MENGANALISIS PUISI
Dosen pengampu : Drs. Parlindungan Nadeak, M.Pd
Disusun oleh :
2022/2023
PUISI PERTAMA
Puisi ini menggunakan pilihan kata dan diksi yang cukup kuat untuk menyampaikan perasaan
dan makna yang terkandung dalam teks. Berikut adalah analisisnya secara lebih rinci:
1. Kata "mau" dan "kembali" menggambarkan harapan atau keinginan untuk melanjutkan
hubungan atau menerima kembali seseorang yang pernah dicintai.
2. Frasa "Dengan sepenuh hati" menunjukkan intensitas dan ketulusan perasaan dalam
menerima kembali.
3. Kata "sendiri" menciptakan perasaan kesendirian dan isolasi yang dialami oleh penulis.
4. Kata "tahu" dan "bukan yang dulu lagi" mengungkapkan kesadaran akan perubahan yang
terjadi pada orang yang dicintai.
5. Istilah "kembang sari" membawa konotasi keindahan dan kemurnian yang sekarang telah
hilang atau terpecah.
6. Kata "tunduk" menggambarkan keberanian untuk menghadapi kenyataan atau situasi yang
sulit.
7. Kata "cermin" mungkin digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan refleksi diri
atau gambaran dari masa lalu.
8. Pemilihan kata seperti "enggan" dan "berbagi" menggambarkan konflik emosional dan
ketidakpastian yang dirasakan penulis terhadap ide menerima kembali seseorang.
Secara keseluruhan, diksi atau pilihan kata dalam puisi ini digunakan dengan hati-hati untuk
menciptakan suasana emosional dan menggambarkan perubahan dalam hubungan serta
konflik yang dialami oleh penulis.
2.2 MENGANALISIS KATA KATA KONKRET
Mari kita analisis kata-kata konkret yang ada dalam puisi tersebut secara lebih rinci:
1. "kau" dan "aku": Kata-kata ini merujuk kepada dua individu yang mungkin pernah
memiliki hubungan, dan sekarang penulis merenungkan kembali tentang hubungan tersebut.
2. "hati": Kata ini menggambarkan perasaan dan emosi yang mendalam, menunjukkan
ketulusan dalam menerima kembali atau berhubungan dengan seseorang.
3. "sendiri": Kata ini menciptakan gambaran tentang kesendirian atau perasaan kesepian yang
dialami oleh penulis.
4. "tahu": Kata ini mengungkapkan pengetahuan atau kesadaran penulis tentang perubahan
yang telah terjadi pada orang yang mereka cintai.
5. "kembang sari": Kata-kata ini membawa konotasi tentang keindahan yang mungkin telah
terpecah atau berkurang.
6. "tunduk": Kata ini menciptakan gambaran tentang seseorang yang bersedia menghadapi
kenyataan atau situasi yang sulit.
7. "cermin": Kata ini digunakan sebagai metafora yang mungkin merujuk kepada introspeksi
atau pemahaman diri, dan ketidakpastian tentang melibatkan diri dengan orang lain.
8. "enggan" dan "berbagi": Kata-kata ini mengungkapkan perasaan penolakan atau keragu-
raguan dalam menerima kembali atau berbagi dengan seseorang yang pernah dicintai.
Kata-kata konkret ini digunakan dengan efektif dalam puisi untuk menggambarkan emosi,
perubahan, dan konflik yang dialami oleh penulis dalam konteks hubungan mereka yang
rumit.
1. "Dengan sepenuh hati": Ini adalah citraan yang menggambarkan ketulusan perasaan. Ini
menciptakan gambaran seorang individu yang bersedia menerima kembali dengan segala
perasaan dan emosi yang mereka miliki.
2. "Kutahu kau bukan yang dulu lagi / Bak kembang sari sudah terbagi": Dalam baris ini,
terdapat citraan bunga yang telah terbagi. Ini bisa dipahami sebagai gambaran perubahan dan
pemisahan dalam hubungan. Kembang sari, yang awalnya mungkin sempurna dan utuh,
sekarang telah terpecah.
