Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PELAKSANAAN KOPING KELUARGA DALAM MANAGEMENT KONFLIK


KELUARGA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Keluarga

Dosen Pengampu : Lindawati, S Kep, Ners , MKM

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Asri Mulyani : (P27905120004)

Ayu Fitria : (P27905120005)

Azis Maulana : (P27905120006)

Bahirotuljanah : (P27905120007)

Resti Widiyarti : (P27905120036)

Sephia Jansiska : (P27905120040)

JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN

2022

ii
KATA PENGANTAR

Senantiasa kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini
masih memberikan nikmat iman dan kesehatan, sehingga kami diberi untuk
menyelesaikan makalah tentang “Management Konflik Keluarga dan Koping Keluarga“
tepat waktu.

Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada


setiap pihak yang telah membantu penulisan selama proses penyelesaian tugas ini.

Kami menyadari tentunya makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kami mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diperlukan untuk
perbaikan makalah ini. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan masih terdapat
kalimat-kalimat yang kurang dapat dipahami. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi setiap pembaca.

Tangerang, 11 September 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3

C. Tujuan ........................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Manajement Konflik Keluarga....................................................................... 5


B. Macam-Macam Konflik Keluarga................................................................. 5
C. Sumber dan Penyebeb Terjadinya Konflik Keluarga..................................... 7
D. Cara Penanganan Konflik Keluarga............................................................... 8
iv
E. Gaya Management Konflik............................................................................ 8
F. Koping............................................................................................................ 9
G. Klasifikasi Koping......................................................................................... 9
H. Gaya Koping.................................................................................................. 9
I. Faktor Yang Mempengaruhi Koping............................................................. 10
J. Asuhan Keperawatan Keluarga ……………………………………………. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 14
B. Saran............................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, dari keluargalah
akan terlahir generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa. Untuk
mewujudkan keluarga sebagaimana yang didambakan suatu butuh proses yang
panjang dan melalui penyesuaian diri mengingat keluarga berasal dari dua pribadi
yang berbeda, memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda pula,
perbedaan-perbedaan tersebut sering kali menjadi pemicu terjadinya
kesalahpahaman dan keributan antar pasangan. Pada umumnya keluarga dimulai
dengan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Pada tahap ini relasi yang
terjadi berupa relasi suami istri, ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi
baru, yaitu: relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk
relasi yang lain yaitu: relasi sibling (saudara sekandung). Menurut Steelman &
Koch, hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung
dalam jangka panjang, pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling
dipengaruhi oleh empat karateristik, yaitu: jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak
kelahiran, dan jenis kelamin.
Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan
sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak. Terutama dari cara para
orang tua mendidik dan membesarkan anaknya. Dari segi keberadaan anggota
keluarga, menurut Lee, keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti
(nuclear family) dan keluarga batih (extented family). Keluarga inti adalah keluarga
yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan
anak-sibling. Adapun keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya
menyertakan posisi lain selain bentuk pertama, keluarga batih yaitu keluarga
bercabang (stem family) yang terjadi manakala seorang anak yang menikah masih
tinggal bersama kedua orangtuanya. Dalam setiap hubungan antar individu akan

1
selalu muncul konflik, tidak terkecuali dalam hubungan keluarga. Konflik seringkali
dipandang sebagai perselisihan yang bersifat permusuhan dan membuat hubungan
tidak berfungsi dengan baik. Secara bahasa konflik identik dengan perselisihan dan
pertengkaran. Konflik mencerminkan suatu ketidakcocokan, baik ketidakcocokan
karena berlawanan maupun karena perbedaan.
Thomas mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula saat salah satu
pihak menganggap pihak lain menggagalkan kepentingannya. Adapun McCollum
mendefinisikan konflik sebagai perilaku seseorang dalam rangka beroposisi dengan
pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Dengan demikian, konflik dapat
didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mengandung pertentangan atau ketidak
setujuan. Konflik yang terjadi di dalam keluarga di antaranya: konflik berupa relasi
suami istri, ayah ibu yang bermasalah gagal dalam menjalankan komunikasi yang
baik, dikarenakan tidak cermat dalam memilih kata yang digunakan dalam
menyampaikan gagasan pada pasangan. Kesalahpahaman dalam komunikasi dapat
menimbulkan konflik, misalnya salah satu pihak merasa dituduh sebagai yang
bersalah dan telah melakukan hal yang menyakiti pasangannya, sementara dia
merasa tidak maksud demikian. Selain konflik relasi suami istri terdapat juga konflik
orang tua-anak, sumber utama konflik pada umumnya adalah ketidakcocokan
antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Menurut Laible, selain itu dapat
pula disebabkan oleh ketidaksediaan atau kemampuan orang tua menuruti
keinginan anak. Selanjutnya terdapat konflik yang sering terjadi di dalam sebuah
keluarga, konflik antara saudara yang disebut dengan konflik sibling. Peneliti Powel
dan Steelman menemukan bahwa kombinasi antara jumlah saudara dan jarak
kelahiran yang dekat berpengaruh negatif terhadap prestasi akademik
dibandingkan dengan yang memiliki jarak kelahiran yang jauh. Bila jarak usia kecil
(misal antara 1 dan 2 tahun) dan keduanya bertumbuh, dinamika hubungan
mereka berubah ada berbagai kerugian dari keadaan ini: pertama, mereka mungkin
bersaing satu sama lain, dengan jarak usia begitu dekat, faktor persaingan bisa
menghebat dengan mudah saat remaja. Kedua, mereka mungkin merasa
terhambat oleh satu sama lain kedekatan usia membuat mereka merasa bahwa

