Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebijakan pengelolaan
sumber daya manusia dalam bidang pendidikan”. Adapun maksud dan tujuan
membuat makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan sumber daya
manusia dalam bidang pendidikan.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan
semangat dan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap agar makalah ini bermanfaaat bagi pembaca untuk
mengetahui cara praktek sumber daya manusia.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, sehingga
kami mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini.

Gorontalo, April 2018

Penulis
Kelompok II
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................1

Daftar Isi .................................................................................................................2

Bab I : PENDAHULUAN ..............................................................................4

1.1 Latar Belakang ............................................................................4


1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................5
1.3 Rumusan Masalah .......................................................................5
1.4 Tujuan .........................................................................................5
1.5 Manfaat .......................................................................................5
Bab II : PEMBAHASAN ................................................................................6

2.1 Pentingnya pengelolan manajemen sumber daya .....................6


2.2 Hubungan asas pendidikan dan kebijakan pengembangan SDM
Pendidkan ..................................................................................7
2.3 Aturan pemerintah dalam pengelolaan peningkatan SDM
dalam Bidang pendidikan .......................................................10
2.3.1 Kebijakan dan praktik Seleksi .......................................10
2.3.1.1.Praktik Seleksi ............................................................10
2.3.2 Aturan pemerintah dalam peningkatan pengeloalan
SDM Pendidikan .........................................................11
2.3.2.1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar proses
untuk satuan pendidikan dasar dan menengah..............12
2.3.2.2 Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan................12
2.3.2.3 Peraturan menteri Pendidikan Dankebudayaan
Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kebudayaan ...................................................14
2.3.2.4 Undang-Undang Tentang Guru Dan Dosen..................17
Bab III : PENUTUP ...................................................................................19.

3.1 Kesimpulan............................................................................... 19
3.2 Saran .......................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil didalam masyarakat tetapi
menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini
berarti nuclear family yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara
ideal tidak terpisah tetapi bahu-membahu dalam melaksanakan tanggung jawab
sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik, dan setiap
eksponen keluarga melaksanakan fungsinya masing-masing.
Keluarga merupakan tempat pertama anak-anak mendapat pengalaman
dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari
melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Seperti juga yang
dikatakan oleh Malinowski (Megawangi, 1999) tentang “principle of legitimacy”
sebagai basis keluarga, struktur sosial (masyarakat) harus diinternalisasikan sejak
individu dilahirkan agar seorang anak mengetahui dan memahami posisi dan
kedudukannya, dengan harapan agar mampu menyesuaikannya dalam masyarakat
kelak setelah ia dewasa. Dengan kata lain, keluarga merupakan agen terpenting
yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu
dengan lingkungan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu
bukan yang bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau
kekuatan yang ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku
serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat.
Awal mula terbentuknya suatu keluarga didasari oleh kebutuhan dasar
setiap individu. Rogers (Calvin dan Gardner, 1993) mengatakan setiap manusia
memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan,
pengagungan, dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive
regard, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional positive regard (bersyarat)
dan unconditional positive regard (tak bersyarat). Rogers menggambarkan pribadi
yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif
tanpa syarat. Kebutuhan inilah yang diharapkan individu dapat terpenuhi dalam
membangun suatu keluarga. Dengan perkawinan yang harmonis maka kebutuhan
kebutuhan tersebut akan terpenuhi. Karena itulah pada dasarnya setiap pasangan
menginginkan perkawinan mereka berjalan lancar. Namun menurut Laswell dan
Lobsenz (1987), perkawinan disebut sebagai hal yang paling sulit “jika mungkin”
dinyatakan sebagai usaha sosial. Mengarah pada seberapa baik kebanyakan orang
mempersiapkannya dan seberapa besar harapan mereka terhadap hal tersebut,
gambarannya seringkali tidak terbukti benar. Pada kenyataannya memang tidak
sedikit pasangan suami istri yang ”gagal” mempertahankan keutuhan rumah
tangganya.

Broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga yang


berantakan akibat orang tua kita tak lagi peduli dengan situasi dan keadaan
keluarga di rumah. Orang tua tidak lagi perhatian terhadap anak-anaknya, baik
masalah di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan kita di
masyarakat. Namun, broken home bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga
yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan
sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan
pertengkaran dan berakhir pada perceraian dan akan sangat berdampak kepada
anak-anaknya khususnya remaja. Oleh karena itu perlunya pengetahuan tentang
broken home. Dan pada makalah ini penulis akan membahas masalah keluarga
broken home serta apa saja yang berkaitan dengan masalah keluarga broken
home.
1.2. Indentifikasi Masalah
Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam penulisan makalah ini:
1) Pengertian Broken Home
2) Faktor-faktor penyebab Broken Home
3) Dampak Broken Home terhadap Perkembangan Anak
4) Cara mengatasi keluarga yang Broken Home
5) Cara meminimalisi dampak negatif terhadap anak Broken Home
1.3 Rumusan Masaalah
1) Apa pengertian Broken Home ?
2) Apa saja faktor-faktor penyebab Broken Home ?
3) Apa saja dampak Broken Home terhadap Perkembangan Anak (remaja)
4) Bagaimana cara mengatasi keluarga yang Broken Home ?
5) Bagaimana cara meminimalisir dampak negatif terhadap Anak (remaja)
broken home
1.4 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian Broken Home ?
2. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor penyebab Broken Home ?
3. Untuk mengetahui apa saja dampak broken home terhadap Perkembangan
Anak.
4. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi keluarga yang broken home ?
5. Untuk mengetahui bagaimana cara meminimalisir dampak negatif terhadap
Anak broken home.
1.5 Manfaat
Dalam pembuatan makalah kali ini diharapkan untuk semua masyarakat
menyadari bahwa bahaya dari sifat broken home itu sendiri agar anggota keluarga
kita tidak terkena atau terpengaruh dari sifat itu. Oleh karena itu diharapkan agar
semua masyarakat memperhatiakan satu sama lain antara anggota keluarga jika
ingin keluarga kita sendiri lepas atau tidak berhubungan sekali dengan yang
namanya broken home.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Keadaan Keluarga Broken Home


Tak luput dari realitas bahwa semakin hari, faktanya semakin banyak
keluarga yang mengalami broken home. Beberapa kasus diantaranya mungkin
disebabkan perbedaan prinsip hidup, dan diantara lainnya bisa disebabkan oleh
masalah-masalah pengaturan keluarga. Akan tetapi, yang jelas kasus-kasus broken
home itu sama halnya dengan kasus-kasus sosial lainnya, yaitu sifatnya
multifaktoral. Satu hal yang pasti, hubungan interpersonal diantara suami-istri
dalam keluarga broken home telah semakin memburuk. Kedekatan fisikal juga
menjadi alasan bagi pasangan suami istri dalam menyikapi masalah broken home,
meskipun dalam beberapa sumber disebutkan bahwa kedekatan fisik tidak
mempengaruhi kedekatan personal antarindividu. Inti dari semuanya adalah
komunikasi yang baik antarpasangan. Dalam komunikasi ini, berbagai faktor
psikologis termuat di dalamnya, sehingga patut mendapat perhatian utama.

Memburuknya komunikasi diantara suami istri ini seringkali menjadi


pemicu utama dalam keluarga broken home. Hartley (1993) melalui Sarwono
menjelaskan peranan penting rasa saling percaya, saling terbuka, dan saling suka
diantara kedua pihak agar terjadi komunikasi yang efektif. Dalam keadaan ini,
kematangan kepribadian menentukan penerimaan peran dari pasangan
komunikasinya (Kabul, 1978). Aspek lain yang penting menurut Hartley adalah
adanya hubungan dua arah dalam komunikasi ini, artinya di sini terjadi saling
pengertian akan makna tersirat dalam komunikasi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa komunikasi antarpasangan merupakan sarana penting dalam menuju
hubungan antarpasangan yang efektif. Sejalan dengan itu, dorongan
berkomunikasi ini merupakan efek disposisi biologis manusia (Wright, 1989).
Dalih mengenai asumsi bahwa komunikasi merupakan efek disposisi genetis
adalah bahwa tiap individu dilahirkan dengan tipe kepribadian tertentu, baik
intovert maupun ekstrovert (Jung, melalui Hall, 1993). Adanya perbedaan tipe
kepribadian inilah yang mengarahkan perkembangan komunikasi individu.
Meskipun demikian, Carl Gustav Jung juga mengakui adanya pengaruh faktor
lingkungan yang membentuk persona individu dalam prosesnya merespons
tuntutan-tuntutan lingkungan.

Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang
memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu,
sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya.
Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk
pengabaian afektif (Affective Disregard). Masa remaja, seperti yang dikatakan
oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Masa
remaja ditandai dengan pergolakan internal untuk menemukan identitas dirinya
berkaitan dengan eksistensi hidupnya. Pengaruh faktor broken home keluarga
menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja
cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga
bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian afek oleh
orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan
kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka
mungkin mengalami schizoid atau bisa berdampak hingga schizophrenia.

Dengan begitu, kedua pasangan telah melebihkan kapasitas egonya saja.


Di sisi lain, Freud dalam psikoanalisisnya menyebutkan pentingnya keselarasan
antara fungsi id, ego, dan superego agar tercipta suatu hubungan interpersonal
yang sehat. Inilah yang seharusnya ada dalam hubungan sebuah keluarga yang
harmonis.

Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi
terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan
wadah pertama dan utama yang fundamental bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan
pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat.
Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun,
aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan
dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan.
Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak
membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.Namun, melihat kondisi
masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua
anggota keluarga khususnya orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas
pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala
keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman
sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi
pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah
dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.

Masalah akan semakin berkembang tatkala ibupun menjadi seorang wanita


pekerja dengan berdalih membantu perekonomian keluarga ataupun berambisi
menjadi wanita karir, sehingga melupakan anak dan keluarganya. Banyak
ditemukan ibu menjadi seorang super woman yang bekerja dua puluh empat jam
sehari tanpa henti, barangkali waktu istirahat ibu hanyalah beberapa jam dalam
sehari. Itupun jika ibu mampu dengan cerdas mengelola waktu bekerja di luar
rumah dan bekerja di rumah tangganya. Ketika ayah dan ibu sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing, lalu ke manakah anak-anak mereka? Anak yang
seharusnya memiliki hak mendapatkan kehangatan dalam keluarganya.
Kecenderungan yang terjadi, keluarga menjadi pecah dan tidak jelas
keberadaannya. Ketika ayah dan ibu sudah tidak dapat berkomunikasi dengan
baik, karena kesibukan masing-masing atau karena egonya, maka mereka memilih
untuk bercerai. Namun, di saat orangtua dapat mempertahankan keluarganya
secara utuh tanpa ada komunikasi yang hangat antara anggota keluarganya, secara
psikologis merekapun bercerai.

Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan
ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana
ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang
sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit
membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis
anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak
membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari
ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.

Perhatian yang diperlukan anak dari orangtuanya adalah disayangi dengan


sepenuh hati dalam bentuk komunikasi verbal secara langsung dengan anak,
meski hanya untuk menanyakan aktivitas sehari-harinya. Menanyakan
sekolahnya, temannya, gurunya, mainannya, kesenangannya, hobinya, cita-cita
dan keinginannya. Ada anak di sekolah yang merasa aneh, jika temannya
mendapatkan perhatian seperti itu dari orangtuanya, karena zaman sekarang hal
tersebut menjadi sangat mahal harganya dan tidak semua anak mendapatkannya.

