RINGKASAN
PENGARUH KOMITMEN DAN SPIRITUAL WELLBEING
TERHADAP KETAHANAN KELUARGA DENGAN MODERASI
POLA KOMUNIKASI DAN KONFLIK PEKERJAAN KELUARGA
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Tim Penulis
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 15
2.1 Komitmen Keluarga ................................................................................. 15
2.1.1 Komitmen Dalam Perkawinan ......................................................... 16
2.1.2 Aspek-Aspek Komitmen Dalam Perkawinan................................... 17
2.1.3 Tingkatan-Tingkatan Komitmen .......................................................... 20
2.1.4 Sifat Komitmen ................................................................................ 21
2.2 Ketahanan Keluarga ................................................................................. 22
2.2.1 Tinjauan Teoritis Resiliensi Keluarga .............................................. 23
2.2.2 Ciri Keluarga Yang Resilien ............................................................ 28
2.2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Keluarga ................................ 28
2.3 Spiritual Well Being ................................................................................. 29
2.3.1 Pengertian Spiritual Well Being ........................................................... 29
2.3.2 Spiritualitas dan Religiusitas ................................................................ 31
2.3.3 Tingkatan Spiritualitas ..................................................................... 32
2.3.4 Aspek-Aspek Spiritual .......................................................................... 34
2.4 Work-Family Conflict .............................................................................. 35
2.4.1 Definisi Work-Family Conflict.............................................................. 35
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work-Family Conflict .................. 37
2.4.3 Aspek Work-Family Conflict ................................................................ 39
2.4.4 Arah Work-Family Conflict .................................................................. 41
v
2.4.5 Bentuk Work-Family Conflict ............................................................... 42
2.4.6 Dampak Work-Family Conflict ............................................................. 43
2.5 Pola Komunikasi ...................................................................................... 44
2.5.1 Komunikasi dalam keluarga ................................................................. 44
2.6 Kerangka Pemikiran................................................................................. 52
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .............................................. 56
3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 56
3.2 Kontribusi Penelitian ............................................................................... 56
4.1 Subjek Penelitian ..................................................................................... 58
4.2 Pendekatan dan Metode Penelitian .......................................................... 58
4.3 Operasionalisasi Variabel ........................................................................ 58
4.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 59
4.5 Populasi dan Sampel ................................................................................ 60
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas ................................................................... 60
4.7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .......................................................... 61
4.7.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Komitmen ................. 62
4.7.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Spiritual Well Being ....... 63
4.7.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Ketahanan keluarga ........ 65
4.7.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Pola komunikasi ............ 67
4.7.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Work Family Conflict ..... 68
4.8 Teknik Analisis Data................................................................................ 70
4.8.1 Statistik Deskriptif .......................................................................... 70
BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ................................................ 77
5.1 Gambaran Komitmen, Spiritual Well-Being, Ketahanan Keluarga, Pola
Komunikasi dan Konflik Pekerjaan-Keluarga ..................................................... 77
5.2 Pengujian Hipotesis ................................................................................. 82
5.2.1 Evaluasi Outer Model ...................................................................... 82
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA .................................................. 91
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 92
vi
7.1 Kesimpulan .............................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 94
vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1
peranannya dalam membentuk individu yang baik demi perwujudan
masyarakat yang baik pula.
Hal ini bukan saja menunjukkan bahwa keberadaan keluarga
dianggap sebagai faktor signifikan dalam perkembangan manusia itu sendiri,
tapi juga kesadaran untuk menjadikan keluarga sebagai bangunan dasar
untuk pembentukan masyarakat yang kuat dengan berbagai norma dan aturan
yang disepakati bersama.
Kesadaran seperti ini pula yang kemudian membuat persoalan
ketahanan keluarga (family resilience) menjadi topik penting, khususnya
dalam kajian Psikologi hari ini. Ketahanan keluarga misalnya diyakini bukan
saja membuat rumah tangga menjadi langgeng, tapi juga memiliki peran
signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan seseorang, khususnya
dalam hal kesehatan mental psikologis anak. Dasarnya sederhana, yakni
banyak penelitian yang sudah menunjukkan bahwa seorang anak yang
memiliki masa kecil yang kurang bahagia atau tinggal dalam lingkungan
keluarga yang bermasalah, maka ia akan membawa beban tersebut hingga
dewasa. Akibatnya ia akan sulit untuk tumbuh menjadi manusia yang unggul
dan produktif. Berbeda halnya dengan anak yang tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang harmonis dan memiliki ketahanan yang tinggi, maka ia akan
lebih mudah untuk mengeluarkan segenap potensi dan kemampuan
terbaiknya.
Ketahanan keluarga sendiri pada dasarnya merujuk pada kemampuan
keluarga dalam melepaskan diri dari berbagai persoalan dan memberdayakan
segenap sumber daya yang dimilikinya. Ia merupakan suatu proses aktif
dalam menghadapi berbagai permasalahan, pemenuhan diri, dan
pertumbuhan dalam merespon beragam krisis dan tantangan. Kemampuan
untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup berkeluarga ini
didasarkan pada kebijakan klasik bahwa masa lalu tidak pernah bisa diulang,
karenanya seorang anak sedapat mungkin harus dijauhkan dari berbagai
permasalahan di masa kecilnya agar ia tidak memiliki trauma masa lalu
ketika ia beranjak dewasa.
