Disusun oleh :
Kelompok 1
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
umat manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Shalawat dan
salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membimbing
umatnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 8
B. Saran ....................................................................................................................... 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harus disadari bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk berpikir dan
menggunakan akal sebanyak mungkin. Orang yang tidak berpikir jauh dari kebenaran dan
menjalani kehidupan yang penuh dengan kebohongan dan kesalahan. Akibatnya individu
tidak akan mengetahui tujuan dari penciptaan alam dan makna keberadaannya di dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud metode berpikir ilmiah?
2. Apa yang dimaksud metode deduktif?
3. Apa yang dimaksud metode induktif?
4. Apa kelebihan dan kelemahan metode deduktif dan induktif?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang metode berpikir ilmiah.
2. Untuk mengetahui tentang metode deduktif.
3. Untuk mengetahui tentang metode induktif.
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan metode deduktif dan induktif.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris ditulis dengan method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, metode
mengandung arti ‘cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan’.
Selanjutnya, berpikir ilmiah merupakan suatu proses atau aktivitas manusia untuk
menemukan atau memperoleh pengetahuan yang dicirikan oleh sebab-akibat, analisis, dan
sintesis. Wahana berpikir ilmiah adalah sebagai alat metode ilmiah dalam memenuhi
fungsinya dengan benar. Jadi, fungsi berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah
untuk memperoleh pengetahuan atau teori lainnya. Berpikir ilmiah adalah pemikiran logis dan
empiris. Logika itu logis dan empiris dibahas secara mendalam atas dasar fakta yang dapat
dibenarkan, selain menggunakan akal untuk merenung, memutuskan, dan mengembangkan.
Dengan demikian, metode berpikir ilmiah adalah suatu cara atau prosedur untuk
memperoleh pengetahuan melalui proses berpikir atau mengembangkan pemikiran yang
tersusun secara sistematis serta didasarkan pada logika deduktif dan induktif. 1
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting dalam membantu manusia untuk
memperoleh pengetahuan cakrawala baru dalam menjamin eksistensi kehidupan manusia.
Dengan menggunakan metode berpikir ilmiah, manusia terus mengembangkan
pengetahuannya. Menurut Sugiharto (1996) ada 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1 Nur’aeni, Psikologi Eskperimen: Teori dan Implementasi, (Purwokerto: UMP Press, 2021), hlm. 2.
2
Dari keempat itulah, manusia memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar
kemajuan manusia. Namun cara yang keempat ini, sering disebut sebagai cara ilmuwan
dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya, metode ilmiah digunakan untuk mengungkap
dan mengembangkan ilmu melalui cara kerja penelitian. Cara kerja ilmuwan dengan
penelitian ilmiah muncul sebagai reaksi dari tantangan yang dihadapi manusia. Pemecahan
masalah melalui metode ilmiah tidak akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan
menggunakan metode ilmiah memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk
memecahkan setiap masalah yang dihadapinya
B. Metode Deduktif
Metode berpikir deduktif boleh disebut metode berpikir ilmiah yang mula-mula
muncul dan diterapkan oleh para ilmuwan sejak zaman Yunani dan Romawi sampai pada
masa Galileo (1564-1642) dan Renaisance. Metode berpikir yang dipelopori oleh Aristoteles
ini menjadikan silogisme (qiyas manthiqi) sebagai dasar bagi pengembangannya; sehingga
pendekatan silogistik tersebut merupakan satu-satunya metode yang efektif dalam cara
berpikir sistematis pada zaman Yunani dan Romawi itu. 2 Pola pikir ini kemudian diwarisi
dan dikembangkan oleh para pemikir muslim seperti Al-Kindi (809-873), Al-Farabi (881-
961), Ibn Sina (980-1037), Ibn Rusyd (1126-1198), dan lain-lain di abad pertengahan
dengan nama ilmu manthiq. Cara berpikir berdasarkan silogisme ini pada abad pertengahan
itu mencapai puncaknya, sehingga terkesan seakan-akan mereka mengabaikan kenyataan
empirik. Sebagai contoh, ketika mereka ingin memecahkan masalah mengenai berapa jumlah
gigi seekor kuda? Bukannya mereka mengamati langsung ke dalam mulut kuda dan
menghitung berapa giginya, melainkan mereka menggunakan logika. Pola pikir ini mirip
sekali dengan yang diterapkan oleh Aristoteles. Berangkat dari kenyataan itu, maka tampak
peranan para pemikir muslim tersebut dalam pengembangan pola pikir deduktif ini sangat
menentukan, khususnya dalam menghubungkan mata rantai peradaban umat manusia masa
Yunani kuno dengan abad modern. Bahkan sampai ke Indonesia metode berpikir ini
dipelajari secara intensif seperti ditemukan pada berbagai pondok pesantren dan madrasah,
terutama yang beraliran salaf, yakni dengan nama ilmu manthiq.