Arahan dibutuhkan oleh anak untuk memberikan pemahaman bahwa


dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan tidak tertulis yang harus ditaati dan
disebut sebagai norma masyarakat. Norma agama, norma sosial, norma adat atau
budaya dan norma hukum sebaiknya diberikan kepada anak sejak masih usia
kecil. Dengan diberikannya pemahaman dalam usia sedini mungkin, diharapkan
anak dapat menjadi warga masyarakat yang baik, khususnya saat anak mulai
mengenal lingkungan selain keluarganya.Jika anak melanggar norma tersebut,
sudah merupakan kewajiban orangtua sebagai pendidik pertama bagi anak-
anaknya untuk memberikan teguran yang disertai penjelasan logis sesuai dengan
perkembangan usianya supaya anak mengerti dan memahami bagaimana bersikap
dan berperilaku yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Dampak dari keegoisan dan kesibukan orangtua serta kurangnya waktu


untuk anak dalam memberikan kebutuhannya menjadikan anak memiliki karakter
mudah emosi (sensitif), kurang konsentrasi belajar, tidak peduli terhadap
lingkungan dan sesamanya, tidak tahu sopan santun, tidak tahu etika
bermasyarakat, mudah marah dan cepat tersinggung, senang mencari perhatian
orang, ingin menang sendiri, susah diatur, suka melawan orang tua, tidak
memiliki tujuan hidup, dan kurang memiliki daya juang.

Solusi terbaik untuk anak-anak tersebut bukanlah psikolog, guru dan


ulama, melainkan orangtua yaitu ayah dan ibunya di rumah yang dapat berperan
dan berfungsi selayaknya orang tua. Anak-anak tidak akan berbicara secara verbal
mengenai kebutuhan dan keinginan hati kecilnya, tetapi mereka akan berbicara
dalam bentuk perilaku yang diperlihatkannya dalam keseharian.

2.2 Ciri-Ciri Psikologis Keluarga Broken Home


Berdasarkan beberapa asumsi dalam literatur, penulis menemukan bahwa
keluarga broken home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja.
Keluarga broken home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah
dan ibu sebagai orangtua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orangtua
pada dasarnya adalah sebagai agen sosialisasi nilai-nilai baik-buruk, sebagai
motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih
sayang, dan sebagainya. Pada masa remaja, berdasarkan asumsi Erickson, remaja
memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam
internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orangtua
sebagaimana mestinya, maka hal in bisa terhambat. Proses pencarian identitas
akan terhambat dan menimbulkan rasa kebingungan identitas (confused of
Identity). Penambahan juga, remaja itu mungkin bisa mengembangkan perilaku
yang delinquency, atau bahkan patologis, jika keadaan keluarga yang broken
home itu dirasakannya sangat menekan dirinya. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Yeri Abdillah (2003) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa agresivitas
pada remaja dalam keluarga broken home mempunyai taraf lebih tinggi daripada
rekannya yang tidak mengalami kasus broken home.

Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga
broken home. Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja.
Masa remaja dalam psikologi diasumsikan sebagai masa yang penuh dengan
strom and stress. Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa
memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan
yang bisa menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.

Cinta adalah suatu perasaan yang tulus terhadap orang yang dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya
(http://mtdw.blogspot.com/2006/04/apa-makna-cinta-cinta-adalah-suatu.html,
Disadur tanggal 7 mei 2008).Cinta akan datang sekali dalam hidup pada satu pintu
hati kita, maka gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dalam
perjalanannya cinta itu akan mengalami banyak sekali rintangan. Seperti halnya
perjalanan hidup, akan banyak mengalami cobaan halangan dan rintangan untuk
mencapai kebahagian cinta. Kita bisa belajar dari rintangan-rintangan itu,
sehingga dapat memahami cinta dan tahu apa yang harus dilakukan demi cinta.
Apabila orangtuanya tidak memberikan kasih sayang yang cukup kepada anaknya,
maka kelekatan itu tidak aka ada.

