Puji syukur kami ucapkan kepada Allah swt atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebijakan pengelolaan
sumber daya manusia dalam bidang pendidikan”. Adapun maksud dan tujuan
membuat makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan sumber daya
manusia dalam bidang pendidikan.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan
semangat dan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap agar makalah ini bermanfaaat bagi pembaca untuk
mengetahui cara praktek sumber daya manusia.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, sehingga
kami mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
Kelompok II
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan............................................................................... 19
3.2 Saran .......................................................................................19
Dalam suasana keluarga yang broken home bukan hanya komunikasi yang
memburuk, tetapi juga terdapat aspek yang tidak relevan dalam hubungan itu,
sehingga menyebabkan berkurangnya ketertarikan antardiri pasangannya.
Lemahnya ketertarikan ini bisa berdampak pada pengabaian sosial termasuk
pengabaian afektif (Affective Disregard). Masa remaja, seperti yang dikatakan
oleh Erickson bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Masa
remaja ditandai dengan pergolakan internal untuk menemukan identitas dirinya
berkaitan dengan eksistensi hidupnya. Pengaruh faktor broken home keluarga
menjadi faktor negatif dalam penemuan identitas yang sehat, sehingga remaja
cenderung mengalami fase kebingungan identitas. Perkembangan afeksi juga
bisa mengalami hambatan. Hal ini dikarenakan adanya pengabaian afek oleh
orangtuanya. Lebih jauh, terdapat sifat-sifat penghambat perkembangan
kepribadian yang sehat yang terwujud dalam kepribadian anak, sehingga mereka
mungkin mengalami schizoid atau bisa berdampak hingga schizophrenia.
Ayah, ibu, dan anak adalah keluarga inti yang merupakan organisasi
terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Pada hakikatnya, keluarga merupakan
wadah pertama dan utama yang fundamental bagi perkembangan dan
pertumbuhan anak. Di dalam keluarga, anak akan mendapatkan pendidikan
pertama mengenai berbagai tatanan kehidupan yang ada di masyarakat.
Keluargalah yang mengenalkan anak akan aturan agama, etika sopan santun,
aturan bermasyarakat, dan aturan-aturan tidak tertulis lainnya yang diharapkan
dapat menjadi landasan kepribadian anak dalam menghadapi lingkungan.
Keluarga juga yang akan menjadi motivator terbesar yang tiada henti saat anak
membutuhkan dukungan dalam menjalani kehidupan.Namun, melihat kondisi
masyarakat saat ini, fungsi keluarga sudah mulai tergeser keberadaannya. Semua
anggota keluarga khususnya orangtua menjadi sibuk dengan aktivitas
pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ayah sebagai kepala
keluarga menjadi tidak jelas keberadaannya, karena seringkali ayah zaman
sekarang bekerja di luar kota dan hanya pulang satu minggu sekali ataupun pergi
pagi dan pulang larut malam. Ibulah yang menggantikan peran ayah di rumah
dalam mendidik serta mengatur seluruh kepentingan anggota keluarganya.
Anak yang broken home bukanlah hanya anak yang berasal dari ayah dan
ibunya bercerai, namun anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh, dimana
ayah dan ibunya tidak dapat berperan dan berfungsi sebagai orangtua yang
sebenarnya. Tidak dapat dimungkiri kebutuhan ekonomi yang semakin sulit
membuat setiap orang bekerja semakin keras untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya. Namun, orangtua seringkali tidak menyadari kebutuhan psikologis
anak yang sama pentingnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Anak
membutuhkan kasih sayang berupa perhatian, sentuhan, teguran dan arahan dari
ayah dan ibunya, bukan hanya dari pengasuhnya atau pun dari nenek kakeknya.
Masih banyak kasus lagi yang mungkin dirasakan anak dalam keluarga
broken home. Efeknya akan lebih terasa jika anak berada dalam masa remaja.
Masa remaja dalam psikologi diasumsikan sebagai masa yang penuh dengan
strom and stress. Jikalau dianalisis lebih lanjut keadaan broken home bisa
memperburuk keadaan remaja itu. Keadaan itu akan diartikan sebagai tekanan
yang bisa menjadi sumber awal penyebab patologis sosial.
Cinta adalah suatu perasaan yang tulus terhadap orang yang dicintai.
mampu memahami mengerti, menyayangi orang yang dicintainya.
berjiwa besar, dan mau membahagiakan orang yang dicintainya
(http://mtdw.blogspot.com/2006/04/apa-makna-cinta-cinta-adalah-suatu.html,
Disadur tanggal 7 mei 2008).Cinta akan datang sekali dalam hidup pada satu pintu
hati kita, maka gunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Dalam
perjalanannya cinta itu akan mengalami banyak sekali rintangan. Seperti halnya
perjalanan hidup, akan banyak mengalami cobaan halangan dan rintangan untuk
mencapai kebahagian cinta. Kita bisa belajar dari rintangan-rintangan itu,
sehingga dapat memahami cinta dan tahu apa yang harus dilakukan demi cinta.
Apabila orangtuanya tidak memberikan kasih sayang yang cukup kepada anaknya,
maka kelekatan itu tidak aka ada.
1. Ketiadaan perhatian fisikal yang dirasakan oleh remaja dalam keluarga broken
home,
2. Konfliks antara orangtuanya dirasakan semakin mengarah pada egoisme ayah-
ibunya tanpa mempertimbangkan eksistensi remaja itu,
3. Kurangnya pemahaman spiritualisme dalam menghadapi kenyataan hidup
berkaitan dengan situasi broken home,
4. Kurangnya sosialisasi dari lingkungan sosialnya untuk memandang hal itu dari
sisi positif, dan
5. Taraf perkembangan sosioemosional yang belum dewasa.
Freud dalam psikonalisis paradoksnya mengasumsikan bahwa konfliks
sebagian besar hanya muncul dalam taraf ketidaksadaran individu. Meskipun
sacara fisikal terlihat senyum, bukan berarti mood orang itu juga posiitif. Konfliks
internal yang mungkin lebih parah akan muncul dan bermula dari
ketidaksadarannya. Sifat inilah yang menentukan kesadaran manusia berkaitan
dengan ego, ego ideal, superego, dan id-nya. Sistem ini akan berdinamika sesuai
pengalaman. Faktor broken home dapat secara kuat menyebabkan perasaan
subjektif akan cinta orangtua semakin berkurang atau mengarah pada hal negatif.
Bukan tidak mungkin remaja dalam keluarga broken home akan menyalahkan
atau memandang secara negatif terhadap salah satu orangtua atau bahkan kedua
orangtuanya, jika orangtuanya itu dianggap penyebab penderitaan yang
dirasakannya. Ini merupakan suatu bentuk kompensasi tak langsung atas asumsi
subjektif diri remaja itu atas penderitaan yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Dalam teori klasik Sigmund Freud, hal ini menyebabkan pemasakan intrapsikis
yang salah, dan dapat mengarah pada suatu bentuk patologis apabila tidak
mendapatkan pemecahan masalah yang efektif.Remaja dalam tahapan psikososial
Erik H. Erickson disebutkan adalah masa pencarian identitas. Dalam tahapan ini,
peran orangtua dalam membentuk identitas nampak jelas, apalagi bagi remaja
putri (Margareth Rosario, 2007). Remaja putri dalam masa pencarian identitas
dirinya sangat bergantung pada orangtuanya sebagai figur teladan, berbeda pada
remaja putra yang lebih ditentukan oleh peer-group-nya. Fakta penelitian ini
sudah seharusnya mempertimbangkan individual differences, yang menyadari
bahwa itu semua bergantung dan khas pada tiap individu.