Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/359501770

Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam


Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan

Article · March 2022

CITATIONS READS

0 71

2 authors, including:

Dicky Eko Prasetio


Universitas Negeri Surabaya
236 PUBLICATIONS 140 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dicky Eko Prasetio on 27 March 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Hibridisasi Hukum Tata Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam
Mengurai Kompleksitas Kepemerintahan

Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian RI) dalam Pengukuhan Guru Besar
Kehormatan Universitas Hasanuddin Pada Kamis, 17 Maret 2022

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat yang diberikan sehingga saya
dapat berdiri di forum terhormat ini. Forum ini merupakan muara dari kerinduan saya
untuk selalu berada di jalur keilmuan, terlepas dari posisi saya sebagai birokrat sejak
masih belia. Saya percaya bahwa Allah menyukai orang yang suka belajar dan
berbagi pengetahuan. Bukankah Allah menjanjikan akan menaikkan derajat orang-
orang yang beriman dan berilmu? Insya Allah, atas dasar keimanan itulah saya
berharap senantiasa berada di jalur keilmuan ini. Sebelumnya, perkenankan saya
menjelaskan latar belakang saya. Saya menempuh pendidikan formal pada program
S1, S2 dan S3 Ilmu Hukum, juga Ilmu Adminstrasi Negara. Di balik pendidikan
formal itu, saya terlibat di dunia pemerintahan lebih 40 tahun sebagai medan
pengabdian saya sepanjang hidup.

Selain itu, saya juga memberikan sebagian kapasitas diri saya dalam
organisasi masyarakat dan partai politik. Akhirnya, dalam diri saya berkelindan tiga
arus yang membentuk cara berfikir dan bertindak saya. Pertama, ilmu hukum dan
administrasi negara yang saya pelajari secara formal, memahamkan saya tentang
kebenaran berbasis teoritik keilmuan. Kedua, pengalaman dalam birokrasi
pemerintahan, memahamkan saya bahwa tujuan utama kepemerintahan adalah
membangun rahmat bagi kehidupan seluruh masyarakat. Di sana saya belajar menjadi
pendengar untuk suara yang paling lirih sekalipun, agar mengetahui apa
sesungguhnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan mendorong sebanyak mungkin
partisipasi masyarakat. Ketiga, pengalaman berpolitik, yang memampukan saya
membaca reaksi atas sebuah aksi. Di sana saya belajar untuk mampu melihat lawan
politik sebagai sahabat, untuk mampu mematikan dendam di dalam diri, untuk
mampu menghapus frasa "musuh" dalam kamus kehidupan. Pelajaran-pelajaran ini
diperkuat oleh nasehat kehidupan kedua orang tua saya.

Dalam 20 tahun terakhir, diam-diam saya rutin membuka "kelas khusus" di


warung kopi, di rumah, dan di kantor. Saya mengundang belasan profesor dan doktor
dari berbagai latar pengetahuan untuk mendiskusikan sesuatu. Mereka berbicara
sesuai bidang ilmunya, diam-diam saya mendengar, menyimak, mencatat, bertanya,
dan bahkan sembunyi-sembunyi merekam percakapan kolega yang maha terpelajar
itu. Kenapa harus diam diam dan sembunyi-sembunyi? Agar Wakil Gubernur,
Gubernur atau Menteri ini tidak terkesan kurang cakap. Dengan itu, mestinya saya
sudah berkali-kali menamatkan pendidikan doktoral, karena "kelas khusus" itu tidak
diajari oleh satu guru besar dengan durasi 90 menit, tetapi saya sekaligus diajari oleh
belasan guru besar dengan beragam bidang ilmu dalam waktu lebih dari dua jam.
Bagi saya, pidato pengukuhan ini merupakan pertanggungjawaban "pengetahuan
senyap (tacit knowledge) yang saya punyai dan saya praktekkan dalam keterlibatan
pada dunia pemerintahan. Ini adalah pengetahuan dari lapangan, ini adalah pidato
profesor lapangan. Saya menjalani karir di dunia pemerintahan dengan memanfaatkan
pengetahuan formal dari ilmu hukum dan administrasi negara dan kearifan lokal dari
warisan leluhur Bugis-Makassar.

Dengan dasar itulah, pidato ini saya beri judul "Hibridisasi Hukum Tata
Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam Mengurai Kompleksitas
Kepemerintahan”. Semoga pemikiran ini dapat dipetakan menjadi pengetahuan
eksplisit dalam perspektif hukum tata negara dan kepemerintahan.