Konsep ketahanan keluarga ini semakin penting dalam konteks
kehidupan masyarakat modern saat ini. Dalam hal ini, mengutip John J.
Schwab et. al., setidaknya terdapat empat faktor penting yang menjadi alasan
mengapa ketahanan harus diupayakan oleh setiap keluarga, yakni:
2
1. Faktor biologis (biological factors); Masyarakat hari ini adalah
masyarakat dengan karakteristik biologis yang berubah dengan
masyarakat masa lalu, terutama dalam hal masa pubertas dan harapan
hidup yang lebih panjang, yang tentunya juga mempengaruhi pola
perkawinan dan kehidupan keluarga. Generasi muda hari ini
umumnya sudah mengenal hubungan dengan lawan jenis dan banyak
di antara mereka yang sudah mencapai kedewasaan secara seksual
(sexual maturity) dibandingkan generasi muda zaman dulu (John,
2002). Lebih dari itu, seperti umumnya terdapat di negeri ini,
kebijakan kontrasepsi dan semakin longgarnya aturan-aturan sosial
normatif, membuat perilaku negatif seperti seks bebas juga dilakukan
oleh bahkan mereka yang masih belum mencapai usia dewasa. Tidak
heran jika kemudian ada banyak keluarga yang berawal dari
hubungan yang tidak terkendali, di mana pernikahan dianggap
sebagai solusi untuk menutup aib karena adanya anak yang
dikandung akibat pergaulan bebas, padahal secara psikologis mereka
belum siap untuk berkeluarga. Faktor-faktor biologis semacam inilah
yang menjadi salah satu pertimbangan utama mengapa ketahanan
keluarga tidak bisa dianggap remeh terutama dalam konteks
perubahan nilai-nilai kultural dan perilaku generasi muda hari ini.
2. Faktor kultural (cultural factors); dampak dari faktor kultural
terhadap perubahan dalam memandang keberadaan sebuah keluarga
pada dasarnya mulai dirasakan pada beberapa tahun ke belakang
ketika era posmodern dimulai. Relativisme, pluralisme, dan nilai
berbasis utilitas yang dibawa oleh posmodernisme sedikit banyak
telah merubah tatanan norma dan sistem nilai yang terdapat di
masyarakat. Relativisme nilai misalnya, membuat beberapa hal yang
tadinya dianggap tabu dan terlarang, kini bisa diperbincangkan dan
dipraktikkan dengan bebas di masyarakat. Jika pada masa lalu orang
tua cenderung memilihkan jodoh untuk anaknya, maka pada masa
kini orang tua lebih terbuka dengan pilihan sang anak, bahkan
jikapun pilihan tersebut tidak berkesesuaian dengan tradisi keluarga
yang ada. Pada beberapa daerah dengan filosofi pernikahan sesuku
yang kental, aturan tersebut bahkan sudah menjadi lebih longgar dan
tidak lagi menjadi keharusan. Perubahan kultural seperti ini, terutama
pengaruhnya terhadap keberadaan keluarga, pada akhirnya juga
3
membuat praktik terapi keluarga (family therapy) tidak lagi
didasarkan pada analogi keluarga secara biologis-sibernetik, tapi pada
teori sistem yang dasarnya banyak ditemukan dalam teori-teori
konstruksi sosial.
3. Faktor sosial (social factors); terdapat dua faktor sosial penting yang
mempengaruhi perubahan dalam keluarga hari ini, yakni
individualisme dan antifamilism. Penekanan pada individu dan ego
pribadi dibandingkan keluarga ini misalnya bisa dilihat pada
banyaknya anak yang terlahir atau diasuh oleh seorang ibu tanpa
harus melalui jalur pernikahan secara formal ataupun melalui
hubungan biologis tertentu (adopsi). Pada beberapa generasi muda
hari ini juga terdapat kecenderungan untuk melepaskan diri dari
keluarga secara tradisional, dan lebih menyukai bahkan lebih
mengakui dirinya sebagai bagian dari komunitas tertentu sebagai
keluarganya dibandingkan orang tua ataupun saudara-saudaranya
secara biologis. Generasi muda yang umumnya dipengaruhi oleh cara
berpikir bebas (liberal) ini misalnya bisa ditemukan pada kumpulan
anak-anak punk, yang lebih senang hidup dan berkumpul dengan
sesamanya di jalanan dibandingkan dengan keluarganya. Lemahnya
pengawasan dan empati masyarakat hari ini juga membuat fenomena
seperti ini semakin dianggap wajar dan lumrah. Darinya wajar jika
faktor sosial ini memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
keluarga.
4. Faktor teknologis (technological factors); perkembangan teknologi
yang pada abad kontemporer pada dasarnya telah menghadirkan
perubahan fundamental dalam cara masyarakat berkomunikasi dan
membangun jaringan. Kemudahan dalam berkomunikasi dan mencari
informasi membuat keberadaan keluarga dan pola kehidupan
tradisional tidak lagi mendapatkan arti di tengah maraknya
penggunaan social media hari ini. Anak-anak hari ini bahkan lebih
banyak berkomunikasi dengan teman-teman dalam jaringan social
media dibandingkan dengan keluarganya atau orang tuanya sendiri.
