Anda di halaman 1dari 33

Analisa Collaborative Governance Pemerintah Kota Semarang dalam

Menghadapi Kasus Stunting di Kota Semarang

Disusun Guna Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah Seminar Proposal

Dosen Pengampu:

Titik Djumiarti, S.Sos, M.Si

Disusun oleh:

Dany Shaffan Daffa

14020119140180

DEPARTEMEN ILMU ADMINISITRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Proposal : Analisa Collaborative Governance Pemerintah Kota

Semarang dalam Menghadapi Kasus Stunting di Kota

Semarang

Nama Penyusun : Dany Shaffan Daffa

Program Studi : S1 Administrasi Publik

Semarang, 30 Mei 2022

Dosen Pembimbing

Titik Djumiarti, S.Sos, M.Si

NIP. 197009251994032001
Pendahuluan

Sumber daya manusia merupakan sebuah komponen yang vital dalam sebuah

peradaban, sebab manusialah yang menjadi otak dalam sebuah kemajuan budaya,

teknologi, dan sains dalam sebuah peradaban. Suatu hal yang perlu diperhatikan jika

melihat peran penting sumber daya manusia ialah tumbuh kembang manusia tersebut

sedari menjadi anak balita. Anak balita dapat disebut sebagai bibit penerus dari

sumber daya manusia untuk masa depan sebuah peradaban, anak balita juga yang

nantinya akan menentukan keadaan sebuah bangsa dimana anak balita berada. Anak

balita yang sehat akan menjadi sosok manusia yang cerdas. Namun, permasalaha gizi

anak balita seringkali tidak diperhatikan secara mendalam.

Permasalahan gizi pada anak belita turut mencakup dalam tujuan SDGs

(Sustainable Development Goals) pada poin ke-2 yaitu “Mengakhiri Kelaparan.”

SDGs merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati pada tahun 2015 saat

siding PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) dengan persetujuan para pemimpin dunia,

termasuk Indonesia. Tujuan SDGs sendiri ialah menjaga peningkatan kualitas

kehidupan, kesejahteraan ekonomi sehingga menjadikan suatu masyarakat menjadi

madani dengan peningkatan kualitas kehidupan satu generasi ke generasi berikutnya.

Permasalahan gizi anak di Indonesia merupakan masalah serius yang dihadapi

oleh pemerintah dan masyarakat. Masalah gizi pada umumnya diakibatkan karena

merupakan kelompok umur yang paling rawan menderita kekurangan gizi disamping

defisiensi vitamin A dan anemia zat besi, dengan gangguan akibat kekurangan
yodium (GAKY) anak balita dapat dikatakan kurang energi protein (KEP).

Kekurangan zat gizi pada anak balita dapat menyebabkan anak balita menjadi kurang

gizi, infeksi penyakit dan mempengaruhi kecerdasan pada anak. Dampak dari kurang

gizi adalah akan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita.

Stunting merupakan kondisi tinggi badan anak yang lebih rendah

dibandingkan dengan tinggi badan anak pada seusianya. Di Indonesia, kasus stunting

masih menjadi masalah kesehatan dengan jumlah yang cukup banyak. Hal ini

disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dengan manisfestasi kegagalan pertumbuhan

(growth faltering) yang dimulai sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun.

Kekurangan gizi pada masa janin dan usia dini akan berdampak pada perkembangan

otak dan lain sebagainya. Dalam jangka panjang, kekurangan gizi pada awal

kehidupkan akan menurunkan produktivitas dan kemudian menghambat pertumbuhan

ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pada masyarakat.

Dalam menangani fenomena kesehatan stunting, Pemerintah Indonesia

memiliki regulasi yang disiapkan secara khusus, yaitu Peraturan Presiden Nomor 72

Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting. Dalam peraturan tersebut

dibuatnya Tim Percepatan Penurunan Stunting. Adanya peraturan tersebut juga

menyuratkan bahwa Strategi Nasional Percepatan Penuruntan Stunting yang

dilakukan secara khusus ialah menurunkan prevalensi stunting, meningkatkan

kualitas pelayanan kehidupan berkeluarga, menjamin pemenuhan asupan gizi,


memperbaiki pola asuh, meningkatkan akses mutu pelayanan, dan meningkatkan

akses air minum beserta sanitasi.

Dalam Indonesia SDGs Corporate Summit (ISCOS) 2022 [1], Wakil Presiden

Republik Indonesia saat ini (Ma’ruf Amin) menyampaikan bahwa target khusus yang

digunakan Indonesia dalam mencapai pembangunan berkelanjutan ialah memberantas

kemiskinan, dan memberantas kelaparan dan malnutrisi. Dalam hal ini target khusus

kedua yang ditetapkan berhubungan dengan pemberantasan stunting sebab dalam

arahan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam acara ISCOS 2022 tersebut bahwa

segenap elemen bangsa dituntut untuk bekerja keras sekaligus cerdas, agar target

prevalensi stunting 14% pada 2024 dapat tercapai. Berdasarkan arahan ini,

terpaparkan bahwa turunnya prevalensi stunting di Indonesia dari 30,8% pada tahun

2018 menjadi 24,4% tahun 2021, kemudian menargetkan menjadi 14% di tahun 2024

dengan artian masih ada tantangan menurunkan 10,4% lagi.

