Anda di halaman 1dari 25

2

MODUL PERKULIAHAN

SYSTEM
MODELING
AND
SIMULATION
Pengantar dan Contoh Penerapan Soft
System Methodology (SSM)

Abstract Kompetensi
Modul ini menguraikan bagaimana Mahasiswa mampu menjelaskan kembali
menguraikan secara ringkas dan dan menguraikan Pengantar dan Contoh
sederhana tentang Pengantar dan Penerapan Soft System Methodology
Contoh Penerapan Soft System (SSM) di bidang industri
Methodology (SSM) di bidang industri,

PENGANTAR SOFT-SYSTEM METHODOLOGY


Pendekatan Soft System Methodology (SSM) merupakan pendekatan sistem
yang ebih humanis dan non-determinsitik yang sangat memperhitungkan

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh


Teknik Program W532100003 Hasbullah
Studi Magister Teknik
Industri 14 (2B1532EL)
berbagai aspek dalam perilaku, baik perilaku organisasi maupun perilaku
manusia. SSM dikelompokkan dalam “soft” operation research tools, sebagai
alternatif dari “hard” model matematik dan model keputusan konvensional
yang merupakan tools yang ada pada bidang operation research (OR). SSM
adalah sebuah metodologi untuk menganalisis dan pemodelan sistem yang
mengintegrasikan teknologi (hard) sistem dan human (soft) system. Soft
System Methodology (SSM) adalah pendekatan untuk pemodelan proses di
dalam organisasi dan lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan
manajemen perubahan, di mana organsiasi pembelajar itu sendiri merupakan
manajemen perubahan. SSM dikembangkan di Inggris oleh Peter Checkland di
System Department - Universitay of Lancaster selama sepuluh tahun program
penelitian, dan dipulikasikan pertama kali pada tahun 1981.

Kegunaan utama Soft System Methodology (SSM) adalah untuk menganalisis


kondisi yang rumit (complex system) di mana terdapat perbedaan sudut
pandang tentang definisi masalah pada soft problem atau masalah-masalah
yang berkaitan dengan perilaku organisasi dan manusia yang sifatnya tidak
deterministic. Soft System Methodology (SSM) secara spesifik dikembangkan
pada tahun 1970-an untuk menghadapi situasi normal dimana orang-orang
mempunyai persepsi sendiri mengenai dunia dan membuat judgements dengan
menggunakan nilai-nilai mereka sendiri. SSM merupakan metodologi action
research yang ditujukan untuk mengeksplorasi, menanyakan dan belajar
mengenai situasi permasalahan yang tidak terstruktur (sistem soft) agar dapat
mem- perbaikinya (Attefalk & Langervik, 2001). Checkland (2000)
memberikan beberapa pemikiran kunci yang menjadi dasar dari SSM, yaitu :

1. Dalam memikirkan mengenai sistem dunia nyata yang memerlukan


perbaikan, merupakan hal manusiawi jika orang-orang men- coba
untuk melakukan tindakan bertujuan (purposeful activity) yang
bermanfaat untuk mereka. Hal ini mengarah pada ide untuk
memodelkan sistem aktivitas manusia yang bertujuan (purpo- seful
human activity system) sebagai suatu himpunan dari aktivitas-

2
aktivitas berhubungan yang dapat menunjukkan sifat-
sifat emergent dari tujuannya.
2. Dalam usaha memodelkan aktivitas bertujuan, maka dilakukan
eksplorasi tindakan-tindakan di dunia nyata. Eksplorasi tersebut
ternyata menghasilkan banyak interpretasi yang mungkin untuk
setiap pernyataan sasaran. Untuk itu pertama kali harus dipilih
interpretasi yang paling relevan dalam mengeksplorasi situasi,
tergantung dari sudut pandang (world view atau weltanschauung)
yang merupakan dasar dari model tersebut.
3. Sudut pandang merupakan hasil dari proses pembelajaran (learning
processes). Pembelajaran di sini yang membuat ide pemodelan
aktivitas bertujuan merupakan konsep bermanfaat. Oleh karena itu
proses pemodelan di sini dapat dilihat sebagai proses penyelidikan
(inquiring process).

Ide dasar dari pemikiran sistem ‘soft’ ialah konsep sistem digunakan sebagai
cara untuk menyelidiki ke dalam dunia yang dipersepsikan. Ide-ide sistem
berdasarkan konsep ‘a whole’ di mana suatu organisasi dapat dilihat sebagai
suatu keseluruhan yang utuh dimana keseluruhan (the whole) lebih berarti
daripada jumlah bagian-bagiannya (Koestler, 1967). Hal ini mencakup ide di
mana suatu ke- seluruhan dapat menggambarkan sifat-sifat emergent. Sifat-
sifat dari bagian tidak mempunyai arti jika tidak dalam konteks keseluruhan
(Avison & Fitzgerald, 1995; Checkland & Scholes, 1990).

Akan lebih baik untuk menggunakan istilah ‘holon’ dalam membedakan


konsep teoritis dari sistem dunia yang dipersepsikan, daripada menggunakan
istilah ‘sistem’ yang biasa digunakan (Checkland & Scholes, 1990; Koestler,
1967). Suatu holon ialah sejenis model yang spesial yang mengorganisasikan
pemikiran dengan cara ide-ide sistem (Lane & Olivia, 1998). Sistem aktivitas
manusia merupakan jenis spesifik dari holon yang dibentuk dari sekumpulan
aktivitas yang saling berhubungan dengan adanya saling ketergantungan untuk
membuat keseluruhannya bertujuan (Attefalk & Langervik, 2001).

