Anda di halaman 1dari 107

i

RINGKASAN
PENGARUH KOMITMEN DAN SPIRITUAL WELLBEING
TERHADAP KETAHANAN KELUARGA DENGAN MODERASI
POLA KOMUNIKASI DAN KONFLIK PEKERJAAN KELUARGA

Ketahanan keluarga pada dasarnya merujuk pada kemampuan


keluarga dalam melepaskan diri dari berbagai persoalan dan memberdayakan
segenap sumber daya yang dimilikinya. Ketahanan keluarga diyakini bukan
saja membuat rumah tangga menjadi langgeng, tapi juga memiliki peran
signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan seseorang, khususnya
dalam hal kesehatan mental psikologis anak. Terdapat 4 faktor utama sebagai
faktor yang dianggap paling mempengaruhi ketahanan keluarga yakni
komitmen (commitment), kemapanan spiritual (spiritual well-being), pola
komunikasi dan konflik pekerjaan dan keluarga. Dalam konteks modern,
seorang suami/istri dituntut mempunyai peran ganda, yaitu peran dalam
keluarga, dan peran dalam pekerjaan. Dalam prakteknya, kedua peran
penting ini seringkali bertentangan dan memunculkan apa yang dinamakan
konflik pekerjaan dan keluarga (work-family conflict). Konflik pekerjaan dan
keluarga (work-family conflict) diprediksi mempunyai pengaruh signifikan
terhadap ketahanan keluarga. Penempatan pola komunikasi dan konflik
pekerjaan dan keluarga di antara kedua variabel tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa ia memberikan pengaruh, baik sebagai penguat ataupun
pelemah pada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komitmen dan spiritual well-
being dalam keluarga yang diteliti terhadap ketahanan keluarga dengan pola
komunikasi dan konflik pekerjaan keluarga (work-family conflict) sebagai
variabel moderator. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
kuantitatif dengan sampel sebanyak 120 keluarga yang berlokasi di Desa
Kota Bandung Jawa Barat. Analisis data menggunakan Partial Least Square
(PLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dari komitmen dan spiritual wellbeing terhadap ketahanan
keluarga. Model dengan moderasi pola komunikasi mampu memperkuat
pengaruh komitmen dan SWB terhadap ketahanan keluarga menunjukkan
model dengan moderasi pola komunikasi mampu memperkuat pengaruh
i
komitmen dan SWB terhadap ketahanan keluarga. sedangkan model dengan
moderasi konflik pekerjaan keluarga mampu melemahkan pengaruh
komitmen dan SWB terhadap ketahanan keluarga.

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Penelitian tentang ketahanan keluarga ditujukan untuk menganalisis


pengaruh komitmen dan spiritual well-being dalam keluarga yang diteliti
terhadap ketahanan keluarga dengan pola komunikasi dan konflik pekerjaan
keluarga (work-family conflict) sebagai variabel moderator. Buku ini
merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh BOPTN Tahun Anggarann
2018

. Ketahanan keluarga pada dasarnya merujuk pada kemampuan keluarga


dalam melepaskan diri dari berbagai persoalan dan memberdayakan segenap
sumber daya yang dimilikinya. Ketahanan keluarga diyakini bukan saja
membuat rumah tangga menjadi langgeng, tapi juga memiliki peran
signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan seseorang, khususnya
dalam hal kesehatan mental psikologis anak. Terdapat 4 faktor utama sebagai
faktor yang dianggap paling mempengaruhi ketahanan keluarga yakni
komitmen (commitment), kemapanan spiritual (spiritual well-being), pola
komunikasi dan konflik pekerjaan dan keluarga. Dalam konteks modern,
seorang suami/istri dituntut mempunyai peran ganda, yaitu peran dalam
keluarga, dan peran dalam pekerjaan. Dalam prakteknya, kedua peran
penting ini seringkali bertentangan dan memunculkan apa yang dinamakan
konflik pekerjaan dan keluarga (work-family conflict). Konflik pekerjaan dan
keluarga (work-family conflict) diprediksi mempunyai pengaruh signifikan
terhadap ketahanan keluarga. Penempatan pola komunikasi dan konflik
pekerjaan dan keluarga di antara kedua variabel tersebut didasarkan pada
asumsi bahwa ia memberikan pengaruh, baik sebagai penguat ataupun
pelemah pada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat.
Dalam kata pengantar ini kami sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si sebagai Rektor UIN SGD


Bandung,
2. Bapak Dr. H. Munir, MA sebagai Ketua LP2M UIN SGD Bandung,
3. Bapak Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag sebagai Ketua Pusat
Penelitian dan Penerbitan
iii
4. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
5. Semua pihak yang berpartisipasi
Dengan selesainya penulisan buku ini, peneliti berharap hasil
penelitian mendatang dapat memberikan kontribusi positif terhadap
pengembangan keberhasilan studi khususnya bagi Fakultas Psikologi UIN
SGD.
Bandung, Agustus 2018

Tim Penulis

iv
DAFTAR ISI

RINGKASAN ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 15
2.1 Komitmen Keluarga ................................................................................. 15
2.1.1 Komitmen Dalam Perkawinan ......................................................... 16
2.1.2 Aspek-Aspek Komitmen Dalam Perkawinan................................... 17
2.1.3 Tingkatan-Tingkatan Komitmen .......................................................... 20
2.1.4 Sifat Komitmen ................................................................................ 21
2.2 Ketahanan Keluarga ................................................................................. 22
2.2.1 Tinjauan Teoritis Resiliensi Keluarga .............................................. 23
2.2.2 Ciri Keluarga Yang Resilien ............................................................ 28
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Keluarga ................................ 28
2.3 Spiritual Well Being ................................................................................. 29
2.3.1 Pengertian Spiritual Well Being ........................................................... 29
2.3.2 Spiritualitas dan Religiusitas ................................................................ 31
2.3.3 Tingkatan Spiritualitas ..................................................................... 32
2.3.4 Aspek-Aspek Spiritual .......................................................................... 34
2.4 Work-Family Conflict .............................................................................. 35
2.4.1 Definisi Work-Family Conflict.............................................................. 35
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-Family Conflict .................. 37
2.4.3 Aspek Work-Family Conflict ................................................................ 39
2.4.4 Arah Work-Family Conflict .................................................................. 41

v
2.4.5 Bentuk Work-Family Conflict ............................................................... 42
2.4.6 Dampak Work-Family Conflict ............................................................. 43
2.5 Pola Komunikasi ...................................................................................... 44
2.5.1 Komunikasi dalam keluarga ................................................................. 44
2.6 Kerangka Pemikiran................................................................................. 52
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................................. 56
3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 56
3.2 Kontribusi Penelitian ............................................................................... 56
4.1 Subjek Penelitian ..................................................................................... 58
4.2 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................... 58
4.3 Operasionalisasi Variabel ........................................................................ 58
4.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 59
4.5 Populasi dan Sampel ................................................................................ 60
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ................................................................... 60
4.7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .......................................................... 61
4.7.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Komitmen ................. 62
4.7.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Spiritual Well Being ....... 63
4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Ketahanan keluarga ........ 65
4.7.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola komunikasi ............ 67
4.7.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Work Family Conflict ..... 68
4.8 Teknik Analisis Data................................................................................ 70
4.8.1 Statistik Deskriptif .......................................................................... 70
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ................................................ 77
5.1 Gambaran Komitmen, Spiritual Well-Being, Ketahanan Keluarga, Pola
Komunikasi dan Konflik Pekerjaan-Keluarga ..................................................... 77
5.2 Pengujian Hipotesis ................................................................................. 82
5.2.1 Evaluasi Outer Model ...................................................................... 82
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .................................................. 91
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 92

vi
7.1 Kesimpulan .............................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 94

vii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga pada dasarnya merupakan institusi tertua yang ada di
masyarakat. Semenjak pertama kali manusia hadir di bumi, keluarga sudah
memiliki nilai dan memberikan arti penting bagi setiap orang. Meski ia
memiliki berbagai struktur yang berbeda secara kultural di berbagai tradisi
dan bentuk masyarakat, keluarga tetap menjadi lingkungan utama bagi
perkembangan setiap orang. Keluarga adalah sekolah pertama untuk
pembentukan karakter dan perkembangan psikologis seseorang. Keluarga
adalah lingkungan utama di mana seseorang belajar dan mendapatkan nilai
untuk hidupnya. Kesehatan dan kekuatan keluarga merupakan fondasi untuk
pembentukan masyarakat yang kuat. Jika keluarga bisa menjaga individu
yang ada di dalamnya dari berbagai hal yang negatif, maka kehidupan
bersama secara sosial juga akan terjaga. Mengutip DeFrain dan Asay:

“Families–in all their amazing diversity–are the basic, foundational


social units in every society, as far as we know. Therefore, healthy
individuals within healthy families are essentially at the core of a
healthy society. It is the responsibility of society and in everyone’s
best interest to help create a positive environment for all families.
This can be a labor of love for all of our social institutions:
educational institutions, businesses, human and family service
agencies, religious institutions, the military, health organizations,
literally everyone involved in the daily life of a community.”

Dalam berbagai literatur ilmiah, baik dalam perspektif Sosiologi,


Antropologi, ataupun Psikologi, kajian tentang keluarga pada awalnya lebih
banyak difokuskan pada struktur inti keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu,
dan Anak (kandung). Namun, seiring perkembangan struktur sosial dan
diversifikasi kultural, kajian tentang keluarga kini juga menyangkut
persoalan bagaimana ia disesuaikan dengan tradisi yang ada serta bagaimana

1
peranannya dalam membentuk individu yang baik demi perwujudan
masyarakat yang baik pula.
Hal ini bukan saja menunjukkan bahwa keberadaan keluarga
dianggap sebagai faktor signifikan dalam perkembangan manusia itu sendiri,
tapi juga kesadaran untuk menjadikan keluarga sebagai bangunan dasar
untuk pembentukan masyarakat yang kuat dengan berbagai norma dan aturan
yang disepakati bersama.
Kesadaran seperti ini pula yang kemudian membuat persoalan
ketahanan keluarga (family resilience) menjadi topik penting, khususnya
dalam kajian Psikologi hari ini. Ketahanan keluarga misalnya diyakini bukan
saja membuat rumah tangga menjadi langgeng, tapi juga memiliki peran
signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan seseorang, khususnya
dalam hal kesehatan mental psikologis anak. Dasarnya sederhana, yakni
banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa seorang anak yang
memiliki masa kecil yang kurang bahagia atau tinggal dalam lingkungan
keluarga yang bermasalah, maka ia akan membawa beban tersebut hingga
dewasa. Akibatnya ia akan sulit untuk tumbuh menjadi manusia yang unggul
dan produktif. Berbeda halnya dengan anak yang tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang harmonis dan memiliki ketahanan yang tinggi, maka ia akan
lebih mudah untuk mengeluarkan segenap potensi dan kemampuan
terbaiknya.
Ketahanan keluarga sendiri pada dasarnya merujuk pada kemampuan
keluarga dalam melepaskan diri dari berbagai persoalan dan memberdayakan
segenap sumber daya yang dimilikinya. Ia merupakan suatu proses aktif
dalam menghadapi berbagai permasalahan, pemenuhan diri, dan
pertumbuhan dalam merespon beragam krisis dan tantangan. Kemampuan
untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup berkeluarga ini
didasarkan pada kebijakan klasik bahwa masa lalu tidak pernah bisa diulang,
karenanya seorang anak sedapat mungkin harus dijauhkan dari berbagai
permasalahan di masa kecilnya agar ia tidak memiliki trauma masa lalu
ketika ia beranjak dewasa.
Konsep ketahanan keluarga ini semakin penting dalam konteks
kehidupan masyarakat modern saat ini. Dalam hal ini, mengutip John J.
Schwab et. al., setidaknya terdapat empat faktor penting yang menjadi alasan
mengapa ketahanan harus diupayakan oleh setiap keluarga, yakni:

2
1. Faktor biologis (biological factors); Masyarakat hari ini adalah
masyarakat dengan karakteristik biologis yang berubah dengan
masyarakat masa lalu, terutama dalam hal masa pubertas dan harapan
hidup yang lebih panjang, yang tentunya juga mempengaruhi pola
perkawinan dan kehidupan keluarga. Generasi muda hari ini
umumnya sudah mengenal hubungan dengan lawan jenis dan banyak
di antara mereka yang sudah mencapai kedewasaan secara seksual
(sexual maturity) dibandingkan generasi muda zaman dulu (John,
2002). Lebih dari itu, seperti umumnya terdapat di negeri ini,
kebijakan kontrasepsi dan semakin longgarnya aturan-aturan sosial
normatif, membuat perilaku negatif seperti seks bebas juga dilakukan
oleh bahkan mereka yang masih belum mencapai usia dewasa. Tidak
heran jika kemudian ada banyak keluarga yang berawal dari
hubungan yang tidak terkendali, di mana pernikahan dianggap
sebagai solusi untuk menutup aib karena adanya anak yang
dikandung akibat pergaulan bebas, padahal secara psikologis mereka
belum siap untuk berkeluarga. Faktor-faktor biologis semacam inilah
yang menjadi salah satu pertimbangan utama mengapa ketahanan
keluarga tidak bisa dianggap remeh terutama dalam konteks
perubahan nilai-nilai kultural dan perilaku generasi muda hari ini.
2. Faktor kultural (cultural factors); dampak dari faktor kultural
terhadap perubahan dalam memandang keberadaan sebuah keluarga
pada dasarnya mulai dirasakan pada beberapa tahun ke belakang
ketika era posmodern dimulai. Relativisme, pluralisme, dan nilai
berbasis utilitas yang dibawa oleh posmodernisme sedikit banyak
telah merubah tatanan norma dan sistem nilai yang terdapat di
masyarakat. Relativisme nilai misalnya, membuat beberapa hal yang
tadinya dianggap tabu dan terlarang, kini bisa diperbincangkan dan
dipraktikkan dengan bebas di masyarakat. Jika pada masa lalu orang
tua cenderung memilihkan jodoh untuk anaknya, maka pada masa
kini orang tua lebih terbuka dengan pilihan sang anak, bahkan
jikapun pilihan tersebut tidak berkesesuaian dengan tradisi keluarga
yang ada. Pada beberapa daerah dengan filosofi pernikahan sesuku
yang kental, aturan tersebut bahkan sudah menjadi lebih longgar dan
tidak lagi menjadi keharusan. Perubahan kultural seperti ini, terutama
pengaruhnya terhadap keberadaan keluarga, pada akhirnya juga
3
membuat praktik terapi keluarga (family therapy) tidak lagi
didasarkan pada analogi keluarga secara biologis-sibernetik, tapi pada
teori sistem yang dasarnya banyak ditemukan dalam teori-teori
konstruksi sosial.
3. Faktor sosial (social factors); terdapat dua faktor sosial penting yang
mempengaruhi perubahan dalam keluarga hari ini, yakni
individualisme dan antifamilism. Penekanan pada individu dan ego
pribadi dibandingkan keluarga ini misalnya bisa dilihat pada
banyaknya anak yang terlahir atau diasuh oleh seorang ibu tanpa
harus melalui jalur pernikahan secara formal ataupun melalui
hubungan biologis tertentu (adopsi). Pada beberapa generasi muda
hari ini juga terdapat kecenderungan untuk melepaskan diri dari
keluarga secara tradisional, dan lebih menyukai bahkan lebih
mengakui dirinya sebagai bagian dari komunitas tertentu sebagai
keluarganya dibandingkan orang tua ataupun saudara-saudaranya
secara biologis. Generasi muda yang umumnya dipengaruhi oleh cara
berpikir bebas (liberal) ini misalnya bisa ditemukan pada kumpulan
anak-anak punk, yang lebih senang hidup dan berkumpul dengan
sesamanya di jalanan dibandingkan dengan keluarganya. Lemahnya
pengawasan dan empati masyarakat hari ini juga membuat fenomena
seperti ini semakin dianggap wajar dan lumrah. Darinya wajar jika
faktor sosial ini memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
keluarga.
4. Faktor teknologis (technological factors); perkembangan teknologi
yang pada abad kontemporer pada dasarnya telah menghadirkan
perubahan fundamental dalam cara masyarakat berkomunikasi dan
membangun jaringan. Kemudahan dalam berkomunikasi dan mencari
informasi membuat keberadaan keluarga dan pola kehidupan
tradisional tidak lagi mendapatkan arti di tengah maraknya
penggunaan social media hari ini. Anak-anak hari ini bahkan lebih
banyak berkomunikasi dengan teman-teman dalam jaringan social
media dibandingkan dengan keluarganya atau orang tuanya sendiri.
Keberadaan teknologi canggih ini bahkan membuat banyak orang
terasing dengan lingkungannya sendiri. Ia tidak lagi bisa merasakan
kehadiran orang-orang di sekelilingnya, dan lebih terfokus dengan
mereka yang hadir secara virtual di dunia maya. Keluarga dalam hal
4
ini juga mendapatkan dampak terbesar, karena hubungan antara
orang tua dan anak tidak lagi seperti semula. Kurangnya waktu
kebersamaan yang positif antara orang tua dan anak juga seringkali
bermula dari kesibukan masing-masing pihak dengan gadget dan
perangkat teknologi lainnya.

Perubahan dalam hal memandang dan menjalani keberadaan keluarga


karena faktor-faktor tersebut di atas, pada akhirnya menimbulkan berbagai
macam konsekuensi, terutama gangguan mental (mental disorder), kekerasan
dalam keluarga (family violence), dan disfungsi keluarga yang membuat anak
tumbuh dalam keadaan yang buruk (plight of children). Pada kenyataannya
sendiri, seperti yang juga banyak ditemukan di masyarakat kita hari ini, ada
banyak generasi muda yang mengalami masalah kejiwaan atau gangguan
mental, seperti adanya perubahan perilaku yang ekstrim (oppositional defiant
disorder), perubahan suasana hati yang berlangsung lama, kurangnya
kemampuan untuk berkonsentrasi dan depresi, adanya perubahan fisik yang
tidak terkait pubertas, hingga kecemasan dan ketakutan berlebih terhadap
hal-hal yang remeh.
Meski gejala-gejala seperti ini seringkali dianggap sebagai hal yang
remeh dan wajar, namun ia sebenarnya menunjukkan adanya persoalan
dalam cara keluarga membangun individu anak bersangkutan. Dengan kata
lain, ada persoalan dalam ketahanan keluarga yang membuat anak tidak
tumbuh dengan semestinya secara mental psikologis, karena orang tua tidak
melakukan pengawasan dan bimbingan pada anak terkait berbagai faktor
yang bisa membuat mereka tidak berkembang secara positif. Jika seorang
anak misalnya, tidak bisa belajar dan mengeluarkan kemampuannya secara
maksimal, tidak memiliki perilaku yang terpuji seperti menunjukkan rasa
hormat pada orang lain, atau mungkin tidak mau menjalankan ajaran-ajaran
normatif keagamaan, maka itu bukan saja berarti anak tersebut tidak
mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang cukup, tapi juga
menunjukkan adanya kondisi keluarga yang bermasalah baik dalam hal
komunikasi, pola asuh, keberasamaan, dan lainnya sebagai hal-hal yang
sangat dibutuhkan anak untuk perkembangan dan pertumbuhannya.
Permasalahan dalam membangun ketahanan keluarga sendiri bukan
hanya terfokus pada pola asuh anak saja, tapi juga bagaimana pernikahan
yang dibangun dan membentuk keluarga bisa bertahan langgeng. Hal ini
5
penting untuk diberikan penekanan, mengingat bahwa dalam konteks
masyarakat Indonesia sendiri, terutama yang tinggal di ibu kota provinsi,
angka perceraian justru sangat tinggi. Data dari Kementerian Agama RI yang
disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan, Anwar Saadi misalnya,
mencatat bahwa angka perceraian di Indonesia yang tercatat di Kementrian
Agama mencapai angka peningkatan sebesar 16-20% setiap tahunnya. Pada
tahun 2011 angka pernikahan yang tercatat adalah 2.319.821 kejadian,
sedang angka perceraian sebesar 258.119 kejadian. Pada tahun 2012
pernikahan sebanyak 2.291.265 kejadian, dan perceraian sebanyak 372.577
kejadian. Pada tahun 2013 angkat pernikahan sebesar 2.218.130 kejadian dan
angka perceraian sebesar 324.527 kejadian. Pada tahun 2014, angka
pernikahan sebesar 2.110.776 kerjadian dan angka perceraian di tahun yang
sama sebesar 344.237 kejadian. Angka-angka ini menunjukkan bagaimana
tingkat perceraian yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi, yang berarti
ketahanan keluarga yang kita miliki juga masih rendah.
Angka yang tidak jauh berbeda juga bisa dilihat pada data statistik
dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah nikah, talak dan cerai
sepanjang tahun 2012-2014 seperti tabel berikut:

Tabel 1.1: Angka Pernikahan dan Perceraian di Indonesia 2012-2014

Tahun Data Pernikahan Data Perceraian


2012 2.289.648 346.480
2013 2.210.046 324.247
2014 2.110.776 344.237
(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015)

Perceraian memang menjadi salah satu konsekuensi wajar dari


pernikahan yang kurang berhasil. Namun, terlepas dari apapun penyebabnya,
pernikahan yang berujung pada perceraian, apalagi jika sudah memiliki anak,
maka hal itu menunjukkan adanya persoalan serius dalam cara seseorang
menjalani kehidupan berkeluarga atau berumahtangga. Perceraian di satu sisi
bisa jadi menjadi solusi terakhir untuk hubungan yang sulit untuk diperbaiki,
namun dalam banyak kasus ia juga melahirkan persoalan psikis tersendiri
tidak hanya bagi pasangan bersangkutan, tapi juga dan utamanya bagi anak
dari pasangan cerai tersebut. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang
6
kurang harmonis, sulit untuk mendapatkan kasih sayang (afeksi) dan nilai-
nilai positif yang dibutuhkannya untuk menunjang perkembangannya
sebagai pribadi yang utuh.
Ketahanan keluarga pada akhirnya menjadi salah satu dari beberapa
persoalan utama yang dihadapi oleh masyarakat pada hari ini, terutama yang
diindikasikan dengan fenomena-fenomena seperti berikut:
1. Tingginya angka perceraian yang terjadi di masyarakat, terutama di
daerah perkotaan, di mana beberapa nilai-nilai tradisional
kekeluargaan sudah banyak berganti dengan budaya-budaya baru.
Faktor penyebab utama dalam hal perceraian ini umumnya adalah
kekurangan secara ekonomi, hubungan yang kurang harmonis,
perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Rendahnya prestasi anak di sekolah. Kemampuan seorang anak
dalam belajar memang beragam, namun mereka pada dasarnya
memiliki potensi dan bakat tertentu yang itu jika dibina dengan baik
dapat menjadikan mereka individu yang unggul sesuai dengan minat
dan bakat yang mereka miliki. Namun demikian, kurangnya
kepedulian orang tua, yang ditambah juga dengan kurangnya waktu
kebersamaan dan komunikasi antara orang tua dengan anak, menjadi
penyebab terbesar mengapa kemampuan anak kurang berkembang.
3. Banyaknya gangguan mental yang dialami oleh anak usia remaja.
Gangguan mental pada kalangan remaja ini biasanya dapat dilihat
pada beberapa kasus anak remaja yang memiliki perilaku aneh,
cenderung menjauh dari keluarga dan lebih senang bersama dengan
teman-teman atau komunitasnya, hingga melakukan hal-hal yang
negatif sampai pada titik yang paling ekstrim, seperti bunuh diri
ataupun menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.
4. Tingginya tingkat pengguna narkoba (narkotika dan obat-obatan
terlarang) pada kalangan remaja. Perilaku seperti ini juga
menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan orang tua dan
perhatian mereka terhadap anak. Pada beberapa kasus, narkoba juga
menjadi pelarian dari lingkungan keluarga yang tidak memberikan
kebahagiaan pada anak.
5. Meningkatnya praktik seks bebas, kehamilan di luar nikah, dan atau
pernikahan dini di kalangan remaja, yang menunjukkan bukan saja
kurangnya kontrol orang tua dan keluarga secara umum, tapi juga
7
adanya degradasi nilai-nilai agama dan tingkat spiritualitas di dalam
lingkungan keluarga bersangkutan.

