Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KELOMPOK 3

MENGANALISIS PUISI
Dosen pengampu : Drs. Parlindungan Nadeak, M.Pd

Disusun oleh :

Riana Fitriani (F102221007


Feni Afrila (F2012221006)
Nazela KHUMAIRAH (F10122210

PRODI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
KELAS PPAPK 2022

2022/2023
PUISI PERTAMA

PUISI YANG BERJUDUL


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali


Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi


Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali


Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.


2.1 MENGANALISIS PILIHAN KATA ATAU DIKSI

Puisi ini menggunakan pilihan kata dan diksi yang cukup kuat untuk menyampaikan perasaan
dan makna yang terkandung dalam teks. Berikut adalah analisisnya secara lebih rinci:

1. Kata "mau" dan "kembali" menggambarkan harapan atau keinginan untuk melanjutkan
hubungan atau menerima kembali seseorang yang pernah dicintai.

2. Frasa "Dengan sepenuh hati" menunjukkan intensitas dan ketulusan perasaan dalam
menerima kembali.

3. Kata "sendiri" menciptakan perasaan kesendirian dan isolasi yang dialami oleh penulis.

4. Kata "tahu" dan "bukan yang dulu lagi" mengungkapkan kesadaran akan perubahan yang
terjadi pada orang yang dicintai.

5. Istilah "kembang sari" membawa konotasi keindahan dan kemurnian yang sekarang telah
hilang atau terpecah.

6. Kata "tunduk" menggambarkan keberanian untuk menghadapi kenyataan atau situasi yang
sulit.

7. Kata "cermin" mungkin digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan refleksi diri
atau gambaran dari masa lalu.

8. Pemilihan kata seperti "enggan" dan "berbagi" menggambarkan konflik emosional dan
ketidakpastian yang dirasakan penulis terhadap ide menerima kembali seseorang.

Secara keseluruhan, diksi atau pilihan kata dalam puisi ini digunakan dengan hati-hati untuk
menciptakan suasana emosional dan menggambarkan perubahan dalam hubungan serta
konflik yang dialami oleh penulis.
2.2 MENGANALISIS KATA KATA KONKRET

Mari kita analisis kata-kata konkret yang ada dalam puisi tersebut secara lebih rinci:
1. "kau" dan "aku": Kata-kata ini merujuk kepada dua individu yang mungkin pernah
memiliki hubungan, dan sekarang penulis merenungkan kembali tentang hubungan tersebut.

2. "hati": Kata ini menggambarkan perasaan dan emosi yang mendalam, menunjukkan
ketulusan dalam menerima kembali atau berhubungan dengan seseorang.

3. "sendiri": Kata ini menciptakan gambaran tentang kesendirian atau perasaan kesepian yang
dialami oleh penulis.

4. "tahu": Kata ini mengungkapkan pengetahuan atau kesadaran penulis tentang perubahan
yang telah terjadi pada orang yang mereka cintai.

5. "kembang sari": Kata-kata ini membawa konotasi tentang keindahan yang mungkin telah
terpecah atau berkurang.

6. "tunduk": Kata ini menciptakan gambaran tentang seseorang yang bersedia menghadapi
kenyataan atau situasi yang sulit.

7. "cermin": Kata ini digunakan sebagai metafora yang mungkin merujuk kepada introspeksi
atau pemahaman diri, dan ketidakpastian tentang melibatkan diri dengan orang lain.

8. "enggan" dan "berbagi": Kata-kata ini mengungkapkan perasaan penolakan atau keragu-
raguan dalam menerima kembali atau berbagi dengan seseorang yang pernah dicintai.

Kata-kata konkret ini digunakan dengan efektif dalam puisi untuk menggambarkan emosi,
perubahan, dan konflik yang dialami oleh penulis dalam konteks hubungan mereka yang
rumit.