3
Selalu ada beberapa perspektif berbeda dari dunia karena dunia dibentuk oleh
pengalaman, latar belakang, pendidikan, kultur dan perhatian dari orang-orang
yang mempersepsikannya. Oleh karena itu tidak ada persepsi yang benar dari
dunia nyata (Dahlbom & Mathiassen, 1993). Dunia ini sangat kompleks,
problematikal dan misterius, tetapi diasumsikan bahwa proses
penyelidik- kannya dapat diorganisasikan sebagai suatu sistem. Akibatnya
penggunaan istilah sistem tidak lagi diaplikasikan ke dalam dunia, tetapi pada
proses kita menghadapi dunia (Checkland & Holwell, 1998; Checkland &
Scholes, 1990).

Ide-ide sistem digunakan sebagai cara untuk menyelidiki dan didasarkan pada
konsep ‘belajar’ bukan pada konsep optimisasi (Lewis, 1994; Checkland &
Scholes, 1990). Sistem adalah persepsi mengenai dunia yang kita modifikasi
dan kita tingkatkan pada waktu kita meng- hadapi perspektif lain atau
penga- laman baru dengan belajar (Dahlbom & Mathiassen, 1993). Merupakan
hal penting untuk dapat dimengerti bahwa ide mengenai sistem di sini bukan
merupakan cara untuk mendeskripsi- kan apa yang ada tetapi merupakan cara
untuk mendeskripsikan inter- pretasi mengenai apa yang ada atau suatu
pemikiran mengenai apa yang relevan dengan apa yang ada. Dengan demikian
dimungkinkan bagi analis untuk secara eksplisit memikirkan mengenai situasi
dunia nyata (Wilson, 1984).

Merupakan sifat manusia untuk mempunyai pengertian tertentu mengenai


bagaimana dunia yang dia persepsikan. Pengertian ini didapatkan dari
pengetahuan yang berbasiskan pengalaman peneliti tersebut. Jika peneliti
memiliki perasaan bahwa ada hal-hal yang dapat lebih baik dari yang mereka
persepsikan, maka persepsi mengenai dunia mempunyai masalah yang perlu
diberikan perhatian (Checkland & Scholes, 1990). Dalam pemikiran soft,
permasalahan tidak terjadi dengan cara sedemikian sehingga memungkinkan
untuk mengisolasinya. Oleh karenanya, lebih tepat untuk mendekati persoalan
bukan sebagai ‘masalah’, tetapi sebagai ‘situasi permasalahan’ (Attefalk &

4
Langervik, 2001). Hal tersebut merupakan bagian dari dunia yang kita
persepsikan, yaitu situasi permasalahan, yang akan dipelajari dan dieksplorasi
(Wilson, 1984).

PROSES PENGANTAR SOFT-SYSTEM METHODOLOGY


SSM digunakan untuk melaksanakan penelitian dengan pendekatan sistemik
dengan cara menggambarkan situasi permasalahan secara lebih kongkrit,
membangun model konseptual dan menformulasi kesimpulan dari penelitian
(Attefalk & Langervik, 2001). Proses SSM dapat dibagi menjadi 4 aktivitas
utama, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Dari 4 aktivitas tersebut,
aktivitas 1 sampai dengan 3 merupakan aktivitas pengumpulan data,
pembuatan model konseptual dan memformulasi perubahan fisibel yang
diinginkan. Sedangkan aktivitas ke 4 ialah aktivitas untuk melakukan
perbaikan dari situasi permasalahan karena esensi awal dari SSM ialah untuk
melakukan perbaikan (action research).

Gambar 1. Model empat aktivitas SSM (Checkland & Scholes, 1990)

Seperti yang tampak pada Gambar 1, proses SSM dapat dibagi menjadi 4
aktivitas utama (Checkland dan Scholes, 1990). Aktivitas pertama yaitu

5
menemukan situasi perma- salahan, termasuk aspek kultural dan politik.
Aktivitas kedua memformulasi model-model aktivitas bertujuan yang relevan
dengan situasi permasalahan. Bagian ketiga melakukan diskusi mengenai
situasi permasalahan dengan membandingkan model-model dengan situasi
nyata dan merumuskan rekomendasi untuk perubahan-perubahan yang dapat
memperbaiki situasi. Tahap yang terakhir ialah melakukan tindakan untuk
memperbaiki situasi permasalahan.

Menemukan situasi permasa- lahan, dimaksudkan untuk mendapatkan


sebanyak mungkin persepsi mengenai situasi permasalahan dari sejumlah
orang yang terkait. Sebagai alat untuk mengumpulkan persepsi, maka SSM
sangat berguna untuk membuat ekspresi awal dari situasi permasalahan dengan
membangun gambaran sekaya mungkin yang mungkin dari situasi
permasalahan. Metoda yang sering digunakan dalam menggambarkan situasi
permasalahan ialah Rich Picture Diagram.

Membangun model-model aktivitas yang bertujuan (purposeful activity


models) atau model konseptual, merupakan representasi dari semua hal pada
situasi nyata dengan memperhitungkan konsep-konsep dari aktivitas-aktivitas
bertujuan yang sebenarnya. Model-model aktivitas bertujuan ini berbasis pada
sudut pandang (worldview) dari orang-orang yang terkait dengan situasi
permasalahan (Checkland & Scholes, 1990). Membangun model-model ini
dimulai dengan pemilihan aktivitas-aktivitas bertujuan relevan yang dapat
diturunkan dari tugas-tugas primer atau dari isu-isu (Checkland & Scholes,
1990). Di sini dibutuhkan definisi yang jelas dari aktivitas bertujuan yang akan
dimodelkan (root definition) dan dikonstruksi dari ekspresi aktivitas-aktivitas
bertujuan sebagai proses Transformasi (T) (Checkland, 2000).

Root definition merupakan deskripsi yang meringkas sifat-sifat dasar dari


sistem aktivitas manusia dengan setiap deskripsi dibuat berdasarkan pada
pandangan yang spesifik (Attefalk & Langervik, 2001).