Beberapa fenomena di atas adalah fenomena umum yang bisa


didapati di masyarakat di berbagai daerah. Meski demikian, ketahanan
keluarga sendiri tidak bisa dilihat semata berdasarkan kasus-kasus tertentu
seperti disebutkan sebelumnya. Dalam praktiknya, ketahanan keluarga bukan
berarti suatu keluarga tidak memiliki masalah, namun bagaimana ia mampu
menghadapi dan mengatasi masalah tersebut secara bertanggungjawab.
Bagaimanapun, permasalahan hidup dalam keluarga akan selalu ada, baik
yang berasal dari faktor ekonomi, individu, sosial, hingga perbedaan
keyakinan dan afiliasi sosial politik dalam rumah tangga. Akan tetapi, jika
setiap orang dapat menjalankan perannya dengan baik, dan ada komunikasi
yang efektif antar masing-masing pihak, maka permasalahan apapun akan
mudah ditemukan solusinya.
Secara teoritis, suatu keluarga sejatinya memiliki beberapa faktor dan
indikator ketahanan seperti dirumuskan oleh DeFrain sebagai berikut:

Tabel 1.2: Faktor dan Indikator Ketahanan Keluarga

Appreciation and Afection Commitment


- Caring for each other - Trust
- Friendship - Honesty
- Respect for individuality - Dependability
- Playfulness - Faithfulness
- Humor - Sharing
Positive Communication Enjoyable Time Together
- Giving compliments - Quality time in great quantity
- Sharing feelings - Good things take time
- Avoiding blame - Enjoying each other‟s company
- Being able to compromise - Simple good times
- Agreeing to disagree - Sharing fun times
Spiritual well-being The Ability to Manage Stress and
- Hope Crisis Effectively
- Faith - Adaptability
- Compassion - Seeing crises as challenges and

8
- Shared ethical values opportunities
- Openess with humankind - Growing through crises together
- Openess to change
(Sumber: John DeFrain & Sylvia M. Asay, Strong Families Around The
World: An Introduction to The Family Strenghts Perspectives, 2007)

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa DeFrain menyatakan ada enam
faktor yang membuat suatu keluarga bisa memiliki ketahanan, yakni: (1)
apresiasi dan afeksi atau kasih sayang sesama anggota keluarga, dengan
indikator yang mencakup kepedulian atau perhatian satu sama lain,
persahabatan, penghargaan atas individualitas, keceriaan, dan humor; (2)
komitmen, dengan indikator yang mencakup kepercayaan, kejujuran,
kehandalan, keteguhan, dan kebersamaan; (3) komunikasi positif, dengan
indikator yang mencakup pemberian pujian secara tulus, berbagi rasa, tidak
menyalahkan orang lain, mampu berkompromi, dan menghargai pendapat
orang lain; (4) waktu kebersamaan, dengan indikator yang mencakup waktu
yang dihabiskan bersama secara berkualitas, kesabaran untuk mendapatkan
hal yang baik, menikmati momen kebersamaan yang sederhana, dan berbagi
waktu-waktu yang menyenangkan; (5) kemapanan spiritualitas, dengan
indikator mencakup harapan, keimanan, kasih sayang, nilai-nilai etis, dan
keterbukaan terhadap manusia; dan (6) kemampuan untuk mengelola tekanan
dan krisis secara efektif, dengan indikator mencakup kemampuan
beradaptasi, kemampuan melihat persoalan sebagai peluang dan tantangan,
menghadapi krisis secara bersama-sama, dan keterbukaan terhadap
perubahan.
Dalam konteks modern, seorang suami/istri dituntut mempunyai
peran ganda, yaitu peran dalam keluarga, dan peran dalam pekerjaan. Dalam
prakteknya, kedua peran penting ini seringkali bertentangan dan
memunculkan apa yang dinamakan konflik pekerjaan dan keluarga (work-
family conflict). Konflik pekerjaan dan keluarga (work-family conflict)
diprediksi mempunyai pengaruh signifikan terhadap ketahanan keluarga.
Work-family conflict merupakan konstruk pada bidang ilmu sumberdaya
manusia yang banyak diteliti di Negara-negara industri barat terutama
Amerika Serikat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan
globalisasi bisnis dan ekonomi, isu mengenai work-family conflict sangatlah

9
penting untuk dipahami oleh negara-negara berkembang (Yang, Chen, &
Zou; 2000).

Greenhouse dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict


sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-tekanan peran dari
domain pekerjaan dan domain keluarga dalam beberapa hal tidak selaras.
Konflik pekerjaan-keluarga ini pada umumnya terjadi ketika seorang
individu dituntut untuk memainkan berbagai peran baik sebagai karyawan di
organisasi maupun peran sebagai pasangan suami/istri atau sebagai orang tua
di keluarga.

Dua faktor utama yang menyebabkan munculnya konflik pekerjaan-


keluarga adalah tekanan yang datang dari pekerjaan dan tekanan yang datang
dari keluarga (Hammer, 1998). Tekanan pekerjaan merupakan suatu kondisi
dinamis dimana seorang individu merasa dihadapkan dengan sebuah
peluang, tantangan, dan tuntutan yang dihubungkan dengan apa yang
diinginkan dan dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti dan penting
(Schuler, 1980). Tekanan pekerjaan terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampuan seseorang
dalam melakukan pekerjaannnya, atau dapat pula terjadi ketika lingkungan
kerja tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup seseorang.

Tekanan keluarga mengacu pada tekanan waktu yang berhubungan


dengan tugas-tugas rumah seperti tugas membersihkan rumah dan
memelihara anak. Tuntutan keluarga ini seringkali dihubungkan dengan
karakteristik keluarga seperti jumlah orang yang ditanggung, ukuran
keluarga, dan komposisi keluarga (Yang, 2000). Beban yang ditanggung
seseorang dapat berupa peran sebagai orang tua atau sebagai pasangan
suami/istri.
Jika melihat pada faktor-faktor dan indikator-indikator ketahanan
keluarga di atas, maka keluarga yang rapuh adalah keluarga yang tidak
memiliki atau kurang dalam enam faktor tersebut. Keluarga yang tidak bisa
bertahan ketika menghadapi persoalan, keluarga yang tidak bisa menjadi
lingkungan yang menyenangkan bagi setiap anggotanya, pada akhirnya
adalah keluarga yang boleh jadi kurang kasih sayang, lemah dalam hal
komitmen dan tanggungjawab, tidak terbangun komunikasi yang baik di
dalamnya, tidak memiliki waktu kebersamaan yang bermutu, tidak memiliki
10
ketahanan spiritual yang baik (kurang taat beragama), dan tidak atau kurang
memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis.
Berbagai indikator tersebut memang bukan indikator mutlak dalam
mengukur suatu ketahanan keluarga, namun ia bisa memberikan gambaran
pada kita tentang hal-hal apa saja yang seharusnya dimiliki oleh sebuah
keluarga agar bisa memiliki ketahanan yang baik. Hal ini penting untuk
dipahami mengingat bahwa masyarakat Indonesia hari ini adalah masyarakat
yang hidup di tengah berbagai perubahan dan krisis, mulai dari perubahan
budaya dan nilai-nilainya, krisis sosial politik dan ekonomi, hingga krisis
spiritualitas dan agama, khususnya di lingkungan keluarga.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah jauh-jauh hari memberikan
perhatian serius terhadap persoalan ketahanan keluarga ini. Hal ini misalnya
dapat dilihat dengan adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera dan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, di mana di
dalamnya terdapat rumusan tentang ketahanan keluarga sebagai berikut:
1. Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri,
mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.
2. Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram dan harapan masa
depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
kebahagiaan batin.
3. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat,
maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke
depan, bertanggungjawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa.
4. Kualitas keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup aspek
pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga
dan mental spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar
untuk mencapai keluarga sejahtera.

11
5. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
6. Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan kualitas
keluarga, baik sebagai sasaran maupun sebagai pelaku pembangunan,
sehingga tercipta peningkatan ketahanan baik fisik maupun non fisik,
kemandirian serta kesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas.

Rumusan tentang bagaimana arah kebijakan pemerintah dalam


membangun keluarga dan mengembangkan kependudukan tersebut sejatinya
menunjukkan adanya perhatian terhadap persoalan keluarga dan
ketahanannya. Bagaimanapun, pembangunan hanya bisa terlaksana dengan
baik jika masyarakat juga terlibat serta dan berperan aktif di dalamnya.
Namun, hal ini hanya bisa dicapai jika keluarga bisa menghasilkan sumber
daya manusia yang unggul dan berkualitas. Karena itu pula wajar kiranya
jika persoalan ketahanan keluarga tidak semata menjadi persoalan privat
masing-masing individu pelakunya, tapi juga dan semestinya menjadi
tanggungjawab pemerintah untuk menyediakan sarana, kebijakan, dan
lingkungan sosial-ekonomi-politik yang mendukung pada ketahanan
keluarga masyarakatnya.
Meski demikian, terlepas dari kebijakan pemerintah dan kondisi ideal
teoritis berbagai kajian tentang ketahanan keluarga ini, dalam kenyataannya
hari ini, terutama seperti yang ditemui oleh penulis, masih terdapat berbagai
kendala dalam mewujudkan ketahanan keluarga yang diharapkan. Beberapa
persoalan yang seringkali didapati dalam keseharian di lingkungan penulis,
yakni di daerah Cibiru kota Bandung, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Perselisihan dan pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga,
baik antara suami dan istri ataupun terhadap anak.
2. Praktik perselingkuhan dan kesetiaan yang kurang terhadap keluarga.
3. Perhatian dan kepedulian yang kurang terhadap anggota keluarga,
khususnya keluarga inti.
4. Kurangnya pendidikan agama dan kepatuhan terhadap ajaran agama
di lingkungan keluarga.
12
5. Kesibukan masing-masing anggota keluarga yang membuat
komunikasi intensif dan kebersamaan menjadi hal yang sulit untuk
dilakukan.

Beberapa kejadian dan persoalan di atas seakan sudah menjadi hal


yang lumrah dan dianggap wajar di masyarakat. Padahal sejatinya ia
merupakan persoalan yang harus dicari solusinya. Bagaimanapun, persoalan-
persoalan tersebut menunjukkan adanya komitmen yang rendah untuk
membangun keluarga yang baik, kurangnya kebersamaan yang dibutuhkan
dalam keluarga, serta kurangnya perhatian terhadap signifikansi dan nilai
penting dari kepatuhan terhadap ajaran agama dalam lingkungan keluarga,
yang semuanya mendorong pada semakin rapuhnya ketahanan keluarga yang
ada. Persoalan semacam ini jika selalu dianggap lumrah, maka tinggal
menunggu waktu keluarga tersebut akan mendapatkan kehancurannya.
Persoalan-persoalan tersebut juga menunjukkan bagaimana faktor-
faktor ketahanan keluarga, seperti disebutkan sebelumnya, bukanlah hal yang
mudah untuk dimiliki dan atau diwujudkan. Menebarkan kasih sayang yang
adil, membangun komitmen, mengolah kebersamaan yang berkualitas,
meneguhkan nilai-nilai agamis atau spiritualitas, melangsungkan komunikasi
yang positif, hingga mengembangkan kemampuan untuk menghadapi krisis
dan persoalan dalam keluarga, semuanya membutuhkan proses yang tidak
sebentar. Namun, jika ia tidak dilakukan, maka ia tidak akan pernah
didapatkan. Meski demikian, kehilangan faktor-faktor ini memang tidak
secara pasti akan membuat suatu keluarga menjadi berantakan. Sebab dalam
kenyataannya, ada banyak keluarga yang masih bertahan, meskipun beberapa
indikator ketahanan keluarga yang disebutkan tersebut jarang atau tidak
didapati di dalamnya. Hanya saja, ia bisa menjadi panduan awal untuk
mencari solusi yang mungkin bisa didapatkan.
Hal-hal seperti ini pula yang pada akhirnya menjadi dasar bagi
penulis dalam melakukan penjajakan awal guna mengetahui kondisi yang
terjadi sebagai dasar untuk penelitian lanjutan yang akan diajukan ini. Bahwa
ketahanan keluarga adalah hal penting yang tidak bisa dianggap remeh. Ia
bukan saja menjadi penentu atas keberhasilan keluarga dalam menghadapi
berbagai permasalahan hidup yang ada, tapi juga memiliki nilai penting
untuk pembangunan kehidupan bersama yang lebih baik ke depannya.
Karena itu pula, berpijak pada persoalan nyata yang ditemui di lapangan
13
tersebut, serta konsep teoritis tentang bagaimana seharusnya ketahanan
keluarga diwujudkan, serta keinginan untuk mendapatkan jawaban atas
pertanyaan penulis terkait persoalan yang dihadapi, maka penelitian ini
diajukan dengan mengambil tajuk: Pengaruh Komitmen dan Spiritual Well-
being Terhadap Ketahanan Keluarga dengan Pola Komunikasi dan konflik
pekerjaan keluarga sebagai Variabel Moderator.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan paparan pada latar belakang masalah di atas, maka
persoalan utama yang ingin dikaji, dianalisis, dan diukur dalam penelitian ini
adalah bagaimana pengaruh dari komitmen dan spiritual well-being terhadap
ketahanan keluarga dengan pola komunikasi sebagai moderator. Masalah
utama tersebut secara lebih rinci dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana gambaran komitmen dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga?
2. Bagaimana gambaran spiritual well-being dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga?
3. Bagaimana gambaran pola komunikasi dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga?
4. Bagaimana gambaran ketahanan keluarga dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga?
5. Adakah pengaruh komitmen dalam keluarga yang diteliti terhadap
ketahanan keluarga?
6. Adakah pengaruh spiritual well-being dalam keluarga yang diteliti
terhadap ketahanan keluarga?
7. Bagaimana pengaruh pola komunikasi dalam keluarga yang diteliti
terhadap hubungan antara komitmen dan spiritual well-being dengan
ketahanan keluarga?
8. Bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict)
yang diteliti terhadap hubungan antara komitmen dan spiritual well-
being dengan ketahanan keluarga?

14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komitmen Keluarga


Menurut Undang-undang No I tahun 1974 pasal 1 ayat 1 tentang
Perkawinan disebutkan bahwa ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan undang-undang yang
sangat mulia ini pada kenyataannya tidak mudah untuk dicapai.
Kehidupan berkeluarga atau berumah tangga ternyata tidak semudah
yang dibayangkan. Membentuk dan membangun sebuah keluarga
memang lebih mudah daripada mempertahankan keutuhan keluarga itu
sendiri

Meningkatnya angka perceraian di Indonesia merupakan satu


bukti nyata betapa sulitnya mencapai tujuan perkawinan yang bahagia
dan kekal. Data perceraian di Pengadilan Agama Bandung pada tahun
1998 terdapat 1145 kasus perceraian dan terus meningkat pada tahun- tahun
berikutnya yaitu 1212 kasus pada tahun 1999 dan 1387 kasus pada tahun
2000 (Sadardjoen, 2005). Data yang hampir sama diperoleh dari
Pengadilan Agama Purwokerto yang mencatat 1335 kasus perceraian
pada tahun 2005. Fakta yang tidak jauh berbeda tentang tingginya angka
perceraian bisa kita saksikan di layar televisi tiga tahun terakhir ini.
Tayangan infotaintment di hampir semua statsiun televisi swasta
dipenuhi berita perceraian selebritis Indonesia. Berbagai penyebab peceraian
diungkap, misalnya ketidakcocokan, ekonomi, dan kekerasan dalam rumah
tangga.

Tingginya angka perceraian tersebut menyebabkan munculnya


pertanyaan mengapa orang mudah sekali mengucapkan janji perkawinan dan
kemudian bercerai padahal mestinya janji perkawinan itu
berlangsung selamanya. Penelitian Paul J. Jacobson (Hartini, 2007) tentang
”American marriage and Divorce” pada tahun 1969 mengemukakan bahwa
jumlah angka perceraian di Amerika sebanding dengan jumlah angka
perkawinan sehingga diasumsikan bahwa mereka yang menikah akan
bercerai. Meskipun angka perceraian dan perkawinan di Indonesia tidak
sebanding dengan di Amerika akan tetapi arus informasi seperti televisi
yang menayangkan gaya hidup selebriti di Indonesia, kehidupan rumah
tangga mereka dan kemudahan mereka untuk memutuskan menikah
dan memutuskan bercerai dianggap mewakili gaya hidup berkeluarga
pada pasangan modern.

Berbagai kenyataan di atas menimbulkan pertanyaan masih


adakah perkawinan yang kuat ? Jawabannya tentu ada. Dalam sebuah
survey terhadap pasangan yang sudah menikah di Amerika menemukan
bahwa satu pasangan suami isteri dari tiap empat perkawinan percaya bahwa
mereka mempunyai perkawinan yang ideal. Perkawinan yang kuat tidak
terjadi dengan begitu saja tetapi perlu diupayakan dan diperjuangkan.
Pasangan suami isteri harus punya niat yang kuat untuk berusaha
meningkatkan hubungan mereka. Kunci untuk perkawinan yang kuat adalah
komitmen, berpikir positif, komunikasi, afeksi, penghargaan dan tujuan yang
sama. Tulisan ini akan membahas tentang komitmen sebagai salah satu kunci
untuk memperkuat perkawinan.

2.1.1 Komitmen Dalam Perkawinan


Komitmen (Commitment) dalam Kamus Bahasa Inggris (Echols
dan Shadily, 1992) diartikan sebagai janji, tanggungjawab. Senada
dengan pengertian tersebut, Cooper dan Makin (dalam Nurtjahjanti &
Khasanah N (2006) menyatakan bahwa komitmen merupakan suatu keadaan
batin untuk tetap mempertahankan hubungan yang meliputi
ketergantungan dan rasa percaya bahwa individu tidak akan
meninggalkan hubungan tersebut. Oleh karenanya, Finkel dkk. (2002)
menyatakan bahwa komitmen merupakan hal fundamental dalam suatu
hubungan, khususnya hubungan romantis yang melibatkan perasaan yang
lebih mendalam yaitu cinta, misalnya hubungan perkawinan. Komitmen
sendiri oleh Finkel (2002) didefinisikan dalam tiga komponen, yaitu :

a. Kecenderungan untuk tetap ada atau bertahan dalam suatu hubungan


Komponen komitmen yang paling primitif adalah kecenderungan
untuk tetap bertahan atau keputusan untuk tetap bergantung pada
pasangan. Kecenderungan untuk tetap ada adalah primitif karena
tidak dengan cara yang langsung (baik secara teoritis atau
operasional) melibatkan kepentingan temporal yang lebih besar
maupun kepentingan interpersonal yang lebih besar.
b. Orientasi jangka panjang
Komponen komitmen kedua melibatkan kepentingan temporal yang
lebih besar atau orientasi jangka panjang. Individu-individu dengan
orientasi jangka pendek mungkin menerima hasil yang relatif bagus
dengan berperilaku sesuai dengan kepentingan pribadi langsung.
Dengan adanya orientasi jangka panjang, menyebabkan pasangan
mengembangkan pola kerjasama timbal balik. Artinya jika kita
berusaha untuk mengerti dan memahami pasangan, kita berharap
pasangan akan berusaha mengerti dan memahami kita juga sehingga
konflik perkawinan bisa diminimalisir.
c. Kepentingan pribadi atau kelekatan psikologis
Komponen komitmen ketiga melibatkan kepentingan pribadi yang
lebih besar atau kelekatan psikologis, tergantung pada persepsi
bahwa well-being seseorang dan well-being pasangan saling
berkaitan. Dalam suatu hubungan dengan komitmen, diri sendiri dan
pasangan mungkin bergabung untuk alasan berangkat dari manfaat
bahwa kepentingan pribadi pasangan tidak dirasakan sebagai lawan
dari kepentingan diri sendiri. Juga, komitmen mungkin
menghasilkan oreintasi komunal, termasuk kecenderungan untuk
merespon kebutuhan pasangan dengan cara yang lebih tanpa
syarat/mutlak. Individu yang punya komitmen mungkin
mengerahkan usaha untuk mempertahankan hubungan tanpa
memperhitungkan balasan yang akan mereka terima. Jadi komitmen

menginspirasi tindakan sepenuhnya yang lebih berorientasi pada


orang lain.