2
mereka tidak pernah bisa menjauh satu sama lain. Ketiga mereka mungkin
membenci satu sama lain anak yang lebih tua mungkin dia merasa lebih diharapkan
untuk bertangggung jawab terhadap adiknya bila mereka berada di luar.
Orang tua maupun keluarga menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi
konflik anaknya mencari solusi terbaik. Secara teoritis, usaha yang dilakukan
individu untuk menemukan jalan keluar dari masalah agar dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi dapat dikatakan coping strategy. Menurut Lazaruz
coping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecah
masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri
dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan coping merupakan semua usaha
secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap
tuntutan-tuntutan (distress demands). Menurut Friedman coping keluarga adalah
respon perilaku positif yang digunakan keluarga yang subsistemnya untuk
memecahkan suatu masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh pristiwa
tertentu.

B. Rumusan Masalah
 Bagaimana manajemen konflik keluarga?
 Apa saja macam-macam konflik keluarga?
 Apa sumber dan penyebeb terjadinya konflik keluarga?
 Bagaimana penanganan konflik keluarga?
 Bagaimana gaya management konflik?
 Apa yang dimaksud dengan koping?
 Bagaimana klasifikasi koping?
 Bagaimana gaya koping?
 Apa yang memepengaruhi koping?
 Apa yang di maksud koping keluarga?
 Apa saja tipe koping keluarga?

C. Tujuan

3
 Mengetahui manajement konflik keluarga
 Mengetahui macam macam konflik keluarga
 Mengetahui sumber dan penyebab konflik keluarga
 Mengetahui bagaimana cara penanganan konflik keluarga
 Mengetahui gaya management konflik
 Mengetahui apa yang di maksud dengan koping
 Mengetahui klasifikasi koping
 Mengetahui gaya koping
 Mengetahui apa yang mempengarui koping

4
BAB II

PEMBAHASAN

1) Manajemen Konflik Keluarga

A. Pengertian Manajemen Konflik Keluarga


Secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa Inggris
management yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, dan pengelolaan.
Artinya manajemen adalah sebagai suatu proses yang diterapkan oleh
indvidu atau kelompok dalam upaya koordinasi untuk mencapai suatu
tujuan(Muhammad Munir dan Wahyu Ilahi 2006, 9).
Menurut Hadi Satyagraha, manajemen adalah aktifitas dalam
melakukan berbagai fungsi (perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan,
dan pengendalian) dalam upaya akuisisi, alokasi, dan utilisasi sumber
daya manusia dan berbagai sumber daya lainnya keuangan, aset fisik,
dan informasi untuk mencapai berbagai sasaran organisasi(Satyagraha
2012, 9).
Sedangkan kata konflik berasal dari kata kerja latin confligere
mempunyai arti saling berbenturan atau semua bentuk tabrakan, ketidak
sesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi
interaksi yang antagonis atau saling bertentangan (umam 2012).
Jadi manajemen konflik ialah mengoptimalkan hasil dengan cara
memaksimalkan aspek aspek yang mendorong atau mendukung tercapainya
tujuan organisasi, keluarga atau perusahaan dan meminimalkan aspek aspek
yang menghambat kerja sama dalam organisasi.

B. Macam - Macam Konflik Keluarga


Secara teoritis konflik dalam sebuah rumah tangga atau keluarga
mempunyaitipe-tipe perkawinan yang berbeda-beda, dari perbedaan tipe