Hadirin yang saya muliakan,

Konsep hibridisasi dalam judul ini sebagiannya diinspirasi dari ilmu


pertanian. Ia digunakan untuk menjelaskan proses persilangan dua varietas tanaman
yang masing-masing memiliki keunggulan guna menghasilkan varietas baru yang
lebih unggul. Selama ini tanpa sadar saya telah menggunakan suatu produk hybrid
untuk mengatasi kompleksitas kepemerintahan, khususnya ketika saya sebagai
Gubernur dan Menteri. Saya berhipotesis bahwa capaian saya sebagai Gubernur
Sulawesi Selatan dan Menteri Pertanian disebabkan oleh produk unggul di bidang
tata kelola pemerintahan itu, yang lahir dari proses trial and error. Saya mengartikan
hibridisasi sebagai persilangan antara ilmu hukum tata negara positivistik dengan
pengetahuan hukum dan pemerintahan yang bersumber dari kearifan lokal. Ia menjadi
kesatuan pengetahuan yang bersintesis terus menerus dan teraplikasikan dalam karir
kepemerintahan saya.

Perlu saya sampaikan bahwa meskipun sama-sama hukum publik, hukum tata
negara merupakan pengaturan bernegara secara umum yang tidak hanya mengatur
soal norma dasar bernegara tetapi juga mengatur soal alat kelengkapan negara dan
hubungan antar lembaga negara serta hubungan antara negara dengan rakyat.
Sedangkan hukum pidana lebih mengatur soal kepentingan keamanan dan ketertiban
khususnya yang terkait dengan persoalan tindakan atau perbuatan jahat yang
dilakukan oleh negara atau rakyat. Adapun hukum perdata lebih kepada hubungan
pribadi atau private yang berkenaan dengan soal pemenuhan hak dan kewajiban
dalam perhubungan hukum. Pimpinan negara perlu memahami hukum tata negara
agar tidak salah mengambil kebijakan negara yang berbeda dengan kebijakan
pemerintahan, sebab kalau tidak maka hal inilah yang membuat arahan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia sulit terwujud. Kepemerintahan saya pahami sebagai sesuatu yang
kompleks, karena ia melibatkan interaksi dari banyak komponen, interaksi dari
banyak komponen itu memunculkan ciri volatilitas, ketidakpastian, dan ambiguitas.
Kompleksitas adalah bagian dari VUCA (volatility, uncurtainty, complexity,
ambiguity) yang tengah melanda dunia.

Dunia telah mengalami disrupsi akibat revolus industri 4.0, dampak pandemic
Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan berbagai situasi turbulensi pada
bidang ekonomi dan sosial. Kita tentu sepakat bahwa kita harus mampu merespons
perubahan yang cepat dan dipercepat ini, yang bisa membuat kita gamang
menghadapinya bila tidak benar-benar siap. Untuk itu, peranan hukum tata negara
yang adaptif dengan kearifan lokal semakin penting dikuasai oleh penyelenggara
negara.

