Anda di halaman 1dari 2

Nama (NIM) :

Mata Kuliah/Kelas :

Perbaiki tulisan berikut berdasar aturan penulisan skripsi di Program Studi Sejarah FIB
UNDIP.

A. Pembentukan Paguyuban Wayang Orang Ngesti Pandowo

Paguyuban wayang orang Ngesti Pandowo didirikan pada Kamis Pahing, 1 Juli 1937
atau 21 Ba’da Mulud 1668 Wuku Tambir, Tahun Ehe, Windu Aji. Paguyuban ini didirikan
oleh oleh Kartodiwiryo dan Samadi dalam keramaian pasar malam di Alun-alun Maospati,
madiun, jawa timur.1 Kartodiwiryo merupakan pemilik dan pimpinan Sri Widodo, sebuah
paguyuban wayang orang amatir dari Temanggung. Sementara itu Samadi merupakan
salah satu anggota Sri Widodo, yang memiliki hubungan dekat dengan Kartodiwiryo.
Selain menguasai dengan baik seni karawitan, tembang, dan tari jawa, Samadi
merupakan anak muda yang cerdas, memiliki banyak ide, antusias, dan mempunyai
keinginan yang kuat untuk maju (Tjiptadihardja dan Soeratno, 1992: 5). Setelah
mendirikan Ngesti Pandowo, Kartodiwiryo memilih untuk menjadi “mester” atau
pendhapukan—istilah yang biasa digunakan pada dasawarsa 1930 untuk menyebut
sutradara. Pimpinan paguyuban ini dipercayakan kepada Samadi—yang di kemudian hari
lebih dikenal dengan nama Sastrosabdo (Tjiptadihardja dan Soeratno, 1992: v).

Sastrosabdo menyatakan bahwa nama Ngesti Pandowo memiliki makna yang


mendalam. ‘Ngesti’ berarti permohonan yang tulus ikhlas disertai dengan tindakan yang
nyata, sedangkan ‘Pandowo’ berarti menyatunya kekuatan lahir dan batin. Dalam dunia
pewayangan, menyatunya kekuatan lahir dan batin itu diperlihatkan oleh lima satria
Pandowo, yaitu: Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula, dan Sadewa. Kelima satria itu
memiliki watak jujur, selalu bertindak tepat, dan dapat dipercaya. Selain mengacu pada
watak kelima satria tersebut, kata ‘Pandowo’ dalam Ngesti Pandowo tampaknya juga
mewakili lima tokoh yang telah berperan penting dalam pengembangan Ngesti Pandowo
sejak 1940-an. Sasatrosabdo menyebut kelima tokoh itu sebagai cikal-bakal Ngesti
Pandowo. Mereka adalah Sastrosabdo sendiri, yang selain memimpin paguyuban juga
biasa memerankan tokoh Petruk; Darmosurono, yang biasa memerankan tokoh
Dasamuka; Sastrosuwignjo, yang biasa memerankan tokoh Pendita; Kusni (putera
Sastrosabdo), yang dipercaya menjadi sutradara; dan Darsosabdo, yang biasa berperan
sebagai Gareng (Suara Merdeka, 16 Februari 1962).

Pembentukan wayang orang Ngesti Pandowo tidak dapat dilepaskan dari bantuan
pengusaha Tionghoa. Hal ini lazim terjadi pada paguyuban wayang orang panggung
pada dasawarsa 1920 dan 1930. Sastrosabdo mendapat bantuan modal dari seorang
perempuan pengusaha keturunan Tionghoa sebesar 200 gulden. Modal itu digunakan
untuk merekrut pemain, membeli bahan-bahan untuk membuat brak atau tobong, dan
menyewa gamelan serta kostum. Pada saat itu Sastrosabdo berhasil merekrut 30 orang
anggota (Suara Merdeka, 13 Djuli 1962).

Perekrutan anggota harus dilakukan karena Ngesti Pandowo sejak awal memang
dibentuk sebagai perkumpulan wayang orang profesional dan oleh karena itu akan sering
mbarang atau mengadakan pentas keliling ke berbagai kota. Paguyuban ini akan
mengalami kesulitan jika hanya mengandalkan anggota lama Sri Widodo yang

1
Dikutip dari buku yang berjudul Buku Kenangan Sembilan Windu Ngesti Pandowo
halaman 11. Buku ini disusun oleh Panitia Peringatan 9 Windu Paguyuban Wayang
Orang Ngesti Pandowo, dan diterbitkan di Semarang oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Semarang di Semarang pada tahun 2009.
didominasi oleh para pemain dari Temanggung. Mereka bukan hanya menjadi pemain
wayang orang panggung, tetapi juga memiliki pekerjaan yang beragam seperti pegawai
kantor pos dan kantor kabupaten, pedagang, dan pemilik warung. Tidak mudah bagi
mereka untuk meninggalkan Temanggung dan pekerjaan mereka, sementara Ngesti
Pandowo harus mbarang dari satu kota ke kota lainnya (Tjiptadihardja dan S. Soeratno,
1992: iv).

Sastrosabdo mempunyai kebiasaan yang kemudian menjadi semacam tradisi


dalam paguyuban Ngesti Pandowo. Setiap hendak mengakhiri pentas keliling di suatu
kota, ia mengajak seluruh warga paguyuban ini untuk mengadakan slametan. Ia
mengundang dhalang setempat untuk memeriahkan acara itu dengan pertunjukan
wayang kulit semalam suntuk (Jaya Baya, 15 Oktober 1972). Melalui tradisi ini,
Sastrosabdo menanamkan suatu pemahaman di kalangan warga paguyuban yang
dimpimpinnya bahwa mbarang bukan sekadar untuk mencari nafkah. Kegiatan ini harus
dilakukan dengan penuh kesungguhan dan dilambari semangat kebersamaan dan
dedikasi. Seperti dikatakan oleh Clifford Geertz, slametan dapat menjadi sarana bagi
suatu komunitas untuk memperbaiki kekacauan emosional yang mungkin telah terjadi di
antara anggotanya, mencegah gangguan-gangguan yang kasat mata maupun yang tidak
kasat mata, dan meneguhkan kondisi batin (Geertz, 2013: 13-14). Dengan begitu, setelah
melakukan slametan pada akhir pertunjukan di suatu kota, warga ngesti pandowo akan
memiliki kesiapan yang lebih baik untuk melanjutkan “tugas” mereka, yaitu mbarang ke
kota berikutnya.

Daftar Pustaka

1. Tjiptadihardja dan S. Soeratno. Ngesti Pandowo: Sejarah dari Masa ke Masa. Tidak
diterbitkan. 1992.
2. “Buku Kenangan Sembilan Windu Ngesti Pandowo”, disusun oleh Panitia Peringatan
9 Windu Paguyuban Wayang Orang Ngesti Pandowo, dan diterbitkan di Semarang
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang di Semarang pada tahun
2009.
3. Suara Merdeka, 13 Djuli 1962. Judul artikel: 1 Djuli 1937-1 Djuli 1962: 25 Tahun
Ngesti Pandowo.
4. Suara Merdeka, 16 Februari 1962. Judul artikel: 7 Orang Keluarga Ngesti Pandowo
Dapat Bintang Emas.
5. Artikel berjudul Ki Nartosabdo, dimuat dalam majalah Jaya Baya No. 7 Th. XXVII,
tanggal 15 Oktober 1972.
6. Clifford Geertz. 2013. “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan
Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto. Jakarta: Komunitas Bambu.

Anda mungkin juga menyukai