Pemaknaan cinta orangtua akan semakin mengarah pada negativitas


seiring dengan munculnya beberapa hal berikut ini:

1. Ketiadaan perhatian fisikal yang dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken
home,
2. Konfliks antara orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada egoisme ayah-
ibunya tanpa mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
3. Kurangnya pemahaman spiritualisme dalam menghadapi kenyataan hidup
berkaitan dengan situasi broken home,
4. Kurangnya sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk memandang hal itu dari
sisi positif, dan
5. Taraf perkembangan sosioemosional yang belum dewasa.
Freud dalam psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks
sebagian besar hanya muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun
sacara fisikal terlihat senyum, bukan berarti mood orang itu juga posiitif. Konfliks
internal yang mungkin lebih parah akan muncul dan bermula dari
ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran manusia berkaitan
dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan berdinamika sesuai
pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan perasaan
subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal negatif.
Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan
atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua
orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang
dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi
subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Dalam teori klasik Sigmund Freud, hal ini menyebabkan pemasakan intrapsikis
yang salah, dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila tidak
mendapatkan pemecahan masalah yang efektif.Remaja dalam tahapan psikososial
Erik H. Erickson disebutkan adalah masa pencarian identitas. Dalam tahapan ini,
peran orangtua dalam membentuk identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja
putri (Margareth Rosario, 2007). Remaja putri dalam masa pencarian identitas
dirinya sangat bergantung pada orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada
remaja putra yang lebih ditentukan oleh peer-group-nya. Fakta penelitian ini
sudah seharusnya mempertimbangkan individual differences, yang menyadari
bahwa itu semua bergantung dan khas pada tiap individu.

2.3 Peran Dukungan Sosial Terhadap Perkembangan Kepribadian Anak


Pada Keluarga Broken Home

Dalam psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler (melalui


Hall, 1993) disebutkan bahwa lingkungan sosial memainkan peran penting dalam
perkembangan individu dalam rentang yang ada. Manusia pertama-tama
dimotivasi oleh dorongan-dorongan sosialnya. Menurut Adler, pada hakikatnya
manusia merupakan makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan
orang lain, ikut dalam kegiatan sosial, dan sebagainya. Dorongan sosial Adler
merupakan dorongan yang bersifat herediter atau bawaan genetis, yang kemudian
mendapat stimulus-stimulus untuk perubahan perkembangannya dari lingkungan
sosialnya. Adler mengatakan bahwa manusia adalah diri yang kreatif.
Manusia sebagai diri, menurut Adler merupakan pribadi yang unik yang
terdiri atas konfigurasi unik dari motif-motif, sifat-sifat, minat-minat, dan nilai-
nilai, dimana setiap perbuatan yang dilakukan mencerminkan gaya hidup yang
khas baginya. Manusia menjalani hidupnya dengan motivasi dorongan sosial.
Hilangnya dorongan sosial dapat berakibat munculkan gangguan perkembangan
atau gangguan psikis lainnya. Harapan yang pupus menyebabkan perilaku
sekarang menjadi terhambat dengan adanya broken home. Hilangnya harapan ini
akan mempengaruhi perilaku dalam parameter sejauhmana harapan itu menjadi
prioritas hidupnya. Adler menambahkan setiap diri memiliki kecenderungan
untuk mengarah pada superioritas dengan tiga cirinya yaitu menjadi agresif,
bekuasa, dan superior. Superior di sini bukanlah bersifat individualisme,
melainkan sejalan dengan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow.

Adler kemudian menekankan peranan dukungan sosial dalam


perkembangan diri remaja yang mengalami broken home. Lingkungan sosial yang
mendukung positif menjadi sumber inspirasi penting bagi individu, sehingga diri
mampu mengembangkan dirinya ke arah kesempurnaan, yang menjadi tujuan
perkembangan diri menurut Adler. Ketiadaan dukungan sosial yang memadai bagi
diri menyebabkan semakin besarnya intensitas inferioritas yang dirasakannya, dan
ini dapat mengarahkan pada gejala keabnormalitasan diri. Akan tetapi, Adler
percaya bahwa tiap diri adalah kreatif untuk mencari alternatif penyelesaian bagi
setiap masalah yang dihadapinya, sehingga apabila abnormalitas itu muncul, maka
dapat disimpulkan bahwa stimulus broken home yang dirasakannya melebihi taraf
intensitas kemampuannya dalam mereduksi masalah.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Broken Home