3. "Sedang dengan cermin aku enggan berbagi": Ini adalah gambaran yang kuat tentang
seseorang yang enggan untuk melibatkan diri dalam pemahaman diri atau introspeksi. Cermin
digunakan sebagai metafora untuk gambaran diri, dan ini menciptakan gambaran konflik
batin.
4. "Jangan tunduk!": Ini adalah seruan yang menciptakan gambaran seseorang yang mencoba
untuk tetap kuat dan tegar dalam menghadapi situasi yang sulit atau perubahan dalam
hubungan.
Semua citraan, pembayangan, dan pelukisan ini berkontribusi untuk menyampaikan perasaan,
konflik, dan perubahan dalam hubungan yang diungkapkan dalam puisi ini. Mereka
membantu menciptakan visualisasi yang kuat bagi pembaca dan menghadirkan pengalaman
emosional yang lebih mendalam.
1. Irama: Puisi ini memiliki irama yang cenderung bebas dan tidak terikat pada pola irama
yang konsisten. Tidak ada pola irama metrik yang kentara, seperti pantun atau soneta, yang
mendefinisikan puisi ini. Sebaliknya, iramanya lebih bergantung pada aliran kata-kata yang
mencerminkan perasaan dan pemikiran penulis.
2. Ritme: Puisi ini juga memiliki ritme yang bervariasi. Beberapa baris pendek seperti "Aku
masih tetap sendiri" dan "Jangan tunduk!" memiliki ritme yang lebih cepat dan mengandung
tekanan pada kata-kata penting. Di sisi lain, baris seperti "Kutahu kau bukan yang dulu lagi"
memiliki ritme yang lebih lambat dengan kata-kata panjang.
3. Rima: Puisi ini tidak mengikuti pola rima yang konsisten. Tidak ada pola rima yang
berulang dalam puisi ini yang menandakan penggunaan rima yang sengaja untuk
menciptakan efek tertentu. Sebaliknya, fokusnya lebih pada ekspresi emosional dan makna
daripada struktur rima.
Puisi ini mungkin lebih fokus pada pesan dan perasaan yang ingin disampaikan daripada
konformitas dengan aturan irama, ritme, atau rima yang ketat. Ini memberikan kebebasan
kepada penulis untuk mengekspresikan perasaan mereka secara lebih bebas dan ekspresif.
2. Personifikasi: Dalam baris "Kutahu kau bukan yang dulu lagi," penulis memberikan sifat
manusia pada subjek yang mungkin abstrak, yaitu perasaan atau kenangan, dengan
menggambarkan mereka sebagai entitas yang berubah.
3. Simile: Simile adalah perbandingan yang menggunakan kata "seperti" atau "bagai." Dalam
baris "Bak kembang sari sudah terbagi," kata "bak" digunakan untuk membuat perbandingan,
menggambarkan perubahan seperti pemisahan kembang sari.
4. Paralelisme: Puisi ini memiliki struktur paralel dalam beberapa barisnya, seperti "Kalau
kau mau kuterima kau kembali / Untukku sendiri tapi" yang menciptakan pola yang berulang
untuk menyoroti konflik dalam menerima kembali seseorang.
5. Elipsis: Elipsis adalah penghilangan kata-kata yang dianggap tidak perlu dalam kalimat.
Contohnya adalah "Aku masih tetap sendiri," di mana subjek dan predikat yang lengkap
dihilangkan untuk menciptakan efek dramatis.
6. Oksimoron: Dalam baris "Dengan sepenuh hati" diikuti oleh "Aku masih tetap sendiri,"
ada oksimoron yang menunjukkan kontradiksi antara menerima dengan sepenuh hati dan
merasa kesepian atau sendiri.