2.3 MENGANALISIS CITRAAN, PEMBAYANGAN, PELUKISAN


Dalam puisi ini, terdapat beberapa citraan, pembayangan, dan pelukisan yang membantu
menciptakan gambaran dan suasana emosional. Berikut adalah beberapa contohnya:

1. "Dengan sepenuh hati": Ini adalah citraan yang menggambarkan ketulusan perasaan. Ini
menciptakan gambaran seorang individu yang bersedia menerima kembali dengan segala
perasaan dan emosi yang mereka miliki.

2. "Kutahu kau bukan yang dulu lagi / Bak kembang sari sudah terbagi": Dalam baris ini,
terdapat citraan bunga yang telah terbagi. Ini bisa dipahami sebagai gambaran perubahan dan
pemisahan dalam hubungan. Kembang sari, yang awalnya mungkin sempurna dan utuh,
sekarang telah terpecah.

3. "Sedang dengan cermin aku enggan berbagi": Ini adalah gambaran yang kuat tentang
seseorang yang enggan untuk melibatkan diri dalam pemahaman diri atau introspeksi. Cermin
digunakan sebagai metafora untuk gambaran diri, dan ini menciptakan gambaran konflik
batin.

4. "Jangan tunduk!": Ini adalah seruan yang menciptakan gambaran seseorang yang mencoba
untuk tetap kuat dan tegar dalam menghadapi situasi yang sulit atau perubahan dalam
hubungan.

Semua citraan, pembayangan, dan pelukisan ini berkontribusi untuk menyampaikan perasaan,
konflik, dan perubahan dalam hubungan yang diungkapkan dalam puisi ini. Mereka
membantu menciptakan visualisasi yang kuat bagi pembaca dan menghadirkan pengalaman
emosional yang lebih mendalam.

2.5 MENGANALISIS RITME, IRAMA, RIMA


Dalam puisi ini, terdapat beberapa elemen yang berkaitan dengan irama, ritme, dan rima.
Meskipun puisi ini mungkin lebih bebas dalam strukturnya, kita dapat mencari elemen-
elemen ini:

1. Irama: Puisi ini memiliki irama yang cenderung bebas dan tidak terikat pada pola irama
yang konsisten. Tidak ada pola irama metrik yang kentara, seperti pantun atau soneta, yang
mendefinisikan puisi ini. Sebaliknya, iramanya lebih bergantung pada aliran kata-kata yang
mencerminkan perasaan dan pemikiran penulis.

2. Ritme: Puisi ini juga memiliki ritme yang bervariasi. Beberapa baris pendek seperti "Aku
masih tetap sendiri" dan "Jangan tunduk!" memiliki ritme yang lebih cepat dan mengandung
tekanan pada kata-kata penting. Di sisi lain, baris seperti "Kutahu kau bukan yang dulu lagi"
memiliki ritme yang lebih lambat dengan kata-kata panjang.

3. Rima: Puisi ini tidak mengikuti pola rima yang konsisten. Tidak ada pola rima yang
berulang dalam puisi ini yang menandakan penggunaan rima yang sengaja untuk
menciptakan efek tertentu. Sebaliknya, fokusnya lebih pada ekspresi emosional dan makna
daripada struktur rima.

Puisi ini mungkin lebih fokus pada pesan dan perasaan yang ingin disampaikan daripada
konformitas dengan aturan irama, ritme, atau rima yang ketat. Ini memberikan kebebasan
kepada penulis untuk mengekspresikan perasaan mereka secara lebih bebas dan ekspresif.

2.6 MENGANALISIS GAYA BAHASA ATAU BAHASA KIAS


Puisi ini menggunakan berbagai gaya bahasa atau bahasa kias untuk menggambarkan
perasaan, konflik, dan perubahan dalam hubungan. Berikut adalah beberapa contoh gaya
bahasa yang digunakan:

1. Metafora: Metafora adalah penggunaan kata-kata untuk menggambarkan sesuatu yang


bukan secara harfiah. Contohnya adalah istilah "kembang sari sudah terbagi," yang dapat
diartikan sebagai metafora untuk perubahan dan pemisahan dalam hubungan.