2.1.2 Aspek-Aspek Komitmen Dalam Perkawinan


Menurut Rusbult (Agnew, dkk, 1998) terdapat tiga aspek dalam komitmen
pada hubungan perkawinan, yaitu :
a. Tingkat kepuasan tinggi
Komitmen yang tinggi ditandai dengan tingkat kepuasan terhadap
pasangan maupun perkawinan itu sendiri tinggi. Artinya perkawinan
memenuhi kebutuhan paling penting individu, misalnya kebutuhan
keintiman, seksualitas dan persahabatan.
b. Mengurangi pilihan-pilihan di luar perkawinan
Pilihan-pilihan lain di luar perkawinan tidak terlalu menarik
individu, sehingga individu tidak akan tertarik untuk memenuhi
kebutuhan yang dianggapnya paling penting di luar perkawinan,
misalnya keinginan untuk selingkuh
c. Meningkatkan investasi
Komitmen terhadap perkawinan dikatakan tinggi jika sejumlah
sumber penting secara langsung maupun tak langsung dihubungkan
dengan perkawinan, seperti waktu, usaha, harta, dan jaringan
persahabatan yang dulu merupakan milik pribadi kini meningkat
menjadi milik dan dilakukan bersama pasangan. Dengan kata lain,
individu menjadi lebih “kaya” bersama pasangan, punya teman yang
lebih banyak, uang yang lebih banyak, relasi yang lebih luas.

Sementara itu menurut Weiselquist dkk. (1999) aspek-aspek dalam


komitmen termasuk di antaranya : (1) kecenderungan untuk mengabaikan
atau menghina pilihan pasangan (2) kesediaan berkorban atau
kecenderungan untuk meninggalkan aktivitas yang yang dulu-dulu yang
diinginkan demi kebaikan perkawinan (3) perilaku akomodatif yaitu
kecenderungan untuk menerima kekurangan pasangan (4) saling
ketergantungan kognitif atau kecenderungan untuk berpikir dalam istilah
kami, kita, milik kita, daripada saya, aku, punyaku (5) ilusi positif atau
kecenderungan terhadap evaluasi berlebihan terhadap pasangan atau
hubungan .

Menurut Sadarjoen (www.kompas cyber media, diakses tanggal 12


Februari 2009), perkawinan menuntut kesediaan dua manusia
menjalin relasi dengan konsekuensi komitmen permanen. Perkawinan juga
menuntut kesediaan kedua pasangan saling berbagi karena tidak mungkin
interelasi untuk mempertahankan perkawinan dilakukan hanya satu
pasangan, sejauh apa pun dia mengusahakan.
Untuk hal itu pula pasangan perkawinan seyogianya menerima konsekuensi
dari komitmen permanen sebagai berikut:

a. Komitmen terhadap diri sendiri tentang pertumbuhan, perubahan,


serta menjadi pasangan dalam perkawinan yang membawa
konsekuensi rasa tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan
finansial, seksual, sosial, dan sebagainya.
b. Komitmen terhadap pasangan yang terdiri dari, antara lain kesediaan
seseorang menyanggupi keterikatan pada pasangan dalam upacara
perkawinan. Artinya, pada dasarnya pasangan tersebut berjanji
mencintai, setia, menghormati, dan menyenangkan satu sama lain
serta jujur dalam berbagai masalah kehidupan dengan penuh
tanggung jawab.
c. Komitmen dalam hubungan antarpasangan perkawinan dalam
interrelasi yang tercipta dengan keluarga secara menyeluruh. Artinya,
komitmen tersebut terkait dengan segala pertumbuhan dalam
perkawinan itu sendiri, seperti saling menghormati, menghargai,
mencintai, peduli, memberi kehangatan, saling memahami dan
mendukung, serta memperkuat relasi antarpasangan. Komitmen
tersebut juga menyertakan penerimaan tulus akan kehadiran anak-
anak dengan berbagai tanggung jawab sebagai orangtua.
d. Komitmen sosial sebagai pasangan perkawinan yang seyogianya
memenuhi tuntutan peran sosial keluarga sebagai unit terkecil
kehidupan bermasyarakat di lingkungan sosial mana keluarga berada.

Tidak setiap individu berani menanggung konsekuensi komitmen


permanen dalam ikatan perkawinan. Salah satu faktor yang memegang
peranan adalah faktor kematangan kepribadian yang dipengaruhi oleh
antara lain pola asuh orangtua pada masa lalu, predisposisi kondisi mental
yang dibawa sejak lahir, dan trauma psikologis yang dialami pada masa lalu.
Spesialis Perkawinan, Dr. Jeannett Lauer dalam bukunya ”Til Death Do
Us Part” (www. msucares.com) menyatakan komitmen merupakan faktor
penting dalam perkawinan yang sehat. Komitmen memberikan perasaanbagi
suami isteri untuk dapat bertahan dari setiapmasalah dalam perkawinan.
Paling tidak terdapat tiga jenis komitmen : pertama, komitmen pada
perkawinan yang bahagia. Komitmen jenis ini terdengar bagus di
permukaan, tetapi masalahnya komitmen jenis ini hanya bertahan selama
pasangan merasa bahagia. Saat rasa bahagia hilang, komitmen berakhir
dan perkawinan juga berakhir. Kedua, komitmen pada perkawinan itu
sendiri. Pasangan suami isteri yang siap untuk bertahan dalam perkawinan
apapun yang terjadi. Pasangan suami isteri ini diajarkan untuk mengabaikan
rasa sakit dan menderita untuk mempertahankan perkawinan. Banyak wanita
yang salah dalam memahami komitmen jenis ini. Mereka tetap bertahan
dalam perkawinan atau hubungan bahkan meskipun mereka mengalami
kekerasan dalam rumah tangga atau dalam hubungan tersebut. Ini disebut
sebagai komitmen buta. Ketiga, komitmen pada perkawinan, kebahagiaan
dan pasangan. Ini adalah komitmen yang sehat atau komitmen total.
Ini adalah komitmen yang ditemukan dalam pasangan perkawinan yang
bahagia.

2.1.3 Tingkatan-Tingkatan Komitmen


Menurut Berry (1999) (www. Hudzaifah.org) tingkat komitmen dapat
berada pada suatu batas daerah kontinum, yang dapat dibedakan atas
beberapa tingkat, yaitu: Interest in Alternatives, sebagai tingkat komitmen
yang paling rendah, berikutnya Acquiescene, Cooperation, Enhancement,
Identity, Advocacy, dan Ownership sebagai tingkat komitmen yang paling
tinggi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

a. Interest in Alternatives, yaitu komitmen yang timbul karena


pasangan suami isteri merasa tidak ada pilihan lain. Mungkin
mereka merasa memang inilah yang terbaik di antara pilihan yang
ada. Tingkat komitmen ini sangat rendah, dan perkawinan bisa
berakhir karena alasan-alasan yang sangat sederhana. Misalnya,
karena salah satu pihak bertemu orang lain yang lebih ganteng atau
lebih cantik.
b. Acquiescene, adalah suatu kesepakatan di antara pasangan suami
isteri bahwa mereka akan menerima setiap persyaratan dan
kebijaksanaan yang telah disepakati.
Implementasinya dalam kehidupan rumah tangga, perkawinan akan
tetap berlangsung bila isteri tidak bekerja tapi di rumah mengasuh
anak.
c. Cooperation, berasal dari bahasa latin, dimana “co” artinya
bersama-sama (together), sedangkan operate artinya bekerja (to
work). Cooperation adalah tingkat ketiga dari komitmen. Komitmen
ini menggambarkan situasi dimana pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan bekerja bersama-sama untuk mencapai apa yang
diharapkan. Dalam hal ini masing-masing pihak yang terlibat secara
langsung mengusahakan tercapainya tujuan bersama.
d. Enhancement, merupakan komitmen tingkat keempat, yang berarti
suatu komitmen dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan
untuk mengadakan suatu ikatan secara sadar untuk saling
memberikan kontribusi yang saling menguntungkan. Selalu
berusaha untuk memperkuat ikatan hubungan masing-masing
berdasarkan kepercayaan yang mendalam. Misalnya, bila suami
atau isteri saling melengkapi, saling menghargai.
e. Identity, adalah tingkat komitmen yang hampir sama pengertiannya
dengan enhancement, yaitu suatu identitas dari kuatnya hubungan
antara suami dengan isteri yang tercermin dari sikap masing-masing
pihak yang bersedia bekerjasama dalam suatu tim kerja (team
work). Misalnya suami membantu isteri dalam pekerjaan rumah
tangga, mengasuh anak saat isteri sedang sibuk. Isteri mendukung
karir suami, ibarat satu tim yang kompak.
f. Advocacy, tingkat komitmen ini berkaitan dengan keinginan
pasangan untuk menyampaikan hal-hal yang baik mengenai
pasangannya, saling menutupi aib/kekurangan pasangannya, tapi
justru menceritakan kebaikan-kebaikan suami/isterinya.
g. Ownership, ini merupakan tingkar komitmen terakhir, rasa
kepemilikan secara emosional bagi pihak-pihak yang mengadakan
hubungan. Jenis komitmen ini merupakan peningkatan atau
kombinasi dari coperation, enhancement, identity, dan advocacy.
Dalam perkawinan, misalnya bisa suami telah bertindak sebagai
pemimpin bagi isterinya, karena merasa bahwa isteri adalah
amanahnya. Pun, isteri, bertindak taat pada suaminya, karena
merasa bahwa sang suami memiliki hak yang besar atas dirinya.

2.1.4 Sifat Komitmen


Menurut Nichols (2005) komitmen mempunyai beberapa sifat.
Pertama, komitmen berbeda dengan attachment (kelekatan). Attachment
(kelekatan) diartikan sebagai ikatan simbolis yang muncul di antara dua
orang karena berbagi keyakinan, nilai-nilai, makna dan identitas.
Seorang laki-laki mungkin terikat dalam perkawinan karena kebutuhan akan
rasa aman dan status sosial tapi tetap mempunyai pasangan di luar
perkawinan (wanita idaman lain – WIL) kepada siapa dia berbagi hubungan
yang erat secara emosional. Kedua, komitmen berbeda dengan kepuasan
dalam perkawinan. Dalam penelitian yang dilakukan Jones, Adams dan
Berry (1995) menyatakan bahwa komitmen dan kepuasan dalam perkawinan
merupakan fenomena yang secara konseptual berbeda dalam pengukuran
kepuasaan perkawinan dan skala komitmen. Ditemukan juga bahwa ada
pasangan yang merasa tidak puas dalam perkawinan tapi memilih tetap
bertahan dengan berbagai alasan. Ketiga, komitmen merupakan hal yang
penting untuk kesuksesan dan stabilitas perkawinan. Pengamatan klinis dan
penelitian terhadap 100 pasangan suami isteri menemukan sejumlah elemen
yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap ketakutan dalam perkawinan
yang berhubungan dengan komitmen perkawinan antara lain takut
kekurangan uang, takut akan masalah anak.

2.2 Ketahanan Keluarga


Keluarga merupakan sebuah unit kecil dari sistem masyarakat
yang sering terlewatkan dalam tinjauan ilmiah. Pada konteks situasi
ekstrim, banyak studi tentang perang, tragedi kemanusiaan atau bencana
berfokus pada patologi dan penanganan individual dan komunitas, sementara
peran, fungsi dan sistem keluarga sering tidak tampak sebagai salah satu
penentu positif ataupun negatif bagi individu yang mengalami trauma akibat
peristiwa traumatis. Keluarga, sebagai unit integral dari masyarakat sangat
penting dalam menentukan bagaimana masyarakat pulih setelah terjadinya
peristiwa traumatik. Terlepas dari tingkat trauma, keluarga adalah inti dari
semua penyembuhan karena efek trauma massal di seluruh masyarakat,
generasi, dan waktu dapat dikurangi secara melalui penanganan yang tepat
dalam keluarga.

Toleransi terhadap ketidakpastian yang panjang dan kemampuan


beradaptasi, bertahan dan tumbuh dari kesengsaraan disebut resiliensi
(Boss, 2013). Berbagai definisi resiliensi dari studi- studi terdahulu
menekankan pada proses adaptasi positif yang disertai kemampuan untuk
bangkit dari pengalaman buruk dan menyakitkan (Smith-Osborn, 2007;
Bonano, 2004; Richardson, 2002; Luthar, Cichetti, &Becker,
2000).Resiliensi merupakan konsep yang pada awalnya dikembangkan
dalam konteks psikopatologi perkembangan dan berdasarkan pada perspektif
ekologi, stress dan koping (Smith-Osborn, 2007).Studi-studi resiliensi
terdahulu telah menelaah daya tahan pada individual, namun resiliensi
sendiri sebenarnya dapat dilihat pada unit analsis yang lebih besar seperti
keluarga, kelompok, organisasi dan komunitas (Myers & Taylor, 1998;
McCubbin, 1988; Brody & Simmons, 2007; Cohen, Slonim, Finzi, &
Leichtentritt, 2011).

Penulis menemukan beberapa studi tentang peran, fungsi ataupun


karakter keluarga dalam menghadapi peristiwa traumatis, diantaranya
penguatan keluarga dan resiliensi komunitas pada kehilangan traumatis dan
bencana (Walsh, 2007); proses keluarga, coping dan resiliensi akibat trauma
perang pada penyintas (Chaitin, 2003; Kimhi dkk, 2012); resiliensi keluarga
dan empati (Lietz, 2011); adaptasi keluarga pada penyintas perang (Fox dkk,
2012); alur resiliensi dan penguatan individu, keluarga dan komunitas
dengan pendekatan sistem (Landau, Mittal & Wieling; Betancourt & Khan,
2008).

Konstruk ketahanan keluarga menjelaskan situasi di mana


keluarga yang menghadapi tingkat tinggi stres mampu mempertahankan
fungsi yang sehat meskipun dampak negatif dari kesulitan muncul.

2.2.1 Tinjauan Teoritis Resiliensi Keluarga


Pada sejumlah studi yang menelaah resiliensi individu, keluarga
menjadi salah satu faktor penting baik bersifat sebagai faktor protektif
maupun faktor risikodalam pembentukan resiliensi Mc Adam, 2013;
Bates, Johnson, & Rana, 2013). Resiliensi keluarga berangkat dari
resiliensi individual dalam sistem keluarga yang berfokus pada ketahanan
relasional dalam keluarga sebagai unit fungsional.

Konsep awal resiliensi keluarga dikembangkan berdasarkan


paradigma salutogenesis oleh Antonovsky pada tahun 1988 yang
menyebutkan bahwa stresor merupakan bagian dari eksistensi manusia, dan
keberhasilan koping penting untuk kesehatan. Resiliensi diasosiasikan
dengan salutogenesis yang berorientasi pada kesehatan psikologis (Hawley
dan DeHaan, 1996). Perspektif ini lebih mementingkan faktor yang
berkontribusi pada keberfungsian sehat dalam keluarga karena keluarga
dipandang memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Resiliensi keluarga merupakan kombinasi karakteristik individu, pola
hubungan dan interaksi antar anggota dalam keluarga sehingga resiliensi
terbentuk dari relasi yang kuat dan positif dalam keluarga (Patterson, 2002;
Walsh, 2006; Greef & Human, 2013).

Munculnya istilah resiliensi keluarga dibangun berdasarkan teori


dan penelitian tentang stres, koping, dan adaptasi keluarga (Hill, 1958;
McCubbin & Patterson, 1983, & Patterson, 1988; 2002 dalam Walsh,
2003). Para peneliti terdahulu memulai studi mengenai stres keluarga dengan
asumsi 1) anggota keluarga berinteraksi dan mendukung satu sama lain, 2)
adanya stresor menuntut keluarga untuk mampu beradaptasi dan melakukan
penyesuaian, dan 3) aturan tertentu dan komunitas akan mendorong koping
dan adaptasi keluarga (McCubbin & MCubbin dalam Nichols, 2013).

Kalil (2003) menyebutkan perbedaan mendasar antara resiliensi


individu dan resiliensi keluarga terletak pada akar dan sumber konsep
resiliensi. Resiliensi individu berakar pada perspektif perkembangan
kehidupan manusia dan berfokus pada bagaimana individu menjadi
resilien dalam menghadapi kesulitan atau tantangan dalam hidup. Resiliensi
keluarga berakar pada perspektif positif dan melihat keluarga sebagai
unit kolektif dari sejumlah individu yang berinteraksi dan memiliki
kekuatan tersendiri. Resiliensi keluarga berkembang dengan
menempatkan keluarga sebagai unit fungsional yang menjadi sumber bagi
anggota keluarga untuk menjadi resilien (Walsh, 2003).

Di Indonesia, konsep resiliensi keluarga lebih dikenal


dengan ketahanan keluarga. Penjelasan ketahanan keluarga dirangkum
sebaga berikut: Keluarga diamahkan oleh Undang- Undang Nomor 52
Tahun 2009 TentangPerkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga:

a. Bab II: Bagian Ketiga Pasal 4 Ayat (2), bahwa


pembangunan keluarga bertujuanuntuk meningkatkan
kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram
danharapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan
kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
b. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan perkawinanyang sah dan bercirikan sejahtera,
sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anakyang ideal,
berwawasan ke depan, bertanggungjawab, harmonis dan
bertakwakepada Tuhan yang Maha Esa.
c. Kualitas keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup
aspek pendidikan,kesehatan, ekonomi, sosial budaya,
kemandirian keluarga dan mental spiritualserta nilai-nilai
agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga
sejahtera.
d. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi
keluarga yang memilikikeuletan dan ketangguhan serta
mengandung kemampuan fisik materiil gunahidup mandiri
dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonisdalam meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir dan batin.
e. Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan
kualitas keluarga,baik sebagai sasaran maupun sebagai
pelaku pembangunan, sehingga terciptapeningkatan
ketahanan baik fisik maupun non fisik, kemandirian
sertakesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yangberkualitas.

Selain itu, ketahanan keluarga dijelaskan dalam UU Nomor 10/1992


sebagai dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan danketangguhan
serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritualguna
hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai
keadaanharmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini
senada dengan definisi ketahanan keluarga dari The National Network for
Family Resilience(1995)yang menyebutkan bahawa ketahanan keluarga
menyangkut kemampuan individu atau keluarga untukmemanfaatkan
potensinya untuk menghadapi tantangan hidup, termasuk kemampuanuntuk
mengembalikan fungsi- fungsi keluarga seperti semula dalam
menghadapitantangan dan krisis
Menurut Chapman (2000) ada lima tanda adanya ketahanan
keluarga (family strength) yang berfungsi dengan baik (functional family)
yaitu (1) Sikap melayani sebagai tandakemuliaan, (2) Keakraban antara
suami-istri menuju kualitas perkawinan yang baik, (3) Orangtua yang
mengajar dan melatih anaknya dengan penuh tantangan kreatif,
pelatihanyang konsisten dan mengembangkan ketrampilan, (4) Suami-istri
yang menjadipemimpin dengan penuh kasih dan (5) Anak-anak yang
mentaati dan menghormati orangtuanya. Senada dengan Chapman, Pendapat
Pearsall (1996) menyatakan bahwa rahasia ketahanan/ kekuatan keluarga
beradadiantaranya pada jiwa altruism antara anggota keluarga yaitu berusaha
melakukansesuatu untuk yang lain, melakukan dan melangkah bersama,
pemeliharaan hubungankeluarga, menciptakan atmosfir positif, melindungi
martabat bersama dan merayakankehidupan bersama.

Adapun menurut Martinez et al. (2003), yang disebut dengan


keluarga yang kuat dansukses, yang dapat diartikan sebagai ketahanan
adalah keluarga dengan kriteria:

a. Kuat dalam aspek kesehatan, indikatornya adalah keluarga merasa


sehat secara fisik, mental, emosional dan spiritual yang maksimal.
b. Kuat dalam aspek ekonomi, indikatornya adalah keluarga
memiliki sumberdayaekonomi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya (a living wage)melalui kesempatan bekerja,
kepemilikan aset dalam jumlah tertentu dansebagainya.
c. Kuat dalam kehidupan keluarga yang sehat, indikatornya adalah
bagaimanakeluarga terampil dalam mengelola resiko, kesempatan,
konflik dan pengasuhanuntuk mencapai kepuasan hidup.
d. Kuat dalam aspek pendidikan, indikatornya adalah kesiapan anak
untuk belajar dirumah dan sekolah sampai mencapai tingkat
pendidikan yang diinginkan denganketerlibatan dan dukungan peran
orang tua hingga anak mencapai kesuksesan.
e. Kuat dalam aspek kehidupan bermasyarakat, indikatornya
adalah jika keluargamemiliki dukungan seimbang antara yang
bersifat formal ataupun informal darianggota lain dalam
masyarakatnya, seperti hubungan pro-sosial antar
anggotamasyarakat, dukungan teman, keluarga dan sebagainya,
dan
f. Kuat dalam menyikapi perbedaan budaya dalam masyarakat
melalui keterampilan interaksi personal dengan berbagai budaya.

Sementara itu, konsep ketahanan keluarga Indonesia dari Sunarti


(2001) yang menjelaskan bahwa ketahanan keluarga menyangkut
kemampuan keluarga dalammengelola masalah yang dihadapinya
berdasarkan sumberdaya yang dimiliki untukmemenuhi kebutuhan
keluarganya. Hal ini diukur dengan menggunakan pendekatan sistem
yangmeliputi komponen input (sumberdaya fisik dan non fisik), proses
(manajemen keluarga,salah keluarga, mekanisme penanggulangan) dan
output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikososial). Jadi keluarga
mempunyai:

a. Ketahanan fisik apabila terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang,


perumahan,pendidikan dan kesehatan (indikator: pendapatan per
kapita melebihi kebutuhanfisik minimum) dan terbebas dari
masalah ekonomi (indikator: terbebas darimasalah ekonomi).
b. Ketahanan sosial apabila berorientasi nilai Agama, komunikasi
berlangsungefektif, komitmen keluarga tinggi (pembagian peran,
dukungan untuk maju danwaktu kebersamaan keluarga, membina
hubungan sosial dan mekanismepenanggulangan masalah.
c. Ketahanan psikologis keluarga apabila keluarga mampu
menanggulangi masalahnon fisik, pengendalian emosi secara
positif, konsep diri positif (termasukterhadap harapan dan
kepuasan) dan kepedulian suami terhadap istri.