Di Kota Semarang, penurunan stunting merupakan target dari RPJMD 2021-

2026, target tersebut dirincikan sebagai capaian target prevalensi stunting yang diukur

pada anak berusia 0 sampai 59 bulan. Dalam hal ini target yang harus dicapai yaitu

sebesar 4% prevalensi stunting pada tahun 2026. Sebagai birokrat, tindakan

Pemerintah Kota Semarang tentunya tidak jauh dari teori Administrasi Publik, maka

dari itu skripsi ini akan menghubungkan salah satu teori dari Administrasi Publik

yaitu Collaborative Governance dengan tindakan Pemerintah Kota Semarang dalam

menghadapi kasus stunting.


Menurut data dari Kompas Semarang, pada tahun 2021 sebanyak 3,1 persen

dari total kelahiran di Kota Semarang mengalami stunting. Dalam hal ini terhitung

sejumlah 44.058 balita menderita stunting, jumlah balita penderita stunting tersebut

tersebar di 153 kelurahan di Kota Semarang. Berdasarkan laman tersebut

menyuratkan bahwa sebagian besar kasus stunting karena alas an ekonomi dan

orangtua yang tidak paham mengenai gizi sebagaimana wawancara yang dihaturkan

kepada Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi oleh Tim Media Kompas seperti yang

dilansi pada lama tersebut (1/3/2022).

Dalam meghadapi kasus stunting di Kota Semarang, dapat dianalisa telah

terjadinya sebuah proses Collaborative Governance dalam perspektif Ilmu

Administrasi Publik. Istilah Collaborative Governance merupakan cara pengelolaan

pemerintahan yang melibatkan secara langsung pemangku kepentingan di luar

pemerintahan, berorientasi pada konsensus dan musyawarah dalam proses

pengambilan keputusan kolektif yang bertujuan untuk membuat atau melaksanakan

kebijakan publik serta program-program publik. Secara luas, fokus Collaborative

Governance ada pada kebijakan dan masalah publik. Institusi publik memang

memiliki orientasi besar dalam pembuatan kebijakan, tujuan dan proses kolaborasi

adalah mencapai derajat konsensus diantara para pemangku kepentingan.

Collaborative governance menghendaki terwujudnya keadilan sosial dalam

memenuhi kepentingan Publik. Jadi dapat didefinisikan bahwa fokus collaborative

governance ada pada kebijakan dan masalah publik. Institusi publik memang
memiliki orientasi besar dalam pembuatan kebijakan, tujuan dan proses kolaborasi

adalah mencapai derajat konsensus diantara para pemangku kepentingan.

Collaborative Governance menghendaki terwujudnya keadilan sosial dalam

memenuhi kepentingan publik. Jadi dapat didefinisikan Collaborative Governance

adalah sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan hubungan yang dikelola tanpa

memandang sebuah organisasi tersebut formal atau informal.

Setelah dianalisa, kasus sebuah bentuk Collaborative Governance yang

dilakukan oleh Dinas BKKBN Kota Semarang berlandaskan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga, maka Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga

Berencana Kota Semarang diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas ini

dibidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana salah

satunya adalah pencegahan stunting dengan program keluarga berencana atau KB,

dan Posyandu.

Program KB berarti pendampingan para pasangan suami istri yang hamil,

bahkan calon suami istri untuk mendata, mengawasi, dan mengedukasi pemberian

gizi yang pas hingga proses kelahiran sang anak. Kegiatan Posyandu berarti

pemantauan proses pertumbuhan balita hingga di usia tertentu. Dalam

pengimplementasiannya kegiatan ini, Dinas BKKBN tidak bisa berjalan sendiri. Perlu

adanya mitra hingga menembus lapisan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu

kegiatan KB dan Posyandu bermitra kelompok-kelompok yang ada di daerah.


Program KB oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

Kota Semarang menggambarkan bahwa di balik program ini, masih menyimpan

masalah yang serius. Dalam implementasinya, meskipun telah dilakukan sosialisasi

tentang dampak stunting yang massive namun hal ini masih terbilang belum cukup

efektif. Kecamatan Semarang Utara masih menjadi wilayah penyumbang angka

stunting yang paling tinggi yaitu sebanyak 633 anak, yang disusul dengan Kecamatan

Banyumanik 330 anak, dan Kecamatan Pedurungan 314 anak. Sebagian masyarakat

masih beranggapan bahwa stunting bukanlah masalah yang krusial yang harus

ditangani, melainkan stunting terjadi karena faktor keturunan atau genetik. Anggapan

ini didukung oleh faktor perilaku masyarakat yang cenderung menikah di usia muda

dengan pekerjaan yang belum mapan dan kondisi mental yang belum siap untuk

menjadi seorang ibu, terhitung dengan pengetahuan tentang tumbuh kembang bayi

yang masih minim. Selain program KB Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga

Berencana Kota Semarang juga secara bertahap mengurangi presentase stunting

melalui program Bina Keluarga Balita (BKB) yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan orangtua untuk mengasuh serta membina tumbuh

kembang anak.

