Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ACARA HUKUM PIDANA

MK : ACARA HUKUM PIDANA


DOSEN : MUJIBURRAHMAN SH. MH.
Disusun oleh:
Nama : FERY SUTIAWAN
NIM : 21110059
Fakultas : Ilmu Hukum
Kelas/ Semester : C / V
Email : ferrysetiawan065@gmail.com

No HP/WA : 081278819822

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMAN SISWA PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat-Nya yang telah
dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Evaluasi Kinerja profesionalisme Polri pada Keolisian Daerah Sulawesi
Tenggara” yang merupakan salah satu tugas pada perkuliahan di semester ini.
Dalam tugas makalah ini saya membahas mengenai Evaluasi Kinerja Profesionalisme
Polri Pada Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara.
Dalam penyelesaian tugas makalah ini, penulis banyak mendapatkan ilmu sehingga
mengetahui apa yang dimaksud dengan evaluasi kinerja, namun saya sebagai penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan tugas makalah ini dan
masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian saya sebagai penulis mengharapkan
kritik dan saran yang dapat membangun penulisan tugas makalan ini dengan hati yang
lapang.

Kendari, November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR …………………………………………………………………...….…………… 1
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………...…………… 2
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………..………… 3
1. LATAR BELAKANG ………………………………………………………………..…….…… 3
2. RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN …………………………………………....…….. 4
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………...…. 6
1. APA ITU EVALUASI KINERJA…………………….……………………...........…..….... 6
2. APA YANG DIMAKSUD DENGAN PROFESIONAL POLRI ............…………..... 7
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROFESIONAL POLRI ....………. 13
4. BAGAIMANA CARA MENINGKATKAN PROFESIONALISME POLRI
MELALUI EVALUASI KINERJA ............................................................... 17
BAB III IV PENUTUP ……………………………………………………………………………….... 19
1. KESIMPULAN …………………………………………………………………….……..... 19
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………….... 20
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat POLRI


adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri. ( Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 5 ayat (1).
Menurut G. Gewin (Djoko Prakoso,1987:136) Tugas polisi adalah bagian
daripada tugas negara perundang-undangan dan pelaksanaan untuk menjamin
tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan
pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.
Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan
didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, (1985 :
2) menyatakan sebagai berikut :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian
Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara
keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi
hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam
butir 31 butir a (Djoko Prakoso.1987:183) menyebutkan tugas dari kepolisian
adalah sebagai berikut : “Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri
bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan
kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan
keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas
Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa
tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi
mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil
semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat
Di era globalisasi saat ini sangat banyak dinamika yang berubah dan
mempengaruhi sendi-sendi pemerintahan salah satunya dengan berkembangya
teknologi dan informasi yang begitu pesat dan menyentuh hingga keseluruh
lapisan masyarakat dengan kemudahan akses informasi yang begitu cepat
melahirkan sisi positif dan juga negatif sehingga hal tersebut menjadi tantangan
tersendiri bagi aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan
dan wewenangnya.
Salah satu hal yang paling mencolok terhadap dampak berkembangnya era
globalisasi ini adalah profesionalisme Polri dituntut untuk selalu mampu bekerja
dan melayani berbagai permasalahan masyarakat yang timbul akibat dari
berkembangnya teknologi dan informasi di Indonesia maupun seluruh dunia
salah satu contohnya adalah penanganan perkara Tindak Pidana Informasi
Transaksi Elektronik (ITE) yang kini menjamur dan mewabah di berbagai jejaring
sosial dengan bermodalkan pengetahuan teknologi yang lebih pelaku dapat
melakukan aksi kejahatan di media sosial dengan berbagai modus seperti
penipuan, pemerasan, pencemaran nama baik, pencurian dan masih banyak
lagi.
Untuk itu dengan berkembangnya era globalisasi ini Polri diharapkan mampu
mengikuti perubahan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta diharapkan
mampu bekerja secara profesional yang mengacu pada Undang-undang RI No.
02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Rumusan masalah dan Tujuan