Semua gaya bahasa ini digunakan dengan hati-hati dalam puisi ini untuk memperkuat makna
dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Mereka membantu menciptakan gambaran
yang lebih dalam dan nuansa emosional dalam puisi.
PUISI KEDUA
darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir
darah
getah bumi
membeku
pada aku
dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang
1. **MERAH**: Kata "merah" sendiri menjadi kata kunci dan dominan dalam puisi ini. Ini
adalah contoh yang sangat kuat dalam penggunaan warna sebagai simbol dalam puisi.
2. **darah**: Kata "darah" digunakan berulang kali dalam puisi untuk menggambarkan
koneksi erat antara warna merah dengan darah manusia. Ini menciptakan ikatan emosional
yang kuat antara warna dan kehidupan.
3. **terang**: Kata "terang" digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dicuri oleh
warna merah, menciptakan kontras antara warna merah yang kuat dan elemen yang
diambilnya.
4. **waktu lahir** dan **waktu akhir**: Pemilihan kata ini menekankan siklus kehidupan,
mengaitkan darah dengan pengalaman manusia sepanjang hidup mereka.
5. **getah bumi**: Kata ini menggambarkan asal-usul darah dan menghubungkannya dengan
alam.
6. **membeku**: Kata ini memberikan nuansa dingin dan ketidakpastian dalam puisi,
menciptakan kontras dengan elemen merah yang kuat.
Pilihan kata dan diksi dalam puisi ini bekerja sama untuk menciptakan gambaran yang kuat
tentang warna merah, darah, kehidupan, dan kematian. Ini memberikan nuansa emosional dan
makna mendalam pada puisi tersebut.
1. **MERAH**: Ini adalah kata konkret yang merujuk pada warna merah secara harfiah.
Warna merah dalam puisi ini adalah simbol darah dan vitalitas kehidupan.
2. **darah**: Kata ini adalah kata konkret yang mengacu pada cairan dalam tubuh manusia.
Dalam puisi ini, darah digunakan sebagai simbol kehidupan dan kematian.
3. **terang**: Kata "terang" adalah kata konkret yang merujuk pada cahaya atau penerangan.
Dalam konteks puisi, cahaya ini mungkin menggambarkan kehidupan atau makna.
4. **waktu lahir** dan **waktu akhir**: Kata-kata ini adalah kata-kata konkret yang
mengacu pada momen kelahiran dan kematian dalam kehidupan manusia.
5. **getah bumi**: Frasa ini mengacu pada bahan alami yang ada di dalam bumi, seperti
mineral atau sumber daya alam lainnya. Ini dapat dipahami sebagai elemen bumi yang terkait
dengan darah manusia.
Kata-kata konkret ini digunakan dengan sengaja dalam puisi ini untuk menciptakan citra dan
simbol yang kuat, membantu dalam menyampaikan pesan dan makna yang lebih dalam.
1. **Pencitraan (Imagery)**:
- **MERAH**: Warna merah digunakan sebagai citra utama dalam puisi ini. Ini
menciptakan gambaran visual yang kuat tentang warna merah dan membantu memicu
asosiasi dengan darah dan kehidupan.
- **darah mengalir waktu lahir, darah mengalir waktu akhir**: Ini menciptakan citraan
berkelanjutan tentang aliran darah dalam kehidupan manusia, mulai dari kelahiran hingga
akhir hayat.
2. **Pembayangan (Imagination)**:
- **"yang berteriak k’arah sawang merebut terang"**: Frasa ini mengundang pembayangan
tentang darah yang "berteriak" untuk merebut cahaya atau makna. Ini menciptakan gambaran
dramatis dalam pikiran pembaca.
- **"darah getah bumi membeku pada aku"**: Pembayangan ini menggambarkan darah
yang membeku, menciptakan gambaran tentang ketidakgerakan atau kematian.
