 1 Getasan.
Komponen Input
SMPN 1 Getasan memiliki siswa 190 peserta didik dengan jumlah guru informatika
hanya 1 orang dimana 60% dari siswa kelas VII tidak mendapat giliran prakinformatikaum
komputer akibat dari kurangnya jumlah PC, ada beberapa PC yang rusak, dan setiap minggu
mata pelajaran ini diselenggarakan tidak semua siswa dapat menggunakan PC karena
keterbatasan fasilitas dan kemampuan siswa. Dalam penelitian ini aspek input pada
pembelajaran informatika terdiri dari (1) peserta didik (2) bahan ajar, (3) guru, dan (4) sarana
belajar [21], tersaji pada tabel sebagai berikut;
Aspek yang
Kriteria Keberhasilan Hasil Pengamatan
dievaluasi
Jumlah peserta didik dan
rombel kelas VII sesuai
dengan Permendiknas RI Dengan adanya model dicovery
Nomor 40 Tahun 2008 learning peserta didik memiliki
mengenai profil sekolah kesempatan untuk terlibat aktif dalam
pembelajaran. Jumlah kelas VII
Peserta Didik yang memiliki sarana dan
SMPN 1 Getasan ada 5 kelas
prasarana yang dapat a,b,c,d,e. Jumlah siswa kelas VII
melayani minimum 3 sejumlah 190 siswa. Dan untuk
rombongan belajar dan rombel perkelas VII ada 38 siswa.
maksimum 48
rombongan belajar.
Siswa sudah mendapatkan modul dan
bahan ajar yang sesuai dengan mapel
Bahan ajar sesuai dengan
informatika, namun dalam keaktifan
Bahan Ajar modul ajar pada mapel
dan pemahaman siswa dalam materi
informatika
informatika lebih cenderung kurang
dikarenakan siswa terlalu pasif dan
ketika mapel berlangsung siswa
kurang mendengarkan dan
memperhatikan.
Komponen Process
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya. Proses pelaksanaan pembelajaran terbagi menjadi
dua bagian penting, yaitu persyaratan pelaksanaan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran
itu sendiri [19]. Dalam penelitian ini aspek input pada pembelajaran informatika terdiri dari (1)
pelaksanaan dan aktivitas pembelajaran (2) media pembelajaran, (3) evaluasi pembelajaran,
dan (4) perangkat pembelajaran yang masing-masing tersaji pada tabel sebagai berikut;
Aspek yang
Kriteria Keberhasilan Hasil Pengamatan
dievaluasi
Aktivitas pembelajaran
yang dilaksanakan sesuai
Pelaksanaan dan Pembelajaran menggunakan modul
dengan modul ajar,
Aktivitas penerapan model ajar, namun untuk penerapan model
Pembelajaran pembelajaran discovery discovery learning belum sesuai
learning
Siswa menggunakan fasilitas sekolah
Sekolah memiliki fasilitas seperti lab komputer, akses internet,
pembelajaran yang buku pembelajaran, software
Media Pembelajaran memadai dan siswa dapat pembelajaran. Namun tidak semua
menggunakan fasilitas fasilitas dapat digunakan dikarenakan
tersebut terdapat beberapa fasilitas yang telah
rusak.
60% siswa dapat mengikuti dan
Adanya pencapaian siswa mengerjakan tugas pembelajaran
pada pembelajaran
Evaluasi informatika, sedangkan 40% sisanya
informatika dan
Pembelajaran masih belum dapat mengerti maupun
penguasaan materi yang
mengikuti materi dari pembelajaran
dipelajari siswa
tersebut
Modul ajar sudah memuat prinsip
Penyusunan dan
penggunaan modul ajar discovery learning namun dalam
Perangkat
penerapan dan pelaksanaan prinsip
Pembelajaran yang memuat prinsip
discovery learning belum terlaksana
discovery learning
dengan baik
Berdasarkan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar pada Siswa Kelas VII
SMPN 1 Getasan sudah berjalan menggunakan bahan ajar mata pelajaran informatika yang
sudah disesuaikan dengan model discovery learning. Namun, terdapat 1 kriteria yang belum
memenuhi yaitu, Terdapat Interaksi saat pembelajaran. Fasilitas yang kurang menunjang akses
belajar maka menyebabkan terhambatnya interaksi belajar dalam mata pelajaran in membuat
situasi kurang kondusif. Sehingga kesesuaian materi sesuai dengan kompetensi tidak
terdistribusi dengan baik. Hal ini yang menjadi penyebab belum berjalan dengan baik metode
discovery learning mapel informatika pada siswa Kelas VII SMPN 1 Getasan. Guru tidak
mampu mengkoordinir semua siswa. Namun berdasarkan hasil observasi, jumlah perangkat
komputer siswa awalnya sudah sesuai dengan kelas VII yaitu 30, seiring dengan berjalannya
waktu, dikarenakan penggunaan komputer tidak sesuai sehingga komputer mengalami
kerusakan. Saat ini jumlah yang dapat digunakan adalah 15 komputer dari total 30, yang terdiri
dari 10 PC dan 5 Laptop. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap keberhasilan metode
discovery learning. Setiap ruangan kelas sudah difasilitasi dengan infocus dan proyektor.