Dalam konteks implementasi kebijakan, Dinas Pengendalian Penduduk dan

Keluarga Berencana Kota Semarang sebagai salah satu yang diberikan kewenangan

terkait program keluarga berencana untuk pencegahan stunting di Kota Semarang

dituntut tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan secara standar namun


pelayanan kesehatan yang prima dengan mengedepankan kualitas yang dibutuhkan

untuk memberikan hasil yang lebih baik yaitu penurunan angka presentase stunting di

Kota Semarang. Terlebih ditengah upaya mengatasi persoalan stunting, saat ini kita di

kagetkan dengan munculnya Pandemic Corona Virus Disease, yang mengganggu

sistem ekonomi, pangan dan kesehatan, yang pada akhirnya situasi ini juga akan

berdampak pada program nasional keluarga berencana untuk mengurangi stunting.

Salah satu bentuk implementasi dari pencegahan stunting tersebut dari Dinas

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang ialah program

Keluarga Berencana (KB). Bentuk implementasinya ialah membuat Klinik yang

dikhususkan untuk Keluarga Berencana atau KKB (Klinik Keluarga Berencana) dan

Pos Pelayanan Keluarga Berencana Desa (PPKBD). Dalam hal tersebut terdapat data

jumlah KKB dan PKKBD di kecamatan Kota Semarang pada tahun 2022 menurut

data dari web semarang kota sebagai berikut,

Nomo Kecamatan (Subdistrict) Klinik Keluarga Pos Pelayanan

r Berencana (KKB) Keluarga Berencana

Desa (PPKBD)

1. Mijen 2 14

2. Gunungpati 2 16

3. Banyumanik 5 11

4. Gajah Mungkur 3 8

5. Semarang Selatan 7 10
6. Candisari 2 7

7. Tembalang 3 12

8. Pedurungan 3 12

9. Genuk 4 13

10. Gayamsari 2 7

11. Semarang Timur 7 10

12. Semarang Utara 2 9

13. Semarang Tengah 4 15

14. Semarang Barat 7 16

15. Tugu 2 7

16. Ngaliyan 4 10

Sumber: Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang (2022)

Berdasarkan data tersebut maka dapat dianalisis bahwa Pemerintah Kota

Semarang memberikan fasilitas untuk mendukung program kebijakan dari Dinas

Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana sebagai bentuk kekhususan akan

pentingnya kebijakan tersebut. Dalam bahasan ini maka dapat dianalisa kembali

jumlah penduduk dan jumlah penduduk partisipan Program Keluarga Berencana.

Bahasan tersebut perlu turut dianalissi karena sebanyak apapun fasilitias yang

diberikan maka akan sia sia apabila sedikit partisipan yang mengikuti program

tersebut. Maka hal ini turut menuntut penyebaran kebaikan Keluarga Berencana bagi

Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang untuk


melakukan sosialisasi atau semacamnya untuk penduduk Kota Semarang mengetahui

dan tertarik akan program Keluarga Berencana. Sebagai berikut merupakan table dari

jumlah penduduk pasangan yang berusia subur dan peserta KB menurut Kecamatan

di Kota Semarang pada tahun 2022

Nomor Kecamatan (Subdistrict) Pasangan yang Peserta aktif

memenuhi syarat program Keluarga

Berencana

1. Mijen 13.259 10.698

2. Gunungpati 15.909 12.389

3. Banyumanik 22.433 17.403

4. Gajahmungkur 8.005 6.281

5. Semarang Selatan 8.537 6.536

6. Candisari 10.793 8.097

7. Tembalang 30.724 22.731

8. Pedurungan 33.236 25.936

9. Genuk 20.130 15.934

10. Gayamsari 11.669 9.108

11. Semarang Timur 9.622 7.528

12. Semarang Utara 18.433 14.442

13. Semarang Tengah 6.659 5.305


14. Semarang Barat 23.502 17.527

15. Tugu 5.811 4.554

16. Ngaliyan 24.651 19.282

Total: 263.737 193.053

Sumber: Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang

(2022)

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pastisipasi penduduk

pasangan yang disyaratkan terhadap partisipasinya terhadap Program Keluarga

Berencana di Kota Semarang. Data tersebut pula yang menunjukkan bahwa perlunya

Keluarga Berencana di Kota Semarang mulai dimarakkan. Sebagaimana hal tersebut

dapat terbilang bahwa sebab dalam data terpaparkan penduduk yang berpasangan

sebanyak 70,684 pasangan yang memenuhi syarat untuk mengikuti Program KB tapi

tidak mengikutinya. Program KB ini bermitra Komunitas dibawah Dinas BKKBN,

kecamatan, kelurahan, rukun warga (RW), hingga instansi kepemerintahan terkecil

yaitu tukun tetangga (RT).