Sebagai kesimpulan, ketahanan keluarga merupakan suatu


konsepholistik yang merangkai alur pemikiran suatu sistem, mulai dari
kualitas ketahanansumberdaya, strategi coping dan appraisal„. Resiliensi
keluargakemudian dipandang sebagai proses adaptasi terhadap tantangan
untuk kesejahteraan psikologis. Hal ini juga menegaskan bahwa
resiliensi keluarga merupakan sebuah kondisi kontinum yaitu keluarga
dapat menjadi lebih atau kurang resilien bergantung pada satu situasi
tertentu (Mackay, 2003)Walsh (2006) menyebut resiliensi keluarga
sebagai proses penyembuhan keluarga setelah krisis yang berfokus pada
kunci proses keluarga untuk beradaptasi.
2.2.2 Ciri Keluarga Yang Resilien
McCubin (1997) menyebutkan dua komponen resiliensi keluarga
yaitu a) kemampuan keluarga untuk menjaga pola keberfungsian yang
terbangun setelah adanya kesulitan dan tekanan; b) kemampuan keluarga
untuk pulih dengan cepat dari trauma atau kejadian meneka yang
menyebabkan perubahan dalam keluarga. Kedua komponen tersebut dalam
resiliensi keluarga disebut sebagai karakteristik elastis dan daya mengapung.

Keluarga yang resilien adalah keluarga yang menunjukkan interaksi


sebagai sesuatu yang dinamis, integrasi antara faktor-faktor protektif
dan perbaikan yang meliputi optimisme, spiritualitas, keserasian,
fleksibilitas, komunikasi, manajemen keuangan, waktu dan rekreasi, rutinitas
dan ritual, serta dukungan sosial (Patterson, 2002).

2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Keluarga


Mackay (2003) menyebutkan kunci konsep resiliensi keluarga dapat
dipahami dari tiga faktor yaitu faktor protektif, faktor risiko, dan faktor
kerentanan. Sementara itu, McCubbin, McCubbin, Thomson, Han, & Alley
(1997) mengidentifikasi faktor resiliensi keluarga terdiri atas faktor
protektif, faktor pemulihan dan faktor resiliensi keluarga umum. Faktor
protektif keluarga meliputi perayaaan keluarga, waktu dan rutinitas keluarga,
dan tradisi keluarga. Faktor pemulihan meliputi integrasi keluarga, dukungan
keluarga dan membangun harga diri, orientasi rekreasi keluarga dan
optimisme keluarga. Sedangkan, faktor resiliensi keluarga umum adalah
faktor yang dapat berperan sebagai faktor protektif dan faktor pemulihan
keluarga yang meliputi strategi problem solving, proses komunikasi
efektif, kesamaan, spiritualitas, fleksibilitas, kebenaran, harapan,
dukungan sosial, serta kesehatan fisik dan emosional.

Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran tentang faktor-


faktor utama yang dapat membangun resiliensi keluarga, faktor tersebut
dapat dibagi menjadi dua yakni: a) faktor internal, adalah faktor yang berasal
dari diri individu, termasuk di dalamnya kapasitas kognitif, komunikasi,
emosi, fleksibilitas, spiritual dan b) faktor eksternal, adalah faktor yang
berasal dari luar diri individu, termasuk di dalamnya dukungan dari
anggota keluarga lain, menghabiskan waktu bersama keluarga, kondisi
finansial yang baik, dan hubungan yang baik dengan lingkungan sosial.

2.3 Spiritual Well Being

2.3.1 Pengertian Spiritual Well Being


Spiritual Well Being atau dikenal dengan kesejahteraan spiritual
berasal dari dua kata yaitu kesejahteraan dan spiritual. Sejahtera, adalah
suatu kondisi yang serba baik, masyarakatnya dalam keadaan makmur, sehat
dan damai. Terdapat dua pendekatan untuk memahami well being menurut
Ryan dan Deci: Pertama, pendekatan yang difokuskan pada kebahagiaan,
dengan memberi batasan berupa “batas-batas pencapaian kebahagiaan dan
mencegah dari kesakitan.” Pendekatan yang kedua adalah pengembangan
potensi manusia, batasan menjadi orang yang fungsional secara
keseluruhan/utuh, termasuk cara berpikir yang baik dan fisik yang sehat.

Sejahtera dapat diartikan juga sebagai suatu kondisi aman sentosa,


makmur, serta selamat, terlepas dari berbagai gangguan, sedangkan
kesejahteraan adalah keamanan dan keselamatan (kesenangan hidup,
kemakmuran dan sebagainya). Kesejahteraan dalam UU No 6 tahun 1974
yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin.
Sedangkan pengertian sejahtera menurut Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi
kebutuhan dasarnya yang meliputi kecukupan dan mutu pangan, sandang,
papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar
lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Termasuk juga
terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kesejahteraan dapat tercapai ketika terpenuhi kebutuhan dasar,


makmur, sehat, damai dan selamat, beriman dan bertaqwa. Untuk mencapai
kesejahteraan tersebut manusia melakukan berbagai macam usaha, misalnya
di bidang pertanian, perdagangan, pendidikan, kesehatan serta keagamaan,
pertahanan-keamanan dan sebagainya. Manusia juga melakukan upaya-
upaya secara individu serta berkelompok. Upaya mencapai kesejahteraan
lewat kelompok misalnya membentuk paguyuban, koperasi, assosiasi,
organisasi serta membentuk Negara.

Spiritual, spiritualitas, dan spiritualisme berasal dari kosa kata Latin


spirit atau spiritus yang berarti napas. sedangkan spirare berarti untuk
bernapas. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka untuk hidup adalah untuk
bernapas, memiliki napas artinya memiliki spirit. Menurut Hasan, spirit
dapat diartikan sebagai kehidupan, nyawa, jiwa, dan napas. Hasil penelitian
Martsolf dan Mickey mengungkapkan beberapa kata kunci yang mengacu
kepada pengertian spiritualitas, yaitu: makna (meaning), nilai-nilai (values),
transendensi (transcendency), bersambungan (connecting), dan menjadi
(becoming).

Spiritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah


berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin), spiritual
merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan
makna hidup serta merupakan bagian paling pokok dari keseluruhan
kesehatan dan kesejahteraan seseorang.

Spiritualitas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu


yang spiritual mempunyai kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan
hidup manusia, sering dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi
dan sementara. Spiritualitas merupakan ekspresi dari kehidupan yang
dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam
pandangan hidup seseorang, dan lebih daripada hal yang bersifat indrawi.
Salah satu aspek dari spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara terus
menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari
seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam
semesta, dan menghilangkan ilusi dari gagasan yang salah yang berasal dari
alat indera, perasaan, dan pikiran.

Spiritualitas merupakan bentuk dari habluminallah (hubungan antara


manusia dengan Tuhannya) yang dilakukan dengan cara sholat, puasa, zakat,
haji, doa dan segala bnetuk ibadah lainnya. Secara garis besar spiritualitas
merupakan kehidupan rohani (spiritual) dan terwujud dalam cara berpikir,
merasa, berdo‟a dan berkarya. Seperti dinyatakan William Irwin Thomson,
bahwa spiritualitas bukan agama, namun tidak dapat dilepaskan dari nilai
keagamaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Graham, dkk menunjukkan bahwa
semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar
kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Kesehatan spiritual
mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang;
mengandalkan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi (the higher power),
merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta.
Spika,Shaver, dan Krickpatrick mencatat tiga peran spiritualitas dalam
proses Coping, yaitu menawarkan makna kehidupan, memberikan sense of
control terbesar dalam mengatasi situasi, dan membangun self esteem (harga
diri). Oleh karena itu spiritualitas cukup berperan dalam proses Coping.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa


kesejahteraan spiritual adalah suatu kondisi dimana seseorang terpenuhi
kebutuhan/ bahagia secara ruhani atau kejiwaannya, ia merasa dekat dengan
Penciptanya, sehingga dalam melakukan segala sesuatu/ dalam berkata dan
berbuat atau menyelesaikan permasalahan selalu dilakukan dan dimaknai
positif.

2.3.2 Spiritualitas dan Religiusitas


Para pakar banyak yang menyatakan keberatan jika istilah spiritual
dan religius dianggap sama. Spiritualitas kehidupan merupakan intisari
kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran manusia tentang diri, asal, tujuan,
dan nasib. Sedangkan Religiusitas (agama) merupakan kebenaran mutlak
dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik di atas dunia. Agama
merupakan serangkaian praktik perilaku tertentu yang dihubungkan dengan
kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu dan dianut oleh anggota-
anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman, komunitas, dan kode etik. Jika
spiritualitas memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan
dan kesadaran), maka agama memberikan jawaban apa yang harus
dikerjakan seseorang (perilaku atau tindakan). Setiap manusia dapat
menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau
tingkat spiritualitas yang sama.1Penganut agama ortodox beranggapan
spiritualitas merupakan wujud dari aspek pengalaman keberagamaan
mereka, karena melihat bahwa spiritualitas merupakan hal yang bersifat
sekular daripada bagian dari ritual keagamaan mereka. Beberapa orang
memandang bahwa spiritualitas bukan agama, melainkan hubungan aktif
dan penting dengan kekuatan, semangat atau perasaan diri yang terdalam.
Mereka yang menganut spiritualitas dalam agama memiliki anggapan
sebagaimana dinyatakan oleh William Irwin Thompson “Agama tidak sama
dengan spiritualitas, namun agama merupakan bentuk spiritualitas yang
hidup dalam peradaban.” Spiritualitas dalam agama membawa konotasi
bagaimana karakter kepercayaan seseorang dalam hubungannya dengan
Tuhan.

Umat islam mengasah spiritualitas keberagamaan yang dimiliki


melalui shalat. Spiritualitas dalam keberagamaan merupakan pengalaman
yang suci karena spiritualitas adalah segala hal yang bersifat rohani yang ada
di dalam diri manusia yang hidup. Spiritualitas dan agama merupakan dua
hal mendasar dalam kehidupan yang harus saling diperhatikan. Untuk
memahami dasar spiritualitas, seseorang harus memahami makna mendasar
yang ada dibalik ayat Allah tentang alam semesta.

Agama dari hari ke hari senantiasa memberikan keringanan,


sebaliknya spiritualitas membebaskan seseorang untuk selamanya berada
pada lingkaran hidup dan mati. Agama merupakan upaya untuk mengikuti
guru yang mendapat pencerahan, namun hanya dengan interpretasi yang
tepat terhadap ajarannya seseorang dapat memperoleh spiritualitas untuk
mencapai tujuannya. Jika seseorang ingin memahami dasar kehidupan dan
mencapai tujuan perjalanan kosmik, ia harus memahami spiritualitas secara
keseluruhan. Sebaliknya, jika seseorang menginginkan hidup dalam
kehadiran fisik yang termanifestasi dalam kehidupan dengan cara yang
terbaik dan masih mengikuti dogma agama merupakan sesuatu yang sudah
mencukupi.

2.3.3 Tingkatan Spiritualitas


Menurut guru sufistik, terdapat tujuh tingkat spiritualitas manusia,
dari yang bersifat egoistik sampai yang suci secara spiritual, yang dinilai
langsung oleh Allah bukan oleh manusia. Seseorang yang mencari jalannya,
harus mengenal dan menyadari karakter serta perilaku dirinya secara jujur,
sebelum naik pada tingkat yang lebih tinggi. Mengenali karakteristik masing-
masing tingkatan merupakan hal yang penting, khususnya pada tingkatan
dimana ia berada. Tingkatan ini terdiri dari:

a. Nafs Ammarah (The Commanding Self)


Tahap ini merupakan tahapan dimana orang yang nafsunya didominasi
godaan yang senantiasa mengajak ke arah kejahatan. Seseorang yang
berada pada tahap ini tidak dapat mengontrol kepentingan dirinya dan tidak
memiliki moralitas atau perasaan kasih. Contoh sifat-sifat yang muncul
pada tahap ini diantaranya yaitu: dendam, kemarahan, ketamakan, gairah
seksual, dan iri hati.

b. Nafs Lawwamah (The Regretful Self)

Pada tahap ini, manusia mulai memiliki kesadaran terhadap perilakunya, ia


dapat membedakan yang baik dan yang benar, dan menyesali kesalahan-
kesalahannya. Namun, ia belum memiliki kemampuan untuk mengubah
gaya hidupnya dengan cara yang signifikan.

c. Nafs Mulhimah (The Inspired Self)

Orang yang berada pada tahap ini mulai merasakan ketulusan dari
ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan
nilai-nilai moral.

d. Nafs Muthma‟innah (The Contented Self)

Pada tahap ini, orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal
telah lewat, kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tak lagi penting.
Kepentingan diri mulai lenyap, sehingga membuat seseorang lebih dekat
dengan Tuhannya. Tingkat ini membuat seseorang menjadi berpikiran
terbuka, bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang, dapat
dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang.

e. Nafs Radhiyah (The Pleased Self)

Seseorang yang berada pada tahap ini tidak hanya tenang dengan dirinya,
namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit, musibah, atau cobaan dalam
kehidupannya. Ia menyadari bahwa segala kesulitan datang dari Allah
untuk memperkuat imannya.

f. Nafs Mardiyah (The Self Pleasing to God)

Pada tahap ini, seseorang telah menyadari bahwa segalanya tidak dapat
terjadi begitu saja melainkan berasal dari Allah. Tidak ada lagi rasa takut
dan tidak lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini telah
mencapai kesatuan internal. Tahap ini termanifestasi melalui ikatan Sang
Pencipta dengan yang diciptakan-Nya, melalui perasaan cinta yang
mendasarinya.

g. Nafs Safiyah (The Pure Self)

Seseorang yang telah berada atau mencapai tahap akhir ini telah mengalami
transendensi diri yang seutuhnya. Titik ini merupakan titik kesucian, tidak
ada nafs yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Seseorang telah
menyadari kebenaran sejati, “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ia menyadari
bahwa tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah, semua hanya milik Allah dan
akan kembali pada- Nya, sehingga tidak ada lagi keinginan dan keluhan.
Seseorang yang berada pada tahap ini adalah sosok manusia menyandarkan
segala sesuatunya hanya pada Allah.

2.3.4 Aspek-Aspek Spiritual


Spiritualitas mengacu kepada kapedulian antar sesama. Sisi-sisi
spiritualitas digambarkan: “berusaha untuk menyelesaikan permasalahan
orang lain bukan saja merupakan kewajiban setiap orang; hal tersebut adalah
suatu kesenangan yang paling baik dan luhur dalam kehidupan.

Menurut Burkhand spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau

ketidakpastian dalam kehidupan

b. Menemukan arti dan tujuan hidup

c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan


dalam diri sendiri

d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan


denganYang Maha Tinggi.

Paloutzian dan Ellison membagi Spiritual Well Being kedalam dua


aspek, yaitu Religious Well Being (RWB) yang berarti hubungan vertikal
dengan Tuhan dan Existential Well Being (EWB) yang menjelaskan
hubungan horizontal meliputi hubungan dengan sesama manusia, lingkungan
serta kepuasan hidup,20 Sedangkan menurut Miller, Fleming, and Brown-
Anderson, aspek Spiritual Well Being yaitu: Connection with God
(Hubungan dengan Tuhan), Satisfaction with God and day-to-day living
(kepuasan dengan Tuhan dan kehidupan sehari-hari), Future/life contentment
(masa depan/kepuasan hidup), Personal relationship with God (hubungan
pribadi dengan Tuhan), Meaningfulness (kebermaknaan).

2.4 Work-Family Conflict

2.4.1 Definisi Work-Family Conflict


Kahn, dkk. (1964) menjelaskan konsep work-family conflict dengan
menggunakan kerangka teori peran. Penulis menjelaskan bahwa penentu
utama dari perilaku individu adalah ekspektasi perilaku yang orang lain
miliki terhadap dirinya. Teori peran menelaah ekspektasi yang dimiliki oleh
masing- masing peran dapat menghasilkan inter-role conflict (konflik antar
peran) ketika terdapat tekanan untuk mendominasi demi memuaskan seluruh
ekspektasi, karena masing-masing peran memerlukan waktu, energi dan
komitmen. Berdasarkan kerangka tersebut, Kahn dkk. (1964) mendefinisikan
work-family conflict sebagai bentuk dari konflik antar peran di bidang
pekerjaan dan lingkungan yang bertentangan.

Menggunakan definisi dari Kahn, Greenhaus & Beutell (1985) yang


menjabarkan work-family conflict sebagai bentuk dari konflik antar
peran yaitu saat tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga saling
bertentangan sehingga partisipasi dalam salah satu peran menjadi lebih sulit
karena partisipasi pada peran lainnya. Pertentangan serta tekanan yang
semakin meningkat antara peran di keluarga dan di tempat kerja
menyebabkan efektivitas pada salah satu peran terhambat oleh kegiatan
peran lainnya.

Dengan kata lain, work-family conflict muncul ketika kegiatan


dalam suatu peran mengganggu pemenuhan syarat dan pencapaian
efektivitas dalam peran lainnya. Menurut Frone, dkk (1992), work-family
conflict umumnya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan
peran pekerjaannya dan usahanya dipengaruhi oleh kemampuan dirinya
sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, atau sebaliknya,
pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan
dalam memnuhi tuntutan pekerjaannya. Tuntutan yang berasal dari
pekerjaan antara lain meliputi beban kerja yang berlebihan dan batas waktu
dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan tuntutan yang berasal
dari keluarga meliputi waktu yang dibutuhkan untuk menangani
masalah dan tugas rumah tangga (Murtiningrum, 2005). Frone,dkk. (1992)
kemudian mendefinsikan work-family conflict sebagai konflik peran yang
terjadi pada karyawan, yang pada satu sisi harus melakukan tanggung
jawabnya di kantor dan di sisi lain ia harus memperhatikan dan mengurus
keluarga. Hal ini berakibat pada sulitnya membedakan antara pekerjaan
mengganggu keluarga (work-family conflict) dan keluarga mengganggu
pekerjaan (family-work conflict).

Netemeyer, dkk. (1996) mendefinisikan work family conflict sebagai


bentuk konflik antar peran saat terdapat tuntutan umum pada waktu yang
dihabiskan bersama keluarga sehingga terciptanya ketegangan akibat
pekerjaan yang mengganggu dalam melaksanakan tanggung jawab yang
berhubungan dengan keluarga. Tuntutan pada satu peran membuat
pelaksanaan tugas pada peran lainnya menjadi lebih sulit. Tuntutan
umum dalam suatu peran antara lain adalah tanggung jawab, persyaratan,
ekspektasi, tugas dan komitmen yang berhubungan dengan peran yang
diberikan.

Soeharto (2010) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk


dari interrole conflict ketika peran yang dituntut dalam pekerjaan dan
keluarga saling mempengaruhi satu sama lain. Work-family conflict
dinyatakan sebagai studi dua arah mengenai kategori konflik yang dapat
diidentifikasi sebagai konflik pekerjaan ke keluarga dan konflik keluarga ke
pekerjaan (Zhang, dkk, 2012). Boles, dkk. (2001) menyatakan work-family
conflict mencerminkan kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan
yang diberikan dengan banyaknya tuntutan terkait performa kerja dan tugas
di dalam keluarga.

Berdasarkan definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat


disimpulkan bahwa work-family conflict adalah salah satu bentuk dari
konflik peran ketika tuntutan antara peran di pekerjaan dan keluarga saling
bertentangan sehingga menyebabkan pelaksanaan salah satu peran menjadi
terhambat dan menimbulkan konflik.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-Family Conflict

Dalam jurnalnya, Michel, dkk. (2011) mengungkapkan beberapa


faktor yang melatar belakangi work family conflict, yaitu :

a. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan menunjukkan bagaimana masing-masing
karyawan memiliki peran yang berbeda tergantung pada
pekerjaannya, peran pekerjaan tertanam dalam suatu keadaan atau
kondisi yang sudah melekat pada pekerjaan tersebut.
1) Stresor Peran (Role Stressors)
Stresor pada pekerjaan dan keluarga merupakan hasil daripada
tekanan yang dimiliki peran pada masing-masing domain. Konflik
peran, ambiguitas peran, peran yang berlebihan dan komitmen waktu
kerja secara umum dipandang sebagai sumber utama stres dalam
kerangka stresor (Kahn dkk., 1964). Banyak individu yang akhirnya
menyerah pada tekanan yang ada dalam usahanya untuk memenuhi
beragam ekspektasi dari masing-masing peran. Salah satu
penyebabnya adalah ketika tekanan peran yang ada dalam kerangka
stressor (konflik peran, ambiguitas peran, kelebihan peran dan
tuntutan waktu) dihadapi, tenaga individu akan lebih banyak
terkuras. Manusia memiliki energi serta waktu yang terbatas,
sehingga ketika stressor peran pada salah satu domain mengalami
peningkatan akan menghasilkan konflik yang lebih besar.
2) Keterlibatan Peran (Role Involvement)
Keterlibatan kerja dan keluarga mengacu pada tingkat keterikatan
psikologis atau kaitan terhadap peran di pekerjaan dan keluarga
(Frone, 2003). Individu yang memiliki keterikatan peran tinggi
memiliki ketertarikan kognitif terhadap peran tertentu. Ketertarikan
peran yang tinggi membuat sesorang melihat peran tersebut
sebagai hal terpenting dan pusat dari kehidupannya. Tingginya
keterlibatan psikologis terhadap suatu peran tertentu dapat membuat
sulit untuk terikat dalam kegiatan peran saingannya, misalnya
keterlibatan pada pekerjaan dapat membuat keterikatan pada
perannya di keluarga berkurang. Teori peran menjelaskan bahwa
individu dapat terlibat secara psikologis dengan perannya di
pekerjaan dan di rumah sebagai usaha untuk memenuhi ekspektasi
dari masing-masing peran. Seandainya ketidakpuasan ditemui dalam
salah satu peran, individu dapat menyesuaikan waktu, perhatian dan
energi yang dimiliki. Teori kompensasi menjelaskan bahwa terdapat
hubungan terbalik antara domain pekerjaan dan keluarga, di mana
ketidakpuasan pada satu domain akan diimbangi melalui kepuasan
atau keterlibatan yang lebih besar dalam domain lain (Edwards &
Rothbard, 2000 dalam Michel, 2011).
3) Dukungan Sosial (Social Support)
Dukungan sosial merujuk pada bantuan peran, kekhawatiran
emosional, informasi dan penilaian fungsi lain yang berfungsi untuk
meningkatkan perasaan penting dalam diri seseorang (Carlson &
Perrewe, 1999). Dukungan sosial dari domain pekerjaan dapat datang
dari beberapa sumber seperti rekan kerja, supervisor dan organisasi
itu sendiri. Dukungan sosial untuk domain keluarga dapat datang dari
pasangan atau seluruh keluarga. Seperti yang dikemukankan oleh
Stoner, dkk (2011) yaitu dukungan dari keluarga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya work-family conflict yang dialami
oleh seseorang. Dukungan sosial yang didapatkan dari salah
satu domain dapat memimpin kepada berkurangnya waktu,
perhatian dan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan peran
tersebut.
4) Karakteristik Kerja (Work Characteristic)
Karakteristik kerja terdiri dari beberapa hal dalam domain yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan peran (Morgenson & Campion, 2003).
Beberapa hal tersebut antara lain durasi peran (pekerjaan dan
kepemilikan organisasi), karakteristik peran (tipe pekerjaan,
autonomi pekerjaan, variansi tugas, dan gaji), serta pengaruh
organisasional terhadap peran tersebut (alternatif jadwal kerja dan
seberapa jauh organisasi tersebut responsive terhadap keluarga).
Tingginya status dalam pekerjaan serta gaji yang semakin tinggi
mengindikasikan tanggung jawab yang lebih besar, stress yang
lebih besar sehingga menyulitkan untuk menjaga keseimbangan
dalam kedua peran yang dimiliki baik di rumah ataupun pekerjaan.
Karakter yang dimiliki oleh pekerjaan dan organisasi mempengaruhi
bagaimana individu dapat menjalankan perannya dan seberapa besar
tanggung jawab dan waktu yang dibutuhkan. Karakteristik pekerjaan
yang menuntut tanggung jawab serta perhatian yang besar dapat
mempengaruhi bagaimana individu menjalankan perannya di rumah.
b. Faktor Individu
Faktor individu yang dimaksudkan mempengaruhi work-family
conflict adalah kepribadian seseorang. Kepribadian menurut Allport
dalam Schultz & Schultz (2013) merujuk pada dinamika struktur
mental dan proses mental yang terkoordinasi yang menentukan
penyesuaian emosional dan perilaku individu terhadap
lingkungannya. Salah satu bagian dari kepribadian yang
berpengaruh terhadap work family conflict adalah internal locus of
control dan efektifitas negatif serta neurotisme. Internal locus of
control secara umum didefinsikan sebagai sejauh mana seseorang
melihat hasil yang ada disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) dan
bukan semata-mata karena kesempatan (eksternal) (Rotter, 1966).
Efektifitas negatif dan neurotisme secara umum didefinsikan sebagai
tingkatan stress yang lebih tinggi yang didasarkan pada sifat
psikologis, kecemasan, dan ketidakpuasan secara umum (Costa &
McCrae, 1992). Kemampuan dari dalam diri individu sendiri
merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan kedua peran
yang dimiliki, dan aspek-aspek dalam kerpibadian mempengaruhi
individu dalam menghadapi tekanan yang didapat dari kedua peran
yang akan mempengaruhi kemungkinan munculnya konflik antara
kedua peran. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahawa faktor-faktor mempengaruhi terjadinya work-
family conflict berasal dari pekerjaan seperti stresor yang ada,
keterlibatan peran, dukungan sosial dan karakteristik pekerjaan serta
berasal dari individu itu sendiri seperti kepribadiannya.

