Anda di halaman 1dari 21

RANGKUMAN

ARTIKEL : ‘THE COMPETENCIES USED BY EFFECTIVE MANAGERS TO


BUILD TEAMS: AN EMPIRICAL STUDY', ‘THE HARD TRUTH ABOUT SOFT
SKILLS', DAN ‘WOMAN LEADERSHIP EFFECTIVENESS: COMPETITIVE
FACTORS AND SUBJECTIVE AND OBJECTIVE QUALITATIES'

Disusun untuk Memenuhi Tuggas Mata Kuliah Pengantar Manajemen

Oleh Dosen Yuli Soesetio, S.E., M.M.

Disusun oleh :

Muhammad Faisal Ghani

(230413610645)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

TAHUN 2023
The Competencies Used by Effective Managers to Build
Teams: An Empirical Study

Membangun tim yang efektif adalah proses kepemimpinan yang


sering dibahas dan lazim topik dalam literatur manajemen (Hunt &
Weintraub, 2004). Ketangkasan dan daya saing organisasi bergantung
pada mereka yang mampu menghilangkannya hambatan manusia,
struktural, dan budaya sambil memanfaatkan individu dan organisasi
sumber daya dan kekuatan. Tantangan-tantangan ini mengharuskan para
manajer untuk memiliki serangkaian tantangan yang berbeda
keterampilan daripada yang dibutuhkan sebelumnya (Nyman & Thach,
1999).

Tim yang efektif adalah hal yang penting dianggap sebagai


proses manajerial yang terdiri dari berbagai kegiatan untuk
ditingkatkan kinerja kolektif individu (Mace & Mahler, 1958;
Mintzberg, 1973,1990, 1994; Yukl, 1994). Baru baru ini Program Team
Facilitation secara khusus bertujuan untuk mendampingi Tim Bisnis
perusahaan untuk menyadari situasi tim saat ini dan melakukan
langkah nyata untuk bertransformasi menjadi Tim yang Efektif. Secara
umum, proses Team Facilitation bertujuan untuk mengubah perilaku
karyawan dan meningkatkannya hasil organisasi (Williams, Graham, &
Baker, 2003).

Untuk karyawan individu, bekerja dalam tim mendorong


peningkatan kinerja anggota, pengembangan diri, komunikasi positif,
dan meningkatkan kinerja karyawan kemampuan untuk bekerja sama
secara erat untuk memecahkan masalah (Pellerin, 2009). Efektif kerja
tim dan membangun tim membantu kelompok menjadi lebih efektif dalam
mencapai prestasi tugas sambil memuaskan kebutuhan anggotanya
(Cummings & Worley, 2009).

Tim mendapat manfaat dari dukungan dan penekanan pada


pembangunan tim melalui keterampilan yang diterima anggotanya secara
efektif kepemimpinan tim, tingkat kinerja tim yang lebih tinggi, dan
peningkatan tingkat minat dan komitmen terhadap tim oleh anggota dan
kepemimpinannya (Driskell, Goodwin, Salas, O’Shea, & Patrick, 2006;
Gilley & Gilley, 2007). Manfaat bagi organisasi dari fasilitasi tim
mencakup peningkatan kemampuan untuk melaksanakan solusi kreatif
untuk masalah yang kompleks, pengembangan profesional personel, dan
pengembangan organisasi yang sesuai (Daniels & Daniels, 2004; Kroth,
2007). Kompetensi yang diperlukan untuk memfasilitasi tim dengan
sukses masih kurang, sehingga menimbulkan banyak tantangan jurang
antara teori dan praktek. Oleh karena itu hal pertama yang akan
dibahas adalah hubungan kompetensi manajerial yang umum dan
pengaruhnya terhadap kemampuan manajer untuk membangun tim.

1. Managerial Competencies Needed to Facilitate Teams


(Kompetensi Manajerial Dibutuhkan untuk Memfasilitasi Tim)

Kompetensi manajerial yang diperlukan untuk membangun tim


yang efektif termasuk kemampuan manajer untuk melatih,
memotivasi,memberi penghargaan, mengkomunikasikan, memimpin
perubahan, melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan,
mendorong pertumbuhan dan perkembangan karyawan, dan
memperlakukan karyawan dengan adil (Gilley & Boughton,1996; Aula,
2006; Sim, 2002; Welch, 2002).