Dalam program Posyandu, implementasi pengawasan secara berkala telah

dilakukan oleh Dinas BKKBN Kota Semarang dengan ikut turun membina secara

langsung kepada kader posyandu. Memberikan pelatihan ilmu serta orientasi kepada

kader di posyandu bertujuan untuk menambah ilmu dan untuk mengetahui para kader

posyandu apakah sudah paham atau belum mengenai pelaksanaan posyandu di

masyarakat berkaitan dengan kesehatan pada anak balita. Terutama adanya laporan
cakupan kesehatan balita yang masih rendah. Itu menjadi perioritas yg dikunjungi

oleh Dinas BKKBN Kota Semarang.

Peranan posyandu sangat penting dalam upaya pemenuhan hak atas kesehatan

pada balita karena melalui posyandu dapat melakukan Pemantauan Status Gizi (PSG).

Skrining gizi pada anak balita dapat manjadi indikator awal dalam menentukan

derajat kesehatan, serta program tambahan dengan pemberian imuniasi, vitamin dan

PMT di posyandu. Dengan adanya posyandu sangat membantu upaya dalam

meningkatkan kesehatan yg lebih baik.

Pelaksanaan agar pelayan posyandu sesuai yang diharapkan di masyarakat

maka pemerintah telah mengatur pada Pasal 2 ayat (1) Permen Dalam Negeri Nomor

19 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar Di Pos

Pelayanan Terpadu bahwa dijelaskan pengertian tentang Posyandu merupakan wadah

pemberdayaan masyarakat yang dibentuk melalui musyawarah mufakat

desa/kelurahan yang dikelola oleh pengelola Posyandu. Untuk Pendirian posyandu

melalui sepengetahuan dari kepala desa atau lurah di setiap masing-masing

daerahnya. Posyandu yang didirikan di setiap daerah dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan, permasalahan dan kemampuan sumber daya yang ada. Kegiatan Posyandu

meliputi anatara lain pendaftaran, penimbangan, pencatatan, pelayanan kesehatan,

penyuluhan kesehatan, percepatan penganekaragaman pangan, dan peningkatan

perekonomian keluarga.
Selain itu dalam layanan sosial dasar di Posyandu juga memberikan arahan

kepada masyarakat khususnya untuk ibu dan anak balita yakni:

1. Pembinaan gizi dan kesehatan yang ditujukan kepada ibu, bayi dan

balita;

2. Pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan;

3. Prilaku hidup bersih dan sehat;

4. Bina Keluarga Balita (BKB) untuk anak usia 0 (nol) sampai dengan 5

(lima) tahun dan ibu hamil;

5. Pos PAUD untuk anak usia 0 (nol) sampai dengan 6 (enam) tahun.

Kegiatan Posyandu ini bermitra Komunitas dibawah BKKBN, kecamatan,

kelurahan, RW, RT, dan kader Posyandu yang dipilih oleh RW dan Kelurahan.

Masalah stunting merupakann sebuah masalah kompleks sebab masalah

tersebut menaik beberapa masalah lain untuk dijadikan sebagai faktornya. Masalah

stunting kemudian menjadi sebuah momok yang ada di masyarakat termasuk di Kota

Semarang. Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana yang merupakan

stakeholder dalam masalah tersebut memiliki solusi tersendiri untuk menghadapi

stunting, yaitu dengan mengadakan Program KB kepada masyarakat yang memenuhi

syarat dan cenderung yang memiliki ekonomi tidak stabil. Maka Penelitian ini

membahas tentang Pengaruh Program Keluarg Berencana Oleh Dinas Pengendalian

Penduduk dan Keluarga Berencana terhadap Masalah Stunting di Kota Semarang.


1. 2. Identifikasi Masalah

1. Dampak Stunting yang buruk untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

2. Peran sebagai Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota

Semarang.

3. Implementasi Program Keluarga Berencana di Kota Semarang.

4. Pengaruh Program Keluarga Berencana terhadap permasalahan Stunting di

Kota Semarang.

5. Signifikansi Program Keluarga Berencana terhadap permasalahan Stunting di

Kota Semarang.

1. 3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan, maka perumusan masalah

dalam makalah ini adalah

1. Apa saja dampak terjadinya Stunting baik jangka pendek maupun jangka

panjang?

2. Bagaimana Peran Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

Kota Semarang dalam Pencegahan Stunting?

3. Bagaimana implementasi Program Keluarga Berencana seiring permasalahan

stunting yang ada di Kota semarang?


4. Apa pengaruh dari Program Keluarga Berencana terhadap permasalahan

Stunting?

5. Apa pengaruh dari Program Posyandu terhadap permasalahan Stunting?

1. 4. Tujuan Penelitian

Secara umum, merupakan sebuah rencana yang ditetapkan sebelum penelitian

dilaksanakan. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai berdasarkan perumusan

masalah diatas sebagai berikut:

A. Untuk mendeskripsikan peran yang dilakukan Dinas Pengendalian Penduduk

dan Keluarga Berencana Kota Semarang disaat Kota Semarang dilanda

permasalahan Stunting yang dapat berakibat buruk baik jangka pendek

maupun jangka panjang.

