Anda di halaman 1dari 6

Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis harga referensi produk

minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea
keluar (BK) periode Mei 2022 adalah USD1.657,39 per metric ton (MT).
Harga referensi tersebut menurun sebesar USD130,11 atau 7,28% dari
periode April 2022, yaitu sebesar USD1.787,50/MT. Penetapan ini
tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 21 Tahun 2022
tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian
dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar. “Saat ini harga referensi CPO
telah jauh melampaui threshold USD 750/MT. Untuk itu, pemerintah
mengenakan BK CPO sebesar USD200/MT untuk periode Mei 2022,” kata
Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Veri Anggrijono,
Jumat (29/4/2022).

BK CPO untuk Mei 2022 merujuk pada Kolom 12 Lampiran I Huruf C


Peraturan Menteri Keuangan No. 1/PMK.010/2022 sebesar USD 200/MT.
Nilai tersebut tidak berubah dari BK CPO untuk periode April 2022.
Menurut Veri, penurunan harga referensi CPO dipengaruhi oleh
pencabutan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic
Price Obligation (DPO) yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Namun, kata Veri, penurunan tersebut tidak signifikan karena masih


dipengaruhi oleh beberapa faktor geopolitik. “Di antaranya invasi Rusia
terhadap Ukraina yang masih berlangsung serta penguncian wilayah
(lockdown) di Shanghai, China yang memicu kekhawatiran pemulihan
ekonomi dunia,” bebernya. Di sisi lain, Veri menerangkan, untuk harga
referensi biji kakao pada Mei 2022 sebesar USD 2.596,18/MT meningkat
0,12% atau USD3,17 dari bulan sebelumnya, yaitu sebesar
USD2.593,01/MT.

Hal ini berdampak pada peningkatan HPE biji kakao pada Mei 2022
menjadi USD2.307/MT, meningkat 0,15%atau USD 3,36 dari periode
sebelumnya, yaitu sebesar USD2.303/MT. Sementara itu, peningkatan
harga referensi dan HPE biji kakao dipengaruhi oleh beberapa faktor. Veri
bilang, secara tren harga kakao menurun yang disebabkan karena
melimpahnya pasokan dari negara produsen, yaitu Pantai Gading dan
Nigeria. Namun, karena ada perbedaan waktu dalam pengambilan data
maka harga referensi kakao meningkat 0,12% dari bulan sebelumnya.
Kalangan petani kelapa sawit Kabupaten Sijunjung sontak menjerit. Harga
tandan buah segar (TBS) kelapa sawit mendadak melorot ke level Rp1.300 –
1.600 sekilo, atau turun 65 persen, per 25 April. Saat ini, harga sawit
berkisar Rp 1.670 per kilogram.

Sejumlah kalangan menduga penyebab turunya harga sawit karena


kebijakan pemerintah stop ekspor bahan baku minyak goreng. “Tak
disangka, harga kelapa sawit mendadak jatuh drastis mencapai Rp 1.600 per
kilogram. Bahkan di tingkat bawah (tauke) Rp1.300,” sebut Usman,60,
petani kelapa sawit di Nagari Muaro Takung, Kecamatan Kamangbaru, Selasa
(26/4).

Jatuhnya harga kelapa sawit menurutnya adalah sebuah petaka karena


baginya perkebunan kelapa sawit selama ini menjadi sandaran hidup
keluarga. Seiring itu pihaknya beberapa hari lalu juga baru saja membeli
pupuk 10 zak dengan harga mahal, yakni di atas Rp 600.000 per zak isi 50
kg.

Untuk membiayai kebutuhan keluarga, kakek dua cucu ini ke depannya


merasa buntu. Terlebih sebentar lagi segera tiba Lebaran Idul Fitri 1443 H,
tentunya beban pengeluaran otomatis membengkak.

Kami sebagai masyarakat kecil tidak mengerti soal aturan ini dan itu,
maupun indiksi segala bentuk permainan oleh para pengusaha. Ketika ada
masalah, malah harga kelapa sawit dijatuhkan, masyarakat dirugikan,” ujar
Usman.

Seorang pengusaha jasa DO di PT Kemilai Permata Sawit (KPS) Muaro


Takung Jumawardi mengumumkan harga TBS lokal per 26 April berrengger
di kisaran Rp1.670 per kilogram. Mengalami penurunan lagi sekitar Rp 300
dibanding harga sehari sebelumnya.