Keberadaan teknologi canggih ini bahkan membuat banyak orang
terasing dengan lingkungannya sendiri. Ia tidak lagi bisa merasakan
kehadiran orang-orang di sekelilingnya, dan lebih terfokus dengan
mereka yang hadir secara virtual di dunia maya. Keluarga dalam hal
4
ini juga mendapatkan dampak terbesar, karena hubungan antara
orang tua dan anak tidak lagi seperti semula. Kurangnya waktu
kebersamaan yang positif antara orang tua dan anak juga seringkali
bermula dari kesibukan masing-masing pihak dengan gadget dan
perangkat teknologi lainnya.
8
- Shared ethical values opportunities
- Openess with humankind - Growing through crises together
- Openess to change
(Sumber: John DeFrain & Sylvia M. Asay, Strong Families Around The
World: An Introduction to The Family Strenghts Perspectives, 2007)
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa DeFrain menyatakan ada enam
faktor yang membuat suatu keluarga bisa memiliki ketahanan, yakni: (1)
apresiasi dan afeksi atau kasih sayang sesama anggota keluarga, dengan
indikator yang mencakup kepedulian atau perhatian satu sama lain,
persahabatan, penghargaan atas individualitas, keceriaan, dan humor; (2)
komitmen, dengan indikator yang mencakup kepercayaan, kejujuran,
kehandalan, keteguhan, dan kebersamaan; (3) komunikasi positif, dengan
indikator yang mencakup pemberian pujian secara tulus, berbagi rasa, tidak
menyalahkan orang lain, mampu berkompromi, dan menghargai pendapat
orang lain; (4) waktu kebersamaan, dengan indikator yang mencakup waktu
yang dihabiskan bersama secara berkualitas, kesabaran untuk mendapatkan
hal yang baik, menikmati momen kebersamaan yang sederhana, dan berbagi
waktu-waktu yang menyenangkan; (5) kemapanan spiritualitas, dengan
indikator mencakup harapan, keimanan, kasih sayang, nilai-nilai etis, dan
keterbukaan terhadap manusia; dan (6) kemampuan untuk mengelola tekanan
dan krisis secara efektif, dengan indikator mencakup kemampuan
beradaptasi, kemampuan melihat persoalan sebagai peluang dan tantangan,
menghadapi krisis secara bersama-sama, dan keterbukaan terhadap
perubahan.
Dalam konteks modern, seorang suami/istri dituntut mempunyai
peran ganda, yaitu peran dalam keluarga, dan peran dalam pekerjaan. Dalam
prakteknya, kedua peran penting ini seringkali bertentangan dan
memunculkan apa yang dinamakan konflik pekerjaan dan keluarga (work-
family conflict). Konflik pekerjaan dan keluarga (work-family conflict)
diprediksi mempunyai pengaruh signifikan terhadap ketahanan keluarga.
Work-family conflict merupakan konstruk pada bidang ilmu sumberdaya
manusia yang banyak diteliti di Negara-negara industri barat terutama
Amerika Serikat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan
globalisasi bisnis dan ekonomi, isu mengenai work-family conflict sangatlah
9
penting untuk dipahami oleh negara-negara berkembang (Yang, Chen, &
Zou; 2000).
11
5. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan
fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
6. Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan kualitas
keluarga, baik sebagai sasaran maupun sebagai pelaku pembangunan,
sehingga tercipta peningkatan ketahanan baik fisik maupun non fisik,
kemandirian serta kesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas.
14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Orang yang berada pada tahap ini mulai merasakan ketulusan dari
ibadahnya. Ia benar-benar termotivasi pada cinta kasih, pengabdian dan
nilai-nilai moral.
Pada tahap ini, orang merasakan kedamaian. Pergolakan pada tahap awal
telah lewat, kebutuhan dan ikatan-ikatan lama tak lagi penting.
Kepentingan diri mulai lenyap, sehingga membuat seseorang lebih dekat
dengan Tuhannya. Tingkat ini membuat seseorang menjadi berpikiran
terbuka, bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang, dapat
dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang.
Seseorang yang berada pada tahap ini tidak hanya tenang dengan dirinya,
namun juga tetap bahagia dalam keadaan sulit, musibah, atau cobaan dalam
kehidupannya. Ia menyadari bahwa segala kesulitan datang dari Allah
untuk memperkuat imannya.
Pada tahap ini, seseorang telah menyadari bahwa segalanya tidak dapat
terjadi begitu saja melainkan berasal dari Allah. Tidak ada lagi rasa takut
dan tidak lagi meminta. Mereka yang berada dalam tahap ini telah
mencapai kesatuan internal. Tahap ini termanifestasi melalui ikatan Sang
Pencipta dengan yang diciptakan-Nya, melalui perasaan cinta yang
mendasarinya.
Seseorang yang telah berada atau mencapai tahap akhir ini telah mengalami
transendensi diri yang seutuhnya. Titik ini merupakan titik kesucian, tidak
ada nafs yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Seseorang telah
menyadari kebenaran sejati, “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ia menyadari
bahwa tidak ada apa-apa lagi kecuali Allah, semua hanya milik Allah dan
akan kembali pada- Nya, sehingga tidak ada lagi keinginan dan keluhan.
Seseorang yang berada pada tahap ini adalah sosok manusia menyandarkan
segala sesuatunya hanya pada Allah.
a. Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan menunjukkan bagaimana masing-masing
karyawan memiliki peran yang berbeda tergantung pada
pekerjaannya, peran pekerjaan tertanam dalam suatu keadaan atau
kondisi yang sudah melekat pada pekerjaan tersebut.