2.4.3 Aspek Work-Family Conflict


Terdapat enam aspek work-family conflict menurut Kopelman
dan Burley (Arinta & Azwar, 1993), yang terdiri dari :

1) Masalah pengasuhan anak


Pada umumnya individu mencemaskan kesehatan jasmani dan emosi
anak- anak yang artinya menuntut perhatian, tenaga dan pikiran
individu sewaktu mereka di tempat kerja.
2) Bantuan pekerjaan rumah tangga
Wanita dengan peran ganda membutuhkan bantuan dari berbagai
pihak baik dari suami, anak amupun seorang asisten rumah tangga
untuk turut serta dalam mengerjakan urusan rumah tangga.
3) Komunikasi dan interaksi dengan keluarga
Komunikasi adalah sarana untuk berinteraksi dengan orang lain serta
merupakan cara untuk mengutarakan kebutuhan, keinginan serta
keluhan yang dimiliki.
4) Waktu untuk keluarga
Menurut Sukanto, dkk (1999),ibu yang bekerja sering merasa
kekurangan waktu untuk suami, anak-anak bahkan untuk dirinya
sendiri.
5) Penentuan prioritas
Prioritas disusun berdasarkan pada keperntingan individu yang
bersangkutan agar tidak menimbulkan pertentangan antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain (Sukanto, dkk,
1999)
6) Tekanan karir dan keluarga
Dalam bekerja terdapat banyak tantangan yang menuntut
penyelesaian. Begitu pula dengan di rumah, terdapat peran dan
tanggung jawab lain yang menuntut untuk diselesaikan. Tuntutan-
tuntutan yang ada dapat berubah menjadi tekanan bagi individu
yang kemudian menimbulkan konflik dalam dirinya.
Dengan mempertimbangkan bentuk serta arah yang mempengaruhi
work-family conflict, maka Carlson, dkk (2000) menyimpulkan enam
aspek dari work family conflict, yaitu :
 Time based WIF
Terjadi ketika waktu yang digunakan untuk menyelasaikan
permasalahan pekerjaan mengganggu pemenuhan tanggung
jawab di keluarga.
 Time based FIW
Terjadi ketika waktu yang digunakan untuk memenuhi
tuntutan keluarga mengganggu pekerjaan.
 Strained based WIF
Terjadi ketika urusan pekerjaan mengganggu performa dalam
memenuhi tanggung jawab di keluarga .
 Strained based FIW
Terjadi ketika tekanan dari tuntutan keluarga mengganggu
pekerjaan yang seharusnya dilakukan.
 Behavior based WIF
Perilaku yang biasanya ditampilkan saat bekerja menjadi
masalah ketika ditampilkan dalam keluarga.
 Behavior based FIW
Perilaku yang biasanya ditampilkan dalam keluarga tidak
sesuai ketika diterapkan di pekerjaan sehingga menimbulkan
masalah.

Baltes & Heydens-Gahir (2003) mengemukakan terdapat beberapa


aspek dari work-family conflict yaitu

1) Time based demands


Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh individu, wantu yang
digunakan untuk pekerjaan seringkali berakibat pada keterbatasan
waktu untuk keluarga dan begitu pula sebaliknya.
2) Strained based demands
Ketegangan dalam salah satu peran akhirnya mempengaruhi kinerja
pada peran yang lain.
3) Behavior based demands
Terjadi kesulitan untuk melakukan perubahan perilaku dari satu peran
ke peran yang lainnya.

Peneliti menggunakan aspek-aspek work-family conflict yang


dikemukakan oleh Kopelman dan Burley (Arinta&Azwar, 1993)
sebagai aspek penelitian work-family conflict. Aspek ini dipilih karena
cakupan yang lebih luas dan rinci mengenai work-family conflict.

2.4.4 Arah Work-Family Conflict

Carlson, dkk. (2000) menyatakan bahwa work-family conflict


memiliki konsep bi-dirrectional atau memiliki dua arah yang terdiri :

a. Work interference with family (WIF)


Sebuah kondisi ketika hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan
menjadi hambatan dalam melaksanakan kewajiban dalam keluarga.
Misalnya, ibu yang pulang kerja malam akibat lembur tidak dapat
membantu anaknya mengerjakan tugas.
b. Family interference with work (FIW)
Sebuah kondisi ketika urusan keluarga (rumah tangga) menghambat
urusan pekerjaan. Misalnya, ketika anak sakit membuat sang ibu
merawatnya hingga terlambat datang ke kantor dan pekerjaannya
banyak yang tertunda.

Berdasarkan uraian di atas makan dapat disimpulkan bahwa work- family


conflict memiliki dua arah yaitu work interference with family dan family
interference with work.

2.4.5 Bentuk Work-Family Conflict

Greenhaus & Beutell (1985) memaparkan tiga bentuk dari work-


family conflict, yaitu :

a. Time-Based Conflict
Merupakan konflik yang terjadi akibat waktu yang digunakan dalam
memenuhi satu peran tidak dapat untuk memenuhi tanggung jawab
peran lainnya. Hal ini meliputi pembagian waktu, energi dan
kesempatan antara peran di pekerjaan dan di keluarga. Time-based
conflict memiliki 2 tipe, yaitu yang pertama merupakan tekanan
waktu yang berhubungan dengan keanggotaan dalam satu peran
membuat pemenuhan ekspektasi dari peran lain menjadi tidak
mungkin. Kedua, tekanan dapat menimbulkan pre- okupasi terhadap
satu peran, walaupun secara fisik berusaha untuk memenuhi tuntutan-
tuntutan pada peran lain (Bartolome & Evans, 1979).
b. Strain-Based Conflict
Merupakan konflik yang berasal dari ketegangan yang diproduksi
oleh peran, ketika ketegangan dari satu peran mengganggu
pemenugan tanggung jawab pada peran lain. Salah satu pemicu dari
ketegangan pada peran ialah stress kerja yang mampu
menimbulkan gejala-gejala ketegangan seperti tekanan, kecemasan,
depresi, kelelahan, apatis dan mudah marah. Strain-based conflict
muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari suatu peran
mempengaruhi pelaksanaan peran lain yang dimiliki individu (Pleck,
1980).
c. Behavior-Based Conflict
Merupakan konflik yang muncul ketika perilaku yang ditampilkan
dalam satu peran tidak sesuai dengan ekspektasi perilaku pada peran
lain. Ketidaksesuaian perilaku individu ketika bekerja dan ketika
berada di rumah terjadi karena disebabkan perbedaan aturan yang
berlaku dan kadang sulit menukar peran yang satu dengan peran
yang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work
family conflict memiliki tiga bentuk yaitu time based conflict, strain
based conflict, dan behavior based conflict.

2.4.6 Dampak Work-Family Conflict

Work-family conflict yang dialami oleh pekerja yang sudah


menikah dapat menimbulkan dampak bukan hanya bagi organisasi
tempatnya bekerja, melaikankan juga bagi individu itu sendiri dan
keluarganya. Duxburry & Higgins (2003) menyakatakan bahwa dampak
yang dapat ditimbulkan ketika individu mengalami work interfering with
family yaitu dapat menurunkan komitmen organisasi dan kepuasan kerja,
meningkatkan tingkat stres saat bekerja, menurunkan kepuasan jumlah jam
kerja, meningkatkan keluhan terhadap beban kerja yang diterima, serta niat
untuk berganti pekerjaan.

Dampak yang ditimbulkan dalam diri individu itu sendiri yaitu dapat
mengakibatkan depresi, stres psikologi (burnout), menurunnya tingkat
kepuasan hidup, serta mengalami penurunan kesehatan fisik (Duxburry
& Higgins, 2003). Clarke-Stewart & Dunn (2006) menyatakan dampak
yang ditimbulkan work-family conflict bagi keluarga adalah tekanan yang
dialami oleh orang tua akan mempengaruhi anak secara tidak langsung yaitu
melalui pola pengasuhan yang mengalami perubahan akibat tekanan yang
diterima orang tua. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
work-family conflict memiliki dampak terhadap organisasi, individu itu
sendiri dan keluarga.
2.5 Pola Komunikasi

2.5.1 Komunikasi dalam keluarga

a. Pengertian komunikasi dalam keluarga

Perkataan komunikasi berasal dari kata communicare yang di dalam


bahasa latin mempunyai arti berpartisipasi, atau berasal dari kata commons
yang berarti sama= common.

Istilah komunikasi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah


pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Menurut Stanly J. Baran dalam bukunya “Introduction mass


Communication: media literacy and culture”, In its simplest from
communication is the transmission of a message from a source to a
receiver. Maksud dari pengertian di atas adalah, pengertian sederhana dari
komunikasi adalah proses perpindahan pesan dari sumber ke penerima.

Menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya “Organisasi dan


Administrasi”, Komunikasi adalah suatu proses dimana pesan disampaikan
oleh penyampai pesan kepada penerima. Pesan itu dapat berupa perasaan
atau hasil pemikiran sendiri, atau hanya penerusan dari perasaan atau
hasil pemikiran orang lain, dengan maksud untuk mengubah pengetahuan,
ketrampilan dan atau sikap fihak penerima pesan. Sedangkan Keluarga
menurut Kusdwiratri Setiono adalah kelompok orang yang ada hubungan
darah atau perkawinan. Orang- orang yang termasuk keluarga adalah ibu,
bapak dan anak-anaknya.

Menurut Soelaeman yang dikutip Moh. Shohib dalam bukunya


“Pola Asuh Orang Tua”, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota
merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling
mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
dalam keluarga merupakan kegiatan atau proses penyaluran informasi,
perasaan, ide, Antara anggota keluarga satu dengan anggota yang lain.
b. Proses Komunikasi

Menurut Onong Uchjana, bahwa proses komunikasi terbagi menjadi


dua tahap, yaitu secara primer dan sekunder.

1) Komunikasi secara primer


Yaitu proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan lambang atau simbol sebagai media.
Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah
bahasa, kial. Isyarat, gambar, warna, yang secara langsung mampu
menerjemahkan pikiran dan perasaan komunikator kepada
komunikan.
2) Proses komunikasi secara sekunder
Yaitu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambing sebagai media pertama. Proses komunikasi ini dipakai
karena komunikasi berada di tempat jauh, medianya adalah telepon,
surat. Dalam proses komunikasi terdapat lima unsur penting yang
arus diperhatikan, yaitu:
 Sender, yaitu pihak yang mengirim pesan atau berita disebut
juga komunikator.
 Message, adalah pesan atau informasi yang hendak
disampaikan kepada pihak lain.
 Medium adalah sarana penyaluran pesan-pesan
(media)
 Receive, adalah pihak penerima pesan atau informasi.
Disebut juga komunikan.
 Response adalah tanggapan atau reaksi komunikan terhadap
pesan atau informasi yang diterima dari pihak
komunikator.
Agar komunikasi dapat berlangsung, maka harus terdapat sumber
(sender) dan penerima (receive) yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang sama. Maksudnya jika penerima tidak
memiliki pengetahuan yang sama dengan pengirim mengenai
bahasa, konsep, maka pengirim pesan akan terlambat atau gagal.
Sedangkan Redi Panuju berpendapat bahwa proses komunikasi
mempunyai empat aspek, yaitu:

1) Komunikator (communicator); yakni orang yang


menyampaikan pesan.
2) Pesan (massage); yakni alat yang dipergunakan oleh komunikator
untuk menyampaikan pesan.
3) Saluran (channel); alat yang dipergunakan oleh komunikator
untuk menyampaikan pesan.
4) Audience; pendengar atau orang yang menerima pesan.

c. Dasar Komunikasi

Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial dalam


hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial terkandung suatu
maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak terlepas dari individu yang
lain, secara kodrati manusia selalu hidup bersama antar manusia akan
berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi an situasi. Dalam
kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan pemikiran kegiatan
hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses interaksi dengan
Tuhannya, baik itu disengaja maupun tidak disengaja.

d. Tujuan komunikasi

Pada dasarnya komunikasi bertujuan untuk memberikan informasi,


mendidik dan menerangkan informasi bahkan menghibur komunikan. agar
komunikan terpengaruh dan berubah sifat sesuai dengan kehendak
komunikator dan untuk mempengaruhi tingkah laku si penerima informasi
yang dinyatakan dalam tindakan- tindakan tertentu sebagai respons terhadap
informasi yang diterimanya.

Menurut Stanton yang dikutip Ali Liliweri dalam bukunya


”Komunikasi serba ada serba makna” mengatakan bahwa sekurang-
kurangnya ada lima tujuan komunikasi manusia, Yaitu:

1) Mempengaruhi orang lain.


2) Membangun atau mengelola relasi antar personal
3) Menemukan perbedaan jenis pengetahuan.
4) Membantu orang lain.
5) Bermain atau bergurau.

Dengan demikian tujuan komunikasi sebenarnya adalah untuk


mencapai pengertian bersama, sesudah itu mencapai persetujuan mengenai
suatu pokok ataupun masalah yang merupakan kepentingan bersama.
Dengan kondisi yang demikian akan terjalin hubungan yang harmonis dan
saling mengerti satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan bersama.

Dalam Islam komunikasi juga bisa dijadikan media untuk ibadah


yaitu dengan cara berlaku baik atau berbuat kebajikan kepada sesama
manusia, alam maupun Tuhan.

e. Macam-macam Komunikasi

Joseph A. Devito seorang profesor komunikasi di City University of


New York dalam bukunya Communicology (1982) membagi komunikasi atas
empat macam, yakni komunikasi Antar pribadi, komunikasi kelompok kecil,
komunikasi publik dan komunikasi massa.

1) Komunikasi Antar pribadi


Menurut Devito yang dikutip Alo Liliweri dalam bukunya “
Komunikasi Antar pribadi”, komunikasi antar pribadi merupakan
pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan
efek dan umpan balik yang langsung. Ciri Komunikasi Antar
pribadi, yaitu: (a) spontanitas, terjadi sambil lalu dengan media
utama adalah tatap muka; (b) tidak mempunyai tujuan yang
ditetapkan terlebih dahulu; (c) terjadi secara kebetulan di antara
peserta yang identitasnya kerang jelas; (d) mengakibatkan dampak
yang disengaja dan tidak disengaja; (e) kerapkali berbalas-
balasan; (f) mempersyaratkan hubungan paling sedikit dua orang
dengan hubungan yang bebas dan bervariasi, ada keterpengaruhan;
(g) harus membuahkan hasil; dan (h) menggunakan lambang-
lambang yang bermakna.
2) Komunikasi kelompok kecil
Komunikasi kelompok kecil (small/ micro group communication)
adalah komunikasi yang:
 ditunjukkan kepada kognisi komunikan
 prosesnya berlangsung secara dialogis

Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukkan


pesannya kepada benak atau pikiran komunikan, misalnya kuliah,
ceramah, diskusi, seminar, rapat, dan lain-lain. Dalam situasi
komunikasi seperti itu logika berperan penting. Komunikan akan
dapat menilai logis tidaknya uraian komunikator.

Ciri yang kedua dari komunikasi kelompok kecil ialah bahwa


prosesnya secara dialogis, tidak linear, melainkan sirkular. Umpan
balik terjadi secara verbal. Komunikasi dapat menanggapi
uraian komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat
menyanggah bila tidak setuju, dan lain sebagainya.

3) Komunikasi Publik
Komunikasi publik biasa disebut komunikasi pidato, komunikasi
kolektif, komunikasi retorika, public speaking dan komunikasi
khalayak (audience communication). Adapun namanya, komunikasi
publik menunjukkan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan
disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan
khalayak yang lebih besar.
Dalam komunikasi publik penyampaian pesan berlangsung secara
kontinu. Dapat diidentifikasi siapa yang berbicara (sumber) dan siapa
pendengarnya. Interaksi antara sumber dan penerima sangat terbatas,
sehingga tanggapan balik juga terbatas. Hal ini disebabkan karena
waktu yang digunakan sangat terbatas, dan jumlah khalayak relatif
besar. Sumber seringkali tidak dapat mengidentifikasi satu-persatu
pendengarnya.
4) Komunikasi massa ( mass communication)
Yang dimaksud komunikasi massa adalah komunikasi melalui media
massa misalnya: surat kabar, majalah, radio, televisi, film.
Komunikasi massa mempunyai beberapa ciri-ciri diantaranya :
a. Komunikasi massa berlangsung satu arah.
b. Pesan pada komunikasi massa melembaga
c. Komunikasi massa bersifat heterogen
d. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum.
f. Aneka komunikasi dalam keluarga

1) Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-
simbol yang berlaku umum atau yang bisa digunakan oleh
kebanyakan orang dalam proses komunikasi. Simbol- simbol yang
digunakan oleh orang dalam komunikasi itu dapat berupa suara,
tulisan atau dalam bentuk gambar-gambar. Bahasa adalah salah satu
simbol yang banyak digunakan oleh orang. Bahasa dapat
didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur
sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti.
Kegiatan komunikasi verbal menempati frekuensi terbanyak dalam
keluarga. Setiap hari orang tua selalu ingin berbincang-bincang
kepada anaknya. Canda dan tawa menyertai dialog antara
orang tua dan anak. Perintah, suruhan, larangan, dan sebagainya
merupakan alat pendidikan yang sering dipergunakan oleh orang tua
atau anak dalam kegiatan komunikasi keluarga. Alat pendidikan
tersebut tidak hanya dipakai oleh orang tua terhadap anaknya, tetapi
bisa juga dipakai oleh anak terhadap anak yang lain.
Dalam perhubungan antara orang tua dan anak akan terjadi
interaksi. Dalam interaksi itu orang tua berusaha mempengaruhi anak
untuk terlibat secara pikiran dan emosi untuk memperhatikan apa
yang akan disampaikan. Anak mungkin berusaha menjadi pendengar
yang baik dalam menafsirkan pesan-pesan yang akan disampaikan
oleh orang itu.
2) Komunikasi nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-
kata dan komunikasi nonverbal memberikan arti pada
komunikasi verbal. Dalam komunikasi nonverbal orang dapat
mengambil suatu kesimpulan tentang berbagai macam perasaan
orang, baik rasa senang, benci, cinta, rindu, maupun berbagai macam
perasaan lainnya.
Komunikasi non verbal sering dipakai oleh orang tua dalam
menyampaikan satu pesan kepada anak. Sering tanpa berkata sepatah
kata pun, orang tua menggerakkan hati anak untuk melakukan
sesuatu. Kebiasaan orang tua dalam mengajarkan sesuatu dan karna
anak sering melihatnya, anakpun ikut mengerjakan apa yang pernah
dilihat dan didengarnya dari orang tuanya. Masalah pendidikan sholat
misalnya, karna anak sering melihat orang tuanya mengerjakan
salat siang dan malam di rumah, anak pun menirukan gerakan salat
yang pernah dilihatnya dari orang tuanya. Terbenar lepas benar atau
salah gerakan salat yang dilakukan oleh anak, yang jelas pesan-pesan
nonverbal telah direspon oleh anak.
Dalam konteks sikap dan prilaku orang tua yang lain, pesan
nonverbal juga dapat menerjemahkan gagasan, keinginan atau
maksud yang terkandung dalam hati.
Tanpa harus didahului oleh kata-kata sebagai pendukungnya, tepuk
tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak maupun
mengekspresikan gagasan, keinginan atau maksud. Pelukan atau
usapan tangan di kepala anak oleh orang tua sebagai pertanda bahwa
orang tua memberikan kasih saying kepada anaknya. Tepukan orang
tua boleh jadi sebagai ekspresi kegembiraan orang tua atas
keberhasilan belajar anaknya di sekolah. Sebaiknya perasaan
sedih, kecewa, atau marah, sering membuat orang tidak mampu
mengungkapkan kata-kata dengan benar dan baik. Kegoncangan
emosi yang luar biasa membuat orang lebih banyak diam daripada
berbicara. Sikap perilakulah yang lebih banyak bicara. Oleh karna
itu, perasaan atau emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan
nonverbal ketimbang pesan verbal.
Tidak hanya orang tua, anak juga sering menggunakan pesan
nonverbal dalam menyampaikan gagasan, keinginan atau maksud
tertentu kepada orang tuanya. Malasnya anak untuk melakukan
sesuatu yang diperintahkan oleh orang tua adalah sebagai ekspresi
penolakan anak atas perintah. Kebiasaan anak mengucapkan salam
ketika keluar masuk rumah merupakan simbol keberhasilan orang
tua dalam memberikan pendidikan kepada anak melalui keteladanan
dan pembiasaan. Pendidikan menggunakan metode keteladanan dan
metode pembiasaan sangat efektif dalam mempengaruhi
perkembangan jiwa anak. Sebab dengan keteladanan dan diperkuat
dengan pembiasaan akan memperkuat tertanamnya pesan-pesan
nonverbal atau pesan-pesan verbal di dalam jiwa anak. Karena
seringnya dilakukan, pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan verbal
itu menjadi fungsional dalam kehidupan anak. Akhirnya, komunikasi
nonverbal sangat diperlukan dalam menyampaikan suatu pesan
ketika komunikasi verbal tidak mampu mewakilinya.
3) Komunikasi kelompok
Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara
seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya
lebih dari dua orang.
Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk
dibina dalam keluarga. Keakraban hubungan itu dapat dilihat dari
frekuensi pertemuan orang tua dan anak dalam suatu waktu dan
kesempatan. Masalah waktu dan kesempatan menjadi factor penentu
berhasil atau gagal suatu pertemuan. Boleh jadi, suatu
pertemuan yang sudah direncanakan oleh orang tua atau anak
untuk berkumpul, duduk bersama dalam satu meja, dalam acara
keluarga terancam gagal disebabkan belum adanya pertemuan
antara dan kesempatan. Waktunya mungkin sudah ada, tetapi
kesempatan untuk menghindari pertemuan keluarga itu belum ada
untuk setiap orang tua atau anak sehingga ada sebagian anggota
keluarga yang tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Banyak faktor
yang menjadi penyebabnya. Misalnya, orang tua yang terlalu sibuk
dengan urusannya sendiri, seolah-olah tidak ada waktu dan
kesempatan untuk duduk bersama anak, bercengkrama dan
bersendau gurau. Anak yang sudah terlanjur memiliki acara
tersendiri di luar rumah sebelum acara keluarga itu akan
diadakan. Orang tua yang berdagangan sepanjang hari. Orang tua
yang bekerja sebagai pegawai negeri dari pagi hingga petang.
Sebenarnya, pertemuan anggota keluarga untuk duduk bersama
dalam satu waktu dan kesempatan sangat penting sebagai symbol
keakraban keluarga. Moment seperti waktu makan, menonton
televise, duduk santai, ketika anak sedang bermain-main di dalam
rumah, dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk bercengkrama,
bersenda gurau atau membicarakan hal-hal yang bermanfaat bagi
kebaikan anggota keluarga untuk menjalin hubungan yang akrab
dalam keluarga tidak mesti harus diawali dengan pertemuan formal.
Pertemuan informal juga memiliki nilai strategis dalam
mengakrabkan hubungan orang tua dengan anak. Bahkan terkadang
via pertemuan informal pesan-pesan kebaikan dapat tersalur
secara efektif. Ketika anak-anak duduk bersama antar sesama
mereka, orang tua harus pandai memanfaatkan moment tersebut
untuk duduk bersama mereka, memahami mereka, bermain
bersama mereka, berbicara dan berdialog yang disesuaikan dengan
tingkat berfikir dan dunia anak-anak. Di sini orang tua harus
produktif untuk mengawali pembicaraan. Jangan paksa anak untuk
memahami dunia orang tua, berfikir dan berprilaku seperti orang tua.
Jika hal itu terjadi, maka komunikasi antara orang tua dan anak tidak
dapat berlangsung baik dan efektif. Akhirnya, sudah waktunya orang
tua meluangkan waktu dan kesempatan untuk duduk bersama dengan
anak- anak, berbicara, berdialog dalam suasana santai.

2.6 Kerangka Pemikiran

Asumsi dasar yang melandasi penelitian ini adalah bahwa faktor-


faktor pendorong ketahanan keluarga, terutama komitmen dan spiritual well-
being, yang dilengkapi juga dengan pola komunikasi yang efektif di
lingkungan keluarga, dapat memberikan pengaruh dan dampak yang besar
terhadap ketahanan keluarga tersebut. Hal ini dilandaskan pada teori-teori
dan wacana konseptual yang berkembang dalam bidang Psikologi,
khususnya psikologi keluarga (family psychology) dan psikologi
perkembangan manusia (human development), yang menyebutkan bahwa
kondisi keluarga yang kuat dan atau memiliki ketahanan dalam menghadapi
berbagai situasi krisis yang ada, merupakan modal utama untuk membangun
individu yang unggul ataupun generasi muda yang berkualitas yang nantinya
bisa membawa kehidupan bersama menjadi lebih baik. Mereka yang tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang baik, akan lebih mudah mengeluarkan
potensi dan kemampuan terbaiknya, dibandingkan mereka yang tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan masalah (keluarga yang
rapuh). Karena itu, seperti dijelaskan oleh John DeFrain dan Nick Stinnett,
serta tokoh-tokoh lainnya juga, ketahanan keluarga sedini mungkin harus
diupayakan, terutama dengan menjalankan berbagai faktor pendorong
ketahanan keluarga, seperti apresiasi dan kasih sayang, komitmen,
kemapanan spiritual, komunikasi yang efektif, serta kemampuan untuk
menangani persoalan dalam keluarga secara efektif.
Dengan demikian, teori perkembangan manusia dalam kajian
Psikologi menjadi landasan teoritis umum dari penelitian ini, untuk
kemudian dikhususkan pada bahasan tentang ketahanan keluarga serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya komitmen, spiritual well-
being, dan pola komunikasi di antara anggota keluarga. Komitmen sendiri
merupakan faktor pendorong ketahanan keluarga, yang bisa diketahui tinggi
rendahnya atau besar kecilnya dari beberapa indikator yang terdapat di
dalamnya, seperti kepercayaan, kejujuran, kehandalan, keteguhan, dan
kebersamaan. Sedangkan kemapanan spiritualitas (spiritual well-being)
adalah derajat ketaatan dan pemahaman nilai-nilai dan ajaran keagamaan
oleh masing-masing anggota keluarga, dengan indikatornya yang mencakup
harapan, keimanan, kasih sayang, nilai-nilai etis, dan keterbukaan terhadap
manusia. Pola komunikasi yang positif merujuk pada cara anggota keluarga
berinteraksi satu sama lain guna membangun pemahaman dan
menyampaikan harapan dan tujuan secara efektit, dengan indikator yang
mencakup pemberian pujian secara tulus, berbagi rasa, tidak menyalahkan
orang lain, mampu berkompromi, dan menghargai pendapat orang lain.
Berbagai faktor pendorong utama ketahanan keluarga tersebut pada
dasarnya saling berkaitan satu sama lain. Meski demikian, dalam konteks
penelitian ioni, sebagaimana hasil penjajakan awal (pra-penelitian) yang
dilakukan oleh penulis, maka hanya empat faktor yang akan diambil dan
diuji pengaruhnya terhadap ketahanan keluarga, yakni komitmen dan
spiritual well-being. Adapun pola komunikasi, dan konflik pekerjaan-
keluarga (work-family conflict) yang pada awalnya menjadi bagian dari
faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan keluarga ditempatkan sebagai
variabel moderator yang juga akan diuji bagaimana eksistensinya dalam
hubungan antara komitmen dan spiritual well-being dengan ketahanan
keluarga tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perihal apapun
yang ingin dibangun dan ditekankan dalam penciptaan ketahanan keluarga
akan bergantung pada bagaimana ia dikomunikasikan oleh masing-masing
anggota keluarga di lingkungan keluarga bersangkutan. Dalam bagan:
Bagan 1.1: Kerangka Berpikir Penelitian

Teori Psikologi
Keluarga, Psikologi
Perkembangan, dan

Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Ketahanan

Komitmen Spiritual Well-

Pola Komunikasi Work-Family Conflict

Ketahanan
Keluarga

Teori-teori yang nantinya digunakan dalam penelitian ini adalah


teori-teori yang berkembang dalam bidang atau kajian Psikologi dan Perilaku
Organisasi secara umum sebagai grand theory, psikologi keluarga, psikologi
perkembangan, dan Perilaku Organisasi sebagai middle theory, dan konsep
ketahanan keluarga dengan berbagai faktor pendorong serta indikator-
indikator keberhasilannya sebagai substance theory penelitian. Kerangka
seperti ini diharapkan dapat memudahkan penulis dalam melangsungkan
penelitian secara umum, serta membantu dalam sistematika pengukuran dan
analisis untuk mendapatkan hasil dan jawaban atas masalah yang sudah
dirumuskan. Selain itu, berdasarkan pada hal asumsi teoritis yang ada,
paradigma penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini, adalah
komitmen dan spiritual well-being dengan pola komunikasi sebagai penguat
hal tersebut memiliki pengaruh terhadap ketahanan keluarga. Dalam bagan:

Bagan 1.2: Paradigma Penelitian

M1
X1

Y
X2
M2
Keterangan:

X1 : Komitmen
X2 : Spiritual Well-Being
M1 : Pola Komunikasi
M2 : Konflik Pekerjaan-Keluarga
Y : Ketahanan Keluarga
: Menunjukkan Pengaruh Langsung
: Menunjukkan Pengaruh Moderasi

Berdasarkan paradigma seperti ini, yang juga menjadi landasan


asumsional untuk rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kerangka berpikir
yang ada, maka penulis juga menyusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari komitmen terhadap
ketahanan keluarga.
2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari spiritual well-being
terhadap ketahanan keluarga.
3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari pola komunikasi
terhadap hubungan antara komitmen dan spiritual well-being dengan
ketahanan keluarga.
4. Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari konflik pekerjaan-
keluarga (work-family conflict) terhadap hubungan antara komitmen
dan spiritual well-being dengan ketahanan keluarga.
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis gambaran komitmen dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga.
2. Menganalisis gambaran spiritual well-being dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga.
3. Menganalisis gambaran pola komunikasi dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga.
4. Menganalisis gambaran ketahanan keluarga dalam keluarga yang diteliti
berdasarkan persepsi anggota keluarga.
5. Menganalisis pengaruh komitmen dalam keluarga yang diteliti terhadap
ketahanan keluarga.
6. Menganalisis pengaruh spiritual well-being dalam keluarga yang diteliti
terhadap ketahanan keluarga.
7. Menganalisis pengaruh pola komunikasi dalam keluarga yang diteliti
terhadap hubungan antara komitmen dan spiritual well-being dengan
ketahanan keluarga.
8. Menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga (work-family
conflict) yang diteliti terhadap hubungan antara komitmen dan spiritual
well-being dengan ketahanan keluarga.

3.2 Kontribusi Penelitian


Secara lebih mendetail, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Memperkuat bangunan teoritis Ilmu Psikologi sebagai disiplin ilmu
yang selalu bersentuhan dengan realitas kemanusiaan dan sosial yang
dinamis.
b. Menambah khazanah konseptual terkait bahasan tentang ketahanan
keluarga dengan berbagai faktor pendorong utamanya.
c. Memberikan pemahaman pada keluarga yang diteliti tentang
pentingnya ketahanan keluarga dengan cara membangun komitmen
dan ketahanan spiritual pada anggota keluarga.
d. Menjadi kerangka referensi tambahan bagi para psikolog, terapis
keluarga, dan pegiat studi Psikologi, dalam menciptakan pemahaman
yang lebih komprehensif untuk praktik konseling dan terapi.
BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Subjek Penelitian


Dalam penelitian yang akan dilangsungkan ini, subjek penelitian
adalah keluarga yang tinggal di daerah Cibiru, Kota Bandung, dengan
mengambil sampel sebanyak 120 keluarga, khususnya yang berlokasi di
Desa Cipadung, Kec. Cibiru, Kota Bandung Jawa Barat.

4.2 Pendekatan dan Metode Penelitian


Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
verifikatif. Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu
yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan untuk
memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

4.3 Operasionalisasi Variabel


Tabel 4.1 Operasionalisasi Variabel
Variabel Konsep Variabel Indikator Skala

Komitmen Komitmen adalah janji dan - Kepercayaan - Ordinal


pengakuan seutuhnya sebagai - Kejujuran - Ordinal
sikap yang sebenarnya dari - Kehandalan - Ordinal
dalam diri seseorang - Keteguhan - Ordinal
- Kesetiaan - Ordinal

Spiritual Spiritual well-being adalah - Harapan - Ordinal


Well-being ketaatan, keteguhan dan - Keimanan - Ordinal
pemahaman yang benar - Kasih sayang - Ordinal
terhadap nilai-nilai dan ajaran - Nilai-nilai etis - Ordinal
moral dan keagamaan. - Keterbukaan - Ordinal

Pola Pola komunikasi adalah cara - Ketulusan - Ordinal


Komunikasi seseorang membangun - Kemauan berbagi - Ordinal
interaksi dan hubungan rasa
dengan orang lain di - Menjauhi - Ordinal
sekitarnya. perselisihan
- Kemampuan - Ordinal
berkompromi
- Menghargai
pendapat orang - Ordinal
lain
Ketahanan Ketahanan keluarga adalah - Apresiasi dan - Ordinal
Keluarga kemampuan suatu keluarga kasih sayang
dalam melepaskan diri dari - Komitmen - Ordinal
berbagai persoalan dan - Kebersamaan yang - Ordinal
memberdayakan segenap berkualitas
sumber daya yang - Komunikasi yang - Ordinal
dimilikinya. Suatu proses efektif
aktif dalam menghadapi - Kemapanan - Ordinal
berbagai permasalahan, spiritual
pemenuhan diri, dan - Kemampuan - Ordinal
pertumbuhan dalam menyelesaikan
merespon beragam krisis dan persoalan secara
tantangan. efektif
Konflik Bentuk konflik antar peran - Time-based - Ordinal
Pekerjaan- dimana tekanan peran dari conflict
Keluarga domain pekerjaan dan - Strain-based
(Work domain keluarga dalam Conflict - Ordinal
Family- beberapa hal tidak selaras - Behavior-based
Conflict) Conflict - Ordinal

4.4 Teknik Pengumpulan Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini didapatkan dengan
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Angket (kuesioner)
Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui penyebaran
seperangkat daftar pertanyaan/pernyataan tertulis kepada responden,
dalam hal ini anggota keluarga yang diteliti. Penyebaran angket ini
dilakukan untuk menjaring data berupa jawaban, tanggapan, atau
sikap tertulis dari responden mengenai variabel yang diteliti.
b. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data kepustakaan
dan atau data yang nantinya menjadi pelengkap analisis penelitian,
terutama dalam hal menguji validitas dan reliabilitas hasil penelitian
ini.
4.5 Populasi dan Sampel
Populasi pada dasarnya adalah seluruh obyek atau subyek penelitian.
Dalam hal ini, populasi penelitian adalah keluarga yang ada di 3 Kelurahan
di Kota Bandung Jawa Barat yang berjumlah sebanyak 698 keluarga.

Merujuk pada Hair et al (1998) yang mengemukakan bahwa ukuran


sampel yang sesuai adalah 100 sampai 200. Juga dijelaskan bahwa ukuran
sampel minimum adalah sebanyak 5 observasi untuk setiap estimated
parameter dan maksimal adalah 10 observasi dari setiap estimated
parameter. Dalam penelitian ini, jumlah dimensi penelitian sebanyak 24
sehingga jumlah sampel minimum adalah 5 kali jumlah indikator atau
sebanyak 5 x 24 = 120.

Pengambilan sampel dilakukan secara two stage cluster sampling dengan


pemilihan wilayah bagian kota Bandung, selanjutnya secara random memilih
keluarga dengan jumlah pembagian secara proporsional.

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas

Untuk pengujian validitas penelitian berupa skor yang memiliki


tingkatan (ordinal), rumus yang digunakan adalah dengan menggunakan
koefisien korelasional. Validitas menunjukan sejauh mana alat pengukur itu
mengukur apa yang kita ingin ukur atau sejauh mana alat ukur yang kita
gunakan mengenai sasaran.

Validitas merupakan ukuran yang benar-benar mengukur apa yang


akan diukur. Jadi dapat dikatakan semakin tinggi validitas suatu alat test,
maka alat tersebut makin mengenai sasarannya, atau semakin menunjukan
apa yang seharusnya diukur. Jadi validitas menunjukan kepada ketepatan dan
kecermatan test dalam menjalankan fungsi pengukurannya.

Untuk menentukan kevalidan dari item kuesioner digunakan metode


korelasi product moment yaitu dengan mengkorelasikan skor total yang
dihasilkan oleh masing-masing responden dengan skor masing-masing item
dengan rumus :

N  XY    X  Y 
R
N  X 2

  X  N  Y 2   Y 
2 2

(Notoatmodjo, 2002:131)

Keterangan :

X = skor item

Y = skor total

Jika nilai koefisien korelasinya yang lebih besar dari 0,3 maka item-
item tersebut dinyatakan valid (Kaplan)

Reabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu pengukuran.


Pengukuran yang memiliki tingkat reabilitas tinggi yaitu pengukuran yang
mampu memberikan hasil yang terpercaya (reliabel). Tinggi rendahnya
reabilitas, secara empiris ditunjukan oleh suatu angka yang disebut koefisien
reabilitas.

Untuk menguji reliabilitas dalam penelitian ini, penulis


menggunakan koefisien reliabilitas Alpha Cronbach, yaitu :

 k   Si 
2

   1  S 2  (Azwar, 2001 : 78)


 k  1  x 

Keterangan :

k : Jumlah Instrumen pertanyaan

S i
2
: Jumlah varians dari tiap instrumen

S X2 : Varians dari keseluruhan instrumen

Setelah didapatkan nilai reliabilitas alpha-cronbach, lalu nilai


tersebut dibandingkan dengan nilai r kritis yang diambil besarnya 0,7. Jika
nilai reliabilitas lebih dari 0,70 atau mendekati nilai 1,00, maka tingkat
kepercayaan hasil suatu pengukuran semakin tinggi.

4.7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Hasil uji instrumen dilakukan pada 30 responden. Suatu instrumen/angket


atau bahan tes dinyatakan sahih apabila r hitung lebih besar dari 0,3. . Jika
alat ukur telah dinyatakan valid, selanjutnya reliabilitas alat ukur tersebut
diuji. Menurut Nugroho (2005) dalam Sujianto (2009:97)”reliabilitas suatu
konstruk variabel dikatakan baik jika memiliki nilai Alpha Cronbach’s >
dari 0,70”.

4.7.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Komitmen

Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan masing-masing


pertanyaan dengan skor untuk masing-masing variabel. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment sesuai dengan skala ukur
data ordinal. Sementara reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Hasil
validitas dan reliabilitas item variabel variabel komitmen dapat dilihat pada
tabel-tabel dibawah ini.

Tabel 4.2 Uji Validitas Variabel Komitmen

Correlations

Komitmen
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KM1 .656** .000 30
KM2 .546** .002 30
KM3 .580** .001 30
KM4 .842** .000 30
KM5 .508** .004 30
KM6 .641** .000 30
KM7 .597** .000 30
KM8 .588** .001 30
KM9 .713** .000 30
KM10 .502** .005 30
Komitmen 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 20.0

Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel


komitmen telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai pembanding untuk
melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan oleh Syaifuddin
Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas 0,3
dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3 dikategorikan tidak
valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil di atas
menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid, sehingga
semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.

Uji reliabilitas diperuntukan untuk melihat kekonsistenan responden.


Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Berikut adalah hasil uji
reliabilitas untuk variabel variabel komitmen:

Tabel 4.3 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.817 10

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 17.0

Berdasarkan uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha


Cronbach sebesar 0,817 untuk variabel variabel komitmen telah memiliki
nilai reliabilitas yang cukup tinggi (lebih dari 0,7) sehingga dapat dikatakan
bahwa data yang diperoleh memiliki tingkat keterandalan yang baik dan
konsisten dalam mengukur variabel komitmen.

4.7.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Spiritual Well Being

Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan masing-masing


pertanyaan dengan skor untuk masing-masing variabel. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment sesuai dengan skala ukur
data ordinal. Sementara reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Hasil
validitas dan reliabilitas item variabel variabel spiritual well being dapat
dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.
Tabel 4.4 Uji Validitas Variabel Spiritual Well Being

Correlations

SWB
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
SWB1 .843** .000 30
SWB2 .742** .000 30
SWB3 .790** .000 30
SWB4 .714** .000 30
SWB5 .807** .000 30
SWB6 .501** .005 30
SWB7 .470** .009 30
SWB8 .640** .000 30
SWB9 .693** .000 30
SWB10 .723** .000 30
SWB 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 20.0

Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel


spiritual well being telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai
pembanding untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan
oleh Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi
diatas 0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3
dikategorikan tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil
di atas menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid,
sehingga semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.

Uji reliabilitas diperuntukan untuk melihat kekonsistenan responden.


Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Berikut adalah hasil uji
reliabilitas untuk variabel variabel spiritual well being:
Tabel 4.5 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.860 10

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 17.0

Berdasarkan uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha


Cronbach sebesar 0,860 untuk variabel variabel spiritual well being telah
memiliki nilai reliabilitas yang cukup tinggi (lebih dari 0,7) sehingga dapat
dikatakan bahwa data yang diperoleh memiliki tingkat keterandalan yang
baik dan konsisten dalam mengukur variabel spiritual well being.

