net/publication/359501770
CITATIONS READS
0 71
2 authors, including:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Dicky Eko Prasetio on 27 March 2022.
Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian RI) dalam Pengukuhan Guru Besar
Kehormatan Universitas Hasanuddin Pada Kamis, 17 Maret 2022
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat yang diberikan sehingga saya
dapat berdiri di forum terhormat ini. Forum ini merupakan muara dari kerinduan saya
untuk selalu berada di jalur keilmuan, terlepas dari posisi saya sebagai birokrat sejak
masih belia. Saya percaya bahwa Allah menyukai orang yang suka belajar dan
berbagi pengetahuan. Bukankah Allah menjanjikan akan menaikkan derajat orang-
orang yang beriman dan berilmu? Insya Allah, atas dasar keimanan itulah saya
berharap senantiasa berada di jalur keilmuan ini. Sebelumnya, perkenankan saya
menjelaskan latar belakang saya. Saya menempuh pendidikan formal pada program
S1, S2 dan S3 Ilmu Hukum, juga Ilmu Adminstrasi Negara. Di balik pendidikan
formal itu, saya terlibat di dunia pemerintahan lebih 40 tahun sebagai medan
pengabdian saya sepanjang hidup.
Selain itu, saya juga memberikan sebagian kapasitas diri saya dalam
organisasi masyarakat dan partai politik. Akhirnya, dalam diri saya berkelindan tiga
arus yang membentuk cara berfikir dan bertindak saya. Pertama, ilmu hukum dan
administrasi negara yang saya pelajari secara formal, memahamkan saya tentang
kebenaran berbasis teoritik keilmuan. Kedua, pengalaman dalam birokrasi
pemerintahan, memahamkan saya bahwa tujuan utama kepemerintahan adalah
membangun rahmat bagi kehidupan seluruh masyarakat. Di sana saya belajar menjadi
pendengar untuk suara yang paling lirih sekalipun, agar mengetahui apa
sesungguhnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan mendorong sebanyak mungkin
partisipasi masyarakat. Ketiga, pengalaman berpolitik, yang memampukan saya
membaca reaksi atas sebuah aksi. Di sana saya belajar untuk mampu melihat lawan
politik sebagai sahabat, untuk mampu mematikan dendam di dalam diri, untuk
mampu menghapus frasa "musuh" dalam kamus kehidupan. Pelajaran-pelajaran ini
diperkuat oleh nasehat kehidupan kedua orang tua saya.
Dengan dasar itulah, pidato ini saya beri judul "Hibridisasi Hukum Tata
Negara Positivistik dengan Kearifan Lokal dalam Mengurai Kompleksitas
Kepemerintahan”. Semoga pemikiran ini dapat dipetakan menjadi pengetahuan
eksplisit dalam perspektif hukum tata negara dan kepemerintahan.
Perlu saya sampaikan bahwa meskipun sama-sama hukum publik, hukum tata
negara merupakan pengaturan bernegara secara umum yang tidak hanya mengatur
soal norma dasar bernegara tetapi juga mengatur soal alat kelengkapan negara dan
hubungan antar lembaga negara serta hubungan antara negara dengan rakyat.
Sedangkan hukum pidana lebih mengatur soal kepentingan keamanan dan ketertiban
khususnya yang terkait dengan persoalan tindakan atau perbuatan jahat yang
dilakukan oleh negara atau rakyat. Adapun hukum perdata lebih kepada hubungan
pribadi atau private yang berkenaan dengan soal pemenuhan hak dan kewajiban
dalam perhubungan hukum. Pimpinan negara perlu memahami hukum tata negara
agar tidak salah mengambil kebijakan negara yang berbeda dengan kebijakan
pemerintahan, sebab kalau tidak maka hal inilah yang membuat arahan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia sulit terwujud. Kepemerintahan saya pahami sebagai sesuatu yang
kompleks, karena ia melibatkan interaksi dari banyak komponen, interaksi dari
banyak komponen itu memunculkan ciri volatilitas, ketidakpastian, dan ambiguitas.