1) Stresor Peran (Role Stressors)
Stresor pada pekerjaan dan keluarga merupakan hasil daripada
tekanan yang dimiliki peran pada masing-masing domain. Konflik
peran, ambiguitas peran, peran yang berlebihan dan komitmen waktu
kerja secara umum dipandang sebagai sumber utama stres dalam
kerangka stresor (Kahn dkk., 1964). Banyak individu yang akhirnya
menyerah pada tekanan yang ada dalam usahanya untuk memenuhi
beragam ekspektasi dari masing-masing peran. Salah satu
penyebabnya adalah ketika tekanan peran yang ada dalam kerangka
stressor (konflik peran, ambiguitas peran, kelebihan peran dan
tuntutan waktu) dihadapi, tenaga individu akan lebih banyak
terkuras. Manusia memiliki energi serta waktu yang terbatas,
sehingga ketika stressor peran pada salah satu domain mengalami
peningkatan akan menghasilkan konflik yang lebih besar.
2) Keterlibatan Peran (Role Involvement)
Keterlibatan kerja dan keluarga mengacu pada tingkat keterikatan
psikologis atau kaitan terhadap peran di pekerjaan dan keluarga
(Frone, 2003). Individu yang memiliki keterikatan peran tinggi
memiliki ketertarikan kognitif terhadap peran tertentu. Ketertarikan
peran yang tinggi membuat sesorang melihat peran tersebut
sebagai hal terpenting dan pusat dari kehidupannya. Tingginya
keterlibatan psikologis terhadap suatu peran tertentu dapat membuat
sulit untuk terikat dalam kegiatan peran saingannya, misalnya
keterlibatan pada pekerjaan dapat membuat keterikatan pada
perannya di keluarga berkurang. Teori peran menjelaskan bahwa
individu dapat terlibat secara psikologis dengan perannya di
pekerjaan dan di rumah sebagai usaha untuk memenuhi ekspektasi
dari masing-masing peran. Seandainya ketidakpuasan ditemui dalam
salah satu peran, individu dapat menyesuaikan waktu, perhatian dan
energi yang dimiliki. Teori kompensasi menjelaskan bahwa terdapat
hubungan terbalik antara domain pekerjaan dan keluarga, di mana
ketidakpuasan pada satu domain akan diimbangi melalui kepuasan
atau keterlibatan yang lebih besar dalam domain lain (Edwards &
Rothbard, 2000 dalam Michel, 2011).
3) Dukungan Sosial (Social Support)
Dukungan sosial merujuk pada bantuan peran, kekhawatiran
emosional, informasi dan penilaian fungsi lain yang berfungsi untuk
meningkatkan perasaan penting dalam diri seseorang (Carlson &
Perrewe, 1999). Dukungan sosial dari domain pekerjaan dapat datang
dari beberapa sumber seperti rekan kerja, supervisor dan organisasi
itu sendiri. Dukungan sosial untuk domain keluarga dapat datang dari
pasangan atau seluruh keluarga. Seperti yang dikemukankan oleh
Stoner, dkk (2011) yaitu dukungan dari keluarga dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya work-family conflict yang dialami
oleh seseorang. Dukungan sosial yang didapatkan dari salah
satu domain dapat memimpin kepada berkurangnya waktu,
perhatian dan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan peran
tersebut.
4) Karakteristik Kerja (Work Characteristic)
Karakteristik kerja terdiri dari beberapa hal dalam domain yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan peran (Morgenson & Campion, 2003).
Beberapa hal tersebut antara lain durasi peran (pekerjaan dan
kepemilikan organisasi), karakteristik peran (tipe pekerjaan,
autonomi pekerjaan, variansi tugas, dan gaji), serta pengaruh
organisasional terhadap peran tersebut (alternatif jadwal kerja dan
seberapa jauh organisasi tersebut responsive terhadap keluarga).
Tingginya status dalam pekerjaan serta gaji yang semakin tinggi
mengindikasikan tanggung jawab yang lebih besar, stress yang
lebih besar sehingga menyulitkan untuk menjaga keseimbangan
dalam kedua peran yang dimiliki baik di rumah ataupun pekerjaan.
Karakter yang dimiliki oleh pekerjaan dan organisasi mempengaruhi
bagaimana individu dapat menjalankan perannya dan seberapa besar
tanggung jawab dan waktu yang dibutuhkan. Karakteristik pekerjaan
yang menuntut tanggung jawab serta perhatian yang besar dapat
mempengaruhi bagaimana individu menjalankan perannya di rumah.
b. Faktor Individu
Faktor individu yang dimaksudkan mempengaruhi work-family
conflict adalah kepribadian seseorang. Kepribadian menurut Allport
dalam Schultz & Schultz (2013) merujuk pada dinamika struktur
mental dan proses mental yang terkoordinasi yang menentukan
penyesuaian emosional dan perilaku individu terhadap
lingkungannya. Salah satu bagian dari kepribadian yang
berpengaruh terhadap work family conflict adalah internal locus of
control dan efektifitas negatif serta neurotisme. Internal locus of
control secara umum didefinsikan sebagai sejauh mana seseorang
melihat hasil yang ada disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) dan
bukan semata-mata karena kesempatan (eksternal) (Rotter, 1966).