4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Ketahanan keluarga

Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan masing-masing


pertanyaan dengan skor untuk masing-masing variabel. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment sesuai dengan skala ukur
data ordinal. Sementara reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Hasil
validitas dan reliabilitas item variabel variabel ketahanan keluarga dapat
dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.

Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel


ketahanan keluarga telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai
pembanding untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan
oleh Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi
diatas 0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3
dikategorikan tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil
di atas menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid,
sehingga semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Variabel Ketahanan keluarga

Correlations

Ketahanan.Keluarga
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KK1 .669** .000 30
KK2 .459* .011 30
KK3 .811** .000 30
KK4 .755** .000 30
KK5 .730** .000 30
KK6 .734** .000 30
KK7 .672** .000 30
KK8 .803** .000 30
KK9 .595** .001 30
KK10 .714** .000 30
Ketahanan.Keluarga 1 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 20.0

Uji reliabilitas diperuntukan untuk melihat kekonsistenan responden.


Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Berikut adalah hasil uji
reliabilitas untuk variabel variabel ketahanan keluarga:

Tabel 4.7 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.878 10

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 17.0

Berdasarkan uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha


Cronbach sebesar 0,878 untuk variabel variabel ketahanan keluarga telah
memiliki nilai reliabilitas yang cukup tinggi (lebih dari 0,7) sehingga dapat
dikatakan bahwa data yang diperoleh memiliki tingkat keterandalan yang
baik dan konsisten dalam mengukur variabel ketahanan keluarga.
4.7.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola komunikasi

Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan masing-masing


pertanyaan dengan skor untuk masing-masing variabel. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment sesuai dengan skala ukur
data ordinal. Sementara reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Hasil
validitas dan reliabilitas item variabel variabel pola komunikasi dapat dilihat
pada tabel-tabel dibawah ini.

Tabel 4.8 Uji Validitas Variabel Pola komunikasi

Correlations

Pola.Komunikasi
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
PK1 .560** .001 30
PK2 .689** .000 30
PK3 .669** .000 30
PK4 .584** .001 30
PK5 .688** .000 30
PK6 .682** .000 30
PK7 .455* .011 30
PK8 .409* .025 30
PK9 .716** .000 30
PK10 .640** .000 30
Pola.Komunikasi 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 20.0

Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel pola
komunikasi telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai pembanding
untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan oleh
Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas
0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3 dikategorikan
tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil di atas
menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid, sehingga
semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.

Uji reliabilitas diperuntukan untuk melihat kekonsistenan responden.


Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Berikut adalah hasil uji
reliabilitas untuk variabel variabel pola komunikasi:

Tabel 4.9 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.812 10

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 17.0

Berdasarkan uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha


Cronbach sebesar 0,812 untuk variabel variabel pola komunikasi telah
memiliki nilai reliabilitas yang cukup tinggi (lebih dari 0,7) sehingga dapat
dikatakan bahwa data yang diperoleh memiliki tingkat keterandalan yang
baik dan konsisten dalam mengukur variabel pola komunikasi.

4.7.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Work Family Conflict

Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan masing-masing


pertanyaan dengan skor untuk masing-masing variabel. Teknik korelasi yang
digunakan adalah teknik Korelasi Product Moment sesuai dengan skala ukur
data ordinal. Sementara reliabilitas artinya tingkat kepercayaan hasil suatu
pengukuran. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, yaitu pengukuran
yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Hasil
validitas dan reliabilitas item variabel variabel work family conflict dapat
dilihat pada tabel-tabel dibawah ini.

Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel work
family conflict telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai pembanding
untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan oleh
Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas
0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3 dikategorikan
tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil di atas
menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid, sehingga
semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.

Tabel 4.10 Uji Validitas Variabel Work family conflict

Correlations

Konflik.Pekerjaan
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KPK1 .827** .000 30
KPK2 .687** .000 30
KPK3 .543** .002 30
KPK4 .676** .000 30
KPK5 .602** .000 30
KPK6 .692** .000 30
KPK7 .688** .000 30
KPK8 .448* .013 30
KPK9 .500** .005 30
KPK10 .574** .001 30
Konflik.Pekerjaan 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 20.0

Uji reliabilitas diperuntukan untuk melihat kekonsistenan responden.


Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Berikut adalah hasil uji
reliabilitas untuk variabel variabel work family conflict:

Tabel 4.11 Hasil Uji Reliabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items
.822 10

Sumber : Pengolahan data dengan Software SPSS 17.0


Berdasarkan uji reliabilitas, diperoleh koefisien reliabilitas Alpha
Cronbach sebesar 0,822 untuk variabel variabel work family conflict telah
memiliki nilai reliabilitas yang cukup tinggi (lebih dari 0,7) sehingga dapat
dikatakan bahwa data yang diperoleh memiliki tingkat keterandalan yang
baik dan konsisten dalam mengukur variabel work family conflict.

4.8 Teknik Analisis Data


4.8.1 Statistik Deskriptif

Dalam penelitian ini penulis melakukan analisa distribusi frekuensi


dan mean (nilai rata-rata) untuk memberikan gambaran mengenai
kecendrungan tanggapan responden terhadap variabel penelitian. Dalam
melakukan analisis tersebut, maka penulis merumuskan sebuah intervan
acuan yang menjadi landasan pengambilan kesimpulan. Perumusan
tersebut dilakukan dengan mempergunakan Formulasi Rentang Skala
berikut ini (Riduwan, 2013) :
RS = (m-1)
m

RS = (5-1) = 0,8
5
Dimana :

RS = Rentang Skala

m = Jumlah Skala (jumlah pilihan jawaban)

Sedangkan nilai (skor) dapat dilihat dengan menghitung nilai


terendah = 1, yaitu bila jawaban responden adalah “Sangat Tidak Setuju”,
dan nilai tertinggi = 5, yaitu bila jawaban responden adalah “Sangat
Setuju”. Adapun bobot dan kategori pengukuran data dapat dilihat pada
Tabel 3.5 berikut ini:
Tabel 4.12 Bobot dan Kategori Pengukuran Data

Penilaian Keterangan
1 Sangat Tidak Setuju
2 Tidak Setuju
3 Ragu-Ragu
4 Setuju
5 Sangat Setuju
Sumber : Riduwan, 2013

Dari interval tersebut maka akan dapat disusun sebuah tabel acuan
yang dapat dijadikan landasan kesimpulan deskriptif berikut ini :

Tabel 4.13 Identifikasi Skor

No. Skor Kelas Kelas Mean Skor


1 5 Sangat Tinggi 4,20 – 5,00
2 4 Tinggi 3,40 – 4,19
3 3 Sedang 2,60 – 3,39
4 2 Rendah 1,80 – 2,59
5 1 Sangat Rendah 1,00 – 1,79
Sumber : Riduwan, 2013

Tabel di atas ini akan digunakan sebagai acuan untuk


melakukan analisis deskriptif masing-masing variabel beserta
indikator-indikator dalam penelitian ini. Dengan demikian akan
diketahui kategori tanggapan responden terhadap masing-masing
variabel dan indikatornya.

4.8.2 PLS

Teknik analasis inverensi data yang digunakan adalah Simple


Equation Model (SEM) dengan pendekatan Partial Least Square (PLS).
Pendekatan baru yang diperkenalkan oleh Herman Wold ini sering disebut
soft modeling. Menurut Jogiyanto dan Abdillah (2009:61) PLS (Partial Least
Square) adalah:

“Analisis persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara


simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus
pengujian model struktural. Model pengukuran digunakan untuk uji
validitas dan reabilitas, sedangkan model struktural digunakan untuk
uji kausalitas (pengujian hipotesis dengan model prediksi).”

Dengan menggunakan PLS dimungkinkan melakukan pemodelan


persamaan structural dengan ukuran sampel relative kecil dan tidak
menumbuhkan asumsi normal multivariate. PLS menurut Wold (1982:1)
merupakan metode analisis yang powerful karena tidak didasarkan banyak
asumsi. Metode PLS mempunyai keunggulan tersendiri diantaranya: data
tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala
kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan pada model yang
sama) dan ukuran sampel tidak harus besar.

Walaupun PLS digunakan untuk menkonfirmasi teori, tetapi dapat


juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara
variabel laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk
dengan indikator refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin
dijalankan dalam SEM karena akan terjadi unidentified model.

Menurut Imam Ghazali (20011) meyatakan bahwa model analisis


jalur semua variabel laten terdiri dari tiga set hubungan, yaitu:
1. Inner model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten
yang satu dengan variabel laten yang lainnya (structural model).
2. Outer model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten
dengan indikator atau variabel manifestnya (measurement model).
3. Weight relation dalam mana nilai kasus dari variabel laten dapat
diestimasikan. Tanpa kehilangan generalisasi, dapat diasumsikan
bahwa variabel laten dan indikator atau manifest variabel diskala
zero means dan unit variance sama dengan satu sehingga
parameter lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam
model.
Persamaan model dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
η1 = ɤ1 ξ1 + ζ

Ilustrasi pemodelan persamaan struktural dan notasi PLS dapat dilihat


pada Gambar di bawah ini.:
Gambar 4.1 Diagram Jalur Model PLS

Evaluasi Model PLS

a. Evaluasi Model Reflektif

Menurut Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan (2011:17) bahwa,


“Evaluasi terhadap model reflektif indikator meliputi pemerikasaan
individual item reliability, internal consistency, atau construct
reliability, average variance extracted, dan discriminant validity.
Ketiga pengukuran pertama dikelompokan dalam convergent validity.

1) Convergent Validity

Menurut Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan (2011:40)


bahwa, “Convergent validity terdiri dari tiga pengujian yaitu
reliability item (validitas tiap indikator), composite reability,
dan average variance extracted (AVE)”. Convergent validity
digunakan untuk mengukur seberapa besar indikator yang ada
dapat menerangkan dimensi. Artinya semakin besar
convergent validity maka semakin besar kemampuan
indikator tersebut dalam menerapkan dimensinya.

Zikmund dan Babin (2007:325) menyatakan, ”Convergent


validity is another way of expressing internal consistency.
Highly reliable scales contain convergent validity”.
Convergent validity adalah cara lain untuk menggambarkan
internal consistency. Skala yang hadal mengandung
convergent validity.

Item reliabilitas atau biasa kita sebut dengan validitas


indikator. Pengujian terhadap reability item (validitas
indikator) dapat dilihat dari nilai loading factor (standardized
loading). Nilai loading faktor ini merupakan besarnya korelasi
antara antara setiap indikator dan konstraknya. Nilai loading
factor diatas 0,7 dapat dikatakan ideal, artinya bahwa
indikator tersebut dapat dikatakan valid sebagai indikator
untuk mengukur konstrak. Meskipun demikian, nilai
standardized loading factor diatas 0,5 dapat diterima.
Sedangkan nilai standardized loading factor dibawah 0,5
dapat dikeluarkan dari model Chin (1998).

Statistik yang digunakan dalam composite reliability atau


reablitas konstrak adalah cronbach‟s alpha dan D.G rho
(PCA). Nilai cronbach‟s alpha dan D.G rho (PCA) diatas 6,0
menunjukan konstrak memiliki reabilitas atau keterandalan
yang tinggi sebagai alat ukur.

Formula untuk composite reliability (CR):

Nilai batas 0,7 keatas berarti dapat diterima dan diatas 0,8
dan 0,9 berarti sangat memuaskan (Nunnally dan Bernstein,
1994 dalam Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, 2011:19)
Average Variance Extracted (AVE) menggambarkan
besaran variance yang mampu dijelaskan oleh item-item
dibandingkan dengan varian yang disebabkan oleh error
pengukuran. Standarnya adalah bila nilai AVE diatas 0,5
maka dapat dikatakan bahwa konstrak memiliki convergent
validity yang baik. Artinya variabel laten dapat menjelaskan
rata-rata lebih dari setengah variance dari indikator-
indikatornya.

Formula untuk Average Variance Extracted (AVE):

AVE =
å l 2

é
ë å l 2
+å (1- l 2
)ùû
2) Discriminant Validity

Zikmund dan Babin (2007:325) menyatakan,


”Discriminant validity represent how unique or distinct it a
measure. A scale should not correlate to highly with a
measure of a different construct”. Discriminant validity
menggambarkan bagaimana keunikan atau yang berbeda
dalam ukuran. Skala seharusnya tidak berkorelasi lebih tinggi
dengan ukuran yang berbeda dari konstruk.

Pemeriksaan discriminant validity dari model pengukuran


reflektif yang dinilai berdasarkan cross loading dan
membandingkan antara nilai AVE dengan kuadran korelasi
antarkonstrak. Ukuran cross loading adalah adalah
membandingkan korelasi indikator dengan konstraknya dan
konstrak dari blok lain. Discriminant validity yang baik akan
mampu menjelaskan variabel indikatornya lebih tinggi
dibandingkan dengan menjelaskan varian dari indikator
konstrak yang lain.

b. Evaluasi Model Struktural

Ada beberapa tahap dalam mengevaluasi model structural.


Pertama adalah melihat signifikansi hubungan antara konstrak. Hal
ini dapat dilihat dari koefisien jalur (path coefficient) yang
menggambarkan kekuatan hubungan antar konstrak. Tanda dalam
path coefficient harus sesuai dengan teori yang dihipotesiskan, untuk
menilai signifikansi path coefficient dapat dilihat dari t test (critical
ratio) yang diperoleh dari proses bootstrapping (resampling method).

Untuk memvalidasi model secara keseluruhan, maka digunakan


goodness of fit (GoF) yang diperkenalkan oleh Tenenhaus, et al
(2004) dalam Yamin dan Heri Kurniawan (2011:21). GoF index ini
merupakan ukuran tunggal yang digunakan untuk memvalidasi
performa gabungan antara model pengukuran dan model structural.
Nilai GoF ini diperoleh dari average communalities index dikalikan
dengan nilai R2 model.

Formula GoF Index

Com begaris atas adalah average communalities dan R2 bergaris


atas adalah rata-rata model R2. Nilai GoF terbentang antara 0-1
dengan interpretasi nilai yaitu 0,1 (GoF kecil), 0,25 (GoF moderat),
dan 0,36 (GoF besar).
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

Pada Bab ini akan menguraikan dan menganalisa data yang


diperoleh peneliti dari angket yang telah disebarkan kepada responden
sebagai sumber data primer. Adapun data lain diperoleh melalui pengamatan
atau observasi, dan studi pustaka yang digunakan peneliti sebagai data
sekunder atau penunjang guna melengkapi dan memperluas data utama.

Data penelitian ini adalah hasil dari kuesioner yang disebarkan


kepada 120 responden. Analisis yang akan disajikan terdiri dari tiga bagian,
yaitu analisis data responden, analisis deskriptif data penelitian dan analisis
PLS. Teknik analisis yang digunakan pada analisis data responden dan data
penelitian adalah analisis deskriptif, dimana semua data yang diperoleh
disusun ke dalam tabel melalui perhitungan distribusi frekuensi dan
persentasenya.

5.1 Gambaran Komitmen, Spiritual Well-Being, Ketahanan


Keluarga, Pola Komunikasi dan Konflik Pekerjaan-Keluarga

Setelah melihat dan menganalisis data responden, selanjutnya akan


dibahas mengenai data penelitian. Data penelitian ini merupakan hasil
jawaban responden dalam mengisi pertanyaan pada angket penelitian yang
disebarkan. Pada analisis penelitian, penulis uraikan berdasarkan
operasionalisasi variabel penelitian.

Data dikumpulkan dengan menggunakan alat ukur angket yang telah


diuji validitas dan reliabilitasnya. Data hasil kuesioner ditabulasi, tiap
alternatif jawaban akan diberi bobot dengan angka 5,4,3,2,1. Selanjutnya,
dilakukan perhitungan terhadap skoring dengan cara mengkalikan tiap
frekuensi alternatif jawaban dengan bobotnya.

Deskripsi dan operasionalisasi konsep-konsep dalam angket ini


dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap gejala-gejala dilapangan.
Penulis memaparkan dan memberikan penjelasan terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang telah diklasifikasikan dalam kategori seperti tertera pada
tabel berikut:
Tabel 5.1 Gambaran Variabel Penelitian

Kode Skor Skor


Variabel Indikator
Indikator Indikator Variabel

Komit1 Kepercayaan 2.88

Komit2 Kejujuran 2.59

Komitmen Komit3 Kehandalan 2.68 2.84

Komit4 Keteguhan 3.09

Komit5 Kesetiaan 2.94

SWB1 Harapan 3.01

SWB2 Keimanan 3.32


Spiritual
SWB3 Kasih sayang 3.09 3.06
Well-being
SWB4 Nilai-nilai etis 3.28

SWB5 Keterbukaan 2.62

KK1 Apresiasi dan kasih sayang 2.79

KK2 Komitmen 2.83

KK3 Kebersamaan yang berkualitas 3.02


Ketahanan
2.83
Keluarga KK4 Komunikasi yang efektif 2.78

KK5 Kemapanan spiritual 2.76

Kemampuan menyelesaikan persoalan


KK6
secara efektif 2.79

Kom1 Ketulusan 2.50

Kom2 Kemauan berbagi rasa 2.52


Pola
Kom3 Menjauhi perselisihan 2.76 2.66
Komunikasi
Kom4 Kemampuan berkompromi 2.52

Kom5 Menghargai pendapat orang lain 3.01


Konflik WFC1 Time-based conflict 2.80
Pekerjaan-
Keluarga WFC2 Strain-based Conflict 2.74
2.85
(Work
Family- WFC3 Behavior-based Conflict
Conflict) 3.01

Analisis deskriptif variabel dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori,


yaitu baik, cukup dan kurang. analisis deskriptif tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1. Skor untuk variabel komitmen berada pada 2,84; spiritual well
being (SWB) sebesar 3,06; ketahanan keluarga sebesar 2,83; pola
komunikasi sebesar 2,66 dan konflik pekerjaan keluarga sebesar 2,85. Dari
kelima variabel, hanya SWB dengan kategori baik (skor 3-4), keempat
lainnya terkategori cukup (skor 2-3).

3.09
3.10 2.94
3.00 2.88
2.90
2.80 2.68
2.70 2.59
2.60
2.50
2.40
2.30

Gambar 5.1 Gambaran Indikator Komitmen

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
komitmen keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik dengan
perolehan skor rata-rata 2,84. Indikator komitmen yang memiliki persepsi
bobot paling positif pada indikator keteguhan. Sedangkan indikator yang
memiliki persepsi bobot paling rendah pada kejujuran.
3.32 3.28
3.50 3.01 3.09
3.00 2.62
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00

Gambar 5.2 Gambaran Indikator Spiritual well being

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
spiritual well being keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan baik dengan
perolehan skor rata-rata 3,06. Indikator spiritual well being yang memiliki
persepsi bobot paling positif pada indikator keimanan. Sedangkan indikator
yang memiliki persepsi bobot paling rendah pada keterbukaan.

3.02
3.05
3.00
2.95 2.83
2.90 2.79 2.78 2.79
2.85 2.76
2.80
2.75
2.70
2.65
2.60

Gambar 5.3 Gambaran Indikator Ketahanan keluarga

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
ketahanan keluarga keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,83. Indikator ketahanan keluarga yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator kebersamaan yang
berkualitas. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada kemapanan spiritual.

2.76 3.01
3.50 2.50 2.52 2.52
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00

Gambar 5.4 Gambaran Indikator Pola komunikasi

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
pola komunikasi keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,66. Indikator pola komunikasi yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator menghargai pendapat
orang lain. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada ketulusan.

3.01
3.05
3.00
2.95
2.90
2.80
2.85
2.80 2.74
2.75
2.70
2.65
2.60
Time-based Strain-based Behavior-based
conflict Conflict Conflict

Gambar 5.5 Gambaran Indikator Work family conflict


Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
work family conflict keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,85. Indikator work family conflict yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator behavior-based
conflict. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada strain-based conflict.

5.2 Pengujian Hipotesis

Pengujian ini dilakukan untuk memprediksi model dan mengukur


seberapa besar pengaruh komitmen dan spiritual wellbeing terhadap
ketahanan keluarga dengan pola komunikasi dan work family conflict
sebagai variabel moderator. Untuk melakukan hal tersebut, maka dilakukan
penghitungan partial least square-path modeling dengan aplikasi SmartPLS-
2. Evaluasi model dalam PLS dilakukan dua tahap yaitu evaluasi outer model
atau model pengukuran dan evaluasi terhadap inner model atau model
structural.

5.2.1 Evaluasi Outer Model


Evaluasi terhadap model pengukuran indikator meliputi
pemerikasaan individual item reliability, internal consistency atau composite
reliability, average variance extracted, dan discriminant validity. Ketiga
pengukuran pertama dikelompokan dalam convergent validity.

a. Convergent Validity

Convergent validity terdiri dari tiga pengujian yaitu reliability item


(validitas tiap indikator), composite reability, dan average variance extracted
(AVE). Convergent validity digunakan untuk mengukur seberapa besar
indikator yang ada dapat menerangkan variabel. Artinya semakin besar
convergent validity maka semakin besar kemampuan indikator tersebut
dalam menerapkan variabel latennya.

 Reliability Item

Item reliabilitas atau biasa kita sebut dengan validitas indikator.


Pengujian terhadap reability item (validitas indikator) dapat dilihat dari nilai
loading factor (standardized loading). Nilai loading faktor ini merupakan
besarnya korelasi antara antara setiap indikator dan konstraknya. Nilai
loading factor diatas 0,7 dapat dikatakan ideal, artinya bahwa indikator
tersebut dapat dikatakan valid sebagai indikator untuk mengukur konstrak.
Meskipun demikian, nilai standardized loading factor diatas 0,5 dapat
diterima. Sedangkan nilai standardized loading factor dibawah 0,5 dapat
dikeluarkan dari model Chin (1998). Berikut adalah nilai reability item yang
dapat dilihat pada standardized loading:

Standardized loading factor menggambarkan besarnya korelasi antar


setiap item pengukuran (indikator) degan konstraknya.

