Konten ini diunduh dari alamat IP 202.80.215.174 pada 16/03/2020 pukul 13:52
Machine Translated by Google
Email: annisautami.amalia@gmail.com
Abstrak. Pengelolaan minyak jelantah diharapkan semakin mendapat perhatian saat ini.
Sebagai barang konsumsi sehari-hari, minyak goreng menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Selain
itu, potensi WCO untuk menimbulkan kerusakan lingkungan seperti pencemaran air juga tidak
terhindarkan. Mengadopsi konsep ekonomi sirkular, WCO sebenarnya dapat dikonversi menjadi produk
bernilai tambah lainnya seperti sabun atau bahan bakar. Namun, dalam praktiknya, WCO berada di
titik-titik yang tersebar. Makalah ini mengidentifikasi flow mapping WCO di Semarang Indonesia
sebagai langkah kecil sebelum pemangku kepentingan menyusun langkah selanjutnya. Berdasarkan
survei yang dilakukan terhadap 347 rumah tangga dan 146 usaha kuliner, diketahui bahwa 90% rumah
tangga dan 67,6% usaha kuliner membuang WCO ke selokan, tanah, atau tempat sampah. Ada juga
sebagian kecil peserta yang memberikan atau menjual WCO kepada pihak ke-3 seperti pemulung,
pemulung minyak, asisten rumah tangga, kerabat, dan lain-lain. Daur ulang WCO hanya dilakukan
oleh 0,9% rumah tangga dan tidak ada usaha kuliner.
1. Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir, industri mulai menaruh perhatian lebih dalam menginisiasi praktek sustainable supply chain
management (SSCM) [1], [2]. Tren internasional saat ini menantang industri untuk fokus pada SSCM dalam mencapai
keunggulan kompetitif [3] dengan menerapkan konsep ini di semua siklus hidup produk termasuk end-of-life (EOL) [4].
Salah satu produk dengan manajemen EOL yang buruk adalah minyak goreng. Isu pengelolaan minyak jelantah (WCO)
yang tidak tepat saat ini menjadi perhatian dan perhatian serius masyarakat dalam beberapa tahun terakhir [5]. Pasalnya,
produksi WCO selalu ada, mengingat minyak goreng merupakan barang konsumsi sehari-hari. Di China yang merupakan
penghasil WCO terbesar, restoran cepat saji di kota-kota besar dapat menghasilkan 15 liter WCO setiap harinya [6]. Di
negara-negara Mediterania, satu orang menghasilkan 3-5 kg WCO setiap tahun [7].
Selain jumlahnya yang besar, faktor lain yang membuat WCO terus diperbincangkan adalah dampak serius yang
ditimbulkan oleh pengelolaan WCO yang kurang tepat. Penggorengan dengan suhu tinggi dapat menghilangkan
sementara nilai yang dapat dimakan dan gizi [8], sehingga mengkonsumsi kembali minyak goreng hanya akan
membahayakan keamanan pangan dan kesehatan manusia [9]. Penanganan WCO yang tidak tepat dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan terutama air dan tanah [10]. Dalam skala yang lebih besar, perlakuan salah terhadap WCO juga
dapat merusak komunitas akuatik karena lapisan minyak dalam air akan menutupi permukaan dan menghambat oksigen untuk berdifusi[11]
Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan lisensi Creative Commons Attribution 3.0. Setiap distribusi lebih lanjut dari karya
ini harus mempertahankan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Machine Translated by Google
Melihat dampak buruk bagi manusia dan lingkungan akibat penanganan WCO yang kurang tepat, maka perlu adanya tata cara
pengelolaan limbah minyak jelantah yang tepat. WCO sebenarnya dapat dikumpulkan dan kemudian digunakan sebagai unit
produksi biofuel, sabun, detergen, cat atau pelumas [12]. Belum lagi, mengumpulkan dan mendaur ulang sampah ini merupakan
kontribusi untuk menyelesaikan tiga masalah sekaligus, yaitu mengurangi sampah, mengurangi ketergantungan energi bahan
bakar fosil, dan mengurangi emisi polutan [13].