 Ability to Motivate (Kemampuan untuk Memotivasi)

Kemampuan untuk memotivasi menurut Hall (2006), motivasi


merupakan komponen penting ketika mengelola tim kinerja dan, oleh
karena itu, merupakan unsur utama dalam proses pembangunan tim.
Dengan demikian, kemampuan pemimpin tim untuk memotivasi orang
lain secara signifikan meningkatkan peluang keberhasilan tim
(Gilley, Dixon, & Gilley, 2008).

Hall (2006) melaporkan bahwa mengembangkan sistem insentif


yang menciptakan keselarasan antara kinerja tim yang diinginkan
dan imbalan yang dihargai oleh masing-masing karyawan penting
dalam mencapai hasil kinerja yang diinginkan. Insentif yang
memotivasi tim meliputi membuat kompensasi adil dan kompetitif,
membangun kepercayaan, membuat penugasan pekerjaan lebih lengkap
dan menantang, menghilangkan rasa takut di tempat kerja,
memberdayakan karyawan, dan menghindari manajemen mikro (all,
2006; Kroth, 2007). Peningkatan motivasi dapat dicapai ketika
pemimpin tim membimbing anggota tim melalui transisi yang
diperlukan, mendorong kerja sama, mengembangkan aliansi dan
hubungan dengan tujuan bersama, dan berfungsi sebagai katalis
untuk pembaruan dan ketahanan (Daniels & Daniels, 2004).

 Ability to Coach (Kemampuan untuk Melatih)

West dan Markiewicz (2004) melaporkan bahwa melatih adalah


pekerjaan sehari-hari yang dilakukan pemimpin berjanji untuk
membantu anggota tim mencapai tujuan mereka serta prosesny
memberikan dukungan, dorongan, bimbingan, dan umpan balik secara
sering dan spesifik. Mereka percaya bahwa pembinaan melibatkan
fasilitasi individu dan kolektif upaya anggota tim. Lenhardt (2004)
melaporkan bahwa yang ideal adalah menggabungkan melatih dengan
pembangunan tim, yang memungkinkan pengembangan terpadu yang
memungkinkan masyarakat mengembangkan bakatnya, kesatuan pribadi dan
spiritual mereka, dan juga memberikan makna yang lebih besar pada
pekerjaan dan kehidupan mereka.

Gilley dan Gilley (2007) menyarankan bahwa pemimpin tim harus


pergi melampaui peran supervisor dan beralih ke peran pelatih
kinerja. Pelatih kinerja memberdayakan anggota tim untuk menjadi
sangat efektif dengan mengurangi atau menghilangkan membatasi
mekanisme kontrol dan memaksimalkan proses yang memotivasi. Pemimpin
mempunyai tiga tugas keseluruhan yang harus dilakukan yaitu
menciptakan kondisi yang memungkinkan tim melakukan tugasnya,
membangun dan memelihara tim sebagai sebuah unit pertunjukan, dan
untuk melatih dan mendukung tim menuju kesuksesan (West, 2004).

 Ability to Effectively Communicate (Kemampuan Berkomunikasi


Secara Efektif)

Menurut Luecke (2003), komunikasi adalah alat yang efektif


untuk memotivasi karyawan. Demikian pula komunikasi diperlukan untuk
memberikan umpan balik, yang merupakan inti dari pembinaan
(Mintzberg, 2004; Peterson & icks,1996) dan memungkinkan anggota tim
untuk membuat keputusan yang lebih baik sambil mempersiapkan mereka
menghadapi tantangan kelebihan dan kekurangan inisiatif yang
diidentifikasi oleh tim (Saunders, 1999). Tanpa komunikasi dan umpan
balik, anggota tim tidak mempunyai pengetahuan tentang di mana
mereka, bagaimana kinerja mereka, dan apakah mereka menerapkan
pengetahuan dengan tepat (Gilley & Gilley, 2007). Teknik komunikasi
yang digunakan oleh pemimpin tim meliputi umpan balik, mendengarkan
secara aktif, teknik nonverbal, bertanya, dan diam (Gilley &
Boughton, 1996; all, 2006;Udson, 1999; Kinlaw, 1991; Kroth, 2007;
Batu, 1999).