6
Struktur dari root definition dapat diekspresikan sebagai “suatu sistem untuk
melakukan P dengan menggunakan Q untuk dapat mencapai R”. Pada definisi
ini proses transformasi akan menjadi alat Q. R diasosiasikan dengan tujuan
jangka panjang pemilik. Hal yang penting bahwa alat Q dipilih yang benar-
benar bekerja untuk memproduksi output, R (Checkland & Scholes, 1990).
Untuk setiap root definition kemudian diuji kinerjanya dengan uji 3E
(efficacy, efficiency dan effectiveness) dan kemudian dapat diorganisasikan
dengan menelusuri ketergantungannya sehingga dapat membentuk suatu model
konseptual.

Gambar 2. Prosedur logikal untuk membangun model-model aktivitas


(Checkland, 2000)
Model-model dibangun hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir dan
digunakan sebagai basis untuk diskusi mengenai bagaimana memperbaiki
situasi yang dinyatakan sebagai permasalahan. Diskusi ini diorganisasikan
dengan membanding- kan model-model yang berbasis pada sudut pandang
7
berbeda pada persepsi pada situasi permasalahan pada dunia nyata. Tujuan
diskusi bukan untuk memperbaiki model, tetapi untuk menemukan
penyesuaian diantara sudut pandang yang berbeda pada situasi permasalahan.
Penyesuaian tersebut akan digunakan untuk membuat perbaikan pada situasi
permasalahan.

SSM merupakan bentuk action research yang terdiri dari sekumpulan prinsip-
prinsip yang mengarahkan tindakan dalam usaha untuk mengelola situasi
permasalahan dunia nyata (Attefalk & Langervik, 2001). SSM sangat berguna
dalam melaksanakan tindakan yang bertujuan untuk dapat mengubah situasi
nyata secara konstruktif yang menghasilkan perbaikan pada situasi
permasalahan (Checkland dan Scholes, 1990).

DESAIN PENELITIAN PROSES DENGAN MENGGUNAKAN SSM


SSM bermanfaat pada berbagai jenis penelitian dalam tahap pengumpulan dan
analisis data. Menurut Strauss & Corbin (1990), berdasarkan pendekatan
analisis datanya maka penelitian dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1. Penelitian dengan data yang tidak dianalisis dan diterima apa adanya
tanpa atau dengan sedikit sekali interpretasi apapun.
2. Penelitian dengan data yang dianalisis secara deskriptif (seleksi dan
interpretasi) secara akurat dengan maksud untuk mengurangi data..
3. Penelitian dengan maksud untuk membangun teori, yaitu
pengem- bangan interpretasi yang dijelaskan secara teoritis.

Jenis penelitian yang pertama dapat menggunakan prinsip-prinsip pemodelan


SSM dalam menggambarkan proses dari fenomena yang diteliti sehingga
fenomena yang diteliti dapat dijelaskan dengan lebih terstruktur dan
komprehensif.
Jenis penelitian yang kedua dapat menggunakan prinsip-prinsip pemodelan
SSM untuk menggambarkan proses dari fenomena yang diteliti dan kemudian
melakukan analisis (seleksi dan interpretasi) pada model-model yang
dihasilkan sehingga dapat diperoleh data proses sesuai dengan kriteria yang

8
diinginkan. Jenis penelitian yang ketiga merupakan pembangunan teori yang
menghasilkan teori substantif yang diperoleh dari lapangan. Metodologi yang
biasanya digunakan ialah Grounded Theory. Oleh karena di sini dapat
dilakukan penggunaan pemo- delan SSM di dalam proses pembangunan teori
dengan menggunakan Grounded Theory.

Penelitian grounded theory diperkenalkan pertama kali oleh Barney Glasser


dan Anselm Strauss pada tahun 1967 (Creswell, 1998). Penelitian dengan
menggunakan grounded theory dilakukan jika peneliti perlu untuk
mengobservasi atau berpartisipasi dalam perilaku sosial dan mencoba untuk
mengerti perilaku tersebut (Babbie, 1992). Grounded Theory merupakan
desain penelitian kualitatif yang memungkinkan peneliti untuk menurunkan
konstruk dan membangun teori dari data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti bukan dari teori yang sudah ada (Adebayo, 2004).

Grounded theory memberikan peneliti suatu kemampuan untuk menurunkan


teori di dalam konteks data yang dikumpulkan. Strauss dan Corbin (1990)
mendeskripsikan grounded theory sebagai suatu teori yang diturunkan dari data
yang secara sistematis dikumpulkan dan dianalisis melalui proses penelitian.
Perbedaan antara metoda grounded theory dan metoda penelitian yang lain
ialah khususnya pada pendekatan filosofi pengembangan teori, yaitu yang
menyarankan seharusnya ada hubungan kontinyu antara pengum- pulan data
dan analisis data (Adebayo, 2004). Salah satu kekuatan dari grounded
theory ialah sifat kompre-hensif dari perspektif yang dapat diperoleh oleh
peneliti. Dengan cara langsung terjun ke dalam fenomena penelitian dan
mengobservasinya selengkap mungkin maka peneliti dapat mengembangkan
pengertian yang dalam dan lengkap.
Peneliti grounded theory dapat mengenali berbagai nuansa sikap dan perilaku
yang tidak dapat diperoleh oleh peneliti menggunakan metoda lain (Babbie,
1992). Baik metoda grounded theory maupun SSM sesuai untuk diterapkan
pada permasalahan dengan karak- teristik yang tidak terstruktur atau
sistem soft seperti pada penelitian proses. Walaupun demikian kedua metoda

9
tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan yang dapat saling
mengisi satu dengan lainnya jika digunakan secara bersama-sama.
Metoda grounded theory menurunkan teori dari data lapangan dengan prinsip
menekankan hubungan yang simultan antara pengumpulan data dengan analisis
data sehingga memungkinkan penelitian kualitatif fleksibel.