Arti broken home dalam bahasa Indonesia adalah perpecahan dalam
keluarga. Broken home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak
harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera
karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran
dan berakhir pada perceraian.
Istilah “Broken Home” biasanya digunakan untuk menggambarkan
keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun
dan sejahtera akibat sering terjadi konflik yang menyebabkan pada pertengkaran
yang bahkan dapat berujung pada perceraian. Hal ini akan berdampak besar
terhadap suasana rumah yang tidak lagi kondusif, orang tua tidak lagi perhatian
terhadap anak-anaknya sehingga berdampak pada perkembangan anak khususnya
anak remaja. Orang tua adalah panutan dan teladan bagi perkembangan remaja
terutama pada perkembangan psikis dan emosi, orang tua adalah pembentukan
karakter yang terdekat. Jika remaja diharapkan pada kondisi “broken home”
dimana orang tua mereka tidak lagi menjadi panutan bagi dirinya maka akan
berdampak besar pada perkembangan dirinya. Dampak psikis yang dialami oleh
remaja yang mengalami broken home, remaja menjadi lebih pendiam, pemalu,
bahkan despresi berkepanjangan. Faktor lingkungan tempat remaja bergaul adalah
sarana lain jika orang tua sudah sibuk dengan urusannya sendiri.
Broken Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya
kasih sayang dari orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi
frustasi, brutal dan susah diatur. Broken home sangat berpengaruh besar pada
mental seorang pelajar hal inilah yang mengakibatkan seorang pelajar tidak
mempunyai minat untuk berprestasi. Broken home juga bisa merusak jiwa anak
sehingga dalam sekolah mereka bersikap seenaknya saja, tidak disiplin di dalam
kelas mereka selalu berbuat keonaran dan kerusuhan hal ini dilakukan karena
mereka Cuma ingin cari simpati pada teman-teman mereka bahkan pada guru-
guru mereka. Untuk menyikapi hal semacam ini kita perlu memberikan perhatian
dan pengerahan yang lebih agar mereka sadar dan mau berprestasi.
3.2 Penyebab Broken Home
Pada umumnya penyebab utama broken home ini adalah kesibukkan
kedua orang tua dalam mencari nafkah keluarga seperti hal ayah laki – laki
bekerja dan ibu menjadi wanita karier. Maka dari itu mereka berusaha untuk
mendapatkan perhatian dari orang lain. Tetapi sayang, sebagian dari mereka
melakukan cara yang salah misalnya : mencari perhatian guru dengan bertindak
brutal di dalam kelas, bertindak aneh agar mendapat perhatian orang lain, dll.
Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
a. Orang tua yang bercerai
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri yang
tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan yang telah
terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang keutuhan kehidupan
keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan suami istri antara suami istri
tersebut makin lama makin renggang, masing-masing atau salah satu membuat
jarak sedemikian rupa sehingga komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu
menunjukan situas keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan
menjauh ke dalam dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga
masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim lagi.
b. Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog antar
anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu tersebut justru
terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat oleh tali batin. Keluarga
yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan rasa
jengkel dalam jiwa anak-anak. Kenakalan remaja dapat berakar pada kurangnya
dialog dalam masa kanak-kanak dan masa berikutnya, karena orangtua terlalu
menyibukkan diri sedangkan kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih
diabaikan. Akibatnya anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya.
Ternyata perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum
mampu menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan
kedudukannya dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti
melemparkan anak ke dalam sekumpulan benda mati.
c. Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada kebudayaan
bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya dialog juga disisipi
oleh rasa perselisihan dan kebencian dari masing-masing pihak. Awal perang
dingin dapat disebabkan karena suami mau memenangkan pendapat dan
pendiriannya sendiri, sedangkan istri hanya mempertahankan keinginan dan
kehendaknya sendiri.
d. Adanya Masalah Ekonomi
Adanya Masalah Ekonomi Dalam suatu keluarga mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Istri banyak menuntut hal-hal diluar
makan dan minum. Padahal dengan penghasilan suami sebagai buruh lepas, hanya
dapat memberikan makan dan rumah petak tempat berlindung yang sewanya
terjangkau. Karena suami tidak sanggup memenuhi tuntutan istri dan anak-
anaknya akan kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan tadi, maka timbullah
pertengkaran suami-istri yang sering menjurus kearah perceraian.
e. Adanya Masalah Pendidikan
Adanya Masalah Pendidikan Masalah pendidikan sering menjadi
penyebab terjadinya brokenhome. Jika pendidikan agak lumayan pada suami istri
maka wawasan tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka.
Sebaliknya pada suami istri yang pendidikannya rendah sering tidak dapat
memahami lika-liku keluarga. Karena itu sering salah menyalahkan bila terjadi
persoalan dikeluarga. Akibatnya selalu terjadi pertengkaran yang mungkin akan
menimbulkan perceraian. Jika pendidikan agama ada atau lumayan mungkin
sekali kelemahan dibanding pendidikan akan diatasi. Artinya suami istri akan
dapat mengekang nafsu masing-masing sehingga pertengkaran dapat dihindari.
3.3 Dampak Broken Home Pada Perkembangan anak
Perkembangan Emosi Merupakan situasi psikologi yang merupakan
pengalaman subjektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Perceraian
adalah suatu hal yang harus dihindari, agar emosi anak tidak menjadi terganggu.
Perceraian adalah suatu penderitaan atau pengalaman tramatis bagi anak. Mencari
jati diri dalam suasana rumah tangga yang tumpang dan kurang serasi. Peristiwa
perceraian itu menimbulkan ketidakstabilan emosi. Dampak keluarga Broken
Home terhadap perkembangan sosial remaja adalah:  Perceraian orang tua
menyebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dan kedudukannya, dia
merasa rendah diri menjadi takut untuk keluar dan bergaul dengan teman- teman.
Anak sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan. Anak yang dibesarkan
dikeluarga pincang, cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan,
kesulitan itu datang secara alamiah dari diri anak tersebut.
3.4 Cara Mengatasi Kelurga Yang Broken Home
Ada beberapa cara ampuh untuk mengatasi situasi seperti itu.
Hadapi semuanya dengan sikap positif. Tidaklah semua yang terjadi itu
merupakan hal buruk meskipun itu sesuatu yang berdampak negatif ke kita. Kita
harus mencoba menerima keadaan dan berusaha tegar. Hal ini akan membantu
kita mengatasi masalah tersebut.
1. Berpikir positif
Peristiwa yang kita alami kita lihat dari sisi positifnya. Karena di balik semua
masalah pasti ada hikmah yang dapat kita petik. Jadikan itu semua sebagai proses
pembelajaran bagi kita sebagai remaja menuju tahap kedewasaan. Jauhkan segala
pikiran buruk yang bisa menjerumuskan kita ke jurang kehancuran, seperti
memakai narkoba, minum-minuman keras, malah sampai mencoba untuk bunuh
diri.
2. Jangan terjebak dengan situasi dan kondisi
Yang jelas, kita enggak boleh terjebak dengan situasi dan menghakimi orangtua
atau diri sendiri atas apa yang terjadi serta marah dengan keadaan ini. Alangkah
baiknya apabila kita bisa memulai untuk menerima itu semua dan mencoba
menjadi lebih baik. Keterpurukan bukanlah jalan keluar. Sebaiknya sih kita bisa
tegar dan mencoba bangkit untuk menghadapi cobaan ini. Tetap berusaha itu
kuncinya.
3. Mencoba hal-hal baru
Tidak ada salahnya kita mencoba sesuatu yang baru, asal bersifat positif dan dapat