2
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 87.
3
Berpikir deduktif ialah pola pikir yang berangkat dari hal-hal yang bersifat umum
seperti dalam silogisme yang dikembangkan oleh para ilmuwan di masa lampau, misalnya
dikatakan “Semua manusia akan mati, Socrates adalah manusia, maka Socrates juga akan
mati”. Tampak dengan jelas pola pikir ini dibangun atas dua premis (qadhiyah) yaitu premis
mayor (semua manusia akan mati) dan premis minor (Socrates adalah manusia). Kemudian
ditarik kesimpulam umum (Socrates juga akan mati). Berdasarkan kaidah atau teori itu lalu
diamati kenyataannya di tengah masyarakat, maka ternyata hal itu benar adanya. Apabila
pola pikir semacam ini diterapkan pada kajian tafsir, maka ayat-ayat Al-Qur’an ditempatkan
pada posisi kaidah atau teori, lalu dari situ diamati kenyataan yang ada di lapangan atau di
tengah masyarakat. Misalkan kita ingin mengetahui sikap dan perilaku keberagamaan kaum
munafik. Jika kita langsung mengamatinya di tengah masyarakat, maka itu artinya kita
berpikir induktif. Sebaliknya, jika kita awali proses pengamatannya dengan mencari
informasi berkenaan dengan munafik itu di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, maka itulah pola
berpikir deduktif. Sebagai contoh, dalam QS. An-Nisa ayat 142-143:
َ ُ إ ِ َّن الْ ُم ن َا ف ِ قِ ي َن ي
َّ خ ا ِد عُ و َن َّللاَّ َ َو ه َُو َخ ا ِد ع ُ ُه ْم َو إ ِ ذ َ ا ق َ ا ُم وا إ ِ ل َ ى ال
ص ََل ة ِ ق َ ا ُم وا
ً ِاس َو ََل ي َ ذْ كُ ُر و َن َّللاَّ َ إ ِ ََّل ق َ ل
يَل َ َّ كُ سَ ا ل َ ٰى ي ُ َر ا ءُ و َن ال ن
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa: 142).
َ ُِم ذ َبْ ذ َب ِ ي َن ب َ يْ َن ٰذ َ ل
ْ ُ ك ََل إ ِ ل َ ٰى ٰهَ ُؤ ََل ِء َو ََل إ ِ ل َ ٰى ٰهَ ُؤ ََل ِء ۚ َو َم ْن ي
ض لِ ِل َّللاَّ ُ ف َ ل َ ْن
ً ِ ت َِج د َ ل َ ه ُ سَ ب
يَل
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk
kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-
orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk)
baginya.” (QS. An-Nisa: 143).
Selanjutnya dalam QS. At-Taubah ayat 54 dan 67:
4
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya
melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan
sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka,
melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At-Taubah: 54).
Itulah sembilan butir kriteria munafik yang diinformasikan ayat-ayat di atas. Sembilan
butir kriteria itu boleh disebut suatu teori atau konsep mengenai sosok seseorang yang
munafik. Untuk mendapatkan pengetahuan yang valid dan rinci tentang hal itu, maka
dilakukanlah penelitian di tengah masyarakat dengan menjadikan kesembilan kriteria itu
sebagai acuan dasar, sehingga didapatkan data yang representatif, siapa saja dan berapa
jumlah mereka yang memenuhi kesembilan kriteria itu. Tidak menutup kemungkinan
sembilan kriteria tersebut bersifat kumulatif, tidak secara individual. Artinya, bila dilihat
pada masing-masing individu, boleh jadi ditemukan hanya sebagian kriteria, dan pada
individu yang lain ditemukan sebagian kriteria yang lain pula. Namun, bila dihimpun semua
kriteria itu, maka secara kumulatif berjumlah sembilan kriteria. Dari data itu dapat
diketahui persentase siapa yang munafik dan siapa pula yang benar-benar mukmin.
Begitulah gambaran penerapan metode berpikir deduktif dalam penelitian tafsir.