2.1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sbb:
a. Apa itu evaluasi kinerja
b. Apa yang dimaksud dengan Profesionalisme Polri
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Profesionalisme Polri
d. Bagaimana cara meningkatkan profesionalisme polri melalui
evaluasi kinerja
2.2. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
apakah profesionalisme Polri dapat ditingkatkan melalui Evaluasi
Kinerja.
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Apa Itu Evaluasi Kinerja


Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian dan
pelaksanaan tugas seseorang atau sekelompok orang atau unit-unit kerja dalam
satu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang
ditetapkan lebih dahulu. Evaluasi kinerja merupakan cara yang paling adil dalam
memberikan imbalan atau penghargaan kepada pekerja.
GT. Milkovich dan Bourdreau mengungkapkan bahwa evaluasi/penilaian
kinerja adalah suatu proses yang dilakukan dalam rangka menilai kinerja
pegawai, sedangkan kinerja pegawai diartikan sebagai suatu tingkatan dimana
karyawan memenuhi/mencapai persyaratan kerja yang ditentukan.
Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Payaman Simanjuntak
(2005:105) yang menyatakan evaluasi kinerja adalah penilaian pelaksanaan
tugas (performance) seseorang atau sekelompok orang atau unit kerja
organisasi atau perusahaan. Dengan demikian, evaluasi kinerja dapat dikatakan
sebagai suatu sistem dan cara penilaian pencapaian hasil kerja individu
pegawai, unit kerja maupun organisasi secara keseluruhan.
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon
C. Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai
berikut: ”penilaian prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses
yang digunakan pimpinan untuk menentukkan apakah seorang karyawan
melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya”.
Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh Mangkunegara
(2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang
sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan.
Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari
beberapa obyek orang ataupun sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut
Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah: ” suatu kegiatan yang dilakukan
oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara
membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi pekerjaan dalam
suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy
(1991) sendiri mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the
accountant to management that provides information about how well the actions
represent the plans; it also identifies where managers may need to make
corrections or adjustments in future planning andcontrolling activities” sedangkan
Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja
sebagai: “the activity of measuring the performance of an activity or the value
chain”.
Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa
pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan
terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil
pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan balik yang memberikan
informasi tentang prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan
perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian.Dari beberapa
pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah
penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan
karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan
kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang
sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih
baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam
hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.

2. Apa yang dimaksud dengan profesionalisme Polri


Orang mudah mengatakan profesionalisme tetapi tak tahu ma’rifat dan
hakekat profesionalisme. Merujuk pada pengertian dasar saja, profesionalisme
sudah membentuk spektrum luas, yang terbaik tentunya adalah berada pada titik
equilibrium, keseimbangan ma’rifat dan hakekat. Dalam Kamus besar bahasa
Indonesia, profesionalisme berasal dari kata dasar profesi yang berarti sebagai
pekerjaan dengan pendidikan dan keahlian tertentu yang memerlukan
kepandaian khusus dengan sistem penggajian terukur. Dalam praktek, banyak
pekerjaan yang sekarang mengklaim dirinya sebagai profesi . Padahal , diuji dan
dikaji dengan menggunakan standar profesi, tidak semua pekerjaan boleh
disebut profesi dalam artian sesungguhnya. Profesi menuntut penguasaan suatu
pengetahuan yang diperoleh melalui pelatihan yang panjang. Menurut Albert J.
Reiss Jr, profesi pada dasarnya memiliki karakteristik yang tidak cukup
dicerminkan melalui penguasaan pengetahuan, akan tetapi juga dipengaruhi
pada hubungan pelaku profesi dan kliennya yang merupakan konsep inti (core
conception) suatu profesi. Oleh karena itu, berdasarkan pada hubungan pelaku
profesi dan kliennya, Albert J. Reiss mengatakan bahwa berbagai pekerjaan
yang benar-benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi.
sedangkan yang lainnya hanyalah berupa status.
Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi maka profesi polisi
tersebut haruslah dilaksanakan secara profesionalisme. Dalam artian bahwa
sebagai profesi dibutuhkan upaya pemolisian profesi, karena polisi merupakan
suatu pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang
polisi yang profesionalisme digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki
pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, profesionalisme bagi Polisi sangat
penting untuk ditingkatkan dan dimantapkan dalam rangka mewujudkan harapan
masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal. Sebelum profesionalisme
muncul sebagai standar yang diterima luas, terlebih dahulu akan diuraikan
kualifikasi polisi yang menunjukkan betapa pekerjaan polisi banyak berkaitan
dengan predeposisi individu para polisi. Coates membedakan 3 (tiga) tipe
(kualifikasi) polisi yaitu:

1. The legalistic abusive officer, yaitu mereka yang menyadari perannya


sebagai penjaga pelindung masyarakat serta nilai-nilai masyarakat, dan
dengan cepat menggunakan kekuatan dan sangat otoriter;
2. The task officer, yang menjalankan tugasnya tanpa menggunakan nilai-
nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum; dan
3. The community service officer, yang tidak menerapkan hukum dan bertindak
sebagai penegak hukum, melainkan berusaha membantu masyarakat dan
memecahkan persoalan.
Pengkualifikasian polisi sebagaimana diungkapkan oleh Coates, secara
perlahan mengalami erosi sehingga dibutuhkan suatu gagasan baru menuju
pada profesionalisme polisi yang tentunya menawarkan berbagai manfaat yang
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Gagasan perubahan tersebut timbul
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang cepat.
Perkembangan IPTEK yang tak dapat dihindarkan, berimplikasi pada pekerjaan
polisi itu sendiri dimana polisi dituntut untuk bersikap profesionalisme
dibidangnya (tidak amatir). Pemanfaatan IPTEK oleh polisi dalam melaksanakan
tugasnya, menimbulkan suatu konsekuensi tersendiri bahwa IPTEK menjadi
salah satu standar bagi penetapan profesionalisme polisi.

Oleh karena itu, standar tersebut mensyaratkan, bahwa: Pertama, dibutuhkan


latihan, ketrampilan, dan kemampuan khusus; Kedua, anggota kepolisian harus
mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; Ketiga, dalam menjalankan
pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.

Penetapan IPTEK sebagai salah satu standardisasi profesionalisme polisi, lebih


ditekankan pada kaidah bahwa modus operandi kejahatan semakin beragam
sehingga dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang “mumpuni”. IPTEK
yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara
signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu
kepolisian dimana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.
Disamping IPTEK, standardisasi profesionelisme polisi dapat dilihat pada tiga
parameter sebagaimana yang dikemukan oleh Sullivan, sebagai berikut:

1. Well Motivation, yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam
menjalankan tugasnya;
2. Well Education, yaitu seorang polisi harsu memiliki jenjang pendidikan yang baik
seperti, Diploma, Sarjana (S1, S2, dan S3);
3. Well Salary, seorang polisi harus lah digaji dengan bayaran yang memadai untuk
menunjang pekerjaanya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.
Well Motivation
Motivasi menjadi elemen penting yang tidak boleh dikesampingkan. Motivasi
yang baik dari seseorang sebelum mengeluti pekerjaanya akan menentukan apa
yang akan dilakukan oleh tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai
polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut
kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun
dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan criminal lainnya.
Well Education
Jenjang pendidikan memainkan peranan yang sangat vital dalam membentuk
kualitas seseorang. Idealnya seseorang yang berkualifikasi pendidikan yang baik
akan tergambar melalui prilaku orang tersebut. Dalam konteks ini, seorang polisi
dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus
berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan
kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya maka kualifikasi
pendidikan sangat dibutuhkan

Well Salary
Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal. Fakta
menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan penegak
hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.

Disamping 3 (tiga) hal yang merupakan standardisasi profesionalisme polisi


sebagaimana dikemukan oleh Sullivan di atas, Anton Tabah menambahkan 2
(dua) standardisasi lain yaitu well trained dan well equipments. Well Trained
diartikan sebagai seorang polisi harus dibekali dengan pelatihan secara terus
menerus melalui proses managerial yang ketat agar pendidikan dan pelatihan
yang sinkron mampu menjawab tantangan kepolisian yang actual dan tantangan
di masa depan

Well Equipments diartikan sebagai tersediannya sarana dan prasarana yang


cukup bagi institusi kepolisian serta penyediaan sistem dan sarana teknologi
kepolisian yang baik agar seorang polisi dapat menjalankan tugas dengan baik.