Namun berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa pada kelas VII terdapat 2 kelas yang
infocus dan proyektor tidak dapat berfungsi yaitu 7C dan 7E. Kurangnya pemeliharaan atau
perawatan pada fasilitas di kelas VII 7C dan 7E menjadi salah satu penyebab kerusakan. Hal
ini mengurangi efektifitas belajar dan interaksi antara siswa dan guru.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang tersaji pada tabel diatas
merepresentasikan atau menggambarkan kondisi tenaga pendidik informatika pada siswa Kelas
VII SMPN 1 Getasan sudah melakukan dan menyesuaikan bahan ajar, evaluasi, serta
pemberian tugas atau ujian kepada siswa untuk mendorong minat dan melihat sejauh mana
perkembangan siswa. Juga, bisa menjadi bukti perbaikan pengaturan kurikulum yang akan
dilaksanakan di semester selanjutnya.
Komponen Product
Sajian aspek product/output yang dimaksudkan adalah berhubungan dengan hasil
pelaksanaan program. Penilaian dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh
pelaksanaan pembelajaran informatika di kelas telah berhasil mencapai tujuan berdasarkan
kriteria yang ditetapkan, yang meliputi hasil belajar peserta didik dan nilai rerata [19]. Pada
penelitian ini dilihat pencapaian hasil belajar peserta didik Kelas VII SMP 1 Getasan pada tes
ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester. Hasil capaian rata-rata
kelas VII tabel sebagai berikut, selanjutnya dilakukan penilaian evaluasi pada siswa kelas VII.
Tabel 4. Rata-Rata Kelas VII Mata Pelajaran informatika pada SMPN 1 Getasan
Kelas VII Rata-Rata Kelas Kategori
A 75 Sesuai KKM B 77 Sesuai KKM
C 60 Di Bawah KKM
D 68 Di Bawah KKM
E 60 Di Bawah KKM
Sumber: Dokumentasi SMPN 1 Getasan Kelas VII
Dari hasil evaluasi komponen produk dapat dinyatakan hasil belajar peserta didik baik
ulangan harian, tengah semester dan akhir semester yang belum mencapai standar kriteria
ketuntasan minimal (KKM) 75 terdapat 75% peserta didik. Hasil ini dapat menunjukkan bahwa
proses pembelajaran informatika Siswa Kelas VII di SMPN 1 Getasan belum efektif atau
berhasil jika ditinjau dari hasil belajar peserta didik. Metode discovery learning pada siswa
Kelas VII dikatakan belum berjalan dengan baik. Kondisi pada Siswa kelas VII SMPN 1
Getasan memiliki kecenderungan pasif dalam kegiatan belajar mengajar, yang mana siswa
masih belum memahami arahan atau penyampaian guru materi pelajaran informatika. Selain
itu, kurangnya kesadaran dan pengetahuan siswa akan pentingnya teknologi dan minimnya
motivasi untuk belajar informatika. Sehingga kesiapan dan konsentrasi siswa dalam
menghadapi pelajaran informatika kurang. Berdasarkan pengamatan di lapangan masih ada
beberapa guru yang menggunakan model pembelajaran yang kurang menarik bagi siswa
sehingga membuat siswa kurang serius dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Guru masih
mendominasi dalam proses pembelajaran sehingga siswa hanya pasif saja. Tentunya, ini juga
disebabkan karena, tenaga pengajar di mata pelajaran informatika hanya satu orang dan tidak
mampu menjangkau semua siswa serta, masih kurangnya sarana dan prasarana penunjangnya.
Tentunya, hal ini masih bertolak belakang dengan metode discovery learning yang menekankan
pada kemandirian siswa dalam mengemukakan pendapatnya, menganalisis, kemudian
membuat kesimpulan akan materi pelajaran informatika.
Salah satu ciri pembelajaran yang berhasil di antaranya dilihat dari kadar kegiatan
belajar siswa. Makin tinggi kegiatan belajar siswa, makin tinggi peluang berhasilnya
pengajaran Keberhasilan pembelajaran dilihat dari kegiatan siswa dalam mengikuti
pembelajaran tersebut. Keberhasilan pembelajaran itu dapat dilihat dari keaktifan belajar siswa.
Semakin tinggi keaktifan belajar siswa maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan
pembelajaran. Namun, untuk mendapatkan keberhasilan pembelajaran bukanlah hal yang
mudah, dibutuhkan usaha dari berbagai pihak untuk mencapainya. Dengan pemilihan metode
pembelajaran yang tepat, keberhasilan pembelajaran lebih mudah dicapai.