2. Personifikasi: Dalam baris "Kutahu kau bukan yang dulu lagi," penulis memberikan sifat
manusia pada subjek yang mungkin abstrak, yaitu perasaan atau kenangan, dengan
menggambarkan mereka sebagai entitas yang berubah.

3. Simile: Simile adalah perbandingan yang menggunakan kata "seperti" atau "bagai." Dalam
baris "Bak kembang sari sudah terbagi," kata "bak" digunakan untuk membuat perbandingan,
menggambarkan perubahan seperti pemisahan kembang sari.

4. Paralelisme: Puisi ini memiliki struktur paralel dalam beberapa barisnya, seperti "Kalau
kau mau kuterima kau kembali / Untukku sendiri tapi" yang menciptakan pola yang berulang
untuk menyoroti konflik dalam menerima kembali seseorang.

5. Elipsis: Elipsis adalah penghilangan kata-kata yang dianggap tidak perlu dalam kalimat.
Contohnya adalah "Aku masih tetap sendiri," di mana subjek dan predikat yang lengkap
dihilangkan untuk menciptakan efek dramatis.

6. Oksimoron: Dalam baris "Dengan sepenuh hati" diikuti oleh "Aku masih tetap sendiri,"
ada oksimoron yang menunjukkan kontradiksi antara menerima dengan sepenuh hati dan
merasa kesepian atau sendiri.

Semua gaya bahasa ini digunakan dengan hati-hati dalam puisi ini untuk memperkuat makna
dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Mereka membantu menciptakan gambaran
yang lebih dalam dan nuansa emosional dalam puisi.

PUISI KEDUA

PUISI YANG BERJUDUL


MERAH
aku suka kepada merah
karena mengingat kepada darah
yang berteriak k’arah sawang
merebut terang.

darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir

darah
getah bumi
membeku
pada aku

dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang

2.1 MENGANALISIS KATA, DIKSI


Puisi "MERAH" ini menggunakan pilihan kata dan diksi yang sangat khas untuk
menciptakan suasana tertentu dan menyampaikan pesan dengan kuat. Berikut adalah
beberapa analisis terkait dengan pilihan kata dan diksi dalam puisi ini:

1. **MERAH**: Kata "merah" sendiri menjadi kata kunci dan dominan dalam puisi ini. Ini
adalah contoh yang sangat kuat dalam penggunaan warna sebagai simbol dalam puisi.

2. **darah**: Kata "darah" digunakan berulang kali dalam puisi untuk menggambarkan
koneksi erat antara warna merah dengan darah manusia. Ini menciptakan ikatan emosional
yang kuat antara warna dan kehidupan.

3. **terang**: Kata "terang" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dicuri oleh
warna merah, menciptakan kontras antara warna merah yang kuat dan elemen yang
diambilnya.

4. **waktu lahir** dan **waktu akhir**: Pemilihan kata ini menekankan siklus kehidupan,
mengaitkan darah dengan pengalaman manusia sepanjang hidup mereka.

5. **getah bumi**: Kata ini menggambarkan asal-usul darah dan menghubungkannya dengan
alam.

6. **membeku**: Kata ini memberikan nuansa dingin dan ketidakpastian dalam puisi,
menciptakan kontras dengan elemen merah yang kuat.

7. **pucat bagai siang**: Kata "pucat" dan perbandingannya dengan "siang"


menggambarkan perubahan dalam warna dan kehidupan, menciptakan citra yang kuat tentang
perubahan dan kematian.

Pilihan kata dan diksi dalam puisi ini bekerja sama untuk menciptakan gambaran yang kuat
tentang warna merah, darah, kehidupan, dan kematian. Ini memberikan nuansa emosional dan
makna mendalam pada puisi tersebut.