B. Untuk mendeskripsikan signifikansi adanya Program Keluarga Berencana

sebagai solusi dari Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

Kota Semarang untuk mengendalikan permasalahan Stunting di Kota

Semarang

1. 5. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian merupakan dampak dari pencapaian sebuah tujuan.

Melalui uraian dan pembahasan yang terdapat dalam penelitian ini diharapkan dapat

berguna bagi berbagai pihak, antara lain:


A. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan ilmu administrasi publik terutama terhadap sebuah bentuk pelayanan

publik di bidang pemberdayaan manusia serta menjadi bahan kajian studi banding

dalam rangka penelitian berikutnya.

B. Manfaat Praktis

 Bagi Peneliti

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengalaman bagi

peneliti dalam melakukan penelitian serta dapat mengaplikasikan teori-teori yang ada.

 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang dibutuhkan

masyarakat mengenai peran Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana

Kota Semarang terhadap permasalahan Stunting yang mana menjadi momok

permasalahan dalam masyarakat itu sendiri. Di lain hal, penelitian ini diharapkan

dapat menjadikan masyarakat turut memantau kinerja pemerintahan,

 Bagi Pemerintah

Penelitian ini bermanfaat bagi Dinas Pengendalian Penduduk dan

Keluarga Berencana Kota Semarang untuk dijadikan bahan evaluasi untuk


mengembangkan kebijakan dalam mengatasi permasalahan Stunting di Kota

Semarang.

1. 6. Kerangka Teori

Dalam penelitian kualitatif, untuk mempermudah memahami permasalahan

mengenai Collaborative Governance dan kasus stunting di Kota Semarang. Peneliti

menggunakan kerangka konseptual dengan tujuan untuk mengeksplorasi rumusan

masalah. Penggunaan kerangka konseptual ini dapat dijadikan sebagai model

konseptual, tinjauan pustaka, atau sebagai suatu konsep yang membantu menjelaskan

apa yang berusaha ditemukan oleh seorang peneliti.

1. 6. 1. Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul jurnal Hasil Penelitian

Ardian Candra, Hertanto Determinan kejadian Determinan kejadian

W. Subagio, Ani stunting pada bayi usia 6 stunting pada bayi usia 6

Margawati. bulan di Kota Semarang. bulan adalah tingkat

ekonomi keluarga,

kejadian ISPA, kejadian

diare, berat badan lahir,

dan tingkat pendidikan

ibu. Determinan yang

tidak terbukti sebagai


determinan kejadian

stunting adalah pemberian

ASI Eksklusif, pemberian

MP ASI dini, alokasi

waktu asuh ibu, tinggi

badan ibu, dan lingkar

kepala bayi. Determinan

utama kejadian stunting

pada bayi usia 6 bulan

adalah tingkat ekonomi

rumah tangga.

Lailatuz Zuhriyah Revitalisasi Peran Petugas Revitalisasi peran Petugas

Lapangan Keluarga Lapangan Keluarga

Berencana (PLKB) Dalam Berencana (PLKB) tidak

Meningkatkan Peserta terlepaskan dari peran

Keluarga Berencana (Studi BKKBN. Perbedaan peran

di Kecamatan Banyumanik PLKB terjadi karena

Kota Semarang) berubahnya bentuk

organisasi KB, dimana

setelah ditetapkannya

kebijakan otonomi daerah


hal ini menyebabkan

termasuk program KB

ditangani oleh masing-

masing daerah, sehingga

masing-masing daerah pun

memiki komitmen yang

berbeda-beda terhadap

program KB. Terdapat

berbagai bentuk organisasi

KB di masing-masing

daerah, ada yang

berbentuk badan, kantor

maupun dinas. Organisasi

KB di masing-masing

daerah juga tidak hanya

menangani KB saja,

melainkan digabungkan

dengan bidang-bidang

lain. Adanya berbagai

bidang yang ditangani oleh

organisasi KB hal ini


menyebabkan tugas PLKB

tidak hanya fokus dalam

melaksankan 10 langkah

kerja, sehingga perlu

adanya pengembalian

tugas dan peran PLKB

agar tujuan atau sasaran

dapat tercapai dengan

maksimal

Ali Rosidi, Agustin Optimalisasi Beberapa faktor diprediksi

Syamsianah Perkembangan Motorik berhubungan dengan

Kasar dan Ukuran perkembangan motorik

Antropometrio Anak kasar balita, yaitu :

Balita di Posyandu pendidikan ibu dan ukuran

“Balitaku Sayang” antropometri. Jenis ukuran

Kelurahan Jangli antropometri yang

Kecamatan Tembalang berhubungan dengan

Kota Semarang perkembangan motorik

kasar balita adalah indeks

BB/U, TB/U, dan IMT/U.

Hasil analisis multivariat


terhadap faktor yang

dipredikasi berhubungan

menunjukkan bahwa

ukuran antropometri yang

paling berpengaruh

terhadap perkembangan

motorik kasar balita adalah

indeks TB/U dan IMT/U.