Demi masyarakat, ia berharap agar harga kelapa sawit dapat kembali


terangkat dibandrol dengan harga jual yang pantas. “Harga murah ini
dipredisksi akan terus berlanjut sampai akhir Lebaran nanti. Masyarakat
mesti tetap bersabar,” tukasnya. (atn)

Kondisi terkini industri kelapa sawit pasca penerapan larangan ekspor


CPO di berbagai daerah dikeluhkan para petani. Harga Tandan Buah
Segar atau TBS, anjlok.

Fenomena industri kelapa sawit pada dua minggu terakhir terus jadi isu
publik. Hal tersebut tak lepas dari kelangkaan dan mahalnya harga
minyak goreng sawit beberapa bulan ini. Berbagai kebijakan pun
diberlakukan namun tak juga menyelesaikan persoalan. Terakhir,
Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude
palm oil (CPO) pada 28 April 2022 hingga ketersediaan minyak goreng
mencukupi dalam negeri.

Namun, Pemerintah Indonesia saat ini menghadapi tantangan baik dari


dalam negeri maupun dari luar negeri pasca pelarangan eksport CPO dan
bahan baku minyak goreng lainnya. Khusus dalam negeri, berdampak
ambruknya harga petani tandan buah segar (TBS), yang dinilai tidak
cepat diantisipasi potensi dampak negatifnya kepada petani sawit.

Baca Juga : Peremajaan Sawit Rakyat Terkendala Legalitas

Menurut data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) harga


TBS per tanggal 23-30 April anjlok sebesar 58,87 persen. Padahal, sudah
ada regulasi hukum terkait penetapan harga TBS lewa Peraturan Menteri
Pertanian nomor 1/2018 tentang tatacara pedoman penetapan harga TBS
Petani sawit.

Ketua Apkasindo Gulat Manurung menjelaskan bahwa sesungguhnya


regulasi tersebut sangat kuat menjaga kenormalan harga TBS petani,
jika kementerian terkait langsung mengantisipasi pasca Presiden Jokowi
menyampaikan kebijkannya.

“Tapi sayang hal itu terabaikan,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu


(4/5/2022).

Baca Juga : Larangan Ekspor CPO, Pengusaha Sawit: Dampaknya


Banyak Merugikan

Dia menuturkan, hal yang lebih parah adalah provinsi yang belum
memiliki Pergub Tataniaga TBS, dimana penurunan harga TBS nya anjlok
sampai 65,45 persen (lihat tabel). Fenomena ini juga ternyata
dimanfaatkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) menaikkan potongan
timbangan yang dalam Permentan Nomor 1/2018 “diharamkan”.

“Ya benar pasca pidato Presiden Jokowi 22 April, potongan timbangan di PKS naik hampir 3
kali lipat,” ujar Gulat. Misalnya, lanjut dia, jika petani A ke PKS menjual TBS nya 1.000
kilogram (kg), jika potongan timbanganya 10 persen, maka yang dibayar oleh PKS adalah
hanya 900 kg.

“Tentu ini semakin membuat petani merugi dua kali, pertama harga yang anjlok dan kedua
potongan timbangan di PKS,” kata Gulat.

Baca Juga : Sukses Lakukan Replanting Bersama Asian Agri, KUD Sawit
SuburDapat THR
Dia menilai, Permentan 01 Tahun 2018 dan Pergub Tataniaga TBS di delapan provinsi dan
terakhir surat edaran Dirjend Perkebunan Nomor 165 Tahun 2022 praktis tidak dipedulikan
oleh semua PKS dan industrI sawit lainnya.

“Pertanyaan yang cukup mendasar bagi kami petani sawit adalah ‘siapa yang melindungi
kami?’, ungkap Gulat.

Perlu diketahui bahwa patokan dari harga TBS adalah tender CPO di KPBN dan selanjutnya
patokan harga CPO di KPBN adalah harga CPO internasional.

“Semua orang tau bahwa harga CPO saat ini sedang naik, seharusnya TBS petani juga naik,
jika pun turun akibat larangan ekspor harusnya harga TBS kami dibeli PKS tidak kurang dari
Rp.3.800/kg, kami sudah dapat berhitung dengan cermat, sebab kami sudah generasi kedua,”
tuturnya.

Gulat mengungkapkan bahwa di Malaysia harga TBS Petani sudah mencapi Rp.5.000/kg
karena patokan mereka adalah harga CPO internasional (Rp.23.900/kg). Mengapa justru
sebaliknya dengan harga TBS Petani sawit di Indonesia?.”

Sebelumnya, Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) sudah mewanti-wanti kepada seluruh
pabrik kelapa sawit (PKS) agar tidak memanfaatkan kebijakan larangan ekspor CPO untuk
menurunkan harga bahkan tak membeli TBS sawit dari para petani.