5
muncul keunikan dan keberagaman konflik yang muncul. Menurut Cuber dan
Harrof dalam Nilam Widiyarini, ada enam klasifikasi hubungan tipe
perkawinan:
a) Conflict-habituated atau bisa disebut “patner in crime”
Tipe ini bisa dikatakan sebagai tipe pasangan yang bertengkar dan ngomel
tiada henti. dalam kehidupannya hidup semacam ini merukapan jalan
hidupnya. Tidak heran jika mereka sering menemukan ketidakpuasan,
dengan kata lain stimulasi perbedaan individu dan konflik justru
mendukung kebersamaan pasangan tersebut
b) Devitalized
Tipe hubungan karakter pasangan ini dalam sekali waktu dapat
mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling
menghargai. Mereka cenderung merasakan hampa hidup perkawinan
kendati tetap bersama-sama. Kebersamaan mereka lebih didorong oleh
anak atau citra dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Menariknya,
tipe pasangan ini merasa dan menganggap perkawinannya tidak
Bahagia
c) Passive congenal
Tipe pasangan ini memiliki kesamaan dengan tipe devitalized biasanya tipe
perkawinan ini berangkat dari pertimbangan ekonomi dan starata sosial tipe
ini lebih sering menghindar bukan saling peduli.
d) Utilitarian
Tipe ini lebih menekankan perang dari pada hubungan. Misal
peran seorang suami atau istri, peran seorang ayah atau ibu dan
lain-lain. Terdapat perbedaan yang sangat kontras jika dibandingkan
dengan tipe vital dan total yang bersifat interistik, yaitu mengutamakan
relasi perkawinan
e) Vital
Tipe ini pasangan suami istri menekankan pada relasi satu sama lain
peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologi pihak lain.
Mereka saling berbagi dalam melakukan berbagai aktifitas walau masing-

6
masing setiap individu memiliki identitas kepribadian yang kuat.
Komunikasi mereka dibangun dengan sikapke jujuran dan keterbukaan.
f) Total
Tipe ini memiliki kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini
menyatu seperti “sedaging”. Kebersamaan secara total meminim
pengalam pribadi dan konflik(Widiyarini 2009, 101-102).

A. Sumber dan Penyebab Terjadinya Konflik Keluarga


Menurut SJ. Warrou, sebab terjadinya konflik keluarga karena perbedaan tipe
istri dan tipe suami juga berpotensi penyebab terjadinya konflik dan
pertengkaran. Ketidak harmonisan dalam keluarga.
Tipe istri yang berpotensi penyebab terjadinya pertengkaran dan konflik,
Yaitu :
a) Tipe Xantiple, tipe istri yang terus menuerus menjajah suami dan seluruh
keluarga
b) Tipe erotis sexual, istri yang menuntut banyak terhadap suami, kalua
tidak terpenuhi hasratnya mencari laki laki lain.
c) Tipe penjudi, tipe istri yang menjudikan seluruh harta benda, dirinya dan
seluruh pernikahannya.

Sedangkan tipe suami yang berpotensi menyebabkan terjadinya konflik


dalam keluarga, yaitu :

a) Tipe brute, suami yang berlaku kasar pada istrinya


b) Tipe sadis, tipe suami yang merasa senang jika mengganggu, menghina
dan menyakiti istrinya secara jasmani dan rohani
c) Tipe hiperseksual, tipe suami yang tidak puas dengan hubungan badan
istrinya meski berkali kali dan masih memerlukan Wanita Wanita lain
untuk memberikan kepuasan seksual
d) Tipe suami yang hemat, yang selalu menegur istrinya selalu berhemat.
e) Tipe pekerja berat, suami yang mementingkan kerja dan tidak ada waktu
bersam dengan keluarga

7
f) Tipe eksplosif, suami yang mudah marah tidak sabar dan menguasai
(Sinolungun 1979, 126-127).

A. Penanganan Konflik
Diantaranya yaitu :
a. Berkompetisi Tindakan dilakukan jika kita mencoba memaksakan
kepentingan sendirinya sendiri diatas kepentingan pihak lain pilihan
tindakn ini bisa dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan
keputusan yang cepat pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan
dapat menajdi knflik yang berkepanjangan
b. Menghindari konflik, Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak
menghindari dari situasi tersebut secara fisik ataupun psikologis.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing masing pihak
mencoba mendinginkan suasana
c. Akomodasi, yaitu jika kita mengalah dan mengorbakan beberap
kepentingan sendiri agar pihak lain dapat kebruntungan dari situasi
konflik itu disebut juga sebagai self sacrifying behavior
d. Kompromi, Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak
merasa bahwa kedua hal tersebut sama sama penting dan hubungan
baik menjadi utama.
e. Berkolaborasi, mencipakan situasi menang menang dengan saling
berkerja sama

A. Gaya Manajemen Konflik


Ada beberapa pendekatan dalam manajemen konflik atau yang biasa dikenal
dengan gaya yang bisa digunakan dalam manajemen konflik dalam keluarga
antara lain :
1. Mengikuti kemauan orang lain adalah gaya yang menilai orang lain
lebih tinggi dibandingkan dengan diri sendiri
2. Mendominasi (menonjolkan kemauan sendiri) adalah gaya yang
menitikberatkan pada kepentinga pribadi

8
3. Menghindari, gaya ini bersifat negative karena melemparkan
persoalan kepada orang lain

2) Koping Keluarga
A. Pengertian Koping
Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya
untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan
atau melebihi sumber individu (Lazarus, 1985 dalam Nasir dan Muhith, 2011).
Koping yang efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk
menoleransi dan menerima situasi menekan serta tidak merisaukan tekanan yang
tidak dapat dikuasainya (Lazarus dan Folkman, (1984) dalam Nasir dan Muhith,
2011).