1. 6. 3. Administrasi Publik

Banyak para ahli yang memberikan definisi pada Administrasi Publik,


diantaranya adalah:

Menurut Pfiffener dan Presthus dalam Syafiie (2010:23), Administrasi Publik


adalah:

1. Administrasi Publik meliputi implementasi kebijakan pemerintah yang telah


ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik;
2. Administrasi Publik dapat didefinisikan koordinasi usaha-usaha perorangan
dan kelompok untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. Hal ini terutama
meliputi pekerjaan sehari-hari pemerintah;
3. Secara global, administrasi publik adalah suatu prses yang bersangkutan
dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengarahan kecakapan,
dan teknik-teknik yang tidak terhitung jumlahnya, memberikan arah dan
maksud terhadap usaha sejumlah orang.
Menurut Nigro dan Nigro dalam Syafiie (2010:24) definisi Administrasi
Publik ialah:

1. Administrasi Publik adalah suatu kerja sama kelompok dalam lingkungan


pemerintahan;
2. Administrasi Publik meliputi ketiga cabang pemerintahan: eksekutif,
legislatif, yudikatif serta hubungan di antara mereka;
3. Administrasi Publik mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan
pemerintah, dan karenanya merupakan sebagian dari proses politik;
4. Administrasi Publik sangat erat berkaitan dengan berbagai macam kelompok
swasta dan perorangan dalam menyajikan pelayanan kepada masyarakat;
5. Administrasi Publik dalam beberapa hal berbeda pada penempatan pengertian
dengan administrasi perseorangan.

Berdasarkan pengertian Administrasi Publik yang dikemukakan oleh para


ahli, dapat disimpulkan bahwa Administrasi Publik merupakan implementasi dari
setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, dikoordinasi oleh kelompok
swasta/pemerintah maupun perseorangan untuk melayani kebutuhan masyarakat.

Perkembangan suatu disiplin ilmu dapat ditelusuri dari perubahan paradigma.


Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar,
atau cara memecahkan suatu masalah, yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada
suatu masa tertentu. Apabila suatu cara pandang tertentu mendapat tantangan dari
luar dan mengalami krisi atau anomelis, maka kepercayaan dan wibawa dari cara
pandangang tersebut menjadi luntur atau berkurang. Orang mulai mencari cara
pandang yang lebih sesuai, atau dengan kata lain muncul paradigma baru.
Administrasi Publik, menurut Nicholas Henry dalam Syafiie (2010:27) telah
mengalami pergeseran paradigma, diantaranya sebagai berikut.
1. Dikotomi antara Publik dan Administrasi Publik (1900-1926). White dalam
tulisannya dengan judul “Politic of Administration” pada tahun 1900
mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi publik
untuk memusatkan perhatiannya pada pembuat kebijakan sesuai kehendak
rakyat, dan fungsi administrasi untuk memberi perhatianya kepada
implementasi dari kebijakan tersebut. Paradigma ini hanya ditekankan pada
lokusnya saja yaitu birokrasi pemerintahan tetapi fokus apa yang harus
dikembangkan dalam administrasi publik kurang di bahas secara jelas dan
terperinci.
2. Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937) Tokoh terkenal dalam
paradigma ini adalah Willoughby, L. Gullick, dan L. Urwick yang sangat
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh manajemen klasik seperti Fayol dan Taylor.
Mereka memperkenalkan prinsip-prinsip administrasi sebagai fokus
administrasi publik. Paradigma ini tidak mengungkapkan secara jelas dimana
letak lokus administasi publik.
3. Paradigma Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik (1950-1970). Para
paradigma ini telah terjadi pertentangan bahwa seharusnya Administrasi
Publik bebas nilai (value-free) dari kepentingan-kepentingan apapun namun
kenyataannya Administrasi Publik tidak bebas nilai. Birokrasi pemerintah
tidak lagi sebagai pelayanan publik namun sebagai kekuatan politik untuk
mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, muncul paradigma yang
menganggap Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik, dimana lokusnya
adalah birorasi, sedangkan fokusnya kabur.
4. Paradigma Administrasi sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970) Paradigma
ini, prinsip-prinsip manajemen yang pernah populer dikembangkan secara
ilmiah dan mendalam. Perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan
teknologi modern, merupakan fokus paradigma Adminstrasi sebagai Ilmu
Administrasi. Paradigma ini diasumsikan dapat diterapkan tidak hanya dalam
dunia bisnis tetapi juga dalam dunia administrasi publik, oleh karena itu
lokusnya menjadi tidak jelas.
5. Paradigma Administrasi sebagai Administrasi Publik (1970-sekarang)
Paradigma ini memiliki fokus dan lokusnya yang jelas, fokus administrasi
publik adalah teori organisasi, teori manajemen, dan kebijakan publik.

Berdasarkan penjelasan pergeseran paradigma Administrasi Publik yang


dikemukakan oleh Nicholas Henry, bahwa adanya pemisahan administrasi publik dan
ilmu politik agar administrasi publik tetap bebas nilai dengan fokus administrasi
publik sebagai pelayanan publik/masyarakat.