Penetapan standardisasi profesionalisme polisi sebagaimana disepakati para


pakar dan berlaku dalam praktek, telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran
profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia. Amerika Serikat
misalnya, menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan
mengemukan 4 (empat) kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara
ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas profesionali, dan
pemusatan pelayanan kepolisian dan konsilidasi satuan kepolisian sebagai
unsur utama peningkatan efektifitas.
Uraian ke-4 standardisasi profesionalisme polisi di Amerika Serikat pada
dasarnya selaras dengan apa yang dikemukan Sullivan dan Anton Tabah, hanya
dalam redaksional yang berbeda. Fungsi polisi disini dititikberatkan pada upaya
untuk menjalankan kontrol sosial dalam masyarakat baik yang bersifat pre-emtif,
preventif, maupun refresif. yang tentunya fungsi ini terwadahi dalam kerangka
sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karena itu,
profesionalisme polisi sebagai penegak hukum diarahkan secara ketat oleh
hukum, dimana ia menjalankan perintah undang-undang dan dalam fungsi
sebagai penjaga ketertiban, polisi bertanggung jawab pada masyarakat.

Profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)


Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentunya berkiblat pada
standardisasi yang sama sebagaimana telah diuraikan pada bagian
sebelumnya. Akan tetapi, penjabaran kriteria-kriteria tersebut tidaklah semudah
yang tertulis. bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di kampus UNAS,
insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat politik pembiaran
dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Tranparansi Internasional
Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia
setelah DPR, Lembaga Peradilan dan Partai Politik adalah fakta yang tidak dapat
dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses
untuk menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiaannya.
Perumusan strategi pelaksanaan standardisasi profesionalisme Polri yang terus
dilakukan Polri, dimaksudkan untuk memenuhi harapan masyarakat yang
membutuhkan polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan serta tegas
dalam penegakan hukum dapat tercapai. Oleh karena itu, langkah-langkah
konkrit terus dilakukan oleh Polri untuk mencapai out-put sebagaimana yang
diamanahkan oleh UU Nomor 2 Tahun 2002, termasuk dengan menekankan
pada perlunya aspek pembinaan profesi Polri. Ketentuan pembinaan profesi
Polri dapat ditemukan pada Pasal 34 UU No.2 Tahun 2002, yaitu:

1. Sikap dan prilaku pejabat Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri.
2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi
kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dilingkungannya.
3. Ketentuan tentang Kode Etik Profesi Polri lebih lanjut diatur dengan
Keputusan Kapolri.
Penegasan pembinaan profesi Polri adalah sebuah “sinyal” bahwa Polri terus
berbenah terhadap kinerja Polri yang berfluktuasi dalam pencapaian prestasi
kerja. Memahami bahwa profesi Polisi harus diselenggarakan professional,
tuntutan mendasar yang harus terpenuhi agar profesionalisme Polri dapat
terwujud maka dapat dimulai dari proses rekrutmen anggota polisi yang baik
(professional), yang kemudiaan anggota polisi tersebut dilengkapi dengan
pendidikan dan pelatihan yang memadai serta ditunjang dengan sistem promosi
dan analisis jabatan dalam tubuh Polri yang juga baik.

Persoalan rekrutmen anggota Polri disadari merupakan masalah pokok yang


harus selalu mendapat perhatian serius dalam melaksanakan profesionalisme
Polri. rekrutmen anggota Polri pada dasarnya telah dilakukan analisis jabatan
yang berupa syarat administrasi, pendidikan, kesehatan, psikotes, dan berbagai
tes lainnya. Akan tetapi dalam proses penentuan kelulusan dan tahap-tahap
ujian yang dilalui masih terbuka peluang bagi adanya intervensi oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab.

Prilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat


disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan selama proses
rekrutmen baik yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang maupun
masyarakat. Hal ini mengakibatkan check dan balance dalam konteks
melaksanakan fungsi kontrol tidak berjalan optimal.