2.2 MENGANALISIS KATA KATA KONKRET


Dalam puisi "MERAH," terdapat banyak kata konkret yang membantu menggambarkan
gambaran dan makna dalam puisi tersebut. Berikut adalah beberapa contoh kata konkret
dalam puisi ini dan analisisnya:

1. **MERAH**: Ini adalah kata konkret yang merujuk pada warna merah secara harfiah.
Warna merah dalam puisi ini adalah simbol darah dan vitalitas kehidupan.

2. **darah**: Kata ini adalah kata konkret yang mengacu pada cairan dalam tubuh manusia.
Dalam puisi ini, darah digunakan sebagai simbol kehidupan dan kematian.

3. **terang**: Kata "terang" adalah kata konkret yang merujuk pada cahaya atau penerangan.
Dalam konteks puisi, cahaya ini mungkin menggambarkan kehidupan atau makna.

4. **waktu lahir** dan **waktu akhir**: Kata-kata ini adalah kata-kata konkret yang
mengacu pada momen kelahiran dan kematian dalam kehidupan manusia.

5. **getah bumi**: Frasa ini mengacu pada bahan alami yang ada di dalam bumi, seperti
mineral atau sumber daya alam lainnya. Ini dapat dipahami sebagai elemen bumi yang terkait
dengan darah manusia.

6. **pucat** dan **siang**: Kata "pucat" menggambarkan sesuatu yang kehilangan


warnanya atau menjadi tidak sehat. Kata "siang" adalah kata konkret yang merujuk pada
waktu dalam sehari. Dalam puisi ini, mereka digunakan untuk menciptakan kontrast antara
warna dan kehidupan.

Kata-kata konkret ini digunakan dengan sengaja dalam puisi ini untuk menciptakan citra dan
simbol yang kuat, membantu dalam menyampaikan pesan dan makna yang lebih dalam.

2.3 MENGANALISIS PENCITRAAN, PEMBAYANGAN, PELUKISAN


Puisi "MERAH" memiliki pencitraan, pembayangan, dan pelukisan yang kuat untuk
menyampaikan pesan dan makna dalam puisi tersebut. Berikut adalah analisis lebih
mendalam mengenai aspek-aspek ini:

1. **Pencitraan (Imagery)**:
- **MERAH**: Warna merah digunakan sebagai citra utama dalam puisi ini. Ini
menciptakan gambaran visual yang kuat tentang warna merah dan membantu memicu
asosiasi dengan darah dan kehidupan.
- **darah mengalir waktu lahir, darah mengalir waktu akhir**: Ini menciptakan citraan
berkelanjutan tentang aliran darah dalam kehidupan manusia, mulai dari kelahiran hingga
akhir hayat.

2. **Pembayangan (Imagination)**:
- **"yang berteriak k’arah sawang merebut terang"**: Frasa ini mengundang pembayangan
tentang darah yang "berteriak" untuk merebut cahaya atau makna. Ini menciptakan gambaran
dramatis dalam pikiran pembaca.
- **"darah getah bumi membeku pada aku"**: Pembayangan ini menggambarkan darah
yang membeku, menciptakan gambaran tentang ketidakgerakan atau kematian.

3. **Pelukisan (Depiction)**:
- **"dalam darah berbayang nyawa pucat bagai siang"**: Ini adalah pelukisan abstrak
tentang nyawa yang terbayang dalam darah, tetapi pucat seperti siang yang redup. Ini
menciptakan gambaran kontras dan mengundang refleksi tentang perubahan dalam hidup.

Pencitraan, pembayangan, dan pelukisan dalam puisi ini bekerja bersama-sama untuk
menciptakan gambaran visual, emosional, dan simbolis yang kompleks. Mereka
memungkinkan pembaca untuk merasakan kedalaman makna dalam puisi ini, yang berbicara
tentang kehidupan, kematian, dan perubahan dalam cara yang mendalam dan mengesankan.