Peneliti dapat tetap terbuka terhadap hal-hal tak terduga dari lapangan sehingga
teori yang dihasilkan benar-benar berdasarkan fakta yang ada. SSM
menggunakan pendekatan sistem dalam memodelkan sistem soft dengan
menggunakan prosedur standar yang rinci sehingga peneliti dapat mengikuti
langkah-langkah pemodelan dengan mudah. Dengan menggunakan SSM
proses pengkodean data untuk membentuk model konseptual dapat
dilaksanakan dengan lebih baik dan terstruktur.

SSM pada dasarnya merupakan action research dan bertujuan untuk dapat
memperbaiki suatu sistem “soft”, mendapatkan data dengan melakukan diskusi
eksploratori dengan orang-orang yang terkait di dalam situasi permasalahan
dan mempunyai sudut pandang (weltanschauung) yang berbeda.
Dalam grounded theory yang bertujuan untuk membangun teori, penggunaan
SSM di sini bukan untuk memperbaiki situasi permasalahan tetapi digunakan
untuk memodelkan situasi permasalahan penelitian proses strategi menjadi
lebih mudah untuk dilakukan.

Dalam proses pengambilan data digunakan konsep-konsep grounded


theory diperkuat dengan pembuatan rich picture diagram untuk mengenali
situasi permasalahan seperti pada SSM. Pengenalan situasi permasalahan
dimaksudkan untuk meningkatkan theoretical sensitivity agar dapat
mengarahkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku manajer pemilik IK
yang unggul sesuai dengan situasi permasalahannya. Selain itu dalam
penelitian ini juga dilakukan elaborasi dari literatur-literatur yang ada untuk
menjadi panduan dalam pengambilan data secara in-depth interview.

10
Peng- gunaan literatur dimaksudkan juga untuk meningkatkan theoretical
sensitivity sehingga data yang diambil komprehensif.

Proses analisis data kualitatif dengan menggunakan metoda grounded


theory mengikuti 3 tahap pengkodean yaitu open coding, axial
coding dan selective coding. Pengkodean tersebut merupakan proses yang
sangat abstrak dan tergantung dari keahlian dan pengetahuan peneliti. Menurut
Strauss (1987) pengkodean merupakan operasi yang paling sulit untuk peneliti
yang kurang berpengalaman untuk dapat mengerti dan menguasainya. Hal ini
terutama karena proses pengkodean tersebut hanya memberikan arahan umum
dalam membentuk model konseptual yang akan digunakan dalam membangun
teori. SSM meng- gunakan langkah-langkah terstruktur guna memodelkan
sistem yang tidak terstruktur sehingga lebih mudah untuk diikuti oleh peneliti
walaupun yang mempunyai sedikit pengalaman mengenai situasi
permasalahan.

Penelitian proses strategi dengan menggunakan proses analisis data kualitatif


menggunakan metoda pemodelan SSM sehingga diharapkan dapat
meningkatkan transparansi dan kemampuan untuk dapat diulangi
(reproducibility) dari penelitian. Tahapan proses analisis pada grounded
theory dapat disetarakan dengan proses pemodelan pada SSM sehingga dapat
meningkatkan validitas terbentuknya teori dari segi prosesnya. Pada open
coding yaitu pengkodean yang pertama data dimampatkan menjadi katagori-
katagori atau tema-tema dan pada pengkodean yang kedua axial
coding katagori-katagori tersebut kemudian diorganisasikan dan
diidentifikasikan sebab dan kon- sekuensinya (presedensinya).

Kedua tahap pengkodean tersebut dapat disetarakan dengan langkah-langkah


pemodelan di dalam SSM yaitu pembangunan model konseptual yang dimulai
dari pemilihan model-model aktivitas bertujuan (atau disebut juga tema atau
katagori), menjelaskan menggunakan root definition, melaku- kan uji 3E serta
mengorganisasikan sesuai dengan ketergantungannya (presedensinya) untuk

11
membentuk model konseptual. Model-model konseptual yang telah diuji
verifikasi kemudian akan digunakan pada pengkodean terakhir (selective
coding) untuk mengidentifikasikan alur cerita dan membangun teori. Langkah-
langkah pemodelan sesuai SSM dilakukan simultan dengan pengambilan data
sesuai dengan konsep grounded theory.
Langkah-langkah penelitian proses dengan menggunakan SSM dan grounded
theory adalah sebagai berikut:
1. Langkah pertama ialah memahami situasi permasalahan.
Pembuatan rich picture diagram diharapkan dapat menggambarkan
situasi permasalahan sekaya mungkin dan sebaik-baiknya. Rich
picture menggambarkan kondisi situasi permasalahan dengan
lingkungannya. Dari langkah pertama tersebut maka dapat ditentukan
obyek penelitian yang relevan dengan situasi permasalahan.
2. Langkah ke dua ialah membuat model konseptual dari situasi
permasalahan. Pembuatan model konseptual dimulai dengan
meng- umpulkan data sesuai dengan Panduan Wawancara yang
dibuat dengan bantuan teori-teori pendukung yang ada untuk
meningkat kan theoretical sensitivity. Panduan Wawancara tersebut
hanya digunakan sebagai panduan untuk membangkitkan tanya jawab
mengenai materi yang diinginkan sehingga data yang didapatkan
diharapkan dapat komprehensif. Panduan Wawancara tidak bersifat
statis dan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan data di
lapangan. Hasil dari langkah ke dua ini berupa data tugas-tugas
atau issue yang kemudian dapat dibuat menjadi beberapa holon yang
disebut aktivitas bertujuan. Suatu aktivitas bertujuan merupakan
gabungan aktivitas-aktivitas yang saling bergantungan satu dengan
lainnya untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Setiap aktivitas
bertujuan didefinisikan root definition yang diekspresikan dalam
bentuk akronim CATWOE dan PQR. Dari beberapa aktivitas
bertujuan tersebut kemudian harus dibuat model konseptual perilaku
manajer pemilik IK dalam mem- bangun keunggulan kompetitif.
Model konseptual tersebut terdiri dari aktivitas-aktivitas bertujuan