Disamping faktor pengawasan yang rendah dalam pencapaian profesionalisme


Polri, hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk ditekankan dalam optimalisasi
profesionalisme Polri yaitu komitmen moral. Menurut Pudi Rahardi, komitmen
moral tersebut dapat ditemukan pada perumusan ciri-ciri profesionalisme Polri,
sebagai berikut:

1. Jujur, taat terhadap kewajiban dan senantiasa menghormati hak-hak orang


lain.
2. Tekad dalam jiwanya, setiap amal perbuatan dilandasi oleh niat untuk
beribadah dan merupakan pengabdian dirinya kepada dan bagi kepentingan
orang lain sebagai bukti adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Memiliki sifat, watak dan akhlak serta kepribadiaan dengan baik yang
berlandaskan pada Taqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Amal perbuatannya senantiasa diawali dengan niat dan itikad baik dan untuk
mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik dan benar.
5. Tidak akan bernat jelek terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya, baik
yang diamanahkan oleh masyarakat maupun amanah bangsa dan negara
sesuai dengan hukum yang berlaku.
6. Memiliki kebanggaan pada profesinya dengan mendahulukan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa komitmen moral memegang
peranan penting yang hakekatnya bukan hanya mengikat anggota Polri akan
tetapi juga mengikat para pimpinan Polri. Dalam hal ini, pimpinan Polri
menetapkan bahwa pejabat Polri harus memenuhi langkah-langkah sebagai
berikut:

1. Upaya penertiban setiap pejabat Polri yang mengemban fungsi reserse,


dengan cara memberikan tanda pengenal sebagai pejabat penyidik yang
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian kepada masyarakat
bahwa dirinya berhadapan petugas resmi.
2. Penataran pengawasan melekat (waskat) kepada eselon pimpinan di
lingkungan Polri dengan tujuan terciptanya mekanisme pengawasan di
lingkungan kerjanya. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bawa standardisasi profesionalisme Polri yaitu: Well Motivation;
well Education;Well Salary; Well Trained; Well Equipments; Fungsi
Pengawasan; dan Komitmen Moral. Seusai membingkai standardisasi
profesionalisme Polri.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Profesionalisme Polri