 Ability to Involve Employees in Decision Making (Kemampuan


untuk melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan)

Kerja tim yang sejati berarti memberikan wewenang dan tanggung


jawab pengambilan keputusan kepada tim dan anggotanya (West, 2004).
Quick (1992) menemukan bahwa tim berfungsi lebih baik ketika
kepemimpinan dan pengambilan keputusan dibagi oleh karyawan yang
membantu pengambilan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Oleh karena itu, pemimpin tim diperhitungkan berdasarkan masukan
dari orang lain yang memiliki perspektif atau pengalaman berbeda
untuk membuat keputusan dan mewujudkan rencana (Ancona & Bresman,
2007).

 Ability to Foster Employee Growth and Development (Kemampuan


Mendorong Pertumbuhan dan Perkembangan Pegawai)

Pertumbuhan dan perkembangan adalah motivator manusia yang


kuat, yang membutuhkan tim pemimpin untuk membantu anggotanya
mengoordinasikan kegiatan mereka, dan terus meningkatkannya
pekerjaan mereka, kinerja, dan pengembangan kemampuan melalui
rencana pertumbuhan dan pengembangan (West, 2004). Rencana
pertumbuhan dan pengembangan karyawan memungkinkan manajer untuk
mengidentifikasi hambatan yang mencegah pertumbuhan dan
perkembangan, dan mengatasi masalah budaya yang mengurangi karyawan
motivasi (Gilley & Gilley, 2007). Rencana pertumbuhan dan
pengembangan membantu para manajer mengidentifikasi tugas-tugas
pekerjaan yang bertentangan dan kegiatan-kegiatan yang mengurangi
pembelajaran, sambil menyediakan umpan balik kinerja dan penguatan
pada pekerjaan (semua, Otazo, & ollenbeck, 1999; ollenbeck, Meyer, &
Ilgen, 2007; unt & Weintraub, 2004).

2. Method (Metode)

Fokus dari pemeriksaan ini adalah untuk mengeksplorasi


keterampilan dan perilaku manajerial mana yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk memfasilitasi tim dan kerja tim.
Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan fasilitasi tim tersebar
secara acak di dalam instrumen. Penyempitan variabel secara
statistik dijelaskan di bagian Hasil.

 Research Question

Penelitian ini berupaya menemukan keterampilan mana yang


paling mempengaruhi kemampuan seorang manajer memfasilitasi dan
membangun tim, yang merupakan variabel terikat. Penelitian ini juga
berfokus pada variabel interpersonal yang paling sering dibahas
dalam literatur, khususnya kemampuan manajer untuk memotivasi orang
lain, melatih orang lain, berkomunikasi dengan tepat, melibatkan
karyawan dalam pengambilan keputusan, dan memfasilitasi karyawan
tumbuh kembang. Akibatnya, variabel independen dan hasil
hipotesisnya adalah:

Hipotesis 1: Kemampuan seorang manajer untuk memotivasi orang lain


berhubungan positif dengan kemampuannya atau kemampuannya untuk
memfasilitasi dan membangun tim.

Hipotesis 2: Kemampuan seorang manajer untuk melatih orang lain


berhubungan positif dengan kemampuannya untuk memfasilitasi dan
membangun tim.

Hipotesis 3: Kemampuan seorang manajer untuk berkomunikasi secara


efektif adalah positif berkaitan dengan kemampuannya untuk
memfasilitasi dan membangun tim.

Hipotesis 4: Kemampuan seorang manajer untuk melibatkan karyawan


dalam pengambilan keputusan adalah berhubungan positif dengan
kemampuannya untuk memfasilitasi dan membangun tim.

Hipotesis 5: Kemampuan seorang manajer untuk membantu karyawannya


tumbuh dan berkembang berhubungan positif dengan kemampuannya
memfasilitasi dan membangun tim.

 Design

Instrumen survei diberikan kepada 689 MBA dan Pengembangan


Organisasi mahasiswa master dan PhD dari lima universitas 4 tahun
(empat negeri dan satu swasta) di berbagai lokasi (Mountain West,
Midwest, Southwest, dan South) selama 10 semester. Penggunaan sumber
terpisah mengurangi bias metode umum (Podsakoff, MacKenzie, Lee, &
Podsakoff, 2003). Dari 689 calon peserta, 634 menjawab, yang
menghasilkan tingkat respons yang dipilih sendiri sebesar 92%.