Efektifitas negatif dan neurotisme secara umum didefinsikan sebagai
tingkatan stress yang lebih tinggi yang didasarkan pada sifat
psikologis, kecemasan, dan ketidakpuasan secara umum (Costa &
McCrae, 1992). Kemampuan dari dalam diri individu sendiri
merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan kedua peran
yang dimiliki, dan aspek-aspek dalam kerpibadian mempengaruhi
individu dalam menghadapi tekanan yang didapat dari kedua peran
yang akan mempengaruhi kemungkinan munculnya konflik antara
kedua peran. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahawa faktor-faktor mempengaruhi terjadinya work-
family conflict berasal dari pekerjaan seperti stresor yang ada,
keterlibatan peran, dukungan sosial dan karakteristik pekerjaan serta
berasal dari individu itu sendiri seperti kepribadiannya.
a. Time-Based Conflict
Merupakan konflik yang terjadi akibat waktu yang digunakan dalam
memenuhi satu peran tidak dapat untuk memenuhi tanggung jawab
peran lainnya. Hal ini meliputi pembagian waktu, energi dan
kesempatan antara peran di pekerjaan dan di keluarga. Time-based
conflict memiliki 2 tipe, yaitu yang pertama merupakan tekanan
waktu yang berhubungan dengan keanggotaan dalam satu peran
membuat pemenuhan ekspektasi dari peran lain menjadi tidak
mungkin. Kedua, tekanan dapat menimbulkan pre- okupasi terhadap
satu peran, walaupun secara fisik berusaha untuk memenuhi tuntutan-
tuntutan pada peran lain (Bartolome & Evans, 1979).
b. Strain-Based Conflict
Merupakan konflik yang berasal dari ketegangan yang diproduksi
oleh peran, ketika ketegangan dari satu peran mengganggu
pemenugan tanggung jawab pada peran lain. Salah satu pemicu dari
ketegangan pada peran ialah stress kerja yang mampu
menimbulkan gejala-gejala ketegangan seperti tekanan, kecemasan,
depresi, kelelahan, apatis dan mudah marah. Strain-based conflict
muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari suatu peran
mempengaruhi pelaksanaan peran lain yang dimiliki individu (Pleck,
1980).
c. Behavior-Based Conflict
Merupakan konflik yang muncul ketika perilaku yang ditampilkan
dalam satu peran tidak sesuai dengan ekspektasi perilaku pada peran
lain. Ketidaksesuaian perilaku individu ketika bekerja dan ketika
berada di rumah terjadi karena disebabkan perbedaan aturan yang
berlaku dan kadang sulit menukar peran yang satu dengan peran
yang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work
family conflict memiliki tiga bentuk yaitu time based conflict, strain
based conflict, dan behavior based conflict.
Dampak yang ditimbulkan dalam diri individu itu sendiri yaitu dapat
mengakibatkan depresi, stres psikologi (burnout), menurunnya tingkat
kepuasan hidup, serta mengalami penurunan kesehatan fisik (Duxburry
& Higgins, 2003). Clarke-Stewart & Dunn (2006) menyatakan dampak
yang ditimbulkan work-family conflict bagi keluarga adalah tekanan yang
dialami oleh orang tua akan mempengaruhi anak secara tidak langsung yaitu
melalui pola pengasuhan yang mengalami perubahan akibat tekanan yang
diterima orang tua. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
work-family conflict memiliki dampak terhadap organisasi, individu itu
sendiri dan keluarga.
2.5 Pola Komunikasi
c. Dasar Komunikasi
d. Tujuan komunikasi
e. Macam-macam Komunikasi
3) Komunikasi Publik
Komunikasi publik biasa disebut komunikasi pidato, komunikasi
kolektif, komunikasi retorika, public speaking dan komunikasi
khalayak (audience communication). Adapun namanya, komunikasi
publik menunjukkan suatu proses komunikasi di mana pesan-pesan
disampaikan oleh pembicara dalam situasi tatap muka di depan
khalayak yang lebih besar.
Dalam komunikasi publik penyampaian pesan berlangsung secara
kontinu. Dapat diidentifikasi siapa yang berbicara (sumber) dan siapa
pendengarnya. Interaksi antara sumber dan penerima sangat terbatas,
sehingga tanggapan balik juga terbatas. Hal ini disebabkan karena
waktu yang digunakan sangat terbatas, dan jumlah khalayak relatif
besar. Sumber seringkali tidak dapat mengidentifikasi satu-persatu
pendengarnya.
4) Komunikasi massa ( mass communication)
Yang dimaksud komunikasi massa adalah komunikasi melalui media
massa misalnya: surat kabar, majalah, radio, televisi, film.
Komunikasi massa mempunyai beberapa ciri-ciri diantaranya :
a. Komunikasi massa berlangsung satu arah.
b. Pesan pada komunikasi massa melembaga
c. Komunikasi massa bersifat heterogen
d. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum.
f. Aneka komunikasi dalam keluarga
1) Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-
simbol yang berlaku umum atau yang bisa digunakan oleh
kebanyakan orang dalam proses komunikasi. Simbol- simbol yang
digunakan oleh orang dalam komunikasi itu dapat berupa suara,
tulisan atau dalam bentuk gambar-gambar. Bahasa adalah salah satu
simbol yang banyak digunakan oleh orang. Bahasa dapat
didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur
sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti.
Kegiatan komunikasi verbal menempati frekuensi terbanyak dalam
keluarga. Setiap hari orang tua selalu ingin berbincang-bincang
kepada anaknya. Canda dan tawa menyertai dialog antara
orang tua dan anak. Perintah, suruhan, larangan, dan sebagainya
merupakan alat pendidikan yang sering dipergunakan oleh orang tua
atau anak dalam kegiatan komunikasi keluarga. Alat pendidikan
tersebut tidak hanya dipakai oleh orang tua terhadap anaknya, tetapi
bisa juga dipakai oleh anak terhadap anak yang lain.