hal terpenting yang menarik untuk didiskusikan adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi profesionalisme Polri baik yang berasal dari eksternal maupun
internal Polri. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Integritas Institusi
Lahirnya Tap MPR Nomor VI/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri
merupakan momentum institusional yang menunjukkan eksistensi Polri sebagai
penegak hukum yang mandiri atau otonom. Akan tetapi, 10 tahun pasca
pemisahan secara institusional dampak atau pengaruh pengabungan TNI dan
Polri masih sangat terasa. Hal ini dapat ditemukan pada proses penanganan
kasus-kasus kamtibmas yang dilakukan Polri yang masih cenderung
mengadopsi sisi desktrutifitas dalam penegakan hukum dibandingkan
mengedepankan fungsi pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Oleh
karena itu, secara institusi (birokrasi) Polri harus terus melakukan reorganisasi
dalam tubuh Polri mulai dari tingkat markas besar (MABES) hingga tingkat
wilayah. Sehingga secara institusi Polri perlahan tapi pasti dapat mensterilkan
diri dari bias penggabungan TNI dan Polri yang pernah terjadi di masa lampau.
Sebagai langkah nyata komitmen tersebut dapat dilihat pada upaya Polri di
bidang instrumental, untuk melakukan penyempurnaan berbagai petunjuk
pelaksanaan tugas dan pedoman kerja Polri sampai pada tataran operasional
taktik dan teknik profesi kepolisian.Reformasi institusi Polri tersebut diupayakan
akan mempercepat pencapaian profesionalisme Polri, apalagi tuntutan zaman
yang mengharuskan Polri dapat mengikuti dinamika masyarakat yang dalam
setiap perubahan mengusung tema-tema HAM dan demokrasi. Tentunya,
kompleksitas tema-tema HAM dan demokrasi, tidak hanya menjadi urusan
lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, akan tetapi juga terletak pada
strategis penglibatan personil polisi yang bertugas sehari-hari sehingga para
personil tersebut sanggup menjabarkan dan mempertanggungjawabkan
implementasi HAM dan demokrasi secara rasional, argumentatif, dan sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Jika disepakati bahwa integritas kelembagaan Polri sangatlah penting untuk
mendukung profesionalisme Polri secara organisasi, maka pekerjaan dan
organisasi Polri harus berubah menuju pekerjaan yang berbasis pengetahuan
(knowledge based works), dan sumber daya manusia (SDM) yang juga turut
berubah kearah pekerja yang berpengetahuan (knowledge workers) serta
ditunjang dengan tugas pekerjaan yang bersifat inovasi dan
perhatian (innovation and caring).
2. Netralitas
Profesionalisme Polri harus dapat memberi jawaban terhadap tantangan
dan tuntutan masyarakat abad ke-21 yang mendasarkan aktifitasnya pada
IPTEK. Sejalan dengan perubahan tersebut, bidang dan atau sektor kehidupan
dalam masyarakat juga bergerak menyesuaikan diri secara signifikan baik
dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. sehingga out-put pekerjaan
yang harapkan berbasis pada rasionalitas dan efisiensi.
Oleh karena itu, menurut sejarah kepolisian bahwa sukses awal dalam rangka
menciptakan profesionalisme adalah dengan melepaskan diri dari pengaruh
politik dan partisian politik, atau dengan kata lain netral. Netralitas dalam hal ini
diartikan sebagai penempatan Polri sebagai pelayan publik bagi semua
golongan masyarakat, bukan lagi terkait dengan satu atau lain golongan dalam
masyarakat.
Terkait dengan netralitas Polri, ujian telah menanti di tahun 2009 ketika
perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) digelar. sorotan tajam sekaligus sinis
akan kembali dialamatkan pada Polri apakah Polri akan mampu
menetralitaskan dirinya atau kemudian sebaliknya. Tentunya disadari bahwa
Polri pada hakekatnya adalah institusi penegak hukum dan pelayan publik yang
netral, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa banyak kendala yang timbul
ketika netralitas Polri dari dimensi politik akan diwujudkan khususnya dalam
menghadapi daya tahan , tekanan dan intervensi politik kekuasaan.
3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Tema KKN masih menjadi momok yang menakutkan dalam mengusung
profesionalisme Polri. Erlyn Indarti, salah seorang anggota Komisi Kepolisian
Nasional, menilai Polri cenderung memosisikan profesional secara