Kompleksitas adalah bagian dari VUCA (volatility, uncurtainty, complexity,
ambiguity) yang tengah melanda dunia.
Dunia telah mengalami disrupsi akibat revolus industri 4.0, dampak pandemic
Covid-19, perubahan iklim, konflik global, dan berbagai situasi turbulensi pada
bidang ekonomi dan sosial. Kita tentu sepakat bahwa kita harus mampu merespons
perubahan yang cepat dan dipercepat ini, yang bisa membuat kita gamang
menghadapinya bila tidak benar-benar siap. Untuk itu, peranan hukum tata negara
yang adaptif dengan kearifan lokal semakin penting dikuasai oleh penyelenggara
negara.
Saya ingin memulai pidato ini dengan meneropong hukum tata negara dalam
kaitannya dengan praktek kepemerintahan. Secara ontologis, perkembangan
pemikiran hukum tata negara di Indonesia adalah warisan hukum Eropa Kontinental
yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda. Secara epistemologis, hukum tata
negara ini mengikuti tradisi paradigma positivisme, yang merupakan main-stream di
tanah asalnya. Sebagaimana karakteristik paradigma positivistik, ia selalu
memandang sesuatu sebagai hasil dari positivisasi. Hukum dipandang sebagai
tumpukan dari norma-norma yang telah dirundingkan oleh warga masyarakat, sebagai
sistem aturan yang bersifat otonom dan netral. Perkembangan ilmu hukum semacam
ini mendapat dukungan kuat dari kaum academic jurists, pada komunitas inilah
tumbuh kewenangan akademik dan profesional dalam menginterpretasi hukum. Arah
selanjutnya, komunitas ini mendorong tatanan hukum yang kukuh lan rasional. Inilah
obsesi paradigma positivisme. Paradigma ini berusaha terus memapankan bangunan
hukum menjadi lebih rasional dan logis. Namun demikian, dominasi pemikiran
hukum tata negara positivistik ini telah mendapat tantangan dari pemikiran yang
menempatkan studi hukum tata negara pada konteks yang lebih luas dan dinamis,
tidak pada perundang-undangan semata-mata. Dengan kata lain, hukum tata negara
harus semakin memiliki keselarasan dengan logika sosial, politik dan budaya
masyarakat. Akan tetapi, pemikiran hukum berbasis struktur sosial dan budaya
masyarakat ini, masih tetap merupakan suara pinggiran. Saya berpendapat, gambaran
hukum tata negara selama ini kurang cukup untuk menjelaskan situasi hukum di
Indonesia. Kita membutuhkan teori hukum yang disamping bisa memberikan outline
hukum di Indonesia, juga dapat menjelaskan keadaan hukum dalam masyarakat
secara seksama dan proporsional. Karena saya berkeyakinan, hukum nasional kita
sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa.
Sangat jelas, hukum nasional merupakan hasil asimilasi sistem hukum yang
tumbuh kembang dari produk budaya Nusantara, yang berjangkauan ke Indonesia-an.
Dari sini dapat ditafsirkan bahwa sistem hukum nasional sesungguhnya bersumber
dari protipe sosial budaya seluruh nafas rakyat Indonesia, sejauh batas-batas nasional
negara Indonesia. Berkaitan dengan ini, pembangunan tata hukum nasional harus
berwawasan ke-Indonesia-an, selain harus pula bersesuai dengan tata hukum global.
Secara faktual, perkembangan sistem hukum tata negara di Indonesia dipengaruhi
oleh dinamika intelektual dan pemikiran yang terjadi di Eropa. Intelektual hukum
Indonesia lebih dulu berkenalan dengan pemikiran aufklarung yang mendorong
rasionalisme dan empirisisme, ketimbang mendalami kearifan lokal Indonesia.