"Kelebihan pasokan itu sangat diperkenankan. Misalnya suatu daerah butuh 100 ribu kilo liter
(kl), tapi BUMN penyalurnya butuh 200 ribu kl ya silakan saja, dengan kelebihan ini tidak
ada alasan untuk tidak membeli TBS petani," kata Plt. Ketua DMSI Sahat Sinaga dalam
konferensi pers, Kamis (28/4/2022).

Pemerintah resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya mulai Kamis
(28/4/2022). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan,
larangan ekspor dilakukan untuk menekan harga minyak goreng curah agar bisa mencapai Rp
14 ribu per liter.

Adapun yang dimaksud CPO dan turunnya yakni CPO, minyak sawit olahan (RPO), Refined,
Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein), Pome, dan Used Cooking Oil.
"Seluruhnya sudah tercakup dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan akan dilakukan
malam hari ini pukul 00.00 WIB tanggal 28 April karena ini sesuai dengan apa yang sudah
disampaikan oleh Bapak Presiden," kata Airlangga Hartarto saat konferensi pers di Jakarta,
Rabu (27/4/2022).

Pemerintah akhirnya akan mencabut kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng


dan bahan baku turunannya per 23 Mei mendatang. Atas keputusan itu, Direktur
Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa hal
tersebut memang kebijakan yang kurang tepat.

“Pencabutan larangan ekspor CPO bukti bahwa kebijakan pengendalian harga


minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan fatal,”
jelas dia kepada JawaPos.com, Jumat (20/5).
Pasalnya, harga minyak goreng di level masyarakat juga masih tinggi dan petani
sawit dirugikan dengan harga yang tandan buah segar (TBS) anjlok karena
oversupply CPO didalam negeri. Bahkan, itu juga berpengaruh terhadap pendapatan
negara.

“Pemerintah kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 triliun, belum ditambah


dengan tekanan pada sektor logistik-perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas
ekspor CPO,” ujarnya.

Kehilangan devisa ini sudah terlanjur cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO
yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Seperti pelemahan kurs rupiah
terhadap dollar Amerika Serikat dipasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan
terakhir, salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor.

“Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi,” ungkap dia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara
mengatakan, pencabutan larangan ekspor CPO bukti bahwa kebijakan pengendalian
harga minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan
fatal.
Sebab, harga minyak goreng (migor) di level masyarakat masih tinggi, petani sawit
dirugikan dengan harga tandan buah segar (TBS) yang anjlok karena oversupply
CPO di dalam negeri.

Selain itu, kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 triliun, belum ditambah
dengan tekanan pada sektor logistik -perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas
ekspor CPO. Kehilangan devisa sudah cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO,
yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Bhima menyebut, pelemahan kurs
rupiah terhadap dolar AS di pasar spot sebesar 3% dalam sebulan terakhir salah satunya
disumbang dari pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

“Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya


kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO
yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme
yang eksesif seperti ini,” ujar Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima
Kontan.co.id, Kamis (19/5).
Bhima mengatakan, saat ini pemerintah perlu menatap ke depan pasca ekspor CPO
dibuka. Yakni bagaimana pemerintah bisa mengendalikan harga minyak goreng
yang acuannya adalah mekanisme pasar.

Pengusaha yang mengacu pada harga dipasar internasional dikhawatirkan


menaikkan harga minyak goreng secara signifikan khususnya minyak goreng
kemasan.

Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar maka harga
yang saat ini rata-rata Rp 24.500 per liter dipasar tradisional bisa meningkat lebih
tinggi.
“Ada tiga solusi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah segera setelah
pencabutan larangan ekspor dilakukan,” ungkap Bhima.
Pertama, menugaskan Bulog dan memberi kewenangan untuk ambil alih setidaknya
40% dari total distribusi minyak goreng. Selama ini mekanisme pasar gagal
mengatur marjin yang dinikmati para distributor minyak goreng.

“Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar, dan
melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional,” ucap Bhima.

Kedua, menghapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah, dan ganti dengan
minyak goreng kemasan sederhana. Sebab, pengawasan minyak goreng kemasan
jauh lebih mudah dibanding curah.
Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku didalam negeri maka
program biodisel harus mengalah. Target biodisel harus segera direvisi, dan
fokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng.

Bhima menilai, dalam menerapkan 3 kebijakan tersebut butuh penyegaran pejabat


pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal
menyelesaikan masalah minyak goreng.

Anda mungkin juga menyukai