 Measures (Pengukuran)

Responden menunjukkan sejauh mana perilaku manajerial tertentu


terjadi di dalamnya organisasi mereka menggunakan skala tipe Likert
5 poin yang berkisar dari 1 (tidak pernah) hingga 5 (sering).
Responden diminta untuk “menunjukkan frekuensi diikuti tindakan yang
terjadi dalam organisasi Anda saat ini atau terbaru”

3. Results (Hasil)

Besar sampel untuk populasi survei adalah 634; 43,5% adalah


laki-laki, 52,2% perempuan, dan tidak ada indikasi gender sebesar
4,3%. Di tabel 1 ini menunjukkan frekuensi dengan mana manajer
mendukung tim, dengan mayoritas manajer melakukan dukungan secara
berkala. Responden menyatakan bahwa manajer mereka tidak pernah,
jarang, atau hanya kadang-kadang memfasilitasi tim dan kerja tim
sebanyak 63,3%, dibandingkan dengan 36,6% untuk biasanya atau selalu
efektif.

4. Disscussion (Diskusi)

Studi ini mengungkap kompetensi manajerial yang berpengaruh


dalam memungkinkan fasilitasi tim; secara spesifik, dan berdasarkan
kepentingannya adalah kemampuan untuk terlibat karyawan dalam
pengambilan keputusan, melatih orang lain, berkomunikasi secara
efektif, memotivasi orang lain, dan membantu karyawan tumbuh dan
berkembang. Pentingnya komunikasi sebagai kompetensi manajerial
didokumentasikan dengan baik (semua Dkk., 1999; Kroth, 2007;
Mintzberg, 2004) dan jelas diperlukan untuk keterlibatan, pembinaan,
dan pada akhirnya pembentukan tim terjadi. Sayangnya, kegagalan
organisasi dalam menekankan efektivitas pembangunan tim dibuktikan
dengan rendahnya frekuensi yang mana manajer biasanya atau selalu
menunjukkan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk
memfasilitasi tim (29,8%, lihat Tabel 1).

 Implications for HRD Theory

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun manajer umum


terlibat dalam pembentukan tim yang efektif, manajer yang efektif
dalam membangun tim menunjukkan keterampilan dan perilaku tertentu
seperti yang diharapkan. Penelitian ini berfokus pada tim,
pembentukan tim, dan keterampilan interpersonal umum (Kroth, 2007;
Moss & Sanchez, 2004) dan khususnya keterlibatan karyawan,
pembinaan, komunikasi, motivasi, pertumbuhan, dan keterampilan
pengembangan dan manajemen (Gilley & Boughton , 1996).

Landasan teori RD untuk memahami hubungan antara kompetensi


kepemimpinan dan tim atau kerja tim akan didukung oleh penelitian
tambahan mengenai kompetensi spesifik dan pengaruhnya terhadap
keberhasilan tim dan pembangunan tim.

 Implication for HRD Practice

Hasil penelitian ini menghasilkan wawasan penting bagi


organisasi berkaitan dengan kemampuan membangun tim manajerial,
seleksi, pengembangan karir, dan organisasi kesuksesan.

Studi ini juga memberikan dukungan untuk daftar kompetensi


utama yang terkait dengan menciptakan lingkungan kolaboratif.
Sayangnya, ketika talenta internal dan eksternal melimpah,
pengembangan karier eksekutif sering kali tidak dianggap penting
bagi kesuksesan perusahaan (Sessa & Campbell, 1997).
Organisasi yang ingin memposisikan diri mereka untuk
pertumbuhan, inovasi, dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan
melalui sumber daya manusia harus mempertimbangkan untuk
mengintegrasikan kompetensi yang diidentifikasi dalam penelitian ini
ke dalam program pengembangan manajemen dan kepemimpinan mereka.

The Hard Truth about Soft Skills

 Introduction

John Roberts, seorang Direktur Jaminan Kualitas yang baru saja


bergabung dengan Communications Services International (CSI) di
Melbourne, Florida. John Roberts dihadapkan pada tantangan manajemen
dalam menghadapi pertumbuhan timnya seiring dengan peningkatan
pesanan pembelian. Ia perlu memecahkan masalah ini dengan
mempertimbangkan keterbatasan sumber daya dan ekspektasi yang
tinggi.Untuk mengatasi beban kerja yang meningkat, Roberts mendapat
izin untuk merekrut karyawan baru.