12
yang telah diuji kinerjanya yaitu dengan uji 3E (efficacy,
efficiency dan effectiveness). Uji efficacy yaitu menguji apakah
aktivitas bertujuan tersebut memang dapat menghasilkan keluaran
sesuai yang diinginkan. Uji efficiency yaitu menguji apakah aktivitas
bertujuan tersebut menggunakan sumber daya minimum. Kemudian
uji effectiveness, yaitu menguji apakah aktivitas bertujuan tersebut
dapat secara efektif mencapai tujuan jangka panjang yang diinginkan.
3. Langkah ke tiga merupakan langkah verifikasi model-model
konseptual yang dihasilkan dengan dunia nyata yaitu dengan
melakukan rekonstruksi historis (historical reconstruction) aktivitas-
aktivitas yang mem- bangun aktivitas bertujuan ter- sebut. Jika
terdapat perbedaan model-model konseptual dengan dunia nyata
maka dilakukan perbaikan model konseptual sesuai dengan yang
sebenarnya telah terjadi. Model yang tidak membutuhkan perbaikan
lagi dijadikan model konseptual yang telah siap untuk dilakukan
analisis. Tahap ini dilakukan untuk memastikan validitas model yang
dihasilkan sehingga teori yang kemudian dihasilkan benar-benar
diperoleh dari kondisi di lapangan.
4. Tahap selanjutnya ialah tahap pembentukan teori dengan melakukan
analisis pada model-model konseptual yang telah dihasilkan.
Pembentukan teori dilakukan dengan menggunakan selective
coding di mana diidentifikasikan alur cerita dari setiap model,
mempresentasikan proposisi kondisional atau hipo- tesis (jika ada),
membandingkan dan melihat secara selektif kasus-kasus. Dari hasil
analisis tersebut kemudian dapat dikembangkan katagori-katagori
(tema atau konsep) yang secara sistematis berhubungan untuk
membentuk suatu kerangka teoritis yang dapat menjelaskan
fenomena proses strategi yang diteliti.

CONTOH STUDI KASUS SOFT SISTEM METHODOLGY

13
Untuk memudahkan pemahaman mengenai SSM, maka dalam tulisan ini
digunakan contoh kasus kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan
industri sebagai ilustrasi.

Tahap 1 - Mengkaji Masalah Yang Tidak Terstruktur.


Mengkaji masalah yang tidak terstruktur adalah menyatakan suatu masalah
yang membutuhkan analisis masalah dan situasi dengan membiarkan
anggapan-anggapan yang beredar tanpa membatasi dan langsung
menyimpulkan. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan sejumlah informasi
yang dibutuhkan seperti sejarah, budaya, struktur sosial, jenis, dan jumlah serta
pandangan dan asumsi pihak-pihak yang terlibat atau pihak yang dieksplorasi
dengan menggunakan SSM. Informasi yang dikumpulkan diarahkan untuk satu
tema misalnya kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri,
walaupun demikian tidak menutup kemungkinan informasi-informasi lain yang
tidak langsung berhubungan dengan masalah kemitraan antara lembaga litbang
pemerintah dengan industri dikumpulkan juga.

Informasi ini dapat diperoleh melalui serangkaian observasi terhadap para


pihak yang terlibat. Observasi ini dapat berupa wawancara dengan dengan
pelaku litbang, pimpinan litbang, dan dari pihak industri/swasta terpilih.
Observasi ini dilakukan untuk mendorong para pihak bersedia bertemu dalam
satu forum dan berdialog mengenai masalah kemitraan antara lembaga litbang
pemerintah dengan industri. Hasil setiap dialog didistribusikan kepada pihak-
pihak yang terlibat dan pertemuan ini dilakukan berulang kali sesuai dengan
kebutuhan. Kemudian pada setiap pertemuan, baik dalam bentuk wawancara
atau FGD, dilakukan perekaman dan dilakukan verbatim dengan melihat
waktu, karakteristik responden, tema yang muncul, serta pandangan peneliti
terhadap responden. Tujuannya agar informasi ini lebih kaya serta dapat
dikembalikan lagi ke pihak yang bersangkutan sebagai masukan dan evaluasi.
Di samping itu dilakukan juga penelusuran dokumen kemitraan antara lembaga
litbang pemerintah dengan industri, pencarian di internet mengenai produk dan
teknologi yang berkembang di dunia sekarang ini

14
Dalam penyelidikan masalah yang dihadapi, setidaknya harus melakukan
analisis atau penyelidikan terhadap intervensi itu sendiri, sistem sosial dan
sistem politik di mana ketiga hal tersebut ada dalam masalah kemitraan antara
lembaga litbang pemerintah dengan industri. Analisis intervensi bermanfaat
untuk melihat bahwa intervensi secara struktural memiliki tiga peran, yaitu: (1)
peran client, yaitu pihak yang menyebabkan penyelidikan terjadi; (2) peran
would-be problem solver, yaitu pihak yang berkeinginan untuk melakukan
sesuatu terhadap situasi yang tengah dipertanyakan; dan (3) peran problem
owner, yaitu pihak yang memiliki dan perhatian dengan masalah yang
dihadapi. Analisis sistem sosial adalah untuk melihat bagaimana sistem sosial
secara terus menerus mengalami perubahan di antara ketiga elemennya, yakni
aturan, norma dan nilai. Analisis sistem politik beranggapan bahwa setiap
situasi yang dialami manusia memiliki dimensi politis dan perlu dieksplorasi.