Konsep ini mengadopsi konsep ekonomi sirkular (CE). Konsep CE adalah ketika aliran materi terus bersirkulasi dan tidak
masuk ke biosfer, kecuali nutrisi biologis [14]. Saat ini, industri mulai melihat konsep ini sebagai mekanisme untuk meningkatkan
keunggulan kompetitif [15].
Salah satu dari tiga prinsip CE adalah menjaga produk atau bahan yang digunakan.
Sebelum konsep CE dapat diimplementasikan, perlu dipastikan bahwa WCO dapat dikumpulkan terlebih dahulu. Karena dalam
prakteknya WCO berada di titik-titik yang tersebar seperti dari rumah tangga, restoran, dan hotel, sehingga diperlukan rantai
pengumpul di tempat pertama [16]. Dengan demikian, tulisan ini akan berkontribusi dalam mengidentifikasi aliran minyak
jelantah sebagai gambaran sistem untuk dipertimbangkan dalam merumuskan langkah lebih lanjut.
Membuang WCO ke tanah atau Tempat Pembuangan Akhir bukanlah bentuk penanganan yang tepat. Perlakuan seperti itu
hanya akan menimbulkan pencemaran air dan tanah, mengganggu ekosistem perairan, dan membahayakan kesehatan manusia.
Satu liter WCO yang dibuang ke aliran air dapat mencemari 1000 tangki air berisi 500 liter. Ketika mencapai sumber air, WCO
akan membentuk lapisan di permukaan air yang menghambat pertukaran oksigen dan menyebabkan perubahan ekosistem.
Tidak hanya itu, saluran pembuangan juga akan tersumbat oleh limbah minyak jelantah yang menumpuk sehingga akan
mengganggu aliran air limbah dan menimbulkan bau tidak sedap atau berbagai penyakit [19].
WCO berpotensi untuk diubah menjadi sabun, sebagai bahan baku industri pengolahan minyak atau oleokimia [20], sebagai
sumber energi seperti biodiesel, biometanol, hidrogen, H2/CO, dan hidrokarbon dengan berat molekul rendah [21]. Melihat
peluang bisnis di balik aliran limbah ini, beberapa perusahaan bahkan berinvestasi mengumpulkan WCO untuk diolah lebih
lanjut [13].
Berbeda dengan pendistribusian minyak goreng, aliran EOL WCO di Jawa Tengah belum direkap. Ini karena tidak ada
pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas pengumpulan WCO. Berbeda dengan limbah domestik yang memiliki
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, data minyak jelantah yang dihasilkan juga belum terdata. Organisasi yang terkait dengan minyak jelantah seperti
Asosiasi Pengumpul WCO untuk
2
Machine Translated by Google
Energi Terbarukan Indonesia (APJETI) juga tidak memberikan banyak informasi. Bahkan APJETI cabang Semarang
sudah tidak bisa dihubungi lagi.
3. Rancangan
Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan aliran WCO di Semarang, Indonesia.
Sebuah survei dilakukan di Semarang, Indonesia. Ini adalah ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Kota ini saat ini belum
menerapkan pengumpulan WCO dan dianggap sebagai salah satu kota yang diyakini memiliki perkembangan pesat
terkait dengan bisnis makanan. Kuesioner yang digunakan dalam survei ini terdiri dari dua bagian yang terdiri dari
informasi pribadi responden pada bagian pertama dan perilaku responden dalam mengelola WCO pada bagian
kedua. Responden survei adalah pemilik rumah tangga dan usaha kuliner. Kuesioner dirancang berbeda untuk
usaha rumah tangga dan kuliner. Untuk bagian pertama rumah tangga, informasi yang disampaikan adalah nama
responden, jenis kelamin, umur, latar belakang pendidikan, status perkawinan, pendapatan (dalam rupiah) per
bulan, dan lokasi tempat tinggal. Sedangkan untuk usaha kuliner, informasinya meliputi jenis makanan yang dijual,
pendapatan bulanan, dan lokasi food truck. Di bagian kedua untuk kuliner dan rumah tangga. Para peserta ditanya
tentang intensitas penggunaan kembali minyak, perawatan untuk WCO, jumlah WCO yang dihasilkan, dan
pemahaman mereka tentang bahayanya. Untuk menghasilkan pemetaan, persentase setiap jawaban dihitung
terlebih dahulu.