Selain Nicholas Henry, G. Shabbir Cheema dalam Keban (2008:37)


mengungkapkan empat fase administrasi publik yang juga menggambarkan
perkembangan paradigma administrasi publik. Empat paradigma tersebut adalah:

1. Traditional public administration, yang berorientasi pada hierarki,


kontinuinitas, ketidakberpihakan, standarisasi, legal-rational, otoritas, dan
profesionalitas.
2. Public Management, yang menguatkan pada penerapan prinsip-prinsip
manajemen termasuk efisiensi dalam pemakaian sumber daya, efektivitas,
orientasi pada pelanggan, dan lain-lain.
3. New Public Management, yang diarahkan pada prinsip fleksibilitas,
pemberdayaan, inovasi, dan orientasi hasil yang berbasis kinerja.
4. Governance, suatu sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-
urusan ekonomi, sosial, dan politik dikelola melalui interaksi antara
masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Paradigma ini mengutamakan
mekanisme dan proses dimana warga masyarakat dan kelompok dapat
mengartikulasikan kepentingannya.

1. 6. 4. Collaborative Governance
Dalam Retno (2020) memaparkan bahwa Kolaborasi antara institusi

pemerintah (internal) dalam pelaksanaan penyelesaian permasalahan, pemerintah

memiliki departemen-departemen yang fokus terhadap satu sektor, tetapi ada pula

instansi pemerintah yang menangani pelayanan publik secara bersama-sama (lintas

sektor) dikarenakan diperlukannya keterlibatan antar instansi.

Kolaborasi antara lembaga pemerintah dan lembaga bisnis, banyak literatur

mengatakan bahwa kemitraan antara lembaga pemerintah dan bisnis pertama kali

dikembangkan sebelum kemitraan antara lembaga pemerintah dan lembaga

masyarakat. Lembaga bisnis sering dianggap memiliki tradisi dan nilai efisiensi

dan inovasi yang lebih baik daripada lembaga pemerintah. "Positive Image" yang

dimiliki oleh bisnis sering disebut sebagai pertimbangan pemerintah untuk

berkolaborasi dengan institusi bisnis. Selain menjadi instrumen kebijakan untuk

meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah, kemitraan antara keduanya

sering merupakan simbol politik untuk menunjukkan kepedulian pemerintah

terhadap upaya meningkatkan efisiensi pemberian layanan publik. Melalui

kemitraan ini mereka berharap bahwa mereka akan dievaluasi secara positif oleh

warga, misalnya, mereka dianggap memiliki upaya serius untuk menjadi lebih

efisien, responsif dan mampu memberikan layanan publik yang baik. Di sisi lain,

motivasi utama bagi lembaga bisnis untuk melakukan kemitraan, secara umum,

adalah untuk mengakses sumber daya pemerintah. Melalui kemitraan, mereka

dapat mengakses sumber daya yang tersedia di lembaga pemerintah yang dapat
digunakan untuk mengatasi sejumlah masalah publik yang sering terjadi di sekitar

mereka.

1. 6. 5. Stunting

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya
asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil)
dari standar usianya.

Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor


keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang
hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal seperti yang
diketahui, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil
pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi,
budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan
masalah yang sebenarnya bisa dicegah.

Salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini
bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal
dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap
untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Tipe Penelitian

Pada penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Menurut ahli Perreault dan McCarthy (dalam Tahura, 2019:38) penelitian

kualitatif merupakan model penelitian yang berupaya menelusuri data secara intensif
dan terbuka atas semua respon jawaban. Moleong (2011:6) berpendapat penelitian

kualitatif merupakan penelitian dengan tujuan berupaya mengerti secara mendalam

dan keseluruhan mengenai kejadian yang dialami subjek penelitian, dengan

mendeskripsikan ke dalam bahasa dan menggunakan metode ilmiah. Selanjutnya

menurut Sugiyono (2012:8), pendekatan kualitatif merupakan gaya penelitian yang

digunakan untuk meneliti terhadap keadaan subjek/objek secara alami, peneliti

merupakan instrumen kunci, mengumpulkan dan menganalisis data dengan

triangulasi bersifat induktif, serta hasil penelitian lebih memfokuskan terhadap makna

daripada generalisasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

penelitian dengan metode deskriptif kualitatif adalah serangkaian aktivitas dengan

tujuan guna mencari dan mendapatkan data mendalam dengan hasil lebih

memfokuskan terhadap makna. Pada penelitian ini, metode yang digunakan oleh

peneliti adalah metode deskriptif kualitatif, hal ini dikarenakan penelitian ini

bertujuan dalam rangka mengetahui dan memahami lebih lanjut mengenai analisa

Collaborative Governance yang dilakukan oleh BKKN Kota Semarang dalam

menghadapi kasus stunting di Kota Semarang

1.7.2 Situs Penelitian

Pada penelitian ini, situs penelitian dilakukan di BKKBN Kota Semarang dan

berada di beberapa tempat lokasi Puskesmas KB dan Posyandu di Kota Semarang.

BKKBN Kota Semarang merupakan salah satu intansi kepemerintahan yang dinilai
sangat aktif dalam lapisan kehidupan masyarakat, oleh karena itu maka hal-hal yang

berkaitan dengan BKKBN Kota Semarang dijadikan sebuah acuan data dalam

kehidupan kebermasyarakatan dalam pengendalian stunting di Kota Semarang.