mengambang, bahkan lepas dari esensiâ. Ada tiga tugas pokok Polri, yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan
hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Sering kali
jika penegakan hukum tak jalan, polisi dicap tidak profesional. Demikian pula
sebaliknya, polisi sering mengklaim profesional jika dapat menekan laju
kejahatan. Erlyn melihat keprofesionalan polisi tidak seperti itu.
Hubungan antara profesionalisme dengan segala komponen utama perpolisian
Indonesia merupakan hubungan resiprokal sehingga tidak bisa serta-merta
disebutkan jika polisi mampu menekan jumlah kejahatan, mereka pasti
profesional sebab ini akan berakibat pada polisi hanya mengejar turunnya
angka kejahatan agar dianggap profesional.
Erlyn lebih lanjut menyoroti legitimasi Polri yang merupakan interface untuk
bisa melihat benang merah antara profesionalisme Polri dan tiga tugas pokok
Polri tersebut. Tuntutan masyarakat kepada Polri sangat tinggi. Masyarakat
berharap Polri harus bersih dan bebas KKN. Polri harus dekat dengan
masyarakat dan Polri harus punya wibawa.
Kenyataannya, Polri belum terbebas dari KKN dan masih banyak anggota Polri
yang tidak dekat dengan masyarakat. Juga cukup banyak anggota Polri yang
tidak dihormati, dilempari saat terjadi peristiwa di berbagai daerah. Ini
menunjukkan bahwa Polri masih dianggap belum profesional. Polisi dianggap
belum memiliki kepakaran atau intelektual dan teoritika yang memadai. Polisi
juga belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan sesuai harapan. Polri belum
menghasilkan anggota yang memiliki legitimasi. Kompetensi polisi belum
sepadan dengan tantangan tugas. Dari sisi kode etik dan disiplin, Polri masih
dianggap belum berdisiplin dan berpegang pada kode etik kepolisian. Ada
banyak fakta yang menunjukkan hal itu.
Sehubungan dengan pernyataan Erlyn, Mabes Polri menyatakan bahwa salah
satu kelemahan yang dihadapi dalam mewujudkan profesionalisme Polri dari
optik praktek KKN yaitu masih ditemukannya budaya “setor” dari bawahan
kepada pimpinan dan prilaku fungli yang banyak dilakukan oleh anggota Polri.
Contoh lain yang dapat dikemukan untuk melihat bahwa praktek KKN masih
terjadi di tubuh Polri yaitu sebagaimana dirilis oleh PTIK dan Kemitraan dengan
merujuk pada penelitian skripsi seorang mahasiswa PTIK angkatan XXXIX-A,
yang menyatakan bahwa praktek KKN terjadi pada satuan organisasi Polri
seperti reserse kriminal, intelijen keamanan, samapta, lalu-lintas, personil, dan
logistik.
Fakta-fakta di atas, tentunya, merupakan realitas yang tidak dapat dielakkan.
Tetapi yang terpenting bahwa bagaimana budaya KKN ini secara perlahan
dieliminasi dan kemudian ditiadakan sehingga ide profesionalisme Polri dapat
sesegera mungkin tercapai.
4. Pengaruh Internasional
Perkembangan masyarakat internasional yang berkembang begitu
pesat, mengharuskan Polri tanggap melihat dan mengikuti perkembangan
tersebut. Beberapa agenda internasional seperti isu-isu demokrasi, lingkungan
hidup, HAM, kejahatan computer, dan terrorisme menjadi sesuatu
(pengetahuan) yang harus diketahui oleh Polri dalam menunjang tugas
kesehariannya khususnya ketika menanggani kasus-kasus demokrasi,
lingkungan hidup, HAM, dan terrorisme.
Oleh karena itu, penerapan dan pelaksanaan mekanisme pelaksanaan tugas
Polri harus segera diselaraskan dengan baik dan benar dalam rangka untuk
memperoleh legitimasi baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Contoh profesionalisme Polri yang baik untuk dikutip pada kesempatan ini
adalah penanganan teorisme di Indonesia yang menggunakan sains dan
teknologi (Scientific crime investigation) rumit untuk mengungkapnya, seperti
pengungkapan Bom Bali yang goncang dunia Oktober 2002 dengan teknologi
re-exting, pengungkapan bom Marriot Agustus 2004 dengan DVI (Disaster
Victims Identi vication). Pengungkapan bom Kedubes Australia 9 September
2004 dengan kombinasi keduanya. Demikian pula kasus bom lainnya yang
menggunakan teknologi komunikasi super canggih untuk menditeksi
keberadaan tersangka sehingga Polri berhasil menangkap pelaku-pelaku
penting, membongkar.
Contoh penerapan dan pelaksanaan mekanisme tugas Polri yang jelas
sebagaimana terungkap pada kasus-kasus bom, haruslah dapat digunakan
(applied) diseluruh lapisan kamtibmas