2.4 MENGANALISIS IRAMA, RITME, RIMA

Puisi "MERAH" ini memiliki beberapa elemen yang menarik dalam hal irama, ritme, dan
rima, meskipun harus diingat bahwa puisi ini mungkin tidak mengikuti pola irama dan ritme
yang ketat. Di bawah ini adalah analisis elemen-elemen ini:
1. **Irama**:
- Puisi ini tidak mengikuti irama meter yang konsisten seperti soneta atau pantun
tradisional. Namun, ia memiliki irama alami yang muncul dari penggunaan bahasa dan ritme
kalimat.
- Beberapa kalimat dalam puisi ini lebih pendek dan tajam, seperti "aku suka kepada
merah" atau "darah mengalir waktu lahir," sementara yang lain lebih panjang dan mengalir
seperti "pucat bagai siang."

2. **Ritme**:
- Puisi ini memiliki ritme yang bervariasi. Beberapa baris puisi memiliki ritme cepat dan
energik, sementara yang lain memiliki ritme yang lebih lambat dan kontemplatif.
- Ritme dalam puisi ini mencerminkan perubahan dalam suasana dan emosi yang
diungkapkan oleh penyair. Misalnya, ketika penyair membahas kematian, ritme mungkin
menjadi lebih lambat dan berat.

3. **Rima**:
- Puisi ini tidak mengandung pola rima yang terstruktur seperti puisi berirama tradisional,
seperti soneta. Penyair mungkin lebih fokus pada pesan dan gambaran daripada pada pola
rima yang ketat.
- Beberapa kata dalam puisi ini berima, seperti "merah" dan "terang," tetapi rima ini tidak
konsisten dalam seluruh puisi.

Puisi "MERAH" ini lebih terfokus pada penggunaan bahasa dan citraan daripada pada pola
irama, ritme, atau rima yang konsisten. Ini memberikan kebebasan kepada penyair untuk
mengekspresikan makna dan emosi dengan cara yang paling sesuai dengan pesannya.

2.5 MENGANALISIS GAYA BAHASA ATAU BAHASA KIAS

Dalam puisi "MERAH," terdapat beberapa gaya bahasa dan bahasa kias yang digunakan
untuk menciptakan efek sastra dan menggambarkan makna yang lebih dalam. Berikut adalah
beberapa contoh gaya bahasa dan bahasa kias dalam puisi ini:
1. **Personifikasi**: Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kata-kata seperti "darah
yang berteriak k’arah sawang merebut terang." Darah digambarkan seolah-olah memiliki
kemampuan untuk berteriak dan berkompetisi dengan unsur-unsur lain.

2. **Metafora**: Puisi ini menggunakan metafora untuk menghubungkan warna merah


dengan darah. Warna merah dianggap sebagai representasi darah dan kehidupan manusia. Ini
adalah metafora yang kuat yang menghadirkan gambaran visual yang kaya.

3. **Simbolisme**: Penggunaan warna merah sebagai simbol darah dan kehidupan adalah
contoh simbolisme dalam puisi ini. Warna merah mewakili vitalitas, sementara darah adalah
simbol kehidupan dan kematian.

4. **Paralelisme**: Puisi ini menggunakan paralelisme dengan pengulangan kata-kata seperti


"darah mengalir waktu lahir, darah mengalir waktu akhir." Ini memberikan ritme dan
pengulangan yang kuat, yang dapat memperkuat pesan dalam puisi.

5. **Kontrast**: Ada penggunaan kontrast dalam puisi antara warna merah yang kuat dan
terang dengan elemen-elemen yang lebih gelap seperti darah yang membeku atau nyawa yang
pucat. Kontrast ini menciptakan ketegangan dan memberikan kedalaman pada puisi.

Gaya bahasa dan bahasa kias yang digunakan dalam puisi ini membantu menciptakan makna
yang dalam dan nuansa emosional yang kuat. Mereka juga memberikan puisi ini karakteristik
sastra yang khas.

Anda mungkin juga menyukai