Hadirin yang saya muliakan,

Saya ingin memulai pidato ini dengan meneropong hukum tata negara dalam
kaitannya dengan praktek kepemerintahan. Secara ontologis, perkembangan
pemikiran hukum tata negara di Indonesia adalah warisan hukum Eropa Kontinental
yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Secara epistemologis, hukum tata
negara ini mengikuti tradisi paradigma positivisme, yang merupakan main-stream di
tanah asalnya. Sebagaimana karakteristik paradigma positivistik, ia selalu
memandang sesuatu sebagai hasil dari positivisasi. Hukum dipandang sebagai
tumpukan dari norma-norma yang telah dirundingkan oleh warga masyarakat, sebagai
sistem aturan yang bersifat otonom dan netral. Perkembangan ilmu hukum semacam
ini mendapat dukungan kuat dari kaum academic jurists, pada komunitas inilah
tumbuh kewenangan akademik dan profesional dalam menginterpretasi hukum. Arah
selanjutnya, komunitas ini mendorong tatanan hukum yang kukuh lan rasional. Inilah
obsesi paradigma positivisme. Paradigma ini berusaha terus memapankan bangunan
hukum menjadi lebih rasional dan logis. Namun demikian, dominasi pemikiran
hukum tata negara positivistik ini telah mendapat tantangan dari pemikiran yang
menempatkan studi hukum tata negara pada konteks yang lebih luas dan dinamis,
tidak pada perundang-undangan semata-mata. Dengan kata lain, hukum tata negara
harus semakin memiliki keselarasan dengan logika sosial, politik dan budaya
masyarakat. Akan tetapi, pemikiran hukum berbasis struktur sosial dan budaya
masyarakat ini, masih tetap merupakan suara pinggiran. Saya berpendapat, gambaran
hukum tata negara selama ini kurang cukup untuk menjelaskan situasi hukum di
Indonesia. Kita membutuhkan teori hukum yang disamping bisa memberikan outline
hukum di Indonesia, juga dapat menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat
secara seksama dan proporsional. Karena saya berkeyakinan, hukum nasional kita
sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa.
Sangat jelas, hukum nasional merupakan hasil asimilasi sistem hukum yang
tumbuh kembang dari produk budaya Nusantara, yang berjangkauan ke Indonesia-an.
Dari sini dapat ditafsirkan bahwa sistem hukum nasional sesungguhnya bersumber
dari protipe sosial budaya seluruh nafas rakyat Indonesia, sejauh batas-batas nasional
negara Indonesia. Berkaitan dengan ini, pembangunan tata hukum nasional harus
berwawasan ke-Indonesia-an, selain harus pula bersesuai dengan tata hukum global.
Secara faktual, perkembangan sistem hukum tata negara di Indonesia dipengaruhi
oleh dinamika intelektual dan pemikiran yang terjadi di Eropa. Intelektual hukum
Indonesia lebih dulu berkenalan dengan pemikiran aufklarung yang mendorong
rasionalisme dan empirisisme, ketimbang mendalami kearifan lokal Indonesia.
Pemikiran John Locke, Thomas Hobbes, Adam Smith, Frederich Hegel, Karl Marx
dan lainnya dipelajari dengan sungguh-sungguh, demikian juga dengan konsep
individualisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan marxisme jauh lebih
didalami, dibanding mengakrabi pemikiran hukum, politik dan pemerintahan yang
dikembangkan oleh Amanna Gappa misalnya, tentang hukum Maritim pada abad 17.
Begitu juga, dunia intelektual kita tidak menggali dan mendalami istilah pangadereng
atau pangadakkan dalam masyarakat Bugis-Makassar misalnya, yang di dalamnya
terkandung unsur yang menata norma dan adat. Terbilang misalnya ade
akkalibinengeng, yaitu norma yang mengatur hal ihwal perkawinan serta hubungan
kekerabatan; atau ade tanaatu, yaitu norma yang mengatur kaidah pemerintahan,
kebangsaan dan kenegaraan. Unsur lain dari pangadereng adalah bicara, yaitu konsep
yang bersangkut paut dengan peradilan, semacam hukum acara, yang menentukan
prosedur serta hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di
muka pengadilan. Istilah yurisprudensi dalam tata hukum modern sudah termaktub
dalam pangadereng Bugis-Makassar ratusan tahun silam dengan istilah rapang, yang
merupakan semacam contoh, perumpamaan, kias atau analogi.
Dengan itu rapang menjaga kepastian dan kontinyuitas keputusan hukum tak
tertulis dalam lintasan masa. Rapang memuat perumpamaan ideal dan etika dalam
lapangan hidup tertentu seperti kekerabatan, perpolitikan, dan kepemerintahan;
rapang juga memuat pandangan filosofis yang keramat untuk mencegah tindakan
yang bersifat gangguan terhadap hak milik atau keamanan individu warga
masyarakat. Unsur lain dalam pangadereng adalah wari'. Wari' mengatur klasifikasi
dari segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Ia mengatur
tata susunan pengetahuan dan benda-benda serta jalur dan garis keturunan yang
kemudian mewujud dalam pelapisan sosial; ia juga mengatur hubungan kekerabatan
antara raja suatu negara dengan raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan posisi
mereka dalam tata upacara kebesaran. Kearifan lokal Bugis-Makassar juga dapat
disingkap melalui berbagai pesan-pesan kebajikan (pappasang) dalam lontaraq. Saya
ingin mengutip satu pesan kebajikan yang menurut saya sangat relevan dengan
ketatanegaraan dan kepemerintahan. Siri'na tau mabbutayya niakki ri pammarentaya,
Pa'rupanna gauka niakki ri tau jaiya, parentaia taua ri ero'na. Artinya, harkat,
martabat dan gengsinya rakyat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Perwujudan
dari segala upaya ada kalau rakyat terlibat dan melibatkan diri di dalamnya, Maka
perintahkan rakyat seperti yang mereka harapkan dan butuhkan. Pranata Bugis yang
menegaskan pentingnya pemimpin dan pemerintah termaktup dalam petikan lontaraq
berikut ini; Narekko makkompe'i beccie'e masolanni lipu'e. Leggai'i welong panasa'e
masoobbuni lempu'e. Ri tongengengi salae, ripassalai tongengng'e. Si anre bale
tau'e. Si balu-balu si abbelli-belliang. Natuoini serri' dapurengnge, Ri-paoppang
palungenge, ri sappeang pattapie. Ri sellorang alue... Artinya, bilamana norma tidak
dipatuhi maka rusaklah negeri ini. Tidak memutik pucuk nangka (kejujuran),
bersembunyi kebenaran. Dibenarkan yang salah, dan disalahkan yang benar. Saling
makan-memakanlah orang bagaikan ikan, saling jual-menjual, saling beli-membeli.
Dapur ditumbuhi rerumputan, lesung ditelungkupkan penampi beras digantung.
Penumbuk padi disandarkan... (Mattulada, 1985:343).
Saya sengaja menceritakan kearifan lokal Bugis Makassar terkait hukum tata
negara dan kepemerintahan yang dipraktekkan pada masa lampau, untuk
mengingatkan sistem hukum Indonesia agar mempertimbangkan basis budaya dan
aspek sosiologis dalam teorisasi hukum. Saya menyadari, upaya untuk menampilkan
secara holistik pemikiran hukum sebagai basis teorisasi hukum di Indonesia adalah
pekerjaan besar yang membutuhkan ketelatenan, terutama oleh komunitas akademia.
Oleh karena, teorisasi hukum yang demikian mengandung kompleksitas yang tinggi,
bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata, akan tetapi juga
mempertimbangkan setting sosial, budaya dan politik kita sendiri. Langkah yang
perlu digagas dan komitmen yang harus ditegaskan adalah, bangsa Indonesia harus
berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsanya, termasuk dalam
membangun teori hukum yang memiliki karakteristik ke Indonesiaan. Bila perlu, kita
membutuhkan cara pandang yang terhadap hukum tata negara, seperti yang
dikembangkan oleh aliran critical legal studies. Mereka menganalisis secara tajam
hukum tata negara yang direlasikan dengan ekonomi, politik, kebudayaan, idiologi,
bahasa dan nilai. Pendekatan kritis pada ilmu hukum tata negara akan mengisi dan
mewarnai "kekosongan besar" karena redupnya diskursus hukum tata negara selama
rezim Orde Baru. Ini penting, karena kita semua sedang hidup dalam satu alam besar
yang bernama globalisasi. Aras global adalah hasil pertautan tak terhingga dari aras-
aras lokal, pertautan ini saya sebut sebagai proses glokalisasi menyatunya yang lokal
menjadi global ataupun bertautnya yang global kepada yang lokal. Situasi ini
semestinya menyadarkan kita semua, untuk bersiaga memasuki pemikiran dan
teorisasi hukum yang mungkin saja merespons pemikiran postmodernisme."