Dalam perhubungan antara orang tua dan anak akan terjadi
interaksi. Dalam interaksi itu orang tua berusaha mempengaruhi anak
untuk terlibat secara pikiran dan emosi untuk memperhatikan apa
yang akan disampaikan. Anak mungkin berusaha menjadi pendengar
yang baik dalam menafsirkan pesan-pesan yang akan disampaikan
oleh orang itu.
2) Komunikasi nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-
kata dan komunikasi nonverbal memberikan arti pada
komunikasi verbal. Dalam komunikasi nonverbal orang dapat
mengambil suatu kesimpulan tentang berbagai macam perasaan
orang, baik rasa senang, benci, cinta, rindu, maupun berbagai macam
perasaan lainnya.
Komunikasi non verbal sering dipakai oleh orang tua dalam
menyampaikan satu pesan kepada anak. Sering tanpa berkata sepatah
kata pun, orang tua menggerakkan hati anak untuk melakukan
sesuatu. Kebiasaan orang tua dalam mengajarkan sesuatu dan karna
anak sering melihatnya, anakpun ikut mengerjakan apa yang pernah
dilihat dan didengarnya dari orang tuanya. Masalah pendidikan sholat
misalnya, karna anak sering melihat orang tuanya mengerjakan
salat siang dan malam di rumah, anak pun menirukan gerakan salat
yang pernah dilihatnya dari orang tuanya. Terbenar lepas benar atau
salah gerakan salat yang dilakukan oleh anak, yang jelas pesan-pesan
nonverbal telah direspon oleh anak.
Dalam konteks sikap dan prilaku orang tua yang lain, pesan
nonverbal juga dapat menerjemahkan gagasan, keinginan atau
maksud yang terkandung dalam hati.
Tanpa harus didahului oleh kata-kata sebagai pendukungnya, tepuk
tangan, pelukan, usapan tangan, duduk, dan berdiri tegak maupun
mengekspresikan gagasan, keinginan atau maksud. Pelukan atau
usapan tangan di kepala anak oleh orang tua sebagai pertanda bahwa
orang tua memberikan kasih saying kepada anaknya. Tepukan orang
tua boleh jadi sebagai ekspresi kegembiraan orang tua atas
keberhasilan belajar anaknya di sekolah. Sebaiknya perasaan
sedih, kecewa, atau marah, sering membuat orang tidak mampu
mengungkapkan kata-kata dengan benar dan baik. Kegoncangan
emosi yang luar biasa membuat orang lebih banyak diam daripada
berbicara. Sikap perilakulah yang lebih banyak bicara. Oleh karna
itu, perasaan atau emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan
nonverbal ketimbang pesan verbal.
Tidak hanya orang tua, anak juga sering menggunakan pesan
nonverbal dalam menyampaikan gagasan, keinginan atau maksud
tertentu kepada orang tuanya. Malasnya anak untuk melakukan
sesuatu yang diperintahkan oleh orang tua adalah sebagai ekspresi
penolakan anak atas perintah. Kebiasaan anak mengucapkan salam
ketika keluar masuk rumah merupakan simbol keberhasilan orang
tua dalam memberikan pendidikan kepada anak melalui keteladanan
dan pembiasaan. Pendidikan menggunakan metode keteladanan dan
metode pembiasaan sangat efektif dalam mempengaruhi
perkembangan jiwa anak. Sebab dengan keteladanan dan diperkuat
dengan pembiasaan akan memperkuat tertanamnya pesan-pesan
nonverbal atau pesan-pesan verbal di dalam jiwa anak. Karena
seringnya dilakukan, pesan-pesan nonverbal dan pesan-pesan verbal
itu menjadi fungsional dalam kehidupan anak. Akhirnya, komunikasi
nonverbal sangat diperlukan dalam menyampaikan suatu pesan
ketika komunikasi verbal tidak mampu mewakilinya.
3) Komunikasi kelompok
Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara
seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya
lebih dari dua orang.
Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk
dibina dalam keluarga. Keakraban hubungan itu dapat dilihat dari
frekuensi pertemuan orang tua dan anak dalam suatu waktu dan
kesempatan. Masalah waktu dan kesempatan menjadi factor penentu
berhasil atau gagal suatu pertemuan. Boleh jadi, suatu
pertemuan yang sudah direncanakan oleh orang tua atau anak
untuk berkumpul, duduk bersama dalam satu meja, dalam acara
keluarga terancam gagal disebabkan belum adanya pertemuan
antara dan kesempatan. Waktunya mungkin sudah ada, tetapi
kesempatan untuk menghindari pertemuan keluarga itu belum ada
untuk setiap orang tua atau anak sehingga ada sebagian anggota
keluarga yang tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Banyak faktor
yang menjadi penyebabnya. Misalnya, orang tua yang terlalu sibuk
dengan urusannya sendiri, seolah-olah tidak ada waktu dan
kesempatan untuk duduk bersama anak, bercengkrama dan
bersendau gurau. Anak yang sudah terlanjur memiliki acara
tersendiri di luar rumah sebelum acara keluarga itu akan
diadakan. Orang tua yang berdagangan sepanjang hari. Orang tua
yang bekerja sebagai pegawai negeri dari pagi hingga petang.