Perilaku lainnya adalah memberikan WCO kepada pihak lain. Pihak lain yang menerima WCO beragam, seperti
pemulung, asisten rumah tangga, usaha kuliner, teman atau keluarga, Bank Sampah, dan Persatuan Wanita (PKK).
Selain diberikan, beberapa seperti usaha kuliner menjual WCO ke pihak lain. Minyak goreng yang dijual hanya
digunakan untuk sekali masak. Daur ulang WCO hanya dilakukan oleh 0,9% peserta. Sebagian limbah tersebut
dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk menyalakan lampu minyak tanah, membuat pakan ayam, atau menjadi
pelumas pagar. Ini dijelaskan pada Gambar 1.
26,6% usaha kuliner mengaku tidak pernah menggunakan kembali minyak goreng tersebut. 24,4% menggunakan
kembali 3 kali, 22,6% 2 kali, 18,3% lebih dari 3 kali, dan 8,5% 1 kali. Berbeda dengan sektor dalam negeri, pada
sektor kuliner lebih banyak peserta yang tidak menghasilkan minyak sisa setelah pemakaian yaitu sebesar 13,4%.
Ini dijelaskan pada Gambar 2.
Perilaku setelah penggunaan minyak goreng antara usaha kuliner dan rumah tangga cenderung sama. Perilaku
yang paling sering dilakukan adalah membuang limbah minyak jelantah. 31,7% membuangnya ke selokan, 11,6%
membuangnya ke tanah, dan 24,4% membuangnya ke tempat sampah. Tidak ada usaha kuliner yang mampu
mendaur ulang WCO. Selain dibuang, 9,8% dijual ke usaha kuliner lain, minyak
3
Machine Translated by Google
pedagang atau pengumpul, akademi militer (KODAM), pasar tradisional, teman, keluarga, dan lainnya 9,1% diberikan kepada
pengepul minyak, pemulung, teman, keluarga atau menggunakannya lagi untuk memasak di rumah.
Data yang digunakan dalam pemetaan seluruhnya bersumber dari hasil kuesioner, sehingga cenderung subjektif. Misalnya
pada jumlah limbah minyak goreng yang dihasilkan, jawaban responden seringkali masih menggunakan perkiraan seperti
mengacu pada ukuran botol air mineral tanpa ada observasi lapangan yang digunakan untuk mengetahui jumlah limbah
minyak goreng yang dihasilkan.
Selain itu, khusus pada usaha kuliner terlihat adanya perbedaan antara informasi dari responden dengan hasil observasi.
Dalam beberapa kasus terlihat wajan penggorengan, misalnya saat melakukan wawancara dengan penjual sempolan,
terlihat minyak yang digunakan untuk menggoreng.
4
Machine Translated by Google
kecoklatan tua, tetapi ketika mengisi kuesioner, pemilik usaha mengatakan bahwa mereka hanya menggunakan
kembali minyak goreng satu kali. Ada dua hal yang diduga menjadi penyebabnya. Pertama, karena responden
salah mengartikan pertanyaan, atau karena responden merasa hal tersebut tidak boleh diketahui publik sehingga
jawaban yang diberikan tidak benar-benar mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar rumah tangga atau usaha kuliner belum mengelola WCO
dengan baik. Untuk rumah tangga, 66% membuang WCO ke saluran air, 8,6% ke tanah, dan 15,8% ke tempat
sampah. Jumlah ini sebanyak 252.271 liter WCO yang berakhir di sumber air. Sedangkan dari usaha kuliner,
31,7% membuang WCO ke saluran air, 11,6% ke tanah, dan 24,4% ke tempat sampah.