B. Klasifikasi Koping
Mekanisme berdasarkan penggolongan dibagi menjadi dua (Stuart dan
Sundeen, 1995, dalam Nasir dan Muhith). Mekanisme koping adaptif
merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi (kesempurnaan atau
keseluruhan), pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik
relaksasi, latihan seimbang, memiliki persepsi luas, dapat menerima dukungan
dari orang lain dan aktivitas konstruktif. Kemudian mekanisme koping
maladaptif merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi
kesempurnaan atau keseluruhan memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi,
dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah perilaku cenderung
merusak, melakukan aktifitas yang kurang sehat seperti obat-obatan, jamu dan
alkohol, tidak mampu berfikir apa-apa atau disorientasi dan tidak mampu
menyelesaikan masalah.

C. Gaya Koping
Gaya koping menurut Nasir dan Muhith (2011) adalah penentuan gaya
seseorang atau ciri-ciri tertentu dari seseorang dalam memecahkan suatu

9
masalah berdasarkan tuntutan yang dihadapi. Gaya koping dibagi menjadi dua
yaitu gaya koping positif dan gaya koping negatif. Gaya koping positif adalah
gaya koping yang mampu mendukung ego, gaya koping positif mempengaruhi
mekanisme koping adaptif sedangkan gaya koping negatif adalah gaya koping
yang akan menurunkan integritas ego, dimana gaya koping tersebut akan
merusak dan merugikan diri sendiri, gaya koping negatif mempengaruhi
mekanisme koping maladaptif.

Beberapa kelompok dalam gaya koping positif diantaranya :

 Problem solving (masalah dihadapi dan dipecahkan)


 Utilizing social support (dukungan dari orang lain untuk menyelesaikan
masalah)
 Looking for silver lining (berfikir positif dan mengambil hikmah dari
masalah).

Beberapa kelompok dalam gaya koping negatif diantaranya :

 Avoidance (membebaskan diri atau lari dari masalah)


 Self-blame (menyalahkan diri sendiri)
 Wishfull thinking (penentuan standar diri yang terlalu tinggi)

D. Factor Yang Mempengaruhi Koping Individu


Menurut Siswanto (2007), stresor yang sama dapat menimbulkan respon
yang berbeda pada setiap individu sesuai dengan karakteristik yang memiliki
seperti:
1) Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis
stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu
mengontrol stres dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut.
2) Jenis kelamin
Wanita biasanya memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap stresor
dibanding dengan pria terutama wanita-wanita di usia produktif karena
hormon-hormon masih bekerja secara normal.

10
3) Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang. toleransi dan pengontrolan
terhadap stresor biasanya lebih baik.
4) Tingkat Kesehatan
Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres dibandingkan orang
yang sehat.
5) Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian tipe A (tertutup) lebih mudah terkenal stres
daripada orang dengan kepribadian tipe B (terbuka).
6) Harga diri
Harga diri yang rendah cenderung membuat efek stres lebih besar
dibandingkan dengan orang yang memiliki harga diri yang tinggi.

11
3) Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga
Asuhan keperawatan keluarga merupakan proses yang kompleks dengan
menggunakan pendekatan yang sistematis untuk bekerja sama dengan keluarga dan
individu-individu sebagai anggota keluarga. Tahapan dari proses keperawatan
keluarga meliputi pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, penyusunan
perencanaan, pelaksanaan rencana asuhan keperawatan dan penilaian hasil (Padila,
2012)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses yang berkelanjutan, oleh karena itu
perawat akan mengumpulkan data tentang kondisi atau situasi klien sebelumnya
dan saat ini sehingga informasi yang diperoleh sebagai perencanaan berikutnya
(Kholifah, 2016) hal-hal yang dikaji dalam keluarga yaitu:
a. Data umum
1) Identifikasi kepala keluarga
Berupa nama inisial kepala keluarga, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
pendidikan, agama, genogram dalam 3 generasi dan hubungan klien
(kemenkes, 2014 dalam Zahro, 2018)
2) Tipe keluarga
Menjelaskan mengenai jenis atau tipe keluarga beserta masalah yang
terjadi dengan tipe keluarga tersebut (Andarmoyo, 2012)
3) Suku bangsa
Mengenai suku bangsa keluarga tersebut serta mengidentifikasi budaya
suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan. Ras amerika-afrika
mempunyai risiko lebih tinggi mengalami kematian dan kecacatan
(Padilla, 2012).
4) Agama
Mengetahui agama klien dan keluarganya serta mengetahui sejauh
mana kesehatan keluarga dijaga melalui ajaran agama (Bakri, 2017)
5) Status sosial dan ekonomi keluarga
Jenis makanan tinggi lemak dan kolesterol yang sering di konsumsi
adalah jenis fast food (Purwaningtiyas dkk 2012).
6) Aktivitas rekreasi dalam keluarga