Sebenarnya, pertemuan anggota keluarga untuk duduk bersama
dalam satu waktu dan kesempatan sangat penting sebagai symbol
keakraban keluarga. Moment seperti waktu makan, menonton
televise, duduk santai, ketika anak sedang bermain-main di dalam
rumah, dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk bercengkrama,
bersenda gurau atau membicarakan hal-hal yang bermanfaat bagi
kebaikan anggota keluarga untuk menjalin hubungan yang akrab
dalam keluarga tidak mesti harus diawali dengan pertemuan formal.
Pertemuan informal juga memiliki nilai strategis dalam
mengakrabkan hubungan orang tua dengan anak. Bahkan terkadang
via pertemuan informal pesan-pesan kebaikan dapat tersalur
secara efektif. Ketika anak-anak duduk bersama antar sesama
mereka, orang tua harus pandai memanfaatkan moment tersebut
untuk duduk bersama mereka, memahami mereka, bermain
bersama mereka, berbicara dan berdialog yang disesuaikan dengan
tingkat berfikir dan dunia anak-anak. Di sini orang tua harus
produktif untuk mengawali pembicaraan. Jangan paksa anak untuk
memahami dunia orang tua, berfikir dan berprilaku seperti orang tua.
Jika hal itu terjadi, maka komunikasi antara orang tua dan anak tidak
dapat berlangsung baik dan efektif. Akhirnya, sudah waktunya orang
tua meluangkan waktu dan kesempatan untuk duduk bersama dengan
anak- anak, berbicara, berdialog dalam suasana santai.
Teori Psikologi
Keluarga, Psikologi
Perkembangan, dan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Ketahanan
Ketahanan
Keluarga
M1
X1
Y
X2
M2
Keterangan:
X1 : Komitmen
X2 : Spiritual Well-Being
M1 : Pola Komunikasi
M2 : Konflik Pekerjaan-Keluarga
Y : Ketahanan Keluarga
: Menunjukkan Pengaruh Langsung
: Menunjukkan Pengaruh Moderasi
N XY X Y
R
N X 2
X N Y 2 Y
2 2
(Notoatmodjo, 2002:131)
Keterangan :
X = skor item
Y = skor total
Jika nilai koefisien korelasinya yang lebih besar dari 0,3 maka item-
item tersebut dinyatakan valid (Kaplan)
k Si
2
Keterangan :
S i
2
: Jumlah varians dari tiap instrumen
Correlations
Komitmen
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KM1 .656** .000 30
KM2 .546** .002 30
KM3 .580** .001 30
KM4 .842** .000 30
KM5 .508** .004 30
KM6 .641** .000 30
KM7 .597** .000 30
KM8 .588** .001 30
KM9 .713** .000 30
KM10 .502** .005 30
Komitmen 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.817 10
4.7.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Spiritual Well Being
Correlations
SWB
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
SWB1 .843** .000 30
SWB2 .742** .000 30
SWB3 .790** .000 30
SWB4 .714** .000 30
SWB5 .807** .000 30
SWB6 .501** .005 30
SWB7 .470** .009 30
SWB8 .640** .000 30
SWB9 .693** .000 30
SWB10 .723** .000 30
SWB 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.860 10
Correlations
Ketahanan.Keluarga
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KK1 .669** .000 30
KK2 .459* .011 30
KK3 .811** .000 30
KK4 .755** .000 30
KK5 .730** .000 30
KK6 .734** .000 30
KK7 .672** .000 30
KK8 .803** .000 30
KK9 .595** .001 30
KK10 .714** .000 30
Ketahanan.Keluarga 1 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.878 10
Correlations
Pola.Komunikasi
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
PK1 .560** .001 30
PK2 .689** .000 30
PK3 .669** .000 30
PK4 .584** .001 30
PK5 .688** .000 30
PK6 .682** .000 30
PK7 .455* .011 30
PK8 .409* .025 30
PK9 .716** .000 30
PK10 .640** .000 30
Pola.Komunikasi 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel pola
komunikasi telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai pembanding
untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan oleh
Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas
0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3 dikategorikan
tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil di atas
menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid, sehingga
semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.812 10
4.7.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Work Family Conflict
Hasil perhitungan korelasi untuk uji validitas alat ukur variabel work
family conflict telah valid. Angka yang dipergunakan sebagai pembanding
untuk melihat valid tidaknya suatu item, seperti dikemukakan oleh
Syaifuddin Azwar (1997:158) adalah 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas
0,3 dikategorikan item valid, sedangkan item dibawah 0,3 dikategorikan
tidak valid dan akan disisihkan dari analisis selanjutnya. Hasil di atas
menunjukkan bahwa semua item pertanyaan dinyatakan valid, sehingga
semua item tersebut dapat dilanjutkan dengan uji reliabilitas.