Solusi yang diambil adalah membawa lulusan baru ke dalam


timnya dengan harapan mereka dapat membawa kemampuan pemecahan
masalah yang baik. Meskipun lulusan baru biasanya memiliki kemampuan
teknis yang baik, mereka mungkin kurang memiliki keterampilan lunak
yang diperlukan dalam lingkungan bisnis. Salah satu lulusan baru
membuat kesalahan dalam komunikasi melalui email, menyinggung
perasaan beberapa koleganya.

John Roberts memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman


yang kuat dalam industri kedirgantaraan dan pertahanan, dengan
penekanan pada inovasi dan kepemimpinan. Sebagai Direktur Jaminan
Kualitas, ia membawa pengalaman kepemimpinan yang berfokus pada
hasil tinggi. Roberts melihat kesempatan untuk membangun tim dari
bawah ke atas di perusahaan kecil seperti CSI. Sebagai seorang
insinyur dan pemimpin, ia berkomitmen untuk memaksimalkan kinerja
tim dan organisasinya. Namun, dengan perubahan lingkungan kerja,
Roberts menyadari bahwa sekarang ia memiliki tanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang muncul. Kemudian Roberts mencari
informasi tentang produktivitas dan pendidikan karyawan, pengalaman
karyawan, serta keterampilan lunak karyawan. Roberts menggunakan
Google Scholar dan melakukan pemindaian artikel untuk membangun
model konseptualnya.

 Review Of Search (Tinjauan Penelitian)

Kajian ini dimulai sebagai proyek induktif untuk mengamati


fenomena yang berulang di dunia kerja, khususnya ketidaksiapan
lulusan baru memasuki dunia kerja. Penulis bertujuan untuk memahami
perkembangan soft skill pada lulusan baru dan dampaknya terhadap
produktivitas dan kinerja pribadi. Dalam pencarian informasi,
penulis menggunakan sumber perpustakaan seperti database ABI/Inform
dan Google Scholar.

Kajian ini memuat analisis artikel mengenai pengembangan soft


skill dan pengalaman lulusan baru. Penelusuran menggunakan istilah
seperti “pengembangan soft skill” dan “lulusan baru”. Sejumlah besar
makalah dipindai dan diunduh untuk pertimbangan lebih lanjut
berdasarkan relevansinya dengan pertanyaan penelitian.

Penelitian ini juga menemukan bahwa Inggris memiliki


kesenjangan soft skill dalam angkatan kerjanya, yang dapat berdampak
pada produktivitas dan perekonomian negara tersebut. Namun, tidak
ada konsensus mengenai keterampilan khusus apa yang perlu diperoleh
lulusan agar siap kerja. Persepsi mengenai keterampilan dasar
mungkin berbeda-beda menurut pemangku kepentingan, seperti lulusan
baru, dosen, dan calon pemberi kerja.

Contoh perbedaan persepsi keterampilan adalah


ketidaksepakatan mengenai keterampilan komunikasi. Beberapa pemberi
kerja di Amerika Serikat, Eropa, dan Maroko tidak menghargai
keterampilan komunikasi, sementara kejujuran dianggap penting di
wilayah lain, seperti Hong Kong.

Penelitian ini menanyakan mengapa tidak ada konsensus mengenai


definisi soft skill dan mencoba menjelaskan beberapa alasan
ketidaksepakatan tersebut. Salah satu penyebabnya adalah pergeseran
fokus dari keterampilan kognitif (hard skill) ke soft skill yang
samar-samar. Hard skill adalah keterampilan yang dapat diajarkan,
diukur, dan didefinisikan dengan jelas, seperti kmampuan menggunakan
pengetikan, matematika, dan perangkat lunak.

Soft skill sebaliknya, lebih sulit diukur dan lebih spesifik,


seperti etika, keterampilan komunikasi, dan kemampuan mendengarkan
dan berinteraksi dengan orang lain. Keterampilan ini dianggap
sebagai bagian dari kepribadian seseorang dan tidak banyak mendapat
perhatian di perguruan tinggi. Namun, pentingnya soft skill semakin
diakui, dan para pendidik universitas mulai meresponsnya dengan
mengintegrasikan pelatihan soft skill ke dalam kurikulum
tradisional.

Soft skill yang biasa disebutkan dalam literatur meliputi


keterampilan komunikasi, kemauan belajar, kerjasama tim, etos kerja,
keterampilan kepemimpinan, motivasi, fleksibilitas, kreativitas,
pemecahan masalah, dan sikap positif. Meskipun tidak ada daftar
definisi pasti tentang soft skill yang konsisten, topik-topik ini
sering muncul dalam penelitian dan literatur sebagai soft skill yang
dicari oleh pemberi kerja dan kurang dimiliki oleh lulusan baru.