Hadirin yang saya hormati,

Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan bagaimana saya berselancar di
tengah kompleksitas kepemerintahan melalui hibiridisasi ilmu hukum positivistik
dengan kearifan lokal. Kepemerintahan (governance) merujuk pada cara sebuah
rezim melaksanakan amanat dengan semestinya demi kemaslahatan masyarakat
melalui pengelolaan berbagai sumberdaya.
Berdasarkan pengalaman saya, tata kelola pemerintahan disebut baik, apabila
pelayanan publiknya berlangsung efektif dan efisien, penyelenggaraan
pemerintahannya dapat dipertanggungkan, dan proses pemerintahannya melibatkan
sebanyak-banyaknya unsur masyarakat. Secara formal keilmuan, praktik
kepemerintahan saya diinspirasi oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1993) dalam
bukunya yang populer saat itu, Reinventing Government. Mereka melihat
pemerintahan Amerika Serikat cenderung berkutat pada penerapan aturan dan
administrasi formal serta semakin menjauhkannya dari dinamika dan aspirasi rakyat.
Makanya mereka melihat spirit tata kelola yang baik pada dunia entrepreneur yang
dinilainya dapat ditransformasi ke tata kelola pelayanan publik. Karena itu banyak
pihak menerjemahkan reinventing government dengan istilah "mewirausahakan
birokrasi". Bagi saya yang akrab dengan kearifan lokal dari berbagai pesan nenek
moyang, melihat kepemerintahan yang berbasis pada hukum tata negara dan aturan
administrasi yang rigid justru perlu dikawinkan dengan kearifan lokal, agar memiliki
spirit partisipatif yang dapat mendorong peran aktif masyarakat. Inilah hibridisasi
hukum tata negara positivistik dengan kearifan lokal yang saya yakini dan telah saya
praktikkan untuk berselancar di tengah kompleksitas kepemerintahan.