4. Bagaimana cara meningkatkan profesionalisme polri melalui evaluasi kinerja


Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sebagai alat negara yang berfungsi
sebagai pelindung, pelayan, dan pembimbing masyarakat sangat rentan dengan
permasalahan sosial budaya di masyarakat dikarenakan ruang lingkup dan tugasnya.
Dalam perjalanan sejarahnya POLRI yang berorientasi pada masyarakat hams di
integrasikan dalam ABRI yang berbeda doktrin : Menghancurkan musuh dan
Mengayomi masyarakat, sehingga selama 32 tahun tugas pokok dan kewenangan
Polri menjadi tidak berjalan dan ironisnya selalu menjadi Kambing Hitam
ketidakmampuan pada penyelesaian kasus-kasus berbau politik serta menj adi alat
kekuasaan dan berdampak pada kinerj a Polri yang mendapat nilai negatiydari
masyarakat karena ketidak mampuan mengungkap kasus-kasus yang menjadi
kewenangannya. Undang-undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997 merupakan respon
Polri dalam menciptakan individu-individu Polisi yang profesional sebagaimana
dituntut oleh masyarakat untuk melayani, mengayomi dan membimbing masyarakat
guna terciptanya Kamtibmas yang kondusif tetapi harapan masyarakat tersebut belum
dapat diwujudkan secara optimal oleh Polri, dikarenakan Polri banyak mengalami
intervensi dari militer yang mengakibatkan Mandulnya tugas pokok dan kewenangan
Polri. Melihat ha1 tersebut diatas, pimpinan Polri sejak tahun 1997 berbarengan
dengan momentum era refomasi, Polri mereformasi diri pada 3 aspek antara lain
aspek struktural, aspek instrumental dan aspek kultural disamping itu dukungan
masyarakat melalui Badan Legislatif dan Eksekutif berupa Tap MPR No. W1998 dan
INPRES NO. 2 /1999 serta TAP MPR No. VI/2000 yang mengkukuhkan susunan dan
kedudukan Polri sehingga Polri berada di bawah Presiden serta memberikan
Kemandirian Polri lepas dari wadah ABRI yang mempunyai konsekwensi Polri hams
merealisir peningkatan kualitas pelayanan, pengayoman dan pembimbing
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani (Civil Society). Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan analisis yang bersifat evaluatif terhadap kebijakan
Undang-undang Kepolisian No. 28 tahun 1997 agar mengetahui apakah implementasi
kebijakan dapat memberikan hasil yang diharapkan atau sesuai dengan tujuan
program dan mencoba merekomendasikan beberapa alternatif kebijakan sedangkan
metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif eksploratif. Namun
implementasi kebij akan ini menitikberatkan pada upaya peningkatan profesionalisme
(jangka panj ang), sedangkan upaya menuju Polisi madiri (jangka pendek). Faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan adalah : ketersedian
sumber daya, kemandirian organisasi dan sikap. Agar pelaksanaan kebijakan
Undang-undang Kepolisian No. 28 tahun 1997 optimal penulis mengajukan beberapa
rekomendasi kebij akan sebagai berikut undang-undang tersebut perlu
disempurnakan karena masih ada kelemahan- kelemahan. Adapun efektifitas
undang-undang yang telah dibuat hendaknya disosialisasikan kepada anggota
diseluruh Indonesia dalam waktu tertentu. Sedangkan untuk meningkatkan kinerja
polri menjadi semakin profesional perlu dilakukan evaluasi terhadap beberapa hal
diantaranya yaitu :
1. Sistem Recruitment secara transparan
2. Memberikan kesempatan yang sama kepada anggota untuk berprestasi,
3. penyesuaian gaji
4. Peningkatan kesejahteraan
5. Peningkatan prasarana dan sarana
6. Peningkatan mutu teknologi alat komunikasi.

Dengan berbagai langkah tersebut,diharapkan akan muncul individu-individu Polri


yang profesional, teguh, bersih, dan berwibawa untuk menyongsong masa depan
yang penuh tantangan untuk menciptakan kamtibmas yang handal dengan
melibatkan masyarakat disertai dengan meningkatnya kesadaran dan menjunjung
tinggi hukum sehingga tercipta masyarakat madani.
BAB 3

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, penulis dapat beberapa kesimpulan bahwa dengan


berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi diharpkan Polri mampu
mengikuti dinamika perubahan dengan cara melatih kemampuan individu,
berlatih dan belajar mengetahui sumber reverensi hukum terbaru dan selalu
berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi Polri
agar senantiasa bertinda secara Profesional sesuai tugas dan tanggung jawab
sebagai anggota Polri. Untuk itu dalam berbagai upaya, institusi Polri juga sudah
membuat berbagai terobosan dalam hal peningkatan kinerja personil ditubuh
Polri sendiri dengan cara meningkatkan sarana pra sarana maupun kemampuan
intelektual personil secara berjenjang dengan cara pelatihan dan pendidikan
kejuruan untuk menciptakan polri yang dinamis sesuai yang diamanatkan dalam
undang-undang Negara RI tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI untuk
senantiasa bertindak secara profesional sebagaimana selogan Polri
PROMOTER (Profesional Modern Terpercaya) yang dicetus oleh Jenderal Polisi
Muh. Tito Karnavian, M.A, Ph.D.

Anda mungkin juga menyukai