Gambar 5.6 Model Inner dan Outer

Suatu indikator dikatakan memenuhi convergent validity, jika


mempunyai nilai loading di atas 0,55 (Ghozali, 2008). Berdasarkan tabel 4.4
dapat dilihat bahwa semua indikator pertanyaan telah valid karena memiliki
loading factor yang lebih dari 0,50. Besarnya loading factor juga munjukkan
besarnya kontribusi dari indikator pada variabelnya. Loading factor
tertinggi pada variabel komitmen adalah adalah kepercayaan (Komit1) yaitu
sebesar 0,892. Ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kejujuran
(komit2), kehandalan, keteguhan dan kesetiaan, faktor paling tinggi yang
dapat mengukur komitmen adalah kepercayaan. Untuk variabel SWB
indikator tertinggi adalah keimanan (SWB2); pada variabel SWB indikator
tertinggi adalah kemampuan menyelesaikan persoalan secara efektif (KK6);
pada variabel pola komunikasi indikator tertinggi adalah menghargai
pendapat orang lain (Kom5); dan variabel konflik pekerjaan keluarga
indikator tertinggi adalah behavior-based conflict (WFC3).

 Composite Reliability

Statistik yang digunakan dalam composite reliability atau reabilitas


konstrak adalah cronbach‟s alpha dan D.G rho (PCA). Nilai cronbach‟s alpha
dan D.G rho (PCA) diatas 7,0 menunjukan konstrak memiliki reabilitas atau
keterandalan yang tinggi sebagai alat ukur. Nilai batas 0,7 keatas berarti
dapat diterima dan diatas 0,8 dan 0,9 berarti sangat memuaskan (Nunnally
dan Bernstein, 1994 dalam Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, 2011:19).

Tabel 5.2 Hasil Composite Reliability

Composite Reliability

Ketahanan Keluarga 0.947

Komitmen 0.852

Komunikasi 0.860

Konflik Pekerjaan 0.751

SWB 0.842

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa seluruh latent


memperoleh nilai composite reliability diatas 0,7 sehingga dapat dikatakan
variabel memiliki reabilitas atau keterandalan yang baik sebagai alat ukur.
 Average Variance Extracted (AVE)

Average Variance Extracted (AVE) menggambarkan besaran


variance yang mampu dijelaskan oleh item-item dibandingkan dengan varian
yang disebabkan oleh error pengukuran. Standarnya adalah bila nilai AVE
diatas 0,5 maka dapat dikatakan bahwa konstrak memiliki convergent
validity yang baik. Artinya variabel laten dapat menjelaskan rata-rata lebih
dari setengah variance dari indikator-indikatornya.

Tabel 5.3 Hasil Average Variance Extracted (AVE)

AVE

Ketahanan Keluarga 0.750

Komitmen 0.538

Komunikasi 0.553

Konflik Pekerjaan 0.502

SWB 0.520

Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa nilai AVE untuk


seluruh variabel berada diatas 0,5 sehingga konstrak memiliki convergent
validity yang baik dimana variabel laten dapat menjelaskan rata-rata lebih
dari setengah variance indikator-indikatornya.

b. Validitas Diskriminan

Pemeriksaan discriminant validity dari model pengukuran reflektif


yang dinilai berdasarkan cross loading dan membandingkan antara nilai
AVE dengan kuadrat korelasi antarkonstrak. Ukuran cross loading adalah
adalah membandingkan korelasi indikator dengan konstraknya dan konstrak
dari blok lain. Discriminant validity yang baik akan mampu menjelaskan
variabel indikatornya lebih tinggi dibandingkan dengan menjelaskan varian
dari indikator konstrak yang lain. Berikut adalah nilai discriminant validity
untuk masing-masing indikator.

Keseluruhan dari konstruk pembentuk dinyatakan memiliki


diskriminan yang baik. Dimana syarat nilai korelasi indikator terhadap
konstruknya harus lebih besar dibandingkan nilai korelasi antara indicator
dengan konstruk lainnya telah terpenuhi.

Tabel 5.4 Validitas Diskriminan

Ketahanan Konflik
Komitmen Komunikasi SWB
Kel Pekerjaan

KK1 0.861 0.713 0.736 -0.447 0.648

KK2 0.875 0.756 0.749 -0.434 0.672

KK3 0.794 0.693 0.637 -0.253 0.700

KK4 0.886 0.745 0.789 -0.448 0.719

KK5 0.877 0.761 0.780 -0.402 0.699

KK6 0.898 0.716 0.761 -0.453 0.693

Kom1 0.582 0.605 0.658 -0.351 0.559

Kom2 0.633 0.626 0.740 -0.453 0.584

Kom3 0.671 0.655 0.755 -0.506 0.590

Kom4 0.657 0.653 0.758 -0.395 0.590

Kom5 0.645 0.633 0.800 -0.470 0.550

Komit1 0.730 0.892 0.741 -0.311 0.849

Komit2 0.553 0.687 0.593 -0.333 0.606

Komit3 0.521 0.637 0.586 -0.364 0.560

Komit4 0.597 0.713 0.577 -0.345 0.626

Komit5 0.667 0.713 0.623 -0.352 0.657

SWB1 0.545 0.628 0.491 -0.068 0.771

SWB2 0.635 0.774 0.604 -0.234 0.842

SWB3 0.554 0.630 0.546 -0.259 0.685

SWB4 0.548 0.638 0.530 -0.191 0.703


SWB5 0.565 0.581 0.597 -0.380 0.578

WFC1 -0.348 -0.350 -0.442 0.703 -0.223

WFC2 -0.311 -0.306 -0.367 0.690 -0.212

WFC3 -0.341 -0.320 -0.435 0.731 -0.238

Sumber: Hasil olahan data SmartPLS2

5.2.2 Uji Inner Model

Inner model merupakan uji pada model structural dilakukan untuk


menguji hubungan antara konstruk laten. Ada beberapa uji model structural
yaitu:

 R-Square

Tabel 5.5 R-Square

R Square

Ketahanan
0.788
Keluarga

Sumber: Hasil olah data SmartPLS2

Angka 78,8% menunjukan bahwa model structural yang dibentuk


cukup baik digunakan untuk menjelaskan sebesar 78,8% dari ketahanan
keluarga sebagai variabel endogen akhir. Seedangkan sisanya 21,2%
dijelaskan oleh variabel lain diluar model structural.
 Uji Model Struktural

Tabel 5.6 Uji Hipotesis

Original Sample Standard Standard


T Statistics
Sample Mean Deviation Error Keterangan
(|O/STERR|)
(O) (M) (STDEV) (STERR)

Komitmen

-> 0.256 0.284 0.117 0.117 2.193 Ho ditolak


Ketahanan
Keluarga

SWB ->
Ketahanan 0.168 0.160 0.093 0.093 1.812 Ho ditolak
Keluarga
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif dari komitmen dan SWB pada ketahanan keluarga (T
statistitic > 1,645). Penelitian menemukan bahwa dampak positif variable
agama dan spiritual seringkali berhubungan dengan hasil positif pada
individu dan keluarga (Gaffari, 2013). Penelitian sebelumnya menemukan
bahwa sebuah keluarga yang kuat menciptakan kondisi yang diperlukan
untuk kebutuhan spiritual para anggotanya dengan cara berbagi keyakinan
dan atau nilai-nilai spiritual dan agama. Keluarga seperti ini juga
memberikan lingkungan yang aman untuk berbagi masalah dan perhatian
akan keyakinan agama (Otto dalam Gaffari, 2013).

Menurut Defrain (2006), keluarga yang kuat menekankan pentingnya


aspek spiritualitas atau religiusitas, yang muncul dalam perasaan penuh
harapan, optimisme, dan damai dalam menjalani hidup. Interaksi dalam
keluarga membentuk pemahaman akan kemanusian. Keluarga yg kuat
menanamkan nilai-nilai moral yang tepat untuk berinteraksi di masyarakat.
Keluarga menjadi tempat tumbuhnya harapan, rasa damai, dan optimisme.
Keluarga mampu menjadi jembatan pada keadaan spiritual yang tinggi.
Keluarga juga menjadi pusat pengajaran mengenai nilai-nilai kemanusiaan
dan budi pekerti.

 Moderating Pola Komunikasi dan Konflik Pekerjaan Keluarga

Hasil perhitungan moderasi pola komuniksi dan work family conflict pada
komitmen dan SWB adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7 Pengrauh Moderasi Pola Komunikasi dan Konflik Pekerjaan


Keluarga

Loading dengan Loading dengan


Original
Moderasi Pola Konflik Pekerjaan
Sample (O)
Komunikasi Keluarga

Komitmen -> Ketahanan


0.256 0.426 -0.053
Keluarga

SWB -> Ketahanan


0.168 0.388 -0.616
Keluarga
Hasil nilai loading factor dengan variabel moderator pola
komunikasi menunjukkan bahwa kekuatan jalur pengaruh komitmen (0,426)
dan SWB (0,388) terhadap ketahanan keluarga menjadi lebih besar ketika
moderating model. Ini menunjukkan model dengan moderasi pola
komunikasi mampu memperkuat pengaruh komitmen dan SWB terhadap
ketahanan keluarga. Hal yang berkebalikan terjadi pada moderasi konflik
pekerjaan keluarga. Nilai loading factor dengan variabel moderator pola
komunikasi menunjukkan bahwa kekuatan jalur pengaruh komitmen (-
0,053) dan SWB (-0,616) terhadap ketahanan keluarga menjadi lebih kecil
ketika moderating model. Ini menunjukkan model dengan moderasi konflik
pekerjaan keluarga mampu melemahkan pengaruh komitmen dan SWB
terhadap ketahanan keluarga.
Namun demikian, menurut Giffari (2013), keluarga yang kuat tidak
imun terhadap stress dan krisis, sebaliknya mereka memiliki kemampuan
untuk bertahan dari tekanan atau stress secara efektif. Keluarga yang kuat
sering secara kreatif mampu mengantisipasi potensi masalah yang mungkin
terjadi. Situasi yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang kuat menjadi
suatu tantangan yang dihadapi scr efektif dan efisien dengan meminimalisir
kerusakan. Serta dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk
mengembangkan diri para anggotanya.
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Rencana dan tahapan selanjutnya dari paparan mengenai pengaruh


komitmen dan spiritual well being pada ketahanan keluarga dengan moderasi
pola komunikasi dan konflik pekerjaan keluarga adalah dikembangkan
kembali sehingga terbentuk model ketahanan keluarha di Kota Bandung.

1. Pengembangan dapat melalui perluasan variabel yang menjadi


determinan ketahanan keluarga atau mengenai faktor internal dan
eksternal yang berperan dalam ketahanan keluarga di Kota Bandung.

2. Selain itu dapat dilakukan pelatihan atau penyuluhan untuk


memberikan pemahaman pada keluarga yang diteliti tentang
pentingnya ketahanan keluarga dengan cara membangun komitmen
dan ketahanan spiritual pada anggota keluarga. Dari hasil

3. Dari hasil poin pertama dan kedua dapat dibuat menjadi kerangka
referensi tambahan bagi para psikolog, terapis keluarga, dan pegiat
studi Psikologi, dalam menciptakan pemahaman yang lebih
komprehensif untuk praktik konseling dan terapi.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat


disimpulkan bahwa:

1. Analisis deskriptif variabel dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori,


yaitu baik, cukup dan kurang. analisis deskriptif tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1. Skor untuk variabel komitmen berada pada 2,84;
spiritual well being (SWB) sebesar 3,06; ketahanan keluarga sebesar
2,83; pola komunikasi sebesar 2,66 dan konflik pekerjaan keluarga
sebesar 2,85. Dari kelima variabel, hanya SWB dengan kategori baik
(skor 3-4), keempat lainnya terkategori cukup (skor 2-3).
2. Komitmen keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,84. Indikator komitmen yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator keteguhan.
Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada kejujuran spiritual well being keluarga secara keseluruhan
diklasifikasikan baik dengan perolehan skor rata-rata 3,06. Indikator
spiritual well being yang memiliki persepsi bobot paling positif pada
indikator keimanan. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi
bobot paling rendah pada keterbukaan.
3. Ketahanan keluarga keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan
cukup baik dengan perolehan skor rata-rata 2,83. Indikator ketahanan
keluarga yang memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator
kebersamaan yang berkualitas. Sedangkan indikator yang memiliki
persepsi bobot paling rendah pada kemapanan spiritual
4. Pola komunikasi keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup
baik dengan perolehan skor rata-rata 2,66. Indikator pola komunikasi
yang memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator
menghargai pendapat orang lain. Sedangkan indikator yang memiliki
persepsi bobot paling rendah pada ketulusan
5. Work family conflict keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan
cukup baik dengan perolehan skor rata-rata 2,85. Indikator work
family conflict yang memiliki persepsi bobot paling positif pada
indikator behavior-based conflict. Sedangkan indikator yang
memiliki persepsi bobot paling rendah pada strain-based conflict
6. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif dari komitmen dan
SWB pada ketahanan keluarga. Penelitian menemukan bahwa
dampak positif variable agama dan spiritual seringkali berhubungan
dengan hasil positif pada individu dan keluarga. Penelitian ini
menemukan bahwa sebuah keluarga yang kuat menciptakan kondisi
yang diperlukan untuk kebutuhan spiritual para anggotanya dengan
cara berbagi keyakinan dan atau nilai-nilai spiritual dan agama.
Keluarga seperti ini juga memberikan lingkungan yang aman untuk
berbagi masalah dan perhatian akan keyakinan agama. Keluarga yang
kuat menekankan pentingnya aspek spiritualitas atau religiusitas,
yang muncul dalam perasaan penuh harapan, optimisme, dan damai
dalam menjalani hidup. Interaksi dalam keluarga membentuk
pemahaman akan kemanusian. Keluarga yg kuat menanamkan nilai-
nilai moral yang tepat untuk berinteraksi di masyarakat. Keluarga
menjadi tempat tumbuhnya harapan, rasa damai, dan optimisme.
Keluarga mampu menjadi jembatan pada keadaan spiritual yang
tinggi. Keluarga juga menjadi pusat pengajaran mengenai nilai-nilai
kemanusiaan dan budi pekerti.
7. Hasil nilai loading factor dengan variabel moderator pola komunikasi
menunjukkan bahwa kekuatan jalur pengaruh komitmen (0,426) dan
SWB (0,388) terhadap ketahanan keluarga menjadi lebih besar
ketika moderating model. Ini menunjukkan model dengan moderasi
pola komunikasi mampu memperkuat pengaruh komitmen dan SWB
terhadap ketahanan keluarga. Hal yang berkebalikan terjadi pada
moderasi konflik pekerjaan keluarga. Nilai loading factor dengan
variabel moderator pola komunikasi menunjukkan bahwa kekuatan
jalur pengaruh komitmen (-0,053) dan SWB (-0,616) terhadap
ketahanan keluarga menjadi lebih kecil ketika moderating model. Ini
menunjukkan model dengan moderasi konflik pekerjaan keluarga
mampu melemahkan pengaruh komitmen dan SWB terhadap
ketahanan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Andrew Fuller, Raising Real People, Creating A Resilient Family,


(Melbourne: Acer Press, 2000).
Claudio Consuegra dan Pamela Consuegra, “Together Time” dalam Vibrant
Life, No. 30, May/Jun 2014, pp. 18-21.
Diane E. Papalia, et. al.,Human Development, (New York: McGraw Hill,
2004).
Frank J. Moncher & Allan M. Josephson, “Religious and Spiritual Aspects
of Family Assessment” dalam Child and Adolescent Psychiatric Clinics,
No. 13, 2004.
Froma Walsh, Strengthening Family Resilience, (New York: The Guilford
Press, 2006).
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/12/22/354484/angka-
perceraian-di-indonesia-sangat-fantastis.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893.
John DeFrain & Sylvia M. Asay (ed.), Strong Families Around The World:
Strengths-Based Research and Perspectives, (New York: The Haworth
Press, 2007).
John DeFrain & Sylvia M. Asay, “Strong Families Around The World: An
Introduction to The Family Strenghts Perspectives” dalam Marriage &
Family Review, Vol. 41 No. ½ August 2007.
John DeFrain, “Strong Families Around The World” dalam Family Matters,
No. 53, Winter 1999.
John J. Schwab et. al.,Family Functioning, The General Living Systems
Research Model, (New York: Kluwer Academic Publishers, 2002).
Lixin Zou, “Social Responsibility and Employee‟s Organizational
Identification in Chinese Family Firms, Influence of Family Ownership
and Family Commitment” dalam Chinese Management Studies Vol. 8
No. 4, 2014.
Nick Stinnett & John DeFrain, Secrets of Strong Families, (Berkley: Berkley
Books, 1986).
Ross Mackay, “Family Resilience and Good Child Outcomes: An Overview
of The Research Literature” dalam Social Policy Journal of New
Zealand, Issue 20, Juni 2003.
Siobhan McGrath, “The Impact of New Media Technologies on Social
Interaction in The Household,” in Electronic Culture and Social
Change, 19 April 2012.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Weining C. Chang, Anna H. C. Neo, Daniel Fung, “In Search of Family
Resilience” dalam Psychology, No. 6, 2015, pp. 1594-1607.
John DeFrain & Sylvia M. Asay, “Strong Families Around The World: An
Introduction to The Family Strenghts Perspectives” dalam Marriage &
Family Review, Vol. 41 No. ½ August 2007. Lihat juga John DeFrain &
Sylvia M. Asay (ed.), Strong Families Around The World: Strengths-
Based Research and Perspectives, (New York: The Haworth Press,
2007), hlm. 2-3.
John J. Schwab et. al.,Family Functioning, The General Living Systems
Research Model, (New York: Kluwer Academic Publishers, 2002), hlm.
2.
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893.

Op.Cit., John DeFrain & Sylvia M. Asay, hlm. 4-5. Lihat juga ulasan
lengkap tentang enam faktor ketahanan keluarga ini dalam buku Nick
Stinnett & John DeFrain, Secrets of Strong Families, (Berkley: Berkley
Books, 1986).

Yamin, Sofyan dan Heri Kurniawan.2011.Partial Least Square Path


Modeling. Salemba Infotek

Zikmund, Wiliam G. dan Barry J. Babin. 2007 Exploring Marketing


Research 9th Edition. Thompson South Western

Hartono, Jogiyanto dan Abdillah, 2009, Konsep dan Aplikasi PLS, BPFE,
Yogyakarta.

Ghozali, Imam, 2011, Structural Equation Modelling : Metode Alternatif


dengan Partial Least Square (PLS), edisi 3, Badan Penerbit Undip,
Semarang.
Abdillah, W. dan Jogiyanto, H. M.,2009.Konsep Dan Aplikasi PLS (Partial
Least Square) Untuk Penelitian Empiris. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis UGM, Yogyakarta,

Azwar, Saifuddin, MA, Reliabilitas dan Validitas, Edisi ke-3, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta, 2003, Hal . 19, 78, 166

Notoatmadjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka


Cipta.
Kaplan, Robert M & P Sacuzzo, Dennis, Psycological Testing Principles,
Aplication, and Issue, 1993, California, Broks/Cole Publishing
Company, Hal 106, 123
Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistika. Bandung: CV. Alfabeta.

Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto, “Subjective Well Being pada
Remaja Ditinjau dari Kesadaran Lingkungan”, Psikodimensia, Vol.13,
No.1, Januari-Juni 2014,10-21, hal.12

Yohanes Hanggoro Tri Pamungkas, “penelitian deskreptif: Subjective Well


Being pada Biarawati Yogyakarta”,Skripsi, (Yogyakarta:Univeristas
Sanata Dharma, 2015), hal.7

Sofa Indriyani dkk, “Subjective Well Being pada Lansia Ditinjau dari
Tempat Tinggal,”
Developmental and Clinical Psychology, 3 (1), 2014, Hal.66

Kate Haffereon dan Ilona Boeiwell, positif psychology:theory reseach and


aplication, (New York: two plazza, september 2011), hlm.46

Murti Mujamiasih, “Subjective Well Being (SWB): Studi Indegenous Pada


PNS dan Karyawan Swasta yang Bersuku Jawa di Pulau Jawa,”Skripsi,
(Semarang:Universitas Negeri Semarang, 2013), Hal.17

Silvie Andartyasututi dkk, “Hubungan Antara Coping Strategy dengan


Subjective Well Being Pekerja Seks Komersial di Kota Bandung,”
Prosiding Seminar Nasional penelitian dan PKM sosial, Ekonomi dan
Humaniora, 2015, Hal:678
Fara Hamdana, “Subjective Well Being Siswa MAN 3 Palembang yang
Tinggal di Asrama”, Jurnal Psikologi Islam, Vol. 1, No.1, 2015, hal. 97
Mujamiasih, subjective well being: studi Indegenous..., hal.19

Muhamad Ari Wibowo, “Penerimaan Diri Pada Individu Yang Mengalami


Prekognisi,” Artikel, Universitas Gunadarma, hal. 30

Mujamiasih, subjective well being (SWB): studi Indegenous pada PNS...,


hal.19

Tina Afiatan, “Persepsi pria dan Wanita Terhadap Kemandirian”, Jurnal


Psikologi , Vol.-,No.1, 1993, hal.8
id.wikipedia.org, Definisi kesejahteraan, diunduh pada 3 Februari 2014 pkl
19.23

P. Alex Linley and Stephen Joseph, Positive Psychology in Practice, Canada:


Jhon Wiley & Son, Inc., 2004, Hlm 371

kamus besar bahasa Indonesia online, Definisi Sejahtera, diunduh pada 3


Februari 2014, pkl 19.23

www.kamushukum.com, artikel parameter kesejahteraan, dalam majalah


Tamaddun edisi Desember-Januari 2008, diakses pada 3 Februari 2014,
pkl 19.43

www.menkokesra.go.id, pengertian sejahtera pada artikel Prameter


Kesejahteraan, dalam majalah Tamaddun edisi Desember-Januari 2008,
diakses pada 3 Februari 2014, pkl 19.43
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, Hlm. 330.

Aliah B Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta:


Rajawali Pers, 2006 Hlm 288
Jalaludin, op.cit. Hlm. 331.

Graham, dkk, Religion And Spirituality In Coping With Stress, Journal of


Counseling and Values 46, 2001

Ellison,C.W, Spiritual Well Being: Conceptualization and Measurement,


Journal of Psychology and Theology, vol 11, 330
Miller, G., Fleming, W., & Brown Anderson, F. (1998). Spiritual Well-Being
Scale: Ethnic ifferences between Caucasians and African-Americans.
Journal of Psychology and Theology, 26, 358-364

Anda mungkin juga menyukai