Menyebut kata pemerintahan dalam hubungannya dengan obsesi saya


menjadikan pemerintahan sebagai rahmat dan perlindungan bagi segenap rakyat,
tidak terlepas dari cara saya memaknai kata pemerintahan itu sendiri. Sejatinya kata
pemerintahan berasal dari bahasa Yunani, yang kemudian dikenal luas dalam bahasa
Inggris dengan kata government yang berasal dari kata govern yang berarti
pengaturan. Penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata pemerintah,
lebih bermakna bos atau amtenaar, daripada pengatur atau pengelola. Pemaknaan
govern ini akan terasa lebih fungsional bila kita merujuk pada penjenjangan jabatan
administrasi pemerintahan dimana hirarki tertinggi disebut Pembina (Golongan IV),
lalu Penata (Golongan III), Pengatur (Golongan II) dan Juru (Golongan 1).
Dengan demikian, fungsi aparat pemerintah bukan semata mengerjakan tugas
administrasi melainkan lebih luas dari itu yakni mengarahkan, membina dan
mengatur pelayanan publik. Bisa dibayangkan bila makna pemerintahan tidak benar-
benar dikembalikan kepada substansinya, bisa jadi aparat pemerintah akan tetap lebih
menganggap dirinya sebagai pihak yang harus dilayani, bukan sebagai pelayan
masyarakat. Kita telah belajar dari sejarah bahwa pengelolaan pemerintahan yang
buruk bisa berakhir pada pelengseran pemimpin pucuknya yang dianggap paling
bertanggungjawab. Ini telah berlaku pada Orde Baru yang berkuasa selama tiga
dasawarasa. Hadirnya Orde Reformasi, yang dicirikan oleh kebebasan berekspresi
dan berpendapat, sangat kuat mengajukan tuntutan penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), yakni penatakelolaan yang lebih
akuntabel, transparan, bersih, demokratis dan aspiratif.

Penentangan yang kuat terhadap perilaku koruptif, kolutif dan nepotif


membuat posisi pemerintah tampak melemah berhadapan dengan posisi masyarakat
sipil. Hal ini dikarenakan kekuasaan masyarakat sipil dalam menentukan pemimpin
puncak organisasi pemerintah, terutama yang disebut sebagai jabatan politik, semakin
kuat. Namun saya memaknai bahwa kita tidak hanya membutuhkan good
governance, yang tidak kalah pentingnya adalah kepemerintahan harus kuat atau
strong, dalam arti sanggup bersikap tegas dan konsisten menghadapi tekanan dan
tarik menarik berbagai kepentingan. Dengan pemahaman demikian itulah, pada
periode pertama sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, saya mengusung visi
terpenuhinya hak dasar masyarakat. Saya menjalankan kebijakan pendidikan dan
kesehatan gratis melalui bantuan keuangan kepada pemerintah kabupaten dan kota,
dengan kesadaran bahwa pemerintah wajib memenuhi hak dasar rakyat atas layanan
pendidikan dan kesehatan. Saya mencanangkan pencapaian surplus beras Sulawesi
Selatan melalui peningkatan produktivitas pertanian, dengan kesadaran bahwa
pemerintah wajib memenuhi hak dasar rakyat atas pangan. Pada periode kedua
sebagai Gubernur Sulawesi Selatan, saya menganggap bahwa sudah waktunya daerah
ini melakukan tinggal landas, melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
optimalisasi posisi Sulawesi Selatan sebagai hub dalam pergerakan manusia, barang,
uang dan informasi di Indonesia Timur saat itu.