1.7.3 Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, subjek penelitian yaitu kasus Collaborative Governance yang

dilaksanakan oleh BKKBN Kota Semarang dalam menghadapi kasus stunting di Kota

Semarang. Pihak yang menjadi informan ialah pegawai instansi dari BKKBN Kota

Semarang.

1.7.4. Jenis Data

Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif. Data

kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, skema, dan

gambar.

1.7.5 Sumber Data

Pada penelitian ini, sumber data berdasarkan data primer dan data sekunder yaitu:

1. Data Primer Data primer yaitu hasil data yang bersumber dan didapatkan

secara langsung dari subjek/objek penelitian oleh peneliti. Data yang

didapatkan pada penelitian ini adalah data langsung dari BKKBN Kota

Semarang
2. Data Sekunder Data sekunder yaitu hasil data yang didapatkan tidak

langsung dari subjek/objek penelitian. Peneliti mendapatkan data tersebut

dari data yang sudah diolah dan dikumpulkan oleh orang lain. Data ini

didapatkan dengan cara mengambil data dari buku, artikel jurnal, artikel

berita, serta dokumen lain yang berhubungan dengan topik penelitian.

1.7.6 Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data adalah suatu proses mencari dan meringkas data secara

sistematis yang diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan

cara mengelompokkan data ke dalam kategori, mendeskripsikan unit yang ada,

mensintesis, dan menyusunnya. Menurut Miles (2014) proses analisis data

kualitatif dilakukan melalui tiga tahapan yaitu:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan aktivitas memilah, memfokuskan, menyederhanakan,

mengabstraksi, dan mengubah bentuk data-data dari hasil pengumpulan data, agar

data tersebut dapat memberikan representasi yang lebih jelas atas hasil wawancara,

observasi, dan dokumentasi dari penelitian.

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan kumpulan data dan informasi yang telah disusun untuk

membantu menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Pada penelitian kualitatif,

data disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, tabel, grafik, dan lain-lain. Data
yang disajikan dengan baik akan memudahkan peneliti dalam memahami makna dan

informasi atas data tersebut.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan aktivitas membuat simpulan pada data yang telah

disajikan menjadi lebih bermakna lebih umum, namun tetap melakukan pembatasan

pada ruang lingkup studi penelitian yang telah di tentukan agar tidak terlalu meluas

dan dapat isi penelitian

1.7.7 Kualitas Data

Untuk mengetahui keabsahan atau validitas data penelitian perlu dilakukan

pengecekan sesuai dengan kriteria tertentu. Teknik mengecek keabsahan data

penelitian ini dilakukan dengan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah

teknik untuk memeriksa keabsahan data menggunakan hal-hal selain data untuk

pemeriksaan data dan perbandingan dengan data. Teknik triangulasi penelitian ini

menggunakan triangulasi sumber data dengan membandingkan data dari sumber

yang berbeda
Referensi

Babel, Yulianto. (2021). Pandemi, Angka Stunting di Kota Semarang Naik. Halo
Semarang. https://halosemarang.id/bappeda-pandemi-angka-
stunting-di-kota-semarang-naik. Diakses pada 22 Mei 2022.
Sunu, Retno, Hardi Warsono, dan Abd. Rachim. (2020). Collaborative Governance:
Dalam Perspektif Administrasi Publik. https://doc-
pak.undip.ac.id/1143/1/collaborative%20gov%20%20%28revisi
%29_5%207%2020-converted-.pdf. Diakses pada 22 Mei 2022.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2019). Rencana Strategis Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah 2018-2023.
https://dinkesjatengprov.go.id/v2018/storage/2019/12/Renstra-
2018-2023-Fix.pdf. Diakses pada 20 Mei 2022.
Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Semarang. (2017). Data
Laporan KB. https://disdaldukkb.semarangkota.go.id/. Diakses
pada 20 Mei 2022.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Balita Pendek (Stunting) di
Indonesia: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan RI.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusd
atin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf. Diakses pada 19 Mei
2022.
Inu Kencana Syafiie; Supardan Modeong; Tanjung, Jamaludin. (1994). Ilmu
administrasi publik / oleh Inu Kencana Syafiie, Djamaludin
Tandjung, Supardan Modeong. Jakarta : Rineka Cipta.
Candra, Ardian, Hertanto W. Subagio, dan Ani Margawati. (2020). Determinan

kejadian stunting pada bayi usia 6 bulan di Kota Semarang.

Jurnal Unnes.

Zuhriyah, Lailatuz. (2021). Revitalisasi Peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana

(PLKB) Dalam Meningkatkan Peserta Keluarga Berencana

(Studi di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang). Jurnal

Unimus.

Rosidi, Ali, dan Agustin Syamsianah. (2020). Optimalisasi Perkembangan Motorik

Kasar dan Ukuran Antropometrio Anak Balita di Posyandu

“Balitaku Sayang” Kelurahan Jangli Kecamatan Tembalang

Kota Semarang. Jurnal Unimus.

Anda mungkin juga menyukai