Dalam analisis sistem politik ini, politik dipandang sebagai proses di mana
terdapat perbedaan kepentingan yang harus diakomodasi (Checkland &
Scholes, 1990). Informasi dari ketiga analisis ini (analisis intervensi, analisis
sistem sosial dan analisis sistem politik) akan menghasilkan informasi
mengenai struktur baik fisik maupun sosial dari proses kemitraan antara
lembaga litbang pemerintah dengan industri seperti proses komersialisasi hasil
litbang yang dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah; informasi mengenai
profil dan karakteristik lembaga litbang pemerintah yang dieksplorasi, para
peneliti, pimpinan litbang pemerintah serta pihak industri yang diajak
melakukan kegiatan kemitraan; dan yang terakhir mengenai isu-isu yang
berkaitan dengan masalah sosial-politis kemitraan antara lembaga litbang
pemerintah dengan industry seperti aturan PNBP, reputasi lembaga litbang, dll.
Tujuan tahap ini bukan untuk mendefinisikan masalah, tetapi untuk
memperoleh sejumlah pemikiran yang sedang berkembang sehingga rentang
pilihan-pilihan keputusan yang mungkin menjadi terbuka (Martin, 2008).

Tahap 2 - Mengekspresikan Situasi Masalah.

15
Hasil tahap sebelumnya digunakan untuk membangun rich picture dari
masalah yang sedang diobservasi. Gambar ini harus dapat melukiskan proses
aktivitas dari setiap institusi yang terlibat dalam situasi masalah. Relasi antara
aktivitas dan institusi seyogyanya mengilustrasikan masalah, peran, dan elemen
lingkungan yang mudah dipahami. Hal ini merupakan dasar bagi diskusi lebih
lanjut. Rich picture merupakan alat yang bermanfaat untuk menjelaskan kepada
para pihak yang terlibat dalam masalah kemitraan antara lembaga litbang
dengan industri/swasta bagaimana situasi digambarkan dan sebagai basis
pertanyaan melalui persepsi mereka terhadap situasi.

Gambar 2 di bawah merupakan salah satu contoh rich picture situasi kemitraan
antara lembaga litbang dengan industri yang menggambarkan bagaimana
interaksi antar pihak dalam proses kemitraan antara lembaga litbang
pemerintah dengan industri. Sebagai contoh, dalam rich picture yang dibangun
dapat digambarkan bagaimana interaksi peneliti di sebuah lembaga litbang
pemerintah melakukan komersialisasi hasil litbang baik secara formal yaitu
melakukan komersialisasi melalui lembaga litbang di mana peneliti tersebut
berada, maupun secar informal yaitu melakukan komersialisasi secara individu
kepada pihak industri.
Instansi

16
Rich picture yang dibangun kemudian dikomunikasikan kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam kemitraan antara lembaga litbang dengan industri. Setelah
itu mereka diminta untuk memberikan tanggapan yang selanjutnya
diakomodasi untuk pengembangan rich picture yang baru dan sebagai bahan
informasi baru bagi tahapan selanjutnya dari SSM.

Tahap 3 - Membangun Definisi Permasalahan Yang Berkaitan Dengan


Situasi Masalah.
Root definition permasalahan dibangun untuk mengidentifikasi sistem aktivitas
manusia yang relevan pada tahap satu dan dua. Root definition menyatakan
tujuan inti dari tujuan yang mendasari setiap sistem. Hal tersebut dinyatakan
sebagai proses transformasi di mana sejumlah entitas input diubah atau
ditransformasi menjadi bentuk baru dari entitas yang sama, yaitu ‘output’.
Untuk menentukan sifat yang muncul perlu mempertimbangkan CATWOE
mnemonic sebagai berikut :
C = Costumer : Siapa yang mendapatkan manfaat dari aktivitas bertujuan?
A = Actor : Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?
T = Tranformation : Apa yang harus berubah agar input menjadi output?
W = World-view : Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti?
O = Owner : Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas?
E = Environment : Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem?
(Checkland & Scholes, 1990).

Konsep inti di dalam CATWOE ialah pemadanan antara proses T dengan W,


Weltan schauung yang membuat hal tersebut bermakna. Untuk berbagai
purposeful activity akan terdapat sejumlah transformasi yang berbeda. Hal
tersebut berasal dari interpretasi tujuan yang berbeda. Elemen lain di dalam
CATWOE merupakan tambahan gagasan di mana terdapat pihak yang
melakukan purposeful activity, pihak yang dapat menghentikannya, pihak yang
menjadi korban atau yang diuntungkan, dan terdapat hambatan dari
lingkungan. Versi paling sederhana dari root definition yang diformulasikan

17
melalui CATWOE ialah ‘suatu sistem untuk melakukan X dengan Y untuk
mencapai Z dengan keterangan sebagai berikut:
X : proses transformasi tertentu
Y : T (di dalam struktur CATWOE)
Z : tujuan jangka panjang dari ‘owner’

Mnemonik CATWOE dapat digunakan sebagai checklist untuk memastikan


bahwa root definition selesai. Alternatif lainnya, root definition dapat
dirumuskan dari komponen CATWOE mnemonik. Salah satunya, root
definition akan menjadi paragraf/statement singkat yang akan berisi semua
informasi yang diperlukan untuk menjelaskan sistem. Beberapa root definition
dapat dibangun untuk masing-masing sistem aktivitas manusia yang relevan
untuk diidentifikasi. Setiap root definition mencakup suatu Weltanschauung
yang berbeda. Individu yang berbeda akan melihat peristiwa yang sama dengan
cara yang berbeda sesuai dengan pandangan mereka tentang dunia berdasarkan
kepribadian, pengalaman, dan situasi.