12
Dalam pola aktivitas, seseorang yang jarang melakukan aktivitas fisik
terkena stroke seperti penelitian yang dilakukan oleh (Purwaningtyas,
2014) seseorang yang jarang atau tidak pernah melakukan aktivitas
fisik mempunyai resiko sebesar 6,463 kali terhadap kejaidan stroke usia
dewasa muda dibandingkan dengan seseorang yang melakukan
aktivitas fisik.

b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga


1) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Dalam tahap perkembangan keluarga terdapat 8 tahap. Pada tahap
perkembangan keluarga yang berisiko mengalami masalah stroke
adalah tahap perkembangan keluarga 8 yaitu keluarga dengan usia
pertengahan dan lansia. Karena pada tahap ini terjadi proses
degenerative yaitu kemunduran fungsi sistem organ tubuh (Padila,
2013)
2) Tahap perkembangan kleuarga yang belum terpenuhi
Keluarga dengan penderita post CVA yang berisiko jatuh dan
kurang pemahaman tentang stroke sehingga anggota keluarga kurang
dalam memberikan edukasi,motivasi dan monitor atau mengontrol
perkembangan kesehatan keluarga yang menderita post CVA sehingga
terjadi risiko jatuh (Dwipayanti, 2011)
3) Riwayat kesehatan keluarga inti
Stoke dapat menurun dari keluarga yang pernah memiliki
hipertensi, kelainan jantung sebelumnya. Bisanya terjadi nyeri kepala,
mual muntah bahkan kejang sampa i tidak sadar. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi.sesuai perkembangan penyakit dapat terjadi
latergi, tidak responsive dan koma (Mutaqin, 2011)
4) Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya
Perlu dikaji adanya riwayat diabetes mellitus, hipertensi,kelainan
jantung karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas
pembuluh darah ke otak menjadi menurun (Padila, 2012)

13
c. Data lingkungan
1) Karakteristik rumah
Karakteristik rumah identifikasi dengan melihat luar rumah, tipe
rumah, jumlah jendela, pemanfaatan ruangan, peletakan prabot rumah,
jenis septic tank, jarak septic tank dengan sumber air, denah rumah.
2) Karakteristik tetangga dan komunitas
Menjelaskan mengenai karakteristik dari tetangga dan komunitas
setempat, meliput kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau kesepakatan
penduduk setempat serta budaya setempat yang mempengaruhi
kesehatan.
3) Mobilias geografis keluarga
Ditentukan dengan apakah keluarga hidup menetap dalam satu tempat
atau mempunyai kebiasaan berpindah-pindah.
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Menjelaskan waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul dan
berinteraksi dengan masyarakat lingkungan tempat tinggal.
5) Sistem pendukung atau jaringan sosial keluarga
Sumber dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas sosial atau
dukungan masyarakat, serta jaminan pemeliharaan kesehatan yang
dimiliki keluarga untuk meningkatan upaya kesehatan

d. Struktur keluarga
1) Pola komunikasi keluarga
Mengkaji mengenai cara berkomunikasi antara anggota keluarga.
Apakah keluarga berkomunikasi secara langsung atau tidak, bahasa
yang digunakan keluarga, frekuensi dan kualitas komunikasi yang
berlangsung dalam keluarga (Yulia, 2015)
e. Struktur kekuatan keluarga
Mengkaji kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan
mempengaruhi orang lain untuk merubah perilaku. Keluarga dengan
penderita post CVA harus memberikan kekuatan dan dukungan yang lebih

14
karena adanya motivasi penderita post CVA akan lebih peduli dalam
mengontrol risiko jatuh (Bartalina, 2016)
f. Struktur peran
Keluarga dengan penderita post CVA untuk menyelesaikan masalah
stroke, semua anggota keluarga harus ikut serta karena perannya sebagai
support sistem yang paling oenting bagi penderita psot CVA dalam
mempertahankan risiko jatuh (Bartalina, 2016)
g. Nilai dan norma keluarga
Menjelaskan nilai norma yang dianut keluarga dengan penderita post
CVA berpengaruh dengan kesehatan keluarga karena keluarga yakin setiap
penyakit pasti ada obatnya bila berobat secara teratur akan sembuh (Gusti,
2013)

h. Fungsi keluarga
1) Fungsi afektif
Mengkaji seperti apa gambaran dari keluarga, perasaan memiliki
dan dimiliki dalam keluarga, keluarga yang sehat member dukungan
kepada anggota keluarga yang sakit post CVA agar semangat untuk
sembuh, dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling
menghargai satu sama lain (Gusti, 2013)
2) Fungsi keperawatan kesehatan
Keluarga harus siap merawat anggotanya apabila ada yang
mengalami perubahan dalam kesehatanya, perubahan yang dimaksud
bersifat prevensif (Leo,2016)
3) Fungsi reproduksi
Mencari tahu seperti apa keluarga yang merencanakan jumlah
keturunan, serta program yang dilakukan dalam pengendalian
keturunan(Bakri,2016)
4) Fungsi ekonomi
Menjelaskan bagaimana upaya keluarga memenuhi kebutuhan
sandang, pangan, papan serta manfaat lingkungan rumah meningkat
penghasilan keluarga. Stroke merupakan penyakit yang menyerang