 The Proposed Theory (Teori yang Diusulkan)

Metode pengukuran produktivitas karyawan baru dan


mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas
tersebut. Gambar 1 menunjukkan bahwa produktivitas karyawan dapat
diukur sebagai hasil dari tiga variabel utama :
 Tingkat pendidikan karyawan baru, seperti gelar sarjana (AS,
BS, MS, PhD), memainkan peran penting dalam produktivitas.
Produktivitas diharapkan meningkat dengan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi. Sebagai contoh, karyawan dengan gelar PhD
diharapkan memiliki produktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan karyawan yang tidak memiliki gelar
sarjana.
 Pengalaman kerja karyawan dalam bidang praktik tertentu
(Rantai Pasokan, Operasi, Teknik, dll.) juga berpengaruh
pada produktivitas. Produktivitas diharapkan meningkat
seiring dengan bertambahnya pengalaman kerja.
 Soft skill, seperti kemampuan komunikasi, keinginan untuk
belajar, kepemimpinan, dan kreativitas, diharapkan
berhubungan positif dengan produktivitas. Soft skill
merupakan faktor kritis yang memengaruhi kinerja karyawan.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, dapat


disimpulkan bahwa produktivitas karyawan dapat ditingkatkan dengan
mencocokkan orang-orang dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan
soft skill yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Hal ini
mencerminkan tujuan utama organisasi ketika merekrut anggota tim
baru yaitu mencocokkan talenta yang tepat dengan peluang yang tepat.

Dalam rangka merekrut karyawan baru, pengukuran soft skill


yang dapat dievaluasi melalui wawancara kerja, merupakan aspek yang
paling krusial dan menjadi prediktor kesuksesan di masa depan. Ini
didukung oleh pandangan bahwa soft skill terus berkembangkan dan
dapat diukur, sehingga memainkan peran yang krusial dalam menentukan
produktivitas karyawan.

 Application of the Theory (Aplikasikan Teori)

Penelitian ini mengajukan teori dan model konseptual yang


menekankan pentingnya pengembangan soft skill dalam meningkatkan
produktivitas karyawan baru. Model ini menganggap pendidikan,
pengalaman, dan soft skill sebagai faktor penting, dengan soft skill
menjadi prediktor terpenting keberhasilan di tempat kerja.

Penerapan praktis dari model ini termasuk berkontribusi pada


penelitian akademis, mengembangkan kurikulum di pendidikan tinggi,
membimbing perekrut untuk merancang wawancara yang lebih bertarget,
dan bahkan meningkatkan soft skill karyawan. Hal ini juga mencakup
kemungkinan mengembangkan program pelatihan khusus untuk perbaikan.
Penerapan model ini diharapkan dapat meningkatkan pengembangan soft
skill dan memberikan manfaat baik bagi individu maupun organisasi
untuk sukses di dunia kerja.

 Disscussion (Diskusi)

Artikel ini mendukung pandangan bahwa soft skill merupakan


faktor kunci produktivitas karyawan baru. Model yang diusulkan
menyatakan bahwa produktivitas pegawai merupakan hasil pelatihan,
pengalaman, dan soft skill lulusan baru. Ketiga atribut tersebut
berkontribusi positif terhadap produktivitas, namun penurunan atau
ketiadaan salah satu atribut tersebut dapat menimbulkan dampak
negatif.

Di era ekonomi pengetahuan, soft skill menjadi aspek yang


sangat penting, terutama untuk menjamin efisiensi dan produktivitas
tim kerja. Artikel ini menyoroti perlunya mendasarkan keputusan
perekrutan pada soft skill, karena hard skill lebih mudah diajarkan
dibandingkan motivasi intrinsik yang mendasari soft skill.
Pengecualian dapat terjadi dalam situasi yang memerlukan pengetahuan
ilmiah atau teknis yang sangat spesifik.

Women Leadership Effectiveness: Competitive


Factors and Subjective and Objective Qualities

 Introduction

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan kelima


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang kesetaraan
gender menyoroti pentingnya memberikan kesempatan
yang sama bagi perempuan dalam mencapai posisi
kepemimpinan di semua tingkatan. Meskipun upaya untuk
mencapai kesetaraan gender, statistik menunjukkan
bahwa hanya 6,4% CEO S&P 500 pada tahun 2022 adalah
perempuan. Terdapat kesenjangan yang signifikan
antara pria dan wanita dalam posisi kepemimpinan
senior di organisasi bisnis.