Pemikiran John Locke, Thomas Hobbes, Adam Smith, Frederich Hegel, Karl Marx
dan lainnya dipelajari dengan sungguh-sungguh, demikian juga dengan konsep
individualisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme dan marxisme jauh lebih
didalami, dibanding mengakrabi pemikiran hukum, politik dan pemerintahan yang
dikembangkan oleh Amanna Gappa misalnya, tentang hukum Maritim pada abad 17.
Begitu juga, dunia intelektual kita tidak menggali dan mendalami istilah pangadereng
atau pangadakkan dalam masyarakat Bugis-Makassar misalnya, yang di dalamnya
terkandung unsur yang menata norma dan adat. Terbilang misalnya ade
akkalibinengeng, yaitu norma yang mengatur hal ihwal perkawinan serta hubungan
kekerabatan; atau ade tanaatu, yaitu norma yang mengatur kaidah pemerintahan,
kebangsaan dan kenegaraan. Unsur lain dari pangadereng adalah bicara, yaitu konsep
yang bersangkut paut dengan peradilan, semacam hukum acara, yang menentukan
prosedur serta hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di
muka pengadilan. Istilah yurisprudensi dalam tata hukum modern sudah termaktub
dalam pangadereng Bugis-Makassar ratusan tahun silam dengan istilah rapang, yang
merupakan semacam contoh, perumpamaan, kias atau analogi.
Dengan itu rapang menjaga kepastian dan kontinyuitas keputusan hukum tak
tertulis dalam lintasan masa. Rapang memuat perumpamaan ideal dan etika dalam
lapangan hidup tertentu seperti kekerabatan, perpolitikan, dan kepemerintahan;
rapang juga memuat pandangan filosofis yang keramat untuk mencegah tindakan
yang bersifat gangguan terhadap hak milik atau keamanan individu warga
masyarakat. Unsur lain dalam pangadereng adalah wari'. Wari' mengatur klasifikasi
dari segala benda, peristiwa dan aktivitas dalam kehidupan masyarakat. Ia mengatur
tata susunan pengetahuan dan benda-benda serta jalur dan garis keturunan yang
kemudian mewujud dalam pelapisan sosial; ia juga mengatur hubungan kekerabatan
antara raja suatu negara dengan raja dari negara lain, sehingga dapat ditentukan posisi
mereka dalam tata upacara kebesaran. Kearifan lokal Bugis-Makassar juga dapat
disingkap melalui berbagai pesan-pesan kebajikan (pappasang) dalam lontaraq. Saya
ingin mengutip satu pesan kebajikan yang menurut saya sangat relevan dengan
ketatanegaraan dan kepemerintahan. Siri'na tau mabbutayya niakki ri pammarentaya,
Pa'rupanna gauka niakki ri tau jaiya, parentaia taua ri ero'na. Artinya, harkat,
martabat dan gengsinya rakyat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Perwujudan
dari segala upaya ada kalau rakyat terlibat dan melibatkan diri di dalamnya, Maka
perintahkan rakyat seperti yang mereka harapkan dan butuhkan. Pranata Bugis yang
menegaskan pentingnya pemimpin dan pemerintah termaktup dalam petikan lontaraq
berikut ini; Narekko makkompe'i beccie'e masolanni lipu'e. Leggai'i welong panasa'e
masoobbuni lempu'e. Ri tongengengi salae, ripassalai tongengng'e. Si anre bale
tau'e. Si balu-balu si abbelli-belliang. Natuoini serri' dapurengnge, Ri-paoppang
palungenge, ri sappeang pattapie. Ri sellorang alue... Artinya, bilamana norma tidak
dipatuhi maka rusaklah negeri ini. Tidak memutik pucuk nangka (kejujuran),
bersembunyi kebenaran. Dibenarkan yang salah, dan disalahkan yang benar. Saling
makan-memakanlah orang bagaikan ikan, saling jual-menjual, saling beli-membeli.
Dapur ditumbuhi rerumputan, lesung ditelungkupkan penampi beras digantung.
Penumbuk padi disandarkan... (Mattulada, 1985:343).