15
berbagai kalangan masyarakat menengah kebawah maupun menengah
keatas (Gusti, 2013)
i. Stress dan koping keluarga
1) Stressor jangka pendek dan panjang
Stressor jangka pendek yaitu stressoryang dialami keluarga
memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan. Sedangkan
stressor jangka panjang yaitu stressor yang saat ini dialami memerlukan
penyelesaian lebih dari 6 bulan. Sedangkan stressor jangka panjang
yaitu stressor yang saat ini yang dialami memerlukan penyelesaian
lebih dari 6 bulan (Gusti, 2013)
2) Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi / streesor
Mengkaji sejauh mana keluarga berespon terhadap situasi stressor yang
ada.
3) Strategi koping yang digunakan
Strategi koping apa yang digunakan keluarga bila menghadapi
permasalah.
4) Strategi adaptasi disfungsional
Menjelaskan perilaku keluarga yang tidak adaftif keluarga menghadapi
masalah
j. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pada pasien post CVA umumnya meninggalkan gejala-gejala sisa
seperti kelemahan sehingga menyebabkan pasien harus dibantu dalam
memenuhi kebutuhannya. Tanda-tanda vital pada pasien post CVA
yang memiliki riwayat hipertensi sering terjadi peningkatan darah
kurang lebih 180/80 mmhg, nadi normal, suhu dalam batas normal
(Nursalam, 2009).
2) Pemeriksaan Kepala dan Muka
 Kepala
Inspeksi : bagaimana penyebaran rambut, kebersihan kepa la,
benjolan abnormal, dan hematoma yang bisa diindikasikan adanya
trauma kepala

16
Palpasi : nyeri tekan juga dapat diindikasikan pada tekanan
intracranial (Nursalam, 2009)
 Muka
Inspeksi : terdapat hemiparase / hemiplegia, salah satu sisi wajah
pucat
3) Pemeriksaan mata
Inspeksi : konjungtiva pucat akibat kurangnya suplai darah ke jaringan
karena kerja jantung yang menurun akibat penurunan kesadaran akibat
paralisis saraf optikus (saraf II)
4) Pemeriksaan mulut
Inspeksi : mulut mencong dan penurunan koordinasi gerakan
mengunyah akibat paralisis saraf trigeminus (saraf V), gangguan pada
saraf XI dan X yang menyebabkan menelan kurang baik dan kesulitan
membuka mulut (Nursalam, 2009).
5) Pemeriksaan ekstermitas
Menurut Smeltzer dan Bare (2012) adalah gangguan motorik yang
berupa hemiparesis (kelemahan) dan hemiplegia (kelumpuhan salah
satu sisi tubuh)
6) Pemeriksaan Neurologis
 Sarat I (olfaktorius): pada pasien stroke perdarahan tidak ada
kelainan pada fungsi penciuman.
 Sarat II (optikus): disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan
hubungan visual spasial sering terlihat pada pasien dengan
hemiplegi kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke
bagian tubuh (Mutaqin, 2011).
 Saraf III (okulomotor), IV (troklearis), VI (abdusen) : stroke
mengakibatkan paralisis pada satu sisi otot okularis, sehingga
didapatkan penurunan kemampuan gerak dan lapang pandang pada
sisi yang sakit (Mutaqin, 2011)
 Saraf V (trigeminus):
17
a. Optalmikus
Reflek kornea menurun, sensasi kulit wajah pada dahi dan
paranasal menurun.
b. Maksilaris
Sensasi kulit wajah bagian kanan berkurang sesisi.
c. Mandibularis
Pergerakan rahang terganggu, pasien kesulitan membuka
mulut.
 Saraf VII (facialis): wajah asimetris dan otot wajah tertarik ke
bagian sisi yang sehat (Mutaqin, 2011).
 Saraf VIII (vestibulokoklearis): tidak ditemukan adanya tuli
kondukif dan tuli persepsi.
 Saraf IX (glosofaringeal) dan X (vagus): terganggunya kemampuan
menelan dan kesulitan membuka mulut.
 Saraf XI (aksesorius): atrofi otot ekstremitas sesisi akibat kurangnya
pergerakan ekstremitas sekunder terhadap kelemahan atau
kelumpuhan sesisi.
 Saraf XII (hipoglosus): lidah mencong (Mutaqin, 2011).
k. Harapan keluarga
Harapan dan keinginan keluarga terhadap masalah kesehatan. Keluarga
biasanya berharap tidak ada anggota keluarga yang mengalami gangguan
nekesehatan sehingga dapat menjalankan peran masing-masing dalam
kehidupan sehari-hari (Gusti, 2013)
2. Analisa data
Proses untuk menentukan masalah kesehatan keluarga yang diangkat
(Gusti, 2013). Setelah proses pengumpulan data melalui tahap pengkajian,
identifikasi masalah, maka tahap selanjutnya melakukan analisis data subjektif
dan objektif yang sesuai sehingga dapat dirumuskan suatu masalah keperawatan
keluarga. Pada satu keluarga mungkin saja perawat menemukan lebih dari satu
diagnosa keperawatan keluarga, maka selanjutnya Bersama keluarga harus
menentukan prioritas dengan menggunakan skala perhitungan sebagai berikut :