Correlations
Konflik.Pekerjaan
Pears on Correlation Sig. (2-tailed) N
KPK1 .827** .000 30
KPK2 .687** .000 30
KPK3 .543** .002 30
KPK4 .676** .000 30
KPK5 .602** .000 30
KPK6 .692** .000 30
KPK7 .688** .000 30
KPK8 .448* .013 30
KPK9 .500** .005 30
KPK10 .574** .001 30
Konflik.Pekerjaan 1 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.822 10
RS = (5-1) = 0,8
5
Dimana :
RS = Rentang Skala
Penilaian Keterangan
1 Sangat Tidak Setuju
2 Tidak Setuju
3 Ragu-Ragu
4 Setuju
5 Sangat Setuju
Sumber : Riduwan, 2013
Dari interval tersebut maka akan dapat disusun sebuah tabel acuan
yang dapat dijadikan landasan kesimpulan deskriptif berikut ini :
4.8.2 PLS
1) Convergent Validity
Nilai batas 0,7 keatas berarti dapat diterima dan diatas 0,8
dan 0,9 berarti sangat memuaskan (Nunnally dan Bernstein,
1994 dalam Sofyan Yamin dan Heri Kurniawan, 2011:19)
Average Variance Extracted (AVE) menggambarkan
besaran variance yang mampu dijelaskan oleh item-item
dibandingkan dengan varian yang disebabkan oleh error
pengukuran. Standarnya adalah bila nilai AVE diatas 0,5
maka dapat dikatakan bahwa konstrak memiliki convergent
validity yang baik. Artinya variabel laten dapat menjelaskan
rata-rata lebih dari setengah variance dari indikator-
indikatornya.
AVE =
å l 2
é
ë å l 2
+å (1- l 2
)ùû
2) Discriminant Validity
3.09
3.10 2.94
3.00 2.88
2.90
2.80 2.68
2.70 2.59
2.60
2.50
2.40
2.30
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
komitmen keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik dengan
perolehan skor rata-rata 2,84. Indikator komitmen yang memiliki persepsi
bobot paling positif pada indikator keteguhan. Sedangkan indikator yang
memiliki persepsi bobot paling rendah pada kejujuran.
3.32 3.28
3.50 3.01 3.09
3.00 2.62
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
spiritual well being keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan baik dengan
perolehan skor rata-rata 3,06. Indikator spiritual well being yang memiliki
persepsi bobot paling positif pada indikator keimanan. Sedangkan indikator
yang memiliki persepsi bobot paling rendah pada keterbukaan.
3.02
3.05
3.00
2.95 2.83
2.90 2.79 2.78 2.79
2.85 2.76
2.80
2.75
2.70
2.65
2.60
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
ketahanan keluarga keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,83. Indikator ketahanan keluarga yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator kebersamaan yang
berkualitas. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada kemapanan spiritual.
2.76 3.01
3.50 2.50 2.52 2.52
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari respon responden terhadap
pola komunikasi keluarga secara keseluruhan diklasifikasikan cukup baik
dengan perolehan skor rata-rata 2,66. Indikator pola komunikasi yang
memiliki persepsi bobot paling positif pada indikator menghargai pendapat
orang lain. Sedangkan indikator yang memiliki persepsi bobot paling rendah
pada ketulusan.
3.01
3.05
3.00
2.95
2.90
2.80
2.85
2.80 2.74
2.75
2.70
2.65
2.60
Time-based Strain-based Behavior-based
conflict Conflict Conflict
a. Convergent Validity
Reliability Item
Composite Reliability
Composite Reliability
Komitmen 0.852
Komunikasi 0.860
SWB 0.842
AVE
Komitmen 0.538
Komunikasi 0.553
SWB 0.520
b. Validitas Diskriminan
Ketahanan Konflik
Komitmen Komunikasi SWB
Kel Pekerjaan
R-Square
R Square
Ketahanan
0.788
Keluarga
Komitmen
SWB ->
Ketahanan 0.168 0.160 0.093 0.093 1.812 Ho ditolak
Keluarga
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif dari komitmen dan SWB pada ketahanan keluarga (T
statistitic > 1,645). Penelitian menemukan bahwa dampak positif variable
agama dan spiritual seringkali berhubungan dengan hasil positif pada
individu dan keluarga (Gaffari, 2013). Penelitian sebelumnya menemukan
bahwa sebuah keluarga yang kuat menciptakan kondisi yang diperlukan
untuk kebutuhan spiritual para anggotanya dengan cara berbagi keyakinan
dan atau nilai-nilai spiritual dan agama. Keluarga seperti ini juga
memberikan lingkungan yang aman untuk berbagi masalah dan perhatian
akan keyakinan agama (Otto dalam Gaffari, 2013).
Hasil perhitungan moderasi pola komuniksi dan work family conflict pada
komitmen dan SWB adalah sebagai berikut:
3. Dari hasil poin pertama dan kedua dapat dibuat menjadi kerangka
referensi tambahan bagi para psikolog, terapis keluarga, dan pegiat
studi Psikologi, dalam menciptakan pemahaman yang lebih
komprehensif untuk praktik konseling dan terapi.
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Op.Cit., John DeFrain & Sylvia M. Asay, hlm. 4-5. Lihat juga ulasan
lengkap tentang enam faktor ketahanan keluarga ini dalam buku Nick
Stinnett & John DeFrain, Secrets of Strong Families, (Berkley: Berkley
Books, 1986).
Hartono, Jogiyanto dan Abdillah, 2009, Konsep dan Aplikasi PLS, BPFE,
Yogyakarta.
Sonia Visita Here dan Pius Heru Priyanto, “Subjective Well Being pada
Remaja Ditinjau dari Kesadaran Lingkungan”, Psikodimensia, Vol.13,
No.1, Januari-Juni 2014,10-21, hal.12
Sofa Indriyani dkk, “Subjective Well Being pada Lansia Ditinjau dari
Tempat Tinggal,”
Developmental and Clinical Psychology, 3 (1), 2014, Hal.66