Hasil dari pandangan yang berbeda dibuat dalam dalam kesimpulan yang tidak
eksplisit. Namun, pandangan yang berbeda dari setiap individu harus dihargai
dan dimasukkan dalam root definition (Checkland & Scholes, 1990). Dalam
tahapan ini, root definition ditentukan oleh peneliti atau pihak yang melakukan
penelitian mengenai masalah yang dikaji, misalnya kemitraan antara lembaga
litbang dengan industri. CATWOE disusun peneliti berdasarkan hasil FGD dan
interview dengan menanyakan kepada mereka dengan menggunakan kata
“apa”, “siapa” dan “mengapa” mengenai masalah kemitraan antara lembaga
litbang pemerintah dengan industri. Setiap jawaban dari satu aktor salah satu
pihak dikomentari oleh aktor dari pihak lawannya. Masing-masing pihak
berusaha mengajukan argumen atas “kebenaran” posisi dan tindakan mereka
selama ini. Pernyataan-pernyataan mengenai sudut pandang dari masing-
masing pihak mengenai kemitraan yang dilakukan serta pandangan ke depan
mereka mengenai bagaimana proses kemitraan yang seharusnya terjadi menjadi
informasi penting dalam penyusunan CATWOE. Informasi awal mengenai

18
CATWOE dikomunikasikan kembali dengan partisipan yang kemudian
dilakukan penyesuaian berdasarkan masukkan dari mereka. Berikut ini contoh
CATWOE yang dibangun

Tahap 4 - Membangun Model Konseptual.


Setiap root definition akan menghasilkan suatu model konseptual. Model
konseptual mengidentifikasi aktivitas yang diperlukan minimal untuk
mengidentifikasi sistem aktivitas manusia. Selain itu, model konseptual
merepresentasikan hubungan antar-kegiatan. Model konseptual harus berasal
dari root definition itu sendiri. Model ini merupakan model intelektual dan
tidak boleh tertutup oleh pengetahuan tentang dunia "nyata". Semua elemen
mnemonik CATWOE harus disertakan di suatu tempat dalam model
konseptual. Jika tidak, akan dikatakan bahwa model konseptualnya tidak
lengkap (Checkland & Scholes, 1990).

Root definition dan CATWOE merupakan sumber dari purposeful holons yang
dikenal sebagai sistem aktivitas manusia. Bahasa pemodelan didasarkan pada
kata kerja. Sedangkan, proses pemodelan mencakup pengumpulan dan
penstrukturan aktivitas minimum yang dibutuhkan untuk melakukan proses
transformasi dengan menggunakan elemen CATWOE (Checkland & Scholes,
1990). Penstrukturan dilakukan berdasarkan kontingensi logika: ‘identifikasi
dan seleksi’. Sebagai contoh, berkaitan dengan ‘kontrak kerja sama kemitraan’
19
(lihat gambar 3). Hubungan saling ketergatungan ini akan terlihat dengan
mengaitkan antar-aktivitas melalui pencantuman anak panah dari ‘identifikasi
dan seleksi’ menuju ‘kontrak kerja sama kemitraan’. Analisis logis terhadap
transformasi menunjukkan bahwa setiap konversi dari input menjadi output
dapat dinilai sukses atau tidak sukses berdasarkan tiga kriteria berikut:
1. Efficacy, apakah cara yang dipilih memang bekerja dalam
menghasilkan output?
2. Efficiency, apakah penggunaan sumber daya dalam proses transformasi
merupakan penggunaan minimum?
3. Effectiveness, apakah T memenuhi tujuan jangka panjang?

Dimensi efektivitas berada pada level yang berbeda dengan efficacy dan
efficiency. Di samping itu, dimensi efektivitas sering bermanfaat untuk
diindikasikan di dalam model final. Model konseptual ini merupakan proses
adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan hasil
ekspresi situasi masalah. Model konseptual ini dibangun berdasarkan sistem
aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah (rich picture). Model
konseptual merupakan model intelektual dan tidak boleh tertutup oleh
pengetahuan tentang real world. Semua elemen mnemonic CATWOE harus
disertakan dalam model konseptual sehingga tidak mungkin untuk mengambil
kata-kata atau statement dari root definition tanpa mempengaruhi model
konseptual. Hasil interaksi antar pihak yang terlibat dalam tahapan sebelumnya
menjadi rujukan bagaimana model konseptual proses kemitraan antara lembaga
litbang pemerintah dengan industri dibangun seperti contoh gambar 3 di bawah
ini.

20
Model konseptual seperti gambar 3 ditujukan untuk mendeskripsikan aktivitas-
aktivitas yang harus ada untuk menjalankan kegiatan yang dinyatakan dalam
root definitions terkait kemitraan antara lembaga litbang dengan industri.
Model konseptual disusun secara sekuensial dan memiliki sistem feedback
seperti pada gambar 3 yang dimulai dengan aktivitas “menghasilkan ide
penelitian (inovasi)” yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas
“mengajukan dan mempresentasikan ide penelitian (inovasi)” dan seterusnya.

Tahap 5 - Membandingkan Model Konseptual Dengan Situasi Masalah.