18
No. Kriteria Skor Bobot

1. Sifat masalah :

a. Actual ( tidak / kurang sehat )


3
1
b. Ancaman kesehatan 2
c. Keadaan sejahtera
1
2. Kemungkinan masalah dapat
diubah
2
2
a. Mudah
1
b. Sebagian
0
c. Tidak dapat

3. Potensi masalah untuk dicegah

a. Tinggi
3
1
b. Cukup 2
c. Rendah 1

4. Menonjolnya masalah

a. Masalah berat, harus segera


2
ditangani 1
b. Ada masalah, tetapi tidak 1
harus segera di tangani
0
c. Masalah tidak dirasakan

Rumusan perhitungan skor menurut Baikon dan Maglaya ( 1978 ) dalam Bakri
( 2017 ) :

Skor yang diperoleh


X Bobot
Skor tertinggi

a) Menentukan angka dari skor tertinggi terlebih dahulu. Biasnya angka tertinggi
adalah 5

19
b) Skor yang digunakan berasal dari skor prioritas, pilihannya skor pada setiap kriteria
c) Skor yang diperoleh dibagi dengan skor tertinggi
d) Selanjutnya dikali dengan bobot skor
e) Jumlah skor dari keseluruha kriteria

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada keluarga post CVA :
1) Kesiapan meningkatkan koping keluarga berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga merawat anggota yang sakit.
2) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga
melakukan perawatan diri.

4. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang bisa
mencapai setiap tujuan khusus, perencanaan keperawatan meliputi perumusan
keperwatan meliputi perumusan tujuan, tindakan dan penilaian asuhan
keperawatan pada klien berdasarkan analisis pengkajian masalah kesehatan dan
masalah keperawatan yang timbul pada kliaen bisa segeradiatasi. Pada dasarnya
tindakan keperawatan terdiri dari tindakan opservasi dan pengawasa,
pendidikan kesehatan, dan tindakan kolaborasi.
(Herdman & Kamitsuru 2010).

No. SDKI SLKI SIKI

1. Kesiapan meingkatkan Status koping keluarga Dukungan koping keuarga


koping keluarga
1. Kepuasan terhadap Observasi
Definisi : pola adaptasi perilaku bantuan  Identifikasi
anggota keluarga dalam anggota keluarga lain responsemosional
mengatasi situasi yang meningkat terhadap kondisi saat
dialami klien secara efektif 2. Keterpaparan informasi ini
dan menunjukan keinginan meningkat  Identifiaksi beban
serta kesiapan untuk 3. Perasaan diabaikan prognosis secara
meningkatkan kesehatan
20
keluarga dank lien menurun psikologis
4. Kekhawatiran tentang  Identifikasi
Gejala dan tanda mayor : anggota keluarga pemahaman tentang
Subjektif : menurun keputusan perawatan
 Anggota keluarga 5. Perilaku mengabaikan setelah pulang
menetapkan tujuan anggota keluarga  Indetifikasi kesusahan
untuk meningkatkan menurun Antara harapan pasien,
gaya hidup sehat 6. Kemampuan memenuhi keluarga dan tenaga
 Anggota kelurga kebutuhan anggota kesehatan
menetapkan sasaran keluarga menurun
Terapeutik
untuk meningkatkan 7. Komitmen pada
kesehatan perawatan dan  Dengarkan masalah,
pengobatan menurun perasaan dan pertanyaan
Objektif :
8. Komunikasi Antara keluarga
( tidak ada )
anggota keluarga  Terima nilai – nilai
keluarga dengan cara
menurun
yang tidak menghakimi
9. Perasaan tertekan
Gejala dan tanda minor :  Diskusikan rencana
( depresi ) menurun
medis dan perawatan
Subjektif : 10. Perilaku menghasut
 Fasilitasi pengungkapan
menurun
 Anggota keluarga perasaan Antara pasiaen

mengidentifikasi dan keluarga atau Antara

pengalaman yang anggota keluarga

mengoptimalkan  Fasilitasi pemenuhan

kesejahteraan kebutuhan dasar anggota

 Anggota keluarga ( miss tempat tinggal,

berupaya menjelaskan makanan, pakaian )

dampak krisi terhadap  Fasilitasi memperoleh

perkembangan pengetahuan,

 Anggota keluarga keterampilan dan

mengungkapkan minat peralatan yang

dalam membuat kontak diperlukan untuk

dengan orang lain yang memperttahankan

mengalami situasi yang


21
sama keputusan
 Hargai dukungan
Objektif :
mekanisme koping
( tidak tersedia ) adaptif yang digunakan
 Berikan kesempatan
berkunjung bagi anggota
keluarga

