Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Politik Ekonomi Islam
Anggota :
2023
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Politik ekonomi Islam merupakan suatu bidang holistik yang terpilih untuk
mengatasi berbagai masalah berikut menyajikan solusi terkait ekonomi umat. Politik
ekonomi Islam mendiskusikan masalah politik dan ekonomi. Ekonomi Islam tidak
dapat eksis tanpa politik dan demikian pula, politik tidaklah kuat tanpa ekonomi.
Diskusi mengenai prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik ekonomi dihubungkan
dengan politik, seperti prinsip-prinsip khilafah, keadilan, serta akuntabilitas. Demikian
pula, di dalam mendiskusikan ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi mau tidak mau
ditentukan oleh pemerintah. Politik ekonomi Islam bersifat lebih holistik dibandingkan
dengan ekonomi Islam di dalam menyediakan “obat” (untuk pemulihan) ekonomi
umat.
Pada saat yang sama kesadaran umat Islam tentang pentingnya penggunaan
produk yang halal semakin tinggi. Atmosfir atau nuansa keislaman tidak dapat
dilepaskan dari berbagai produk yang akan dijajakan di pasaran. Umat Islam semakin
selektif memakai dan mengkonsumsi sesuatu dengan secara ketat mengecek label
halal sebelum membeli. Hal ini terungkap ketika membeli makanan, umat islam
memeriksa kehalalan lebih dahulu baru kemudian memeriksa tanggal kadaluarsa. Hal
ini dipengaruhi oleh indikator penting yang menjadi pendukung adalah faktor
religiusitas (Setiawan dkk, 2019).
Wisata halal menjadi sektor yang paling menjanjikan di banyak negara saat ini,
termasuk Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Kementerian
Dalam Negeri yang dipublikasikan dalam Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki
17.504 pulau yang tersebar di 32 provinsi (sebelum pemekaran Kalimantan Utara dan
Sulawesi Barat) (Rahma, 2020). Kementerian pariwisata setidaknya telah
menetapkan 15 provinsi untuk fokus dalam pengembangan destinasi Halal Tourism
dan 13 provinsi yang sudah siap menjadi tujuan Halal Tourism (Ferdiansyah H.,
Endyana C., Rachmat H., 2020).
Halal Tourism merupakan salah satu sistem pariwisata yang dirancang untuk
memenuhi Syariah, sehingga sesuai dengan kebutuhan wisatawan Muslim. Halal
Tourism adalah wisata yang didasarkan pada gaya hidup wisatawan muslim pada saat
liburan. Selain itu, juga merupakan pariwisata yang rasional, fleksibel, sederhana, dan
seimbang. Hal ini bertujuan untuk memotivasi para wisatawan agar mendapatkan
kebahagiaan dan ridho Allah SWT.
Secara syariat, konsep perjalanan atau wisata memiliki dasar dalam Al Quran.
Allah SWT telah menjanjikan pahala bagi siapapun yang melakukan perjalanan
(keluar rumah) selama dilandasi niat hijrah karena-Nya. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Q.S. An-Nisa:100).
Wisata halal yang terus berkembang tidak hanya pada negara muslim atau
wilayah yang mayoritas berpenduduk muslim saja. Namun juga berkembang pada
wilayah berbagai negara yang menjadi destinasi umat islam, seperti Eropa, Jepang,
Korea Selatan dan Amerika Serikat. Wisata halal memfokuskan pada isu seperti
keterlibatan muslim, tempat, tujuan, produk, dimensi. Keberadaan wisata halal
menjadi bagian dari politik ekonomi islam, karena terkait dengan sikap dan tujuan
dalam agama Islam (Ala-Hamarneh, 2011; Hassan, 2007; Henderson,2010).
2. Rumusan Permasalahan
3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak antara
lain:
1. Politik Islam
Kajian politik ekonomi dalam Islam merupakan hasil pengembangan dari
hukum Islam dalam bidang kebijakan pengelolaan kekayaan negara (al-tasharruf).
Secara teknis politik ekonomi Islam lebih dikenal dengan sebutan siyasah maliyyah.
Istilah yang lain adalah tadakhul al-dawlah (intervensi negara). Negara
mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait
dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara lengkap. Negara dipandang ikut serta
dalam ekonomi untuk menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam nas sekaligus
membuat aturan-aturan yang belum ada dalam nash, sehingga tidak ada istilah
kekosongan hukum.
Politik Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Abdurahman al-Maliki (2001)
dalam bukunya, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al- Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal) adalah
jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan
papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat
tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. Politik Ekonomi Islam membedakan
Kebutuhan Pokok Individu dengan kebutuhan Pokok Masyarakat termasuk
mekanisme pemenuhannya.
Dalam konteks politik Hubungan antara negara dan Islam sangat dekat. Ketika
Nabi Muhammad menata kehidupan sosial, politik dan agama masyarakat Madinah
sebagai negara Islam pertama itu didasarkan pada suatu hukum tertulis The
Constitution of Medina (Piagam Madinah) yang sesuai dengan dasar-dasar umum
yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Relasi ini juga kita temui pada konteks
negara Indonesia dengan konstitusi Pancasila-nya, dimana pada Mukadimah UUD
1945 menunjukkan platform negara-bangsa (nation state)yang pluralistik dan dalam
batas-batas tertentu memiliki “kesamaan” dengan Piagam Madinah (Pulungan, 2018).
Penerapan sistem politik dan ekonomi dalam syariat Islam diwujudkan pada
wisata halal. beberapa negara yang mayoritas penduduknya non Muslim telah
memiliki perhatian terhadap wisata halal. Hal ini dapat terjadi karena wisata halal
bukan dipandang sebagai bagian dari kebutuhan negara untuk menerapkan syariat
Islam, namun lebih ditekankan kepada cara berpikir liberalis untuk mendapatkan
keuntungan dalam menerapkan wisata halal. Indonesia sebagai negara dengan
populasi muslim terbesar seharusnya mampu mengembangkan industri wisata halal
yang ramah kepada turis, pemodal, dan masyarakat (Rahmah, 2020).
2. Wisata Halal
Wisata halal dalam pengertian umum disamakan dengan beberapa istilah
seperti Syariah tourism, halal travel, Islamic tourism, halal lifestyle. Wisata halal
merupakan pengembangan produk dari dari wisata konvensional. Jadi wisata Islam
dapat diartikan sebagai kegiatan perjalanan muslim yang bergerak dari suatu tempat
ke tempat lain atau ketika berada di satu tempat di luar tempat tinggal asal dan jangka
waktu kurang dari satu tahun dan untuk terlibat dalam kegiatan dengan motivasi islam.
Kegiatan wisata dalam perspektif Islam pastinya harus sesuai dengan hukum islam
yang berlaku yaitu kehalalan.
Wisata halal dapat didefinisikan sebagai berbagai kegiatan wisata yang
didukung dengan berbagai fasilitas dan layanan yang diberikan oleh masyarakat,
dunia usaha, dan pemerintah yang sesuai dengan syariah (Ratnasari, 2020). Oleh
karena itu, Halal Tourism dapat didefinisikan sebagai objek atau tindakan wisata apa
pun yang diperbolehkan menurut ajaran Islam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
Muslim dan mencapai tujuan wisata yang ramah Muslim. Definisi ini termasuk
destinasi non-Muslim yang membidik wisatawan Muslim untuk menjadi Muslim friendly
dengan memenuhi kebutuhan mereka (Battour et al., 2021).
Definisi wisata halal lebih luas dari wisata religi yaitu wisata yang didasarkan
pada nilai – nilai syariah. Dalam World Tourism Organization (WTO), konsumen
wisata halal bukan hanya umat muslim tetapi juga non muslim yang menginginkan
kearifan lokal (Sofyan, 2012). Secara khusus, wisata halal merupakan kegiatan jual
beli atau bisnis. Dalam Islam istilah halal merujuk pada semua yang diperintahkan
dalam ajaran agama dan menjadi tiang landasan bagi perilaku dan kegiatan umat
Islam (Diyanat Isleri Baskanling, 2011).
1. Allah SWT memberitahu bahwa manusia biasa bepergian pada musim dingin dan
musim panas. Allah SWT berfirman: “(Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada
musim dingin dan musim panas”. (Q.S. Al-Quraysh:2)
2. Allah memerintahkan umat-Nya untuk merenung atas apa yang telah diciptakan-
Nya. Allah SWT berfirman : “Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (Q.S. Al-Ankabut:20)
3. Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk memperhatikan keadaan tempat
yang tengah disinggahinya sebagai bentuk pelajaran. Allah SWT berfirman :
“Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (Q.S. Al-Anam:11)
4. Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk berjalan di muka bumi ini seraya
merenung tentang keadaan orang-orang terdahulu. Allah SWT berfirman: “Maka
apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka
dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah
telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima
(akibat-akibat) seperti itu”. (Q.S. Muhammad:10)
5. Allah SWT tidak hanya memberikan berkat kepada negeri-negeri yang bisa umat-
Nya jadikan tempat wisata, tetapi juga memberikan kemudahan dengan
menjadikan tempat-tempat wisata itu strategis letaknya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan
berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam hari dan siang hari dengan dengan aman”. (Q.S. Saba:18)
Penelitian ini akan membandingkan tiga negara yang menerapkan wisata halal,
yaitu Indonesia, Malaysia, dan Jepang. Pemilihan ketiga negara tersebut didasarkan
pada ketersediaan referensi ilmiah yang lebih lengkap dibandingkan negara-negara
lainnya. Sumber data penelitian berasal dari studi literatur pada berbagai jurnal baik
nasional maupun internasional. Literatur yang dikumpulkan mencakup artikel jurnal
yang membahas tentang penerapan wisata halal pada tiga negara, yaitu: Indonesia,
Malaysia, dan Jepang. Artikel yang dikumpulkan berasal dari beberapa penerbit
dengan tahun penerbitan kurun waktu 2018 sd. 2023.
A. Indonesia
B. Malaysia
Malaysia memiliki rencana “The Halal Master Plan” dengan target selama 13
tahun yang mencakup tiga fase; pertama (2008-2010) Malaysia dikembangkan
sebagai pusat dunia dalam hal integritas halal dan menyiapkan pertumbuhan industri.
Kedua (2011-2015) Malaysia dijadikan sebagai salah satu lokasi yang disukai untuk
bisnis halal, dan ketiga (2016-2020) Malaysia akan memperluas jejak geografis
perusahaan halal yang tumbuh di dalam negeri. Pada tahun 2008, Malaysia telah
tercatat sebagai salah satu negara yang terkenal di bidang wisata halal (Shafaei dan
Mohamed, 2015).
Tahun 2021 Malaysia menjadi the most halal tourism destination berdasarkan
The Global Muslim Travel Index (GMTI) mengalahkan Indonesia yang berada di
peringkat ke-2. Malaysia berhasil melakukan komunikasi Destination Marketing
melalui meningkatkan kesadaran di antara para pemangku kepentingan di destinasi
dalam rangka memastikan infrastruktur yang dibutuhkan dikembangkan dan
pengunjung Muslim diterima di destinasi. Kriteria kecakapan komunikasi didasarkan
pada kemahiran bahasa di destinasi. Terdapat 10 bahasa yang biasanya digunakan
oleh wisatawan muslim (Malaysia, Indonesia, Tunisia, Singapore, Jordan, UEA, Mesir,
Pakistan, Lebanon, dan Uzbekistan) dan Malaysia dianggap bisa menerima dan
memahami para wisatawan.
Meski demikian, terdapat beberapa hal yang belum sesuai dengan konsep
wisata halal. Diantaranya hal yang belum sesuai dengan konsep syariah antara lain
adanya daerah bebas untuk perjudian, alkohol masih mudah ditemukan di hotel,
restoran, dan tempat umum, salon dan spa yang tidak memisahkan antara laki-laki
dan perempuan, lokasi kamar yang tidak memisahkan antara pasangan yang telah
menikah dan belum menikah, hiburan yang menampilkan tayangan tidak syar’i,
website yang lebih menampilkan kebudayaan dan adat serta fasilitas belanja dan
hiburan yang tidak terkait agama (Henderson, 2003; Shafaei dan Mohamed, 2015).
Hal ini dikarenakan di Malaysia yang merupakan negara multikultural yang
terdiri dari tiga budaya besar yaitu Melayu, Cina, dan India. Meski Agama Islam
menjadi agama resmi sedangkan agama lain seperti Budha, Hindu, dan Kristen tetap
disambut dengan baik oleh penduduknya. Sehingga ketika Malaysia menerapkan
suatu peraturan yang sesuai hukum Islam dapat diterima oleh warga muslim maupun
non muslim dengan baik (Din, 1989).
C. Jepang
Jepang adalah salah satu destinasi wisata yang menarik wisatawan Muslim
dari Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain di Timur Tengah. Tingginya jumlah
wisatawan Muslim membuat Jepang menjadi sangat gencar mengembangkan fasilitas
ramah Muslim untuk meningkatkan kunjungan wisatawan asing khususnya yang
berasal dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Jepang
adalah negara non-Muslim dengan penduduk mayoritas beragama Budha dan Shinto
sehingga pemahaman masyarakatnya terhadap konsep halal dan wisata halal
tentunya sangat terbatas.
Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia, bahkan di dunia. Wisata di
Jepang menawarkan perpaduan antara kemajuan teknologi dengan keunikan budaya
tradisional. Produk-produk elektronik canggih seperti kamera atau komputer dapat
dibeli wisatawan dengan harga yang relatif murah. Sistem transportasi yang maju dan
menjangkau seluruh wilayahnya juga membuat wisatawan mudah untuk berpindah
dari satu kota ke kota lain. Di sisi lain, wisatawan dapat melihat arsitektur bangunan
khas Jepang dan pertunjukan budaya atau seni tradisional, terutama di kota
bersejarah seperti Kyoto.
Kedua, kota Kansai yang populer dengan wisata perairan, alam, hingga
museum, di daerah Kanto tidak perlu khawatir untuk urusan penginapan, tempat
ibadah, restoran, hingga pusat perbelanjaan. Restoran yang menyajikan makanan
halal tanpa babi di antaranya Halal Kobe Beef Nagomi, ALI's Kitchen Shinsaibashi,
ICHIRAN Namba Midosuji, dan lainnya. Sementara pusat perbelanjaan yang
menyediakan tempat salat yaitu EXPO CITY, Ninja-Do, Mabruk, dan Rinku Premium
Outlets. Ada juga penginapan yang menyediakan menu sajian halal di Kansai, di
antaranya Hotel Granvia Osaka, Kintetsu Universal City, dan Minamitei Hot Spring
Resort.
Ketiga, kota Chiba yang merupakan kota paling ramah Muslim terbesar. Kota
Chiba memiliki banyak restoran halal yang bisa dikunjungi seperti Sai-Sau do Ichihara,
Shokujin di Makuhari, dan Takotako di Chiba City. Hotel pilihan di Chiba bagi Muslim
di antaranya Mapple In di Makuhari, Ichihara Marine, Port Plaza di Chiba City.
Sedangkan area pusat perbelanjaan di Chiba dengan fasilitas tempat salat di
antaranya AEON Mall Makuhari New City
Terakhir, kota Tokyo, merupakan kota yang ramah karena wisatawan Muslim
tidak perlu khawatir tidak menemukan resto atau tempat ibadah karena lokasinya
tersebar di banyak titik. Beberapa restoran khas Jepang tanpa babi bisa ke
Hanasakaji-San atau sajian Timur Tengah di Aladdin, Minato City. Sedangkan
penginapan yang ramah Muslim diantaranya Sakura Hotel Hatagaya, Sheraton
Miyako Tokyo, Shinjuku Price Hotel, dan Agora Place Asakusa.
Meskipun banyak kota di Jepang telah memiliki wisata halal, masih terdapat
beberapa masalah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Jepang, yaitu:
Tantangan industri halal Indonesia secara umum berasal dari eksternal dan
internal bangsa Indonesia. Tantangan Eksternal terdiri dari tiga tantangan, yakni
banyaknya negara pesaing, belum tersedianya keseragaman sertifikasi halal yang
disepakati secara global, dan ketidakkompakan negara-negara muslim dalam
menetapkan standar produk halal. Adapun tantangan yang berasal dari internal
bangsa Indonesia terdiri dari, kurangnya halal awareness pada masyarakat Indonesia,
adanya problematika dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, dan rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk berkompetisi.
BAB IV KESIMPULAN
Dari beberapa hal yang sudah dibahas tersebut, kesimpulan yang dapat kita
ambil adalah sebagai berikut:
1. Penerapan wisata halal pada beberapa negara memiliki tujuan yang berbeda. Di
Indonesia dan Malaysia, wisata halal lebih diarahkan pada memberikan kepastian
hukum atas produk halal yang diharapkan oleh wisatawan baik yang berasal dari
luar negeri dan dalam negeri. Hal ini berbeda pada negara yang mayoritas
pendudukan non Muslim seperti Jepang, yang menganggap bahwa wisata halal
merupakan sebuah kesempatan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan atas
banyaknya kunjungan wisatawan muslim ke negaranya. Pengaturan pemasaran
destinasi halal yang terintegrasi menjadi kunci dalam mempromosikan wisata
halal.
2. Pemerintah Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan terkait dengan
pengembangan wisata halal, namun belum diakomodasi dengan implementasi
wisata halal secara terstruktur khususnya di destinasi wisata yang penduduknya
mayoritas non Muslim seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan
Papua. Pemerintah perlu melakukan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah
daerah setempat agar wisata halal dapat diterapkan secara berkelanjutan
sekaligus menjadi keunggulan yang dapat menarik wisatawan luar negeri yang
berasal dari negara Muslim.
3. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan wisata
halal antara lain:
a. Penyamaan persepsi tentang wisata halal sehingga diterima semua
pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan industri)
b. Peningkatan sertifikasi produk halal pada berbagai industri, mulai dari
makanan (food and beverage), hotel (penginapan), dan produk-produk
lainnya.
c. Pembangunan infrastruktur halal seperti mushola, toilet yang memenuhi
standar syariah, dan lainnya sehingga memenuhi kebutuhan wisatawan.
d. Peningkatan strategi promosi melalui pembentukan badan promosi wisata
halal Indonesia. Badan ini dapat mengharmonisasikan ketersediaan
infrastruktur dan fasilitas sertifikasi halal di wilayah destinasi sehingga
mendorong pelaku industri wisata berupaya mengikuti standar halal yang
diterapkan.
Daftar Pustaka
Afdholul Maghfur, “Peran Politik Ekonomi Islam dalam Melaksanakan Globalisasi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA)” dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2 Desember
(Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2016), 47.
Adinugraha, H. H., Shulthoni, M., & Andrean, R. (2023). A Systematic Literature Review on
Halal Tourism Development in Indonesia.
Andriani, D., Khalikal, K. A., Aqmarina, L., Nurhayati, T., Permanasari, I. K., Binarwan, R., &
Anggraini, A. P. T. (2015). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah.
Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah,(Syariah Tourism), 1-201.
Din, H. 1989. Islam and Tourism Patterns, Issues, and Options. Annals of Tourism
Research. 16: 542–563.
Hajiji, M. (2013). Relasi Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechts
Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 2(3), 361-373.
Henderson, JC. 2003. Managing Tourism and Islam in Peninsular Malaysia. Tourism
Management. 24(4):447-456.
Jaelani, A. (2017). Halal tourism industry in Indonesia: Potential and prospects. International
Review of management and Marketing, 7(3), 25-34.
Pulungan, J. S. (2018). Relasi Islam dan Negara: Studi Pemikiran Politik Islam dalam
Perspektif al-Qur’an. Intizar, 24(1), 185-202.
Rahmah, H., & Tapotubun, H. H. (2020). Narasi Industri Pariwisata Halal Di Negara Jepang
Dan Jerman. Jurnal Sosiologi Reflektif, 14(2), 287-306.
Safitri, D. E., & Jatmika, S. STRATEGI JEPANG MENERAPKAN HALAL TOURISM UNTUK
MENARIK WISATAWAN MUSLIM ASIA TENGGARA (2013-2017).
Satriana, E. D., & Faridah, H. D. (2018). Wisata halal: perkembangan, peluang, dan
tantangan. Journal of Halal Product and Research (JHPR), 1(02).