Laporan Grant Thornton menunjukkan bahwa


perempuan cenderung lebih banyak terkonsentrasi dalam
fungsi pendukung manajemen seperti direktur sumber
daya manusia daripada peran kepemimpinan utama
seperti chief executive officer atau chief operating
officer. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya
perempuan dalam peran kepemimpinan dapat disebabkan
oleh beban lebih besar yang harus ditanggung
perempuan sebagai orang tua dan pemangku keluarga.

Selain itu, persepsi diri perempuan dan


ketidaknyamanan dalam mengambil tugas yang dianggap
“menantang” juga menjadi faktor penghambat. Kualitas
subjektif mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip
inti pemimpin perempuan, sementara kualitas objektif
melibatkan kemampuan praktis yang dapat diukur dengan
fakta dan data untuk menghindari bias pribadi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan


manfaat bagi pemimpin perempuan baru untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinan mereka.
Rekomendasi yang dihasilkan dapat berkontribusi pada
peningkatan daya saing dan profitabilitas organisasi.

 Methodology (Metodologi)

Kajian ini fokus memberikan pemahaman mendalam


mengenai efektivitas keterampilan kepemimpinan
perempuan melalui analisis data dari dokumen publik,
laporan, biografi, dan literatur. Dengan menggunakan
desain metode campuran deskriptif, pertama-tama
mereka mengumpulkan data kuantitatif tentang
profitabilitas tahun 2021 dari 10 perusahaan Fortune
500 milik perempuan. Data kualitatif kemudian
diperoleh dari perkataan para manajer yang disurvei
mengenai faktor persaingan.

Dengan menggunakan pendekatan kasus, 10 CEO


perempuan teratas dipilih secara khusus untuk
mengeksplorasi gaya kepemimpinan dan faktor
kompetitif mereka. Penelitian ini berkontribusi pada
literatur dengan mengemukakan kualitas subjektif dan
objektif pemimpin perempuan dan memberikan
rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas
kepemimpinan perempuan. Para eksekutif yang
diselidiki termasuk Karen Lynch, Rosalind Brewer,
Mary Barra, Gail Boudreau, Jane Fraser, Carol Tome,
Cory Barry, Tricia Griffiths, Sasunda Brown Duckett,
dan Safra Cats.

 Literature review: women in leadership


positions

Studi ini mengkaji strategi untuk meningkatkan


kehadiran perempuan dalam posisi kepemimpinan. Byrne
dkk.(2020) mengusulkan strategi pasokan dengan
meningkatkan jumlah perempuan yang memenuhi syarat
dan strategi permintaan dengan mendukung langkah-
langkah. Gray dkk.(2019) menemukan bahwa keterampilan
kepemimpinan perempuan, seperti empati, dapat
terganggu dalam lingkungan bisnis yang agresif.
Beberapa penelitian menyoroti tanggung jawab orang
tua yang mempengaruhi perempuan, seperti pengurangan
jam kerja dan gangguan karier.

Meskipun penelitian positif oleh Han dan Noland


(2020) menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dapat
meningkatkan keuntungan dan produktivitas, Beddow
(2018) berpendapat bahwa program pengembangan
kepemimpinan yang mengabaikan perbedaan gender
menekankan perlunya mempertimbangkan kembali. Fazal
dkk.(2020) menemukan bahwa program pengembangan
kepemimpinan perempuan masih diabaikan oleh sebagian
eksekutif.

Tantangan bagi perempuan dalam posisi


kepemimpinan mencakup tanggung jawab keluarga,
kesulitan terkait gaya kepemimpinan, dan penolakan
stereotip gender. Akkaya dan Bagienska (2022)
menemukan bahwa kepemimpinan perempuan berkontribusi
terhadap kinerja tim, namun masih terdapat resistensi
yang kuat dalam beberapa budaya organisasi. Tantangan
lainnya adalah pandangan masyarakat terhadap
perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh.

 Disscussion and analysis

Kasus 10 : Thasunda Brown Duckett, CEO TIAA

CEO TIAA Sasunda Brown Duckett menggunakan


manajemen waktu sebagai keunggulan kompetitif. Saat
mengatur waktumu, fokuslah pada pekerjaan
berkelanjutan, tetapkan prioritas, dan alokasikan
waktu untuk menyelesaikan tugas.