Edukasi

 Informasikan kemajuan
pasien secara berkala
 Informasikan fasilitas
perawatan kesehatan
yang tersedia

Kolaborasi

 Rujuk untuk terapi


keluarga, jika perlu

5. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan merupakan salah satu tahap proses
keperawatan keluarga dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk
membangkitkan minat untuk mendapatkan perbaikan ke arah prilaku hidup
sehat. Pelaksanaan tindakan keperawatan keluarga didasarkan kepada rencana
asuhan keperawatan yang telah disusun sebelunya (Gusti, 2013). Menurut Gusti
(2013), tindakan perawat terhadap keluarga berupa :
1) Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenal masalah dan
kebutuhan kesehatan, dengan cara:
a. Memberikan informasi : penyuluhan atau konseling
b. Mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan
2) Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat,
dengan cara :

22
a. Mengidentifikasi konsekuensi tindakan dn jika tidak melakukany
b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga
3) Member kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit :
a. Mendemonstrasikan cara perawatan dengan menggunakan alat dan
fasilitas yang ada dirumah
b. Mengawasi keluarga melakukan tindakan perawatan
4) Membantu keluarga menemukan cara bagaimana membuat lingkungan
menjadi :
a. Menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan keluarga
b. Melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungki
5) Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada :
a. Memperkenalkan fasilitas kesehatan yang ada dalam lingkungan
b. Membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil dan
implementasi dengan kriteri dan standart yang telah di tetapkan untuk melihat
seberapa besar keberhasilan yang telah dilakukan. Bila hasil dan evaluasi tidak
berhasil sebaian perlu disusun rencana keperawatan yang baru ( Gusti, 2013)
Untuk keberhasilan tindakan maka selanjutkan penilaian.
Tindakan-tindakan keperawatan keluarga mungkin saja tidak dapat
dilakukan dalam satu kali kunjungan, untuk itu dilakukan secara bertahap,
demikian halnya dengan penilaian. Penilaian dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan SOAP :
1. S (Subjektif) : berbagai persoalan yang disampaikan oleh keluarga setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (Objektif) : berbagai persoalan yang ditemukan oleh perawat setelah
dilakukan tindakan keperawatan
3. A (Analisis) : analisis dari hasil yng telah dicapai dengan mengacu pada
tujuan yang terkait dengan diagnosis.
4. P (Planning) : peencanaan direncanakan kembali setelah mendapatkan hasil
dari respons keluarga ( Bakri, 2017)

23
24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menejemen konflik ialah mengoptimalkan hasil dengan cara memaksimalkan
aspek – aspek yang mendorong atau mendukung tercapainya tujuan organisasi,
keluarga atau perusahaan dan meminimalkan aspek – aspek yang menghambat
Kerjasama dalam organisasi.
Didalam konflik keluarga terdapat 6 macam – macam konflik keluarga dan juga
terdapat penyebab terjadinya konflik keluarga dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe
suami dan tipe istri yang dapat berpotensi menyebabkan pertengkaran dan konflik
didalam keluarga.
Selain menejemen keluarga juga terdapat koping keluarga yaitu perubahan
kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntunan internal
atau elsternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Koping
keluarga dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu mekanisme koping adaftif (kesimpulan
atau keseluruhan) dan mekanisme koping maladaptive (menghambat fungsi integrasi
kesempurnaan atau keseluruhan, pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan
cenderung menguasai lingkungan). Gaya koping dibagi menjadi dua, koping positif
(mendukung ego) dan koping negative (menurunkan integritas ego), dalam koping
keluarga terdapat 6 faktor yang dapat memepngaruhi koping individu dan juga
terdapat 3 tipe koping keluarga sebagai tujuan strategi koping intrafamilial.

B. Saran
Menejemen konflik dan koping keluarga sangat penting untuk mencegah
terjadinya konflik dan stress yang dialami keluarga dan merawat penderita
gangguan kejiwaan oleh keluarga untuk mengatasi kekambuhan pada penderita.
Diharapkan para pembaca bisa menerapkan menejemen keluarga dan koping
keluarga dalam lingkungannya untuk mencegah terjadinya konflik didalam
keluarga.

25
DAFTAR PUSTAKA

Puspita, Weni. Manajemen Konflik (Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi,


dan Pendidikan). Yogyakarta: IKAPI, 2018.

Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian.


Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Friedman, M.M., & Bowden, V.R. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga :
Riset, Teori, & Praktik. Jakarta: EGC.

W, Hendrick., Bagaimana Mengelola Konflik. Diterjemahkan Oleh : Arif


Santoso, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1992 ).

Nasru; Effendy. 1998. Dasar – dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi


2. Jakarta : EGC.

Prayetni. 1999. Konsep Koping Dalam Pelayanan Keperawatan. Eds, Sep-Nov.


No.01.18-20. Bina Sehat

26

Anda mungkin juga menyukai