5
C. Metode Induktif
Berpikir induktif adalah kebalikan berpikir deduktif, yakni diawali dari hal-hal yang
rinci dan bersifat individual di lapangan, kemudian menghasilkan suatu kesimpulan yang
bersifat umum. Metode induktif yang muncul ke permukaan pada permulaan abad ke-17
ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Kemunculannya boleh dikatakan
‘pemberontakan’ terhadap metode deduktif yang dinilainya tidak cukup handal untuk
menemukan kebenaran, bahkan dianggapnya pemikiran deduktif yang berlebihan
menyebabkan dunia keilmuan mengalami kemacetan. Dalam konteks ini Bacon, menulis:
“Kepelikan alam jauh lebih besar daripada kepelikan argumen”. 3 Ucapan Bacon ini memberi
isyarat yang jelas bahwa berpikir deduktif tidak dapat dipercaya untuk mendapatkan
kebenaran. Oleh karenanya dia mengajukan metode induktif, yakni mengamati langsung
fakta yang ada di lapangan pada setiap individu. Dari fakta itu baru kemudian disimpulkan.
Dengan demikian kebenaran yang diperoleh benar-benar berpijak pada dasar empirik yang
kokoh karena didasarkan pada fakta yang valid. Metode yang dicetuskan Bacon ini
kemudian diikuti oleh Galileo, Lavoisier, dan lain-lain. Kemudian ilmuwan pada abad
modern tidak puas dengan metode induktifnya Bacon, maka muncullah Charles Darwin
(1809- 1882) memelopori metode kovergensi, yakni menggabungkan metode deduktifnya
Aristoteles dengan metode induktifnya Bacon. 4
Penggabungan dua metode ilmiah ini ialah menggabungkan antara logika murni
dengan pengamatan empirik di lapangan. Inilah dasar pijakan metode keilmuan modern
sampai sekarang dan menandai kemajuan terakhir dari manusia dalam menjabarkan ilmu
yang bersifat empiris.
Penelitian tafsir dapat diterapkan dengan menggunakan kedua metode berpikir, yaitu
deduktif dan induktif, ataupun menggabungkan keduanya sekaligus (deduktif-induktif).
Dalam contoh yang dikemukakan sebelumnya berkenaan dengan sikap keberagamaan seorang
munafik, jika diawali prosesnya dengan menemukan informasinya dari ayat-ayat Al-
Qur’an, kemudian baru melacaknya di tengah masyarakat pada setiap individu, maka itu
adalah pola pikir deduktif. Sebaliknya, jika proses pencarian itu langsung kepada individu
di tengah masyarakat, kemudian baru dicarikan argumennya secara dogmatis dari ayat-ayat
Al-Qur’an, maka itulah pola berpikir induktif dalam kajian tafsir. Jadi benarlah bahwa
3
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 88.
4
Ibid., hlm. 90
6
kajian tafsir dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode berpikir
ilmiah tersebut, atau menggabungkan keduanya sekaligus. Dengan menggabungkan kedua
metode itu sekaligus maka jauh lebih baik karena akan menghasilkan kesimpulan yang
lebih representatif bila dibandingkan dengan hanya menggunakan satu metode saja.
KELEBIHAN KELEMAHAN
DEDUKTIF - Kebenarannya lebih pasti - Kurang subur bagi
pengembangan ilmu
pengetahuan
- Tidak menghasilkan
pendapat/teori baru karena
selalu terangkum dalam
kaidah umum yang telah
ada
INDUKTIF - Lebih subur bagi pengembangan - Tidak mempunyai
ilmu pengetahuan karena kebenaran yang pasti
mendasarkan pada fakta empirik karena menggunakan fakta
berupa temuan-temuan baru yang terbatas
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode berpikir ilmiah digunakan untuk mendapatkan suatu pengetahuan dan dapat
diimplementasikan melalui metode deduktif dan induktif. Metode deduktif adalah suatu
metode yang berpangkal dari kaidah umum untuk menyusun penjelasan suatu kejadian
yang khusus. Metode deduktif biasanya berupa menarik kesimpulan dengan cara yang
disebut silogisme. Silogisme merupakan cara menarik kesimpulan dengan jalan
membandingkan suatu permasalahan (premis minor) dengan suatu pendapat tertentu yang
sudah diakui kebenarannya (premis mayor). Adapun metode induktif adalah suatu metode
yang berpangkal pada sejumlah fakta untuk menyusun suatu kaidah yang berlaku umum.
B. Saran
Makalah yang kami susun tentunya sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu,
kami selaku penulis menyarankan kepada pembaca untuk lebih aktif mencari literatur yang
berkaitan dengan materi ini agar lebih inovatif. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam
makalah ini, akhir kata, kami ucapkan terimakasih.
8
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin & Erwati Aziz. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2019.
Nur’aeni. Psikologi Eskperimen: Teori dan Implementasi. Purwokerto: UMP Press, 2021.
Purwanto, Tinggal. Pengantar Studi Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press, 2013.