Duckett merekomendasikan setiap orang untuk


mengikuti jadwal dan melacak tugas untuk mencapai
tujuan mereka. Kemampuannya menetapkan prioritas dan
mengatur waktu mencerminkan kepemimpinan organisasi.
Duckett percaya bahwa tindakan ini akan membawa hasil
yang lebih baik dan membantu mengatasi banyak
tantangan hidup.

Selain itu, Pak Duckett menekankan nilai-nilai


keadilan dan keadilan, khususnya dalam mengatasi
ketidaksetaraan gender dalam pendapatan pensiun. Dia
membahas masalah pensiun perempuan dengan pendapatan
30% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Di TIAA, Ibu
Duckett berupaya untuk menutup kesenjangan pendapatan
pensiun dengan menciptakan rencana pensiun yang adil
bagi perempuan. Pendekatan aktifnya dalam memerangi
ketidakadilan menunjukkan bahwa ia sangat antusias
terhadap prinsip-prinsip kesetaraan gender. Sebagai
pemimpin yang inspiratif, ia berbagi hal-hal yang
memengaruhi kepemimpinannya:

Duckett melihat kesulitan sebagai peluang untuk


belajar dan percaya bahwa orang harus tumbuh dari
pengalaman dan masa-masa sulit. Nilai-nilai seperti
kerendahan hati, keterbukaan, dan keingintahuan,
semuanya mendorong orang untuk mengambil manfaat dari
peluang yang tersedia (Duckett,2022).

 Results and Findings (Hasil dan Temuan)


Studi ini menyelidiki peran kepemimpinan
perempuan dan keunggulan kompetitif. Gaya dan praktik
kepemimpinan perempuan dianalisis berdasarkan
kualitas subjektif dan objektif yang mempengaruhi
efektivitas kepemimpinan.

Kualitas kepemimpinan subyektif meliputi


kepemimpinan yang autentik, positif, inspiratif,
humanistik, kolaboratif, dan berorientasi pada
layanan. Kualitas kepemimpinan obyektif meliputi
strategi, kemampuan transformasional, keahlian,
partisipasi, dan pandangan ke depan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas


kepemimpinan perempuan dapat dibagi menjadi 40%
kualitas subjektif dan 30% kualitas objektif. Faktor
kompetitif yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan
perempuan dibedakan menjadi soft (moralitas, nasehat,
kerendahan hati, kasih sayang, kasih sayang) dan hard
(strategi, tanggung jawab, kecerdasan, ketekunan).

Penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan


yang efektif bagi perempuan memerlukan kombinasi
kualitas subjektif dan objektif. Faktor persaingan
lunak dan keras sama-sama berperan dalam membangun
keunggulan kompetitif bagi pemimpin perempuan dan
berpengaruh positif terhadap efektivitas
kepemimpinan.

 Conclusion and Recommendation


Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan
untuk memahami efektivitas kepemimpinan perempuan,
faktor kompetitif, dan kualitas kepemimpinan yang
mempengaruhi efektivitas. Pemimpin perempuan
mempunyai faktor persaingan lunak dan keras yang
unik, yang beberapa di antaranya berkontribusi
terhadap keunggulan kompetitif mereka. Studi ini
menyarankan bahwa para pemimpin perlu memanfaatkan
faktor persaingan lunak dan keras untuk meningkatkan
efektivitas kepemimpinan.

Rekomendasi pertama mengacu pada penguatan


unsur-unsur persaingan lunak dan kualitas
kepemimpinan subjektif seperti kebenaran, moralitas,
konsultasi dengan orang percaya, perilaku sopan,
keteladanan moral, dan meningkatkan empati terhadap
penderitaan orang percaya yang mereka lakukan.

Rekomendasi lainnya berfokus pada penguatan


faktor kompetitif dan kualitas kepemimpinan objektif
seperti: Misalnya, berbicara secara logis, memimpin
semua orang, menjadi ahli dengan pesan yang jelas,
bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan,
menciptakan penerus, mengatasi perlawanan, gaya
kepemimpinan, dan menghadapi pesaing dengan tegas.
Serangkaian rekomendasi ini dapat diterapkan dalam
organisasi untuk mendukung pengembangan perempuan
dalam posisi kepemimpinan.

Anda mungkin juga menyukai