Saya sengaja menceritakan kearifan lokal Bugis Makassar terkait hukum tata
negara dan kepemerintahan yang dipraktekkan pada masa lampau, untuk
mengingatkan sistem hukum Indonesia agar mempertimbangkan basis budaya dan
aspek sosiologis dalam teorisasi hukum. Saya menyadari, upaya untuk menampilkan
secara holistik pemikiran hukum sebagai basis teorisasi hukum di Indonesia adalah
pekerjaan besar yang membutuhkan ketelatenan, terutama oleh komunitas akademia.
Oleh karena, teorisasi hukum yang demikian mengandung kompleksitas yang tinggi,
bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata, akan tetapi juga
mempertimbangkan setting sosial, budaya dan politik kita sendiri. Langkah yang
perlu digagas dan komitmen yang harus ditegaskan adalah, bangsa Indonesia harus
berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsanya, termasuk dalam
membangun teori hukum yang memiliki karakteristik ke Indonesiaan. Bila perlu, kita
membutuhkan cara pandang yang terhadap hukum tata negara, seperti yang
dikembangkan oleh aliran critical legal studies. Mereka menganalisis secara tajam
hukum tata negara yang direlasikan dengan ekonomi, politik, kebudayaan, idiologi,
bahasa dan nilai. Pendekatan kritis pada ilmu hukum tata negara akan mengisi dan
mewarnai "kekosongan besar" karena redupnya diskursus hukum tata negara selama
rezim Orde Baru. Ini penting, karena kita semua sedang hidup dalam satu alam besar
yang bernama globalisasi. Aras global adalah hasil pertautan tak terhingga dari aras-
aras lokal, pertautan ini saya sebut sebagai proses glokalisasi menyatunya yang lokal
menjadi global ataupun bertautnya yang global kepada yang lokal. Situasi ini
semestinya menyadarkan kita semua, untuk bersiaga memasuki pemikiran dan
teorisasi hukum yang mungkin saja merespons pemikiran postmodernisme."
Pada bagian berikut ini saya akan menguraikan bagaimana saya berselancar di
tengah kompleksitas kepemerintahan melalui hibiridisasi ilmu hukum positivistik
dengan kearifan lokal. Kepemerintahan (governance) merujuk pada cara sebuah
rezim melaksanakan amanat dengan semestinya demi kemaslahatan masyarakat
melalui pengelolaan berbagai sumberdaya.
Berdasarkan pengalaman saya, tata kelola pemerintahan disebut baik, apabila
pelayanan publiknya berlangsung efektif dan efisien, penyelenggaraan
pemerintahannya dapat dipertanggungkan, dan proses pemerintahannya melibatkan
sebanyak-banyaknya unsur masyarakat. Secara formal keilmuan, praktik
kepemerintahan saya diinspirasi oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1993) dalam
bukunya yang populer saat itu, Reinventing Government. Mereka melihat
pemerintahan Amerika Serikat cenderung berkutat pada penerapan aturan dan
administrasi formal serta semakin menjauhkannya dari dinamika dan aspirasi rakyat.
Makanya mereka melihat spirit tata kelola yang baik pada dunia entrepreneur yang
dinilainya dapat ditransformasi ke tata kelola pelayanan publik. Karena itu banyak
pihak menerjemahkan reinventing government dengan istilah "mewirausahakan
birokrasi". Bagi saya yang akrab dengan kearifan lokal dari berbagai pesan nenek
moyang, melihat kepemerintahan yang berbasis pada hukum tata negara dan aturan
administrasi yang rigid justru perlu dikawinkan dengan kearifan lokal, agar memiliki
spirit partisipatif yang dapat mendorong peran aktif masyarakat. Inilah hibridisasi
hukum tata negara positivistik dengan kearifan lokal yang saya yakini dan telah saya
praktikkan untuk berselancar di tengah kompleksitas kepemerintahan.
https://sulsel.suara.com/read/2022/03/17/140041/menangis-di-atas-mimbar-begini-
orasi-ilmiah-pengukuhan-guru-besar-syahrul-yasin-limpo.