membentuk karakter positif di dalam diri kita. Contohnya, mencoba hobi baru,
seperti olahraga ekstrem (hiking, rafting, skating atau olahraga alam) yang dapat
membuat kita bisa lebih fresh (segar) dan melupakan hal-hal yang buruk.
4. Cari tempat untuk berbagi
Manusia adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan dengan orang lain.
Mencari tempat yang tepat untuk berbagi adalah solusi yang cukup baik buat kita,
contohnya teman, mungkin juga saudara. usahakan tempat kita berbagi itu adalah
orang yang dapat dipercaya dan kita bisa enjoy berkeluh kesah dengan dia.
5. Enggak perlu panik
Kita enggak bisa mengelak apabila itu terjadi pada keluarga kita walaupun kita
tidak menginginkannya. Enggak perlu panik ataupun sampai depresi
menghadapinya. Walaupun berat, kita juga musti bisa menerimanya dengan bijak.
Karena siapa sih yang mau hidup di tengah keluarga yang broken home? Pasti
semua anak enggak akan mau mengalaminya.
3.5 Solusi Meminimalisir Dampak Negatif Terhadap Remaja Broken Home
Tentunya sangat banyak faktor penyebab remaja terjerumus ke dalam hal -
hal negatif dalam masa peralihannya. Namun, salah satu penyebab utama
mengapa remaja seperti itu adalah kurangnya perhatian dan kasih saying orang
tua. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terlalu sibuknya kedua orang tua mereka
dengan pekerjaan, sehingga perhatian dan kasih sayang kepada anaknya hanya
diekspresikan dalam bentuk materi saja. Pada saat pengakuan, perhatian, dan
kasih sayang tersebut tidak mereka dapatkan di rumah, maka mereka akan
mencarinya di tempat lain. Salah satu tempat yang paling mudah mereka temukan
untuk mendapatkan pengakuan tersebut adalah di lingkungan teman sebayanya.
Sayangnya, kegiatan-kegiatan negatif kerap menjadi pilihan anak-anak broken
home tersebut sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan eksistensy. Benarkah
seluruh fenomena itu sekadar persoalan psikologis, ataukah justru lebih bercorak
sosiologis? Apabila problem tersebut dilihat dari perspektif psikologistis, maka
penilaian yang muncul adalah kaum remaja tersebut sedang melampiaskan hasrat
tersembunyinya. Dalam bahasa psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), kaum
remaja itu lebih mengikuti kekuatan id (dorongan-dorongan agresif) ketimbang
superego (hati nurani). Keberadaan ego (keakuan) mereka gagal untuk memediasi
agresivitas menjadi aktivitas sosial yang dapat diterima dengan baik dalam
kehidupan sosial (sublimasi). Peran orang tua di rumah dan peran sekolah menjadi
kunci keberhasilan pencegahan moral remaja akibat pengaruh pergaulan bebas.
Kasih sayang dan perhatian orang tua adalah langkah pertama. Dalam kondisi dan
situasi apapun, orang tua harus selalu mendampingi anak-anaknya. Pasalnya,
sudah banyak korban dari pergaulan bebas adalah anak yang broken home,
mereka mencari pelarian auntuk menghindar dari kenyataan yang dihadapi.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Broken home bukanlah akhir dari segalanya bagi kehidupan kita. Jalan
kita masih panjang untuk menjalani hidup kita sendiri. Pergunakanlah situasi ini
sebagai sarana dan media pembelajaran guna menuju kedewasaan. Ingat, kita
tidak sendiri dan bukanlah orang yang gagal. Kita masih bisa berbuat banyak serta
melakukan hal positif. Menjadi manusia yang lebih baik belum tentu kita
dapatkan apabila ini semua tidak terjadi. Mungkin saja ini merupakan sebuah
jalan baru menuju pematangan sikap dan pola berpikir kita.
4.2. Saran
1. Jangan menatap masa lalu, berorientasilah ke masa depan. Masalah perceraian
bukan milik Anda, melainkan milik orang tuan Anda.
2. Tetap berhubungan baik dengan kedua orang tua, meskipun mereka telah
berpisah. Harus tetap menghomati keduanya dengan segala kondisi yang ada,
sekalipun mereka telah gagal dam menjalankan sebuah rumah tangga
3. Harus pandai dan selektif memilih teman atau lingkungan pergaulan. Jangan
terjebak pada hal-hal yang memperburuk kondisi Anda sebagai seorang anak
broken home.

Anda mungkin juga menyukai