3. **Pelukisan (Depiction)**:
- **"dalam darah berbayang nyawa pucat bagai siang"**: Ini adalah pelukisan abstrak
tentang nyawa yang terbayang dalam darah, tetapi pucat seperti siang yang redup. Ini
menciptakan gambaran kontras dan mengundang refleksi tentang perubahan dalam hidup.
Pencitraan, pembayangan, dan pelukisan dalam puisi ini bekerja bersama-sama untuk
menciptakan gambaran visual, emosional, dan simbolis yang kompleks. Mereka
memungkinkan pembaca untuk merasakan kedalaman makna dalam puisi ini, yang berbicara
tentang kehidupan, kematian, dan perubahan dalam cara yang mendalam dan mengesankan.
Puisi "MERAH" ini memiliki beberapa elemen yang menarik dalam hal irama, ritme, dan
rima, meskipun harus diingat bahwa puisi ini mungkin tidak mengikuti pola irama dan ritme
yang ketat. Di bawah ini adalah analisis elemen-elemen ini:
1. **Irama**:
- Puisi ini tidak mengikuti irama meter yang konsisten seperti soneta atau pantun
tradisional. Namun, ia memiliki irama alami yang muncul dari penggunaan bahasa dan ritme
kalimat.
- Beberapa kalimat dalam puisi ini lebih pendek dan tajam, seperti "aku suka kepada
merah" atau "darah mengalir waktu lahir," sementara yang lain lebih panjang dan mengalir
seperti "pucat bagai siang."
2. **Ritme**:
- Puisi ini memiliki ritme yang bervariasi. Beberapa baris puisi memiliki ritme cepat dan
energik, sementara yang lain memiliki ritme yang lebih lambat dan kontemplatif.
- Ritme dalam puisi ini mencerminkan perubahan dalam suasana dan emosi yang
diungkapkan oleh penyair. Misalnya, ketika penyair membahas kematian, ritme mungkin
menjadi lebih lambat dan berat.
3. **Rima**:
- Puisi ini tidak mengandung pola rima yang terstruktur seperti puisi berirama tradisional,
seperti soneta. Penyair mungkin lebih fokus pada pesan dan gambaran daripada pada pola
rima yang ketat.
- Beberapa kata dalam puisi ini berima, seperti "merah" dan "terang," tetapi rima ini tidak
konsisten dalam seluruh puisi.
Puisi "MERAH" ini lebih terfokus pada penggunaan bahasa dan citraan daripada pada pola
irama, ritme, atau rima yang konsisten. Ini memberikan kebebasan kepada penyair untuk
mengekspresikan makna dan emosi dengan cara yang paling sesuai dengan pesannya.
Dalam puisi "MERAH," terdapat beberapa gaya bahasa dan bahasa kias yang digunakan
untuk menciptakan efek sastra dan menggambarkan makna yang lebih dalam. Berikut adalah
beberapa contoh gaya bahasa dan bahasa kias dalam puisi ini:
1. **Personifikasi**: Penggunaan personifikasi dapat dilihat dalam kata-kata seperti "darah
yang berteriak k’arah sawang merebut terang." Darah digambarkan seolah-olah memiliki
kemampuan untuk berteriak dan berkompetisi dengan unsur-unsur lain.
3. **Simbolisme**: Penggunaan warna merah sebagai simbol darah dan kehidupan adalah
contoh simbolisme dalam puisi ini. Warna merah mewakili vitalitas, sementara darah adalah
simbol kehidupan dan kematian.
5. **Kontrast**: Ada penggunaan kontrast dalam puisi antara warna merah yang kuat dan
terang dengan elemen-elemen yang lebih gelap seperti darah yang membeku atau nyawa yang
pucat. Kontrast ini menciptakan ketegangan dan memberikan kedalaman pada puisi.
Gaya bahasa dan bahasa kias yang digunakan dalam puisi ini membantu menciptakan makna
yang dalam dan nuansa emosional yang kuat. Mereka juga memberikan puisi ini karakteristik
sastra yang khas.