Anda di halaman 1dari 19

Makalah

Politik Ekonomi Wisata Halal: Perbandingan Beberapa


Negara

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Politik Ekonomi Islam

Dosen: Dr. Mukhaer Pakkana, SE. MM

DISUSUN OLEH: Kelompok I

Anggota :

1. Deden Nurdin Salim NIM


2. Istajam Qomaruddin NIM 2261101210
3. Muhammad Heru Akhmadi NIM: 2261101214
4. Fadhil Jauhar Al Mahdy NIM
5. Ika Mahardiati NIM
6. Romlach Rachmayanti NIM
7. Syahrul Ramadhan NIM
8. Dede Kurniadi 2261101180

ITB Ahmad Dahlan Jakarta

2023
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Politik ekonomi Islam merupakan suatu bidang holistik yang terpilih untuk
mengatasi berbagai masalah berikut menyajikan solusi terkait ekonomi umat. Politik
ekonomi Islam mendiskusikan masalah politik dan ekonomi. Ekonomi Islam tidak
dapat eksis tanpa politik dan demikian pula, politik tidaklah kuat tanpa ekonomi.
Diskusi mengenai prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik ekonomi dihubungkan
dengan politik, seperti prinsip-prinsip khilafah, keadilan, serta akuntabilitas. Demikian
pula, di dalam mendiskusikan ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi mau tidak mau
ditentukan oleh pemerintah. Politik ekonomi Islam bersifat lebih holistik dibandingkan
dengan ekonomi Islam di dalam menyediakan “obat” (untuk pemulihan) ekonomi
umat.

Persinggungan politik dengan ekonomi tidaklah terlepas dari peran suatu


pemerintahan, yang tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan politik, namun juga
berfungsi sebagai eksekutor dari berbagai kebijakan (termasuk kebijakan ekonomi).
Kebijakan suatu pemerintahan yang tepat di bidang ekonomi kemungkinan besar akan
menciptakan kemajuan di bidang ekonomi yang selanjutnya akan berdampak pada
tercapainya kesejahteraan masyarakat, begitu juga sebaliknya.

Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.


Laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500
edisi 2023 menunjukkan, jumlah populasi muslim di Indonesia mencapai 237,55 juta
jiwa pada tahun lalu. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di kawasan negara-
negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), maupun secara global. Ini
menunjukkan betapa tingkat religiusitas di Indonesia sangat tinggi. Populasi yang
banyak mengakibatkan kecenderungan terhadap sesuatu sesuai dengan selera
mayoritas. Angka tersebut juga menjadi pasar yang sangat bagus terhadap segala
produk-produk yang sifatnya Islami, mulai dari pakaian, makanan, sampai kepada
kosmetik yang memiliki karakteristik Islam laris dilahap pasar di negeri ini.

Pada saat yang sama kesadaran umat Islam tentang pentingnya penggunaan
produk yang halal semakin tinggi. Atmosfir atau nuansa keislaman tidak dapat
dilepaskan dari berbagai produk yang akan dijajakan di pasaran. Umat Islam semakin
selektif memakai dan mengkonsumsi sesuatu dengan secara ketat mengecek label
halal sebelum membeli. Hal ini terungkap ketika membeli makanan, umat islam
memeriksa kehalalan lebih dahulu baru kemudian memeriksa tanggal kadaluarsa. Hal
ini dipengaruhi oleh indikator penting yang menjadi pendukung adalah faktor
religiusitas (Setiawan dkk, 2019).

Wisata halal menjadi sektor yang paling menjanjikan di banyak negara saat ini,
termasuk Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian
Dalam Negeri yang dipublikasikan dalam Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki
17.504 pulau yang tersebar di 32 provinsi (sebelum pemekaran Kalimantan Utara dan
Sulawesi Barat) (Rahma, 2020). Kementerian pariwisata setidaknya telah
menetapkan 15 provinsi untuk fokus dalam pengembangan destinasi Halal Tourism
dan 13 provinsi yang sudah siap menjadi tujuan Halal Tourism (Ferdiansyah H.,
Endyana C., Rachmat H., 2020).

Halal Tourism merupakan salah satu sistem pariwisata yang dirancang untuk
memenuhi Syariah, sehingga sesuai dengan kebutuhan wisatawan Muslim. Halal
Tourism adalah wisata yang didasarkan pada gaya hidup wisatawan muslim pada saat
liburan. Selain itu, juga merupakan pariwisata yang rasional, fleksibel, sederhana, dan
seimbang. Hal ini bertujuan untuk memotivasi para wisatawan agar mendapatkan
kebahagiaan dan ridho Allah SWT.

Peningkatan Halal Tourism ini tentu saja membawa pengaruh terhadap


pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini dikarena sektor pariwisata memegang
peranan penting dalam perekonomian dunia yang telah dianggap sebagai salah satu
penyumbang pertumbuhan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga,
pariwisata juga dapat dilihat sebagai merupakan salah satu sumber Produk Domestik
Bruto (PDB) terpenting.

Secara syariat, konsep perjalanan atau wisata memiliki dasar dalam Al Quran.
Allah SWT telah menjanjikan pahala bagi siapapun yang melakukan perjalanan
(keluar rumah) selama dilandasi niat hijrah karena-Nya. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. An-Nisa:100).

Wisata halal yang terus berkembang tidak hanya pada negara muslim atau
wilayah yang mayoritas berpenduduk muslim saja. Namun juga berkembang pada
wilayah berbagai negara yang menjadi destinasi umat islam, seperti Eropa, Jepang,
Korea Selatan dan Amerika Serikat. Wisata halal memfokuskan pada isu seperti
keterlibatan muslim, tempat, tujuan, produk, dimensi. Keberadaan wisata halal
menjadi bagian dari politik ekonomi islam, karena terkait dengan sikap dan tujuan
dalam agama Islam (Ala-Hamarneh, 2011; Hassan, 2007; Henderson,2010).

Indonesia yang memiliki populasi penduduk muslim terbesar di dunia


memberikan perhatian dengan wisata halal. Pemerintah Indonesia berencana
menjadikan Indonesia sebagai episentrum wisata halal dunia. Mencermati hal tersebut
penelitian ini bertujuan akan membahas perspektif politik ekonomi Islam terhadap
penerapan wisata halal di Indonesia. Hal lain yang mendasari penelitian ini adalah
masih adanya beberapa provinsi seperti Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan
Nusa Tenggara Timur yang menolak kebijakan pemerintah tersebut. Penolakan
wisata halal ini dipengaruhi oleh politik identitas yang terkait dengan friksi politik di
level nasional dan lokal (Makhasi, 2020).

2. Rumusan Permasalahan

Beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan wisata halal di beberapa negara (Indonesia, Malaysia,


dan Jepang) ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap wisata halal ?
3. Bagaimana tantangan yang dihadapi wisata halal di Indonesia ?

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak antara
lain:

1. Perguruan tinggi atau lembaga kajian dalam rangka pengembangan ilmu


pengetahuan khususnya pada bidang ilmu politik ekonomi islam terkait dengan
wisata halal
2. Pemerintah khususnya dalam mengevaluasi kebijakan wisata halal
3. Industri khususnya menjadi referensi dalam mengembangkan wisata halal di
Indonesia
BAB II KAJIAN PUSTAKA

1. Politik Islam
Kajian politik ekonomi dalam Islam merupakan hasil pengembangan dari
hukum Islam dalam bidang kebijakan pengelolaan kekayaan negara (al-tasharruf).
Secara teknis politik ekonomi Islam lebih dikenal dengan sebutan siyasah maliyyah.
Istilah yang lain adalah tadakhul al-dawlah (intervensi negara). Negara
mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait
dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara lengkap. Negara dipandang ikut serta
dalam ekonomi untuk menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam nas sekaligus
membuat aturan-aturan yang belum ada dalam nash, sehingga tidak ada istilah
kekosongan hukum.

Politik ekonomi yang diatur Islam juga menjamin tercapainya pemenuhan


semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut
kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah
masyarakat yang memiliki gaya hidup (lifestyle) tertentu. Oleh karena itu, politik
ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam
sebuah negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati
kehidupan tersebut.10

Politik Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001)
dalam bukunya, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al- Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal) adalah
jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan
papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat
tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. Politik Ekonomi Islam membedakan
Kebutuhan Pokok Individu dengan kebutuhan Pokok Masyarakat termasuk
mekanisme pemenuhannya.

Islam telah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang, dan


papan, dengan mekanisme yang telah ditetapkan oleh syariat dengan strategi sebagai
berikut :

1. Memerintahkan setiap kepala keluarga untuk bekerja.


2. Negara wajib menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, agar rakyat bisa
bekerja dan berusaha.
3. Islam Mewajibkan kepada kerabat dan muhrim yang mampu untuk memberi
nafkah yang tidak mampu.
4. Kewajiban negara (Baitul Maal ) untuk memenuhi jika tidak mampu bekerja dan
tidak ada ahli waris yang mampu menafkahinya‫ا‬
5. Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan adalah kebutuhan asasi dan harus
dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa
barang (pangan, sandang, dan papan), saat Islam melalui negara menjamin
pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap, maka terhadap kebutuhan jasa
pendidikan, kesehatan, dan keamanan negara wajib secara langsung memenuhi
kepada setiap individu rakyat.

Dalam konteks politik Hubungan antara negara dan Islam sangat dekat. Ketika
Nabi Muhammad menata kehidupan sosial, politik dan agama masyarakat Madinah
sebagai negara Islam pertama itu didasarkan pada suatu hukum tertulis The
Constitution of Medina (Piagam Madinah) yang sesuai dengan dasar-dasar umum
yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Relasi ini juga kita temui pada konteks
negara Indonesia dengan konstitusi Pancasila-nya, dimana pada Mukadimah UUD
1945 menunjukkan platform negara-bangsa (nation state)yang pluralistik dan dalam
batas-batas tertentu memiliki “kesamaan” dengan Piagam Madinah (Pulungan, 2018).

Penerapan konsep politik islam dimunculkan dalam bidang ekonomi. Syariat


islam memandang perkara ekonomi berhubungan dengan pengurusan soal
pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya
mewujudkan kemakmurannya. Sistem ekonomi Islam mewajibkan bagi setiap muslim
termasuk negara untuk terikat dengannya. Sistem ekonomi islam menurut Anabhani
(1996) meliputi : Pertama, konsep kepemilikan; kedua: penggunaan hak milik; dan
ketiga: distribusi kekayaan di antara individu.

Penerapan sistem politik dan ekonomi dalam syariat Islam diwujudkan pada
wisata halal. beberapa negara yang mayoritas penduduknya non Muslim telah
memiliki perhatian terhadap wisata halal. Hal ini dapat terjadi karena wisata halal
bukan dipandang sebagai bagian dari kebutuhan negara untuk menerapkan syariat
Islam, namun lebih ditekankan kepada cara berpikir liberalis untuk mendapatkan
keuntungan dalam menerapkan wisata halal. Indonesia sebagai negara dengan
populasi muslim terbesar seharusnya mampu mengembangkan industri wisata halal
yang ramah kepada turis, pemodal, dan masyarakat (Rahmah, 2020).

2. Wisata Halal
Wisata halal dalam pengertian umum disamakan dengan beberapa istilah
seperti Syariah tourism, halal travel, Islamic tourism, halal lifestyle. Wisata halal
merupakan pengembangan produk dari dari wisata konvensional. Jadi wisata Islam
dapat diartikan sebagai kegiatan perjalanan muslim yang bergerak dari suatu tempat
ke tempat lain atau ketika berada di satu tempat di luar tempat tinggal asal dan jangka
waktu kurang dari satu tahun dan untuk terlibat dalam kegiatan dengan motivasi islam.
Kegiatan wisata dalam perspektif Islam pastinya harus sesuai dengan hukum islam
yang berlaku yaitu kehalalan.
Wisata halal dapat didefinisikan sebagai berbagai kegiatan wisata yang
didukung dengan berbagai fasilitas dan layanan yang diberikan oleh masyarakat,
dunia usaha, dan pemerintah yang sesuai dengan syariah (Ratnasari, 2020). Oleh
karena itu, Halal Tourism dapat didefinisikan sebagai objek atau tindakan wisata apa
pun yang diperbolehkan menurut ajaran Islam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
Muslim dan mencapai tujuan wisata yang ramah Muslim. Definisi ini termasuk
destinasi non-Muslim yang membidik wisatawan Muslim untuk menjadi Muslim friendly
dengan memenuhi kebutuhan mereka (Battour et al., 2021).

Definisi wisata halal lebih luas dari wisata religi yaitu wisata yang didasarkan
pada nilai – nilai syariah. Dalam World Tourism Organization (WTO), konsumen
wisata halal bukan hanya umat muslim tetapi juga non muslim yang menginginkan
kearifan lokal (Sofyan, 2012). Secara khusus, wisata halal merupakan kegiatan jual
beli atau bisnis. Dalam Islam istilah halal merujuk pada semua yang diperintahkan
dalam ajaran agama dan menjadi tiang landasan bagi perilaku dan kegiatan umat
Islam (Diyanat Isleri Baskanling, 2011).

Beberapa ayat Al Quran, menjelaskan hal yang berkaitan dengan perjalanan


sebagai berikut :

1. Allah SWT memberitahu bahwa manusia biasa bepergian pada musim dingin dan
musim panas. Allah SWT berfirman: “(Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada
musim dingin dan musim panas”. (Q.S. Al-Quraysh:2)
2. Allah memerintahkan umat-Nya untuk merenung atas apa yang telah diciptakan-
Nya. Allah SWT berfirman : “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ankabut:20)
3. Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk memperhatikan keadaan tempat
yang tengah disinggahinya sebagai bentuk pelajaran. Allah SWT berfirman :
“Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (Q.S. Al-Anam:11)
4. Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk berjalan di muka bumi ini seraya
merenung tentang keadaan orang-orang terdahulu. Allah SWT berfirman: “Maka
apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka
dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah
telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima
(akibat-akibat) seperti itu”. (Q.S. Muhammad:10)
5. Allah SWT tidak hanya memberikan berkat kepada negeri-negeri yang bisa umat-
Nya jadikan tempat wisata, tetapi juga memberikan kemudahan dengan
menjadikan tempat-tempat wisata itu strategis letaknya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan
berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam hari dan siang hari dengan dengan aman”. (Q.S. Saba:18)

Wisata Islam menunjukkan aktivitas perjalanan dengan motivasi atau tujuan


mengenai agama yang dilakukan oleh umat beragama (Islam, Kristen, Hindu, Budha)
yang biasanya dengan mengunjungi tempat- tempat bersejarah seperti tempat suci
agama atau tokoh agama. Wisata halal juga dapat berfungsi sebagai kegiatan yang
memiliki motivasi sesuai dengan prinsip Islam. Kegiatan tersebut bisa berupa haji,
umrah dan lain – lain.
BAB III METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang menjelaskan hal


hal terkait wisata halal. Menurut Sugiyono (2016:9) metode deskriptif kualitatif adalah
metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci.

Studi pustaka merupakan langkah awal dalam metode pengumpulan data.


Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang diarahkan kepada
pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, foto-
foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat mendukung dalam proses
penulisan.Hasil penelitian akan semakin kredibel apabila didukung foto-foto atau
karya tulis akademik dan seni yang telah ada.(Sugiyono,2005:83). Metode deskriptif
digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi
tertentu maupun bidang tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat.
Metode ini menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (Jatmika, 2016)

Penelitian ini akan membandingkan tiga negara yang menerapkan wisata halal,
yaitu Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Pemilihan ketiga negara tersebut didasarkan
pada ketersediaan referensi ilmiah yang lebih lengkap dibandingkan negara-negara
lainnya. Sumber data penelitian berasal dari studi literatur pada berbagai jurnal baik
nasional maupun internasional. Literatur yang dikumpulkan mencakup artikel jurnal
yang membahas tentang penerapan wisata halal pada tiga negara, yaitu: Indonesia,
Malaysia, dan Jepang. Artikel yang dikumpulkan berasal dari beberapa penerbit
dengan tahun penerbitan kurun waktu 2018 sd. 2023.

Pengolahan data dilakukan dengan metode bertingkat, dimana data yang


didapatkan kemudian diolah dan diklasifikasikan sesuai dengan tema tertentu.
Selanjutnya hasil klasifikasi tersebut dijelaskan secara naratif untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Pengolahan data menggunakan aplikasi Excell untuk
membantu proses kategorisasi isi dari artikel yang dikumpulkan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perbandingan Wisata Halal di Beberapa Negara

A. Indonesia

Pemerintah Indonesia dalam perluasan layanan pariwisata halal menawarkan


tiga konsep yang fokus pada perluasan layanan, yaitu (1) need to have atau harus
dimiliki, (2) good to have, dan (3) nice to have. Ketiga konsep ini memiliki arti masing-
masing. Need to have maksudnya suatu destinasi mempunyai tempat ibadah yang
layak, serta makanan yang halal. Good to have mempunyai tujuan agar wisatawan
mendapatkan pengalaman berkesan dan berbeda. Sedangkan Nice to have artinya
wisata halal di Indonesia harus mampu bersaing dengan Negara lain (Muthoifin &
Purnomo, 2020)

Salah satu upaya pengembangan wisata halal (halal tourism) di Indonesia


adalah meningkatkan jumlah keberadaan hotel syariah pada berbagai destinasi
wisata. Pemerintah membuat Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif No
11 Tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan hotel syariah. Pengertian syariah
yang dimaksud adalah prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang diatur fatwa
dan atau telah disetujui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada tahun 2013,
terdapat 37 hotel syariah yang telah bersertifikat halal dan 150 hotel menuju
operasional syariah. Selain itu terdapat sebanyak 2.916 restoran dan 303 diantaranya
telah bersertifikasi halal, dan 1.800 sedang mempersiapkan untuk sertifikasi
(Kementerian Pariwisata, 2015).

Indonesia melakukan sinergi dengan banyak pihak untuk mengembangkan


wisata halal (halal tourism), seperti Kementrian Pariwisata yang melakukan kerjasama
dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga
Sertifikasi Usaha (LSU). Wujud konkret kerjasama tersebut adalah dengan cara
pengembangan pariwisata serta pengedepanan budaya serta nilai-nilai agama yang
kemudian akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Jaelani, 2017).

Pelatihan sumber daya manusia, sosialisasi, dan capacity building juga


dilakukan untuk mendukung sinergi tersebut. Pemerintah juga bekerja sama dengan
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dalam penyedian penginapan
halal dan tempat makan yang bisa menyajikan menu makanan halal, dan bekerjasama
sama juga dengan Association of the Indonesia Tours and Travel (ASITA) untuk
membuat paket wisata halal ke tempat wisata religi. Walau demikian wisata halal
(halal tourism) tidak hanya terbatas pada wisata religi saja (Kementrian Pariwisata,
2015). Kementerian Pariwisata (2015) dalam rilis laporannya mencatat bahwa sudah
terdapat 13 provinsi yang siap untuk menjadi destinasi wisata halal (halal tourism)
yaitu Aceh, Banten, Sumatera Barat, Riau, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat
(NTB), dan Bali.

Indonesia melakukan promosi halal tourism yang dimilikinya ke dunia


internasional. Caranya dengan mengikuti World Halal Tourism yang dilaksanakan di
Abu Dhabi pada tahun 2016. Dalam acara tersebut Indonesia berhasil meraih 12
penghargaan dari total 16 kategori (Jaelani, 2017). Berbagai komponen telah
mendukung Indonesia yang dapat mengantarkan pariwisatanya menembus pasar
global, khususnya pariwisata halal. Namun, diperlukan upaya untuk mengembangkan
wisata halal di Indonesia, karena masih maraknya perjudian, tempat prostitusi,
diskotik, penjualan bebas minuman keras, dan kegiatan yang diluar syariat sehingga
perlu menjadi perhatian khusus.

B. Malaysia

Malaysia memiliki rencana “The Halal Master Plan” dengan target selama 13
tahun yang mencakup tiga fase; pertama (2008-2010) Malaysia dikembangkan
sebagai pusat dunia dalam hal integritas halal dan menyiapkan pertumbuhan industri.
Kedua (2011-2015) Malaysia dijadikan sebagai salah satu lokasi yang disukai untuk
bisnis halal, dan ketiga (2016-2020) Malaysia akan memperluas jejak geografis
perusahaan halal yang tumbuh di dalam negeri. Pada tahun 2008, Malaysia telah
tercatat sebagai salah satu negara yang terkenal di bidang wisata halal (Shafaei dan
Mohamed, 2015).

Tahun 2021 Malaysia menjadi the most halal tourism destination berdasarkan
The Global Muslim Travel Index (GMTI) mengalahkan Indonesia yang berada di
peringkat ke-2. Malaysia berhasil melakukan komunikasi Destination Marketing
melalui meningkatkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan di destinasi
dalam rangka memastikan infrastruktur yang dibutuhkan dikembangkan dan
pengunjung Muslim diterima di destinasi. Kriteria kecakapan komunikasi didasarkan
pada kemahiran bahasa di destinasi. Terdapat 10 bahasa yang biasanya digunakan
oleh wisatawan muslim (Malaysia, Indonesia, Tunisia, Singapore, Jordan, UEA, Mesir,
Pakistan, Lebanon, dan Uzbekistan) dan Malaysia dianggap bisa menerima dan
memahami para wisatawan.

Meski demikian, terdapat beberapa hal yang belum sesuai dengan konsep
wisata halal. Diantaranya hal yang belum sesuai dengan konsep syariah antara lain
adanya daerah bebas untuk perjudian, alkohol masih mudah ditemukan di hotel,
restoran, dan tempat umum, salon dan spa yang tidak memisahkan antara laki-laki
dan perempuan, lokasi kamar yang tidak memisahkan antara pasangan yang telah
menikah dan belum menikah, hiburan yang menampilkan tayangan tidak syar’i,
website yang lebih menampilkan kebudayaan dan adat serta fasilitas belanja dan
hiburan yang tidak terkait agama (Henderson, 2003; Shafaei dan Mohamed, 2015).
Hal ini dikarenakan di Malaysia yang merupakan negara multikultural yang
terdiri dari tiga budaya besar yaitu Melayu, Cina, dan India. Meski Agama Islam
menjadi agama resmi sedangkan agama lain seperti Budha, Hindu, dan Kristen tetap
disambut dengan baik oleh penduduknya. Sehingga ketika Malaysia menerapkan
suatu peraturan yang sesuai hukum Islam dapat diterima oleh warga muslim maupun
non muslim dengan baik (Din, 1989).

C. Jepang

Jepang adalah salah satu destinasi wisata yang menarik wisatawan Muslim
dari Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain di Timur Tengah. Tingginya jumlah
wisatawan Muslim membuat Jepang menjadi sangat gencar mengembangkan fasilitas
ramah Muslim untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing khususnya yang
berasal dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Jepang
adalah negara non-Muslim dengan penduduk mayoritas beragama Budha dan Shinto
sehingga pemahaman masyarakatnya terhadap konsep halal dan wisata halal
tentunya sangat terbatas.

Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia, bahkan di dunia. Wisata di
Jepang menawarkan perpaduan antara kemajuan teknologi dengan keunikan budaya
tradisional. Produk-produk elektronik canggih seperti kamera atau komputer dapat
dibeli wisatawan dengan harga yang relatif murah. Sistem transportasi yang maju dan
menjangkau seluruh wilayahnya juga membuat wisatawan mudah untuk berpindah
dari satu kota ke kota lain. Di sisi lain, wisatawan dapat melihat arsitektur bangunan
khas Jepang dan pertunjukan budaya atau seni tradisional, terutama di kota
bersejarah seperti Kyoto.

Berdasarkan situs Badan Pariwisata, pemerintah Jepang telah


mengembangkan ratusan restoran halal dan tempat ibadah bagi umat Muslim yang
tersebar di beberapa wilayah Jepang. Dengan adanya fasilitas ramah Muslim,
wisatawan asing dari negara Islam bisa merasa nyaman. Berkaitan dengan hal itu
pemerintah Jepang terus meningkatkan fasilitas ramah Muslim. Dari enam kebutuhan
(faith-based needs) wisatawan Muslim, empat di antaranya telah terpenuhi, yakni
kebutuhan akan makanan halal, tempat ibadah, kamar kecil dengan air, serta
pelayanan rekreasional dengan privasi.

Informasi mengenai wisata halal di Jepang dapat merujuk ke situs panduan


Badan Pariwisata Resmi Jepang JNTO. Beberapa kota di Jepang telah menerapkan
wisata halal. Pertama, Kota Hokkaido. Wisatawan dapat menikmati lanskap
pemandangan alam yang indah ditemani udara dingin dan sejuk. Restoran halal di
Hokkaido yang bisa kunjungi diantaranya Donburichaya New Chiste, Tohachi di
Ashikawa, atau tempatnya dessert lezat di Patisserie Foy. Ada pula tempat berbelanja
yang menyediakan mushola yaitu Chitose Outlet Mall Rera, Daimaru Sapporo.
Bandara Asahikawa atau New Chitose juga menyediakan musala bagi umat Muslim.
Untuk hotel ramah Muslim, Anda bisa memilih Rusutu Hotel, Sahoro Resort, Clubby
Sapporo, dan WBF Hakodate Watatsuminoyu

Kedua, kota Kansai yang populer dengan wisata perairan, alam, hingga
museum, di daerah Kanto tidak perlu khawatir untuk urusan penginapan, tempat
ibadah, restoran, hingga pusat perbelanjaan. Restoran yang menyajikan makanan
halal tanpa babi di antaranya Halal Kobe Beef Nagomi, ALI's Kitchen Shinsaibashi,
ICHIRAN Namba Midosuji, dan lainnya. Sementara pusat perbelanjaan yang
menyediakan tempat salat yaitu EXPO CITY, Ninja-Do, Mabruk, dan Rinku Premium
Outlets. Ada juga penginapan yang menyediakan menu sajian halal di Kansai, di
antaranya Hotel Granvia Osaka, Kintetsu Universal City, dan Minamitei Hot Spring
Resort.

Ketiga, kota Chiba yang merupakan kota paling ramah Muslim terbesar. Kota
Chiba memiliki banyak restoran halal yang bisa dikunjungi seperti Sai-Sau do Ichihara,
Shokujin di Makuhari, dan Takotako di Chiba City. Hotel pilihan di Chiba bagi Muslim
di antaranya Mapple In di Makuhari, Ichihara Marine, Port Plaza di Chiba City.
Sedangkan area pusat perbelanjaan di Chiba dengan fasilitas tempat salat di
antaranya AEON Mall Makuhari New City

Keempat, kota Okayama, merupakan destinasi wisata muslim yang friendly.


Terdapat restoran halal di Okayama yang sudah bersertifikat halal di antaranya
Milenga Indian Cuisine, Shabu & Sukiyaki Hitori Nabe Megu, Lamb BBQ Hiruzen
Kogen Center, dan Koeido-Kibi Dango. Penginapan yang punya menu makanan halal
serta tempat salat juga cukup banyak. Seperti ANA Crowne Plaza Okayama sampai
Okayama Resort Hotel.

Terakhir, kota Tokyo, merupakan kota yang ramah karena wisatawan Muslim
tidak perlu khawatir tidak menemukan resto atau tempat ibadah karena lokasinya
tersebar di banyak titik. Beberapa restoran khas Jepang tanpa babi bisa ke
Hanasakaji-San atau sajian Timur Tengah di Aladdin, Minato City. Sedangkan
penginapan yang ramah Muslim diantaranya Sakura Hotel Hatagaya, Sheraton
Miyako Tokyo, Shinjuku Price Hotel, dan Agora Place Asakusa.

Meskipun banyak kota di Jepang telah memiliki wisata halal, masih terdapat
beberapa masalah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Jepang, yaitu:

1. Masih terdapat aktivitas non-halal di banyak restoran,


2. Belum ada pelayanan makan sahur bagi wisatawan yang berpuasa khususnya di
bulan Ramadhan,
3. Terbatasnya jumlah restoran halal di kota kecil,
4. Belum terdapat badan sertifikasi halal yang ditunjuk secara resmi oleh pemerintah
Jepang, dan
5. Terbatasnya jumlah mushola yang menyediakan fasilitas wudhu.
2. Kebijakan Pemerintah dalam Mendukung Wisata Halal
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya
penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum
(structure of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal
culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum,
meliputi perangkat perundang undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang
hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.

Hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme yang


memandang hukum itu terbatas pada yang tertuang dalam peraturan perundang-
undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembangan
sistem hukum Indonesia. Nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam
kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk
terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru (Hajiji, 2013).

Konsep dan dasar pengembangan pariwisata halal di Indonesia secara formal


tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif (Kemenparekraf) dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) NK.11/KS.001/W.PEK/2012, dan Nomor B459/DSN-MUI/XII/2012.
Tentang Pengembangan dan Sosialisasi Pariwisata Syariah. Secara umum landasan
hukum mengenai pariwisata halal antara lain sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan
Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
6. Fatwa DSN-MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah.
7. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata.
8. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Standar Usaha Kawasan Pariwisata.
9. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan dan Sertifikasi Usaha Hotel Syariah
10. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah yang mencabut Permenpar no
2 Tahun 2014.
11. Peraturan pariwisata halal diatur dalam Fatwa DSN MUI No.108/DSN-
MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip
Syariah.
Kegiatan usaha pariwisata halal merupakan konsep yang mengintegrasikan
nilai-nilai syariah ke dalam kegiatan pariwisata dengan menyediakan fasilitas dan
pelayanan yang sesuai dengan ketentuan syariah. Untuk memfasilitasi dan
mendukung kegiatan usaha pariwisata halal tersebut, maka Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Peraturan Menteri ini dikeluarkan
berdasarkan nota kesepakatan antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor
NK11/KS.001/W.PEK/2012, dan nomor B-459/DSN-MUI/XII/2012 tentang
Pengembangan dan Sosialisasi Pariwisata Syariah. Secara umum Peraturan Menteri
diatas memberikan pedoman dan standarisasi penyelenggaraan usaha hotel syariah.
Namun, pada tahun 2016, Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2014 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah tersebut dicabut dengan peraturan
menteri Pariwisata Nomor 11 tahun 2016 karena dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan saat ini. Kemudian, Pariwisata
mengeluarkan peraturan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi
Usaha Pariwisata. Namun pasal mengenai sertifikasi usaha pariwisata halal dalam
peraturan tersebut juga dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pariwisata
Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha
Pariwisata.
Selanjutnya, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
mengeluarkan fatwa Nomor 108/DSNMUI/X/2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Aspek pariwisata yang
diatur didalamnya antara lain: hotel, spa, sauna, objek wisata, dan biro perjalanan.
Faktanya di lapangan belum efektif, sehingga perlu adanya peraturan menteri.
Selain itu, Struktur hukum berdasarkan Undang - Undang No. 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan ini mengatur tentang kepariwisataan secara umum dan tidak
mengatur pariwisata halal. Menurut Undang - Undang tersebut, pariwisata adalah
“berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.” (pasal
1 butir 3). Usaha pariwisata mencakup banyak sektor, antara lain jasa transportasi
wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyelenggaraan
kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan intensif,
konferensi, pameran, spa dan lain-lain (pasal 14), meskipun dalam pasal diatas kata
pariwisata halal tidak disebutkan secara eksplisit, namun apabila diamati kata
“berbagai macam kegiatan wisata” dalam definisi pariwisata tersebut mengindikasikan
dibolehkannya melakukan kegiatan pariwisata berdasarkan kepada prinsip-prinsip
syariah. Oleh Karena itu, diperkuat kembali dengan adanya fatwa DSN MUI
No.108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Destinasi wisata halal tidak bisa dispesifikan, hanya saja wisata halal ini
sebagaimana konsep dan karakteristiknya. Didalam kegiatan wisata halal ini harus
ada fasilitas yang menunjang kebutuhan wisatawan muslim seperti: menyediakan
makanan halal, fasilitas shalat, fasilitas di kamar mandi untuk berwudhu, arah kiblat di
kamar hotel, informasi waktu sholat, pelayanan saat bulan ramadhan, pencantuman
label tidak halal untuk mengetahui produk yang tidak bisa dikonsumsi oleh muslim,
dan fasilitas rekreasi yang memisahkan antara pria dan wanita. Bisa juga ditambahkan
interpretasi objek wisata yang dimasukan unsur nilai-nilai islam sebagai pengingat dan
renungan bagi muslim.
Sehingga pelaksanaan peraturan yang sudah ada dalam Fatwa DSN MUI
No.108 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan
Prinsip Syariah masih belum memadai karena kedudukan peraturan pariwisata halal
saat ini bukan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Oleh karena itu, diperlukan peraturan pariwisata halal sebagai
pedoman atau panduan bagi pengembangan pariwisata berstandar halal sehingga
dapat mengakselerasi pertumbuhan pariwisata halal di Indonesia. Dalam
pelaksanaannya masih banyak masyarakat awam yang belum memahami konsep
pariwisata halal. Sehingga perlu adanya sosialisasi tentang pariwisata halal kepada
masyarakat luas.

3. Tantangan dalam Penerapan Wisata Halal di Indonesia

Dalam Penerapan Halal Tourism, ada beberapa tantangan yang dihadapi,


diantaranya, kemajuan teknologi (Penggunaan media sosial, informasi online dan
transparan memodernisasi layanan perhotelan dan akomodasi} , pengembangan
ekonomi orang & organisasi, dan banyaknya gerai makan yang belum memiliki
sertifikasi halal, meski tempat tersebut memang halal. Penggunaan media sosial,
informasi online dan transparan memodernisasi layanan perhotelan dan akomodasi.

Tantangan industri halal Indonesia secara umum berasal dari eksternal dan
internal bangsa Indonesia. Tantangan Eksternal terdiri dari tiga tantangan, yakni
banyaknya negara pesaing, belum tersedianya keseragaman sertifikasi halal yang
disepakati secara global, dan ketidakkompakan negara-negara muslim dalam
menetapkan standar produk halal. Adapun tantangan yang berasal dari internal
bangsa Indonesia terdiri dari, kurangnya halal awareness pada masyarakat Indonesia,
adanya problematika dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, dan rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkompetisi.

Dalam pelaksanaannya pariwisata halal mengacu pada ketentuan-ketentuan


yang ada dalam Fatwa DSN-MUI. Mengenai penerapan sistem dalam konsep
pariwisata halal di Indonesia masih belum dipahami seutuhnya. Konsep pariwisata
halal tentu sangat berbeda dengan penerapan hukum syariah, yang selama ini
ditakutkan oleh beberapa kalangan di Indonesia. Isu intoleransi yang menyebar
banyak kesalahpahaman tentang wisata halal sama dengan wisata syariah, padahal
itu dua hal yang berbeda.

Selain tantangan tersebut juga terdapat kendala yang dihadapi masyarakat


Indonesia menuju pusat halal dunia. Pertama, peluang bisnis industri halal belum
disadari banyak pihak maupun regulator; Kedua, terbatasnya suplai bahan baku yang
memenuhi kriteria halal; Ketiga, masih terbatasnya pemahaman sejumlah produsen
yang disertai dengan belum memadainya infrastruktur; Keempat, perbedaan
standarisasi dan sertifikasi produk halal, dan Kelima, banyaknya produk impor yang
masuk ke Indonesia.

Tantangan lain dalam mengembangkan wisata halal salah satunya terkait


dengan pemasaran, karena pemasaran wisata halal bukan suatu yang mudah. Hal ini
dikarenakan perbedaan antara tuntutan wisatawan non-muslim dan wisatawan
muslim. Wisatawan non-muslim dapat memutuskan untuk tidak melakukan perjalanan
ke objek wisata tanpa adanya atribut tertentu (Battour et al. 2011; Battour dan Ismail,
2016). Sehingga salah satu tantangan wisata halal adalah bagaimana melayani
wisatawan non muslim dan memenuhi kebutuhan mereka tanpa berbenturan dengan
konsep wisata halal. Misalnya, beberapa hotel menyatakan bahwa mereka adalah
hotel syariah di dalam promosinya dan ini mungkin tidak menarik bagi wisatawan non-
muslim. Oleh karena itu, wisata halal dapat menjadi kendala dalam sektor industri
pariwisata. Namun juga dapat menjadi peluang bisnis untuk menggunakan kreativitas
dan fleksibilitas dalam melayani berbagai kebutuhan wisatawan muslim dan non-
muslim.

Pengamat Pariwisata, Ronald Rulindo, menjabarkan, tantangan dalam


pelaksanaan wisata halal adalah, pertama adalah masih sering terjadinya berbeda
pendapat soal apa itu wisata halal. Peningkatan pemahaman masyarakat tentang
keagamaan dan kehalalan termasuk wisata halal. Kedua, diperlukan adanya sertifikasi
yang memastikan suatu produk halal untuk memberikan jaminan. dalam hal ini
pemerintah telah perangkat peraturan yang mengatur tentang sertifikasi halal.
Sehingga wisatawan mancanegara mendapatkan labelisasi halal di destinasi yang
dikunjungi.

Ketiga, infrastruktur untuk mendukung industri pariwisata halal juga butuh


dukungan. Bukan hanya soal infrastruktur jalan, namun fasilitas-fasilitas mendasar
yang menunjang kebutuhan Muslim (seperti toilet, tempat sholat). Tantangan yang
terakhir, yakni soal pengemasan dan strategi Promosi wisata halal itu sendiri. Hal ini
dapat dilihat bagaimana Malaysia menyusun master plan wisata halal dan membentuk
Badan Promosi Wisata Halal, sehingga meningkatkan kunjungan wisatawan muslim

BAB IV KESIMPULAN
Dari beberapa hal yang sudah dibahas tersebut, kesimpulan yang dapat kita
ambil adalah sebagai berikut:
1. Penerapan wisata halal pada beberapa negara memiliki tujuan yang berbeda. Di
Indonesia dan Malaysia, wisata halal lebih diarahkan pada memberikan kepastian
hukum atas produk halal yang diharapkan oleh wisatawan baik yang berasal dari
luar negeri dan dalam negeri. Hal ini berbeda pada negara yang mayoritas
pendudukan non Muslim seperti Jepang, yang menganggap bahwa wisata halal
merupakan sebuah kesempatan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan atas
banyaknya kunjungan wisatawan muslim ke negaranya. Pengaturan pemasaran
destinasi halal yang terintegrasi menjadi kunci dalam mempromosikan wisata
halal.
2. Pemerintah Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan terkait dengan
pengembangan wisata halal, namun belum diakomodasi dengan implementasi
wisata halal secara terstruktur khususnya di destinasi wisata yang penduduknya
mayoritas non Muslim seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan
Papua. Pemerintah perlu melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah
daerah setempat agar wisata halal dapat diterapkan secara berkelanjutan
sekaligus menjadi keunggulan yang dapat menarik wisatawan luar negeri yang
berasal dari negara Muslim.
3. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan wisata
halal antara lain:
a. Penyamaan persepsi tentang wisata halal sehingga diterima semua
pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan industri)
b. Peningkatan sertifikasi produk halal pada berbagai industri, mulai dari
makanan (food and beverage), hotel (penginapan), dan produk-produk
lainnya.
c. Pembangunan infrastruktur halal seperti mushola, toilet yang memenuhi
standar syariah, dan lainnya sehingga memenuhi kebutuhan wisatawan.
d. Peningkatan strategi promosi melalui pembentukan badan promosi wisata
halal Indonesia. Badan ini dapat mengharmonisasikan ketersediaan
infrastruktur dan fasilitas sertifikasi halal di wilayah destinasi sehingga
mendorong pelaku industri wisata berupaya mengikuti standar halal yang
diterapkan.
Daftar Pustaka

Afdholul Maghfur, “Peran Politik Ekonomi Islam dalam Melaksanakan Globalisasi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA)” dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2 Desember
(Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2016), 47.

Adinugraha, H. H., Shulthoni, M., & Andrean, R. (2023). A Systematic Literature Review on
Halal Tourism Development in Indonesia.

Andriani, D., Khalikal, K. A., Aqmarina, L., Nurhayati, T., Permanasari, I. K., Binarwan, R., &
Anggraini, A. P. T. (2015). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah,(Syariah Tourism), 1-201.

Din, H. 1989. Islam and Tourism Patterns, Issues, and Options. Annals of Tourism
Research. 16: 542–563.

Hajiji, M. (2013). Relasi Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 2(3), 361-373.

Henderson, JC. 2003. Managing Tourism and Islam in Peninsular Malaysia. Tourism
Management. 24(4):447-456.

Jaelani, A. (2017). Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. International
Review of management and Marketing, 7(3), 25-34.

Makhasi, G. Y. M., & Rahimmadhi, M. T. Y. (2020). Ramai-ramai menolak wisata halal:


kontestasi politik identitas dalam perkembangan wisata halal di Indonesia. Jurnal
Sosiologi Reflektif, 14(2), 373-388.

Pranandari, R. P., Afifah, A. A. N., & Prihatiningtyas, D. PERKEMBANGAN PARIWISATA


HALAL DI INDONESIA.

Pulungan, J. S. (2018). Relasi Islam dan Negara: Studi Pemikiran Politik Islam dalam
Perspektif al-Qur’an. Intizar, 24(1), 185-202.

Rahmah, H., & Tapotubun, H. H. (2020). Narasi Industri Pariwisata Halal Di Negara Jepang
Dan Jerman. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 287-306.

Safitri, D. E., & Jatmika, S. STRATEGI JEPANG MENERAPKAN HALAL TOURISM UNTUK
MENARIK WISATAWAN MUSLIM ASIA TENGGARA (2013-2017).

Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata halal: perkembangan, peluang, dan
tantangan. Journal of Halal Product and Research (JHPR), 1(02).

Shafaei, F, dan Mohamed, B. 2015. Malaysia's Branding as an Islamic Tourism Hub: An


Assessment. GEOGRAFIA Online Malaysia Journal of Society and Space. 11(1): 97–
106.

Anda mungkin juga menyukai