Keterbatasan penelitian ini ada dua. Pertama terkait dengan ketepatan jawaban pengusaha kuliner karena tidak
ada akses untuk mengamati kegiatan memasak dan pengelolaan sampah. Untuk penelitian yang akan datang
diharapkan adanya observasi lapangan sehingga dapat mengkonfirmasi jawaban dari responden. Keterbatasan
kedua berkaitan dengan wilayah (lokasi) penelitian ini, yaitu penelitian dilakukan di Semarang, Indonesia.
Disarankan untuk penelitian yang akan datang adalah penelitian dengan ukuran sampel yang lebih besar sehingga
diperoleh analisis yang lebih detail. Selain itu, sampel yang lebih representatif secara nasional, tidak hanya secara
geografis tetapi juga secara demografis, dapat memberikan generalisasi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, untuk
menggeneralisasi, penelitian yang akan datang harus memperluas dan memperluas wilayah penelitian.
5
Machine Translated by Google
Referensi
[1] L. Preuss 2011 Manajer Rantai Pasokan. Sebuah Int. J.14 213–23 .
[2] T. Abdallah, A. Diabat, dan J. Rigter 2013 Int. J.Prod. Ekon. 146 465–77.
[3] L. Shen, L. Olfat, K. Govindan, R. Khodaverdi, dan A. Diabat 2013 Resources, Conserv.
Daur ulang. 74 170–9.
J.Ma dan GEO Kremer 2014 J.Bersih. Melecut. 108. 289-300. [4] [5]
R. Yang, W. Tang, R. Dai, and J. Zhang 2018 J. Clean. Melecut. 201 61–77.
[6] NH Abdullah, SH Hasan, dan NRM Yusoff 2013 Int. J.Mater. Sains. Tn. 1 94–99.
A. Mannu, G. Vlahopoulou, V. Sireus, GL Petretto, G. Mulas, and S. Garroni 2018 Nat. [7]
Melecut. Komunal. 13 1934578X1801300523.
[8] S. Nanda, R. Rana, HN Hunter, Z. Fang, AK Dalai, and JA Kozinski 2018 Chem. Eng.
Sains. 195 935-45.
[9] T. Liu et al. 2018 J.Bersih. Melecut. 204 636–42.
[10] K. Hanisah, S. Kumar, dan A. Tajul 2013 Sembuh. Mengepung. J.4 76–81 .
[11] Pengelolaan Limbah LC Lange dan AFM Ferreira 2017 . 61 269–75.
[12] A. Talebian-Kiakalaieh, NAS Amin, dan H. Mazaheri 2013 Appl. Energi 104 683–710.
[13] TRP Ramos, MI Gomes, dan AP Barbosa-Póvoa 2013 Pengelolaan Sampah. 33 1691–1703.
[14] Yayasan Ellen MacArthur, “Yayasan Ellen MacArthur,” 2012.
[15] Yayasan Ellen MacArthur, “Apakah ekonomi sirkular 100 itu?”, 2013. [Online]. Tersedia: https://
www.ellenmacarthurfoundation.org/ce100. [Diakses: 24-Nov-2018].
[16] Y. Jiang dan Y. Zhang 2016 Transp. Res. Dilanjutkan 12 938–49.
[17] L. Churches, A. Lacquer, M. Blacksmith, dan M. Diaz 2012 J. Clean. Melecut. 37 162–71.
[18] M. Carlini, S. Castellucci, dan S. Cocchi 2014 Energi Procedia 45 198–206.
[19] CA Guerrero F., A. Guerrero-Romero, dan FE Sierra 2011, “Produksi Biodiesel dari Minyak Jelantah,”
Biodiesel - Pakan. Proses. Technol.
[20] C. Sheinbaum, MV Balam, G. Robles, S. Lelo De Larrea, dan R. Mendoza 2015 Pengelolaan Sampah.
Res. 33 730–39.
[21] DC Panadare dan VK Rathod 2015 Iran. J.Chem. Eng. 12 55–76.
[22] Badan Pusat Statistik, “Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia,” 2016.