Model konseptual mengidentifikasi kegiatan yang perlu dimasukkan dalam
human activity system (HAS) tertentu. Hal ini tidak peduli dengan bagaimana
kegiatan tersebut akan dilakukan. Model konseptual akan dibandingkan dengan
dunia nyata untuk menyoroti kemungkinan perubahan di dunia nyata. Model
Ini kemudian akan menjadi rekomendasi untuk perubahan. Perbedaan antara
kedua hal tersebut (real world dan systems thinking dalam hal ini model
konseptual) tidak boleh mengakibatkan perubahan dalam model konseptual.
Model konseptual, jika dibangun dengan benar, mencakup semua kegiatan
yang diperlukan untuk sifat yang muncul (emergent properties) dari sistem.
Pemindahan aktivitas dari model konseptual akan mengakibatkan sifat-sifat
tersebut muncul dan hilang. Sebaliknya, ada kemungkinan terjadi kasus bahwa
21
kegiatan yang muncul di dunia nyata tidak cocok dengan model konseptual
(Checkland & Scholes, 1990).

Tabel 2: Contoh Template Pertanyaan Membandingkan Model Konseptual


dengan Dunia Nyata

Pada bagian ini, masing-masing orang yang terlibat dalam diskusi kemitraan
antara lembaga litbang pemerintah dengan industri/swasta dimintai tanggapan
berdasarkan model konseptual pada tahap 4 dibuat sebelumnya. Pada
kesempatan ini, masing-masing pihak akan ditanyakan mengenai persepsi dan
penilaian mereka terhadap aktivitas-aktivitas yang dimodelkan, apakah
aktivitas itu harus tetap ada atau diubah. Kemudian ditanyai pula mengenai
perubahan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dimodelkan dan apakah ada
tambahan aktivitas terhadap model konseptual yang dibangun. Setelah
dilakukan wawancara satu persatu, dilakukan FGD yang didiskusikan dengan
para pihak terkait model yang dibangun. Pada pelaksanaannya, bisa terdapat
satu atau lebih model yang direkomendasikan. Namun setelah didiskusikan
secara mendalam di antara pihak yang terlibat, akan ditentukan satu pilihan
model yang akan disepakati dan digunakan bersama.
Tahap 6 - Menetapkan Perubahan Yang Layak Dan Diinginkan.
Tujuan tahap ini adalah untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang
diinginkan secara sistemik dan layak menurut budaya. Perubahan ini dapat saja
terjadi dalam hal struktur, prosedur, atau sikap orang-orang. Struktur di sini

22
menyangkut organisasi kelompok, pihak atau struktur tanggung jawab
fungsional.

Perubahan prosedur meliputi semua aktivitas yang dilakukan organisasi seperti


tindakan-tindakan operasional. Perubahan sikap mengacu kepada perubahan
dalam cara pandang mengenai sasaran dalam situasi masalah sehingga orang-
orang akan memahami bagaimana seharusnya berperilaku dalam hubungan
antar-mereka. Kedua alur berpikir dan bertindak di dalam SSM
mempertemukan perdebatan yang terstruktur untuk mendefiniskan perubahan
yang dapat membuang ketidakpuasan. Akan tetapi, hal yang lebih utama ialah
mengimplementasikan perubahan yang didefinisikan tersebut. Implementasi itu
sendiri merupakan ‘situasi permasalahan’ tersendiri (Checkland & Scholes,
1990).
Tabel 3: Contoh Template Perubahan yang layak diinginkan

Tahap 7 - Melakukan Tindakan Perbaikan Atas Masalah.


Rekomendasi untuk perubahan dapat diimplementasikan. Hal ini penting untuk
menghargai bahwa setelah perubahan ini dilaksanakan, situasi masalah akan
dimodifikasi. Dengan kata lain, proses adalah siklus. Hal ini diakui bahwa
tidak ada yang tetap atau statis dan intervensi yang direkomendasikan oleh
konsultan atau peneliti akan mempengaruhi organisasi. Kita
mengkonseptualisasikan dan memodelkan sistem untuk mengimplementasikan
perubahan dan melakukannya berdasarkan beberapa Welanschauungen. Pada
bagian terakhir, kita menunjukkan dengan tepat sistem untuk melakukan
perubahan yang aktivitasnya dapat menjadi real-world action. Perubahan itu
sendiri biasanya digambarkan sebagai systematically desirable dan culturally

23
feasible (Checkland, 1991). Implementasi perubahan akan dilakukan di dalam
kebudayaan manusia tertentu, dan akan memodifikasi budaya tersebut,
setidaknya sebagian kecilnya, dan mungkin sebagian besar. Akan tetapi,
perubahan dapat diimplementasikan hanya jika implementasi tersebut dianggap
sebagai sesuatu yang bermakna di dalam budaya tersebut, yakni di dalam
worldview budaya tersebut (Checkland & Scholes, 1990).

DAFTAR PUSTAKA

Daellenbach, H. G., Systems and Decision Making, John Wiley & Sons,
Chichester-England, 1994 (Pustaka Utama)

Kelton, Simulation, Modeling and Analysis, McGraw-Hill,1996

Jean-Paul Rodrigue, Claude Comtois, Brian Slack, The Geography of


Transport Systems, Fourth Edition, London and New York: Routledge, 2016

Murthy, D.N.P., Page, M.W., and Rodin,E.Y., Mathematical Modelling,


Pergamon Press, 1990
John D Sterman, Buisness Dynamics: System Thinking and Modeling for A
Complex World, Irwin-McGraw-Hill, 2000

Ronald Askin, et al., Modeling and Analysis of Manufacturing System, John


Wiley and Sons, 1993
Harrel, Ghosh & Bowden, Simulation Using Promodel, McGraw-Hill, 2003

Sinha, Kumares C. Sinha and Samuel Labi, Transportation decision making :


principles of project evaluation and programming, John Wileys and sons, 2007

R. Hughes, “Sistem Dinamik,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, p. 287,
2008, doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.
M. E. Zakaria, “[TA-1] Mengenal Sistem Dinamik – Bima Erza Zakaria, S.” .

24
S. Wiyono, “Dalam Manajemen Transportasi Untuk,” J. Transp., vol. 12, no. 1,
pp. 1–10, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai