Oleh:
Naurah Rahadatul Aisy
NIM. 11170110000047
Dosen Pembimbing:
Abdul Ghofur, S.Ag., M.A.
NIP. 196812081997031003
i
Abstract
Naurah Rahadatul Aisy (NIM. 11170110000047). Application of the Tahfidz
Al-Qur'an Learning Method for Blind Students at the Raudlatul Makfufin
Islamic Boarding School.
This study aims to test the results of the tikrar method in learning tahfidz Al-
Qur'an for blind students at the Raudlatul Makfufin Islamic Boarding School.
The type of research used is descriptive qualitative research with data sources,
namely primary data sources and secondary data sources. The data collection uses
data triangulation techniques and then the data obtained is checked for validity
and reliability by triangulation. Data analysis was also carried out in three stages,
namely data reduction, data presentation, and conclusion verification.
The results of this study indicate that the application of the Tikrar method in
learning Tahfidz Al-Qur'an for blind students at the Raudlatul Makfufin Islamic
Boarding School has gone well and is in accordance with the tikrar method, both
in terms of strategy and process of implementation. Although there are several
internal and external obstacles to students, they do not hinder the process of
applying the Tikrar method in learning Tahfidz Al-Qur'an at the Raudlatul
Makfufin Islamic Boarding School, because every obstacle has a solution in it.
ii
Kata Pengantar
Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan segala puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahu wa ta’ala, yang telah melimpahkan beribu nikmat, taufik, dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan
Metode Tikrar pada Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an bagi siswa Tunanetra
di Pesantren Raudlatul Makfufin” ini dengan semaksimal mungkin. Sholawat
serta salam tak lupa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa dan
membimbing kita dari jalan kegelepan menuju jalan terang benderang.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari
kesalahan dan jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun sehingga nantinya dapat berguna baik bagi
penulis maupun bagi pembaca pada umumnya.
iii
meluangkan waktu, memberikan tenaga dan fikirannya untuk
membimbing dari awal perkuliahan hingga akhir masa perkuliahan.
7. Seluruh Dosen Pengajar Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis, semoga senantiasa diberi kesehatan
dan selalu dalam lindungan Allah SWT serta ilmu yang telah diberikan
menjadi manfaat untuk penulis.
8. Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Ustadz dan Ustadzah, serta para
Santri di Pesantren Raudlatul Makfufin, yang telah memberikan waktunya
kepada penulis untuk bergabung dalam kegiatan pembelajaran Tahfidz Al-
Qur’an.
9. Almarhumah Ibu, Bunda, Ayah yang selalu mendo’akan, mendukung,
memberi kasih sayang yang sangat luar biasa, memberi motivasi serta
selalu memberi bantuan baik moril maupun materil. Karena do’a dan
dukungan mereka saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Adik-adikku yang tercinta dan tersayang yaitu Farras Fajria Rimadhani,
Muhammad Aufa Musyaffa, dan Ahmad Haziq Mustafid yang selalu
menyemangati kakaknya kuliah hingga selalu mendo’akan kesuksesan
kakaknya.
11. Keluarga besar dari pihak Ayahku dan Bundaku, yang selalu mendo’akan
serta memberikan semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Ahmad Rafi Al Hazmi yang selalu meluangkan waktunya untuk
membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Guru-guruku sekolahku dari TQ Bina Insaniyah, SDN Pagedangan 1,
SMPN 1 Pagedangan, SMAN 22 Kab. Tangerang dan guru-guru ngajiku
di rumah yang mengajari aku mulai dari alif -ba- ta hingga aku bisa
mengaji dengan lancar dan berkat keberkahan dari guru-gurulah aku bisa
menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Keluarga besar UKM HIQMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan banyak pengalaman berorganisasi dalam perjalanan saya
mencari ilmu di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
15. Sahabat-sahabatku selama di Kampus yaitu Maulidinia, Qonita, Elok,
Mahdiyah, Eka, Atika, dan Feby serta sahabatku yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu. Terima kasih selalu mendo’akan dan mensupport
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
16. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Agama Islam Tahun 2017
khususnya PAI B yang telah menemani perjalanan perkuliahan saya dari
awal hingga saat ini. Terima kasih untuk semua kisah dan pengalaman
yang kita lalui bersama-sama.
17. Seluruh pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun tidak
mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis kepada pihak yang turut
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur penulis kepada seluruh
pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Semoga
Allah membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Demikianlah skripsi ini dibuat, penulis sudah berusaha semaksimal
mungkin untuk meminimalisir kekurangan. Harapan penulis semoga
skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca.
v
Daftar Isi
Abstrak .................................................................................................................... i
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... vi
Daftar Tabel.......................................................................................................... ix
Daftar Gambar ...................................................................................................... x
Daftar Lampiran .................................................................................................. xi
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
vi
1. Pengertian Metode Tikrar ....................................................................... 23
2. Tingkat Menghafal dengan Tikrar .......................................................... 25
3. Persiapan Menghafal dengan Metode Tikrar ......................................... 26
4. Strategi Menghafal Al-Qur’an dengan Metode Tikrar ........................... 27
5. Langkah-langkah Menghafal Al-Qur’an dengan Metode Tikrar ........... 29
e. Target Hafalan Metode Tikrar ................................................................ 30
f. Kekeliruan dan Penyebab ketika Tikrar ................................................. 30
g. Faktor Pendukung dan Kendala Menghafal Al-Qur’an ......................... 32
5. Solusi mengatasi hambatan dalam menghafal Al-Qur’an ...................... 37
C. Tunanetra ................................................................................................. 37
BAB IV ................................................................................................................. 63
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................. 63
A. Latar Penelitian ....................................................................................... 63
vii
BAB V................................................................................................................... 80
Simpulan, Implikasi, Dan Saran................................................................. 84
A Kesimpulan .............................................................................................. 84
B Saran ......................................................................................................... 85
viii
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO
Tabel 3.1 Kisi-kisi Penelitian
Tabel 4.1 Data Pendidik di Pesantren Raudlatul Makfufin
Tabel 4.2 Jadwal Aktivitas Santri
Tabel 4.3 Target Hafalan di Pesantren Raudlatul Makfufin
Tabel 4.4 Hasil Penilaian hafalan sebelum menggunakan metode tikrar
Tabel 4.5 Progres Penilaian hafalan setelah menggunakan metode tikrar
Tabel 4.6 Panduan Penilaian Tahfidz di Pesantren Raudlatul Makfufin
ix
Daftar Gambar
Gambar 4.1 Suasana Muroja’ah
Gambar 4.2 Suasana Hafalan
x
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Hasil Wawancara
Lampiran 2 Hasil Observasi
Lampiran 3 Huruf Arab dan Latin Braille
Lampiran 4 Laporan Hasil Belajar Santri
Lampiran 5 Dokumentasi Wawancara
Lampiran 6 Kegiatan Asrama
Lampiran 7 Daftar Guru dan Santri di Pesantren Raudlatul Makfufin
Lampiran 8 Struktur Kepengurusan
Lampiran 9 Kajian Rutin di Pesantren Raudlatul Makfufin
Lampiran 10 Sarana dan Prasarana
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai kesetaraan dengan warga
negara lainnya termasuk hak pendidikan. Kesetaraan hak mereka dengan warga
negara lain ditegaskan dalam Pasal 31 UndangUndang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa “Tiaptiap warga negara berhak mendapat pengajaran”.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga
mengatur secara khusus perlindungan terhadap anak berkebutuhan khusus.
Pasal 8 ayat 1 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa “Warga negara yang
memiliki kelainan fisik atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa”
Pasal 15 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa Jenis pendidikan bagi Anak
berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal 32 ayat 1 UU No.
20/2003 memberikan batasan bahwa “Pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.1
Anak Berkebutuhan Khusus dianggap berbeda dengan anak normal. Ia
dianggap sosok yag tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani.
Pandangan ini tidak benar dan perlu diluruskan. Karena, setiap anak
mempunyai kekurangan, namun sekaligus mempunyai kelebihan. Oleh sebab
itu, dalam memandang anak yang berkebutuhan khusus, harus melihat dari segi
kemampuan sekaligus ketidakmampuannya. Anak berkebutuhan khusus
memerlukan perhatian, baik dalam bentuk perhatian kasih sayang, pendidikan
maupun dalam berinteraksi sosial bukan untuk dikasihani atau diasingkan.
Dengan sikap yang positif dan benar terhadap anak yang berkebutuhan khusus
dapat mengembangkan potensi yang dalam dirinya secara maksimal dan
1
Triyanto dan Desty Ratna Permatasari, Pemenuhan Hak Anak Berkebutuhan Khusus Di
Sekolah Inklusi, Vol. 25, No. 2, 2016, h. 179.
1
optimal.2 Sayangnya, tidak semua pihak-pihak tersebut menyadari bahwa
penerimaan dari mereka akan berpengaruh terhadap kondisi psikis anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2014 kembali
mendapat laporan tentang kasus dugaan kekerasan terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) berusia 14 tahun hingga menimbulkan luka fisik,
yang telah dilakukan oleh pihak sekolah.3
Pendidikan sangat penting bagi perkembangan bangsa dan kehidupan
manusia, salah satu pendidikan yang dibutuhkan yaitu pendidikan keagamaan.
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mengajarkan tentang
agama supaya memiliki bekal hidup untuk dunia maupun di akhirat.
Pendidikan keagamaan yang diperoleh bukan dari sekolah saja, namun di luar
sekolah juga bisa didapatkan salah satunya di Pesantren.4
Dalam dunia pendidikan, masih kurangnya keberpihakan kepada peserta
didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan
sosial, ataupun kendala geografis. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan
(Dapodik) tahun 2018, sebaran siswa penyandang disabilitas di Indonesia
terdapat 993.000 siswa. Ragam disabilitas siswa terdiri dari penglihatan,
pendengaran, motorik halus, motorik kasar, berbicara, intelektua, kesulitan
belajar spesifik, perhatian atau perilaku, dan emosi. Pertumbuhan partisipasi
siswa penyandang disabilitas di sekolah tahun 2024 ditargetkan mencapai
49%.5
Dalam hal ini memang terdapat kebijakan dan program dari Kemendiknas
yang berupa pengembangan sekolah inklusi, yakni menggabungkan anak
normal dengan anak yang berkebutuhan khusus, seperti cacat fisik, gangguan
2
Faiqatul Husna, Nur Rohim Yunus dan Andri Gunawan, Hak Mendapatkan Pendidikan Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Dimensi Politik Hukum Pendidikan, Vol. 6 No. 2, 2019, h.
213.
3
Triyanto dan Desty Ratna Permatasari, op.cit., h. 176.
4
Hendriyenti dalam Mesya Antama Putri dan Jon Efendi, Pelaksanaan Tahfizd Al-Qur’an Bagi
Anak Tunanetra Di Sekolah Berasrama Di SLB A Payakumbuh, Vol. 6, No. I, 2018, h. 314.
5
Intan Indriaswarti dan Ratih Anbarini, Ayo, Dukung Percepatan Pendataan Siswa
Penyandang Disabilitas di Sekolah Inklusif,
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/11/ayo-dukung-percepatan-pendataan-siswa-
penyandang-disabilitas-di-sekolah-inklusif, diaskses pada 23 November 2020, 2020)
tumbuh kembang dan hiperaktif. Namun demikian jumlah sekolah inklusi
tersebut masih sangat terbatas, belum banyak diketahui masyarakat, dan
kemampuan serta manajemen sekolah mengelola sekolah inklusif masih sangat
minim.6
Dalam dunia pendidikan, evaluasi pembelajaran memiliki peranan penting
dalam menentukan sukses atau tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk itu,
evaluasi pembelajaran perlu dilaksanakan secara seksama agar dapat
memberikan gambaran ideal tentang perkembangan masing-masing individu
peserta didik. Namun begitu, kondisi peserta didik yang berbeda-beda dilihat
dari segi latar-belakang fisik, mental, sensorik, dan motorik membuat media
dan bentuk evaluasi yang dibutuhkan berbeda antar satu peserta didik dengan
lainnya. Kondisi ini menuntut adanya kesadaran dari pendidik untuk dapat
melakukan berbagai modifikasi inovatif terkait dengan bentuk dan media
evaluasi pembelajaran untuk menjawab permasalahan di atas.7
Dalam proses pembelajaran seharusnya seorang guru melakukan
penanganan terhadap perbedaan kemampuan siswa. Penanganan terhadap
perbedaan kemampuan siswa ini dapat dilakukan dengan menggunakan
pembelajaran yang berbasis perbedaan individual yang lebih menekankan
pengakuan terhadap keunikan setiap siswa sehingga memungkinkan
pencapaian hasil belajar yang optimal, meningkatkan efisiensi belajar, dan
minat belajar siswa terhadap mata pelajaran. Melalui pendekatan secara pribadi
ini diharapkan guru akan secara langsung mengenal dan memahami siswanya
secara lebih mendalam. Dengan demikian, siswa dapat memperoleh nilai sesuai
dengan standar ketuntasan yang telah ditentukan dalam proses pembelajaran.
Mengingat adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat pada diri masing-
masing individual, maka menyamaratakan semua siswa ketika guru mengajar
pada dasarnya kurang sesuai dengan prinsip individualitas. Setidaknya guru
harus menyadari bahwa setiap individu memiliki perbedaan dan perbedaan
6
Peraturan Menteri Negara, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia, Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak, h. 23.
7
Hendro Sugiyono Wibowo, Metode Evaluasi Pembelajaran Inklusif Bagi Peserta Didik
Difabel Netra, Vol. 2, No. 1, 2015, h. 87-88.
tersebut harus diperhatikan oleh guru sehingga ketika proses belajar mengajar
berlangsung siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran. Dengan demikian,
guru seharusnya menyadari ketika ada siswa yang cepat menerima pelajaran
yang diberikan atau sebaliknya ada yang lemah dan lamban dalam menerima
pelajaran sehingga guru dapat melakukan suatu upaya untuk mengetahui
bagaimana cara menangani perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa saat
proses belajar mengajar berlangsung.8
Pendidikan keagamaan yang diajarkan salah satunya adalah belajar Al-
Qur’an. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan sumber utama umat
islam yang menjadi pedoman maupun petunjuk bagi setiap umat muslim. Al-
Qur’an bukan hanya sekedar memuat petunjuk manusia dengan Allah namun
juga bagi manusia sesama manusia, maupun manusia dengan alam sekitar.
Untuk memahami keagamaan ini secara sempurna salah satunya yaitu dengan
memahami isi kandungan dalam al-qur’an dan mengamalkan di dalam
kehidupan sehari-hari.9
Menghafal Al-Qur’an merupakan tugas dan tanggung jawab yang sangat
mulia, setiap orang pasti bisa menghafal, namun tidak semua orang mampu
menghafal dengan baik. Masalah yang dihadapi oleh orang yang sedang
menghafal Al-Qur’an memang banyak dan bermacam-macam. Mulai dari
minat, lingkungan, pembagian waktu menghafal sampai pada metode
menghafal itu sendiri. Menghafal Al-Qur’an tidak hanya membutuhkan niat
yang baik diawal saja, namun juga membutuhkan komitmen yang kuat untuk
menjaga niat menghafal sampai akhirnya dapat menyelesaikan hafalan Al-
Qur’an. Maka dari itu, para Hafiz harus menjaga diri dan perilaku serta
mematuhi perintah agama dan menjauhi larangannya. Tidak terkecuali juga
dengan orang-orang yang memiliki keterbatasan mental ataupun fisik seperti
Tunanetra. Namun, itu semua tidak menjadi penghalang untuk menghafal Al-
Qur’an, karena banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghafal Al-Qur’an.
8
Lin Aprilia, Sutaryadi, dan Tutik Susilowati, Penanganan Perbedaan Individual Dalam
Proses Pembelajaran Stenografi, Vol 2, No 2, 2013, h. 3.
9
Mesya Antama Putri dan Jon Efendi, op.cit., h. 314.
Yayasan Raudlatul Makfufin adalah salah satu yayasan khusus bagi
penyandang disabilitas tunanetra yang terletak di Tangerang selatan, yayasan
ini didirikan pada tangal 26 November 1983 oleh R.M Halim Sholeh. Dalam
Yayasan tersebut terdapat beberapa program kegiatan diantaranya Pesantren
Tunanetra Raudlatul Makfufin, Sekolah Khusus Islam Terpadu Raudlatul
Makfufin, Kursus Singkat Keterampilan Dasar, Majelis Ta’lim Tunanetra
Raudlatul Makfufin dan Percetakan Braille Raudlatul Makfufin. Dalam
penelitian ini, penulis fokus kepada Program Kegiatan Pesantren Tunanetra
Raudlatul Makfufin yang sudah ada sejak tahun 2016, di dalam Pesantren
tersebut terdapat beberapa program yaitu pembinaan aqidah/tauhid Islam,
akhlak kepribadian, fiqih mengacu pada Al-Qur’an, Hadist dan kitab-kitab
klasik para ulama ahlu sunnah wal jama’ah, pembinaan berbagai keterampilan
dakwah yang diperlukan masyarakat muslim, serta pembinaan tahsin dan
tahfidzul Qur’an 30 juz. Dengan kondisi peserta didik yang seluruhnya adalah
penyandang disabilitas tunanetra, tentunya perlu perhatian khusus dalam proses
pembelajaran, khususnya pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an. Pesantren
Raudlatul Makfufin memiliki 3 Ustadz yang ada di bidang Tahfidz yaitu
Ustadz Ali Hudaibi sebagai penanggung jawab hafalan, Ustadz Nasrul Ahmadi
dan Ustadz Ramdani sebagai penanggung jawab murojaah. Santri yang ada di
Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin ada 23 orang.10 Pesantren tersebut
terletak di daerah Kelurahan Buaran, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang
Selatan. Salah satu program tersebut adalah tahfidzul Qur’an 30 Juz. Dalam
pelaksanaannya terdapat santri yang belum bisa membaca Al-Qur’an sehingga
diharuskan belajar membaca Iqro dan Al-Qur’an terlebih dahulu dengan Al-
Qur’an Braille, namun bagi santri yang sudah bisa membaca Al-Qur’an
diwajibkan untuk menghafal Al-Qur’an. Santri yang sudah menghafal
mempunyai tingkatan hafalan yang berbeda-beda.11 Kemudian dalam
10
Hasil Wawancara Ketua Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin, Bapak
Abdurohman, pada tanggal 23 November 2020.
11
Hasil Wawancara Ketua Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin, Bapak
Abdurrohman, pada tanggal 10 November 2020.
melaksanakan hafalan, belum ada rujukan target hafalan, untuk sementara
target hafalan per semester adalah 2 juz.12
Berdasarkan uraian-uraian dan hasil wawancara yang telah dipaparkan,
penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian terkait Al-Qur’an dari segi
Tahfidzul Qur’an khususnya pada peserta didik Tunanetra di Pesantren
Raudlatul Makfufin yang terletak di daerah Kota Tangerang Selatan
merupakan salah satu Pesantren Khusus Tunanetra yang mempunyai program
kegiatan diantaranya adalah Pembinaan aqidah/tauhid Islam, akhlak
kepribadian, fiqh mengacu pada Al-Qur’an, Hadist dan kitab-kitab klasik para
ulama ahlu sunnah wal jama’ah, kemudian terdapat pembinaan Tahsin dan
Tahfidzul Qur’an 30 Juz. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Tikrar dalam
Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an bagi Siswa Tunanetra di Pesantren
Raudlatul Makfufin”
B. Identifikasi Masalah
1. Dibutuhkan metode khusus bagi siswa Tunanetra khususnya dalam
pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an.
2. Rasa malas yang sering dihadapi santri dalam menghafal Al-Qur’an.
3. Jumlah santri yang banyak tidak sebanding dengan jumlah pembimbing.
4. Menghafal Al-Qur’an membutuhkan fokus yang tinggi, sehingga perlunya
lingkungan yang kondusif.
5. Santri mengalami kesulitan dalam menghafal Al-Qur’an ketika menemukan
ayat yang panjang.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, penulis akan
membatasi hal yang berkaitan dengan masalah yang telah disebutkan yaitu
Penerapan metode Tikrar dalam menghafal Al-Qur’an bagi siswa Tunanetra di
Pesantren Raudlatul Makfufin.
12
Hasil Wawancara Ketua Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin, Bapak
Abdurrohman, pada tanggal 23 November 2020.
Penelitian ini dilaksanakan di Pesantren Raudlatul Makfufin, terutama
ditujukan kepada para santri tunanetra yang menjadi peserta tahfidz Al-
Qur’an. Masalah utama yang diteliti adalah metode tikrar yang diterapkan
dalam mengembangkan tahfidz Al-Qur’an.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah disebutkan,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana sistem penerapan metode Tahfidz Al-Qur’an di Pesantren
Raudlatul Makfufin?
2. Apa saja faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pembelajaran
Tahfidz dengan menggunakan metode Tikrar bagi peserta didik di
Pesantren Raudlatul Makfufinr?
3. Apakah metode tikrar berhasil mengembangkan hafalan Al-Qur’an bagi
peserta didik Tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menguji pembelajaran tikrar dengan hasil pembelajaran tahfidz Al-
Qur’an peserta didik Tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin.
2. Untuk memahami metode Tikrar dalam pembelajaran Tahfidz pada peserta
didik Tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin.
3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan kendala dalam pembelajaran Tahfidz
Al-Qur’an pada peserta didik Tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin.
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan khazanah ilmu
pengetahuan bagi pendidikan khususnya bagi pendidik dalam memberikan
pembelajaran tahfidz kepada peserta didik Tunanetra.
2. Kegunaan Secara Praktis
a. Bagi Lembaga Pendidikan
Dengan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan sebagai
informasi serta bahan masukan dalam menerapkan pembelajaran Tahfidz
bagi siswa Tunanetra serta mengembangkan metode dan meminimalisir
kendala dalam pembelajaran Tahfidz untuk peserta didik Tunanetra agar
lebih baik lagi.
b. Bagi Masyarakat
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan terkait dengan metode Tikrar dalam pembelajaran Tahfidz
bagi peserta didik Tunanetra.
c. Bagi Penelitian Lain
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk
melakukan penelitian yang sama dan dapa menginspirasi peneliti lain
dalam mengkaji kembali dikemudian hari atau mengembangkannya di
bidang lain.
BAB II
KAJIAN TEORI
1
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h. 39
2
Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran, (Bandung: Sandiarta Sukses, 2019), h. 15.
3
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, loc.cit.
9
2. Pengertian Tahfidz Al-Qur’an
Tahfidz Al-Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu tahfidz dan
Al-Qur’an, yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda.
Pertama, tahfidz yang berarti menghafal, menghafal dari kata dasar
hafal yang dari bahasa arab hafidza - yahfadzu - hifdzan, yaitu
lawan dari lupa, selalu ingat dan sedikit lupa.
Menurut Abdul Aziz Abdul Ra’uf definisi menghafal adalah
“proses mengulang sesuatu, baik dengan membaca atau
mendengar”. Pekerjaan apapun jika sering diulang, pasti menjadi
hafal.”4
Kedua, kata Al-Qur’an, ditinjau dari segi bahasa (etimologi)
kata Al-Qur’an terambil dari kata qa-ra-a. Maka secara bahasa, kata
Al-Qur’an bukan sekedar bacaan, melainkan bacaan yang
sempurna. Kata “bacaan” ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an
merupakan sesuatu yang selalu dibaca.5 Hal ini diperkuat oleh ayat
Al-Qur’an sebagai berikut:
18 ُ فَإِذَا قَ َرأْ َٰنَهُ فَٱتَّبِ ْع قُ ْر َءانَ ۥه17 ُعلَ ْينَا َج ْمعَ ۥهُ َوقُ ْر َءانَ ۥه
َ إِ َّن
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS.
Al-Qiyamah : 17-18)
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh para ulama tentang Al-Qur’an. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril dengan lafaz
berbahasa Arab dengan makna yang benar sebagai hujah bagi
Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan
4
Abdul Aziz dalam Umar, Implementasi Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an, Vol. 6, No. 1, 2017,
h. 6.
5
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2014), h. 26.
urutannya dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
An-Nas serta dijamin keasliannya.6
Menurut Asy-Syafi’i, lafadz Al-Qur’an itu bukan musytaq,
yaitu bukan pecahan dari akar kata manapun dan bukan pula
berhamzah, yaitu tanpa tambahan huruf hamzah di tengahnya.
Sehingga membaca lafazh Al-Qur’an dengan tidak membunyikan
”a”. Oleh karena itu, menurut Asy-syafi’i lafadz tersebut sudah
lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.7 Sesungguhnya hal terbaik yang
diucapkan oleh lisan dan didengarkan oleh telinga adalah perkataan
Allah Yang Maha Perkasa dan Pengasih, yang merupakan sebab
datangnya hidayah, cahaya di dalam kegelapan, dan penjaga dari
berbagai macam fitnah.8
Allah Yang Maha Suci berfirman :
ِ َ سولُنَا يُبَ ِي ُن لَ ُك ْم َك ِثي ًرا ِم َّما ُكنت ُ ْم ت ُ ْخفُونَ ِمنَ ْٱل ِك َٰت
ب ِ َ َٰ َيَٰٓأ َ ْه َل ْٱل ِك َٰت
ُ ب قَ ْد َجا َٰٓ َء ُك ْم َر
ٌ ِور َو ِك َٰت َبٌ مب
ين ٌ ُٱَّللِ نَّ َير ۚ قَ ْد َجا َٰٓ َء ُكم ِمن ٍ ِعن َكث َ وا ۟ َُويَ ْعف
"Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu
sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab
yang menerangkan.” (Al Maidah : 15).
6
Ibid., h. 26-27.
7
Umar,Op.cit., h. 6.
8
Syaikh Abdul Muhsin Al-Qasim, Terj. Cara Menghafal Al-Qur’an dan Matan Ilmiah, (Jawa
Tengah: Mufid, tt), h. 6.
Encoding dalah suatu proses memasukkan data-data
informasi ke dalam ingatan. Proses ini melalui dua alat indra
manusia, yaitu penglihatan dan pendengaran. Kedua alat indra
tersebut memegang peranan penting dalam penerimaan informasi
sebagaimana banyak dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an,
dimana penyebutan mata dan telinga selalu beriringan (As-sama’
wal bashar). Itulah sebabnya, sangat dianjurkan untuk
mendengarkan suara sendiri pada saat menghafal Al-Qur’an agar
kedua alat sensorik ini bekerja dengan baik. Karena itu, untuk
memudahkan menghafal Al-Qur’an sangat dianjurkan hanya
menggunakan satu mushaf Al-Qur’an secara tetap dan tidak
berganti-ganti agar bentuk susunan Al-Qur’an didalam ingatannya
sama.
b. Storage (penyimpanan).
Storage adalah proses lanjutan setelah encoding, yaitu
penyimpanan informasi yang masuk di dalam gudang memori.
Gudang memori terletak di dalam memori jangka panjang (long
term memory). Semua informasi yang dimasukkan dan disimpan
di dalam gudang memori itu tidak akan pernah hilang, manusia
disebut lupa sebenarnya karena tidak berhasil menemukan
kembali informasi tersebut didalam gudang memori.
a. Tujuan Pembelajaran
Tujuan adalah suaru cita-cita yang ingin dicapai dari
pelaksanaan suatu kegiatan atau usaha. Dalam kegiatan
pembelajaran, tujuan berarti suatu cita-cita yang hendak dicapai
dengan kegiatan pembelajaran, atau dengan kata lain rumusan
keinginan yang akan dicapai dalam kegiatan pembelajaran.11
Komponen tujuan merupakan panduan dan acuan bagi seluruh
kegiatan dalam sistem pendidikan.12
b. Peserta Didik
Dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut peserta didik, seperti siswa, murid, santri, pelajar,
mahasiswa, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud peserta didik
secara umum adalah tiap orang atau sekelompok orang yang
menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan kegiatan pendidikan. Dalam UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, bab 1 pasal 1 ayat 4,
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan peserta didik adalah
anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya
9
Atkinson dalam Sa’dulloh, 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani,
2008), h. 48-53.
10
Haidir dan Salim, Strategi Pembelajaran, (Medan: Perdana Publishing, 2014), h. 87.
11
Aswan, Strategi Pembelajaran berbasis PAIKEM, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), h.
20.
12
Haidir, op.cit., h. 88.
melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
tertentu.13
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang
sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis,
sosial, maupun religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan
di akhirat kelak. Peserta didik cakupannya sangat luas yaitu
meliputi anak-anak dan juga orang dewasa, oleh karena itu, peserta
didik bukan hanya orang-orang yang belum dewasa dari segi usia,
melainkan dari segi mental, wawasan, pengalaman, ketempilan,
dan sebagainya yang masih memerlukan bimbingan dari
pendidik.14
c. Pendidik
Dalam konsepsi Islam, Muhammad Rasulullah adalah al-
mu’allim al-awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah
dididik oleh Allah Rabb al-‘Alamin. Pendidik teladan yang telah
mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi, akhlak yang luhur
dan menggunakan metode serta alat-alat yang tepat.15 Dalam QS.
A-Qalam ayat 4, Allah berfirman :
٤ - ع ِظي ٍْم ٍ َُواِنَّكَ لَ َع َٰلى ُخل
َ ق
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur.”
Rasulullah sungguh memiliki akhlak yang agung, yang
diperoleh dari pendidikan yang baik. Ketika Rasulullah bersabda
bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.16
Dalam khasanah pemikiran Islam, guru memiliki beberapa
istilah, seperti “ustad”, “muslim”, “muaddib”, dan “murabbi”.
Istilah ini lebih menekankan guru sebagai pengajar dan penyampai
13
Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tantang
Sistem Pendidikan Nasional, h. 2.
14
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 151.
15
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2014), h. 114.
16
Ibid.
pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Sedangkan istilah
yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna yang luas dan
netral adalah ustad yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai “guru”.17 Dalam pengertian yang lazim digunakan,
pendidik adalah orang dewasa yang bertanggungjawab
memberikan pertolongan pada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya
sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu melakukan
tugasnya sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu
yang mandiri.18 Didalam UU. RI No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional, Bab IV Pasal 29 ayat 1 disebutkan
bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, memiliki
hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama
pada pendidik di Perguruan Tinggi.19
Selain itu, sebagai pendidik juga wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan terciptanya tujuan
pendidikan nasional.20 Menurut Muhaimin dan Abdul Mujib, ada tiga
kompetensi yang harus dimiliki pendidik, yaitu sebagai berikut:
1) Kompetensi personal-religius, yaitu memiliki kepribadian
berdasarkan nilai-nilai keislaman seperti jujur, adil, suka
musyawarah, disiplin, dan lain sebagainya.
2) Kompetensi sosial-religius, yaitu memiliki kepedulian
terhadap masalah-masalah sosial yang selaras dengan Islam
seperti sikap gotong royong, suka menolong, toleransi, dan
17
Nurul Huda, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Multi Kreasi Satudelapan, 2010), h. 1.
18
Abuddin Nata, op.cit., h. 139.
19
Republik Indonesia, op.cit., h. 20.
20
Abuddin Nata, op.cit., h. 145.
lain sebagainya.
3) Kompetensi profesional-religius, yaitu memiliki
kemampuan menjalankan tugasnya secara profesional yang
didasarkan atas ajaran Islam.21
Berdasarkan keputusan Menpan No. 26/ MENPAN/ 1989,
Tanggal 2 Mei 1989 dijelaskan bahwa guru terlibat langsung dalam
proses pendidikan. Oleh karena itu, guru memegang peranan yang
sangat menentukan bagi tujuan pendidikan. Guru haruslah
meningkatkan kemampuan profesinya agar dapat melaksanakan
tugas dengan baik. Pada kenyataan di lapangan, banyak ditemukan
masalah berikut:
1) Penampilan (performance) guru di depan kelas dalam KBM
belum memuaskan, padahal kualifikasi keguruannya
beragam.
2) Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) mulai menuntut adanya penyesuaian
dari guru untuk mengembangkan pendidikan di sekolah
khususnya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.22
d. Metode
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Banyaknya jenis metode mengajar
disebabkan karena metode tersebut dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor, yaitu:
1) Tujuan yang berbeda-beda dari mata pelajaran masing-
masing.
2) Perbedaan latar belakang kemampuan anak didik.
3) Situasi dan kondisi, dimana proses pembelajaran
berlangsung, termasuk jenis lembaga pendidikan dan faktor
21
Muhaimin dan Abdul Mujib dalam Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-ruzz Media, 2014), h. 117.
22
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif (Jakarta: Kencana, 2009), h.
194-195.
geografis yang berbeda-beda.
4) Tersedianya fasilitas pengajaran yang berbeda-beda, baik
secara kuantitas maupun secara kualitas.23
e. Materi
Materi atau bahan pembelajaran merupakan hal-hal yang
pokok yang perlu disampaikan oleh pendidik dan dipahami oleh
peserta didik untuk membantu mengembangkan potensi dirinya.
Materi pembelajaran ini diatur dalam seperangkat rencana
sistematis yang dinamakan dengan kurikulum. Kurikulum
berfungsi sebagai pedoman penyelenggara kegiatan belajar
mengajar yang tidak hanya terpaku pada content based curriculum,
akan tetapi juga harus berorientasi applicative and generative
based curriculum.24
f. Media Pembelajaran
Media artinya perantara atau penghubung.25 Media dipahami
dengan semua alat yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan. Dengan penggunaan media dalam suatu pembelajaran dapat
merangsang pikiran, perasaan dan kemauan peserta didik sehingga
dapat mendorong terjadinya kegiatan belajar. Penggunaan media
secara kreatif dapat memungkinkan peserta didik untuk belajar
banyak, dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan
meingkatkan kemampuan mereka sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.26
g. Evaluasi
Dalam Al-Qur’an atau Hadis, banyak ditemukan tolak ukur
evaluasi dalam pendidikan Islam. Misalnya, tolak ukur shalat yang
baik dan sempurna adalah mencegah orang dari perbuatan keji dan
23
Aswan, op.cit., h. 24-25.
24
Haidir, op.cit., h. 89.
25
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 931.
26
Haidir, op.cit., h. 89.
munkar. Tolak ukur watak seorang yang beriman adalah bila
melaksanakan shalat secara khusyu’, membayar zakat, menjaga
kemaluan terhadap wanita yang bukan istri, dan lain sebagainya.27
Term evaluasi dalam Islam tidak dapat ditemukan padanan
yang pasti. Evaluasi dalam arti melaksanakan penilaian terhadap
suatu kegiatan pembelajaran dengan tujuan untuk mendapatkan
informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan
pembelajaran oleh siswa.28 Evaluasi dapat dibedakan menjadi :
1) Evaluasi Konteks
Evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap
kebutuhan dengan tujuan program, Apakah program
tahfidzul quran sudah terlaksana dengan benar.
2) Evaluasi Masukan
Evaluasi masukan yaitu evaluasi terhadap sumber
daya yang mendukung pelaksanaan program Tahfidzul
Qur’an.
3) Evaluasi Proses
Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap
bagaimana proses pelaksanaan kegiatan, apakah kegiatan
sesuai dengan tujuan program. Dan apakah kegiatan telah
di laksanakan sesuai dengan juknis pelaksanaan program.
4) Evaluasi Produk
Evaluasi produk adalah evaluasi terhadap hasil
program, sejauh mana tingkat keberhasilan program dalam
mencapai tujuan, apakah produk yang dihasilkan sesuai
dengan harapan.29
27
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 242.
28
Aswan, op.cit., h. 41.
29
Titi Muntiarti, Ernawati, Bambang Indriyanto, Evaluasi Program Tahfidz Al-Qur’an Di
SMA-IT Buahati Jakarta, Vol. 3 No. 1 2021, h. 3.
4. Syarat-syarat menghafal Al-Qur’an
a. Mampu mengosongkan dari permasalahan-permasalahan yang
mengganggu
Ketika menghafal Al-Qur’an yang perlu diperhatikan adalah
membersihkan diri dari segala sesuat perbuatan yang kemungkinan
dapat merendahkan nilai studinya, kemudian menekuni secara baik
dengan hati terbuka, lapang dada dan dengan tujuan yang suci.
Kondisi seperti ini akan tercipta apabila penghafal Al-Qur’an
mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tercela seperti
ujub, riya’, dengki, iri hati, tidak qona’ah, tidak tawakal, dan lain-
lain.
b. Niat yang ikhlas
Niat yang kuat dan sungguh-sungguh akan mengantar
seseorang ke tempat tujuan, dan akan membentengi atau menjadi
perisai terhadap kendala-kendala yang mungkin akan datang
merintanginya. Tanpa adanya suatu niat yang jelas maka perjalanan
untuk mencapai suatu tujuan akan mudah sekali terganggu.
c. Memiliki keteguhan dan kesabaran
Dalam proses menghafal Al-Qur’an akan banyak sekali
kendala seperti jenuh, gangguan lingkungan karena bising atau
gaduh, gangguan batin, menghadapi ayat-ayat tertentu yang dirasa
sulit menghafalnya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, untuk
senantiasa dapat melestarikan hafalan perlu keteguhan dan
kesabaran, karena kunci utama dalam keberhasilan menghafal Al-
Qur’an adalah ketekunan menghafal dan mengulang-ulang ayat
yang akan dihafalnya.
d. Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah disini adalah konsisten. Seorang
penghafal Al-Qur’an yang konsisten akan sangat menghargai
waktu, begitu berharganya waktu baginya. Kapan saja dan dimana
saja ada waktu luang, intuisinya segera mendorong untuk segera
kembali kepada Al-Qur’an.
e. Menjauhkan diri dari maksiat dan sifat-sifat tercela
Perbuatan maksiat dan perbuatan yang tercela merupakan suatu
perbuatan yang harus dijauhi bukan saja oleh penghafal Al-Qur’an,
tetapi juga oleh kaum muslimin pada umumnya, karena keduanya
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa dan
mengusik ketenangan hati orang yang sedang dalam proses
menghafal Al-Qur’an, sehingga akan menghancurkan istiqaham
dan konsentrasi yang telah tebina dan terlatih.
f. Mampu membaca dengan baik
Sebelum seorang penghafal melangkah pada periode
menghafal, seharusnya ia terlebih dahulu meluruskan dan
memperlancar bacaannya. Sebagia besar ulama bahkan tidak
memperkenankan anak didik yang diampunya untuk menghafal Al-
Qur’an sebelum terlebih dahulu ia mengkhatamkan Al-Qur’an bin
nadzar dengan membaca.30
30
Ahsin W. Alhafiz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005),
h. 48-54.
dijuluki dengan Ahlullah atau keluarga Allah atau orang yang
dekat dengan Allah.
d. Nabi Muhammad SAW pernah menyegerakan penguburan
sahabat yang meninggal dalam perang Uhud, yang hafalannya
lebih banyak daripada lainnya. Ini penghargaan bagi mereka
yang hafal Al-Qur’an.
e. Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabat agar yang
menjadi imam shalat adalah mereka yang paling bagus bacaan
Al-Qur’annya, yang sekaligus juga hafal.
f. Nabi Muhammad SAW menjanjikan bahwa orangtua
penghafal Al-Qur’an akan diberi mahkota oleh Allah pada hari
kiamat nanti.
g. Penghafal Al-Qur’an telah mengaktifkan sel-sel otaknya yang
berjumlah miliaran melalui kegiatan menghafal. Kegiatan ini
berpotensi untuk menjadikan otaknya menjadi semakin kuat
dan cerdas.
h. Penghafal Al-Qur’an termasuk orang-orang terdepan dalam
menjaga keaslian, kemurnian, kelestarian kitab suci Al-Qur’an.
i. Seorang penghafal Al-Qur’an yang selalu membaca ayat-ayat
suci Al-Qur’an akan menciptakan dirinya menjadi manusia
shaleh.
j. Penghafal Al-Qur’an akan mendapatkan syafaat Al-Qur’an
pada hari kiamat.
k. Penghafal Al-Qur’an yang selalu mengulang hafalannya ia
sebenarnya sedang melakukan olahraga otak dan lidah.
l. Al-Qur’an adalah kitab yang penuh berkah atau tempat
menumpuknya kebaikan.31
31
Ahsin Sakho Muhammad, Menghafalkan Al-Qur’an, (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2018), h.
27-32.
6. Macam-macam metode dalam Tahfidz Al-Qur’an
Menghafal Al-Qur’an merupakan proses memindahkan al-
Qur’an ke dalam memori otak sampai ke hati sanubari. Proses
tersebut akan terasa mudah jika kita mengetahui metodenya.
Metode menghafal Al-Qur’an sangat banyak, bahkan secara inti,
setiap orang memiliki metode masing-masing sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.32 Metode dalam menghafal Al-
Qur’an tidak boleh diabaikan karena dalam proses menghafal Al-
Qur’an, metode berperan juga menentukan berhasil atau tidaknya
menghafal Al-Qur’an. Semakin baik suatu metode, maka akan
semakin efektif pula dalam pencapaiannya menghafal Al-Qur’an.
Berikut ini adalah beberapa metode yang diterapkan untuk
menghafal Al-Qur’an, khususnya metode yang diterapkan dalam
pembelajaran Tahfidz pada peserta didik Tunanetra, diantaranya
yaitu:
a. Metode Talqin
Metode ini mengajarkan anak dengan cara membacakan
terlebih dahulu ayat yang dihafal secara berulang-ulang hingga
anak menguasainya. Setelah anak menguasai, maka berpindah
ke ayat selanjutnya.33
b. Metode Sima’i
Sima’i artinya mendengar. Metode sima’i adalah
mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. Metode ini
akan sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat
ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak yang
masih dibawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-
Qur’an.34
32
Rendi Rustandi, Menghafal Al-Qur’an Metode Taqlil dan Takrir, (Jakarta: Tarbiyah Sunnah
Learning Press, 2020), h. 9.
33
Fathin Masyhud dan Ida Husnur Rahmawati dalam Jurnal Aida Hidayah, Metode Tahfidz
Untk Anak Usia Dini, Vol. 18, No 1, Januari 2017, h. 59.
34
Ahsin W. Alhafidz, op.cit., h. 64.
c. Metode Jama’
Metode Jama’ adalah cara menghafal yang dilakukan secara
kolektif, yakni ayat-ayat yang dihafal dan dibaca secara kolektif,
atau bersama-sama, dipimpin oleh seorang isntruktur. Pertama,
instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa
menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur
membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut
dan siswa mengikutinya. Setelah ayat-ayat itu dapat mereka
baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti
bacaan instruktur dengan sedikit demi sedikit mencoba
melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf) dan demikian
seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-
benar sepenuhnya masuk dalam bayangannya.35
d. Metode menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan tangan sendiri.
Sering menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan tulisan
tangannya sendiri di sebuah kertas atau papan tulis adalah salah
satu metode untuk mempercepat dan mempermudah hafalan
Al-Qur’an. Metode ini cocok bagi penghafal yang mempunya
kesulitan dalam menghafal atau karena lemahnya otak apabila
menghafal. Dengan menulis ayat-ayat Al-Qur’an melalui
gerakan tangan sendiri dan indra penglihatan akan sangat
membantu hafalan meresap dan masuk ke dalam otak memori
otak.36
B. Metode Tikrar
1. Pengertian Metode Tikrar
Metode berasal dari bahasa latin, metodos yang artinya “jalan
atau cara”.37 Dalam KBBI, metode adalah cara yang teratur
35
Ibid., h. 66.
36
Wiwi Alawiyah Wahid, Cara Cepat Bisa Menghafal Al-Qur’an, (Yogyakarta: Diva Press,
2014), h. 100.
37
Nur Ahyat, Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Vol. 4, No. 1, 2017, h. 24.
berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud
yang ditentukan.38 Jika ditinjau dari segi terminologis, metode
dapat dimaknai sebagai jalan yang ditempuh oleh seseorang
supaya sampai pada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan
atau perniagaan maupun dalam kaitan ilmu pengetahuan dan
lainnya.39 Menurut Djamarah, metode adalah suatu cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru
agar pengunaannya bervariasi sesuai yang ingin dicapai setelah
pengajaran berakhir.40 Sedangkan menurut Depag RI dalam
buku Metodologi Pendidikan Agama Islam, metode berarti
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.41
Menurut bahasa, Tikrar berasal dari -تكريرة- تكريرا- يُك َِر ُر- كر َر
َّ
ً تكريرا ً و تِ ْكراراyang artinya mengulang kembali. Menurut istilah,
Tikrar adalah metode menghafal satu persatu terhadap ayat-
ayat yang akan hendak dihafalkannya. Untuk mencapai hafalan
awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua
puluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk
pola dalam bayangannya.42 Dalam proses menghafal Al-
Qur’an, keinginan cepat khatam 30 juz memang sangatlah
wajar. Namun, jangan sampai keinginan tersebut membuat
terburu-buru dalam menghafalkan Al-Qur’an dan pindah ke
hafalan baru. Sebab, dikhawatirkan akan melalaikan hafalan
yang sudah pernah dihafal tidak diulang kembali karena lebih
fokus pada hafalan baru dan tidak mengulang hafalan yang
38
Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit., h. 952.
39
Nur Ahyat, op.cit., h. 25.
40
Muhamad Afandi, Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah, (Semarang: Sultan Agung
Press, 2013), h. 16.
41
Darmadi, Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam Dinamika Belajar Siswa,
(Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 175.
42
Ibid., h. 63.
lama. Jika menginkan kualitas hafalan yang baik dan kuat,
sebaiknya jangan terburu-buru ketika menghafalkan. Oleh
karena itu, sangat tidak dianjurkan untuk tergesa-gesa
berpindah ayat hingga ayat yang sebelumnya benar-benar hafal
dan kuat. Selain itu, jangan hanya fokus ke perpindahan surat
selanjutnya, tetapi harus fokus ke surat terdahulu yang sudah
pernah dihafalkan. Apabila mengabaikan surat-surat terdahulu
tanpa sering diulang, maka akan kesulitan menjalaninya.
Tujuan dari metode tikrar adalah supaya hafalan yang sudah
dihafalkan tetap terjaga dengan baik, kuat, dan lancar,
mengulang hafalan bisa dilakukan dengan sendiri atau
didengarkan oleh guru atau teman. Mengulang hafalan bisa
dilakukan dimana saja dan kapan saja. Bisa dilakukan ketika
melakukan shalat fardhu atau sunnah, saat sedang dalam
perjalanan dan diatas kendaraan, sambil memasak, menjaga
anak, di tempat kerja, dan sebagainya.43 Keseimbangan
mentakrir harus tetap terjaga meski sudah tidak menambah lagi
atau sudah khatam, karena puncak kenikmatan menghafal Al-
Qur’an.44 Berdasarkan definisi tersebut, penulis mengambil
kesimpulan bahwa metode Tikrar merupakan suatu cara yang
dilakukan khususnya oleh pendidik dalam mengajarkan
menghafal Al-Qur’an dengan cara mengulang-ulang ayat
sampai hafal kemudian berpindah ke ayat selanjutnya.
43
Wiwi Alawiyah Wahid, op.cit., h. 75-77.
44
Deden M. Makhyaruddin, Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Qur’an, (Bandung: Mizan
Media Utama, 2013), h. 259.
terus-menerus karena lebih menunjukkan ikhlas.45 Tikrar harus
sesuai dengan kualitas hafalan, yaitu:
a. Tikrar ayat yang belum lancar
Tikrar ayat yang belum lancar sama dengan menamcah
hafalan baru.
b. Tikrar ayat yang sudah lancar untuk pemeliharaan
Tikrar ayat untuk pemeliharaan dilakkan sebanyak dan
scepat mungkin. Lakukan tikrar dengan sirr (suara
pelan) untuk mnghemat tenaga.
c. Tikrar ayat yang sudah lancar untuk evaluasi
Tikrar evaluasi dilakukan dengan tartil, meski tidak
banyak. Fokus takrir evaluasi pada ayat-ayat yang
sering terjadi kekeliruan.46
45
Ibid., h. 257-259.
46
Ibid., h. 260.
dari 78% cairan, sehingga meminum air putih secara
cukup merupakan faktor utama penunjang sel-sel otak.
Kesehatan sel-sel tersebut merupakan faktor yang paling
penting untuk ingatan, belajar, serta kekuatan menghafal
Al-Qur’an.
d. Kondisikanlah berbagai perangkat elektronik, seperti
telepon genggam, televisi, dsb., supaya tidak menganggu
proses menghafal.47
47
Yudi Imana, Panduan Aplikatif Sebulan Hafal 1 Juz Metode Tikrar, (Bandung: Sygma
Examedia Akanleema, 2016), h. 16.
hari. Semakin banyak pengulangan hafalan maka
semakin kuat ingatan seseorang, dan lisannya pun akan
membentuk gerak refleks sehingga seolah-olah ia tidak
sedang menghafal atau mengingat, sebagaimana orang
membaca surat Al-Fatihah atau surat-surat pendek.48
b. Tidak beralih pada ayat selanjutnya sebelum ayat yang
sedang dihafal benar-benar melekat dalam ingatan
Pada umumnya, kecenderungan orang yang menghafal
Al-Qur’an adalah cepat selesai dan cepat mendapat
hafalannya. Ini menyebabkan hafalan yang diperoleh
tidak stabil dan tidak konstan, karena pada
kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat
yang mudah dihafal dan banyak pula ayat yang panjang
dan sulit dihafal. Kemudian yang perlu diingat oleh
para penghafal Al-Qur’an bahwa ayat-ayat yang sudah
dihafal apabila tidak dihafalkan dengan benar dan
melekat akan menjadi beban tambahan dalam proses
menghafal Al-Qur’an. Oleh karena itu, hendaknya para
menghafal tidak melanjutkan hafalan ke ayat
sebelumnya sebelum ayat yang sedang dihafal benar-
benar sudah melekat dalam ingatan.49
c. Disetorkan pada seorang Pengampu
Menghafal Al-Qur’an sangat memerlukan adanya
pembimbing baik untuk menambah hafalan baru
maupun tikrar atau mengulang-ulang hafalannya.
Menghafal Al-Qur’an dengan sistem menyetorkan
kepada Ustadz lebih dirasa efektif dibandingkan
dengan hafalan sendiri dan juga akan menghasilkan
48
Ahsin W. Alhafidz, op.cit., h. 67-68.
49
Ibid., h. 68.
kualitas hafalan yang berbeda.50
50
Ibid., h. 72.
51
Ibid., h. 37-38.
pertama dihafal betul.52
52
Ibid.
53
Yudi Imana, op.cit., h. 15.
54
Deden M. Makhyaruddin, op.cit., h. 261.
Kekeliruan membaca saat takrir itu bervariasi, yaitu:
terlewat, kesalahan menyambungkan, dan kesalahan
mengucapkan kalimah, huruf atau harakat. Adapun penyebab
kekeliruannya pun bermacam-macam, yaitu:
55
Ibid., h. 261-262.
mendalam,
3) Lupa yang sudah tidak bisa diingat, kecuali dengan
diberitahu atau melihat mushaf.
4) Lupa harus mendapatkan penanganan yang serius. Keliru
belum dapat diatasi hanya dengan sekali diberitahu atau
melihat mushaf, melainkan juga harus diulang-ulang,
diingat-ingat, dan diperhatikan dengan seksama. Jika
tidak demikian, kekeliruan akan berulang di tempat yang
sama secara terus-menerus.56
56
Ibid., h. 262-263.
kesehatan lahiriah, tetapi juga dari segi psikologisnya.
Sebab, jika secara psikologis terganggu, maka akan
sangat berpengaruh terhadap proses menghafal. Orang
yang menghafalkan al-Qur’an sangat membutuhkan
ketenangan jiwa, baik dari segi pikiran maupun hati.
c) Faktor Kecerdasan
Kecerdasan merupakan salah satu faktor
pendukung dalam menjalani proses menghafalkan al-
Qur’an. Setiap individu mempunyai kecerdasan yang
berbeda-beda. Sehingga, cukup mempengaruhi
terhadap proses hafalan yang dijalani. Meskipun
demikian, bukan berarti kurangnya kecerdasan
menjadi alasan untuk tidak bersemangat dalam proses
menghafalkan al-Qur’an.
d) Faktor Motivasi
Orang yang menghafalkan al-Qur’an pasti sangat
membutuhkan motivasi dari orang-orang terdekat,
kedua orangtua, keluarga, dan sanak kerabatan.
Dengana danya motivasi, ia akan lebih bersemangat
dalam menghafalkan al-Qur’an. Tentunya, hasilnya
akan berbeda jika motivasi yang didapatkan kurang.
e) Faktor Usia
Jika hendak menghafalkan al-Qur’an, sebaiknya
pada usia-usia yang masih produktif supaya tidak
mengalami berbagai kesulitan.57
f) Menyadari fitrah anak
Tidak ada yang menyangkal bahwa dunia anak
adalah dunia bermain. Dalam buku ini disebutkan
bahwa permainan yang baik adalah permainan yang
57
Wiwi Alawiyah Wahid, op.cit., h. 139-142.
edukatif dan tidak terlalu memforsir waktunya.
Permainan tersebut haruslah yang membantu tumbuh
kembang anak, menyenangkan dan dapat merehatkan
pikiran dari kejenuhan belajar. Disamping itu,
permainan tersebut haruslah yang membuat seluruh
tubuh bergerak aktif, tidak mengganggu orang lain
serta tidak membahayakan diri mereka dan orang lain.
g) Peran orangtua
Peran orangtua disini sangatlah penting, yakni
membangkitkan motivasi, mengawasi dan menemani
anak dalam proses menghafalkan Al-Qur’an, serta
menjaga keistiqomahan rutinitas terkait proses
menghafal. Salah satu nasehat yang tertulis
dalambuku ini adalah, ketika menemani anak
menghafal Al-Qur’an, hendaklah orang tua
memperhatikan dengan seksama dan meninggalkan
aktivitas lainnya.
h) Manajemen waktu
Manajeman waktu disini adalah waktu menghafal
ayat baru, waktu mengulang, waktu belajar dan
bermain. Ketika anak lebih banyak mengulang
hafalan tanpa menambahnya, maka anak akan jenuh.
Begitu pula ketika anak hanya dituntut untuk
menghafal atau belajar saja tanpa menyisihkan waktu
untuk bermain, tentu saja itu tidak baik bagi tumbuh
kembangnya.
i) Istiqomah
Setelah mampu mengatur waktu-waktu diatas, hal
lain yang tak kalah pentingnya adalah menjaga
kesinambungan manajemen waktu tersebut. Penulis
buku ini menyampaikan bahwa dalam menjalankan
proses ini sangatlah butuh konsistensi dan komitmen.
Terkadang ada yang mengatakan bahwa anak kecil
tidak boleh terbebani dengan banyak hafalan,
sehingga membisikkan pada orang tua untuk
menghentikan hafalan Al-Qur’an mereka. Atau
terkadang juga rasa lelah dan pesimis hingga dalam
benak mereka. Oleh karena itu, segeralah meminta
perlindungan agar dijauhkan dari yang semacam itu
dan berdoa agar diberi istiqamah dalam menjalankan
proses ini. Di awal proses memang berat, akan tetapi
jika kita membiasakan tiada hari tanpa Al-Qur’an,
maka Al-Qur’an akan menempel di hati, dengan
sendirinya akan merasa kurang jika melewatkan hari
tanpa Al-Qur’an.58
j) Tempat Menghafal
Situasi dan kondisi suatu tempat ikut mendukung
tercapainya program menghafal Al-Qur’an. Oleh
karena itu, untuk menghafal diperlukan tempat yang
ideal untuk terciptanya konsentrasi. Itulah sebabnya,
diantara para penghafal ada yang lebih cenderung
mengambil tempat di alam bebas, atau tempat
terbuka, atau tempat yang luas, seperti masjid, atau di
tempat-tempat lain yang lapang, sunyi dan sepi.59
2) Kendala Menghafal Al-Qur’an
Ketika menghafal Al-Qur’an, pasti terdapat kendala.
Diantara kendala ketika menghafal Al-Qur’an yaitu:
a) Susah hafal, cepat lupa
Ketika kita mengalami hal ini, maka diantara sebabnya
bisa jadi karena banyaknya dosa yang diperbuat, atau karena
58
Aida Hidayah, Metode Tahfidz Al-Qur’an Untuk Anak Usia Dini, Vol. 18, No. 1, 2017, h.
65-67.
59
Ahsin W. Al-Hafidz, op.cit., h. 61.
kurangnya pengulangan. Solusinya adalah dengan bertobat
kepada Allah ta’ala, bersabar dalam mengulang-ulang hapalan,
dan selalu ingat pahala yang dijanjikan.
b) Faktor Usia
Tidak dipungkiri belajar (menghapal) di usia muda
berbeda dengan usia senja. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya kesibukan di dalam pikiran kita. Diantara solusinya
adalah optimis dan berdoa kepada Allah ta’ala setelah berusaha
secara maksimal. Bukankah dahulu para sahabat banyak yang
memulai belajar pada usia tua. Sehingga yang menjadi ukuran
pentingnya adalah bukan sekedar usia semata, tetapi usaha
yang disertai semangat dan tekad yang kuat. Usia bolehlah tua
tapi semangat harus senantiasa muda.
c) Belum bisa membaca atau bacaan masih banyak yang
salah
Sebelum menghafal sebaiknya memperbaiki bacaannya
sehingga tidak terdapat kesalahan yang fatal didalamnya.
Teruslah belajar memperbaiki bacaan dengan dibarengi sedikit
demi sedikit menghapal. Betapa banyak anak kecil yang belum
bisa membaca, tetapi karena sering mendengar dan
diperdengarkan al-Qur`an, maka iapun dapat menghapalnya.
d) Sibuk bekerja atau kegiatan yang lain
Setiap manusia dibekali jatah waktu yang sama, yakni 24
jam setiap harinya, maka mulailah mengatur waktu dengan
rapi. Kalau belum bisa memberikan waktu yang banyak untuk
al-Qur`an, cobalah sedikit demi sedikit. Umpamanya 10 menit
dalam sehari untuk berapapun ayat yang mampu dihapal. Insya
Allah, lambat laun ketika kita sudah mulai merasakan
kenikmatan menghapal, maka akan bertambah dan bertambah.
e) Sulit membagi waktu ketika jumlah hafalan bertambah
Solusinya kita harus mengorbankan sedikit dari waktu
istirahat kita, terutama pada malam hari.60
C. Tunanetra
1. Pengertian Tunanetra
Tunanetra merupakan sebutan untuk individu yang mengalami
gangguan pada indera penglihatan. Pada dasarnya, tunanetra dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu buta total dan kurang penglihatan (low
vision).62 Buta total tidak dapat melihat dua jari di mukanya atau hanya
melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk
orientasi mobilitas. Mereka tidak bisa menggunakan huruf lain selain huruf
60
Rendi Rustandi, Op.cit., h. 15-17.
61
Izzudin Karimi, 20 Langkah Agar Mudah Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Darul Haq, 2020),
h. 17-20.
62
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, (Yogyakarta: Katahati, 2012), h. 36.
braille. Sedangkan low vision adalah mereka yang bisa melihat sesuatu,
mata harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang
dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika melihat
objek.63 Layanan khusus dalam pendidikan bagi mereka, yaitu dalam
membaca menulis dan berhitung diperlukan huruf Braille bagi yang
tunanetra total, dan bagi yang masih memiliki sisa penglihatan diperlukan
kaca pembesar atau huruf cetak yang besar, media yang dapat diraba dan
didengar atau diperbesar. Di samping itu diperlukan latihan orientasi dan
mobilitas.64 Prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan
pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus
bersifat faktual dan bersuara. Contohnya adalah penggunaan huruf Braille,
gambar timbul, benda model, dan benda nyata, dan tape recorder.65
Tabel 2.1
Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO
Ketajaman Penglihatan Klasifikasi WHO
6/6 hingga 6/18 Penglihatan Normal
< 6/18 hingga ≥ 3/60 (kurang dari 6/18 Kurang Awas
tetapi lebih baik atau sama dengan
3/60)
< 3/60 Buta
63
Ibid., h. 36.
64
Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto, Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dan Strategi
Pembelajarannya, Vol. 3 No. 1, h. 57-58.
65
Zaitun, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Pekanbaru: Kreasi Edukasi, 2017), h. 56.
yang buta total melainkan juga mereka yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatan (< 3/60).66
Dapat disimpulkan bahwa anak tunanetra merupakan anak yang
mengalami keterbatasan penglihatan secara keseluruhan (the blind) atau
secara sebagian (low vision) yang menghambat dalam memperoleh
informasi secara visual sehingga dapat mempengaruhi proses
pembelajaran.
66
Wardani, Pengantar Pendidikan ABK, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2016), h.
4.6.
(2) Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah
tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
(3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella
atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga,
jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang
berkembang.
(4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor.
Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera
penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
(5) Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata
sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2) Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat
terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain :
a) Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat
benturan alat-alat atau benda keras.
b) Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga
baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi
lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c) Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan,
misalnya: Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan
vitamin A.
(1) Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon
trachomanis.
(2) Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga
lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi
putih.
(3) Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam
bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
(4) Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang
disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-
pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem
sirkulasi hingga merusak penglihatan.
(5) Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik,
dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.
Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer
akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas
objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
(6) Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini
karena lahirnya terlalu prematur. Bayi yang dilahirkan prematur
biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan
kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator
terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan
pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan
meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa
ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan
tunanetra total. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya
kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia
yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.67
3. Klasifikasi Tunanetra
Tunanetra (partially seing and legally blind) atau disebut dengan
anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan. Pada umumnya
terbagi menjadi dua yaitu: netra secara total dan netra yang masih dapat
menggunakan sisa-sisa penglihatannya.68
Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang
awas (low vision) atau tunanetra ringan.69
67
Iwan Kurniawan, Implementasi Pendidikan Bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Dasar Inklusi,
Vol. 4, 2015, h. 1049-1050.
68
Bandi Delphie dalam Fathurrahman, Pembelajaran Agama Pada Sekolah Luar Biasa, Vol.
7, No. 1, 2014, h. 84.
69
Wardani, op.cit., h. 4.7.
Anak dengan gangguan penglihatan dapat juga dikelompokkan
berdasarkan:
1) Berdasarkan ukuran ketajaman penglihatan, anak tunanetra dapat dibagi
menjadi:
1. Mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70 artinya
anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet (6 meter) sedangkan orang
normal dari jarak 70 feet (21 meter). Mereka digolongkan ke dalam
low vision (keterbatasan penglihatan)
2. Mampu membaca huruf paling besar di Snellen Chart darijarak 20
feet (acuity 20/200–legal blind) dikategorikan tunanetra total. Ini
berarti anak tunanetra melihat huruf E dari jarak 6 meter, sedangkan
anak normal dari jarak 60 meter.
2) Anak dengan keterbatasan penglihatan (low vision)
Karakteristik anak yang memiliki keterbatasan penglihatan (low vision):
1. Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak.
2. Menghitung jari dari berbagai jarak.
3. Tidak mengenal tangan yang digerakan.
3) Kelompok yang mengalami keterbatasan penglihatan berat (tunanetra
total):
1. Mempunyai persepsi cahaya (light perception)
2. Tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception)
4) Dalam perspektif pendidikan, tunanetra dikelompokan menjadi:
1. Mereka yang mampu membaca huruf cetak standar.
2. Mampu membaca huruf cetak standar, tetapi dengan bantuan kaca
pembesar.
3. Mampu membaca huruf cetak dalam ukuran besar ukuran huruf no.
18.
4. Mampu membaca huruf cetak secara kombinasi, cetakan reguler, dan
cetakan besar.
5. Menggunakan huruf Braille tetapi masih bisa melihat cahaya.
5) Keterbatasan anak tunanetra:
1. Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru.
2. Keterbatasan dalam berinteraksi dalam lingkungan.
3. Keterbatasan dalam mobilitas.70
4. Karakteristik Tunanetra
Anak tunanetra yang memiliki keterbatasan pengelihatan tidak
mudah untuk bergerak dalam interaksi dengan lingkungannya, kesulitan
dalam menemukan mainan dan teman-temannya, serta mengalami
kesulitan untuk meniru orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal
inilah yang dikhawtirkan akan memberikan dampak terhadap
perkembangan, belajar, ketrampilan sosial, dan perilakunya.71
1) Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan
dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan
dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif.
Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra
ada dalam tiga area antara lain:
Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Keterbatasan
pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian
organ-organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra
lebih mengandalkan indra peraba dan pendengaran untuk
membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar walaupun
demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal
layaknya indera pengelihatan yang secara cepat dengan menyeluruh
dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan
ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.
Sehingga hal ini berpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman
anak yang membutuhkan strategidan kemampuan anak dalam
memahami informasi tersebut. Kemampuan untuk berpindah tempat
indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk
70
Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto, op.cit., h. 59.
71
Iwan Kurniawan, op.cit., h. 1050.
bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan tapi keterbatasan
penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan untukbergerak
(mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan tersebut
menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan sekitar mereka.
Kemampuan untuk bergerak pada anak tunanetra memerlukan
pembelajaran yang mengakomodasi indera nonvisual dalam bergerak
secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana
berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan
kemampuan orientasi dan mobilitas. Interaksi dengan lingkungan jika
seorang yang normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka
dengan cepat akan mengenali keadaan ruangan tersebut. Orang
tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan
keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang
lingkungan masih tidak utuh.
2) Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan
kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan
akademisnya,khususnya dalam bidang membaca dan menulis.
Sebagai contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan
membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci
bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa
dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan.
Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya
sedikit mendapat pertolongan dengan mempergunakan berbagai
alternatif media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
3) Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya
dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila
diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten .
Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui
pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu
siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan
sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga
kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik
mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar,
mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik,
mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada
waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang
tepat.
4) Karakteristik Perilaku
Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau
penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal
tersebut berpengaruh pada perilakunya sebagai berikut:
a) Rasa curiga terhadap orang lain
Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap
penerimaan informasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi.
Seorang anak tunanetra tidak memahami ekspresi wajah dari teman
bicaranya atau hanya dapat melalui suara saja. Hal ini
mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan orang lain
secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap
orang lain. Anak tunanetra perlu dikenalkan dengan orang-orang di
sekitar lingkungannya terutama anggota keluarga, tetangga,
masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitar sekolah.
b) Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh
keterbatasan yang ia peroleh melalui auditori/pendengaran.
Bercanda dan saling membicarakan saat berinteraksi dapat
membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudah tersinggung
juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra dengan
lingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa
setiap orang memiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata
dan cara berteman. Hal tersebut dilakukan agar ketika anak
tunanetra diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa
ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.
c) Verbalisme pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada
konsep abstrak mengalami keterbatasan
Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak seperti
fatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian
yang tidak dapat dibuat media konkret yang dapat menjelaskan
secara detail tentang konsep tersebut, sehingga hanya dapat
dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yang mengalami
keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak
akan memiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra
hanya berdasarkan kata-kata saja (secara verbal) pada konsep
abstrak yang sulit dibuat media konkret yang dapat menyerupai.
d) Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada
konsep dirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan
rendah diri untuk bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal
ini membuktikan bahwa penglihatan memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan tersebut akan
sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk
bermain bersama.
e) Adatan atau perilaku stereotip
Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra
melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan
mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti, menekan
matanya, menggerakkan kaki saat duduk, menggeleng-gelengkan
kepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra
sebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak
memiliki rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak
dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial baginya, sedangkan
bagi anak awas dapat dilakukan melalui indra penglihatan dalam
mencari informasi di lingkungan sekitar. Biasanya para ahli
mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan
membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan
mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya pemberian
pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan
sebagainya.
f) Suka berfantasi
Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra
yaitu suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas
dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan
mencari informasi saat santai atau saat-saat tertentu. Kegiatan
tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak
tunanetra hanya dapat berfantasi saja.
g) Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak
tunanetra dalam berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal
ini bila dibandingkan anak awas dalam mengatasi permasalahan
memiliki banyak informasi dari luar yang dapat mempengaruhi
terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akan
memecahkan permasalahan secara fokus dan kritis informasi akan
diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul
kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang
tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus
menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga
mampu berkembang secara optimal.72
Karakteristik anak tunanetra dikelompokkan pada empat poin
penting. Pertama dalam hal kognitif anak memiliki pengalaman
yang lebih terbatas pada anak-anak normal, kemampuan mobilitas
yang terbatas serta sulit berinteraksi dengan lingkungan secara
baik. Kedua dalam hal akademik dikembangkan dengan
menggunakan huruf braille. Ketiga dalam hal fisik mata mereka
kadang terlihat juling, memerah, bahkan berair. Keempat dalam hal
motorik mereka membutuhkan waktu yang lama dalam mengenali
lingkungan sekitarnya. Kelima perilaku anak yang terkadang
menekan-nekan mata, mengucek mata, memutar-mutarkan badan.
Dan keenam dalam hal pribadi dan sosial mereka cenderung
kesulitan mengamati dan meniru perilaku sosial sekitarnya dengan
benar.
72
Ibid., h. 1050-1053.
73
Euis Nani, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Bandung: Catur Karya Mandiri, 2010),
h. 81.
74
Ibid., h. 81-82.
(misalnya huruf diperbesar dan menggunakan alat pembesar).75
75
Mardiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto, op.cit., h. 59.
5. Skripsi “Penerapan Metode Takrir dalam Menghafal Al-Qur’an Santri
Tahfidz di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang” oleh Nur Khasanah mahasiswi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga pada tahun 2018. Penelitian ini menjelaskan metode
takrir yang dilakukan di Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang dengan menggunakan
penelitian kualitatif.
Dari beberapa penelitian yang relevan diatas dapat terlihat persamaan
dan perbedaan variabel dan teknik penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis. Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian kualitatif
deskriptif dengan judul penelitian “Penerapan Metode Tikrar dalam
Pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an Pada Peserta Didik Tunanetra di
Pesantren Raudlatul Makfufin”. Dalam penelitian ini akan membahas
penerapan metode Tikrar dalam pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an di
Pesantren Raudlatul Makfufin.
BAB III
Metodologi Penelitian
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian
kualitatif deskriptif dengan metode penelitian field research (penelitian
lapangan). Penelitian kualitatif merupakan suatu strategi inquiry yang
menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala,
simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multimetode,
bersifat alami dan holistik; mengutamakan kualitas, menggunakan
beberapa cara, serta disajikan secara narratif. Dari sisi lain dan secara
sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian kualitatif adalah untuk
51
52
1
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2017), h. 329.
2
Denzin dan Lincoln dalam A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
Penelitian Gabungan, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 329.
3
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2016),
h. 9.
4
Hardani, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group
Yogyakarta, 2020), h. 32
53
1
Sugiyono, op.cit., h. 225
54
Tabel 3.1
Kisi-kisi data penelitian
Objek
No Variabel Sub Variabel Indikator
Pengamatan
1. Penerapan 1.1 Tujuan Guru Adanya tujuan
Metode Tikrar Pembelajaran pembelajaran Tahfidz Al-
Qur’an menggunakan
metode Tikrar.
1.2 Metode Guru dan a. Guru mengajarkan
Pembelajaran Peserta peserta didik
Didik menghafal
menggunakan metode
tikrar.
b. Dalam menghafal Al-
Qur’an, peserta didik
menggunakan metode
Tikrar.
1.3 Perencanaan Guru a. Guru menyiapkan
Pembelajaran Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran.
b. Guru menyiapkan
catatan pembelajaran.
c. Guru mampu
mengalokasikan
waktu.
d. Guru mampu
menentukan teknik
penilaian.
e. Guru mampu
menentukan target
47
pencapaian sesuai
dengan kemampuan
peserta didik.
1.4 Pelaksanaan Guru dan 1) Pembukaan
Pembelajaran Peserta a. Guru memberikan
Didik salam pembuka
kepada siswa,
demikian pula siswa
kepada guru.
b. Guru memulai
pelajaran dengan do’a
sebelum belajar.
c. Guru mengabsen
siswa yang hadir di
kelas.
2) Kegiatan inti
a. Guru mempersilahkan
siswa yang ingin
menyetorkan
hafalannya.
b. Peserta didik mampu
membaca Al-Qur’an
dengan tartil sesuai
dengan makharijul
huruf.
c. Peserta didik mampu
menghafal Al-Qur’an
dengan tartil.
d. Guru mencatat
hafalan siswa.
3) Penutup
47
a. Guru memberikan
motivasi dan
apresiasi kepada para
peserta didik yang
sudah menyetorkan
atau muroja’ah
hafalannya.
b. Guru menutup
pembelajaran dengan
do’a sesudah belajar.
1.5 Evaluasi Guru a. Guru melakukan
Pembelajaran penilaian ketika
peserta didik naik juz.
b. Guru melakukan
penilaian ujian
semester dengan
melanjutkan ayat.
1.6 Media Guru dan Adanya media
Pembelajaran Peserta pembelajaran yang
Didik digunakan guru dan
peserta didik sebagai
penunjang pembelajaran
Tahfidz.
1.7 Pendukung Peserta a. Peserta didik
dan Didik melakukan hafalan
Penghambat ketika suasana
Menghafal kondusif.
Al-Qur’an b. Peserta didik
muroja’ah hafalan
dalam sholat.
47
1
Ibid., h. 145.
2
Conny R. Semiawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 116.
3
Ibid., h. 117.
59
1
Sugiyono, op.cit., h. 240.
2
Ibid., h. 274.
60
2) Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik adalah penggunaan beragam teknik pengungkapan
data yang dilakukan kepada sumber data. Menguji kredibilitas data dengan
triangulasi teknik yaitu mengecek data kepada sumber yang sama dengan
teknik yang berbeda. Misalnya diperoleh data melalui wawancara, lalu
dicek melalui observasi atau dokumentasi. Bila menghasilkan data yang
berbeda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data
yang bersangkutan atau yang lainnya. Hal itu dilakukan untuk memastikan
data mana yang benar. Atau mungkin semuanya benar karena sudut
pandangannya berbeda-beda.1
3) Triangulasi Waktu
Waktu sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang
dikumpulkan dengan wawancara pada pagi hari pada saat narasumber
masih segar, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih
kredibel. Untuk itu dalam rangka menguji kredibelitas data dapat
dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara atau
obervasi kembali di waktu dan situasi yang berbeda. Bila hasil uji
menghasilkan data yang berbeda, maka lakukan secara berulang-ulang
sehingga sampai ditemukan kepastian datanya.2
4) Menggunakan Bahan Referensi
Dengan adanya referensi sebagai pendukung untuk membuktikan data
yang telah ditemukan oleh peneliti. Alat-alat bantu perekam data pada
penelitian kualitatif seperti kamera, handycame, alat rekam suara sangat
diperlukan untuk mendukung kredibilitas data yang telah ditemukan oleh
peneliti. Dalam laporan penelitian, sebaiknya data yang dikemukakan
perlu dilengkapi dengan foto-foto atau dokumen autentik, sehingga
menjadi lebih dapat dipercaya.
1
Ibid.
2
Ibid.
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif data yang terkumpul melalui berbagai tenik
pengumpulan data yang berbeda-beda, seperti interview, observasi,
kutipan, dan sari dari dokumen, catatan-catatan melalui tape terlihat lebih
banyak berupa kata-kata daripada angka. Oleh karena itu, data tersebut
harus diproses dan dianalisis sebelum dapat digunakan.1
Berikut proses analisis data yang digunakan oleh peniti dalam
penelitian ini :
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah kegiatan yang tidak terpisahkan dari
analisis data. Peneliti memilih data mana akan diberi kode, mana
yang ditarik keluar, dan pola rangkuman sejumlah potongan atau
apa pengembangan ceritannya merupakan pilihan analitis. Reduksi
data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih,
memfokuskan, membuang, dan mengorganisasikan data dalam satu
cara, di mana kesimpulan akhir dapat digambarkan dan
diverifikasi.2 Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang
memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan
yang tinggi.3
2. Data Display
Data Display dalam konteks ini adalah kumpulan informasi
yang telah tersusun yang membolehkan penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Data display dalam kehidupan sehari-hari
atau dalam interaksi sosial masyarakat terasing, maupun
lingkungan belajar di sekolah atau data display surat kabar sangat
berbeda antara satu dengan yang lain.4 Dalam penelitian kualitatif
yang paling sering yaitu naratif dan kejadian di masa lampau.
1
A. Muri Yusuf, op.cit., h. 407.
2
Ibid., h. 408.
3
Sugiyono, op.cit., h. 249.
4
A. Muri Yusuf, op.cit.
3. Kesimpulan
Kegiatan utama ketiga dalam analisis data yaitu penarikan
kesimpulan. Sejak awal pengumpulan data, peneliti telah
mencatat dan memberi makna sesuatu yang dilihat atau
diwawancarainya. Memo dan memo telah ditulis, namun
kesimpulan akhir masih jauh. Peneliti harus jujur dan
menghindari bias subjektivitas dirinya.1 Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila
tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti
yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel.2
1
Ibid.
2
Sugiyono, op.cit., h. 252.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Latar Penelitian
1. Sejarah Yayasan Raudlatul Makfufin
Yayasan Raudlatul Makfufin (Taman Tunanetra) yang terletak di
Kampung Jati, Buaran, Serpong, Kota Tangerang Selatan adalah lembaga
khusus Tunanetra. Didirikan oleh Raden Halim Shaleh pada tanggal 26
Nopember 1983. Sesuai dengan namanya, Yayasan Raudlatul Makfufin
mempunyai spesialisasi dan prioritas pengajaran agama Islam kepada
Tunanetra Muslim seluruh Indonesia. Hal ini erat kaitannya dengan Raden
Halim Shaleh sebagai seorang pendidik di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang
prihatin dengan kondisi tunanetra pada minimnya sarana belajar bagi kaum
tunanetra, padahal kewajiban ibadah bukan hanya berlaku bagi orang yang
sempurna tapi juga mereka yang cacat, sedang sarana pendukungnya
sangat minim.
Raden Halim Shaleh kemudian mendatangi Kantor Departemen
Agama RI. untuk kepentingan pendidikan dan mencari Al-Qur’an Braille
dan meminjamnya, tetapi pihak Depag tidak mengizinkan karena hanya
memiliki dua Al-Qur’an Braille saja yang “sewaktu-waktu diperlukan
untuk kepentingan pameran.”
Yayasan Raudlatul Makfufin memang awalnya didirikan oleh
Departemen Agama, tetapi hanya pendiriannya saja, sedangkan dana
operasional murni dipenuhi Yayasan, dari sumbangan atau zakat dan infak
umat Islam, bahkan Departemen Sosial-pun tidak menyalurkan
bantuannya. Tiap Ramadhan, Raden Halim Shaleh mengirim proposal ke
berbagai Yayasan atau para dermawan untuk menjelaskan misi Yayasan
Raudlatul Makfufin.
Yayasan Raudlatul Makfufin juga berbeda dengan Yayasan lain.
Santri yang datang belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), sedang
pendalaman agama di Yayasan Raudlatul Makfufin. Pelajaran utama di
Yayasan Raudlatul Makfufin adalah membaca Al-Qur’an, sedang ilmu
63
64
agama lain seperti fiqih dan ibadah sosial lainnya bisa didapat jamaah di
tempat lain.
Dalam kurun usia yang tergolong masih muda, telah banyak hasil
yang dicapai oleh Yayasan Raudlatul Makfufin, diantaranya, sistem
pendidikan yang semula hanya berupa majelis ta'lim ala kadarnya, kini
telah berkembang dengan mendirikan Pesantren Al-Qur’an Tunanetra
Raudlatul Makfufin, Sekolah Khusus Islam Terpadu (SKh-IT) Yarfin
dengan manajemen pendidikan modern namun tetap kental nilai-nilai
keagamaannya.
Yayasan Raudlatul Makfufin dinilai telah mampu membangun
kepercayaan para tunanetra dalam pengajaran dan pengembangan ilmu-
ilmu agama. Hal itu dibuktikan dengan semakin banyaknya jumlah santri
baik lokal maupun non lokal yang berasal dari luar kota (Jakarta,
Sumatera, dan Kalimantan) yang diikuti dengan pencapaian prestasi yang
semakin meningkat, baik ketika mengikuti event-event tingkat regional
maupun nasional. Hal ini tentu saja tidak lepas dari peran serta aktif
pendiri dan para penerusnya yang dengan gigih mencari dan meramu cara
terbaik untuk membina tunanetra muslim Indonesia agar tidak tertinggal
jauh dengan mereka yang tidak memiliki keterbatasan.
Tentunya bukan suatu hal yang mudah untuk merealisasikan itu
semua. Dibutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh, kesabaran,
keuletan, dan manajemen yang optimal. Dan bukan suatu hal yang ringan
pula mempertahankan dan bahkan meningkatkan hasil yang telah dicapai
tersebut untuk dapat mewujudkan lembaga yang ideal, namun tetap
mengikuti perkembangan zaman, yang nantinya diharapkan dapat
mencetak kader-kader da'i muslim, generasi qur’ani yang mandiri, yang
mampu mengembangkan pengetahuan agama mereka bagi agamanya,
bangsa, dan negaranya dengan tetap berpegang teguh kepada aqidah
Ahlussunnah wal-Jamaah.
65
Pindah ke Ciputat
Tahun 1991, H. Munawir Sjadzali, MA. yang waktu itu menjabat
Menteri Agama RI, memiliki perhatian khusus, dengan memberikan
pinjaman sebidang tanah milik Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di jalan Kertamukti, Ciputat. Tak hanya itu, H. Munawir Sjadzali juga ikut
andil mensukseskan pembangunan gedung untuk pusat kegiatan Yayasan
Raudlatul Makfufin. Pada tahun 1992, H. Munawir Sjadzali jualah yang
meresmikan gedung Yayasan Raudlatul Makfufin. Sejak itu, seluruh
kegiatan Yayasan Raudlatul Makfufin dapat terpusat di satu lokasi.
Seiring waktu berjalan, pada tahun 2009, muncul kebijakan
Pemerintah yang mengharuskan Yayasan Raudlatul Makfufin pindah
lokasi. Kebijakan ini mengharuskan seluruh aset negara, termasuk lahan
yang ditempati Yayasan Raudlatul Makfufin, dikembalikan kepada negara,
dalam hal ini Departemen Agama untuk pembangunan Kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tanah yang ditempati Yayasan Raudlatul
Makfufin hanya sebatas pinjaman dengan status Hak Guna Pakai.
Kebijakan pengembalian tanah pinjaman mengharuskan Yayasan
Raudlatul Makfufin berpikir keras untuk mencari lokasi baru dan
membangun kembali gedung baru. Untuk membangun gedung baru, butuh
dana yang tidak sedikit. Melalui jalur perundingan dengan pimpinan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya disepakati UIN akan membantu
pembangunan gedung baru.
Pindah ke Buaran
Pada perjalanan selanjutnya, Alhamdulillah mendapat wakaf dari
seorang hamba Allah, berupa tanah seluas 1.000 meter². Untuk
membangun gedungnya, pihak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta aktif
mengumpulkan dana sosial, salah satunya dengan melaksanakan fun-
rishing ke banyak pihak. Sekaligus ini bukti tanggung-jawab pihak UIN
untuk mengganti bangunan gedung Yayasan Raudlatul Makfufin
sebelumnya.
66
a. Visi Pesantren
Yayasan sebagai wahana pembinaan Aqidah Islamiyah bagi warga
dan keluarga tunanetra untuk mencapai kesejahteraan lahir batin,
duniawi maupun uhkrowi.3
b. Misi Pesantren
1) Membina dan Mengembangkan Aqidah Islamiyah
berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah Rasul bercirikan
1
https://makfufin.id/profil/
2
Ibid.
3
Ibid.
47
Ahlussunah waljamaah.
2) Menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal yang
bersifat inklusif maupun khusus yang bebasis keislaman.
3) Mengusahakan tumbuhnya nilai-nilai sosial ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, warga dan
keluarga turnanetra khusunya.
4) Meningkatkan kualitas sumberdaya turnanetra berbasis ilmu
pengetahuan dan tekhnologi.
5) Memfasilitasi masyarakat untuk berkontribusi baik moril,
materiil, finansial terhadap Yayasan.4
3. Data Pendidik di Pesantren Raudlatul Makfufin
Tabel 4.1
No Nama Jabatan
Ustadz Nasrul
4. Guru Al-Qur’an dan Muhadoroh
Ahmadi
Ustadz Muhammad Guru Bahasa Arab, Yasin Tahlil, Fiqih, dan
5.
Ramdani Marawis
Ustadz Muhyi
7. Guru Al-Qur’an
Khoerudin
4
Ibid.
4. Jadwal Aktivitas Santri
Tabel 4.2
1
Deden M. Makhyaruddin, op.cit., h. 257.
71
braille terlebih dahulu, kemudian dimulai dengan hafalan juz amma, dan
dilanjutkan menghafal juz pertama. Saya tidak membatasi minimalnya,
akan tetapi saya ingatkan kepada santri-santri lebih baik banyak
mengulang hafalan daripada mempunyai banyak hafalan, tetapi banyak
juga yang lupa. Saya tidak menetapkan santri mau memakai metode apa
dalam menghafal, terserah mereka mau memakai metode apa saja ketika
menghafal. Akan tetapi berdasarkan pengamatan saya, memang banyak
santri yang menggunakan metode tikrar yaitu mengulang-ulang sebelum
menyetorkan hafalan maupun setelah menyetorkan hafalan kepada saya.
Oleh karena itu, saya menyarankan mereka untuk mentikrar hafalan
mereka. Sebelum pandemi, saya menyarankan mereka untuk tikrar hafalan
berpasangan bersama temannya.2
Seperti yang dikatakan juga oleh Bapak Abdurohman, “Sebelum
memulai untuk menghafal Al-Qur’an, santri yang masuk ke Pesantren ini
diwajibkan untuk bisa membaca Al-Qur’an braille terlebih dahulu, ada
guru Qur’annya, baru kemudian setelah lancar membaca Al-Qur’an
diperbolehkan untuk menghafal Al-Qur’an”3
Pernyataan tentang pelaksanaan ini juga dinyatakan santri Pesantren
Raudlatul Makfufin yaitu Salma, sebagai berikut: Menurut saya,
metode tikrar ini adalah metode yang paling banyak digunakan oleh
para santri tahfidz di Pesantren Raudlatul ini, termasuk saya. Untuk
banyak pengulangan, tergantung dengan ayatnya. Misalnya agak mudah
dan pendek ayatnya, cuma 3-5 kali pengulangan saja, namun ketika
ayat itu saya rasa agak sulit dan panjang ayatnya, maka saya ulang bisa
sampai 7 kali bahkan lebih sampai lancar.4
2
Hasil Wawancara Guru Al-Qur’an Pesantren Raudlatul Makfufin, Ustadz Ali Hudaibi, pada
tanggal 14 Maret 2020.
3
Hasil Wawancara Kepala Pesantren Raudlatul Makfufin, Ustadz Abdurohman, pada tanggal
20 Maret 2020.
4
Hasil Wawancara Santri Pesantren Raudlatul Makfufin, Salma Aprilia, pada tanggal 20 Maret
2020.
72
kali dalam ayat yang saya rasa agak mudah dan pendek , akan tetapi
kalau ayatnya agak panjang dan agak sulit, asing menurut saya maka
bisa sampai berkali-kali dalam menghafal satu ayat tersebut. Biasanya
waktu saya menghafal adalah ketika jam 2 atau jam 3 pagi dan ketika
waktu-waktu senggang lainnya biasanya saya menghafal. Kalau
menyetorkan itu wajibnya seminggu sekali, tidak hanya berhenti sampai
setoran saja, saya juga selalu menggunakan metode tikrar ini ketika
saya muraja’ah hafalan yang sudah saya setorkan ke Ustadz Ali.5
5
Hasil Wawancara Santri Pesantren Raudlatul Makfufin, Salma Aprilia, pada tanggal 20 Maret
2020.
6
Hasil Wawancara Santri Pesantren Raudlatul Makfufin, Ayatus Syifa, pada tanggal 20 Maret
2020.
7
Hasil Wawancara Guru Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Ustadz Ali Hudaibi, pada
tanggal 14 Maret 2021.
73
Jumlah ayat yang di hafalkan anak setiap kali menyetor hafalan tidak
sama, ada peserta didik yang sangat cepat dalam menghafal, namun ada
pula peserta didik yang sedikit terlambat dalam menghafal. Dari sekian
banyak hafalan, yang terpentig adalah kelancaran. Ada yang sudah hafal
13 Juz tetapi tidak lancar, maka akan diturunkan juz nya. Kalau ditarget
untuk peserta didik Tunantera bisa memakan waktu 6 tahun jika anak-anak
istiqomah. Karena, 1 kaca Al-Qur’an Braille tidak sama dengan Al-Qur’an
pada umumnya. Tujuan menghafal adalah agar terus mengaji, jangan
sampai hafalan tidak dibawa sholat. Kalau bisa dipakai saat menjadi imam,
karena terkadang selancar apapun jika menjadi imam akan sulit.8
Hasil wawancara diatas, Guru Tahfidz Pesantren Raudlatul Makfufin
menjelaskan bahwasannya
Kemudian, Ustadz Ali Hudaibi juga menerangkan bahwa sampai pada saat
ini tidak menerapkan peraturan ketat bagi santri-santri tunanetra terutama
dalam hal jumlah setoran hafalan. Ustadz Ali Hudaibi lebih
mengedepankan motivasi dan semangat menghafal itu tumbuh alami dari
dalam diri santri-santri sendiri, karena menurutnya, istiqomah dan lancar
dalam muraja’ah lebih penting dari sekedar mengejar khatamnya hafalan
Al-Qur’an. Namun, demi tetap menjaga motivasi para santri, tetap
diterapkan peraturan bahwa setiap santri harus menyetorkan hafalan
sedikitnya dua juz dalam kurun waktu satu semester atau enam bulan.
Menurut Wiwi Alawiyah Wahid bahwa hal-hal yang perlu dipersiapkan
sebelum menghafal Al-Qur’an yaitu:
“Niat yang ikhlas, meminta izin kepada orang tua, mempunyai tekad yang
besar dan kuat, istiqomah, harus berguru kepada yang ahli, mempunyai
8
Hasil Wawancara Guru Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Ustadz Ali Hudaibi, pada
tanggal 14 Maret 2021.
74
9
Wiwi Alawiyah, op.cit., h. 28-52.
10
Sa’adulloh, op.cit., h. 58.
75
Gambar 4.1
Suasana Muroja’ah
Gambar 4.2
Suasana Hafalan
c. Kajian-kajian tambahan
Kajian-kajian tambahan ini dilaksanakan setiap hari Senin, Selasa
dan Rabu malam ba’da Isya. Menurut peneliti, kajian-kajian tambahan
ini sangat bagus sudah diterapkan kepada santri yang menghafal di
Pesantren Raudlatul Makfufin ini, karena kajian-kajian tambahan
tersebut berkaitan dengan penghafal Al-Qur’an.
C. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan di
Pesantren Raudlatul Makfufin, maka dapat dijelaskan bahwa metode yang
digunakan santri dalam menghafal Al-Qur’an yaitu metode tikrar, yang dimaksud
metode tikrar yaitu metode yang dilakukan dengan cara pengulangan hafalan yang
sudah dihafalkan kepada ustadz. Metode ini dimaksudkan agar hafalan yang
pernah dihafalkan oleh para santri bisa tetap terjaga dengan baik, selain
mengulang hafalnnya bersama ustadz, santri juga menghafalkannya dengan
sendiri-sendiri dengan maksud untuk melancarkan hafalan yang telah dihafal
sehingga tidak mudah lupa, selain itu juga santri menghafalkan Al-Qur’an dengan
cara sima’an bersama-sama membuat kelompok 3-5 orang. Setelah peneliti
mengamati dan mewancarai beberapa santri pada proses penerapan metode tikrar
dalam menghafal Al-Qur’an serta mendokumentasikannya yaitu berupa gambar,
peneliti menyatakan bahwa proses penerapan metode tikrar dalam menghafal Al-
Qur’an di Pesantren Raudlatul Makfufin, melalui beberapa tahapan, terdiri dari
tahapan persiapan dan tahapan penerapan. Adapun bentuk penerapan metode
tikrar di Pesantren Raudlatul Makfufin yaitu:
1. Tahap persiapan
Dimana tahap ini, seseorang santri sebelum menyetorkan hafalan kepada
ustad, mereka terlebih dahulu melakukan persiapan yaitu mentakrir (mengulang-
ulang) hafalan sampai benar-benar lancar dan baik. Persiapan tersebut dilakukan
agar ketika menyetorkan hafalan kepada ustadz tidak tersendat atau tidak lancar.
Adapun tahapan persiapan metode tikar dalam menghafal Al-Qur’an adalah:
a. Menentukan targer ayat yang akan dihafalkan atau sesuai kemampuan
77
a. Niat
78
“Kalau saya faktor pendukung yang utama adalah niat. Karena bagi saya,
sesuatu itu harus dimulai dari niat. Dan tidak cukup niat saja, akan tetapi
ada ikhlasnya. Niat yang ikhlas setelah itu baru saya meminta do’a dan
restu kepada kedua orangtua saya sebelum saya mulai menghafal Al-
Qur’an ini.”2
“Bagi saya pendukungnya yaitu motivasi dari diri sendiri. Karena tujuan
menghafal adalah supaya saya bisa memberikan mahkota untuk kedua
orangtua saya nantinya”.3
“Bagi saya hal yang sangat mendukung saya dalam menghafal adalah do’a
dan restu dari orangtua. Jadi, bagi saya do’a dan restu orangtua adalah
pendukung utama dalam menghafal ini.”4
1
Sa’dulloh, op.cit., h. 26.
2
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Salma Aprilia, pada tanggal
20 Maret 2021.
3
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Ihsan Maulana, pada tanggal
20 Maret 2021.
79
a. Malas
Rasa malas merupakan hambatan yang paling banyak ditemui para
penghafal Al-Qur’an di Pesantren Raudlatul Makfufin ini pada saat
menambah hafalan baru maupun mengulang hafalan yang sudah lama.
Rasa malas ini tentu akan menghambat perjalanan proses menghafal Al-
Qur’an. Hal ini dirasakan oleh Salma Aprilia yang diungkapkan kepada
peneliti sebagai berikut:
4
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Ayatus Syifa, pada tanggal
20 Maret 2021.
5
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Salma Aprilia, pada tanggal
20 Maret 2021.
80
ketika ingin memulai hafalan baru, tetapi saya selalu berusaha untuk
melawan rasa malas itu.”6
“Kalau masalah hambatan, mungkin itu dari diri sendiri ya. Setiap
harinya keadaan dan suasana hati tidak selalu baik, tetapi kita bisa
mengontrol itu semua dengan mencari cara agar suasana hati kita
menjadi baik.”7
6
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Salma Aprilia, pada tanggal
20 Maret 2021.
7
Hasil Wawancara Santri Tahfidz Tunanetra Raudlatul Makfufin, Ihsan Maulana, pada tanggal
20 Maret 2021.
8
Hasil Wawancara Guru Muroja’ah Pesantren Raudlatul Makfufin, Ustadz Ramdani, pada
tanggal 20 Maret 2021.
81
sesuatu hal yang baik jika mempunyai pendukung, penghambat pasti ada
solusinya. Seberat apapun hambatannya, kita semua akan mencari solusi
yang baik untuk memecahkan masalah tersebut dengan memusyawarahkan
terlebih dahulu serta meminta dukungan dan mtivasi dari Ustadz Ustadzah
dan para ahli Qur’an.
Sebelum mengaji dan setoran ke ustadz Ali, para peserta didik di Pondok
Pesantren Raudlatul Makfufin menjalankan kegiatan pembelajaran Tahsin dan
tajwid, yang berguna untuk menunjang pembelajaran Tahfidz ataupun hanya
mentartilkan bacaan Al-Qur’an. Kegiatan pembelajaran ini diisi oleh Ustadz Sapto
Wibowo, agar para peserta didik yang mempelajari Al-Qur’an bisa membaca
dengan baik dan benar sesuai ajaran tahsin dan tajwid. Pernyataan ini dikataan
oleh Ustadz Sapto Wibowo:
Tabel 4.4
Hasil Penilaian hafalan sebelum menggunakan metode tikrar
No Nama Skor Nilai
1. Alfin Ramadhan 3
2. Aqsyal Rusli Syafatulloh 3
3. Ayatus Syifa 4
4. Ihsan Maulana 3
5. Rafa Aprillian Putra Kurnia 2
6. Salma Aprilia 4
7. Sandi Maulana Andryano 2
8. Zaenal Abidin 3
Hasil Wawancara Guru Muroja’ah Pesantren Raudlatul Makfufin, Ustadz Sapto Wibowo,
9
Sumber: Hasil observasi dan wawancara dengan Guru Al-Qur’an Ustadz Ali
Hudaibi
Tabel 4.5
Progres Hasil Penilaian hafalan setelah menggunakan metode tikrar
No Nama Nilai
1. Alfin Ramadhan 4
2. Aqsyal Rusli Syafatulloh 4
3. Ayatus Syifa 4
4. Ihsan Maulana 4
5. Rafa Aprillian Putra Kurnia 4
6. Salma Aprilia 4
7. Sandi Maulana Andryano 4
8. Zaenal Abidin 4
A Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Penerapan Metode Tikrar pada pembelajaran tahfidzul Qur’an di Pesantren
Raudlatul Makfufin diterapkan untuk membuat hafalan baru dan
pengulangan pada hafalan yang sudah dimiliki (muraja’ah) agar hafalan
tersebut melekat dalam ingatan dan lancar (mutqin), dimana para santri
menghafal Al-Qur’an secara berulang-ulang sampai benar-benar hafal
sebelum pindah ke ayat selanjutnya. Para santri menyetorkan hafalannya
kepada Ustadz setiap hari Senin, Rabu dan Kamis. Kemudian, untuk
muroja’ah dilakukan setiap hari bersama Ustadz kecuali sabtu dan minggu,
muroja’ah ini dilakukan pada pagi hari setelah subuh dan pada sore hari
setelah ashar. Selain menyetorkan hafalan kepada Ustadz, para santri juga
melakukan sima’an bersama-sama dengan teman. Metode tikrar sangat
membantu peserta didik dalam mengingat hafalan Al-Qur’an dan para
santri lebih mengedepankan kualitas hafalan Al-Qur’an dibandingkan
dengan kuantitas hafalan. Penerapan Metode Tikrar yang dilakukan di
Pesantren Raudlatul Makfufin sangat efektif membuat para santri
mempunyai hafalan yang lebih kuat, di Pesantren ini lebih melihat kepada
kualitas hafalan dibandingkan dengan kuantitas hafalan.
2. Faktor pendukung pelaksanaan menghafal Al-Qur’an di Pesantren
Raudlatul Makfufin yaitu niat, motivasi dari orang tua dan guru, motivasi
dari teman dan lingkungan, suasana hati yang sedang baik. Sedangkan
faktor penghambat pelaksanaan Tahfidz Al-Qur’an di Pesantren Raudlatul
Makfufin yaitu suasana hati yang sedang buruk (bad mood), malas, kurang
pandai membagi waktu, dan ayat yang terlalu panjang. Adapaun solusi
dalam mengatasi hambatan tersebut adalah: meminimalisir bermain gadget
85
B Saran
1. Bagi Pesantren
Diharapkan bisa melakukan pelatihan kepada guru-guru Tahfidz agar
metode tikrar dalam pembelajaran tahfidz bisa lebih maksimal, ini
dilakukan untuk mendukung proses pembelajaran Tahfidz Al-Qur’an di
Pesantren Raudlatul Makfufin.
2. Bagi Guru
Diharapkan para Ustadz lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar dan
membimbing para santri Tunanetra guna mengurangi rasa malas dan bosan
dalam mengulang hafalan dan menstimulus para santri untuk bersemangat
mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di Pesantren Raudlatul Makfufin.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Muhamad. 2013. Model dan Metode Pembelajaran di Sekolah. Semarang:
Sultan Agung Press.
Ahyat, Nur. 2017. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Vol. 4, No. 1.
Al-Hafidz, Ahsin W. 2005. Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an. Jakarta:
Bumi Aksara.
Al-Qasim, Syaikh Abdul Muhsin. tt. Terj. Cara Menghafal Al-Qur’an dan Matan
Ilmiah. Jawa Tengah: Mufid.
Anbarini, Ratih, Intan Indriaswarti. Ayo, Dukung Percepatan Pendataan Siswa
Penyandang Disabilitas di Sekolah Inklusif,
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/11/ayo-dukung-percepatan-
pendataan-siswa-penyandang-disabilitas-di-sekolah-inklusif, diaskses pada
23 November 2020, 2020)
Aprilia, Lin, Sutaryadi, dan Tutik Susilowati, Penanganan Perbedaan Individual
Dalam Proses Pembelajaran Stenografi, Vol 2, No 2, 2013, h. 3.
Asrori, Mohammad. 2019. Psikologi Pembelajaran. Bandung: Sandiarta Sukses.
Darmadi. 2017. Pengembangan Model dan Metode Pembelajaran dalam
Dinamika Belajar Siswa. Yogyakarta: Deepublish.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 952.
Efendi, Jon, Mesya Antama Putri. Pelaksanaan Tahfizd Al-Qur’an Bagi Anak
Tunanetra Di Sekolah Berasrama Di SLB A Payakumbuh, Vol. 6, No. I,
2018.
Fathurrahman. 2014. Pembelajaran Agama Pada Sekolah Luar Biasa, Vol. 7, No.
1.
Hardani. 2020. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka
Ilmu Group Yogyakarta.
Hidayah, Aida. 2017. Metode Tahfidz Al-Qur’an Untuk Anak Usia Dini, Vol. 18,
No. 1.
87
Husna, Faiqatul, Nur Rohim Yunus dan Andri Gunawan. 2019. Hak Mendapatkan
Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Dimensi Politik Hukum
Pendidikan, Vol. 6 No. 2.
Imana, Yudi. 2016. Panduan Aplikatif Sebulan Hafal 1 Juz Metode Tikrar.
Bandung: Sygma Examedia Akanleema.
Karimi, Izzudin. 2020. 20 Langkah Agar Mudah Menghafal Al-Qur’an. Jakarta:
Darul Haq.
Kurniawan, Iwan. 2015. Implementasi Pendidikan Bagi Siswa Tunanetra di
Sekolah Dasar Inklusi, Vol. 4.
Makhyaruddin, Deden M. 2013. Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Qur’an.
Bandung: Mizan Media Utama.
Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto, Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
dan Strategi Pembelajarannya, Vol. 3 No. 1, h. 57-58.
Muhammad, Ahsin Sakho. 2018. Menghafalkan Al-Qur’an. Jakarta: Qaf Media
Kreativa.
Nani, Euis. 2010. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Catur Karya
Mandiri.
Nata, Abuddin. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Peraturan Menteri Negara, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia, Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pemenuhan
Hak Pendidikan Anak.
Rustandi, Rendi. 2020. Menghafal Al-Qur’an Metode Taqlil dan Takrir, (Jakarta:
Tarbiyah Sunnah Learning Press.
Sa’dullah. 2008. 9 Cara Praktis Menghafal Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani.
Semiawan, Conny R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.
Shidiq, Sapiudin. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenamedia Group.
Smart, Aqila. 2012. Anak Cacat Bukan Kiamat. Yogyakarta: Katahati.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta.
Suharto, Toto. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
88
4. Usaha apa saja yang Kalau dulu, semua setoran para santri baik itu
dilakukan untuk tambah hafalan maupun muroja’ah, semua
meningkatkan dilakukan setorannya kepada Ustadz Ali Hudaibi,
kualitas namun sekarang lebih dispesifikasikan, untuk
pembelajaran tahfidz santri-santri yang muroja’ah akan dipegang oleh
Al-Qur’an? guru muroja’ah, dan apabila ingin menyetorkan
hafalan baru kepada ustadz Ali Hudaibi selaku
guru Al-Qur’an. Kemudian, para santri tidak bisa
melanjutkan hafalan barunya apabila menurut
guru muroja’ah hafalannya belum kuat dan masih
banyak yang salah.
Mengetahui,
Kepala Pesantren
91
Hasil Wawancara
No Pertanyaan Jawaban
1. Apakah tujuan diterapkannya Tujuan diterapkannya metode tikrar ini
metode tikrar dalam adalah agar para santri tidak hanya banyak
pembelajaran Tahfidz Al- hafalannya tetapi juga melekat dalam
Qur’an? ingatannya, karena terbiasa untuk diulang-
ulang hafalannya.
2. Bagaimana penerapan metode Penerapan metode tikrar di Pesantren
tikrar dalam menghafal Al- Raudlatul Makfufin dalam menghafal Al-
Qur’an? Qur’an adalah pertama dengan cara
membaca Al-Qur’an terlebih dahulu
secara berulang-ulang, apabila dirasa
sudah hafal, kemudian mengulang-ulang
hafalannya tanpa melihat Al-Qur’an
sampai benar-benar melekat dalam
ingatannya.
3. Apa saja kekurangan dan Kekurangan metode tikrar sejauh ini
kelebihan Metode Tikrar? adalah para santri harus menghafal sampai
benar-benar hafal dan membutuhkan
waktu yang relatif lama, karena muroja’ah
hafalan lama lebih sulit daripada
menambah hafalan baru. Kemudian
kelebihannya adalah hafalan para santri
lebih melekat dalam ingatannya.
4. Apakah terdapat Rencana Untuk RPP tidak ada, tetapi ada program
92
Mengetahui,
Hasil Wawancara
No Pertanyaan Jawaban
1. Apakah tujuan diterapkannya Tujuan diterapkannya metode tikrar
metode tikrar dalam pembelajaran dalam menghafal Al-Qur’an di
Tahfidz Al-Qur’an? Pesantren Raudlatul Makfufin yaitu
agar para santri bisa lebih fokus
dalam menghafal Al-Qur’an dan
tidak terburu-buru dalam menghafal,
karena dalam menghafal yang di
kedepankan ada kualitas
menghafalnya bukan kuantitas
hafalannya.
2. Bagaimana penerapan metode Penerapan metode tikrar dalam
tikrar dalam menghafal Al- menghafal Al-Qur’an di Pesantren
Qur’an? Raudlatul Makfufin
3. Apa saja kekurangan dan Kekurangan metode ini sejauh ini
kelebihan Metode Tikrar? tidak ada yang berarti dan kelebihan
metode ini adalah anak-anak bisa
menghafal Al-Qur’an dengan baik
dan tidak terburu-buru sehingga apa
yang dihafal terus diingat.
4. Apakah terdapat Rencana Tidak ada RPP hanya ada target per
Pelaksanaan Pembelajaran Tahfidz semester.
Al-Qur’an?
95
Mengetahui,
Ustadz Ramdani
97
Hasil Wawancara
Waktu Wawancara : Sabtu, 20 Maret 2021 dan Senin, 02, Agustus 2021
No Pertanyaan Jawaban
1. Apa motivasi kamu menghafal Saya ingin menjadi hafizhah, kalau
Al-Qur’an di Pesantren menghafal otomatis jadi enak untuk bisa
Raudlatul Makfufin? cari referensi irama-irama baca Al-Qur’an
jadi lebih bagus.
2. Bagaimana penerapan metode Metode yang saya gunakan dalam
tikrar dalam menghafal Al- menghafal adalah mengulang sampai
Qur’an? benar-benar paham dan hafal.
3. Bagaimana langkah-langkah Untuk banyak pengulangan, tergantung
menghafal Al-Qur’an dengan ayatnya. Misalnya agak mudah
menggunakan metode tikrar? dan pendek ayatnya, cuma 3-5 kali
pengulangan saja, namun ketika ayat itu
saya rasa agak sulit dan panjang ayatnya,
maka saya ulang bisa sampai 7 kali
bahkan lebih sampai lancar.
4. Apakah metode tikrar dapat Iya, metode tikrar dapat membantu saya
membantu kamu menghafal Al- dalam mengingat hafalan dengan baik,
Qur’an? dan membantu saya agar hafalan Al-
Qur’an saya tetap terjaga.
5. Apa saja media pembelajaran Media yang saya gunakan sebagai
yang digunakan sebagai penunjang pembelajaran Tahfidz adalah
penunjang pembelajaran mp3.
Tahfidz Al-Qur’an?
98
Mengetahui,
Salma Aprilia
99
Hasil Wawancara
No Pertanyaan Jawaban
1. Apa motivasi kamu menghafal Motivasi menghafal Al-Qur’an untuk
Al-Qur’an di Pesantren membanggakan orangtua dan mendapat
Raudlatul Makfufin? mahkota
2. Bagaimana penerapan metode Kalau saya sendiri dalam melaksanakan
tikrar dalam menghafal Al- metode takrir yaitu pertama membaca ayat
Qur’an? demi ayat sampai saya benar-benar
paham. Lalu saya akan melanjutkan ke
ayat setelahnya jika saya memang benar-
benar sudah paham, setelah itu baru saya
setorkan. Dan untuk muraja’ah saya juga
menggunakan metode tikrar karena
memang sangat efektif ketika saya
menggunakan metode ini dalam membuat
hafalan baru maupun memuraja’ah hafalan
yang lama
3. Bagaimana langkah-langkah Langkah-langkah saya menghafal Al-
menghafal Al-Qur’an Qur’an dengan menggunakan metode
menggunakan metode tikrar? tikrar adalah saya membacanya berulang-
ulang kali jika dirasa sudah benar-benar
hafal baru kemudian menghafal ayat
selanjutnya.
4. Apakah metode tikrar dapat Iya, sangat membantu sekali dalam
membantu kamu menghafal Al- mempertajam hafalan.
100
Qur’an?
5. Apa saja media pembelajaran Media pembelajaran yang saya gunakan
yang digunakan sebagai adalah yang pastinya Al-Qur’an braille,
penunjang pembelajaran jika saya menemui ayat yang panjang dan
Tahfidz Al-Qur’an? sulit biasanya saya juga memakai mp3.
6. Apa saja faktor pendukung Faktor pendukung saya dalam menghafal
dalam menghafal Al-Qur’an Al-Qur’an yaitu orangtua yang selalu
menggunakan metode tikrar? mendukung saya dan juga teman-teman
yang memotivasi saya untuk menghafal
Al-Qur’an bersama-sama di Pesantren
Raudlatul Makfufin.
7. Apa saja kendala yang dihadapi Kendala yang saya hadapi ketika
dalam menghafal Al-Qur’an menghafal Al-Qur’an mungkin ketika
menggunakan metode tikrar? mendapati ayat Al-Qur’an yang panjang
dan ayatnya sulit untuk dihafal.
8. Bagaimana solusi dalam Menurut saya, solusi yang saya lakukan
mengatasi hambatan-hambatan dalam menghadapi kendala yang ada yaitu
yang ada dalam proses dengan konsisten membaca Al-Qur’an dan
pembelajaran tahfidz Al-Qur’an lebih diseringkan lagi untuk membaca dan
menggunakan metode tikrar? muroja’ah Al-Qur’an dengan Ustadz.
Mengetahui,
Ayatus Syifa
Hasil Wawancara
No Pertanyaan Jawaban
1. Apa motivasi kamu menghafal Motivasi saya menghafal Al-Qur’an di
Al-Qur’an di Pesantren Pesantren Raudlatul Makfufin adalah
Raudlatul Makfufin? orangtua saya, karena saya ingin
membahagiakan mereka dengan cara
memberikan mahkota untuk mereka di
surga.
2. Bagaimana penerapan metode Penerapan metode tikrar yang saya
tikrar dalam menghafal Al- gunakan yaitu mengulang-ulang ayat
Qur’an? sampai saya benar-benar hafal, karena
saya selalu ingat pesan Ustadz Ali bahwa
lebih baik sedikit hafalannya tapi
ingatannya kuat daripada hafalannya
banyak tetapi mudah lupa.
3. Bagaimana langkah-langkah Metode yang saya gunakan tikrar atau
menghafal Al-Qur’an mengulang-ulang sampai benar-benar
menggunakan metode tikrar? hafal. Kalau pengulangan dalam satu
ayatnya 3 sampai 5 kali dalam satu ayat
tergantung seberapa panjang dan sulitnya
ayat-ayat yang saya temui, jika ayatnya
pendek dan mudah untuk dihafal biasanya
pengulangannya tidak terlalu banyak.
4. Apakah metode tikrar dapat Iya semenjak menggunakan metode tikrar
membantu kamu menghafal Al- ini, saya sangat terbantu sekali dalam
102
Mengetahui,
Ihsan Maulana
Lampiran 2
Hasil Observasi
No Objek Terlaksana Catatan
Indikator
Pengamatan Ya Tidak
1. Guru Adanya tujuan pembelajaran
Tahfidz Al-Qur’an √
menggunakan metode Tikrar.
2. Guru dan a. Guru mengajarkan peserta
Peserta didik menghafal
√
Didik menggunakan metode
tikrar.
b. Dalam menghafal Al-
Qur’an, peserta didik
√
menggunakan metode
Tikrar.
3. Guru a. Guru menyiapkan
Rencana Pelaksanaan √
Pembelajaran.
b. Guru menyiapkan catatan √
pembelajaran.
c. Guru mampu √
mengalokasikan waktu.
d. Guru mampu menentukan
√
teknik penilaian.
e. Guru mampu menentukan
target pencapaian sesuai
√
dengan kemampuan
peserta didik.
104
atau muroja’ah
hafalannya.
b. Guru menutup
pembelajaran dengan
do’a sesudah belajar.
Kegiatan Asrama
113
Lampiran 7
No Nama
1 Ahmad Riyadi
2 Alfin Ramadhan
3 Aqsyal Rusli Syafatulloh
4 Avifah Juliana Sari
5 Ayatus Syifa
6 Azza Wardahayati
7 Choeirul Azhar
8 Ihsan Maulana
9 M. Naufal Muafa
10 Muhammad Akmal
11 Muhammad Aprizal
12 Muhammad Ihsan Dzaki
13 Muhammad Nabil Salim Asqolani
14 Naufal Zaky Rafi Afrizal
15 Puja Batistuta
16 Rafa Aprillian Putra Kurniawan
17 Romi Sehat Saladin
18 Salma Aprilia
19 Sandi Maulana Andryano
20 Taufik Rohman
21 Tion Iswanto
22 Zaenal Abidin
Lampiran 8
STRUKTUR KEPENGURUSAN
Lampiran 9
Kajian Rutin di Pesantren Raudlatul Makfufin
Lampiran 10
Sarana dan Prasarana