Pemahaman kepemerintahan yang saya hibiridisasi dari pengetahuan hukum


tata negara dan administrasi pemerintahan secara formal dengan kearifan lokal serta
refleksi dari pengalaman tersebut, juga saya terapkan dalam menjalankan amanah
sebagai Menteri Pertanian saat ini. Kami mengupayakan adanya data tunggal sebagai
landasan dalam mengoperasikan kebijakan pertanian, karena saya sadar bahwa
perencanaan harus berbasis evidence dan kinerja juga harus dilacak dengan evidence,
dan evidence basisnya adalah data yang valid. Kami mendorong petani milenial dan
transformasi digital dalam praktek pertanian, karena kami sadar bahwa saat ini telah
terbentuk generasi baru petani (new peasant generation) yang mengandalkan
teknologi digital dan didorong oleh spirit entrepreneurship. Petani milenial ini kami
harapkan bahu-membahu dengan petani generasi tua dalam memajukan dan
memoderenkan pertanian Indonesia. Kami juga berupaya membongkar mitos bahwa
kita tidak bisa swasembada beras, dengan membuktikan bahwa kita bisa tidak impor
beras, setidaknya dalam tiga tahun terakhir.

Hadirin yang saya muliakan,

Pengalaman pada birokrasi memberi saya keyakinan bahwa tantangan


kompleksitas dihadapi oleh semua struktur dan level pemerintahan. Kompleksitas
pemerintahan itu berkisar pada soal penerapan kebijakan, struktur dan prosesnya,
hingga evaluasi keluarannya. Isu terkini tentang kapasitas organisasi pemerintah di
dunia adalah bagaimana menyelesaikan masalah pelik yang terjadi dengan tiba-tiba
dan tidak terprediksi. Pandemi Covid-19 saat ini adalah contoh nyatanya. Di sisi lain,
perkembangan sains dan teknologi yang cepat, hampir selalu melampaui limit
kapasitas organisasi dan administrasi pemerintah dalam meresponsnya. Kemajuan
sains dan teknologi dan kompleksitas di baliknya telah membawa sejumlah dilema
dalam kepemerintahan. Dari pengalaman saya menghibridisasi ilmu hukum dan
pemerintahan positivistik dengan kearifan lokal masyarakat, saya sampai pada
pelajaran penting (learning point) bahwa pemimpin harus bijaksana dan mawas diri
ketika mengelola kekuasaan dan politik dalam relasinya dengan tatanan masyarakat.
Ia dapat menjadi pemicu kehidupan yang demokratis, dapat menjadi engine untuk
akselerasi kesejahteraan rakyat, dan dapat menjadi perisai untuk perlindungan rakyat.
Untuk itu, pemimpin sebagai agen sekaligus struktur yang bertugas menyambungkan
nilai-nilai kreatif masa lalu dengan masa sekarang dan masa depan, seyogianya
memiliki tiga kapasitas sekaligus. Pertama, kapasitas adaptif, agar tidak terjadi
diskontinyitas. Kapasitas ini bisa menjadi alat untuk berselancar agar semua nilai
positif masa lalu, masa kini, dan masa depan melebur menjadi satu fitur baru yang
terus menjaga eksistensinya. Kedua, kapasitas harmoni, agar keseimbangan terjaga.
Dengan keseimbangan yang terjaga, kita semua akan bisa sampai kepada tujuan yang
substantif. Turbulensi, gesekan, dan chaos tumbuh subur dari ketidakseimbangan.
Instrumen yang paling kuat dalam kapasitas harmoni adalah perikeadilan. Ketiga,
kapasitas partisipatif, agar pencapaian tujuan bersama melibatkan sebanyak mungkin
individu, kelompok, entitas, komunitas, etnis, suku dan agama. Dalam dunia
kepemerintahan, bukanlah kesuksesan mencapai tujuan yang terpenting, tetapi
bagaimana proses mencapai tujuan jauh lebih utama. Pemimpin yang hebat
adalah mereka yang mampu berlari dengan cepat, tetapi ia sampai di tujuan
secara bersama mitra, pengikut dan bahkan lawannya.

Tulisan ini bersumber dari:

https://sulsel.suara.com/read/2022/03/17/140041/menangis-di-atas-mimbar-begini-
orasi-ilmiah-pengukuhan-guru-besar-syahrul-yasin-limpo.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai