Anda di halaman 1dari 101

BAB I

Sejumlah Perspektif dalam Kajian Penghidupan:


Sebuah Sejarah Ringkas

Deretan perspektif dalam kajian penghidupan menjadi kian penting dalam diskusi mengenai
pembangunan pedesaaan sejak beberapa dekade lalu. Buku kecil ini menawarkan sebuah
tinjauan umum mengenai debat-debat ini, meletakkan mereka dalam kerangka kajian
perubahan agraria yang lebih luas dan menggeledah dampak-dampaknya terhadap penelitian,
kebijakan dan praktik. Sebuah buku singkat yang mengulas sebuah gagasan besar, daya
cakupnya tidak mungkin paripurna. Tujuan saya adalah untuk menawarkan seranai pandangan
dan perspektif untuk membantu menggerakkan debat-debat mengenai penghidupan,
pembangunan pedesaan dan perubahan agraria.

Kajian yang berfokus pada penghidupan tentu bukan sesuatu yang baru. Perspektif
terpadu, holistik dan ‘dari-bawah’ yang berusaha memahami apa yang orang lakukan untuk
mengusahakan penghidupan di konteks sosial dan situasi berbeda telah menjadi perhatian
dalam pemikiran dan praktik pembagunan pedesaan selama banyak dekade. Dari kerja-kerja
lapangan di masa kolonial hingga pembangunan pedesaan terpadu sampai kebijakan bantuan
masa kini, penghidupan telah menawarkan cara mengintegrasikan kerja-kerja sektoral dan
mendasari banyak upaya di tingkat lokal. Kini, pemikiran tentang penghidupan diperbaharui
kembali untuk menghadapi tantangan-tantangan baru, termasuk adaptasi perubahan iklim,
pengurangan risiko bencana, perlindungan sosial dan lainnya.

Gambar 1.1 dan 1.2 menunjukkan grafik jumlah penggunaan istilah “penghidupan” dan
“penghidupan berkelanjutan” dalam buku dan artikel jurnal dalam kurun tertentu. Tampak
peningkatan penggunaan keduanya, utamanya sejak 1990-an.

Tetapi, dalam antusiasme penggunaan sehimpunan pendekatan, kerangka dan konsep


penghidupan, kadang kecermatan analitis dan kejelasan konseptual meredup. Apa yang kita
maksud ketika kita bicara tentang penghidupan pedesaan? Perspektif analitis apa yang
membantu kita dalam penelitian? Dan apa saja dampaknya bagi kerangka-kerangka lebih luas
untuk memahaminya yang bertujuan untuk memandu kebijakan dan praktik? Buku ini akan
memulai menjawab rentetan pertanyaan ini.

Gambar 1.1 Istilah penghidupan (livelihoods) dalam buku, 1950-2008 (persentase


buku terpindai dalam Ngram Viewer dari Google.Books)

Gambar 1.2 Jumlah terbitan dengan kata ‘penghidupan’ (livelihoods) dan frasa
‘penghidupan berkelanjutan’ (sustainable livelihoods) dalam artikel
jurnal 1994-2013 (dari Thomson Reuters Web of Science).
Sejumlah Pemikiran tentang Penghidupan

Terlepas dari sejumlah klaim mengenai silsilah pemikiran mengenai penghidupan, perspektif-
perspektif penghidupan tidak muncul tiba-tiba pada 1992 bersama terbitnya makalah
berpengaruh Robert Chamber dan Gordon Conway. Jauh sebelum itu, perspektif penghidupan
lintas disiplin punya sejarah yang kaya dan penting, dapat ditelusuri hingga jauh ke belakang
dan telah memengaruhi pemikiran dan praktik secara mendasar.

Pada 1820-an, William Corbett menjelajahi Inggris bagian selatan dan tengah dengan
menunggang kuda sembari melakukan“pengamatan langsung terhadap kondisi pedesaan”
untuk merumuskan dasar kampanye politiknya, seluruhnya terdokumentasi dalam catatan
perjalannya, “Menunggang Kuda di Pedesaan” (Rural Rides) (Corbett 1885). Dalam buku ini
saya juga akan mengajukan argumen bahwa Karl Marx dalam risalah klasiknya mengenai
metode ekonomi politik kritis, Grundrisse (Marx 1973), mengajukan elemen-elemen kunci dari
sebuah pendekatan penghidupan. Kajian-kajian geografi dan antropologi sosial awal juga
menelisik “penghidupan” atau “cara hidup” (cf. Evan Pritchard 1940, Vidal de la Bache 1911;
lihat Sakdapolorak 2014). Karl Polanyi yang meneliti hubungan antara masyarakat dan pasar
dalam transformasi ekonomi (1944), sedang mengerjakan sebuah buku, “Penghidupan
Manusia” (The Livelihood of Man), ketika ia meninggal (Polanyi 1977; lihat Kaag et. al. 2004).
Pada 1940-an dan 1950-an karya-karya Rhodes-Livingstone Institute di negara yang kini
menjadi Zambia memuat apa yang kini dapat kita sebut sebagai analisis penghidupan. Karya-
karya ini melibatkan kolaborasi antara ahli ekologi, antropologi, pertanian dan ekonomi yang
melihat sistem-sistem di pedesaan yang tengah berubah dan tantangan-tantangan
perkembangannya (Werbner 1984; Fardon 1990). Meski tidak dinamai demikian, karya-karya
ini melibatkan analisis penghidupan—analisis terpadu, lokal, lintas-sektor, diasupi oleh
keterlibatan mendalam di lapangan dan komitmen untuk melakukan tindakan.

Tetapi perspektif-perspektif tersebut tidak mendominasi pemikiran tentang


pembangunan pada dekade-dekade selanjutnya. Begitu teori-teori modernisasi menancapkan
pengaruh pada wacana pembangunan, perspektif-perspektif disiplin-tunggal menguasai arena.
Saran-saran kebijakan lebih dipengaruhi oleh para ahli ekonomi profesional ketimbang para
generalis pembangunan desa dan para pegawai yang bekerja di lapangan, keduanya aktif di
masa sebelumnya. Mengerangkakan perspektif ini dalam model-model prediktif permintaan
dan penawaran, input dan output, mikro dan makro-ekonomi, sejalan dengan apa yang
dianggap sebagai kebutuhan pada masa itu. Lembaga-lembaga pembangunan yang muncul usai
Perang Dunia II—Bank Bunia, PBB, badan-badan pembangunan bilateral, serta pemerintah di
negara-negara baru merdeka—merefleksikan hegemoni kerangka kebijakan ini, mengaitkan
ekonomi dengan disiplin-disiplin teknis spesialis dari ilmu alam, kedokteran dan teknik. Hal ini
kemudian mengesampingkan sumber-sumber kepakaran lain dari ilmu sosial, dan khususnya
perspektif-perspektif penghidupan yang berwatak lintas-disiplin. Sementara para pemilikir
alternatif dan radikal Marxis sibuk dengan level makro. Menekuni relasi politik dan ekonomi
kapitalisme dalam formasi poskolonial, mereka jarang menyelami realitas-realitas kontekstual
di lapangan yang bersifat partikular pada level mikro.

Tentu itu tidak berlaku umum, ada beberapa kontribusi penting yang lebih bernuansa
ditawarkan para ekonom dan pemikir Marxis, khususnya di bidang ekonomi pertanian dan
geografi. Tradisi kajian pedesaan merupakan alternatif penting dan berbasis empiris bagi
analisis-analisis ekonomi pedesaan lain (Lipton dan Moore 1972; Harris 2011). Di India,
misalnya, serangkaian kajian klasik meneliti beragam macam dampak Revolusi Hijau (Farmer
1977; Walker dan Ryan 1990). Dalam banyak aspek, kajian-kajian ini merupakan kajian
penghidupan, meskipun berfokus pada ekonomi-mikro produksi unit pertanian dan pola
akumulasi rumah tangga. Ketika mengembangkan pendekatan berorientasi-aktor dalam Aliran
Wageningen, Norman Long merujuk pada strategi-strategi penghidupan di lokasi studinya pada
masa itu, Zambia (Long 1984; lihat De Haan dan Zoomers 2005). Pada masa bersamaan, dari
tradisi teoritis lain, studi lapangan seperti kajian klasik perubahan pedesaan di utara Nigeria
oleh Michael Watts (1983), Silent Violence (Kekerasan Senyap), menawarkan wawasan-
wawasan penting dalam melihat pola-pola perubahan penghidupan.

Rentetan studi ini menjadi inspirasi bagi lebih banyak ragam kajian yang muncul
kemudian. Terbangun di atas kajian-kajian pedesaan, deretan kajian mengenai rumah tangga
dan sistem cocok tanam (farming) menjadi bagian penting dari penelitian pembangunan pada
1980-an (Moock 1986), khususnya yang berfokus pada dinamika di dalam rumah tangga (Guyer
dan Peters 1987). Penelitian sistem cocok tanam didorong di banyak negara, dengan itikad
untuk menemukan perspektif sistem yang lebih terpadu mengenai persoalan-persoalan
bercocok tanam. Kemudian, analisis agro-ekosistem (Conway 1985) dan pendekatan-
pendekatan kaji cepat dan partisipatif pedesaan (Chambers 2008) memperbanyak metode dan
gaya kerja di lapangan.

Kajian-kajian yang berfokus pada penghidupan dan perubahan lingkungan juga punya
peran penting. Mengingat pentingnya ekologi yang dinamis, sejarah dan perubahan jangka
panjang, gender dan diferensiasi sosial dan konteks budaya, pada kurun itu para ahli geografi,
antropologi dan ekonomi-sosial menghasilkan serangkaian analisis yang kaya dan berpengaruh
mengenai kawasan pedesaan.1 Hal ini mendefinisikan bidang kajian lingkungan dan
pembangunan, serta penghidupan yang berada di bawah tekanan, dengan fokus pada strategi
hadap-masalah (coping) dan adaptasi penghidupan.

Kajian-kajian ini dalam banyak hal bersimpangan dengan kajian-kajian geografi politik
Marxis, tetapi punya jalur intelektual sendiri yang kelak bernama “ekologi politik”.2 Pada
dasarnya ekologi politik berfokus pada titik-simpang antara kekuatan-kekuatan politik
struktural dan dinamika ekologis, meski ada banyak percabangan dan variasi. Ekologi politik
sebagian dicirikan oleh komitmennya terhadap kerja lapangan di level mikro, dengan
pemahaman yang melekat pada realitas-realitas yang rumit tampak pada berbagai ragam
penghidupan, namun tetap dihubungkan dengan isu-isu makro-struktural.

Gerakan-gerakan lingkungan dan pembangunan pada 1980-an dan 1990-an mengangkat


isu tentang hubungan antara penanggulangan kemiskinan dan pembangunan dengan

1 Misalnya, untuk Afrika, Richards 1985; Mortimore 1989; Davies 1996; Fairhead dan Leach 1996;
Scoones et al. 1996; Mortimore dan Adams 1999; Francis 2000; Batterbury 2001; Homewood 2005; di
antara banyak lainnya termasuk para perintis dalam tradisi ekologi budaya, seperti Rappaport 1967 dan
Netting 1968.
2 Lihat Blaikie 1985; Blaikie dan Brookfield 1987; Robbins 2003; Forsyth 2003; Peet dan Watts 1996,

2004; Peet et al. 2010; Zimmerer dan Bassett 2003; Bryant 1997.
guncangan dan tekanan lingkungan berjangka panjang. Istilah “keberlanjutan” menjadi penting
menyusul terbitnya laporan Brundtland pada 1987 (WCED 1987) dan menjadi pusat perhatian
kebijakan seusai Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada
1992 (Scoones 2007). Agenda pembangunan berkelanjutan sering secara kikuk digandengkan
dengan isu-isu penghidupan yang mengedepankan masyarakat lokal (ciri penting Agenda 21),
dan perhatian global terhadap isu-isu lingkungan (tertulis dalam konvensi-konvensi mengenai
perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan sains keberlanjutan) (Folke et. al. 2002;
Gunderson dan Holling 2002; Clarke dan Dickson 2003; Walker dan Salt 2006).

Dengan begitu, seluruh pendekatan ini—kajian pedesaan, analisis ekonomi rumah


tangga dan gender, penelitian sistem cocok tanam, analisis agro-ekosistem, kaji cepat dan
partisipatif, kajian-kajian perubahan sosial-lingkungan, ekologi budaya, ekologi politik, sains
keberlanjutan dan kajian ketangguhan (dan banyak cabang dan variasi lain3)—telah
menyumbang beraneka saran tentang bagaimana penghidupan desa bersimpangan dengan
proses politik, ekonomi dan lingkungan. Gagasan-gagasan ini berasal dari berbagai perspektif
disiplin ilmu, dari ilmu alam dan sosial. Masing-masing punya fokus dan penekanan sendiri,
dan telah dilibatkan dalam kebijakan dan praktik pembangunan, dengan cara dan tingkat
pengaruh yang beragam pula.

Penghidupan Desa Berkelanjutan

Minat atas penghidupan meluas sejak akhir 1980-an, yang menghubungkan tiga kata:
berkelanjutan, desa dan penghidupan.4 Penggandengan tiga kata ini dikenal muncul pada 1986
di sebuah hotel di Genewa, Swiss, dalam sebuah diskusi tentang laporan Pangan 2000 yang
dibuat untuk Komisi Bruntland.5 Dalam laporan tersebut M.S. Swaminathan, Robert Chambers
dan kolega mereka menyajikan sebuah visi tentang pembangunan berorientasi-rakyat yang
menjadikan kenyataan yang dihadapi warga miskin pedesaan sebagai pijakannya (Swaminathan
et. al. 1987). Ini menjadi tema yang kuat dalam karya-karya Robert Chambers, dan khususnya
pada bukunya yang sangat berpengaruh Rural Development: Putting the Last First
(Pembangunan Desa: Mengedepankan yang Dibelakangkan) (Chambers 1983). Buku ini sendiri
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman Chambers sebelumnya sebagai seorang pegawai
distrik dan manajer sebuah penelitian terpadu (Cornwall dan Scoones 2011). Pada 1987, di
bawah arahan visioner Richard Sandbrook, International Institute for Environment and
Development (Institut Internasional Lingkungan dan Pembangunan) menyelenggarakan sebuah
konferensi mengenai penghidupan berkelanjutan (Conroy dan Litvinoff 1988). Dan Chambers
menulis sebuah tinjauan umum (1987).

3
Termasuk, dalam kepustakaan berbahasa Perancis, kajian-kajian mengenai systemes agraires (cf.
Pelissier 1984; Gaillard dan Sourisseau 2009).
4 Koleksi ini diambil dari Scoones 2009.
5 Wawancara Robert Chambers; meskipun dia menyebutkan bahwa ada sejumlah pendahulu (yang

beragam), seperti esai untuk Pertemuan Tingkat Menteri Negara-Negara Persemakmuran berjudul
Policies for Future Rural Livelihoods (Kebijakan untuk Penghidupan Pedesaan di Masa Depan).
Tetapi baru pada 1992, ketika Chambers dan Conway menghasilkan sebuah kertas kerja
untuk Institute of Development Studies, definisi penghidupan berkelanjutan yang kini banyak
digunakan baru dirumuskan. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut:

Sebuah penghidupan terdiri dari kapabilitas [atau kesanggupan], aset (termasuk sumber-sumber
material dan sosial) dan kegiatan mencari nafkah. Sebuah penghidupan dapat disebut
berkelanjutan bila dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, mempertahankan
atau menguatkan kapabilitas dan aset, sembari tidak menyusutkan basis sumber daya alam.
(Conway dan Chambers 1992: 6)6

Kertas kerja ini dianggap sebagai titik berangkat bagi apa yang kelak dikenal pada 1990-
an sebagai “pendekatan penghidupan berkelanjutan”. Pada masa itu, tujuannya sederhana saja
dan muncul dari pembicaraan dua penulisnya. Keduanya melihat pentingnya kaitan antara
perspektif mereka “mengedepankan yang diterbelakangkan” dalam praktik pembangunan
(Chambers 1983) dengan analisis agro-ekosistem dan tantangan-tantangan pembangunan
berkelanjutan yang lebih luas (Conway 1987). Kertas kerja ini dibaca luas7 tetapi pada masa itu
tidak berdampak langsung pada pemikiran pembangunan arus utama.

Deretan argumen mengenai pengetahuan dan prioritas masyarakat lokal dan perhatian
sistematis terhadap keberlanjutan tidak cukup punya daya tarik dalam debat-debat sengit
mengenai reformasi ekonomi dan kebijakan neoliberal pada masa itu. Terlepas dari buku-buku
dan artikel yang memuat kritik pedas, pembelokan menuju neoliberal pada 1980-an telah
berhasil menyusutkan rangkaian debat mengenai alternatifnya. Diskusi di seputar penghidupan,
lapangan kerja dan kemiskinan mencuat di sekitar Pertemuan Puncak untuk Pembangunan
Sosial (World Summit for Social Development) Kopenhagen pada 1995,8 tetapi pendekatan
penghidupan tetap berada di pinggiran. Tentu saja, aspek argumen partisipasi untuk
keterlibatan pihak lokal dan fokus terhadap penghidupan ditempelkan ke paradigma neoliberal,
bersama narasi tentang pengurangan peran negara dan kebijakan berorientasi permintaan
(pasar). Tetapi bagi sebagaian kalangan, kecenderungan ini menyulap ‘partisipasi’ menjadi
tirani baru (Cooke dan Kothari 2001). Dengan cara serupa, debat mengenai keberlanjutan
menjadi bagian pelengkap bagi solusi-solusi berorientasi-pasar dan tatakelola global lingkungan
yang bersifat dari-atas dan instrumental (Berkhout et. al. 2003). Perhatian terhadap
penghidupan, dinamika lingkungan dan pembangunan yang menyasar kemiskinan masih
bertahan di pinggiran.

Tetapi semua ini berubah pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Solusi-solusi baku
Konsensus Washington mulai mendapat tantangan—di jalanan, seperti Battle of Seattle pada
pertemuan tingkat menteri WTO 1999; dalam debat-debat yang digelar oleh gerakan-gerakan
sosial di World Social Fora (sejak 2001 di Porto Alegre); dan dalam debat-debat akademik,
termasuk dalam ilmu ekonomi (sejak Amartya Sen dan Joseph Stiglitz). Konsensus Washington
juga mendapat tantangan di negara-negara dengan ekonomi yang mengalami kemerosotan
seusai melakukan reformasi ekonomi versi neoliberal, dan kemampuan pemerintah mereka
mengalami penurunan selama reformasi itu berlangsung. Di Inggris, pemilihan umum 1997

6 Sebagaimana diadaptasi oleh Scoones 1998, Carney 1999 dan lainnya.


7 Dikutip sebanyak 2671 kali pada November 2014 menurut google.scholar.
8 www.un.org/esa/socdev/wssd/
menjadi momen kunci bagi debat mengenai pembangunan. Bersama pemerintahan yang
didominasi Partai Buruh dibentuklah Departemen Pembangunan Internasional (Department
for International Development, DfID), diangkat pula seorang menteri yang sering berusara dan
berkomitmen tinggi, Clare Short. Dan sebuah White Paper dirumuskan untuk secara eksplisit
berfokus menangani kemiskinan dan penghidupan (lihat Solesbury).9

White Paper menyebutkan penghidupan pedesaan berkelanjutan sebagai prioritas inti


pembangunan. Bahkan pemerintah Inggris telah melancarkan kerja-kerja dalam bidang ini,
dengan beberapa program penelitian sedang berjalan, termasuk sebuah penelitian yang
diselenggarakan Institute of Development Studies (IDS) Universitas Sussex, Inggris, yang
bekerja di Bangladesh, Etiopia, dan Mali. Tim peneliti multi-disiplin ini melakukan analisis
perbandingan atas perubahan penghidupan, dan telah mengembangkan daftar pemeriksaan
(check list) untuk mengaitkan elemen-elemen yang diteliti di lapangan (Scoones 1998). Selain
itu karya-karya rintisan yang dikerjakan oleh Institut Internasional Pembangunan
Berkelanjutan (International Institute for Sustainable Development) (Rennie dan Singh 1996)
dan Masyarakat untuk Pembangunan Berkelanjutan (Society for Sustainable Development)
(Almaric 1998), sangat mirip dengan kerja-kerja IDS mengenai “kesanggupan mengakses
lingkungan” (environmental entitlements). Dikembangkan berdasarkan karya klasik Amartya
Sen (1981), kemampuan mengakses lingkungan menekankan peran mediasi yang diemban
berbagai pranata/lembaga dalam menentukan akses terhadap sumber daya, ketimbang hanya
melihat produksi dan kelimpahan (Leach et. al. 1999).

Sebagaimana rentetan karya tentang penghidupan berkelanjutan yang dihasilkan IDS,


kerja-kerja di atas merupakan upaya untuk melibatkan para ahli ekonomi dalam diskusi tentang
akses berikut dimensi organisasional dan kelembagaan pembangunan pedesaan dan perubahan
lingkungan (lihat Bab 4). Menimba inspirasi dari karya Douglas North (1990) dan lainnya, para
pengusung perspektif daya akses (entitlement) lingkungan menggunakan istilah-istilah seperti
ekonomi institusional dan dinamika lingkungan (khususnya dari perspektif “ekologi baru”, lihat
Scoones 1999), yang diambil dari antropologi sosial dan ekologi politik. Ini sangat mirip dengan
karya Tony Bebbington (1999) yang mengembangkan kerangka modal dan kapabilitas (capitals
and capabilities) untuk mengkaji penghidupan dan kemiskinan pedesaan di Andes, sekali lagi
meminjam dari karya klasik Amartya Sen.

Dalam kajian pembangunan lintas-disiplin, membuat para ekonom memahaminya


sebagai sesuatu yang masuk akal adalah sebuah keharusan. Para ekonom baru saja ‘berjumpa’
dengan pranata/lembaga—atau setidaknya bagi ekonom dari versi individualistik dan aktor-
rasional—dalam bentuk perspektif ekonomi institusional baru (new institutional economics)
(Harris et. al. 1995). Relasi sosial dan budaya didefinisikan dalam kerangka modal sosial (social
capital) (Putnam, Leonardi dan Nanetti 1993). Dengan ini, telah terbuka peluang untuk
menghasilkan diskusi produktif, meskipun sebagian besar masih dalam kerangka disiplin
ekonomi. Maka, pendekatan daya-akses lingkungan (Leach et. al. 1999) dan saudaranya yang
lebih terkenal, ‘kerangka penghidupan berkelanjutan’ (Carney 1998; Scoones 1998; Morse dan
McNamara 2013), menekankan bahwa atribut-atribut ekonomi penghidupan dimediasi oleh
proses-proses sosial-institusional. Kerangka-kerangka penghidupan berkelanjutan khususnya

9 www.dfid.gov.uk/Pubs/files/whitepaper1997.pdf
mengaitkan input (modal, aset, atau sumber daya) dan keluaran (strategi-strategi
penghidupan). Ini kemudian dihubungkan dengan hasil (outcomes) penghidupan yang
menggandengkan kajian-kajian yang sudah akrab bagi para ekonom (semisal garis kemiskinan
dan tingkat penyerapan tenaga kerja) dengan kerangka-kerangka lebih luas (seperti
kesejahteraan dan keberlanjutan) (lihat Bab 2). Masing-masing kerangka ini dilihat sebagai
sesuatu yang dimediasi oleh proses-proses sosial, institusional dan organisasional.

Kata-Kata Kunci

“Penghidupan desa berkelanjutan” (atau “penghidupan desa”, “penghidupan berkelanjutan”


atau “penghidupan”) kemudian menjadi istilah bagi pendekatan penelitian dan intervensi
pembangunan tertentu. Sebagaimana dibahas lebih jauh di bawah (Bab 3), terjadi ledakan
aktivitas, meliputi penelitian, pendaan proyek, konsultasi, pelatihan dan lainnya. Sebagai
“istilah-istilah di tapal batas” (Gieryn 1999; Scoones 2007), frasa-frasa di atas, berikut konsep-
konsep, metode dan pendekatan yang mengiringi mereka, dapat menyatukan banyak pihak:
melintasi disiplin ilmu, sekat-sekat sektor dan institusi. Mereka menciptakan komunitas
praktis—meski beragam, bercabang dan berbeda, namun dapat teridentifikasi.

Untuk membantu memahami debat ini, Gambar 1.3 menyajikan ‘awan kata’ (word
cloud) dari artikel klasik Chambers dan Conway (1992) tentang penghidupan berkelanjutan.

Gambar 1.3 Awan kata berdasar karya Chambers dan Conway (1992), diproses
dengan Wordle hanya menggunakan teks inti, dengan sebagian kata penghubung
dihilangkan

Awan kata menunjukkan pentingnya konsep-konsep yang saling terhubung; misalnya,


aset, akses, sumberdaya dan kapabilitas, pedesaan, pendapatan, miskin, sosial, juga masa
depan, guncangan, generasi dan global. Kotak 1 menyajikan daftar sebagian dari sekian banyak
penerapan pendekatan penghidupan di berbagai latar, dengan menggunakan rujukan terpilih
dari masing-masing penerapan tersebut (bahkan, masing-masing kata dapat dihubungkan
dengan keseluruhan kepustakaan!).

Kotak 1.1 Penerapan Pendekatan Penghidupan

 Pertanian (Carswell 1997)


 Sumber-sumber genetik hewan (Anderson 2003)
 Budidaya air (Edwards 2000)
 Pelestarian keanekaragaman hayati (Bennett 2010)
 Perubahan iklim (Paavola 2008)
 Konflik (Olson 2000)
 Kebencanaan (Cannon et. al. 2003)
 Energi (Gupta 2003)
 Kehutanan (Warner 2000)
 Masyarakat adat (Davies et. al. 2008)
 Irigasi (Smith 2004)
 Kelautan (Allison dan Ellis 2001)
 Teknologi telepon genggam (Duncombe 2014)
 Manajemen sumber daya alam (Pound et. al. 2003)
 Keamanan gizi dan pangan (Maxwell et. al. 2000)
 Penggembalaan (Morton dan Meadows 2000)
 Pemukiman ulang (Dekker 2004)
 Pengelolaan daerah aliran sungai (Cleaver dan Franks 2005)
 Pasar desa (Dorward et al. 2003)
 Sanitasi (Matthew 2005)
 Perlindungan sosial (Devereux 2001)
 Perdagangan (Stevens, Devereux dan Kennan 2003)
 Pembangunan kota (Rakodi dan Lloyd Jones 2002; Farrington et al. 2002)
 Rantai nilai (Jha et al. 2011)
 Air (Nicol 2000)

Tampaknya pendekatan penghidupan kini diterapkan ke seluruh hal: ternak, perikanan,


kehutanan, pertanian, kesehatan, pembangunan kota dan lainnya. Sejak akhir 1990-an,
gelombang besar esai ilmiah muncul, seluruhnya mengklaim berlabel penghidupan
berkelanjutan. Seiring dengan kian pentingnya pendekatan ini dalam penyusunan program
pembangunan, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengaitkannya dengan indikator-
indikator operasional (Hoon Singh dan Wanmali 1997), monitoring dan evaluasi (Adato dan
Meinzen Dick 2002), strategi-strategi sektoral (Gilling, Jones dan Duncan 2001) dan
rancangan-rancangan strategi pengentasan kemiskinan (Norton dan Foster 2001). Tetapi
mungkin penerapan yang paling menarik ada di wilayah dimana tema-tema persimpangan
dapat dibuka oleh perspektif penghidupan. Maka, pembahasan mengenai HIV/AIDS
merupakan perumusan ulang dari tema kesehatan menjadi sebuah diskusi mengenai
penghidupan (Loevinsohn dan Gillespie 2003); diversifikasi penghidupan, migrasi dan
pendapatan non-pertanian di pedesaan diletakkan di pusat agenda pembangunan pedesaan
(Tacoli 1998; de Haan 1999; Ellis 2000); dan kompleks kedaruratan, konflik dan kebencanaan
kini dilihat melalui lensa penghidupan (Cannon et al. 2003; Longley dan Maxwell 2003).

Pertanyaan-Pertanyaan Kunci

Akan tetapi buku ini bukan tentang kecenderungan di dalam birokrasi bantuan atau pergerakan
fesien di dunia akademis, atau pelipatgandaan penerapan pendekatan ini di latar yang beraneka
ragam. Buku ini berkonsentrasi pada beberapa pertanyaan konseptual dasar yang sangat
penting untuk memahami konteks pedesaan dan perubahan agraria. Lewat buku ini saya juga
menyarankan bahwa pendekatan-pendekatan penghidupan, meminjam dari tetapi juga
melebarkan aplikasi yang telah dibahas sejauh ini. Juga bahwa pendekatan-pendekatan ini
punya peran penting sebagai alat untuk memahami dan menjadi dasar bagi tindakan.

Penghidupan di latar apa pun sangat rumit dan punya banyak dimensi. Penghidupan
desa tentu melampaui usaha tani dan cocok tanam hingga mencakup kegiatan di luar lahan
pertanian, meliputi seluruh lapangan kerja pedesaan. Kaitan dengan wilayah perkotaan dan
migrasi juga penting. Penghidupan dikonstruksi sebagai sebuah ‘gudang konsep’ yang rumit
(Chambers 1995) atau bricolage (Cleaver 2012; Batterbury 1999; Croll dan Parkin 1992),
pembauran elemen-elemen berbeda di antara masyarakat dan di sepanjang waktu dan ruang.
Sebagian orang melakukan spesialisasi, sementara sebagian lagi diversifikasi: dirujuk oleh
Chambers sebagai “rubah dan landak” (Chambers 1997a).

Sebagaimana dijelaskan Henry Bernstein (2009: 73), banyak orang harus mengusahakan
penghidupan

melalui kerja upahan yang rentan, menindas dan kian ‘terinformalisasi’ dan/atau
berbagai macam aktivitas ‘sektor informal’ (‘bertahan hidup’) yang berskala kecil dan
rentan, termasuk bercocok tanam; ini menghasilkan berbagai jenis kombinasi rumit
antara lapangan pekerjaan yang tersedia dan yang harus diciptakan sendiri. Banyak dari
orang miskin yang bekerja melakukan hal ini di banyak tempat dengan beragam sistem
pemilahan kerja: perkotaan dan pedesaan, pertanian dan non-pertanian, serta kerja
upahan dan kerja mandiri. Hal ini menganulir asumsi warisan mengenai gagasan (dan
‘identitas’) ‘buruh’, ‘pedagang’, ‘perkotaan’, ‘pedesaan’, ‘bekerja’, ‘bekerja-mandiri’.

Frank Ellis (2000) menekankan pentingnya melihat penghidupan pedesaan sebagai serentang
ragam strategi, bercocok tanam hanya salah satu di dalamnya, berbeda-beda di antara dan
dalam masing-masing keluarga. Di latar yang mengalami perubahan agraria, ekonomi pedesaan
non-pertanian semakin penting seiring dipadukannya produksi pertanian dan kegiatan lain
(Haggblade et al. 2010). Aliran sumber daya dari luar pedesaan dalam bentuk remitansi
(kiriman dari para perantau) juga sangat penting, demikian pula dengan perubahan pola
migrasi, terhubung dengan daerah perkotaan, dan meluasnya diaspora global (McDowell dan
DeHaan 1997). Seiring terjadinya perubahan ekonomi lebih luas, wilayah pedesaan pun
mengalami perubahan. Bersama perubahan ini muncul pula pola de-agrarianisasi (Bryceson
1996), kelas-kelas pekerja ‘lepas’ (footloose) (Breman 1996) dan pengurangan penduduk di
kawasan-kawasan tertentu, dengan kelompok-kelompok tertentu bergerak ke kota-kota atau
wilayah lain sementara kelompok lain ditinggal di desa (Jingzhong dan Lu 2011). Di sebagian
wilayah pedesaan, kegiatan-kegiatan ekonomi baru seperti eksploitasi mineral (Bebbington et
al. 2008) atau investasi perkebunan berskala besar (White et al. 2012) menghasilkan perubahan
besar-besaran dalam peluang penghidupan, ketika para petani kecil terpaksa beralih ke kerja
upahan. Ke manapun kita memalingkan pandangan, utara atau selatan, kita akan melihat
perubahan struktural besar-besaran di pedesaan yang digerakkan oleh perubahan ekonomi.
Semuanya membentuk ulang penghidupan secara dramatis. Sehingga menjadi penting bagi
sebuah pendekatan penghidupan untuk mengakui kekhususan kontekstual penghidupan
tertentu dan menghubungkannya dengan faktor penggerak struktural yang lebih luas. Ini
merupakan argumen utama dalam sebuah buku teks Universitas Terbuka yang luar biasa
namun sering terlewatkan, Rural Livelihoods: Crises and Responses, disunting oleh Henry
Bernstein, Ben Crow dan Hazel Johnson, terbitan tahun 1992.
Bagi latar tertentu, kita perlu bertanya, “penghidupan apa saja yang sedang kita
bicarakan?”, sehingga, meminjam dari penulis buku anak-anak yang terkenal Richard Scarry,
jelajahi “apa yang dilakukan orang sepanjang hari?” Kita pun perlu menelisik “penghidupan
siapa?” sehingga dapat mengulas relasi sosial dan proses-proses pemilahan sosial. Kita juga
perlu bertanya “di mana penghidupan dapat diperoleh?” untuk melihat soal-soal ekologi,
geografi dan teritori. Kita perlu menjelajahi dimensi temporal, bertanya tentang musim dan
variasi tahunan. Dan mungkin di atas semuanya, kita perlu melampaui kajian deskriptif untuk
bertanya mengapa penghidupan tertentu memungkinkan dan yang lainnya tidak. Ini butuh
pemahaman akan penyebab yang lebih luas seperti pemiskinan, penundukan dan peminggiran,
tetapi juga butuh pemahaman tentang peluang dan usaha, dan dengan itu proses-proses
institusional dan politik yang memengaruhi hasilnya (O’Laughlin 2004).

Deretan pertanyaan ini tidak sederhana. Pertanyaan-pertanyaan ini mengangkat isu inti
ekonomi politik agraria yang telah dijelajahi Marx, Lenin, Kautsky dan lainnya, dan karena itu
sejumlah pertanyaan klasik tentang bagaimana kelas-kelas agraria muncul dan bagaimana
hubungan antar-kelompok di bawah kondisi ekonomi politik berbeda berefek terhadap
kehidupan manusia (Bernstein 2010a, b). Di Bab 6, saya menyarankan kebutuhan untuk
menautkan tradisi lama ini dengan fokus penghidupan yang muncul belakangan.

Tetapi di bagian berikut saya akan jelaskan dulu tentang hasil-hasil penghidupan; apa
yang orang dapatkan dari kegiatan penghidupan mereka yang beragam dan terpilah, bagaimana
hasil-hasil ini terdistribusi dan bagaimana orang memahami kebutuhan, keinginan dan hasrat?
Untuk melakukan ini, saya akan meletakkan pembahasan mengenai penghidupan di dalam
kerangka kepustakaan yang lebih luas tentang kemiskinan, kesejahteraan dan kapabilitas.
Bab 2
Penghidupan, Kemiskinan dan Kesejahteraan

Perhatian utama setiap analisis penghidupan ialah untuk memahami siapa yang miskin dan
siapa yang sejahtera, dan mengapa demikian. Kemiskinan masih lebih banyak ditemukan di
perdesaan dan terkonsentrasi di bagian dunia tertentu, namun pola ketimpangan dalam hal
peluang penghidupan berlangsung nyaris universal (Picketty 2014). Sebagaimana disimpulkan
Paul Collier, “milyaran orang di tingkat paling bawah” adalah kelompok yang butuh perhatian
segera, dan pendekatan-pendekatan yang membantu kita memahaminya dan bertindak tak
kalah pentingnya. Tetapi mengapa sangat banyak orang di awal abad dua puluh satu tetap
terperangkap di tingkat paling bawah adalah pertanyaan yang lebih luas: pertanyaan ekonomi
politik dan relasi struktural global. Terlepas dari masih berlanjutnya debat mengenai bagaimana
persisnya mengukur kemiskinan (Ravallion 2011a), di mana kaum miskin berada dan
bagaimana pola kemiskinan berubah (Kanbur dan Sumner 2012; Sumner 2012), kegentingan
tantangan pembangunan tak dapat terelakkan.

Debat mengenai bagaimana kita seharusnya mengkaji kemiskinan dan kesejahteraan


telah berlangsung intensif selama banyak dekade. Semua pihak sepakat bahwa penghidupan
terpilah, beragam, multidimensional, tetapi bagaimana seharusnya membuat kajian untuk
menyusun intervensi dan mengembangkan kebijakan? Di sini ada banyak silang pendapat.
Tahun 2009, Komisi Sarkozy, dengan kontribusi dari sejumlah ahli ekonomi terdepan dunia,
menyarankan dengan kuat bahwa pendekatan non-pendapatan sangat penting.10 Komisi ini
mengadvokasikan fokus terhadap pembangunan manusia, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Sebagai tanggapan atas debat ini, Sabina Alkire dan rekannya mengembangkan indeks
kemiskinan multidimensi (Alkire dan Foster 2011; Alkire dan Santos 2014), juga merupakan
produk dari perspektif kapabilitas yang terinspirasi karya Amarty Sen (lihat di bawah).

Kalangan lain mengajukan argumen bahwa untuk memahami penghidupan nyata


rakyat, kita masih perlu melangkah lebih jauh, menyelami dinamika di dalam rumah tangga,
khususnya isu-isu gender, dan mengajukan pertanyaan lebih luas mengenai distribusi, akses
dan suara /aspirasi (Guyer dan Peters 1987). Dalam pandangan seperti ini, kesetaraan,
pemberdayaan dan pengakuan menjadi atribut penting (Fraser 2003). Menurut para
pengusungnya, rasa memiliki, kemerdekaan dari kekerasan, keamanan, persepakatan

10 www.stiglitz-sen-fitoussi.fr/en/index.htm
komunitas dan suara politik adalah atribut-atribut penting kesejahteraan (Chambers 1997b;
Duflo 2012). Mereka juga berpendapat bahwa berbagai macam indikator harus digabungkan
untuk dapat memahami secara lengkap kemiskinan; dengan seluruh dimensinya yang jamak.

Tetapi Martin Ravallion, mantan pentolan ahli ekonomi Bank Dunia, menantang pendapat ini
yang akan menambahkan lebih banyak indikator (yang terus bertambah). Ia berpendapat bahwa
ukuran-ukuran komposit seperti itu membingungkan, berdasarkan pada serangkaian penilaian
(judgement) dan tidak membantu untuk melakukan perbandingan. Sebagai gantinya,
pendekatan yang lebih jujur dan transparan akan bertahan dengan indikator yang terbatas,
berpusat pada pendapatan sembari menerima keterbatasannya, atau merujuk pada pendekatan
sederhana yang tidak berusaha menggabungkan ciri-ciri berbeda dari sebuah kenyataan yang
rumit dalam satu sistem ukuran (Ravallion 2011b,c).

Debat pun berlanjut. Bab ini akan menyajikan sejumlah gagasan yang dimasukkan ke
dalam berbagai pilihan untuk mengkaji hasil-hasil penghidupan. Masing-masing punya pro dan
kontra, dan setiap kajian penghidupan harus menimbangnya. Pengukuran-pengukuran hasil
penghidupan berasal dari konseptualisasi kemiskinan, penghidupan dan kesejahteraan. Fokus
terhadap faktor-faktor material akan menekankan pendapatan, belanja dan kepemilikan aset;
sementara pandangan lebih luas yang berfokus pada apa yang disebut Amartya Sen sebagai
“kapabilitas”11 (Sen 1985, 1999) akan melebarkannya. Penekanan terhadap kesejahteraan
ketimbang kemiskinan, misalnya, akan menimbang kualitas psikologis dan relational dari
penghidupan, selain kualitas material, sehingga harus menjangkau atribut yang lebih luas
(McGregor 2007). Perspektif keadilan sosial yang menekankan “kebebasan” meluaskan visi
hingga ke isu pemberdayaan, suara dan partisipasi (Nussbaum 2003).

Sebuah fokus normatif terhadap kemiskinan juga mengharuskan kita melihat siapa yang
kaya dan mengapa. Kemiskinan dan kepapaan (ill-being) tidak muncul dari ruang kosong, dan
hubungan antara yang kaya dan miskin serta pola-pola ketimpangan dalam sebuah masyarakat,
di sepanjang waktu, sangat penting untuk memahami hasil-hasil penghidupan (Wilkinson dan
Pickett 2010). Di sini perspektif sejarah dan ekonomi politik juga menjadi penting, sama
pentingnya dengan mengeksplorasi proses-proses diferensiasi yang menghasilkan ketimpangan.

Bagian-bagian berikut ini akan menjelajahi bagaimana masing-masing perspektif


mengasupi cara kita memahami dan kemudian mengukur dan mengkaji hasil-hasil

11Catatan Penerjemah: Kapabilitas diartikan Sen sebagai serangkaian pilihan yang secara aktual bisa
seseorang lakukan, akses atau capai.
penghidupan. Masing-masing pendekatan punya fokus berbeda, muncul dari tradisi intelektual
dan disiplin ilmu berbeda, dan masing-masing menunjukkan tantangan metodologis yang beda
pula. Menurut saya, seluruh pendekatan ini berguna dengan cara berbeda, dan banyak di
antaranya dapat digunakan secara bergandengan untuk menghasilkan pemahaman lebih utuh
mengenai hasil-hasil penghidupan.

Hasil-hasil Penghidupan: Dasar-Dasar Konseptual

Di sini saya mengajukan empat pendekatan berbeda terhadap penghidupan dan hasil-hasilnya.
Seluruhnya menawarkan pandangan multidimensi, tetapi masing-masing berakar pada tradisi
konseptual berbeda (bandingkan Laderchi et al. 2003).

Pendekatan pertama berfokus pada individu, dan mengarah pada maksimalisasi apa
yang disebut para ekonom sebagai daya guna (utility). Pendekatan ini meninjau keseimbangan
pertukaran di antara berbagai pilihan, dan antara individu berbeda, dan meneliti bagaimana
kemakmuran diperoleh. Ekomomi kemakmuran punya tradisi panjang, merentang sejak kajian-
kajian abad 19 oleh Charles Booth (1887) dan Seebohm Rowntree (1902) di Inggris yang
mengeksplorasi perubahan penghidupan di kampung-kampung kaum miskin kota. Analisis-
analisis ini menyarankan adanya skema-skema perlindungan atas kelayakan hidup, kelak
dilembagakan sebagai negara kemakmuran. Sejak kajian-kajian awal penghidupan itu, yang
lebih kuantitatif, para ekonom kemakmuran telah memformalkan analisis mereka untuk
menyorot ‘pendekatan alokasi’ yang memaksimalisasi daya guna. Pendekatan individualis dan
utilitarian mengambil inspirasi dari tradisi panjang filsafat moral, dari Jeremy Bentham, John
Stuart Mill dan lainnya, yang membenarkan tindakan-tindakan manusia untuk memaksimalkan
daya guna dan mengurangi efek-efek negatif.

Pendekatan kedua berakar dari argumen tentang keadilan sosial, kesetimbangan


(fairness), antara lain mengadopsi argumen dari buku Theory of Justice karya John Rawls.
“Pendekatan kapabilitas” (Sen 1985, 1990; Nussbaum dan Sen 1993; Nussbaum dan Glover
1995; Nussbaum 2003) berfokus pada kebebasan dan pembangunan manusia secara lebih luas.
Amartya Sen berpendapat bahwa hidup seseorang terbentuk dari gabungan antara “melakukan”
(doing) dan “menjadi” (being) (ia menyebutnya sebagai “functionings”12), dan kapabilitas

12Catatan penerjemah: Amartya Sen menggunakan ‘functioning’ untuk memperjelas konsep ‘kapabilitas’.
Dia mengartikannya sebagai: ‘bagaimana orang menjalani hidup secara nyata, dengan memfungsikan
kapabilitas.’ Dengan demikian kapabilitas adalah potensi, sedangkan functioning adalah capaian dari
diejawantahkan melalui kebebasan seseorang untuk memilih elemen-elemen hidup yang
bermartabat. Sekali lagi, pandangan ini berfokus pada individu tetapi dalam pengertian lebih
luas, melihat lebih banyak faktor yang meningkatkan pembangunan manusia. Martha
Nussbaum melangkah lebih jauh dengan membuat daftar “kapabilitas-kapabilitas utama
manusia”. Daftar ini mencakup: hidup (mampu hidup hingga akhir usia normal hidup
manusia); kesehatan tubuh; keutuhan tubuh (terlindung dari serangan kekerasan fisik); pilihan
reproduktif dan seksual; penalaran praktis (mampu memikirkan hidup yang baik); afiliasi
(sanggup hidup dengan orang lain dan hidup secara kolektif); bermain; dan punya kendali atas
lingkungan. Meski disajikan sebagai sesuatu yang universal, aspek-aspek ini tentu saja
ditentukan secara kultural dan akan bervariasi, tetapi maksudnya adalah bahwa cakupan aspek
ini cukup luas dan konsepsi hidup yang baik melampaui sekadar maksimalisasi daya guna oleh
individu.

Pendekatan ketiga sekaligus berfokus pada aspek subyektif, personal dan relasional dari
kehidupan seseorang. Kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan psikologis, menurut
pandangan ini, berasal dari serangkaian faktor, termasuk hubungan seseorang dengan orang
lain (Gough dan McGregor 2007; Layard dan Layard 2011). Maka, rendah diri, depresi dan
kurangnya rasa hormat dari orang lain punya dampak besar terhadap kesejahteraan. Faktor-
faktor ini tidak selalu mendapat apresiasi dari sudut pandang utilitarian, atau bahkan dalam
sebagian pendekatan kapabilitas, namun tetap penting bagi setiap perspektif penghidupan agar
menjadi lebih utuh.

Pendekatan keempat bersifat relasional, dalam kerangka sosial dan politik yang lebih
luas. Kesejahteraan, menurut pendekatan ini, berkembang dalam masyarakat-masyarakat yang
lebih setara, dan di mana peluang-peluang tersedia untuk menciptakan kemajuan. Di atas garis
dasar pendapatan tertentu, di negara-negara yang sangat hierarkis, terbelah dan timpang,
tampak angka harapan hidup yang lebih rendah bersama tingginya tingkat keterpaparan
berbagai macam masalah sosial dan kesehatan (Wilkinson dan Picket 2010). Perspektif ini
mansyaratkan agar hasil-hasil penghidupan individual dievaluasi dalam konteks sosial dan
politik lebih luas, sebab ketimpangan boleh jadi menghambat pembangunan yang lebih luas.
Ketimpangan buruk untuk semua orang, demikian menurut Richard Wilkinson dan Kate
Pickett, tetapi lebih buruk bagi mereka yang lebih miskin.

potensi tersebut. Contoh, kapabilitas seperti kesehatan, membuka pilihan bagi seseorang untuk dapat
melakukan banyak hal dengan tubuh yang sehat, semisal memfungsikan tubuh untuk belajar atau bekerja
mencari nafkah yang memadai. Atau, dengan kapabilitas ‘kebebasan berkumpul dan berserikat’, orang
dapat memfungsikan kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik
yang berpengaruh terhadap hidup mereka.
Empat perspektif penghidupan ini, sebagaimana dibahas, berakar pada asumsi-asumsi
filosofis lebih dalam tentang tujuan pembangunan, perilaku umat manusia, dan fondasi moral
dan etika kita. Masing-masing pondasi konseptual ini kemudian menyarankan cara yang
berbeda untuk mengukur hasil-hasil penghidupan. Bagian berikut ini memberi gambaran
umum mengenai sebagian dari sekian banyak pilihan.

Mengukur Hasil-Hasil Penghidupan

Garis kemiskinan: Pengukuran pendapatan dan belanja


Garis kemiskinan adalah bagian dari pendekatan yang secara luas digunakan oleh para ahli
ekonomi mikro untuk mengetahui jumlah individu dan rumah tangga yang hidup di atas atau di
bawah garis ini. Garis kemiskinan bersandar pada asumsi tentang kebutuhan dasar yang
biasanya punya nilai uang. Pendekatan seperti ini penting untuk program bantuan dan
perlindungan sosial. Misalnya di India, garis kemiskinan berperan sebagai dasar untuk
menjalankan program-program besar pemerintah. Tetapi pendekatan ini masih terperangkap
dalam kontroversi mengenai asumsi-asumsi, data dan dampaknya (Deaton dan Kozel 2004).

Bahkan, telah muncul banyak debat tentang kemanjuran pengukuran seperti ini karena
adanya banyak jenis pengukuran (Ravallion 2011a). Ini dapat terlihat dari debat yang tengah
berlangsung tentang apakah lebih cocok menggunakan pendapatan atau konsumsi untuk
mengukur kemiskinan. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Ukuran pendapatan,
misalnya, meski langsung menunjukkan ukuran kecukupan/kekurangan pendapatan, punya
masalah dalah hal mengingat (jumlah pendapatan), sebab sensitifitas ingatan biasanya
terhubung hanya dengan sumber pendapatan tertentu. Sumber pendapatan juga biasanya
beragam, bisa hanya datang pada saat tertentu sehingga sulit membuat satu ukuran untuk
menentukan jumlah pendapatan secara keseluruhan. Sebaliknya, ukuran-ukuran konsumsi
lebih mudah dikumpulkan dan tidak terlalu rentan terhadap variasi, meski belanja-belanja
tertentu bisa jadi hanya berlangsung sesekali. Akan tetapi, ukuran konsumsi tidak dapat
menangkap keseluruhan aspek pembelanjaan dan pertukaran-pertukaran penting (Greeley
1994; Baulch 1996).

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya, masing-masing pengukuran kuantitatif


terhadap hasil penghidupan ini terlampau berfokus pada pandangan utilitarian yang
individualis, dan melewatkan banyak aspek.
Survai standar hidup rumah tangga
Survai-survai standar hidup memberi dasar kuantitatif untuk mengkaji perubahan penghidupan
di level rumah tangga. Survai ukuran standar hidup (living standard measurement surveys,
LSMS), yang diluncurkan pada 1980 oleh Bank Dunia dan digunakan di sejumlah negara,
memungkinkan pendekatan longitudinal terhadap sejumlah indikator (Grosh dan Glewwe
1995). Survai-survai ini sangat berfokus pada aset, pendapatan dan belanja, tetapi juga meluas
kepada tingkat pendidikan, kesehatan dan indikator-indikator pembangunan manusia lainnya.
Survai-survai ini melebarkan pendekatan garis kemiskinan tetapi masih fokus terhadap ukuran-
ukuran yang dapat dikuantifikasi dan mengambil rumah tangga sebagai unit analisis.

Mengenai pendekatan survai rumah tangga lain, termasuk banyak jenis pengukuran
garis kemiskinan, fokus terhadap rumah tangga akan melewatkan dimensi-dimensi internal
rumah tangga (Razavi 1999; Kanji 2002; Dolan 2004), tetapi juga mengenai relasi antara rumah
tangga sebagai bagian dari “kluster” rumah tangga (Drinkwater et al. 2006). Debat mengenai
kelemahan rumah tangga sebagai unit analisis sudah berlangsung cukup lama (Guyer dan
Peters 1987; O’Laughlin 1998). Sebuah rumah tangga sering didefiniskan sebagai sekelompok
orang yang “makan dari satu periuk,” berfokus pada organisasi domestik di seputar pemenuhan
pangan. Akan tetapi, penghidupan bisa saja dikonstruksi oleh dimensi lain. Ini khususnya
berlaku pada rumah tangga yang dihubungkan melalui perkawinan poligami, lewat rumah
tangga yang dikepalai anak-anak, atau melalui pola migrasi di mana rumah kota dan desa
terkait erat. Demikian pula, kerabat dekat di sebuah desa atau sekelompok rumah dapat berbagi
aset, bahkan pemenuhan pangan, sehingga seringkali membuat unit rumah tangga jadi kabur.

Indikator-indikator pembangunan manusia


Indikator-indikator pembangunan manusia digunakan utamanya sebagai bagian dari Laporan
Pembangunan Manusia yang disusun setiap tahun oleh Badan Pembangunan PBB (United
Nations Development Programme, UNDP). Pendahulunya termasuk indeks kualitas hidup fisik
yang menimbang kemampuan baca tulis, kematian bayi dan angka harapan hidup (Morris 1979)
dan pendekatan-pendekatan kebutuhan dasar (Streeten et al. 1981; Wisner 1988). Indeks
Pembangunan Manusia pertama kali diterbitkan tahun 1990 dan mencakup angka harapan
hidup, partisipasi sekolah, produk domestik bruto (GDP) per kapita pada tingkat daya beli.
Sejak itu, telah dilakukan upaya-upaya untuk meluaskan dan memperbaiki indeks-indeks
tersebut.

Sabina Alkire dan kolega (lihat di atas) menggabungkan dua indikator kesehatan
(tingkat gizi buruk dan kematian anak), dua indikator pendidikan (lama sekolah dan tingkat
partisipasi sekolah), enam indikator standar hidup (termasuk akses terhadap pelayanan publik,
proksi kemakmuran rumah tangga, dst.) dan menghitung seluruh indikator berbasis pada data
rumah tangga. Masing-masing kelompok indikator ditimbang secara setara sebagaimana dalam
Laporan Pembangunan Manusia. Pendekatan ini, menurut mereka, memungkinkan
perbandingan multidimensional baik di dalam maupun di antara negara. Indikator-indikator
tersebut cenderung menawarkan gambaran nasional atau regional tetapi lagi-lagi sering
berangkat dari data rumah-tangga dan dengan demikian punya kelemahan serupa.

Kaji cepat kesejahteraan (wellbeing)


Sebagaimana disebut di atas, salah satu kritik terhadap pendekatan standar terhadap
pengkajian kemiskinan berpusat pada fokus sempit pada aspek material berupa pendapatan,
belanja dan aset. Bahkan pendekatan multidimensional bisa saja mengabaikan sebagian
dimensi yang kurang tampak secara kasat mata, pendekatan ini juga masih sangat bergantung
pada data kuantitatif yang dikumpulkan dari survai-survai standar. Pendekatan kesejahteraan
(wellbeing), dengan begitu, menyarankan bahwa kombinasi antara dimensi fisik/obyektif,
relasional dan subyektif penting bagi semua kaji cepat (Gough dan McGregor 2007; McGregor
2007; White and Ellison 2007; White 2010). Pendekatan semacam ini menggunakan aspek
kebutuhan penghidupan yang lebih luas melampaui aspek-aspek standar hidup, kesehatan dan
pendidikan, termasuk aspek-aspek psikososial. Pendekatan kesejahteraan yang lebih utuh
sangat sering berfokus pada aspek-aspek individual dalam rumah tangga dan komunitas, yang
menurut pendekatan ini menyediakan perspektif lebih lengkap tentang penghidupan. Meskipun
menimba inspirasi dari pendekatan kapabilitas Sen, pendekatan ini mencoba memaknai ulang
kesejahteraan dan bagaimana dia dialami (atau tidak). Ini kemudian membutuhkan penerimaan
akan pertukaran politis di antara konsepsi kesejahteraan yang berbeda (Deneulin dan McGregor
2010).

Ukuran-ukuran kualitas hidup


Satu aspek khusus dalam pendekatan kesejahteraan adalah perhatian terhadap dimensi-
dimensi psikologis, meliputi kepuasaan hidup, martabat dan harga diri (Rojas 2011). Kurangnya
harapan dapat dilihat sebagai perangkap kemiskinan yang paling melemahkan, yang
memengaruhi motivasi, investasi dan kemampuan memperbaiki penghidupan (Duflo 2012).
Sebagian kalagan berpendapat bahwa sebuah ukuran kebahagiaan tunggal (dengan sejumlah
indikator) bukan sesuatu yang tidak mungkin dibuat (cf. Layard dan Layard 2011). Bhutan,
misalnya, telah mengembangkan indeks untuk menilai kebahagiaan sebagai bagian dari upaya
nasional yang dihubungkan dengan ajaran kultural-religius Budhisme. Kalangan lain
menyanggah bahwa dimensi-dimensi psikologis dari kesejahteraan, sebagaimana yang material,
bersifat jamak dan tidak dapat dijejalkan ke dalam satu indeks. Mereka menyarankan sebuah
ukuran yang beragam, sebagaimana dalam Indeks Kehidupan yang Lebih Baik (Better Life
Index) yang dikembangkan organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara
maju (OECD).13

Lapangan pekerjaan dan pekerjaan layak


Indikator lain yang potensial ialah menilai hasil-hasil penghidupan lewat lapangan pekerjaan,
baik formal maupun informal. Sebagai contoh, badan tenaga kerja PBB (International Labor
Organization, ILO) menekankan tentang penciptaan pekerjaan yang layak, ditandai dengan
penciptaan lapangan kerja, penjaminan hak, pemberian perlindungan sosial dan promosi
dialog.14 Ini bisa mencakup kerja di dalam atau luar lahan pertanian, kerja domestik atau
pekerjaan yang lebih formal. Sebuah kaji cepat kualitatif tentang kerja, dalam hal upah/gaji dan
kondisi kerja, juga kriteria-kriteria lain seperti fleksibilitas, hak dan sebagainya, memungkinkan
sebuah penghitungan jumlah hari kerja layak yang dapat diciptakan. Tentu saja ini mewakili
jenis pengukuran yang sangat berbeda dari yang berfokus pada garis kemiskinan pendapatan
atau konsumsi, tetapi bisa jadi juga merefleksikan dimensi penghidupan lain yang penting, dan
berfokus pada beragam jenis pekerjaan dan peluang kerja.

Mengevaluasi Ketimpangan

Seluruh pengukuran dan kaji cepat terhadap hasil-hasil penghidupan ini dapat dievaluasi
dengan melihat distribusinya. Koefisien Gini, misalnya, mengukur tingkat kesetaraan distribusi,
sementara ukuran-ukuran statistik lain menawarkan indikator-indikator serupa.15 Demikian
pula, keberagaman ukuran bisa saja membantu mengkaji cepat nilai penting berbagai elemen
sebuah portofolio dari pilihan-pilihan yang ada. Mereka dapat mendorong debat mengenai
meluasnya pilihan-pilihan tersebut sebagai bagian dari “jalur” penghidupan (cf. Stirling 2007).

Kaji cepat seperti ini dapat dikerjakan pada skala berbeda, dari tingkat rumah tangga
hingga nasional dan regional. Sebagaimana dibahas di atas, Richard Wilkinson dan Kate Pickett
(2010) dalam buku mereka The Spirit Level, mengevaluasi ketimpangan dengan berbagai
macam kriteria untuk melihat hasil yang dicapai secara nasional. Mereka menemukan bahwa

13www.oecdbetterlifeindex.org/
14www.ilo.org/global/about-the-ilo/decent-work-agenda/lang--de/index.htm
15web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/EXTPA/0,,contentMDK:2028991~

menuPK:492138~pagePK:148956~piPK:216618~thesitePK:430367,00.html
ketimpangan punya dampak besar ketika garis dasar kemakmuran telah terlampaui. Fokus
terhadap ketimpangan mengedepankan perhatian atas aspek-aspek struktural masyarakat yang
memengaruhi hasil-hasil penghidupan, lewat efek-efek psikososial dan perilaku yang rumit.

Di titik ini pendekatan analitis berbasis kelas dapat membantu menjelaskan bagaimana
pilihan penghidupan tertentu dimungkinkan bagi sebagian orang dan tidak bagi sebagian
lainnya. Apa arti keterpinggiran dalam hubungannya dengan relasi kuasa yang lebih luas di
dalam masyarakat? Analisis terhadap aspek seperti distribusi tanah dan struktur agraria,
kepemilikan aset dan rezim ketenagakerjaan (labor regime) mungkin bisa membantu
memperjelas kaji cepat semacam ini. Pertanyaan-pertanyaan dasar dari tradisi Marxis ini
berada di jantung analisis ekonomi politik penghidupan, sebuah tema yang akan saya bahas di
Bab-Bab selanjutnya.

Sistem Pengukuran dan Indeks Multidimensional

Seluruh pendekatan ukuran dan kaji cepat ini punya kegunaan. Tetapi juga punya keterbatasan.
Karena itu, apakah mungkin menggabungkan yang terbaik dari masing-masing pendekatan ke
dalam satu system pengukuran dan indeks untuk menangkap karakter multidimensi
kemiskinan, penghidupan dan kesejahteraan?

Pertanyaan ini telah menciptakan debat panjang tetapi baru akhir-akhir ini menjadi
perhatian, khususnya dengan upaya advokasi untuk mengedepankan pendekatan Indeks
Kemiskinan Multidimensional (Multidimensional Poverty Index) (Alkire and Foster 2011; lihat
di atas). Dengan wahana yang lebih luas, dan terhubung dengan pendekatan kapabilitas Sen,
para pengusungnya menekankan bahwa pendekatan ini dapat mengidentifikasi kegagalan
functioning secara operasional (Alkire 2002).

Meskipun kini telah menjadi perhatian utama, pendekatan ini bukanlah satu-satunya
upaya untuk menlakukan kaji cepat secara multidimensi. Bahkan, berbagai jenis indeks dan
pemeringkatan telah berkembang biak dengan menggabungkan berbagai jenis ukuran dalam
satu angka. Meskipun mengakui kerumitan penghidupan dan keanekaragaman sumber-sumber
kemiskinan dan kepapaan (ill-being), terdapat sejumlah masalah dengan pendekatan ini.

Sensitifitas terhadap perumusan asumsi dan alokasi bobot (masing-masing indikator)


tidak dapat dihindari, dan dengan begitu indikator-indikator dapat berperan menyembunyikan
sebanyak yang bisa mereka ungkapkan. Mereka selalu merupakan pemaksaan dari pandangan
dan pemahaman dunia sang analis, dan karenanya dapat dikatakan diarahkan oleh pakar dan
ditentukan oleh orang-luar. Dengan demikian, ukuran-ukuran yang dihasilkan lebih bersifat
mana-suka (arbitrer) dan sering merefleksikan pandangan liberal Barat. Demikian pula, dalam
memilih indikator sulit mengetahui data mana yang dimasukkan dan yang tidak. Dan dengan
indikator-indikator yang digabungkan, garis antara siapa yang miskin dan tidak menjadi hilang,
sehingga pengambilan kebijakan menjadi sulit (Ravallion 2011a). Para pengusungnya
menyanggah argumen ini dengan menyatakan bahwa asumsi-asumsi mereka selalu ditampilkan
secara jelas dan transparan, dan bahwa pemeringkatan sederhana dapat membantu kebijakan
dengan lebih baik. Ini memungkinkan adanya keanekaragaman ukuran untuk dipertimbangkan,
ketimbang bergantung kepada satu indikator simplistik dan sempit berupa tingkat pendapatan.

Tidak ada jawaban mudah untuk debat ini. Apa yang dipilih, tentu saja merefleksikan
perbedaan pilihan pribadi, disiplin dan kelembagaan, juga menurut tren, fesien dalam
pengukuran kemiskinan dan kajian kesejahteraan. Tetapi kita harus awas akan kekuatan politis
jenis ukuran tertentu dan tetap waspada terhadap asumsi-asumsi dan simplifikasi yang dibuat.
Inilah mengapa setiap kajian penghidupan harus didasarkan pada konteks lokal dan
membangun pemahaman dasar ini, ketimbang menerima begitu saja data survai dan
pemeringkatan dan indikator yang mengiringinya dan muncul dari sana. Sebuah pendekatan
multi-metode dan lintas-disiplin selalu paling kokoh bagi analisis penghidupan (Hulme dan
Shepherd 2003; Hulme dan Toye 2006), dan mengapa penting untuk tahu tentang deretan
potensi dan kelemahan pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas.

Indikator Siapa yang Dipertimbangkan?


Pendekatan Partisipatif dan Etnografis

Kritik yang senantiasa muncul terhadap banyak pendekatan pengukuran yang diulas di atas
menyebutkan bahwa pendekatan-pendekatan itu memaksakan pandangan dunia, yaitu
pandangan tentang penghidupan dan kemiskinan, dengan memilih data apa yang akan
dikumpulkan dan bagaimana data tersebut digabungkan. Hal ini berlaku baik terhadap ukuran
tunggal garis kemiskinan maupun pendekatan multidimensi yang bersifat agregat. Pendekatan
pengukuran berwatak paternalistik ini dapat memberi bahan bagi tanggapan-tanggapan
paternalistik, dengan asumsi mengenai siapa orang miskin yang berhak menerima dan apa yang
mereka butuhkan (Duflo 2012).
Catatan-catatan etnografis mengenai pengalaman hidup dalam kemiskinan pada
konteks berbeda menyediakan cara lain untuk mengerangkakan persoalan ini. Tony Beck (1994)
dalam buku The Experience of Poverty: Fighting for Respect and Resources in Village India,
menggambarkan secara sangat mendalam pengalaman kemiskinan dari sudut pandang
penduduk desa di Bengali Barat, India. Dia menekankan pertarungan sehari-hari, negosiasi dan
tawar-menawar yang terjadi, misalnya, di seputar usaha mendapatkan akses terhadap sumber
daya bersama dan mengelola ternak. Beck juga menunjukkan bahwa dalam situasi seperti ini,
rasa hormat menjadi sumber daya yang penting. Dia menunjukkan relasi kuasa antara yang
kaya dan miskin, antara perempuan dan lelaki, juga pandangan orang miskin terhadap orang
kaya dan terhadap pendindasan dan kekerasan yang menciptakan kemiskinan (Beck 1989).
Memahami penghidupan dari pengalaman sehari-hari seperti ini—dari perspektif emik—dan
berfokus pada persepsi, relasi sosial dan dinamika kekuasaan telah lama menjadi tujuan kajian-
kajian antropologi sosial. Namun penerjemahan pengalaman akrab dan personal seperti ini oleh
orang luar selalu rentan terhadap bias dan kekeliruan tafsiran.

Dalam sebuah kajian longitudinal klasik dari Rajasthan barat, India, N.S. Jodha (1988)
membandingkan standar ukuran kemiskinan dengan indikator-indikator kesejahteraan yang
lebih kualitatif studi-studi partisipatif dari dua periode, 1963-1966 dan 1982-1984. Rumah
tangga yang masuk kategori ‘rumah tangga miskin’ oleh pengukuran kemiskinan standar
menjadi lebih sejahtera ketika menggunakan kajian kesejahteraan ekonomi yang lebih
kualitatif. Pandangan minoritas mengenai kajian kemiskinan ini—bahkan mengenai ekonomi
pembangunan secara umum (cf Hill 1986)—menyarankan kerangka yang lebih luas
sebagaimana diisyaratkan oleh kajian-kajian penghidupan.

Sejumlah hal terlewatkan dari ukuran-ukuran konvensional: akses terhadap sumber


daya milik bersama, panen tanaman sampingan dan berbagai bentuk pekerjaan informal. Selain
itu, para petani menekankan perubahan penting lain yang berujung pada perbaikan penting,
termasuk berkurangnya ketergantungan terhadap tuan tanah, meningkatnya mobilitas, akses
lebih baik terhadap uang tunai dan kepemilikan barang-barang konsumsi. Sementara seluruh
perubahan ini secara berarti memperbaiki kesejahteraan dari sudut pandang petani, mereka
tidak tertangkap dalam survai-survai standar. Jodha menunjukkan beberapa hal yang terlewat
dalam pendekatan konvensional (Tabel 1) dan menekankan pentingnya menggunakan metode
campuran.

Pada 1990-an, pendekatan partisipatif terhadap kajian kemiskinan menjadi populer


melalui kerja besar Bank Dunia, Voices of the Poor, yang mengkaji kemiskinan di negara-negara
miskin yang terjerat utang (Narayan et al. 2000). Kajian ini mencoba menangkap pengalaman
langsung melalui tindakan “mendengar” secara besar-besaran di dua puluh tiga negara.
Hasilnya tentu mengalami mediasi dan telah dirapihkan (Brock dan Coulibaly 1999), tetapi
perspektif yang ditawarkan—menariknya oleh Bank Dunia—menampilkan pandangan tentang
penghidupan dan kemiskinan yang sangat beda, yang menimbang kekerasan, ketakterjaminan,
identitas dan martabat, di samping aspek-aspek lain.

Table 1: Aspek-aspek yang terlewatkan dalam kompleksitas penghidupan desa


(adaptasi dari Jodha 1988: 2427)

Konsep dan Norma Aspek-aspek yang dicakup Aspek-aspek yang terlewat


Pendapatan rumah tangga Uang tunai dan cara memperolehnya Mengabaikan konteks waktu dan
(termasuk nilai dari barang-barang rekanan transaksi dari kegiatan
yang tidak diperdagangkan) berpendapatan; melewatkan
kegiatan-kegiatan swa-sembada
bernilai (uang) rendah dengan
kontribusi kolektif penting
terhadap pangan rakyat
Produksi pertanian Produksi dari seluruh usaha Serangkaian kegiatan perantara
tani/ternak (sering dianggap kegiatan
konsumsi), yang memfasilitasi
keluaran (output) akhir dari usaha
tani/ternak dalam masyarakat
swa-sembada
Unit (“keranjang”) Volume dan kualitas bahan-bahan Melewatkan variasi musiman
konsumsi pangan pangan yang tercatat secara formal berbagai macam barang/jasa yang
disediakan sendiri
Kepemilikan/akses Hanya tanah, tenaga kerja dan modal Mengabaikan akses kolektif rumah
(endowment) sumber daya yang dimiliki secara pribadi. tangga terhadap sumber daya milik
rumah tangga bersama.
Pasar produk Kerangka interaktif yang kompetitif Mengabaikan distorsi,
dan impersonal ketaksempuranaan, kekuasaan dan
pengaruh
Ukuran lahan Berdasarkan penguasaan lahan yang Mengabaikan totalitas posisi aset
dimiliki dan digarap (sering termasuk akses rumah tangga
distandardisasi untuk produktifitas terhadap sumber daya milik
dan irigasi) bersama, angkatan kerja keluarga
yang menentukan potensi keluarga
untuk memanfaatkan sumber daya
tanah dan lingkungan untuk
mencukupi kebutuhan pangan.
Input tenaga kerja Tenaga kerja (labor) sebagai unit Tidak menimbang keberagaman
standar, diekspresikan berdasarkan pekerja dari usia/jenis kelamin
jam kerja per hari atau semacamnya. yang sama dalam hal perbedaan
(keberagaman berdasar usia dan jenis stamina dan produktifitas;
kelamin tidak didilihat). mengabaikan perbedaan intensitas
usaha antara pekerja mandiri dan
pekerja upahan. (kekeliruan
penggunaan nilai unit kerja para
pekerja mandiri berdasarkan
tingkat upah pekerja upahan atau
pekerja tumpangan)
Formasi kapital Kepemilikan aset Mengabaikan proses-proses
pertumbuhan yang berlangsung
perlahan
Depresiasi aset Pencatatan penyusutan nilai aset Mengabaikan berlanjutnya daya
guna dan daur ulang
Norma Kuantitas dan nilai produk akhir dari Mengabaikan totalitas sistem yang
efisiensi/produktifitas sebuah kegiatan (berdasarkan kriteria diarahkan untuk memuaskan
pasar) tujuan yang beraneka ragam
ketimbang satu kriteria saja.

Pendekatan semacam itu telah menginspirasi upaya lebih mutakhir untuk berfokus pada agenda
pembangunan pasca-2015, termasuk inisiatif Participate, yang mencoba menangkap
pandangan dari bawah untuk menyediakan bahan bagi proses-proses global,16 dan My World,
sebuah situsweb untuk berbagi pandangan tentang rentang kriteria dari publik global.17

Pemeringkatan kemakmuran—atau varian-varian kesuksesan, kemiskinan dan


kesejahteraan—adalah sebuah pendekatan berbasis lapangan yang canggih. Sebab kemiskinan
dan kesejahteraan bersifat multidimensi dan rumit, daripada memilih bagian-bagian tertentu
dan menghasilkan kesimpulan menurut kajian konsumsi, pendapatan, kesetaraan peluang

16 www.ids.ac.uk/project/participate-knowledge-from-the-margins-for-post-2015
17 www.odi.org/projects/2638-my-world
kerja, dan sebagainya, mengapa tidak mengembalikan pertanyaan itu kepada rakyat sendiri?
Pemeringkatan kemakmuran dikembangkan sebagai cara sederhana untuk menghasilkan
diskusi mengenai pola kemakmuran dalam sebuah komunitas; melibatkan kegiatan pemilahan
kartu bersama anggota masyarakat berdasarkan daftar rumah tangga (Gradin 1988; Guijt 1992).
Sebuah diskusi awal dilakukan untuk memastikan istilah-istilah setempat untuk kemakmuran
(atau kriteria lain yang hendak diteliti), lalu sejumlah informan memilah kartu itu ke dalam
kelompok-kelompok tertentu, dengan peringkat dibuat dari gabungan skor. Hasilnya kemudian
dapat digunakan untuk membuat strategi sampling, tetapi lebih penting lagi, diskusi yang
mencuat dari proses pemeringkatan dapat mengungkap sejumlah besar kriteria (sering tak
terduga) yang mendefinisikan persepsi setempat mengenai kemakmuran.

Sebagai contoh, serangkaian kegiatan pemeringkatan kemakmuran dilangsungkan


sebagai bagai bagian dari kajian penghidupan jangka panjang di wilayah komunial Mazvihwa di
selatan Zimbabwe (Scoones 1995; Mushongah dan Scoones 2012). Kelompok pria dan
perempuang masing-masing melakukan pemeringkatan pada daftar rumah tangga yang sama,
pertama pada 1988, lalu pada 2007. Kedua pemeringkatan ini menunjukkan perbedaan gender
di antara kelompok yang melakukan pemeringkatan, dengan kelompok pria dan wanita
menawarkan pemahaman kemakmuran yang berbeda. Pemeringkatan yang dilakukan pada
2007 menunjukkan bagaimana kriteria kemakmuran berubah, dengan pemeringkatan yang
terakhir ini diperbandingkan dalam metode pengukuran yang berubah. Seluruh pemeringkatan
ini tidak memakai fokus sempit yang hanya menampilkan aset material atau pendapatan. Yang
tampak adalah perspektif lebih luas mengenai kemakmuran (wealth) yang mirip dengan
pengertian kesejahteraan (wellbeing). Selain itu, perubahan peringkat sebuah rumah tangga
menunjukkan peralihan nasib penghidupan di antara dua masa kajian, sebagian membaik,
sebagian tetap dan yang lain merosot. Penyebab-penyabab terjadinya transisi ini dijelajahi
dalam lokakarya dan dibandingkan dengan kelompok pemeringkatan lain. Kesimpulan penting
dalam perubahan penghidupan dapat diperoleh dengan menawarkan peringkat komposit,
menggabungkan sejumlah kriteria (yang jelas berbeda di antara waktu pemeringkatan dan
kelompok pemeringkatan). Penerapan berulang pemeringkatan kemakmuran sebagai bagian
dari kajian longitudinal, sebagaimana dalam kasus Zimbabwe, menunjukkan bagaimana
penghidupan berubah, seringkali dengan cara yang tidak terduga. Kesementaraan, peluang dan
kelokan, seluruhnya memainkan peran seiring naik turunnya peringkat kemakmuran. Demikian
pula, kriteria berubah dari waktu ke waktu seiring lebih diperhatikannya aspek-aspek
kesejahteraan tertentu. Pendekatan ini, yang menghasilkan analisis bertekstur terhadap
penghidupan dalam jangka panjang, penting diterapkan di latar manapun (cf. Rigg et al. 2014).
Tentu saja metode pemeringkatan punya sejumlah keterbatasan. Pertama, rumah tangga
sebagai unit pengukuran bisa saja mengabaikan dinamika di dalam rumah tangga itu sendiri,
meskipun para partisipan pemeringkatan sering susah payah menggarisbawahi pentingnya
individu-individu tertentu dan perbedaan di dalam rumah tangga. Kedua, pengukuran seperti
ini tidak dapat diperbandingkan sebab pergeseran kriteria dan data dasar, sehingga kesimpulan
yang bisa ditarik selalu bersifat relatif, tidak absolut. Ketiga, hubungan antar-rumah tangga
tidak selalu terungkap, meskipun letak sosial sebuah rumah tangga di dalam sekelompok rumah
tangga bisa jadi penting dalam mendefinisikan atribut-atribut tertentu kemakmuran atau
kesejahteraan mengingat tindakan saling membantu yang dihasilkannya.

Meskipun demikian, pendekatan pemeringkatan punya peran sebagai bagian dari alat-
alat untuk memahami perubahan penghidupan dan pola diferensiasi (keterpilahan) sosial. Di
Bab 7 dan 8, saya akan mengenalkan metode tambahan untuk menelisik detil spesifik praktik-
praktik penghidupan, melalui pendekatan etnografis atau pendekatan ekonomi politik, yang
melihat struktur dan relasi lebih luas di masyarakat pedesaan.

Dinamika Kemiskinan dan Perubahan Penghidupan

Perhatian kita terhadap hasil-hasil penghidupan sering berfokus pada perubahan dari waktu ke
waktu. Sebuah potret sederhana, sekalipun multidimensional, akan kurang menarik bila
dibandingkan dengan gambaran mengenai kecenderungan, transisi dan transformasi
penghidupan. Penelitian mengenai dinamika kemiskinan (Baulch dan Hoddinot 2000; Addison
et al. 2009) menunjukkan pentingnya ambang batas aset dalam transisi menuju kemiskinan
(Carter dan Barrett 1996) dan cara hasil-hasil penghidupan berubah di sepanjang waktu, tetapi
dengan cara yang timpang. Sekali lagi, pendekatan yang paling cocok akan melibatkan
pencampuran metode kualitatif dan kuantitatif (White 2002; Kanbur 2003; Kanbur dan Shaffer
2006).

Ketergelinciran menuju kemiskinan dapat terjadi tiba-tiba, sedangkan untuk keluar bisa
saja merupakan proses perlahan, sering berlangsung bertahun-tahun. Pendekatan yang
menggeser perhatian menuju kerentanan (Swift 1989) dan ketangguhan penghidupan (Bene et
al. 2012) mengangkat deretan faktor yang meredam dampak tekanan jangka panjang atau
guncangan tiba-tiba (Conway dan Chambers 1992), dan memungkinkan kita menelisik
bagaimana orang dapat “melangkah naik”, “melangkah keluar”, “bertahan” atau “terlempar
keluar” (Dorward 2009; Mushongah 2009; lihat Bab 3).
Terdapat perbedaan penting antara kemiskinan yang bersifat transisi dan kronis.
Kemiskinan kronis dicirikan oleh sejumlah perangkap yang saling bersimpangan, yaitu
kurangnya jaminan dan penegakan hak kewarganegaran, keterbelakangan berbasis spasial,
diskriminasi sosial, dan kurangnya peluang kerja (Green dan Hulme 2005; CPRC 2008).

Secara perlahan, menggunakan survai-survai longitudinal, sejarah hidup dan teknik-


teknik kualitatif lain, sejumlah ambang batas dapat diidentifikasi, sehingg kita dapat melihat
transisi dari satu strategi penghidupan ke yang lainnya di sepanjang lintasan waktu.
Kepemilikan aset bisa sangat penting dalam membentuk dinamika ini (Carter dan Barrett
2006).

Tanggapan aktif terhadap kerentanan inilah yang memengaruhi bagaimana


penghidupan berlangsung. Studi Naila Kabeer di Bangladesh (2005) menunjukkan bagaimana
pergerakan naik dalam hierarki penghidupan sebuah rumah tangga sering berlangsung secara
perlahan. Misalnya, orang bisa mulai dengan memelihara ternak kecil naik ke ternak besar;
menggarap tanah bagi hasil, lalu kemudian menyewa tanah garapan, dan akhirnya membeli
tanah; atau mengendarai mesin panen sewaan, lalu membeli kemudian menyewakannya
sebagai usaha. Tetapi lebih sering terjadi bahwa orang-orang mengalami kemunduran dan
kehilangan aset, sehingga mereka harus ‘naik turun tangga’ dan mengganti strategi
penghidupan dari waktu ke waktu. Interaksi dinamis inilah, antara strategi penghidupan (yang
sering berbasis gender) dan perangkap-perangkap tertentu, yang mencirikan perubahan dari
waktu ke waktu.

William Wolmer dan saya menggambarkan beragam jalur penghidupan yang muncul di
lokasi-lokasi penelitian di Afrika: “penghidupan berkembang dari tindakan-tindakan
sebelumnya dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam kondisi agro-ekologis yang speksifik-
historis, serta terus ditempa ulang oleh institusi dan tatanan sosial” (Wolmer dan Scoones
2002: 27). Gagasan tentang jalur-jalur penghidupan menyiratkan kemungkinan munculnya
jalur penghidupan berbeda dari latar yang sama, sebab orang-orang yang berbeda memberi
tanggapan secara berbeda pula, dibekali pengalaman dan sejarah masing-masing (de Bruijn dan
van Dijk 2005). Karena itu, gaya penghidupan berbeda bisa saja muncul (de Haan dan Zoomers
2005), merefleksikan beraneka ragam elemen kultural.

Kemampuan merespons secara efektif guncangan dan tekanan menjadi penting dalam
mengurangi kerentanan (Chambers 1989). Penghidupan yang rentan merupakan hasil dari
kurangnya ketangguhan (resilience) dan ketiadaan kapasitas adaptif untuk merespon beragam
konteks. Perhatian terhadap strategi menghadapi masalah telah lama menjadi bagian dari
kajian-kajian penghidupan (Corbett 1988; Maxwell 1996) dan sudah mengalami perluasan
khususnya dalam konteks perubahan iklim, sampai kepada pemahaman lebih luas mengenai
kapasitas adaptif dan ketangguhan (Adger 2006). Penghidupan yang luwes, responsif,
oportunistik menjadi perhatian dalam kajian jangka panjang mengenai perubahan
penghidupan. Karya Michael Mortimer (1989) dan Simon Batterbury (2001) di kawasan Sahel
Afrika, misalnya, mengangkat tentang bagaimana adaptasi responsif telah menjadi bagian
penting penghidupan, dan bagaimana menopang kapasitas-kapasitas tersebut sangat penting
bagi pembangunan.

Hambatan-hambatan struktural lebih luas juga memberi dampak: menghadapi ancaman


dan beradaptasi punya batasan-batasannya sendiri, khususnya bagi kaum miskin dan rentan.
Maka faktor-faktor institusional dan politis dapat menghasilkan eksklusi sosial atau pelibatan
yang merugikan, yang dapat membatasi peluang sehingga orang tetap miskin dan rentan (Adato
et al. 2006; CPRC 2008). Ini menjelaskan mengapa intervensi bersifat transformatif perlu
membebaskan potensi-potensi terpendam dengan merombak hambatan-hambatan struktural.
Misalnya, langkah-langkah perlindungan sosial yang berfokus pada transfer aset, termasuk
distribusi tanah (Devereux dan Sabates-Wheeler 2004).

Dengan demikian, dalam menimbang transisi, transformasi dan jalur penghidupan


berbeda, dibutuhkan indikator-indikator hasil yang lumayan berbeda, meliputi indikator-
indikator yang melihat kemampuan merespon guncangan dan tekanan eksternal. Dengan kata
lain, dibutuhkan perspektif yang lebih dinamis untuk melihat hasil-hasil penghidupan dari
waktu ke waktu.

Hak, Pemberdayaan dan Ketimpangan

Transformasi penghidupan bisa juga berupa hak dan pemberdayaan. Banyak kalangan
berpendapat bahwa penghidupan membaik ketika hak-hak diperkuat melalui pemberdayaan
dan partisipasi inklusif (Moser dan Norton 2001; Conway et al. 2002). Mereka mengangkat
sebuah pendekatan berbasis-hak bagi pembangunan dan berfokus pada hak-hak penghidupan
sebagai hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil-hasil penghidupan yang positif.
Pendekatan ini menitikberatkan pada penghilangan eksklusi berupa pembungkaman, penafian
dan diskriminasi berdasarkan kelas, gender, seksualitas, ras atau (dis)abilitas, dan semacamnya.
Pendekatan ini mengusung upaya untuk melampaui pendekatan individualistik dalam kajian
kemiskinan dan penghidupan, menuju pendekatan yang lebih relasional (Mosse 2010), yang
menggarisbawahi bahwa suara, partisipasi dan pemberdayaan adalah bagian inti dari hasil-hasil
penghidupan (Hickey dan Mohan 2005).

Benyak pendekatan diulas di atas berfokus pada hasil di level individual dan rumah
tangga. Pendekatan ekonomi politik terhadap penghidupan dan perubahan agraria (lihat Bab 6)
memberi pandangan lebih luas, berfokus pada isu-isu distribusi, dan khususnya pada pola-pola
akumulasi dan diferensiasi sosial di masyarakat pedesaan (Bernstein, Crow dan Johnson 1992).

Maka, pendekatan penghidupan yang diasupi oleh ekonomi politik harus melihat ciri-
ciri struktural yang memengaruhi proses dan hasil penghidupan, termasuk pola kepemilikan
tanah, tenaga kerja dan kapital yang ditentukan oleh posisi kelas. Proses-proses ekonomi dan
politik kapitalisme, khususnya dalam bentuknya sekarang berupa globalisasi neoliberalisme,
memperlihatkan siapa yang punya kuasa atas siapa, dan dengan konsekuensi apa saja (Hart
1986; Bernstein 2010a). Kapitalisme modern mensyaratkan pendekatan relasional atas
kemiskinan yang menelisik bagaimana “kelas-kelas pekerja” yang “terpecah-belah” (misalnya
berdasarkan gender, etnsitas, agama dan kasta) terbentuk, dan bagaimana mereka
mendapatkan akses terhadap peluang produksi dan reproduksi (Bernstein 2010a).

Kesimpulan

Masing-masing pendekatan untuk melihat hasil-hasil peghidupan yang diperkenalkan dengan


sangat singkat pada Bab ini ditopang oleh asumsi-asumsi filosofis berbeda tentang tujuan-
tujuan pembangunan: apa yang dibutuhkan untuk menjamin terciptanya hidup yang baik.
Karena itu, diskusi tentang hasil-hasil penghidupan dan kajian terhadapnya dapat membantu
kita mendefinisikan apa yang kita maksud dengan penghidupan—sebuah langkah kunci di
setiap analisis penghidupan.

Pendekatan kaji cepat penghidupan cukup beragam. Dari yang cukup sempit berupa
pengukuran pola pendapatan atau kemiskinan konsumsi dalam sebuah populasi, sampai yang
lebih kualitatif seperti pengkajian kesejahteraan dan kapabilitas manusia, dan lebih jauh hingga
analisis lebih luas pola relasional akumulasi dan diferensiasi, serta relasi distribusi antar-
kelompok sosial. Seluruh pendekatan ini hanya sederet contoh ilustratif dari variasi pendekatan
yang sangat luas: masih dapat ditambahkan, dan kategorisasi mereka bisa beragam. Namun
seluruhnya menawarkan wawasan yang bermanfaat dengan cara berbeda.
Terlepas dari perebutan pengaruh di dunia akademis, tidak ada yang dapat disebut cara
paling benar mengkaji hasil-hasil penghidupan: masing-masing pendekatan menawarkan lensa
berbeda, dan tentu parsial, untuk meneropong sebuah isu yang rumit. Sebagaimana diulas
sebelumnya, bagaimana analisis dikerangkakan memengaruhi prosedur dan alat ukur mana
yang dipilih. Menginterogasi kerangka-kerangka semacam ini, bertanya apa yang kita maksud
dengan penghidupan, apa yang penting bagi mencapai hidup yang baik, dan seterusnya,
merupakan langkah yang sangat penting, dan itu butuh partisipasi aktif dari semua pihak yang
terlibat. Masing-masing kerangka akan mengarahkan ke hasil yang berbeda, dan pemaksaan
oleh para peneliti dari luar, atau bahkan orang-orang kuat dari dalam masyarakat sendiri, jelas
tidak memadai untuk mendapatkan analisis yang kokoh. Demikian pula, pemeriksaan ulang
dengan berbagai pendekatan dan ukuran merupakan cara yang berguna untuk melihat untung-
rugi, perbedaan dan implikasi dari asumsi-asumsi yang menopang pendekatan/ukuran itu
sendiri. Di Bab 8, saya akan kembali mengulas metode pengkajian penghidupan, tetapi
sebelumnya kita perlu bertanya bagaimana pendekatan-pendekatan penghidupan
menambahkan pemahaman kita dan bagaimana elemen-elemen berbeda digabungkan ke dalam
sebuah kerangka heuristik.
BAB 3

Kerangka Penghidupan dan Kritik Terhadapnya

Dua bab sebelumnya telah menunjukkan betapa penghidupan sungguh rumit,


multidimensional, beragam secara ruang dan waktu dan terbentuk secara sosial.
Penghidupan dipengaruhi oleh banyak faktor, dari kondisi lokal hingga proses-proses
ekonomi politik struktural. Tidak mudah untuk menangani apa yang sedang terjadi,
untuk apa, di mana dan mengapa.

Kerangka yang lebih luas dapat membantu memahami kerumitan seperti itu,
juga untuk memikirkan bagaimana bertindak. Sebuah kerangka hanya merupakan
model menalar-dari-pengalaman yang disederhanakan tentang kemungkinan
bagaimana berbagai hal berinteraksi. Kerangka itu menawarkan sebuah hipotesis
tentang bagaimana elemen-elemen saling berhubungan dan apa yang terjadi di antara
mereka. Ia merupakan petunjuk berpikir ketimbang sebuah deskripsi kenyataan.
Kerangka-kerangka penghidupan berkembang biak pada akhir 1990-an dengan
keragaman yang membingungkan. Sebagaimana yang ditampilkan Google untuk
“penghidupan berkelanjutan” dan anda akan melihatnya.

Sejauh ini, kerangka paling populer—dengan beragam versi dan tafsiran—adalah


yang kelak menjadi kerangka penghidupan berkelanjutan DfID (Carney 1998, 2002;
Ashley dan Carney 1999; Carney et al. 1999). Sebagaimana disebut sebelumnya, ini
berasal dari kerangka yang dikembangan oleh sebuah tim peneliti (Scoones 1998).
Mengajukan serangkaian pertanyaan sederhana, kerangka ini berperan sebagai sebuah
petunjuk arah penelitian di Bangladesh, Ethiopia dan Mali:

Mengingat konteks yang khusus (latar kebijakan, politik, sejarah, kondisi agro-ekologi
dan sosial-ekonomi), kombinasi sumber-sumber daya penghidupan (jenis ‘modal’ yang
berbeda) manakah yang akan menghasilkan kemampuan untuk mewujudkan kombinasi
strategi-strategi penghidupan (intensifikasi/ekstensifikasi pertanian, diversifikasi
penghidupan dan migrasi) dengan hasil apa saja? Perhatian khusus kerangka ini terletak
pada proses-proses kelembagaan (melekat dalam struktur pranata dan organisasi,
formal dan informal) yang memediasi kemampuan untuk menjalankan strategi-strategi
dan meraih (atau tidak) deretan hasil seperti di atas. (Scoones 1998: 3)

Maka kerangka ini (lihat Gambar 3.1) mengaitkan rentetan konteks penghidupan
dengan sumber daya, bahan pembangun penghidupan, dengan strategi-strategi
(berbeda menurut konteks produksi pertanian, diversifikasi kegiatan non-pertanian dan
migrasi ke luar daerah), dan dengan hasil-hasil (melalui berbagai macam indikator,
sebagaimana diulas di Bab 2). Sebagaimana tampak dalam kotak berarsir, institusi dan
organisasi merupakan elemen kunci dalam kerangka ini, sebab mereka berperan
membentuk proses dan struktur yang memediasi penggunaan aset, strategi yang
dijalankan dan hasil yang dicapai bagi kelompok berbeda. Dengan kata lain, kerangka
ini merupakan sebuah diagram sederhana dari daftar kebutuhan (checklist),
dimaksudkan untuk membangun kerangka penelitian lapangan yang dijalankan secara
sistematis bagi tim peneliti lintas-disiplin.

Pergerakan dari daftar kebutuhan dalam bentuk diagram menuju kerangka—atau


lebih tepatnya Kerangka Penghidupan Berkelanjutan, dengan huruf besar, atau
Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods Approach, SLA)—
berlangsung pada 1998. Ini ditandai dengan didirikannya Departemen Pembangunan
Internasional (Department for International Development, DfID) di Inggris, dimuatnya
pendekatan penghidupan berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dalam sebuah
Makalah Putih (White Paper), berubahnya Departemen Sumber Daya Alam menjadi
Departemen Penghidupan, kelak punya Kantor Pendukung Penghidupan Berkelanjutan
sendiri. Juga dengan berdirinya sebuah komisi penasihat, dipimpin oleh Diana Carney,
saat itu bekerja di Institut Pembangunan Luar Negeri (Overseas Development Institute,
ODI) di London. Komisi ini berisi staf DfID dari berbagai departemen serta orang luar
dari peneliti dan komunitas Ornop, termasuk saya sendiri. Komisi ini membahas
langkah ke depan—bagaimana sebuah pendekatan penghidupan berkelanjutan bekerja?
Dan bagaimana dana pembangunan yang cukup besar bisa disalurkan untuk
pengurangan kemiskinan berbasis-penghidupan? Sebuah pendekatan yang sederhana
dan terpadu dibutuhkan, bisa mengajak orang terlibat dalam dialog, dan menjadi cara
untuk meluaskan—dan mengejawantahkan—gagasan ini.

Gambar 3.1: Kerangka Penghidupan Berkelanjutan (Scoones 1998)

Dengan uang dan politik di belakang gagasan ini—dan saat itu dengan kerangka
yang atraktif dan tersebar dengan baik berikut lembar-lembar petunjuk penggunaan,
sebuah petunjuk belajar online serta terus bertambahnya ‘kotak-alat’ (toolbox) yang
disebar melalui jaringan Livelihoods Connect18 berbasis web—konsep ini tersebar dan
meraih momentum—berikut sejumlah besar kekeliruan penerapan dan
kesalahpahaman yang mengiringinya. Bersama DfID, komunitas Ornop merupakan
pihak yang penting. Oxfam, CARE dan yang lain membawa rentetan gagasan baru dan
pengalaman lapangan untuk mengelaborasi pendekatan penghidupan. PBB, melalui
FAO, juga tertarik, sebagaimana UNDP, yang menciptakan berbagai macam pendekatan
penghidupan (Carney et al. 1999). Ketertarikan ini terus bergulir serupa bola salju di
tahun-tahun berikutnya. Kader-kader profesional penasihat yang menggunakan
pendekatan ini digembleng di DfID dan organisasi lain, dan penggunaan konsultansi
untuk pendekatan penghidupan bermekaran. Kajian komparatif berbagai pendekatan di
badan-badan berbeda segera bermunculan, menunjukkan perbedaan dalam menafsir
dan menerapkan beraneka ragam versi Kerangka Penghidupan Berkelanjutan” (Hussein
2002).

Para pengusung penghidupan berasal dari banyak kelompok, dari badan-badan


bilateral, PBB dan Ornop, seluruhnya berkomitmen terhadap pendekatan
pembangunan ‘dari bawah’, berpusat pada rakyat dan bersifat terpadu. Bila dilihat
sekilas, sangat sedikit yang dapat diperdebatkan. Tetapi gerbong ini mendapatkan
momentum berlebih dan debat kritis dari kelompok-kelompok berbeda menjadi sedikit.
Debat-debat internal tentang pro dan kontra aspek-aspek berbeda dalam kerangka ini
memang terus berjalan, tetapi hanya sedikit diskusi efektif mengenai isu-isu yang lebih
luas.

18 www.livelihoods.org
Di bab-bab berikutnya saya akan meninjau debat-debat ini untuk menunjukkan
bagaimana pendekatan penghidupan dapat diperluas, dipertajam dan disegarkan. Di
empat bagian berikutnya dalam bab ini saya akan berfokus pada debat tentang
kerangka-kerangka penghidupan, yang menjelaskan tentang sebagian tantangan
konseptual dan metodologis dari pendekatan penghidupan untuk penelitian dan
pembangunan.

Konteks dan Strategi Penghidupan

Mana yang lebih penting: apa yang dilakukan rakyat secara nyata atau faktor-faktor
yang menghambat atau memungkinkan tindakan-tindakan mereka? Jawabannya, tentu
saja, ialah bukan salah satunya. Tetapi telah berlangsung debat panjang dalam kajian-
kajian penghidupan antara mereka yang berfokus pada agensi individual (petani,
penggembala, penghuni hutan, dan sebagainya) yang menciptakan serentang strategi
adaptif yang fleksibel, dengan kalangan yang berfokus pada kekuatan-kekuatan
ekonomi politik struktural yang lebih luas dan memengaruhi mana yang mungkin dan
tidak.

Sebagaimana dibahas pada Bab 1, banyak kajian penghidupan dari 1980-an dan
1990-an berfokus pada agensi individual, merayakan kekayaan ragam penghidupan dan
kecakapan khas orang-orang beraset kecil dan berpendapatan rendah dalam
menciptakan penghidupan di latar yang sulit. Kajian pembuka seperti buku Susanna
Davies (1996) Adaptive Livelihoods dan Robert Netting (1993) Smallholders,
Householders meninjau bagaimana para petani beradaptasi, melakukan inovasi dan
bertahan dalam kondisi sulit. Banyak studi serupa menyusul, khususnya di Afrika,
dengan mengikuti tradisi kajian pedesaan (Wiggins 2000). Seluruhnya berdasarkan
kajian desa level-mikro, memanfaatkan displin ilmu geografi sosial, ekologi manusia
dan antropologi.

Bagi banyak kajian ini, “konteks” adalah sesuatu dari luar dan kadang sangat
jauh. Penelitiannya seringkali dilakukan jauh dari pusat-pusat kekuasaan, dimana
agensi lokal masih mendominasi proses-proses politik yang berlangsung. Kajian-kajian
semacam ini sangat mungkin merupakan tanggapan terhadap apa yang dianggap
sebagai analisis Marxis yang terlampau struktural dan deterministik terhadap
perubahan pedesaan, yang muncul sebelum mereka. Pengetahuan dan agensi lokal yang
diperhadapkan dengan kekuatan dominan negara atau pembangunan dari luar menjadi
tema yang sering muncul (Richards 1985; Long dan Long 1992).

Akan tetapi, menyusutkan analisis yang menelisik aspek-aspek struktural—


seperti peran negara dan para elit, kuasa kepentingan bisnis, pengaruh kapitalisme
neoliberal, kekuatan-kekuatan globalisasi atau perimbangan perdagangan antar-negara,
misalnya—ke dalam satu kotak sederhana “konteks” jelas menciptakan keterbatasan
analisis. Sebab konteks bukan sesuatu yang berada di luar penghidupan tetapi
memengaruhi seluruh aspek penghidupan. Mitos bahwa tempat-tempat jauh dan
terisolasi tidak tersentuh kolonialisme, penyesuaian struktural, perubahan rezim
perdagangan atau negara tidak masuk akal dan berbahaya. Seluruh sumber daya,
strategi dan hasil penghidupan dipengaruhi oleh proses-proses tersebut, sebagaimana
pranata dan organisasi yang memediasinya. “Konteks” selalu punya hubungan dengan
semua bagian kerangka yang lain, memungkinkan diterakannya jauh lebih banyak
tanda anak panah di dalam diagram kerangka sederhana. Hasilnya, fokus-mikro di
banyak analisis penghidupan melewatkan elemen ini, dan aspek-aspek struktural yang
lebih luas kerapkali diabaikan.

Simon Batterbury (2008) menamai ketegangan antara agensi dan praktik lokal
dengan struktur dan politik lebih luas ini sebagai ‘debat Mortimer-Watts’, mengacu
kepada dua ahli geografi yang sangat berpengaruh. Keduanya pernah meneliti isu-isu
penghidupan di utara Nigeria, menelisik tantangan-tantangan dari sudut pandang
berbeda dalam spektrum agensi-struktur (Watts 1983; Mortimer 1989). Kedua
pendekatan sangat kaya gagasan, tetapi kombinasi kedua perspektif inilah yang
sebenarnya sangat kuat. Banyak dari analisis penghidupan, dan kerangka-kerangka
yang berkaitan, telah berbelok ke agensi dan praktik lokal, dan menjadikan relasi dan
politik struktural hanya sebagai “konteks”. Kecenderungan ini, sebagaimana buku ini
sampaikan, adalah sebuah kesalahan.
Aset-Aset, Sumber Daya dan Modal Penghidupan

Debat panas yang kedua berlangsung di seputar pemahaman mengenai aset atau
sumber daya penghidupan sebagai modal. Kerangka penghidupan versi DfID Inggris
mengangkat “pentagon aset” yang mengemukakan lima modal (Carney 1998). Hal ini
melecut lebih banyak masalah ketimbang aspek-aspek lain dalam kerangka
penghidupan. Pertama, muncul keberatan sebagian kalangan bahwa istilah “modal”
(capitals) menyederhanakan kerumitan proses-proses penghidupan menjadi sekadar
unit-unit ekonomis sehingga menyarankan bahwa proses-proses ini dapat
diperbandingkan dan diukur. Mengambil dari bahasa dan istilah ekonomi tentu
merupakan langkah strategis di awal pengembangan kerangka penghidupan, dan para
ekonom dengan cepat memahami gagasan ini. Tetapi penyederhanaan ini
menghadirkan rentetan masalah. Karena lima modal ini tidak dapat diperbandingkan
atau dengan mudah diukur, gagasan untuk memetakan hubungan antara mereka dalam
sebuah diagram pentagon (bagun bersudut lima) akhirnya berujung lorong buntu,
menyia-siakan banyak sumber daya dan waktu.

Pihak lain menunjukkan bahwa lima modal itu membatasi, dan bahwa ada
sumber-sumber daya lain yang dapat dipertimbangkan, baik modal politik maupun
modal budaya. Kelompok lain lagi menolak istilah modal, khususnya modal alam,
sebagai cara untuk menyederhanakan alam yang rumit menjadi satu aset yang bersifat
tunggal, dapat diperdagangkan dan diasumsikan setara dengan modal lain, sehingga
menghapus peran kekuasaan atas pengelolaan alam (Wilshusen 2014). Kelompok
lainnya melihat bahwa definisi modal-modal tertentu membingungkan. Di sini “modal
sosial” menjadi sasaran utama. Gelombang besar kajian pada 1990-an mengklaim
bahwa memahami modal sosial sebagai ‘kepadatan hubungan-hubungan’ (density of
relationships) merupakan hal penting untuk memahami pembangunan (Putnam,
Leonardi dan Nanetti 1993), sementara kalangan lain dengan sengit mengklaim tidak
demikian (Fine 2000; Harriss 2002). Demikian pula, penggunaan istilah ini dengan
cara yang sangat berbeda juga membingungkan, dengan sebagian merujuk kepada
Bourdieu (1986), yang melihat modal dalam kerangka proses, diperoleh dalam konteks
struktur dominasi dan subordinasi (Sakdapolorak 2014). Sementara sebagian masih
terus menggunakan versi yang lebih berwatak ekonomi, dengan modal dilihat sebagai
barang, sering sebagai deretan komoditas untuk dipertukarkan.

Terlepas dari seluruh silang pendapat itu—yang bagi banyak kalangan dari luar
bidang ini akan tampak sebagai ‘kesuntukan-orang-dalam’—ada banyak alasan untuk
menelisik hal-hal yang dapat diakses masyarakat. Ini lebih dari sekadar trio klasik
tanah, tenaga kerja dan modal. Ini juga mencakup berbagai macam sumber daya sosial
dan politik, serta keterampilan dan kecakapan yang sangat penting bagi upaya-upaya
yang dilakukan manusia. Pun, ini bukan hanya tentang perbedaan distribusi aset
penting, tetapi juga tentang bagaimana aset-aset itu digabungkan dan diurutkan
(Batterbury 2008; Moser 2008), serta relasi kuasa seperti apa yang ditampakkannya.

Nyaris bersamaan dengan dikembangkannya kerangka itu, tinjauan lebih luas


terhadap aset juga diadvokasikan. Tony Bebbington melihat aset sebagai “kendaraan
untuk tindakan instrumental (mencari hidup), tindakan hermenetik (membuat hidup
berarti) dan tindakan emansipatoris (menantang struktur-struktur di mana orang
mencari hidup).” Maka,

Aset seseorang, seperti tanah, bukan cuma tempat mencari nafkah: aset juga memberi
makna kepada dunia seseorang. Aset bukan sekadar sumber daya yang digunakan orang
dalam membangun penghidupan: aset memberi mereka kapabilitas untuk menjadi dan
bertindak. Aset seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai barang yang memungkinkan
orang bertahan hidup, beradaptasi dan menggerus kemiskinan: aset juga menjadi dasar
bagi kekuasaan seseorang untuk bertindak dan bereproduksi, menantang atau
mengubah aturan-aturan yang mengelola penguasaan, penggunaan dan transformasi
sumber daya. (Bebbington 1999: 2022)

Maka, selain tentang apa yang orang punya, aset juga sekaligus tentang apa yang
mereka percaya, rasakan dan merupakan tanda pengenal mereka. Aset juga adalah
sumber daya politik. Akan tetapi, dapat diduga bahwa dalam wacana yang didominasi
oleh badan-badan bantuan, fokus terhadap hal yang lebih instrumental, ekonomis dan
material bertahan menjadi pusat diskusi dan menentukan banyak dari tindakan di
lapangan, meskipun tetap berlangsung debat yang lebih luas dan bernuansa.
Perubahan Penghidupan

Sejumlah penerapan pendekatan penghidupan bersifat statis: mengambil potret aset,


sumber daya dan strategi. Tetapi, sebagaimana diulas di Bab 2, kita terlebih dahulu
harus memahami bahwa perubahan penghidupan sangat penting untuk meneliti hasil-
hasil penghidupan; ini memerlukan perhatian terhadap transisi dan jalur penghidupan
(Bagchi et al. 1998; Scoones and Wolmer 2002 dan 2003; Sallu et al. 2010; van Dijk
2011).

Andrew Dorward dan kolega (Dorward 2009; Dorward et al. 2009)


mengembangkan sebuah kerangka yang membedakan antara orang yang “melangkah
naik” (mengakumulasi aset dan memperbaiki penghidupan dari kegiatan penghidupan
mereka sebelumnya), “melangkah keluar” (sukses dengan melakukan diversifikasi lewat
aktivitas-aktivitas baru, termasuk sebagian di lokasi baru), dan “bertahan” (hanya bisa
bertahan hidup, berjuang keras dan gagal mengakumulasi atau meningkatkan aset).
Josphat Mushongah (2009) menambahkan “terlempar keluar” bagi mereka yang jatuh
ke dalam kepapaan dan terpaksa harus ‘keluar’. Awalnya dikembangkan untuk melihat
aspirasi, tipologi sederhana ini dapat dikaitkan dengan kajian dinamika penghidupan,
menunjukkan bagaimana orang berbeda menempa berbagai macam pilihan jalur
penghidupan.

Politik dan Kuasa

Satu kritik atas pendekatan penghidupan yang terus muncul adalah diabaikannya
politik dan kekuasaan. Ini tidak sepenuhnya betul. Para pengusung penghidupan datang
dari banyak kelompok, dan sudah ada sejumlah karya penting yang mengelaborasi apa
yang dimaksud, dalam berbagai varian kerangka, dengan “mentransformasikan struktur
dan proses,” “kebijakan, institusi dan proses,” “memediasi insistusi dan organisasi,”
“tatakelola penghidupan berkelanjutan” atau “penggerak perubahan” (cf. Davies dan
Hossain 1987; Hyden 1988; Hobley dan Shields 2000; Leftwich 2007). Hasil-hasil
refleksi ini meneropong struktur dan proses sosial dan politik yang memengaruhi
pilihan-pilihan penghidupan. Kekuasaan, politik dan diferensiasi sosial—dan
dampaknya terhadap tatakelola pemerintahan—telah menjadi tema sentral dalam hal
ini. William Wolmer dan saya mengomentari tentang bagaimana pendekatan-
pendekatan penghidupan telah mendorong munculnya refleksi terhadap isu-isu
tersebut:

Ini berasal khususnya dari melihat konsekuensi-konsekuensi pembangunan dari


perspektif lokal, membuat kaitan antara kekhasan penghidupan masyarakat miskin di
level mikro dengan kerangka kelembagaan dan kebijakan di level lebih luas, yaitu di
tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan bahkan internasional. Dengan begitu, refleksi
semacam ini menampakkan pentingnya penataan kelembagaan dan tatakelola
pemerintahan yang rumit, dan relasi-relasi kunci antara penghidupan, kekuasaan dan
politik. (Scoones dan Wolmer 2003: 5)

Kajian-kajian awal Institute of Development Studies (IDS) yang disebutkan di atas19


menggarisbawahi gagasan bahwa lembaga dan organisasi berperan memediasi strategi
dan jalur penghidupan. Ini merupakan proses sosio-kultural dan politik yang
menjelaskan bagaimana dan mengapa input aset punya kaitan dengan strategi dan hasil
penghidupan. Lembaga dan organisasi sangat dipengaruhi oleh kekuasaan dan politik;
persoalan hak, akses dan tatakelola sangat penting dalam keduanya (Bab 4). Maka,
sudut pandang penjelasan berbeda, dengan penekanan pada disiplin ilmu berbeda,
dimasukkan ke dalam kerangka yang sama. Sudut pandang ini menekankan proses-
proses yang rumit dan membutuhkan pemahaman kekuasaan, politik dan kelembagaan
secara mendalam dan kualitatif. Sehingga ini merupakan tipe penelitian lapangan yang
sangat berbeda.

Beraneka ragam kerangka juga tidak membantu. Jelas, kita bisa mengajukan
pendapat bahwa kekuasaan ada di mana-mana—dari konteks sampai konstruksi dan
akses modal sebagai institusi dan relasi sosial yang memediasi, memandu pemilihan
strategi dan memengaruhi pilihan dan hasil tindakan. Sebagian mencoba membuat
politik lebih tampak, menambahkan modal politik ke dalam daftar aset dan
menekankan bahwa modal sosial menyiratkan perhatian terhadap relasi kuasa. Tetapi

19
Lihat Carswell et al. 1999, Brock dan Coulibaly 1999, Shankland 2000, Scoones dan Wolmer 2002.
penambahan seperti itu tidak benar-benar ditujukan untuk menjelaskan titik-titik
persimpangan yang rumit dalam basis struktural kekuasaan—dalam kepentingan
politik, wacana yang bertarung dan praktik-praktik lama. Sebaliknya, usaha semacam
itu menyusutkan kerumitan hingga ke bentuk yang tidak membedakannya kerangka
serupa lainnya (Harriss 1997). Dengan begitu, suara yang terus muncul untuk
mempertimbangkan kekuasan dan politik seringkali tak mendapat perhatian, dan
penerapan instrumental terus berlangsung sebagai praktik yang wajar, tetapi dengan
label penghidupan, meskipun dengan perhatian lebih besar terhadap proses-proses
kebijakan (Keeley dan Scoones 1999; IDS 2006; lihat Bab 4).

Sayangnya, debat tentang politik dan kekuasaan tetap berada di pinggiran.


Sementara berbagai kalangan mengajukan tentang pentingnya dimensi politik,
perhatian lebih banyak berada di tempat lain—sebagian besar berfokus pada agenda
pengentasan kemiskinan instrumental dalam kerangka ekonomi. Kini, bahkan tinggalan
pemikiran penghidupan dari dekade 1990-an sudah sulit terdeteksi, dan pandangan
linear dan instrumental atas bukti dan kebijakan telah mengambil alih kuasa.

Ada Apa di Dalam Sebuah Kerangka?

Walaupun demikian, pada sekitar lima belas tahun terakhir, kerangka penghidupan,
dan debat-debat terkait, memainkan peran diskursif dan politik. Mereka punya
kekuasaan dan pengaruh cukup kuat, meminta perhatian dan sumber daya di beragam
latar. Mereka menggerakkan komunitas peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan ke
dalam jaringan-jaringan longgar, diikat oleh komitmen untuk melaksanakan
pembangunan secara berbeda tetapi juga dengan kerangka dan nomenklatur bersama.

Pada saat bersamaan, berlangsung pertarungan politik yang melekat di dalam


penerapan kerangka tersebut. Dalam sebagian hal, sebuah kerangka dapat berfungsi
menyembunyikan debat epistemologis dan komitmen politik, merapihkan silang
pendapat dan ketaksepakatan. Dengan menyajikan gambaran yang rapih dan tertib,
khususnya dalam bentuk diagram, perselisihan dapat tertutupi dengan politik tapal
batas yang berperan menggabungkan dan mengkooptasi, ketimbang menyokong debat
dan diskusi. Ini bukan hal samasekali buruk. Dengan menjembatani berbagai pihak—
sering membentuk persekutuan yang sulit terjadi—dialog baru dapat terjadi. Dengan
mengabaikan penolakan awal, batas-batas sektoral dan disiplin akhirnya dapat
dibongkar dan wawasan, metode dan praktik baru dapat dihasilkan.

Seluruh hal ini dulu berlangsung dalam intensitas beragam, dan nyatanya masih
terjadi di kalangan-kalangan tertentu. Sejumlah besar program Master dan Doktor
mengerjakan berbagai versi kerangka penghidupan, menerapkan dan mengkritiknya.
Sebagaimana digambarkan Thomas Kuhn (1962), ini merupakan kemunculan “sains
normal” setelah “peralihan paradigma.” Hasilnya telah mematangkan diskusi, dan
menghasilkan lebih banyak nuansa dan kualifikasi dalam penerapan. Sayangnya, watak
mesin bantuan yang sering berubah dengan cepat tidak sabar dengan evolusi sains
normal yang berlangsung lamban. Bahkan, di dalam DfID dan agensi lain, kerangka dan
kata kunci baru telah bermunculan yang kerapkali melewatkan pelajaran yang diperoleh
sebelumnya (Cornwall dan Eade 2010). Sebagaimana pendekatan penghidupan yang
sebenarnya telah ada sebelum 1992, bisa dipastikan bahwa debat akan bergeser, kata-
kata kunci akan ditemukan kembali, dan pendekatan penghidupan akan kembali dalam
bentuk baru.

Akan tetapi, tujuan buku ini bukan menyelami perpuratan fashion lembaga
bantuan tetapi untuk melanjutkan debat ini, belajar dari dan membangun di atas masa
lalu. Tentu seluruh debat yang diulas di atas telah memainkan peran penting, dan
masing-masing terhubung dengan perhatian ilmu sosial yang lebih luas dengan cara-
cara yang penting.

Maka, ambil contoh, debat mengenai konteks dan strategi penghidupan


mengangkat kembali ketegangan berjangka panjang dalam ilmu sosial antara stuktur
dan agensi, dan menunjukkan pentingnya menelisik keduanya secara bersamaan (cf.
Giddens 1984). Diskusi mengenai aset dan modal memaksa kita untuk memahami
keterbatasan pendekatan yang berfokus pada materi. Ini mengajarkan kita untuk
meninjau ulang dengan kerangka yang lebih luas (Bebbington 1999), dan melihat
akumulasi dan pertukaran modal sebagai proses yang melibatkan kekuasaan (Bourdieu
1986). Pertanyaan tentang apakah melihat modal sosial sebagai aset terukur atau
sebagai proses yang melekat dalam relasi/pranata sosial mencerminkan diskusi lebih
luas dalam ilmu sosial dan politik tentang kelembagaan dalam pembangunan (Mehta et
al. 1999; Bebbington 2004; Cleaver 2012). Debat tentang jalur-jalur penghidupan
berfokus pada bagaimana jalur-jalur perubahan diciptakan dan dipertahankan di dalam
sistem yang kompleks (Leach et al. 2010) dan bagaimana dinamika penghidupan
seringkali bergantung pada faktor-faktor kunci seperti batas terendah aset (Carter dan
Barrett 2006). Akhirnya, sebagaimana akan dijelajahi lebih terperinci di bab
selanjutnya, debat tentang bagaimana politik dan kekuasaan dipahami dalam analisis
penghidupan telah mendorong penyingkapan lebih jauh terhadap “kotak hitam”
(sebenarnya abu-abu) pranata dan organisasi, dan menekankan kembali analisis
kelembagaan dan politik di sekitar penghidupan dan pembangunan dengan memberi
perhatian khusus terhadap politik dan nilai (Arce 2003).

Kesimpulan

Kita dapat menemukan cara untuk bergerak maju jika kita tidak terperangkap dalam
detil-detil partikular dari masing-masing kerangka, yang kadang menyempitkan
pandangan hingga ke tingkat yang menjenuhkan. Kita harus menggunakannya untuk
membuka debat tentang definisi, hubungan dan pertukaran, seluruhnya berkaitan
dengan perhatian terhadap teori sosial dan politik yang lebih luas dan fundamental.
Awalnya dirancang sebagai alat bantu untuk berpikir (heuristic) dan mengajukan
pertanyaan (checklist) yang bersifat lintas-disiplin, kerangka ini seharusnya tidak
diharapkan berperan lebih. Dengan pikiran terbuka, dan pendekatan yang lebih kaya
secara konseptual, kerangka-kerangka penghidupan, menurut saya, dapat membantu
penelitian apa pun. Kerangka ini dapat memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan
dan debat terbuka—tetapi harus diiringi oleh pentunjuk yang penting diperhatikan.
Bab 4

Akses dan Kontrol:


Pranata, Organisasi dan Proses Kebijakan

Sebagaimana disinggung di bab sebelumnya, ciri kerangka dan analisis penghidupan


yang sangat penting namun sering diabaikan adalah peran institusi (pranata),
organisasi dan kebijakan dalam memediasi akses terhadap sumber-sumber daya
penghidupan, dan menentukan peluang dan hambatan strategi penghidupan yang
berbeda. Dengan kata lain, proses-proses ini, digerakkan oleh institusi, organisasi dan
kebijakan, sehingga berdampak besar terhadap apa yang bisa dilakukan dan hasil-hasil
penghidupan yang tercipta.

Lantas apakah institusi, organisasi dan kebijakan itu? Bagaimana kita


seharusnya memaknai proses-proses yang memengaruhi hasil-hasil penghidupan?
Bagian pertama bab ini berfokus pada institusi dan organisasi. Sebuah bagian singkat
mengenai proses kebijakan kemudian menyusul. Bab ini diikat oleh penekanan ulang
mengenai pentingnya politik dalam memengaruhi strategi dan hasil penghidupan.

Institusi dan Organisasi

Semua orang bicara tentang institusi/pranata dan organisasi tetapi bagaimana kita
mendefinisikan dan memahami keduanya? Douglas North (1999) mengajukan sebuah
definisi sederhana dan bermanfaat. Menurutnya, institusi adalah “aturan main,”
sementara organisasi adalah “pemainnya.” Sehingga, misalnya, di latar pedesaan,
pranata pernikahan, pewarisan dan penguasaan lahan punya efek terhadap siapa yang
punya akses terhadap lahan, sementara organisasi seperti gereja, perkauman,
pemerintah lokal dan pendaftaran tanah nasional merupakan latar organisasional untuk
penerapan aturan.

Tentu kenyataannya tidak sesedehana itu, sebab berlapis-lapis aturan bisa saja
berlaku, sebagian secara formal tertulis dalam undang-undang, sementara yang lain
lebih informal; dan aturan-aturan ini kemudian dijalankan oleh berbagai macam
organisasi yang bertumpang tindih. Dalam dunia nyata, tidak ada hubungan yang rapih
antara pranata dan organisasi, antara aturan dan pemain.

Maka, kembali ke contoh akses terhadap tanah pedesaan, tanah bisa saja
diperoleh melalui alokasi formal lewat badan pemerintahan yang mengurusi tanah,
misalnya melalui program landreform. Hal ini mungkin menguntungkan para
perempuan dan imigran, misalnya, sebagai bagian dari program pemberdayaan dan
pemukiman ulang. Pada saat bersamaan, tanah bisa saja diperoleh melalui pewarisan
atau lewat alokasi dari seorang pemimpin tradisional atau kepala puak, meskipun hal
ini hanya mungkin bila penerimanya adalah seorang pria dari garis keturunan setempat.
Maka, bergantung dari siapa anda, pranata berbeda berlaku dan organisasi berbeda
relevan untuk anda. Selanjutnya, pranata dan organisasi melekat secara sosial, terwujud
dalam konteks budaya, sosial dan politik tertentu. Pranta dan organisasi bukan
pengambil keputusan yang netral mengenai akses tetapi sangat dipengaruhi oleh politik.

Dalam kasus di atas, akses tanah melalui program pemerintah berkaitan dengan
pranata formal dan dikelola lewat aturan-aturan atau kebijakan tertentu. Sebaliknya,
akses melalui pemimpin tradisional bersifat informal, menjadi bagian dari “hukum
adat” (Channock 1991). Hukum semacam ini punya kaitan dengan praktik-praktik,
rutinitas dan adat lokal yang berterima (Moore 2000). Tentu, apa yang dianggap adat
dan tradisi dapat berubah (Ranger dan Hobsbawm 1983) dan dipengaruhi oleh relasi
kuasa setempat. Pranata-pranata dan organisasi informal sangat cair dan terbuka bagi
pertarungan kekuasaan di tingkat lokal. Saya bukan mengatakan bahwa institusi formal
bersifat statis dan tidak terpengaruh oleh pertarungan kekuasaan: jauh dari itu. Tetapi
pengaruh terhadap aturan dan kebijakan, sebagaimana akan dibahas di bawah,
bentuknya berbeda dan secara umum—meski tidak selalu—lebih terlihat, transparan
dan bertanggung gugat.

Ketika bebeberapa pranata dan organisasi, formal maupun informal, mengelola


akses sumber daya dan penghidupan, ini kadang disebut sebagai “pluralisme hukum”
(Merry 1988). Dalam konteks semacam ini, rakyat dapat memilih rute yang paling cocok
bagi mereka, atau mereka dapat bertaruh dan mencoba beberapa jalur sekaligus.
Dengan kata lain, mereka bisa mempelajari pranata dan organisasi mana yang akan
mereka pilih, mencoba peruntungan, mengurangi ongkos transaksi dan memperbesar
peluang mereka untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan. Dalam konteks
pluralisme hukum, ini disebut sebagai “pemilihan forum” (forum shopping) (von
Benda-Beckmann 1995) dan merupakan bagian penting dalam membentuk sebuah
penghidupan (Mehta et al. 1999).

Rentetan masalah mulai muncul ketika sebuah rancangan pranata dipaksakan ke


tempat dimana pranata diasumsikan sudah lenyap atau telah susut, dan tidak
mempertimbangkan pluralitas yang ada di tempat tersebut. Pembangunan pedesaan
dan pengelolaan sumber daya alam penuh dengan contoh penggunaan asosiasi, komite
manajemen dan sejenisnya yang dikembangkan tanpa pemahaman efektif terhadap pola
penggunaan dan akses masyarakat setempat, serta pranata yang menopangnya. Frances
Cleaver (2012) mengangkat kasus dari Dataran Usangu di DAS Ruaha, Tanzania. Di
sana, menurut diagnosa para pakar pembangunan masalahnya ialah kegagalan pranata
“tradisional” yang berujung pada konflik antar-pengguna sumber daya, termasuk petani
dan penggembala ternak. Perencanaan tata guna lahan dikembangkan, rentetan aturan
dibuat dan deretan komisi didirikan. Tetapi, sama dengan banyak upaya pengelolaan
sumber daya alam lainnya, rencana-rencana ini berujung kegagalan (Cleaver dan Franks
2005). Basis sosial dan politik perselisihan tidak ditangani, norma dan praktik yang
berlaku di tempat tersebut juga tidak diakui. Sebaliknya, pranata-pranata baru
dipaksakan seolah sebelumnya tidak ada aturan yang berlaku di sana. Bukannya
melaksanakan apa yang telah direncanakan, negosiasi mencuat dari waktu ke waktu dan
tatanan baru dibangun melalui apa yang disebut Cleaver sebagai “bricolage”: sebuah
kombinasi antar-elemen yang rumit, disatukan sedikit demi sedikit secara perlahan.
Tatanan ini tidak cocok dengan tatanan manajemen hierarkis terdesentralisasi yang
terbangun di dalam struktur pemerintahan setempat. Meski tidak sesuai, tatanan baru
ini mulai berfungsi, dan harus terus-menerus beradaptasi seiring munculnya isu-isu
baru. Misalnya, klaim atas air di lahan basah bertumbuh ketika para pengguna irigasi
baru membangun usaha mereka. Klain ini harus bersaing dengan penggunaan air untuk
pertanian dan ternak yang sudah ada sebelumnya. Para pengguna irigasi baru ini
mewakili kelompok sosial tertentu sehingga dinamika kekuasaan dalam menangani
konfil air yang muncul menjadi rumit. Tetapi negosiasi menghasilkan solusi-solusi.
Walaupun terbentuk untuk melawan praktik-praktik yang sudah ada dan dengan
demikian mempertajam ketimpangan dan ketakadilan, pendekatan bricolage mirip
dengan tawar-menawar di pasar, dapat memunculkan hasil lebih baik ketimbang
pendekatan dengan rancangan institusi monolitik yang terstandarisasi, mirip dengan
kepatuhan katedral (cf. Lankford dan Hepworth 2010).

Dengan demikian, pengetahuan terperinci di level lapangan tentang pranata dan


organisasi, formal maupun informal, sangat penting. Tantangan besarnya ialah
bagaimana menerjemahkan pengetahun ini ke dalam jaminan akses di beberapa arena
sekaligus—akses atas tanah, pasar, pekerjaan non pertanian, jasa dan seterusnya—
untuk membentuk penghidupan. Kerumitan institusional dan organisasional sebagian
besar wilayah pedesaan di seluruh dunia berarti bahwa menegosiasikan penghidupan
butuh banyak waktu, kerja dan keterampilan. Di banyak tempat, pemain utamanya
bukan badan pemerintahan, tetapi proyek, Ornop, pengusaha, organisasi gereja dan elit
trandisional setempat. Seluruhnya punya, meminjam rumusan Chritian Lund (2008
dan 2006), kualitas “mirip-negara”, menguatkan regulasi dan menyadiakan jasa.

Relasi kuasa yang bertumpang tindih di antara sejumlah pemain memengaruhi


akses terhadap sumber daya untuk penghidupan. Relasi ini pun dipengaruhi oleh
rangkaian aturan—sering bersifat tidak jelas—dan menghasilkan berbagai macam
hubungan tanggung-gugat. Meskipun aturan-aturan ini mungkin membingkungkan,
tidak transparan, memakan waktu dan dipengaruhi oleh relasi pratronase yang sangat
timpang, pendekatan paling baik mungkin harus mengikuti aturan-aturan tersebut dan
menerima realitas yang kadang disebut sebagai “sistem neo-patrimonial”20 (Booth 2011;
Kelsall 2013). Mengabaikan kerumitan seperti ini dan bergantung kepada sistem
pelayanan negara yang buruk dapat berujung pada hasil yang lebih buruk (Olivier de
Sardan 2011). Mengenai akses atas tanah, bekerja dengan sistem alokasi dan
penguasaan tanah tradisional untuk menguatkan jaminan penguasaan boleh jadi lebih
efektif ketimbang merancang sistem registrasi dan administrasi tanah dari luar dan
berbiaya tinggi, meskipun sistem itu, dalam rancangan maupun praktik, tampak lebih
rapih, sederhana dan kurang intrik politik.

Bidang kajian ekonomi kelembagaan (institutional economic) menawarkan jalan


untuk memahami bagaimana orang memilih di antara sekian banyak pilihan (Toye
1995; Williamson 2000). Argumen dasarnya adalah bahwa kita akan memilih pilihan
yang lebih murah, menghitung berbagai ongkos yang berkaitan dengan negosiasi
transaksi, termasuk pencarian dan informasi, tawar-menawar serta pembuatan dan
penegakan aturan. Kemungkinan pilihan rasionalnya ialah pilihan yang mengurangi
ongkos transaksi, meredam ongkos tawar-menawar, negosiasi, sogok dan sebagainya,
yang bisa sangat tinggi. Kepercayaan merupakan faktor kunci dalam sebuah pranata.
Bahkan, teori permainan (game theory) menyarankan bahwa di antara orang yang
saling kenal baik rasa percaya lebih tinggi sehingga mereka lebih banyak berinteraksi.
Dengan demikian, investasi untuk pranata yang mengatur akses akan meningkat
mengikuti nilai sumber daya yang dimaksud.

Maka, dalam hal tanah, pranata yang mengatur akses tanah—seperti panitia
tataguna tanah yang mengawasi pemagaran, melakukan patroli dan menjatuhkan denda
bagi penyalahgunaan dan penyerobotan—lebih mungkin bekerja baik bila tanah yang
dijaga bernilai tinggi. Di wilayah tanah penggembalaan, misalnya, lebih masuk akal
untuk berinvestasi secara institusional (melalui aturan-aturan) dan secara
organisasional (lewat panitia-panitia) guna melindungi sumber daya penggembalaan
penting, seperti cadangan padang gembalaan di musim kering, wilayah tepi sungai atau
dasar lembah basah, ketimbang berusaha mengelola padang terbuka (Lane dan
Moorehead 1994).

Akses terhadap seluruh sumber daya penting bagi penghidupan diatur oleh
beraneka jenis pranata dan organisasi. Garrett Hardin dalam makalahnya yang sering
dikutip “tragedy of the commons” (tragedi sumber daya milik bersama) (Hardin 1968)
keliru mengasumsikan bahwa “sumber daya milik bersama” terbuka untuk semua
orang. Elinor Ostrom dan kolega dalam Lokakarya Teori Politik dan Analisis Kebijakan
di Universitas Indiana, AS, menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, pengelolaan
properti bersama secara nyata beroperasi menurut aturan yang cukup ketat yang

20Ketika jabatan atau posisi seseorang digunakan untuk kepentingan pribadi melalui ikatan patron-klien,
ketimbang mengikuti pemilahan tegas antara arena publik dan pribadi (lihat Clapham 1998; Bratton dan
van der Walle 1994).
dikelola oleh organisasi yang mapan dan kadang bersifat informal (Ostrom 1990).
Ostrom mendefiniskan delapan prinsip untuk perancangan pranata bagi properti milik
bersama, mencakup kebutuhan untuk: menentukan tapal batas kelompok yang jelas;
menyesuaikan aturan yang mengelola penggunaan sumber daya milik bersama
terhadap kebutuhan dan kondisi setempat; memastikan bahwa mereka yang terpapar
efek aturan dapat terlibat dalam memodifikasi aturan tersebut; memastikan bahwa hak
pembuatan-aturan anggota komunitas dihormati; mengembangkan sistem monitoring
berbasis masyarakat; menjalankan sanksi bertahap bagi pelanggar aturan; menyediakan
piranti penyelesaian perselisihan yang mudah diakses dan berbiaya rendah; dan
merumuskan pasal-pasal tanggungjawab bagi pengelolaan sumberdaya bersama dari
tingkat lokal ke sistem yang lebih luas. Prinsip-prinsip ini, menurut Ostrom, harus
beroperasi dari skala lokal menuju tingkat global dan sangat penting untuk memahami
bagaimana penghidupan berkelanjutan dapat dicapai (Ostrom 2009).

Tentu saja, prinsip-prinsip ini merupakan penyederhanaan yang berasal dari


analisis yang sangat dipengaruhi analisis ekonomi atas pilihan individual tentang
sumber daya yang punya batas-batas yang jelas, dan terefleksikan dalam tindakan
kolektif di seputar sumber daya bersama. Karenanya, prinsip-prinsip ini melewatkan
sejumlah kerumitan yang menjadi bagian dalam negosiasi sosial dan politik di berbagai
skala yang senantiasa berjalan, dan mengabaikan pentingnya memerhatikan
keberagaman ekologis sumber daya yang dikelola.

Contoh, Lyla Mehta dan kolega menyatakan bahwa ketidakpastian ekologis,


penghidupan dan pengetahuan bergabung untuk membentuk ulang pranata (Mehta et
al. 1999). Demikian pula, ketika kita fokus terhadap sumber daya lokal, kita akan
melewatkan kaitannya dengan skala lebih luas yang pasti tengah berlangsung ketika
orang membangun penghidupan. Menurut Tony Bebbington dan Simon Batterbury
(2001), dalam dunia yang semakin terglobalisasi, penghidupan dibangun dengan
melintasi ruang, antara perkotaan dan pedesaan, dan dalam konteks migrasi yang
melintasi daerah dan negara. Pranata dan organisasi yang memengaruhi penghidupan
secara trans-nasional tidak dapat dengan mudah dianalisa di dalam kerangka berwatak
lokal, dan harus melintasi batas-batas geografis. Pembakuan skala atau level bahkan
dapat mengaburkan cara orang dan sumber daya bergerak melintasi tempat dan skala,
sembari membangun jalur penghidupan yang kian rumit (Leach et al. 2010) dalam
konteks yang terglobalisasi dan saling berjejaring.

Lebih jauh, para peneliti tanah dan penguasaan tanah menunjukkan bahwa
meski institusi memang tidak baku orang tetap terus berinvestasi ke sana karena
merupakan bagian dari proses sosial dan kultural yang tengah berlangsung (Berry 1989
dan 1993). Meskipun pranata itu punya ciri formal, dia sering merupakan tatanan
hibrida, terbangun dari aturan-aturan informal yang beraneka ragam, kerapkali
ambigu, dan terus-menerus dinegosiasikan. Pranata sangat melekat secara sosial dan
kultural, dan tidak sejalan dengan rancangan sederhana. Sifat melekat ini seringkali
berlangsung di dalam relasi sosial yang sangat timpang, yang kemudian direplikasi dan
diperkuat dalam penataan institusional (Peters 2004, 2009).

Memahami Akses dan Eksklusi

Pranata dan organisasi sangat penting dalam memahami bagaimana sebagian orang
mendapatkan akses sumber daya dan penghidupan sementara yang lain tereksklusi.
Meluaskan karya Amartya Sen, kerangka “daya-akses lingkungan” yang menyatakan
bahwa pranata memediasi akses terhadap sumber daya, dan bahwa akseslah (bukan
kelimpahan sumber daya) yang menjelaskan dilema manajemen dan tatakelola sebagian
sumber daya penting di lapangan (Leach et al. 1999). Pranata diatur oleh beraneka
ragam proses formal dan informal yang seringkali bertumpang tindih. Seperti telah saya
bahas, proses-proses ini punya dampak berbeda, dipengaruhi oleh relasi kuasa. Gender,
usia, kekayaan, etnik, kelas, lokasi dan berbagai faktor lain memengaruhi siapa yang
mendapatkan akses dan siapa yang tidak (Mehta et al. 1999).

Teori mana yang dapat membantu kita memahami proses-proses ini? Dalam
makalah mereka yang sangat berpengaruh, Jesse Ribot dan Nancy Peluso (2003)
mengajukan “teori akses” yang memanfaatkan dan meluaskan banyak dari kepustakan
yang telah dibahas di sini. Mereka melihat pemerolehan, pengendalian dan tindakan
mempertahankan akses berkaitan dengan sehimpun kekuasaan yang jauh melampaui
hak atas properti. Akses bisa ditentukan oleh berbagai mekanisme yang tumpang tindih,
antara lain teknologi, modal, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas dan
relasi sosial.

Kerangka lain yang berguna untuk memahami akses dikembangkan oleh Derek
Hall, Phillip Hirsch dan Tania Li, berdasarkan penelitian panjang mereka di Asia
Tenggara (Hall et al. 2011). Mereka menggarisbawahi bahwa berbagai macam kekuatan
eksklusi (powers of exclusion), sehingga menekankan pada pertarungan dan konflik
serta pengerahan kekuatan untuk mengekslusi orang dari tanah dan sumber daya. Ini
melengkapi pemahaman kita tentang “penutupan akses” (enclosure), “akumulasi awal”
(primitive accumulation) atau “akumulasi lewat perampasan” (accumulation by
dispossession), dengan bertanya mengapa dan bagaimana proses semacam itu terjadi
dan siapa saja yang terpapar (Hall 2012). Mereka berpendapat bahwa ada empat proses
eksklusi yang saling berinteraksi: aturan, pasar, kekuatan fisik dan legitimasi.

Karena penghidupan—juga mencakup identitas, kewarganegaraan dan aspek-


aspek material—sangat terikat pada isu-isu akses dan properti, penting untuk
memahami cara-cara pengendalian dilakukan atas tanah dan sumber daya—termasuk
jalur-jalur baru yang berasal dari menguatnya komodifikasi dan meningkatnya
kekerasan. Sebab proses-proses teritorialisasi dan penutupan akses itu
mentransformasi tenaga kerja (labor) dan produksi (Peluso dan Lund 2011).
Selanjutnya, akses dan hak atas tanah dan sumber daya sangat terikat dengan pola
otoritas pranata dan ekspresi kewarganegaraan (Sikor dan Lund 2010). Penghidupan,
akses sumber daya, properti, otoritas dan kewarganegaraan merupakan elemen-elemen
yang saling membentuk.

Dengan begitu, dalam kasus proyek hutan karbon di Afrika, misalnya,


kepemilikan pohon (dan karenanya karbon) lewat proses berbasis pasar yang
menghasilkan penutupan akses secara selektif. Artinya, kepemilikan pohon didefiniskan
ulang dalam kerangka hubungan properti yang baru dan menata ulang otoritas atas
wilayah hutan. Hasilnya seringkali berupa penyerahan hak kepada para pengembang
proyek dan spekulator komersial, serta memungkinkan terjadinya pengangkangan oleh
elit lokal. Intervensi seperti ini, melalui beraneka prasyarat rumit dan membingungkan
yang memungkinkan karbon diuangkan dan diperjualbelikan, menciptakan serangkaian
praktik berwatak proyek, rezim dan teknologi tatakeloka. Hal ini kemudian menata
ulang hubungan antara manusia dan hutan, seringkali dengan cara-cara yang
fundamental. Sehingga tipe-tipe penghidupan yang terbentuk mengeksklusi bentuk
penghidupan lain seperti berburu, mengumpul dan menggembala ternak di wilayah-
wilayah tertentu (Leach dan Scoones 2015).

Pranata, Praktik dan Agensi


Banyak dari kepustakaan penghidupan berfokus pada pertarungan untuk mendapatkan
akses atas sumber daya material, sementara pranata dan organisasi dipandang sebagai
mediator. Sebagaimana diulas di atas, ini merupakan perspektif yang penting dan
menjadi titik pusat analisis. Akan tetapi, yang sering terlewatkan dari kerangka analisis
pranata seperti ini ialah pemahaman bahwa pranata mengandung politik pemaknaan,
yang merefleksikan subyektifitas, identitas dan peletakan posisi aktor-aktor yang
terlibat.

Pertarungan atas tanah atau air tidak hanya tentang akses terhadap sumber daya
material tetapi juga akses terhadap berbagai macam faktor lain. Tanah berkaitan sangat
akrab dengan pemaknaan sejarah, ingatan dan kultural. Demikian pula, air punya
ikatan dengan dewa, nenek moyang, mitos dan legenda. Di India Barat, misalnya, Lyla
Mehta menjelaskan bagaimana air terikat erat dengan pemaknaan kultural dan simbolik
(Mehta 2005).

Di luar dimensi kultural dan sosial penghidupan, juga terdapat dimensi personal
dan emosional yang kemudian memengaruhi pranata. Esha Shah (2012) mengulas
peran “sejarah afektif”—kebiasaan, perasaan dan emosi yang terpahat secara
mendalam—dari praktik dan perilaku yang berkaitan dengan penghidupan. Dia
berpendapat bahwa bunuh diri petani di pedesaan India tidak dapat dijelaskan hanya
dengan kondisi struktural krisis agraria yang ditebar oleh globalisasi dan liberalisasi,
atau kelangkaan material yang memengaruhi kehidupan rakyat, tetapi juga pada
bagaimana krisis dan kelangkaan itu dipahami dan dirasakan. Ini tercermin dalam
ekspresi emosional mereka seperti ketakutan, alienasi, keputusasaan, serta bagaimana
mereka menghadapi nasib atau stigma. Ini pun dipengaruhi oleh bagaimana mereka
membayangkan jati-diri mereka dan oleh identitas dan hierarki sosial yang terbentuk
secara historis.

Karena itu, bahkan jika seseorang tidak kekurangan makan secara material,
perasaan teralienasi, pengalaman terpinggirkan dan ketakutan akan kepapaan dan
kehilangan martabat bisa menyumbang dampak besar. Imajinasi dan memori kolektif
menguatkan hal ini, menggerakkan orang melakukan bunuh diri. Meskipun merupakan
tanggapan ekstrim, secara umum dapat dikatakan bahwa faktor “afektif” dapat
memengaruhi penghidupan sebagaimana faktor struktural dan material, dan selalu
saling berinteraksi, serta tidak dapat diabaikan dalam analisis penghidupan. Hal ini
kemudian mengharuskan para peneliti menelisik dan memahami dunia subyektif ini,
dan memasuki drama-drama situasi dalam kehidupan nyata.

Fokus terhadap rakyat sebagai subyek yang membentuk pemahaman


menekankan agensi (Giddens 1984) dan subyektifitas (Ortner 2005). Dalam mencari
penghidupan, orang merasa, berpikir, melakukan refleksi, mencari dan membentuk
makna. Praktik-praktik seperti ini selalu dikerangkakan secara kultural dan mungkin
menjadi bagian pengetahuan sosial tak disadari yang terinternalisasi secara mendalam,
serta membatasi tindakan: Pierre Bourdieu (1977 dan 2002) menyebutnya “habitus”.

Tania Li (1996) merumuskan istilah “ekonomi politik praktis” untuk


menekankan peran agensi manusia dalam memperbaiki kondisi penghidupan. Dia
menggarisbawahi gagasan dan praktik sehari-hari yang kreatif dan beraneka ragam
yang digunakan untuk membentuk ulang pranata dan kebijakan di berbagai skala.
Maka, praktik dan pertunjukan, baik yang tersembunyi dan terinternalisasi maupun
yang eksplisit dan dipelajari, menjadi basis bagi banyak tindakan. Praktik-praktik ini
boleh jadi merupakan rutinitas sebagai bagian dari pranata, aturan dan norma sosial,
serta dalam berbagai bentuk ungkapan. Praktik-praktik yang terpahat secara sosial ini
menjadi bagian dari penghidupan, tetapi karena mengakar sangat mendalam, mereka
sering tidak disadari. Praktik-praktik ini, karenanya, menciptakan pranata,
sebagaimana pranata menciptakan praktik.

Dengan perspektif ini, kini kita dapat melihat bagaimana pranata tidak
dibakukan dan dirancang, juga bukan hasil dari pemahaman rasional dan sederhana
atas insentif ekonomi. Pranata dibentuk dan dibentuk ulang secara dinamis, oleh
tindakan banyak aktor lokal yang terus berlangsung (Ortner 1984). Pertarungan
beragam makna untuk beraneka sumber daya terlibat dalam proses ini. Sebagai aktor-
aktor yang dapat mengetahui dan menyusun strategi dengan subyektifitas masing-
masing, fokus terhadap praktik penghidupan dapat menerangkan bagaimana pranata
diciptakan dan beroperasi. Fokus ini juga menawarkan perspektif lebih dinamis
mengenai hubungan yang diciptakan bersama oleh manusia, penghidupan dan pranata.

Perbedaan, Pengakuan dan Suara


Menurut Nancy Fraser, bersama redistribusi materi, fokus pada pengakuan dan
partisipasi sangat penting untuk mengejawantahkan politik yang lebih emansipatoris
(Fraser dan Honneth 2003). Perspektif feminis menunjukkan pentingnya berfokus pada
pengalaman langsung secara fisik (Grosz 1994) dan pada melihat tubuh sebagai sesuatu
yang dibangun lewat kekuasaan dan diposisikan secara sosial (Harcourt dan Escobar
2005). Peran produktif dan reproduktif berbasis gender punya efek mendasar terhadap
penghidupan. Akses terhadap sumber daya dapat dipahami tidak hanya sebagai
pertarungan memperebutkan materi tetapi juga interaksi tubuh dan emosi.

Melebarkan cakupan tradisi ekologi politik feminis (Rocheleau et al. 1996)


terhadap studi tentang akses atas air minum di Bangladesh, Farhana Sultana (2011:
163) memperlihatkan “geografi emosional dimana subyektifitas dan emosi berbasis
gender membentuk bagaimana relasi alam-masyarakat dijalani dan dialami dalam
kehidupan sehari-hari.” Tentu, perjumpaan gender dengan berbagai dimensi pembeda
lain, membutuhkan analisis lintas-kelompok dalam hubungannya dengan penghidupan
(Nightingale 2011). Teori mutakhir menyarankan bahwa kita butuh menimbang subyek
yang “terlepas dari pusat” (de-centred), yang menawarkan perspektif lebih rumit
mengenai identitas (Butler 2004).

Semua ini membawa pesan penting bagi mereka yang terlibat dalam kajian
penghidupan, sebab bentuk-bentuk dominasi mungkin tidak hanya muncul dari
ketimpangan akses terhadap sumber daya penghidupan tertentu. Bahkan, bentuk-
bentuk dominasi itu mungkin lebih mewujud di arena sosial dan politik, menunjukkan
bagaimana orang berbeda dipandang, diakui, diidentifikasi dan diapresiasi—menurut
gender, seksualitas, disabilitas, ras, kasta atau dimensi pembeda lainnya.

Dalam sebuah studi tentang renspons penghidupan terhadap perubahan iklim di


Andhra Pradesh, India, Tanya Jakimow (2013) mengumpulkan sejarah hidup terperinci
dari kelompok-kelompok sosial berbeda, mendokumentasikan aspirasi dan kegiatan
penghidupan dari waktu ke waktu. Wawancaranya berfokus pada kelokan-kelokan
penting dan perubahan peran berbagai macam pranata dalam memengaruhi
penghidupan dan respons terhadap perubahan iklim. Sudut pandang etnografis dan
biografis, karenanya, memperkaya pemahaman ekonomi dan struktural kita akan
proses-proses institusional, serta menambahkan kedalaman dan nuansa bagi
pemahaman kita akan bagaimana penghidupan dibangun dan bagaimana mereka
berubah dalam konteks yang rumit sekaligus dinamis.

Tetapi, serupa dengan cara melihat hasil penghidupan (Bab 2), tidak ada cara
tunggal yang benar untuk memahami pranata dan penghidupan. Pendekatan
komplementer yang menggabungkan analisis dari ekonomi kelembagaan, kajian sosio-
legal, antropologi hukum, sosiologi politik, ekonomi/ekologi politik dan etnografi
praktik, misalnya, dapat menghasilkan gagasan terbaik.

Proses-Proses Kebijakan
Seluruh dimensi institusional ini dipengaruhi oleh kebijakan. Dalam pembangunan, ada
banyak diskusi tentang kebijakan tetapi terbatas pada memahami apa itu kebijakan.
Secara formal, dan di banyak buku teks, kebijakan dimaknai sebagai pernyataan, aturan
dan undang-undang resmi yang punya kaitan dengan itikad pemerintah. Kebijakan-
kebijakan disepakati melalui debat politis dan diterapkan melalui birokrasi. Pandangan
linear yang kerap disebarkan menganggap penetapan agenda, kajian kebijakan dan
penetapan prioritas hingga ke penerapan dan evaluasi sebagai sesuatu yang berurutan.
Tentu saja, pandangan yang rapih dan linear seperti itu merupakan sebuah
penyederhanaan yang berlebihan. Menurut Edward Clay dan Edward Schaffer (1984:
192), kebijakan adalah “sebuah kekacauan tujuan dan kecelakaan.” Proses-proses
kebijakan berjalan tidak rapih, menemui penolakan, dan di atas semuanya, bersifat
politis (Shore dan Wright 2003). Proses-proses tersebut dipengaruhi oleh konteks,
individu-individu, dan merupakan hasil dari rentetan negosiasi yang rumit.

Hal ini sangat disadari oleh sebagian besar pembuat kebijakan. Tentu keputusan
dibuat di warung kopi atau diskusi informal; tentu kelompok-kelompok kepentingan
melakukan lobi dan memengaruhi; dan tentu proses pelaksanaan kebijakan butuh
diskresi, revisi dan perubahan di sepanjang perjalanannya. Jadi bagaimana kita
memahami proses seperti ini?

Sebuah kerangka analisa sederhana (Keeley dan Scoones 2003; IDS 2006) dapat
membantu kita melakukan pekerjaan ini. Kerangka ini memilah kekuatan narasi
(bagaimana kebijakan dibicarakan, dan bagaimana perbedaan bentuk pengetahuan dan
kepakaran dipakai), kekuatan aktor dan jaringan (bagaimana orang berbeda dan
jaringan mereka bisa berhimpun untuk memengaruhi perubahan kebijakan) dan
kekuatan politik dan kepentingan (bagaimana kelompok-kelompok kepentingan
membentuk dan memengaruhi hasil kebijakan melalui negosiasi, tawar-menawar dan
persaingan politik). Perspektif-perspektif yang bertumpang-tindih ini, dibuat dalam
satu diagram sederhana (Gambar 4.1), memungkinkan kita memahami perubahan
kebijakan melalui dimensi kekuasaan yang berbeda, serta skala dan disiplin ilmu yang
berbeda.
Gambar 4.1: Elemen-elemen kunci dalam proses kebijakan

Wacana/
Narasi

Ruang
kebijakan
Politik/ Aktor/
Kepentingan Jaringan

Sebagai contoh, ilmu politik telah lama menyatakan bahwa tawar-menawar dan
negosiasi antar-kelompok kepentingan di masyarakat adalah esensi dari politik
kebijakan. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berorientasi aktor menelisik agensi
individu pemain kebijakan, jaringan mereka dan relasi kuasa yang melekat di dalamnya
(Long dan van der Ploeg 1989). Kekuasaan mencuat melalui politik pengetahuan,
merepresentasikan bentuk kekuasaan diskursif yang lebih cair dan merembes ke mana-
mana, menentukan bentuk-bentuk apa yang Michel Foucault sebut sebagai
“governmentality” dalam proses-proses kebijakan (cf. Foucault et al. 1991).

Di pusat diagram ada ruang kebijakan (cf. Grindle dan Thomas 1991) yang dapat
terbuka atau tertutup bergantung pada konfigurasi narasi/wacana, aktor/jaringan dan
politik/kepentingan dalam sebuah proses kebijakan. Dengan begitu, kita bisa
memahami perubahan kebijakan dengan menyelidiki ketiga dimensi ini dan
mendefinisikan ruang kebijakan apa yang tersedia, baik bagi kebijakan yang sudah ada
maupun kebijakan yang baru akan dibuat. Kerangka ini dapat dipakai untuk
menentukan status quo, ataupun sebagai alat meramal untuk menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan dan merancang taktik dan strategi untuk perubahan.
Membongkar dan mentransformasi rezim kebijakan yang ada tidaklah mudah,
mengingat kekuasaan dan persistensi narasi-narasi arus utama berkaitan dengan
deretan aktor dan kepentingan yang menyokong mereka. Sementara untuk menggeser
perspektif kebijakan, dan dengan demikian menawarkan jalan lain, akan memerlukan
kerja keras demi membangun narasi berbeda dan menciptakan persekutuan dan aliansi
baru yang dapat mendongkel atau mengkooptasi kepentingan-kepentingan yang sudah
ada.

Kebijakan sebaiknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang
terjadi di lapangan. Analisis kebijakan terlalu sering berlangsung dalam dunia abstrak,
dan mengadopsi kerangka manajerial yang linear. Padahal kebijakan terikat sangat erat
dengan praktik dan negosiasi rumit di seputar implementasinya. Proses-proses inilah
yang menstabilkan model kebijakan, melalui mobilisasi narasi dan kebijakan, gagasan
dan praktik. David Mosse (2004) berpendapat bahwa kebijakan harus selalu dilihat
dalam hubungannya dengan pranata dan relasi sosial yang menjadi wahana tempat
kebijakan diartikulasikan.

Apa hubungan ulasan ini dengan penghidupan dan pembangunan pedesaan?


Sebagaimana telah kita lihat, kebijakan, seringkali melewati tatanan kelembagaan yang
rumit dan tumpang tindih, dapat memberi pengaruh besar bagi peluang-peluang
penghidupan. Ambil contoh, sebuah kebijakan dominan yang berfokus pada investasi
pertanian skala besar dapat mengesampingkan dukungan untuk pertanian skala kecil.
Ini khususnya akan terjadi ketika kebijakan disokong oleh pendapat bahwa pertanian
skala besar lebih moderen dan efisien, menghasilkan lapangan kerja, dapat menarik
investasi asing dan bersaing di pasar dunia, serta ditopang oleh kepentingan-
kepentingan dagang yang kuat.

Narasi pertanian skala besar inilah yang akhir-akhir ini menopang penguasaan
tanah besar-besaran (land grab). Narasi ini dipromosikan oleh tokoh-tokoh
berpengaruh, seperti Paul Collier yang mengajukan argumen di majalah yang dibaca
luas Foreign Policy bahwa “dunia butuh lebih banyak pertanian komersial, bukan lebih
sedikit. Model pertanian besar berproduktifitas tinggi di Brazil dapat diperluas ke
wilayah-wilayah di mana pertanian jenis ini kurang dilakukan” (Collier 2008). Bank
Dunia juga ingin membangunkan ‘raksasa tidur’ yaitu Afrika lewat pertanian komersial
di seluruh wilayah padang rumput Guinea (Morris et al. 2009). Dengan para investor
dan spekulator finansial mencari pilihan-pilihan murah, dan seiring meningkatnya
harga minyak, pakan dan pangan, minat akan tanah meningkat. Aliansi-aliansi lokal
juga terbentuk di kalangan pejabat pemerintahan yang menginginkan investasi asing
(dan kadang potensi mendapatkan sogokan) dan para pemimpin tradisional yang
mungkin berpikir mereka bisa meraup untung dari kesepakatan-kesepakatan seperti itu
(Wolford et al. 2013). Koalisi multi-skala yang kuat sudah terbentuk, bervariasi menurut
latar tetapi bergabung di seputar narasi yang kuat dan disokong para pakar. Hasilnya,
sebagaimana kita lihat di beberapa tahun terakhir, adalah perampasan penghidupan,
penghancuran hak akses dan di banyak kasus kurangnya alternatif peluang kerja dan
pertumbuhan ekonomi (White et al. 2012).

Terdapat argumen alternatif dan terkoneksi dengan baik tentang pertanian skala
kecil, hak tanah rakyat lokal, dan kedaulatan pangan (Rosset 2011). Bahkan, ini sering
disokong oleh argumen yang kuat tentang efisiensi pertanian skala kecil (Lipton 2009)
atau manfaat alternatif agro-ekologis bagi industri skala besar (Altieri dan Toledo 2011).
Tetapi menghadapi koalisi kuat para investor, pemain agribisnis dari sektor swasta,
pemerintah dan elit lokal, alternatif seperti ini hanya bisa bergerak secara terbatas dan
sering dicap sebagai gagasan yang naïf dan populis.
Tentu tidak semua investasi dari luar dan kesepakatan tentang tanah merupakan
hal buruk, dan sebagian narasi yang berkaitan dengan posisi kesepakatan tanah skala
besar punya pembenaran. Dunia nyata tentu saja lebih rumit daripada lazimnya debat
kebijakan yang terbentuk di seputar serangkaian dikotomi sederhana—antara lain,
besar versus kecil, dari luar versus dari dalam, produksi pangan versus tanaman
komoditas, terbelakang versus modern. Dikotomi-dikotomi ini mengaburkan
kompleksitas yang justru hendak disingkap oleh analisis penghidupan, bahkan jika
mereka menyajikan bahan kampanye yang berguna bagi kedua pihak. Strategi lain ialah
dengan lebih dulu melihat apa yang terjadi kapan dan di mana, lalu menciptakan
sebuah alternatif narasi yang berfokus pada peluang produksi terbaik bagi petani kecil
dan mencari cara bagaimana peluang ini dapat dilengkapi dengan investasi dari luar
(Vermeulen dan Cotula 2010). Pendapat seperti ini, meskipun lebih realistis dan
pragmatis, masih rentan terhadap kooptasi dan pelemahan ketika menghadapi
kekuatan-kekuatan yang digdaya. Analisis seksama yang speksifik sesuai konteks atas
proses-proses kebijakan merupakan kebutuhan mendasar bila kita ingin
mempromosikan hak atas penghidupan.

Pembahasan ringkas mengenai contoh-contoh rumit ini, saya harap, dapat


memperlihatkan bagaimana sebuah penyelidikan seksama atas proses kebijakan
menjadi bagian inti dari analisa penghidupan. Menelisik isu mikro—semisal suplai air
irigasi di wilayah tertentu—maupun diskusi global—seperti prioritas pemuliaan
tanaman komoditas dan modifikasi genetik—pendekatan seperti ini akan membantu
untuk membongkar bagaimana kebijakan dibangun, dan bentuk-bentuk dukungan yang
mereka peroleh di konteks yang berbeda. Ruang-ruang kebijakan terbuka atau tertutup
melalui proses-proses yang juga merupakan ruang penghidupan, dengan sebagian pihak
mengambil manfaat dari langkah kebijakan tertentu sementara yang lain dirugikan.

Membongkar Kotak Hitam


“Kotak hitam” pranata, organisasi dan kebijakan, sebagaimana ditunjukkan di bab ini,
sangat berguna untuk dibuka. Meskipun menempati posisi kunci dalam kerangka
penghidupan yang diulas di Bab 3, upaya ini terlalu sering dilewatkan atau diberi
anggukan palsu.

Elemen institusi dan kebijakan dalam kerangka penghidupan sejatinya mewakili


perhatian terhadap kekuasaan dan politik, serta relasi sosial dan politik yang menopang
keduanya. Ini bisa saja mengacu kepada politik dalam proses-proses yang terglobalisasi
yang dimediasi melalui rezim di tingkat nasional ataupun politik level mikro tentang
relasi di dalam dan antar rumah tangga. Proses-proses ini menentukan penghidupan
seperti apa yang mungkin tersedia dan yang tidak, dan analisa lengkap dari berbagai
perspektif tentang pranata, organisasi dan kebijakan harus dilakukan. Ini berarti
bergerak melampaui kerangka sempit berwatak ekonomistik guna memahami dimensi
sosial dan kultural yang memengaruhi bukan saja insentif sederhana ongkos dan
manfaat, tetapi juga apa yang terjadi di mana dan mengapa demikian.
Bab 5

Penghidupan, Lingkungan dan Keberlanjutan

Istilah penghidupan dan keberlanjutan saling terkait erat, khususnya dengan adanya
konsep penghidupan berkelanjutan. Meskipun punya pendahulu (Bab 1), konsep ini
dipopulerkan oleh Robert Chambers dan Gordon Conway dalam makalah mereka yang
terbit tahun 1992. Seperti disebut pada Bab 1, mereka merumuskan bahwa “sebuah
penghidupan dikatakan berkelanjutan bila dia dapat mengatasi dan pulih dari tekanan
dan guncangan, mempertahankan atau menguatkan kapabilitas dan aset, sembari tidak
menyusutkan basis sumber daya alam” (1992: 5). Definisi ini meletakkan penghidupan
di jantung sistem yang dinamis, melibatkan perubahan tekanan eksternal—baik tekanan
berjangka panjang maupun guncangan tiba-tiba. Argumen mereka juga mengaitkan
penghidupan dengan sumber daya alam dan menekanan bahwa keberlanjutan berarti
tidak menyusutkan basis sumber daya alam. Chambers dan Conway melanjutkan
dengan mengatakan bahwa keberlanjutan harus selalu menimbang pertanyaan antar-
generasi, dengan imbangan pertukaran (tradeoff) antara penggunaan sekarang dan
masa datang berada di pusat analisis penghidupan. Mereka juga menelisik
keterhubungan secara global, menekankan bagaimana penghidupan dan gaya hidup di
satu belahan dunia dapat memengaruhi pilihan-pilihan di belahan lain, baik masa kini
maupun masa datang, melalui efek global perubahan iklim sebagai salah satu faktor
lingkungan yang memengaruhi peluang penghidupan.

Isu-isu ini, yang berada di jantung agenda keberlanjutan, menjadi perhatian


penting dalam memikirkan tentang penghidupan. Namun, seperti kita telah lihat di
bab-bab sebelumnya, sejumlah besar debat tentang penghidupan dan penerapannya
dalam praktik pembangunan tidak mempertimbangkan faktor-faktor ini, meskipun
secara retoris sepakat dengan gagasan keberlanjutan dalam label “penghidupan
berkelanjutan”. Kerja-kerja di wilayah-wilayah miskin dan terpinggirkan cenderung
berfokus pada kebutuhan sehari-hari, pengentasan kemiskinan serta bantuan
kemanusiaan dan penanganan bencana. Di sini, masa kini membenamkan masa depan,
dan pertanyaan tentang pembangunan berkelanjutan kadang tidak dapat bertahan
lama. Ini merupakan tema yang sering muncul dalam pembangunan, seiring upaya-
upaya untuk memadukan bantuan darurat becana (relief) dan pembangunan yang terus
mengelabui praktik para profesional (Buchanan-Smith dan Maxwell 1994). Tetapi
perhatian terhadap perubahan iklim telah menggeser perdebatan, dan kini sudah lebih
banyak perhatian ditujukan pada upaya membangun ketangguhan terhadap bencana,
adaptasi perubahan iklim dan tanggapan jangka panjang terhadap perubahan (Adger et
al. 2003; Nelson et al. 2007; Bohle 2009). Akan tetapi di bagian ini pun perhatian itu
terpilah secara artifisial antara respons adaptif jangka pendek dan mitigasi jangka
panjang. Pemilahan serupa juga tampak antara mekanisme menghadapi ancaman
(coping) dan respons lokal dengan tantangan politik global untuk mengurangi emisi
karbon dan memperlambat perubahan iklim.

Terlepas dari banyak usaha untuk memaknainya, keberlanjutan sebagai konsep


belum pernah dilekatkan pada sudut pandang tertentu. Dalam bentuknya yang paling
generik, mengikuti laporan Brundtland Commission (WCED 1987), konsep ini
merupakan gabungan antara faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Di luar itu, konsep
keberlanjutan harus selalu dinegosiasikan. Ini merupakan konsep yang politis, dan
selalu meminta debat dan deliberasi, seringkali melibatkan sudut pandang yang
bersaing dan bertabrakan (Scoones 2007). Sebagai istilah ‘perbatasan’ (cf. Gieryn 1999),
peran ‘keberlanjutan’ sungguh bermanfaat—semua orang berpikir mereka mengerti.
Akan tetapi, sangat sedikit yang benar-benar paham atau memahaminya dengan cara
yang sama. Maka, konsep ini mendorong munculnya dialog antar-disiplin, dari ilmu
alam maupun sosial, dan di antara ruang-ruang kebijakan; dari ilmu ekonomi (dari
diskusi tentang “ekonomi hijau” hingga “akuntansi alam”) sampai ilmu alam (dari
ramalan perubahan iklim global hingga pemodelan ekosistem) hingga ilmu sosial dan
politik (dan pertanyaan tentang pengetahuan, politik serta pertanyaan tentang siapa
yang menang dan siapa yang kalah) (Scoones et al. 2015).

Dari perumusan awalnya sebagai konsep untuk pengelolaan hutan sampai


penggunaannya yang jauh lebih luas sebagai penanda kesepakatan politis, dalam
rententan konferensi besar PBB, dari Stockholm, Rio de Janeiro hingga ke
Johannesburg dan kembali ke Rio. Istilah ini telah menjelajah dan meraih dukungan
politik dan kebijakan (Lele 1991; Berkhout et al. 2003). Namun begitu, sebagaimana
istilah perbatasan lainnya, maknanya sering sulit dirumuskan dan terbuka bagi berbagai
macam penafsiran, dan karena itu mudah diadopsi untuk kepentingan masing-masing
pihak. Menderetkan kata ‘keberlanjutan’ dengan banyak kata lain, termasuk
‘penghidupan’, menjadi saksi akan jangkauannya tetapi juga akan kemungkinan
kemiskinan maknanya.

Jadi bagaimana keberlanjutan dapat diletakkan ke tempat lebih penting dalam


debat tentang penghidupan? Bagaimana dia dapat merangkul dimensi lokal dan global,
jangka panjang dan pendek? Bab ini menyajikan beberapa petunjuk, dan peta jalur yang
singkat untuk mengenali sebagian debat-debat inti.

Rakyat dan Lingkungan: Sebuah Hubungan Dinamis


Minat terhadap hubungan antara lingkungan, manusia dan pembangunan jauh
mendahului debat-debat kebijakan mutakhir di seputar penghidupan berkelanjutan
(Forsyth, Leach dan Scoones 1998). Hubungan mendasar ini menjadi inti dalam karya-
karya Thomas Malthus, khususnya dalam karyanya yang terbit pada 1798, Essay on The
Principle of Population. Dia mengkhawatirkan konsekuensi pertambahan penduduk,
mengadvokasikan pengendaliannya sebab khawatir bahwa permintaan akan sumber
daya akan melampaui pasokan dan berujung pada kelaparan, kekerasan dan kekacauan
sosial. Kecemasan akan keterbatasan sumber daya menguat pada awal 1970-an,
sebagian dilecut oleh krisis minyak dan pemahaman bahwa dunia akan kehabisan
sumber daya. Beberapa buku yang terkenal mengenai soal ini kebetulan terbit
bersamaan dengan pertumbuhan gerakan lingkungan di Utara, dan termasuk visi
apokalipotik Paul dan Anne Ehrlich dalam The Population Bomb (1970), dan manifesto
majalah The Ecologist, Blueprint for Suvival (Goldsmith et al. 1972). Mungkin yang
paling berpengaruh adalah laporan Club of Rome, Limits to Growth (Meadows et al.
1972), yang menggunakan ‘model sistem’ untuk menelaah penggunaan sumber daya
dan ekonomi, dan mengajukan argumen bahwa pola pertumbuhan ekonomi saat itu
harus dihentikan. Kini, argumen-argumen serupa dibuat di sekitar konsep “ambang
batas planet” (Rockstrom et al. 2009), meskipun dengan data dan wawasan yang jauh
lebih baik mengenai faktor-faktor penggerak perubahan lingkungan global.

Kerangka Malthusian akan keruntuhan lingkungan hidup karena pertumbuhan


penduduk dan penghancuran lingkungan sangat akrab bagi kita, tetapi perlu digeledah
kembali. Johan Rockstrom dan kolega menunjukkan dengan meyakinkan bahwa
terdapat sejumlah ambang batas planet (mereka mengidentifikasi sembilan), dan
sebagian dari ambang batas ini telah terlampaui, khususnya yang berhubungan dengan
iklim, penyusutan keanekaragaman hayati dan rusaknya siklus nitrogen. Ini punya
potensi dampak besar-besaran bagi peluang-peluang penghidupan di seluruh dunia,
dan sejumlah dampak politik penting mengenai bagaimana sebuah “ruang beroperasi
yang aman bagi manusia” dipahami dan didistribusikan (Leach et al. 2012, 2013).
Sembari tidak mengabaikan tanda-tanda penting akan perubahan lingkungan dari ilmu
fisika dan alam, kita juga harus awas terhadap bagaimana argumen semacam itu
membangun respons, dan terhadap dampak mereka bagi penghidupan rakyat.

Kelangkaan Sumber daya: Melampaui Malthus


Argumen mengenai kelangkaan sumber daya sering digunakan dalam debat kebijakan
mengenai alokasi sumber daya dan penghidupan. Tetapi sumber daya apa yang langka
bagi siapa? Dan apakah konsekuensi-konsekuensi politis dari kelangkaan semacam itu,
dari level global hingga lokal? Debat ini tampak dalam diskusi mutakhir tentang
“penguasaan” tanah (atau “penguasaan” air atau “penguasaan” hijau) (Bab 4). Masalah-
masalah sumber daya di satu belahan dunia digunakan untuk membenarkan
penguasaan lahan, air atau keanekaragaman hayati di belahan lain. Sebagai contoh,
kesepakatan-kesepakatan mengenai tanah dibuat oleh perusahaan (dan pemerintah) di
sebagian negara Asia di mana pertumbuhan ekonomi berlevel tinggi dihela oleh
permintaan berbagai macam sumber pangan, energi dan mineral dari Afrika dan Asia
Tenggara, di mana tanah, sumber-sumber mineral dan air dianggap kurang atau tidak
dimanfaatkan (White et al. 2012; Cotula 2013). Tentu ini memunculkan sejumlah
pertanyaan: bagaimana kelangkaan dan keberlimpahan seperti itu terbentuk, oleh siapa
dan untuk tujuan apa (Mehta 2010; Scoones et al. 2014)? Apakah pertumbuhan
konsumsi dapat dibenarkan, dan apa akibatnya? Apakah tanah yang dikuasai secara
nyata tidak dimanfaatkan, atau apakah para penggembala atau peladang bergilir
menggunakannya? Serta bagaimana keuntungan dan ongkos kesepakatan semacam itu
didistribusikan lewat komoditisasi sumber daya?

Kerangka berpikir yang lebih politis tentang kelangkaan akan mengajukan


argumen bahwa kelangkaan selalu bersifat relasional dan dibangun dalam latar sosial-
politik tertentu, sehingga membawa efek bagi kelompok orang yang berbeda dengan
cara berbeda pula (Hartmann 2010). Pemahaman kita tentang interaksi lingkungan-
manusia harus menimbang aspek ini, sebab narasi yang menopang kebijakan selalu
mempertimbangkan namun tidak menantangnya. Tetapi ini bukan menepis bahwa
secara nyata perubahan absolut memang terjadi. Perubahan iklim sangat nyata,
sebagaimana deforestasi, susutnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, menurunnya
muka air dan seterusnya. Tetapi kita juga harus menelisik bagaimana perubahan seperti
itu dipahami dari sudut pandang yang kadang sangat berbeda.

Dalam sebuah buku klasik, The Lie of the Land: Challenging Received Wisdom
on the African Environment, Melissa Leach dan Robin Mearns (1996) menjelaskan
bagaimana narasi perubahan lingkungan di Afrika, yang seringkali meminjam jalan
cerita klasik Malthusian tentang kiamat-dan-kesuraman, masih sangat kuat bertahan.
Pasal ini diajukan secara lebih luas oleh Emery Roe (1991) dalam bidang pembangunan
secara umum. Penyederhanaan narasi memang membantu, tetapi juga sangat melekat
dalam institusi, sistem pendidikan dan pelatihan, serta mesin kebijakan. Pelembagaan
narasi ini berlangsung dalam jangka panjang, kerapkali merentang sejak masa kolonial
hingga setelah kemerdekaan. Terlepas dari banyaknya usaha untuk mengkritik,
menantang dan mendongkelnya, narasi tersebut terus bertahan. Kemampuan ini lebih
karena kekuatan politis narasi tersebut ketimbang topangan saintifik (sering sangat
goyah, atau setidaknya terbatas pada contoh-contoh dan latar tertentu). Maka, debat-
debat tentang keberlanjutan dibangun di atas narasi semacam itu, dan debat-debat itu
lebih merupakan tanggapan refleks ketimbang analisis mendalam tentang interaksi-
interaksi dinamis dan kompleks antara manusia dan lingkungan di tempat-tempat
tertentu.

Sebagaimana dalam seluruh jalan cerita yang baik, narasi-narasi ini punya
korban dan juru selamat, orang baik dan jahat, serta solusi eksternal yang sederhana
dan seringkali heroik. Peran antagonis diciptakan—semisal para petani tebang-bakar,
pemburu dan peramu, penggembala terbelakang, pengumpul kayu bakar, pembakar
arang—dan dicap jahat dalam narasi kebijakan, seringkali dengan sedikit bukti yang
kuat. Para penjahat ini sering berupa orang miskin, kelompok terpinggirkan, dan
mereka yang mengusahakan penghidupan di luar norma para petani beradab dan
menetap atau para penghuni kota. Dalam proses ini, penghidupan dikriminalisasi dan
dianggap melanggar hukum, dan akses mereka terhadap sumber daya yang sudah lama
menjadi gantungan ditepis. Pagar dibangun untuk melindungi keanekaragaman hayati
di taman-taman nasional, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “konservasi
dengan benteng” (Brockington 2002; Hutton, Adams dan Murombedzi 2005); unit-unit
penjaga anti perambah diadakan untuk mengejar para pemburu dan menghentikan
penggembalaan ilegal; pembakaran sebagai bagian dari praktik pengolahan lahan
dilarang; dan para penggembala dihalau agar tidak menggunakan sumber-sumber daya
penting, seperti tanah basah atau daerah tepi sungai, atas nama perlindungan dari erosi
tanah.

Meskipun bermaksud baik, langkah-langkah seperti itu seringkali salah arah dan
tidak ilmiah. Ambil contoh aturan pembakaran: di padang rumput dan banyak
ekosistem hutan, api adalah bagian alamiah dari proses ekosistem dan telah lama
mempertahankan kekayaan keanekaragaman vegetasi (Frost dan Robertson 1987).
Melarang pembakaran (sehingga juga melarang peladangan bergilir, pengumpulan
madu dan penggembalaan musiman) bukan hanya berarti mengancam penghidupan,
tetapi juga menciptakan kerentanan lebih tinggi terhadap kebakaran di masa datang
(misalnya, melalui menumpuknya rumput) dan mengurangi keanekaragaman hayati
misalnya dengan menciptakan kawasan dengan tegakan yang berusia sama. Aturan ini
kemudian juga menciptakan konflik antara mereka yang diberi tugas melindungi alam
dan masyarakat setempat, sebagaimana didokumentasikan Iokine Rodriguez di
Venezuela (Rodriguez 2007).

Ekologi Non-Ekuilibrium
Ekosistem bukan sebuah unsur statis “modal alam” (cf. Bab 3) untuk dipertahankan
(atau diperdagangkan—lihat McAfee 1999). Ekosistem itu kompleks, dinamis dan
senantiasa berubah. Gagasan dari ekologi “non-ekuilibrium” menjadi penting sebab
mereka menantang gagasan statis dan manajerial seperti perlindungan, pengendalian,
daya dukung dan ambang batas (Behnke dan Scoones 1993; Zimmerer 1994; Scoones
1995 dan 1999). Ekologi non-ekuilibrium butuh pendekatan pengelolaan yang lebih
rumit, responsif dan adaptif (Holling 1973), mempertimbangkan guncangan dan
tekanan tak terhindarkan, juga memperlakukan ketangguhan dan keberlanjutan sebagai
properti yang diciptakan oleh sistem yang dinamis (Berkes et al. 1998; Folke et al. 2002;
Walker dan Salt 2006). Ini bukan hal baru bagi ahli ekologi sumber daya alam dan
penduduk lokal yang juga adalah pengelola sumber daya dalam ekosistem yang rumit.
Bahkan, persis seperti inilah ekosistem dikelola di banyak belahan bumi selama ribuan
tahun, khususnya di kawasan tropis, dengan variasi curah hujan, tempratur, kebarakan,
penyakit dan faktor penggerak ekosistem lainnya yang lebih tinggi ketimbang di
kawasan lain. Akan tetapi, sebagian karena penyederhanaan narasi tentang
pengendalian dan pengelolaan sumber daya yang telah diulas di atas, sebagian besar
rezim pengelolaan dan kebijakan tidak mengadopsi pendekatan yang responsif dan
adaptif itu terhadap hutan, padang penggembalaan, keanekaragaman hayati atau air.
Sebaliknya, pendekatan dari atas, berpegang pada gagasan mengenai ambang batas dan
pengendalian, telah menjadi inti bagi pengelolaan sumber daya di seluruh belahan
dunia.

Ketidaksesuaian antara kenyataan lapangan dan rezim kebijakan ini


menimbulkan perpecahan besar, kadang bahkan konflik terbuka; dan tidak membantu
perjuangan menuju keberlanjutan juga pencapaian penghidupan berkelanjutan. Akan
tetapi, visi perlindungan dan penyelamatan lingkungan yang romantik dan idealistik,
sebagaimana diperjuangkan sebagian kalangan, juga tidak banyak membantu. Sebagai
contoh, terdapat pemahaman eko-feminis yang terkenal bahwa perempuan punya
kualitas merawat dan kemampuan mengelola sumber daya secara berkelanjutan (Shiva
dan Miles 1993). Meskipun di sejumlah kasus hal ini tidak terbantahkan, tetapi
mengajukannya sebagai ciri umum dan terberi akan bertentangan dengan kerumitan
ekologi politik yang menentukan perbedaan akses dan kontrol atas sumber daya
berbasis gender (Jackson 1993; Leach 2007). Demikian pula, apresiasi terhadap
pengetahuan lokal atau masyarakat adat, termasuk hubungan spiritual masyarakat
dengan tanah dan sumber daya, bisa saja terlampau idealistik. Boleh jadi, kita akan
disajikan dengan visi universal yang disederhanakan (Haverkort dan Hiemstra 1999)
yang mengabaikan pengetahuan-pengetahuan lokal sebagai bagian dari sejarah, uji coba
dan pertarungan lokal atas sumber daya dan pengendaliannya (cf. Richards 1985;
Sillitoe 1998). Narasi masyarakat lokal sebagai penyelamat ini sama bermasalahnya
sebab mereka diandaikan sebagai korban dan penjahat. Dibutuhkan analisis yang lebih
bernuansa dan tajam. Sebagian orang memang mengeksploitasi alam dan yang lain
menjaga. Tetapi bagaimana mereka berperilaku akhirnya punya hubungan dengan
relasi sosial dan posisi politis mereka, daripada identifikasi mereka hanya sebagai
masyarakat lokal/adat atau sebagai perempuan.

Keberlanjutan sebagai Praktik Adaptif


Sebagian dari karya paling menginspirasi tentang penghidupan pedesaan berfokus pada
praktik-praktik lokal, meletakkan mereka dalam analisa sosial dan politik lebih luas,
dan dengan kedalaman historis (cf. Bab 1). Praktik keseharian orang-orang berbeda—
perempuan, lelaki; muda, tua; kaya, miskin; migran, asli—menyingkap cara-cara kita
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang selalu melakukan uji coba dan
inovasi; kadang mengintensifkan praktik yang sudah ada dalam menanggapi
kelangkaan lokal, di masa lain mengubah keseluruhan penghidupan. Paul Richards
menawarkan catatan terperinci tentang bagaimana para petani padi di Sierra Leone
beradaptasi terhadap perubahan, memanfaatkan pengetahuan lokal dengan cara yang
rumit dan sering menantang pendekatan yang dipaksakan kepada mereka oleh orang
luar (Richards 1986). Mary Tiffen, Mike Mortimer dan Francis Guchuki (1994)
menyajikan sejarah lingkungan dan sosial yang terperinci di distrik Machakos, Kenya.
Mereka menunjukkan bagaimana peningkatan penduduk berhubungan dengan
berkurangnya erosi. Berlawanan dengan narasi dominan Malthusian tentang erosi dan
degradasi lahan, bahkan berkat intensifikasi pertanian yang digerakkan oleh
permintaan pasar, orang-orang berinvestasi dalam konservasi tanah dalam skala besar.
Esther Boserup (1965) lebih dulu menyatakan bahwa tekanan demografis mendorong
inovasi dan intensifikasi. Cerita serupa disajikan tentang Zona Pemukiman Kano di
utara Nigeria, yang menyaksikan peningkatan sistem produksi intensif dimulai di
wilayah kering, sekali lagi berkaitan dengan pasar urban (Adams dan Mortimer 1997; cf.
juga Netting 1993). Di sepanjang wilayah kering Sahel, Chris Reij dan kolega (1996)
memperlihatkan bagaimana inovasi dalam hal konservasi tanah dan air bertumbuh dan
menyebar ke wilayah lain, memungkinkan tanggapan efektif terhadap kekeringan dan
perubahan iklim. Di Amerika Tengah, intensifikasi produksi di lereng-lereng bukit telah
banyak terdokumentasi, menunjukkan bagaimana gabungan antara pengendalian erosi
lahan dan inovasi sistem perladangan menjadi kunci bagi respons penghidupan (Bunch
1990). Sementara di Indonesia, pengolahan pekarangan klasik di Jawa menunjukkan
bagaimana sistem perladangan teras menyediakan cara produksi yang sangat produktif
dan terpadu dalam konteks tekanan demografis yang tinggi (Soemarwoto dan Conway
1992).

Dalam hal teknologi baru, perubahan dalam praktik pengelolaan, perancangan


ulang ruang maupun pergeseran pasar dan strategi penghidupan, respons-respons ini
muncul bersama perubahan relasi ekonomi, sosial dan politik. Mereka tidak dapat
ditransfer secara mudah, sebagaimana diharapkan sebagai kalangan, sebagai bagian
dari program transfer teknologi. Ini menjelaskan gagalnya sangat banyak upaya
replikasi. Padahal, adaptasi dan transfomasi lebih mendasar dalam konteks tertentu
dan berjangka panjang telah memberi kita wawasan tentang bagaimana keterbatasan
dan ambang batas lingkungan, seringkali sangat nyata, dinegosiasikan; dan bagaimana
mereka tidak selalu berujung pada konflik dan kehancuran. Nyatanya, peluang-peluang
transformasi dapat hadir, meskipun tidak dengan mudah dicapai karena beraneka
tantangan dan hambatan yang lebih sering bersifat institusional dan politis ketimbang
lingkungan (Leach et al. 2012).

Penghidupan dan Gaya Hidup


Banyak dari kepustakaan penting mengenai adaptasi dan keberlanjutan berasal dari
latar marjinal, dengan orang miskin menggunakan kecakapan dan keterampilan guna
merespon tekanan dan guncangan baru. Tetapi hubungan antara penghidupan dan
keberlanjutan juga relevan di bagian dunia lainnya. Di sana tantangannya bukan
kelangkaan dan permintaan tetapi surplus dan kelebihan konsumsi. Ketakberlanjutan
gaya hidup kelas menengah, utara dan selatan, bertautan dengan konsumerisme dan
pertumbuhan ekonomi, telah terdokumentasi dengan baik. Fokusnya bukan lagi
penghidupan tetapi gaya hidup.

Konsekuensi-konsekuensi gaya hidup seperti itu di seluruh generasi merupakan


isu yang tidak dapat diabaikan dalam analisis penghidupan. Keberlanjutan
penghidupan siapakah yang kita bicarakan di sini: generasi yang hidup di masa kini
atau nanti? Sebagaimana disebut sebelumnya, Robert Chambers dan Gordon Conway
(1992) menggarisbawahi keberlanjutan penghidupan lintas generasi dan pentingnya
pewarisan aset, termasuk lingkungan, kepada generasi-generasi berikutnya. Akan
tetapi, tema ini, dan implikasinya bagi keberlanjutan, belum mendapatkan perhatian
memadai dalam kepustakaan penghidupan yang bersemi pada 1990-an. Sebagian besar
fokus, sebagaimana diulas di bagian lain buku ini, berada pada respons segera dan
mendesak terhadap kemiskinan dan perubahan lingkungan, ketimbang pada masa
datang dan generasi berikutnya. Padahal, karena di seluruh dunia semakin banyak
orang keluar dari jebakan kemiskinan, meninggalkan tantangan bertahan hidup sehari-
hari di belakang mereka untuk berfokus pada penumpukan benda yang meningkatkan
taraf dan gaya hidup, isu tentang masa depan seharusnya sudah masuk dalam daftar
agenda.

Hubungan antara keberlanjutan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi—


mungkin dilema kebijakan paling penting di masa kini—utamanya tentang pilihan
penghidupan dan gaya hidup. Sebagian kalangan berpendapat bahwa hanya strategi
tanpa pertumbuhan yang memungkinkan bila kita ingin melindungi kesejahteraan
generasi mendatang. Tim Jackson (2005 dan 2011) berpendapat bahwa kemakmuran
tanpa pertumbuhan—dan hidup lebih baik dengan lebih sedikit (benda)—
memungkinkan tetapi membutuhkan pilihan-pilihan sulit. Pemikiran ini menginginkan
kita untuk memikirkan ulang gagasan tentang kemakmuran dan menolak obsesi kita
terhadap ukuran produk domestik bruto sebagai satu-satunya ukuran kemajuan.
Kelebihan menjadi kaya menunjukkan berkurangnya keuntungan (diminishing return)
bila diperhadapkan dengan variabel-variabel seperti angka harapan hidup dan kepuasan
hidup, dan faktor seperti ketimpangan dalam masyarakat—dan dengan demikian pola
peluang, eksklusi, eksploitasi dan dominasi—yang menimbulkan dampak terbesar
terhadap persepsi tentang kesejahteraan di masyarakat yang lebih kaya.

Ini membutuhkan debat lebih lluas tentang hasil-hasil penghidupan, imbangan


pertukaran dan konsekuensi-konsekuensinya. Sebagaimana diulas di Bab 2, ada banyak
cara mendefinisikan hasil-hasil penghidupan: dengan berfokus pada ukuran spesifik
pendapatan atau konsumsi atau dengan menggunakan pandangan lebih luas berupa
kapabilitas dan kesejahteraan (well-being). Debat mengenai penghidupan dan
keberlanjutan harus berpusat pada bagaimana kita mendefinisikan “hidup yang baik”
(dan dengan demikian mendefinisikan hasil-hasil penghidupan), dan akhirnya
menentukan dengan penghidupan dan gaya hidup seperti apa ‘hidup yang baik’ itu
dicapai. Tersedia pilihan-pilihan, dan akan berbeda bagi orang berbeda di tempat
berbeda. Bagi mereka yang mengalami kemiskinan ekstrim dan kronis, fokus terhadap
kenaikan pendapatan dan pengumpulan aset akan menjadi hal utama; bagi yang lain,
pilihannya lebih luas dan tidak harus berfokus hanya pada perolehan material tetapi
dimensi lain kesejahteraan. Bila kita kembali ke Bab 2, terbukanya debat mengenai
hasil-hasil penghidupan dapat menunjukkan hal-hal yang mengejutkan. Berlawanan
dengan dugaan para “ahli kemiskinan”, mereka yang hidup dalam kemiskinan boleh
jadi menghargai martabat, keterjaminan dan kemerdekaan selain benda-benda. Inilah
alasan mengapa membuka diskusi luas dengan rakyat tentang kemakmuran,
kesehateraan, kesuksesan, penghidupan berkelanjutan—seperti pada pendekatan
pemeringkatan partisipatif yang diurai di Bab 2—dapat menyingkap banyak hal.

Seluruh hal di atas memerlukan kita untuk secara langsung memerhatikan politik
keberlanjutan, secara individual, lokal maupun global (Scoones et al. 2015) dan
menciptakan pertautan baru antara penghidupan, teknologi dan kebijakan yang
menghasilkan masa depan yang lebih berkelanjutan. Apakah itu berarti beralih ke input
rendah atau pertanian agro-ekologis (Altieri 1995), kedaulatan pangan dan
pembangunan ekonomi lokal (Patel 2009; Rosset dan Martinez-Torres 2012), ‘kota
transisi’ yang menggabungkan hidup berkarbon rendah dengan tatanan ekonomi baru
(Barry dan Quilley 2009) atau mengubah pola konsumsi (Jackson 2005), semuanya
bergantung pada konteks dan pilihan-pilihan yang tersedia.

Memastikan penghidupan berkelanjutan bagi kelas menengah (yang semakin


urban) di seluruh dunia merupakan tantangan masa depan, akan membutuhkan
pemikiran baru yang radikal. Tetapi kerangka penghidupan desa, dan banyak metode
lain yang berkaitan memang dikembangkan untuk latar berbeda (Bab 8), masih tetap
relevan. Konteks dan strategi penghidupan tentu bermacam-macam tetapi peran-peran
mediasi institusi sosial, praktik-praktik kultural, politik dan kebijakan tetap penting.
Sebab semuanya akan membentuk arah baru jalur-jalur penghidupan yang akan
menghasilkan kesejahteraan (dan kapabilitas) dan keberlanjutan. Ini akan memastikan
bahwa jalur-jalur penghidupan di masa depan dapat dibentuk di dalam ruang gerak
yang aman, menghargai keterbatasan dan ambang batas lingkungan, sembari
menghasilkan penghidupan dan gaya hidup yang dapat merespons hasrat dan harapan-
harapan. Ini bukan jalur yang mudah, dan akan sangat politis, tetapi pendekatan
penghidupan mungkin menawarkan piranti konseptual dan praktis yang berguna untuk
membantu kita dalam perjalanan.

Ekologi Politik Keberlanjutan


Dalam hubungannya dengan penggunaan sumber daya ataupun konsumsi, respons
penghidupan yang dinamis dan ternegosiasikan di dalam sistem kompleks akan
memungkinkan munculnya perspektif keberlanjutan yang lebih maju. Metafora jalur
sangat berguna di titik ini, sebab menyiratkan rute menuju keberlanjutan yang harus
dicapai, bahwa tidak ada jalur tunggal untuk mencapai tujuan yang dipilih (Leach et al.
2010; www.steps-centre.org). Karena itu, jalur-jalur menuju keberlanjutan dibangun
melalui interaksi dinamis proses sosial, teknologis dan lingkungan, dan membutuhkan
berderet inovasi dalam transisi sosial dan teknologi (Smith dan Berkhout 2005; Geel
dan Schot 2007). Maka diskusi mengenai arah (ke mana kita menuju dan bagaimana
kita mendefinisikan keberlanjutan?), distribusi (siapa mengambil untung dan siapa
buntung dari pilihan jalur yang diambil?) dan keberagaman (pilihan-pilihan apa yang
tersedia dan bagaimana mereka dikombinasikan?) semuanya sangat penting (STEPS
Center 2010).

Sebab keberlanjutan dinegosiasikan oleh pihak berbeda di tempat berbeda dalam


konteks penghidupan masing-masing, pertanyaan-pertanyaan politis inilah yang paling
penting untuk dijawab. Para ahli ekologi politik sejak lama menekankan bahwa politik
membentuk ekologi, sebagaimana ekologi membentuk politik. Maka, kita harus awas
terhadap bagaimana ekologi yang dinamis menciptakan jalur penghidupan, tetapi juga
menghambatnya. Guncangan lingkungan—seperti gempa, angin ribut atau wabah—dan
tekanan lingkungan jangka panjang—semisal perubahan iklim dengan peralihan suhu,
pola curah hujan dan lainnya—membawa efek bagi jalur penghidupan yang dipilih.
Demikian pula, pilihan-pilihan politis memengaruhi ekologi. Dengan begitu, perhatian
terhadap ekonomi politik sumber daya sangat penting digandengkan dengan
penelisikan lebih mendalam terhadap dinamika ekologis.

Faktor-faktor penggerak yang lebih luas dapat mengubah pola kepemilikan dan
penguasaan atau menciptakan dinamika pasar baru yang dapat memengaruhi
komodifikasi dan jual beli sumber daya. Ini kemudian berujung pada akumulasi bagi
sebagian, dan kehilangan bagi yang lain. Dalam konteks kapitalisme neoliberal dengan
finansialisasi dan globalisasi, relasi pasar sering mendominasi dan punya jangkauan
yang luar biasa luas (Harvey 2005). Pasar untuk tanah, hutan, sumber mineral dan air
telah lama hadir. Tetapi kini juga ada pasar untuk karbon, keanekaragaman hayati dan
bahkan spesies tertentu, dengan sumber-sumber daya berharga di satu belahan dunia
dilindungi sebagai bagian dari penjualan jasa lingkungan yang memungkinkan
eksploitasi di bagian dunia lainnya (Arsel dan Buscher 2012; Buscher et al. 2012;
Fairhead et al. 2012).

Ambil contoh, dalam perdagangan skema karbon global dan REDD (Reducing
Emissions from Deforestation dan Forest Degradation), karbon di hutan atau tanah
diasumsikan dapat diukur (dan karenanya dapat diperjualbelikan) dan ukurannya dapat
disetarakan dengan karbon yang dilepas ke udara sebagai emisi di belahan dunia lain.
Maka, penyerapan karbon di lahan dan hutan, menurut sejumlah standar terspesifikasi,
berbarti bahwa kredit karbon dapat dijual untuk meredam dampak perubahan iklim di
tempat lain dengan hasil positif bagi mitigasi perubahan iklim. Jutaan hektar di seluruh
dunia menjadi sasaran skema ini. Konsekuensinya bermacam-macam, bagi penyerapan
karbon (sering lebih rendah daripada yang diharapkan karena kebocoran dan sifatnya
yang non-permanen) dan manfaat bagi masyarakat (juga kerapkali lebih rendah sebab
pelekatan harga pada sumber daya menghasilkan pengusiran, perselisihan dan konflik
terbuka) (Leach dan Scoones 2015). Dengan demikian, hubungan pasar mutakhir yang
mengelola sumber daya punya dampak baru terhadap penghidupan desa, sehingga
membutuhkan perspektif yang menimbang berbagai dinamika dan koneksi globalnya.

Komodifikasi alam gaya baru ini, sebagai bagian dari “ekonomi hijau”
dimaksudkan untuk melindungi “modal alam” dengan menciptakan pasar dan dengan
demikian harga, punya konsekuensi luas bagi politik keberlanjutan (McAfeee 2012;
Corson et al. 2013). Bahkan, komodifikasi ini menjadi pola akumulasi lewat konservasi,
seiring berlangsungnya skema penyerapan karbon dan pembayaran jasa perlindungan
ekosistem (Buscher dan Fletcher 2014). Proses-proses ini membentuk jalur menuju
keberlanjutan—dan khususnya arah, distribusi dan keberagaman jalur. Ini dilakukan
dengan cara-cara mendasar, melampaui analisis ekonomi politik yang sudah ada
tentang akses dan kontrol sumber daya dalam debat tentang keberlanjutan dan
penghidupan (Leach et al. 1999; Ribot dan Peluso 2003; Peluso dan Lund 2011; lihat
Bab 4).

Membangun Ulang Kerangka Keberlanjutan: Politik dan Negosiasi


Mengingat debat-debat di atas, bagaimana seharusnya kita menghubungkan perhatian
atas keberlanjutan dengan penghidupan? Definisi yang diperkenalkan di awal masih
dapat diterapkan, tetapi butuh diperluas untuk menjangkau dimensi-dimensi politik
yang diurai di atas. Kita harus bisa mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan;
aset dan kapabilitas harus dipetahankan dan diperkuat; dan sumber daya alam yang
dijadikan gantungan panghidupan banyak orang tidak boleh susut. Tetapi kita tidak
bisa hanya berfokus pada satu jenis penghidupan, dan lokalitas di mana penghidupan
tersebut dijalankan, tetapi juga pada bagaimana penghidupan itu dinegosiasikan dalam
konteks globalisasi ekonomi politik yang berwujud relasi pasar, proses komoditisasi dan
finansialisasi serta akses dan kontrol atas sumber daya yang menjadi subyek
pertarungan sengit.

Oleh karena itu, kita harus menelisik bagaimana sumber, strategi dan hasil
penghidupan (Bab 2), difasilitasi atau dihambat oleh faktor-faktor penggerak struktural
yang lebih luas. Fakt0r-faktor itu boleh jadi merupakan “tapal batas” yang terbentuk
oleh keterbatasan-keterbatasan lingkungan, tetapi bisa juga berupa tapal batas sosial
dan politik, yang diciptakan misalnya oleh distribusi sumber daya yang timpang,
operasi pasar global, atau penguasaan sumber daya oleh kalangan elit.
Dengan demikian, keberlanjutan penghidupan dinegosiasikan dalam adukan
peluang dan hambatan. Sebuah jalur berkelanjutan merupakan salah satu pilihan—satu
di antara banyak pilihan, yang tidak selalu memungkinkan karena keterbatasan agensi
politik dan suara orang banyak. Membuat ulang kerangka keberlanjutan dengan cara ini
berarti membicarakan soal kekuasaan untuk menegosiasikan jalur penghidupan menuju
keberlanjutan: soal pengetahuan dan apa yang dimaksud dengan keberlanjutan di
berbagai konteks; soal akses dan kontrol sumber daya, pasar dan kemampuan untuk
memilih berbagai arah. Maka perhatian terhadap ekonomi politik penghidupan dan
lingkungan merupakan tema inti, yang akan dibahas lebih konkrit di bab selanjutnya.
Bab 6

Penghidupan dan Ekonomi Politik

Penghidupan berlangsung dalam konteks tertentu dan secara mendasar dipengaruhi oleh
kekuasaan dan politik. Bab 4 berfokus pada proses institusional, organisasional dan kebijakan
yang membawa pengaruh atas strategi dan hasil penghidupan. Bab 5 berfokus pada negosiasi
politis jalur-jalur menuju penghidupan berkelanjutan. Tetapi ada konteks lebih luas, di mana
analisis penghidupan harus diletakkan. Konteks itu berupa pola-pola interaksi yang terbentuk
secara struktural, bersifat historis dan berjangka panjang: relasi kuasa antar kelompok sosial,
proses kendali ekonomi dan politik oleh negara dan aktor kuat lainnya, dan beragam pola
produksi, akumulasi, investasi dan reproduksi di semua masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi
politik penghidupan.21

Kesatuan dari Keberagaman


Sementara Karl Marx dan para ahli ekonomi politik klasik lain tertarik pada pola-pola besar ini,
dan proses historis yang membentuk hubungan antara modal dan tenaga kerja yang senantiasa
mengalami perubahan, mereka juga berminat pada faktor-faktor penentu yang menciptakan
pola-pola tersebut. Dalam risalahnya tentang metode yang disebutkan pada Bab 1, Grundrisse,
Marx mengajukan argumen bahwa sebuah pendekatan ekonomi politik kritis yang bermaksud
menyingkap “totalitas yang kaya dari banyak faktor penentu dan relasi” juga membantu
mengungkap pemahaman “konkrit” yang muncul melalui bolak-balik antara abstraksi
konseptual dan pengamatan empiris yang terperinci: “Konrit menjadi konkrit karena
konsentrasi banyak faktor penentu (determinations), sehingga merupakan kesatuan dari
keberagaman” (Marx 1973: 100-101). Untuk menghindari “kekacauan konsepsi dari
keseluruhan,” dia menerangkan bagaimana dia menggunakan metode dialektika yang bergerak

secara analitis bergerak menuju konsep-konsep yang lebih sederhana, dari bayangan tentang
yang konkrit menuju abstraksi yang lebih tipis hingga saya tiba pada faktor-faktor penentu yang
paling sederhana. Dari situ perjalanan harus memutar sampai saya kembali tiba pada rakyat (the
people), tetapi kini bukan sebagai kekacuan konsepsi dari keseluruhan, tetapi sebuah totalitas
yang kaya dari banyak faktor penentu dan relasi. (1973: 100)

sehingga, menurut Marx, kita dapat lebih baik memahami dunia dengan melihat aspek
material/struktural dan relasi.

Pendekatan ekonomi politik seperti ini memungkinkan penggambaran terperinci


beraneka strategi penghidupan, dan evaluasi terhadap jalur-jalur penghidupan berjangka
panjang berikut prasyarat dan pembentukan strukturalnya. Pendekatan ini juga berfokus pada
persekutuan (aliansi) politik dan ekonomi yang dibentuk dari interaksi antara kelas-kelas
berbeda sehingga membangun struktur ekonomi politik lebih luas. Sebagaimana disimpulkan
Henry Bernstein (2010a: 209), pergerakan melintasi beragam konteks penghidupan spesifik

21Pendirian analitis ini lebih berhubungan dengan tradisi ekonomi politik Marxian ketimbang motif
tatakelola atau politik yang kini berpengaruh dalam kajian pembangunan (cf. Hudson dan Leftwich
2014), dan dalam kerangka kajian penghidupan, antara lain menimba inspirasi dari Bernstein et al. 1992.
dan abstraksi dan kecenderungan lebih luas yang mengiringi pemahaman kelas (yang bersifat
relasional dan dinamis) inilah yang menawarkan wawasan penting mengenai jalur-jalur jangka
panjang perubahan agraria dan proses diferensiasi. Bridget O’Laughlin (2002, 2004)
menegaskan argumen ini dalam seruannya untuk melampaui metode desktiptif dan murni
empiris dalam analisis penghidupan menuju sebuah konsepsi penghidupan yang lebih teoritis
dalam konteks struktural. Ini bukan ajakan menuju sebuah meta-teori; masa itu nyaris pasti
sudah lewat (Sumner dan Tribe 2008). Ini merupakan seruan untuk lebih memerhatikan
deretan ketegangan, kontradiksi dan peluang yang muncul di antara kekuatan-kekuatan yang
kontekstual, rumit, beragam dan sangat spesifik dengan yang struktural, historis dan relasional
yang terus-menerus menempa dan menempa ulang apa yang memungkinkan dan tidak bagi
kelompok tertentu. Ini memungkinkan kita untuk bergerak melampaui deskripsi menuju
penjelasan, untuk mengaitkan pola-pola dan proses-proses yang spesifik kepada yang lebih luas,
dan menunjukkan “faktor-faktor penentu” mana saja yang penting dan bagaimana mereka
saling berhubungan.

Lantas bagaimana pendekatan multi-dimensi ini dapat dilaksanakan? Dalam sebuah


kajian tentang tempat-tempat landreform di Zimbabwe, sebuah analisis kelas terhadap
dinamika agraria dikaitkan dengan deskripsi tentang strategi-strategi penghidupan (Scoones et
al. 2010, 2012). Analisis ini didasarkan pada sampel sekitar 400 rumah tangga dan deskripsi
lima belas strategi penghidupan berbeda. Berdasarkan tipologi yang diperkenalkan sebelumnya,
dikembangkan oleh Andrew Dorward dan kolega (2009, lihat Bab 3), strategi ini beraneka
ragam mulai dari mereka yang “melangkah naik” (mengakumulasi dan investasi), yang
“melangkah keluar” (melakukan diversifikasi), “bertahan” (bertahan hidup dengan beragam
cara), sampai mereka yang “terlempar keluar” (menderita kepapaan dan terpaksa bermigrasi).
Kajian ini menyimpulkan bahwa cukup banyak kelompok rumah tangga “melakukan akumulasi
dari bawah” (Necosmos 1993; Cousins 2010), mereka mengumpulkan aset dan berinvestasi dari
produksi lahan dan kegiatan-kegiatan ekonomi lokal. Kajian ini berkomentar:

Ini meliputi borjuasi kecil (mengakumulasi aset, menyewa pekerja, menjual surplus produk dan
seterusnya) dan sekelompok besar produsen komoditas skala kecil. Sebagian dari rumah tangga
ini lebih berhasil dari yang lain, sebab bagi banyak rumah tangga fokus terhadap strategi-strategi
penghidupan ada pada reproduksi, dengan sesekali melakukan akumulasi. Rumah tangga pekerja
tani, juga tampak dapat mengaitkan pendapatan di luar lahan tani dengan produksi pertanian
yang berhasil …. Sebaliknya, ada banyak semi-petani kecil dan buruh tani yang sering menjual
tenaga kepada petani lain, setidaknya secara musiman, dan gagal mengakumulasi, dengan
banyak di antaranya mampu mereproduksi diri. Mereka harus pergi atau bertahan hidup lewat
cara-cara yang sangat sulit. Di antara dua ekstrim ini ada kelompok campuran… Kita [dengan
demikian] melihat identifikasi klasik kelas yang jamak, mulai dari mereka yang sedang menuju ke
atas dan mengakumulasi dengan cepat (bergerak dari produksi komoditas skala kecil hingga
menjadi bagian dari borjuasi kecil pedesaan) sampai mereka yang hanya bisa bertahan hidup,
meskipun tidak hidup susah, tetapi harus melakukannya dengan berbagai cara (produksi
komoditas skala kecil, diversifikasi ke luar pertanian, mencari kerja upahan, dan sebagainya).
(Scoones et al. 2012: 521).

Lebih penting lagi, kajian ini membedakan antara mereka yang “mengakumulasi dari
bawah” dan mereka yang bergantung setidaknya sebagian kepada akumulasi “dari atas”, melalui
patronase dan cara lain. Hal ini penting dalam keseluruhan kajian dinamika agraria mengingat
sangat beragamnya aliansi dan komitmen politik dan ekonomi terhadap tanah yang dilibatkan.
Kajian ini menyimpulkan bahwa “dinamika kelas yang muncul di pemukiman baru bersifat
kompleks, seringkali bersifat sangat sementara dan tidak mudah untuk dikategorikan secara
rapih; dan dengan keberagaman usia, gender dan etnis melintasi seluruh dimensi ini, dinamika
ini menjadi lebih rumit” (Scoones et al. 2012: 521).

Menyusul landreform, sebagaimana di banyak latar pedesaan, proses formasi kelas


terjadi, bervariasi menurut hubungannya dengan modal dan kerja; sebagian mengakumulasi
dan sebagian menjadi “petani menengah” yang melakukan produksi komoditas skala kecil, dan
sebagian lagi tidak dapat melakukan reproduksi. Pasar kerja, sering sangat informal, menjadi
kunci dan sangat dinamis, dengan kelompok-kelompok yang lebih miskin menjual tenaga kerja
sementara yang lain membelinya.

Lahan-lahan keluarga petani kecil selalu berubah dan tidak pernah membentuk tipe
ideal sebagaimana dibayangkan para pengusung populisme agraria. Di seluruh kasus, menjadi
buruh tani sering digabungkan dengan beraneka bentuk kegiatan lain, di desa maupun di luar.
Seiring berubahnya kapitalisme, khususnya dalam konteks globalisasi, terjadi peralihan tak
terhindarkan dalam hubungan antar-kelas. Demikian pula, kelas-kelas itu terbelah oleh dimensi
gender, generasi, etnisitas dan sebagainya, dan modal membawa efek berbeda bagi kelompok
berbeda (Bernstein 2010b).

Apakah “fakta sosial” kelas ini berujung pada bentuk-bentuk tindakan dan pertarungan
politik kolektif untuk mengamankan penghidupan di antara kelompok, ini bergantung pada
berbagai situasi kontekstual (Mamdani 1996). Di kasus Zimbabwe, pola formasi kelas menyusul
landreform menjadi sangat dinamis dan masih terus berlangsung, dengan dimensi etnisitas di
sebagian wilayah dimainkan dalam proses lebih luas (Scoones et al. 2012). Apakah bentuk-
bentuk baru tindakan politik kolektif terbentuk lewat pola ini, mengembangkan advokasi yang
kuat bagi penghidupan petani skala kecil, masih harus kita tunggu (Scoones et al. 2015).

Kelas, Penghidupan dan Dinamika Agraria

Dinamika kelas agraria menyorot karakter partikular di tempat-tempat berbeda, bergantung


pada pola-pola historis watak khusus alienasi dari tanah, penetrasi kapitalis dan kolonisasi
(Amin 1976; Arrighi 1994). Dalam buku seri ini, Henry Bernstein mengurai sejumlah jalur
transisi agraria, dari jalur Inggris, Amerika, Prusia hingga Asia, masing-masing menunjukkan
watak transisi berbeda. Ini meliputi transisi dari feodalisme, bangkitnya petani kapitalis dari
petani kecil, dan pemaksaan negara misalnya melalui penarikan pajak yang berujung pada tipe
transisi lain (Byres 1996; Bernstein 2010a: 25-37).

Penyelidikan empiris terhadap beragam kasus menunjukkan bahwa “tipe-tipe ideal”


sangat beraneka ragam dalam praktiknya, mencerminkan kondisi yang bermacam-macam dan
bersifat sementara. Misalnya, di bekas koloni-koloni Afrika bagian selatan, proses paralel
proletarisasi dan munculnya produsen komoditas sukses menciptakan kategori kelas hibrida
yang penting seperti “buruh-petani kecil” atau “semi-petani kecil” (Cousins et al. 1992). Di
Amerika Latin, transisi dari perkebunan hacienda yang dikendalikan tuan tanah menyusul
landreform berujung pada semi-proletarisasi penduduk desa. Ini diiringi dengan transfer ke
perkebunan komersial berskala besar, dan munculnya secara terbatas produksi komoditas
sekala kecil (de Janvry 1981). Di India, peralihan dari sistem kuasa tuan tanah (landlordism)
mendorong perkembangan besar-besaran populasi petani kecil, dengan banyak pihak
mengambil untung secara langsung maupun tidak dari Revolusi Hijau, khususnya di wilayah-
wilayah beririgasi (Hazell dan Ramasamy 1991). Tetapi sebaliknya, seiring susutnya jumlah
petakan lahan, dan di tempat-tempat yang tidak dapat mengambil untung dari Revolusi Hijau,
berlangsung pertumbuhan besar-besaran populasi buruh, dengan beragam jenis ikatan dengan
tanah (Harriss-White dan Gooptu 2009).

Para penduduk desa bisa saja menjadi petani, buruh, pedagang, pelayan dan lainnya,
dengan ikatan yang melintasi pemilihan kota dan desa. Kelas tidak menyatu, ternaturalisasi
atau statis. Kajian kasus Zimbabwe yang diperkenalkan sebelumnya mengurai lima belas model
strategi penghidupan, mencakup sangat banyak jenis kegiatan penghidupan di satu provinsi
(Scoones et al. 2010, 2012). Mengingat keberagaman hibrida strategi penghidupan dan
identitas kelas, bagaimana akumulasi berlangsung? Berdasarkan penelitian di pedesaan Afrika
Selatan, Ben Cousins (2010: 17) berpendapat:

Akumulasi dari bawah yang berhasil biasanya melibatkan kelas petani kapitalis skala kecil yang
produktif, yang muncul dari populasi lebih besar yang terdiri dari produsen komoditas skala
kecil, buruh-petani kecil, pekerja upahan yang menguasai jatah tertentu dan produsen pangan
tambahan.

Maka, bermacam-macam strategi penghidupan hadir berdampingan dengan dan


menciptakan dinamika agraria tertentu yang punya efek lebih luas terhadap relasi sosial, politik
dan ekonomi. Untuk bisa melakukan akumulasi dari bawah, para petani kapitalis skala kecil
butuh para buruh. Maka, lapangan kerja diciptakan bagi buruh-petani kecil yang bisa saja
punya lahan sendiri yang dapat mereka garap, selain bekerja paruh waktu. Para pekerja upahan
juga hadir tetapi ditawari jatah kecil oleh pemilik lahan, atau mempertahankan salah satu lahan
di kampung mereka baik di desa maupun di kota.

Seiring berlangsungnya akumulasi, demikian pula diferensiasi, dan menciptakan


pemenang dan pecundang. Pola diferensiasi ini bervariasi bergantung kemampuan orang untuk
meraih surplus. Tentu saja diferensiasi terjadi tidak hanya berdasarkan kelas tetapi tetapi juga
gender, usia dan etnisitas. Masing-masing dimensi pembeda ini saling bersilangan, dan
memengaruhi perubahan penghidupan dari waktu ke waktu.

Bahkan, kita hanya bisa memahami jalur-jalur penghidupan berjangka panjang lewat
perspektif ini, yang dinamis, longitudinal, dan mengakar dari pemahaman akan perubahan
agraria. Sebab penghidupan tidak terisolasi dan terlepas, tetapi terikat pada apa yang terjadi di
tempat lain, baik secara lokal maupun yang lebih luas. Karena itu, perspektif ekonomi politik
yang lebih luas sangat penting bagi setiap analisis penghidupan yang efektif.

Negara, Pasar dan Warga Negara


Kaitan antara warga negara, negara dan pasar menjadi inti bagi analisis ekonomi politik
penghidupan. Lagi-lagi, di banyak bagian dunia, dan pada momen historis berbeda, hubungan-
hubungan ini berubah. Akan tetapi, pada momen-momen kunci dalam perubahan agraria dan
bahkan perubahan ekonomi dan politik yang lebih luas, interaksi, ketegangan dan konflik
membentuk penghidupan secara mendasar.

Karl Polanyi (1944), misalnya, tertarik pada ketegangan-ketegangan historis antara


pasar dan masyarakat, serta bentuk-bentuk politik yang dihasilkan. Dalam The Great
Transformation—sebuah buku yang terutama mengulas penghidupan—dia mencatat
tercerabutnya pasar (dari masyarakat) karena bangkitnya liberalisme ekonomi di Eropa sejak
abad 19. Dia menunjukkan bagaimana hal ini memicu krisis kapitalisme dan masyarakat, yang
akhirnya berujung pada konflik dan perang. Bangkitnya liberalisme pasar, menurutnya, punya
dampak mendasar bagi peghidupan, dalam hal produksi dan kerja manusia, tetapi juga
kemampuan merawat dan melindungi. Hasilnya, menurutnya, berlangsung dua pergerakan di
mana para pengusung pasar bebas, dengan mengklaim bahwa seluruh aspek kehidupan
ekonomi dan penghidupan butuh komodifikasi, berhadap-hadapan langsung dengan pengusung
jaminan sosial, yang mengajukan perlunya aturan moral, etis dan praktis untuk mengendalikan
kekuatan-kekuatan pasar. Kerja, tanah dan uang, menurut Polanyi, merupakan komoditas
rekaan dan tidak boleh dipasarkan, sebab ketiganya sangat mengakar dalam menentukan
berfungsinya sebuah masyarakat. Bentuk komoditas seperti ini, menurutnya, hanya akan
menghasilkan instabilitas, konflik dan hilangnya penghidupan, sekaligus menghancurkan
komunitas, bentang alam dan alam sendiri.

Mengingat krisis-krisis kapitalisme dan masyarakat akhir-akhir ini, tidak mengejutkan


bila karya-karya Polanyi kembali ditelaah. Akan tetapi, sebagaimana diajukan Nancy Fraser
(2012, 2013), kita harus berhati-hati terhadap pemikiran yang memperhadapkan pasar dan
masyarakat, yang berasumsi bahwa kita hanya butuh para pengusung perlindungan sosial yang
bergerak melekatkan kembali pasar di bawah kendali aturan sosial. Sebab, menurut Fraser,
tatanan sosial di dalam dirinya sendiri punya bentuk-bentuk dominasi yang dapat dengan
mudah direplikasi. Relasi sosial, pasar dan manusia selalu terbangun secara historis, dan punya
politik yang senantiasa bergerak. Menurutnya, dibutuhkan pergerakan ketiga yang menantang
bentuk-bentuk dominasi yang melekat secara historis itu. Ketimbang berasumsi bahwa negara
yang budiman yang bertindak atas kehendak bersama akan menciptakan perimbangan, Fraser
menyerukan adanya gerakan emansipatoris yang mengakar pada ruang publik masyarakat sipil.

Apa arti semua ini bagi pemikiran penghidupan? Jelas, hubungan antara negara, pasar
dan warga negara menjadi titik perhatian penting. Versi masing-masing entitas ini yang
teresensialisasi, statis dan ahistoris dapat menjadi masalah. Bentuk-bentuk dominasi bisa saja
berakar dalam, dan gerakan progresif harus menantang itu. Penghidupan di seluruh dunia
terperangkap dalam krisis kapitalisme, dengan efek berganda terhadap kerja, perawatan (care)
dan lingkungan. Sebuah pendekatan politis atas penghidupan berkelanjutan harus menimbang
isu-isu ini sejak awal.

Maka, menurut Fraser (2011), muncul kebutuhan untuk mengaitkan kritik atas
komodifikasi dengan kritik terhadap dominasi. Sebagai contoh, kritik pencita lingkungan
terhadap merebaknya pencaplokan ekonomis atas sumber daya seharusnya tidak berujung pada
aliran perlindungan lingkungan garis keras yang mengeksklusi, meminggirkan dan
menyusutkan penghidupan. Demikian pula, argumen yang membela perlindungan sosial dan
penguatan penghidupan dalam ekonomi perawatan (care) tidak boleh membiarkan kondisi
ketimpangan dan eksploitasi yang ada.

Kesimpulan

Ekonomi politik penghidupan harus menjangkau seluruh dimensi yang diurai di atas, dan
melekatkan analisis itu dalam teoritisasi relasi negara, masyarakat dan alam yang cocok untuk
kondisi sekarang. Bahkan, harus mengaitkan pemahaman mikro tentang siapa melakukan apa
di tempat tertentu—kerja standar dalam analisis penghidupan—dengan faktor-faktor penggerak
struktural, kontekstual dan historis, yang membentuk peluang dan hambatan (cf. Bernstein dan
Woodhouse 2001; Batterbury 20007). Di bab berikutnya, saya akan beralih ke sejumlah contoh
dan peluasan kerangka untuk analisis penghidupan yang mengharuskan kita mengajukan
pertanyaan yang benar, yaitu yang menimbang secara serius perspektif ekonomi politik.
Bab 7
Mengajukan Pertanyaan yang Benar:
Meluaskan Pendekatan Penghidupan

Untuk memahami ekonomi politik isu-isu penghidupan sebagaimana diuraikan di Bab 6 kita
perlu mengajukan pertanyaan yang benar. Henry Bernstein menawarkan serangkaian
pertanyaan dasar yang sangat berguna—Michael Watts menamainya “haiku Bernstein” (Watts
2011). Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikaitkan langsung dengan analisis penghidupan
konvensional, memperdalam dan meluaskan kerangka analitis yang sudah ada sebelumnya.

Empat pertanyaan inti dapat ditanyakan (Bernstein et al. 1992: 24-25; Bernstein 2010a):

 Siapa punya apa (atau siapa punya akses terhadap apa)? Ini berkaitan dengan
properti dan kepemilikan aset dan sumber-sumber penghidupan
 Siapa melakukan apa? Ini berhubungan dengan pemilahan kerja secara sosial,
perbedaan antara siapa yang mempekerjakan dan siapa yang dipekerjakan, serta
pemilahan berdasarkan gender.
 Siapa dapat apa? Ini bekaitan dengan pendapatan dan aset, serta pola akumulasi dari
waktu ke waktu, dan proses diferensiasi sosial dan ekonomi.
 Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Ini berhubungan dengan
berbagai macam strategi penghidupan dan konsekuensinya sebagaimana tercermin
dalam pola konsumsi, reproduksi sosial, tabungan dan invenstasi.

Selain empat pertanyaan ini, kita dapat menambahkan dua pertanyaan (lihat
www.iss.nl/ldpi), keduanya berfokus pada tantangan sosial dan ekologi yang menjadi ciri
masyarakat dewasa ini:

 Bagaimana kelas dan kelompok sosial di masyarakat dan dalam negara saling
berinteraksi? Ini berfokus pada relasi sosial, institusi dan bentuk-bentuk dominasi
dalam masyarakat dan antara warga dan negara ketika mereka membawa efek terhadap
penghidupan.
 Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh dinamika ekologi dan sebaliknya? Ini
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ekologi politik, dan bagaimana dinamika
lingkungan memengaruhi penghidupan. Ini kemudian dibentuk oleh aktivitas-aktivitas
melalui pola-pola dan daya akses sumber daya.

Bila digabungkan, enam pertanyaan inti kajian agraria dan lingkungan kritis ini,
memberi landasan yang kuat bagi kajian penghidupan yang berusaha dihubungkan dengan
ekonomi politik dinamika perubahan agraria. Sebagaimana akan dijelajahi lebih jauh pada bab
selanjutnya, kerangka penghidupan asli dapat diperkuat dengan pertanyaan-pertanyaan ini,
menggeser analisis menuju lapangan penyelidikan terhadap dinamika agraria yang lebih kritis.
Gambar 7.1 menawarkan versi perluasan dari kerangka penghidupan, dengan memasukkan
enam pertanyaan ini, mengangkat aspek-aspek yang seringkali terlewatkan dari kerangka asli.
Ini bukan upaya untuk mempromosikan kerangka baru yang harus diikuti semua orang. Saya
malah mendorong Anda untuk merumuskan versi Anda sendiri! Yang penting adalah
memikirkan secara serius pertanyaan-pertanyaan, hubungan dan koneksi dalam analisis
tersebut dan, sebagaimana ditekankan dalam bab berikutnya, melakukan inovasi dengan
penggabungan metodologi untuk menjawabnya.

Gambar 7.1. Kerangka Penghidupan Diperluas [dari Scoones 1998]

Ekonomi Politik dan Analisis Penghidupan Desa: Enam Kasus


Bagian ini akan menyajikan ilustrasi pendekatan ini. Enam kasus akan mendemonstrasikan
bagaimana analisis penghidupan terperinci, berjangka panjang dan level mikro (multi-faktor
penentu ala Marx) dapat menuntun kita menuju pemahaman lebih luas mengenai perubahan
agraria. Sumber-sumber asli deretan kasus ini tidak berasal dari kajian yang menggunakan
enam pertanyaan di atas, tetapi seluruhnya menawarkan catatan bernuansa berdasarkan
persentuhan lapangan jangka panjang dengan tempat-tempat tertentu. Ada banyak contoh yang
sama baiknya, dan kasus-kasus ini dipilih sebab konteksnya bersimpangan dan merupakan
deretan ilustrasi yang bermanfaat—dan memberi inspirasi, semoga.

Kasus 1: Wilayah adat India Barat (Mosse et al. 2002; Mosse 2007, 2010)
Kasus ini berfokus pada masyarakat adivasi (kesukuan) di pegunungan berhutan India Barat,
tempat pertanian dan penghidupan berbasis hutan semakin berkaitan dengan ekonomi pekerja
migran yang dipicu oleh kecepatan perluasan ekonomi di kota-kota India yang sedang
bertumbuh. Tipe-tipe relasi sosial yang mencuat dari perkembangan ekonomi kapitalis
menguatkan pola penyingkiran dan merawat eksploitasi, perampasan dan alienasi.

Siapa punya apa? Hak atas tanah di kawasan hutan mengalami pelemahan akibat
serangkaian intervensi dari luar, dimulai sejak masa kolonial dengan pembuatan tapal batas
hutan dan berlanjut hingga sekarang, khususnya di masa reformasi ekonomi dengan
penguasaan tanah dan tambang yang didukung negara. Hal ini melemahkan strategi-strategi
penghidupan tradisional, memicu hilangnya aset dan berujung pada meningkatnya kemiskinan.

Siapa melakukan apa? Para petani adivasi menanam bebuliran untuk pasar lokal.
Seiring berjalannya proses inkorporasi, pasar-pasar itu menjadi lebih labil, dan petani dipaksa
bermigrasi secara musiman untuk memertahankan penghidupan. Peluang-peluang migrasi
meningkat pesat, khususnya dalam sektor konstruksi di kota-kota sekitar, tetapi kerja upahan
mereka bergaji rendah dan dimediasi oleh perekrut buruh yang eksploitatif.

Siapa dapat apa? Terjadi peningkatan pola diferensiasi, sebab kawasan-kawasan yang
dulunya terpencil menjadi sasaran kekuatan pasar dan penetrasi kapital. Terjadi pola
kemiskinan yang terus meningkat dan tingginya tingkat kerentanan di sejumlah kelompok
masyarakat. Para tuan tanah, peminjam uang dan perekrut buruh meraup keuntungan.
Hasilnya, ketimpangan menanjak.

Apa yang mereka lakukan dengan apa yang mereka dapatkan? Para petani skala kecil
menjual bebuliran yang juga bahan pangan mereka untuk membayar utang. Para pekerja tanpa
keterampilan dan serabutan menawarkan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk, tetapi
memungkinkan mereka mengirim uang ke desa, dan kadang berinvestasi untuk produksi di
desa. Mereka yang mengeksploitasi relasi sosial produksi dan pasar dapat meraup untung dari
bentuk-bentuk ketimpangan baru tersebut.

Bagaimana kelompok-kelompok sosial berinteraksi? Relasi sosial dicirikan oleh


eksploitasi dan perampasan. Para pelaku pasar, birokrat, perekrut buruh dan pihak lain
mengeksploitasi para petani adivasi setempat, dan boleh jadi membuat mereka kehilangan aset.
Terdapat bentuk-bentuk eksklusi kategoris dari perwakilan politik, dan gerakan-gerakan adivasi
bermunculan untuk menyuarakan kekhawatiran mereka. Tetapi kelemahan struktural,
seringkali sangat berbasis gender, menghasilkan bentuk-bentuk eksklusi ekstrim, kadang
berujung pada konflik.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan yang dulunya hutan
menjadi sangat gundul, seringkali melalui eksploitasi komersial oleh orang luar. Kawasan
pegunungan rata-rata kering dan tidak subur, sehingga produksi pertanian rentan terhadap
kekeringan. Kerentanan ekologis itu meningkat seiring dengan pertumbuhan orang setempat
yang mengakses basis sumber daya yang kian susut.

Kasus 2: Pegunungan Sulawesi, Indonesia (Li 2014; Hall et al. 2011)


Kasus ini berfokus di kawasan pegunungan di Sulawesi Tengah, Indonesia, tempat perladangan
berganti dengan pengelolaan produksi kakao. Permintaan pasar internasional telah menata
ulang struktur bentang alam dan penghidupan melalui perubahan relasi sosial. Sebagian
penduduk, baik lokal maupun pendatang, berhasil mengakumulasi harta, sementara yang lain
kehilangan, dipaksa bekerja upahan di lahan-lahan yang sebelumnya milik mereka. Proses ini
muncul secara spontan, tanpa pemaksaan dari luar, tetapi mencerminkan beragam konsekuensi
agensi manusia dan perubahan yang dimediasi secara kultural dan historis yang membentuk
penghidupan.

Siapa punya apa? Para petani lokal memiliki dua sampai tiga hektare kebun kakao yang
dulunya merupakan ladang milik bersama. Penanaman kakao menciptakan individuasi
penguasaan lahan dan bertumbuhnya tuna kisma (orang tanpa tanah). Petak-petak lahan yang
terindividuasi dan berpagar juga dijual, sering karena krisis dan kebutuhan uang mendadak.
Para pendatang dan orang-orang lokal yang lebih kaya menjadi pembeli tanah, meningkatkan
pola diferensiasi dalam hal penguasaan lahan.

Siapa melakukan apa? Peladangan tradisional menggabungkan produksi bebuliran


(padi dan jagung) dengan produksi tanaman komoditas (dulunya tembakau lalu bawang
merah). Tanaman komoditas dijual di pasar agar dapat membeli produk-produk dari pesisir.
Para perempuan berfokus pada produksi kebun sementara para lelaki seringkali bermigrasi ke
pesisir untuk bekerja musiman. Masa kejayaan kakao telah mengurangi ketergantungan
terhadap migrasi dan melesatkan pendapatan bagi mereka yang berhasil menguasai tanah.
Mereka yang tereksklusi, atau telah menjual tanah, beralih menjadi pekerja upahan di kebun
kakao.

Siapa dapat apa? Diferensiasi dengan kecepatan tinggi berlangsung melalui individuasi
penguasaan dan komoditisasi tanah dan tanaman komoditas. Hal ini membuat sebagian dapat
mengakumulasi tanah secara besar-besaran, sementara yang lain menjadi buruh upahan tak
bertanah. Aliran masuk para pendatang ke sejumlah kawasan berujung pada diferensiasi antara
penduduk setempat dan pendatang, dengan banyak penduduk setempat terlempar dari tanah
mereka.

Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Investasi oleh mereka
yang mengambil untung dari masa jaya kakao meliputi perbaikan rumah, pembelian kendaraan,
dan simbol-simbol modernitas lain di kawasan pesisir. Sebagaiman disebutkan, mereka yang
kehilangan tanah harus bergantung pada kerja upahan, dengan upah digunakan untuk
kebutuhan pokok.

Bagaimana kelompok-kelompok sosial berinteraksi? Lingkaran kekuasaan lokal,


berakar dari proses historis, kultural dan ekonomi, dan merefleksikan agensi mereka,
memengaruhi siapa dapat apa dan karena apa. Ini mengakibatkan meningkatnya ketegangan
dan konflik antar-kelompok, ketika orang-orang tua mengakumulasi sementara orang muda
kehilangan. Para perempuan seringkali mendapatkan peran baru dalam produksi dan
pemasaran kakao, tetapi tidak selalu demikian. Konflik yang muncul sulit didamaikan lewat
sistem hukum campuran, di mana hukum adat dan resmi saling berlawanan.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan pegunungan yang luas,
dulunya dicirikan oleh sistem perladangan dengan masa bera beberapa tahun, telah
bertransfomasi menjadi kebun tanaman komoditas dengan sistem monokultur, dengan sisa
kawasan hutan sangat terbatas. Sistem perladangan lama mengalami tekanan karena arus
masuk pendatang, tetapi juga oleh wabah hama dan penyakit yang merusak tanaman lama
mereka, sehingga menguatkan dorongan untuk beralih ke kakao.

Kasus 3: Andes Ekuador (Bebbington 2000, 2001)


Kasus ini berfokus di kawasan Pengungan Andes, Ekuador, dengan beragam strategi
penghidupan di banyak lokasi, dapat memertahankan rumah, dan lebih penting lagi, identitas
sebagai masyarakat adat. Menyusul landreform, rakyat dapat mengakumulasi dan berinvestasi
dengan membangun rumah, seringkali melalui pendapatan kiriman para pekerja migran. Di
sebagian daerah, peluang-peluang muncul dari tanaman holtikultura beririgasi, pabrik tekstil
dan perdagangan, khususnya untuk menopang industri pariwisata yang tengah bertumbuh. Pola
diferensiasi terjadi, tetapi pemahaman mengenai ikatan tempat dan budaya tetap penting.

Siapa punya apa? Landreform pada 1964 dan 1973 memungkinkan pertanian skala kecil
berkembang, dan cengkraman hacienda dan gereja melemah. Rakyat beralih dari hubungan
kerja upahan yang menyebabkan ketergantungan menuju produksi mandiri. Kondisi yang keras
dan kurangnya akses terhadap sumber daya berarti diversifikasi penghidupan menjadi penting.

Siapa melakukan apa? Rakyat menggabungkan produksi skala kecil dengan migrasi,
sangat mencerminkan pemilahan gender dengan pria (muda) bermigrasi ke kawasan-kawasan
pesisir. Akan tetapi, para pria mempertahankan ikatan dengan kampung halaman dan investasi
dari hasil kerja di rantau terus berlangsung, khususnya untuk membangun rumah. Sebagian
telah berhasil mengakses tanah yang mahal, seperti lahan-lahan beririgasi di dasar lembah, dan
dapat membangun produksi tanaman holtikultura; sementara yang lain melakukan diversifikasi
dengan menjadi pedagang kecil, bekerja di pabrik tekstil atau di sektor jasa pariwisata.
Siapa dapat apa? Pendapatan dari lahan pertanian menurun, dan sangat labil. Karena
itu, diversifikasi menjadi amat penting dan migrasi dibutuhkan untuk bagi banyak orang.
Sebuah proses diferensiasi juga sedang berlangsung, dipengaruhi oleh kepemilikan aset lokal
(khususnya tanah berkualitas tinggi) dan peluang-peluang migrasi dan non-pertanian.

Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Menyusul landreform,
mereka yang dapat membeli tanah berkualitas tinggi meraup untung dari akumulasi di desa dari
pertanian. Sebagian lainnya yang mengandalkan penghidupan beragam terus berinvestasi untuk
rumah dan lahan pertanian di sekitar rumah mereka.

Bagaimana kelompok-kelompok sosial saling berinteraksi? Hubungan ketergantungan


yang sudah berlangsung lama dengan hacienda dan gereja telah meredup. Tampak
pertumbuhan perasaan kepemilikan masyarakat setempat yang berpusar di sekitar kegiatan
ekonomi dan investasi di wilayah tersebut. Hal ini membawa perubahan dalam struktur politik
dan otoritas, serta pranata-pranata baru antara lain dengan munculnya komite-komite lokal dan
geraja-gereja evangelis protestan. Identitas lokal—seperti Quichuas—menjadi penting dan
memengaruhi pilihan-pilihan penghidupan. Ini berujung pada bentuk-bentuk hibrid ekonomi
kultural yang menghubungkan penghidupan khas setempat dengan jaringan-jaringan perantau.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Bentang alam pegunungan


menawarkan sedikit peluang bagi pertanian intensif, dan kawasan lereng telah terdegradasi
melalui pemanfaatan berlebih. Tanah-tanah di dasar lembah menjadi sumber daya penting,
karena punya irigasi. Perbedaan akses terhadap tempat-tempat itu menjadi faktor penting yang
menentukan siapa yang dapat melanjutkan penghidupan dengan bertani tanpa merantau.

Kasus 4: Perkebunan Anggur Tanjung Barat, Afrika Selatan (du Toit dan Ewert
2002; Ewert dan du Toit 2005)

Kasus ini berfokus pada produksi anggur di provinsi Tanjung Barat, Afrika Selatan. Perubahan
di pasar anggur global, bersama deregulasi industri serta intervensi pemerintah terhadap hak-
hak pekerja, menghasilkan transformasi besar dalam hal peluang-peluang penghidupan, baik
bagi petani maupun pekerja. Sebuah pola diferensiasi baru muncul, memperhadapkan para
produsen yang dapat menjual ke pasar internasional dengan harga tinggi dengan mereka yang
lebih bergantung pada pasar lokal, dan antara para pekerja tetap dengan mereka yang hanya
dapat bekerja musiman.

Siapa punya apa? Perkebunan anggur sangat beragam dalam hal ukuran dan organisasi,
dengan level peluang kerja yang berbeda, baik yang tetap maupun musiman/harian. Tampak
kecenderungan ke arah semakin tidak menentunya ikatan kerja, dengan pekerja temporer
punya kian sedikit sumber daya dan hidup dalam kemiskinan yang kian mendalam di tengah
dan pinggiran kota di daerah-daerah produsen anggur. Akan tetapi, kekuatan ekonomi tidak
lagi berada dalam genggaman para petani anggur tetapi mereka yang berada di hilir rantai
komoditas, dalam pengolahan dan pemasaran. Ini memengaruhi ruang manufer para produsen
anggur.
Siapa melakukan apa? Dalam persaingan pasar global, tekanan untuk memodernisasi
produksi sangat kuat. Ini berarti mempekerjakan pekerja terampil secara tetap dengan kondisi
kerja yang nisbi baik (seringkali lelaki dan diambil dari komunitas “berwarna” campuran), dan
mempekerjakan secara musiman para buruh migran perempuan, berkulit gelap, penutur Xhosa.
Seluruh perkebunan anggur telah merumahkan pekerja tetap dan meningkatkan ikatan kerja
musiman (kasualisasi).

Siapa dapat apa? Perbedaan mencolok tampak antara kebun-kebun yang dapat menjual
ke pasar ekspor bernilai tinggi dan mereka yang tidak bisa, juga antar-kategori pekerja. Dengan
begitu, peluang penghidupan juga berbeda. Perbedaan-perbedaan ini berdiri di atas sejarah
jangka panjang, kondisi agro-ekologi varietas anggur tertentu, kolaborasi bisnis serta
keterampilan dan latar belakang pekerja. Ras merupakan faktor penentu penting yang
membedakan peluang penghidupan, dengan orang-orang kulit putih pemilik perkebunan,
pekerja tetap yang umumnya adalah ras campuran, dan pekerja musiman yang sebagian besar
berkulit hitan.

Apa yang mereka lakukan dengan yang mereka dapatkan? Dengan bertumbuhnya
konsumsi anggur di Eropa dan kini Asia, keuntungan ekspor menjadi sangat besar. Hal ini
diterjemahkan menjadi gaya hidup mewah para produsen anggur yang sukses. Aturan-aturan
ketenagakerjaan memaksa peningkatan kondisi kerja bagi pekerja tetap, dan gaji dapat
menyokong penghidupan mereka, dengan pengeluaran berfokus pada pemenuhan pangan dan
barang-barang konsumsi. Jumlah pekerja musiman bertambah, kebanyakan peremuan, tinggal
di luar perkebunan dalam kondisi yang buruk di pemukiman-pemukiman perkotaan dan
pinggir kota, dan tidak dapat bergantung sepenuhnya pada upah kerja. Kelompok ini
mengalami kemiskinan mendalam, dan bersandar pada kegiatan penghidupan yang beragam
dan dana pembagian hibah pemerintah untuk bertahan hidup.

Bagaimana kelompok-kelompok saling berinteraksi? Interaksi paternalistik yang


terpilah secara rasial antara pemilik dan pekerja kebun mengalami perubahan, tetapi dengan
lamban. Perbedaan ras masih menentukan interaksi tersebut, dan ketegangan masih tampak.
Aturan pemerintah yang beritikad untuk meningkatkan kondisi pekerja dilaksanakan setengah
hati, dan boleh jadi tidak berdampak terhadap kehidupan pekerja musiman. Organisasi pekerja
tidak bisa berbuat banyak karena keterbatasan kemampuan menjangkau serikat-serikat pekerja
dan cengkraman paternalistik manajemen perkebunan.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Hanya varietas-varietas anggur


tertentu yang cocok untuk pasar ekspor bernilai tinggi. Varietas-varietas ini tumbuh di wilayah
basah Tanjung. Perkebunan-perkebunan di wilayah kering harus bergantung pada pasar yang
lain. Maka, ekologi lokal memengaruhi peluang pasar, dan dengan demikian juga memengaruhi
pola penghidupan.

Kasus 5: Daerah Hulu Timur, Ghana utara (Whitehead 2002, 2006)


Kasus ini berfokus pada wilayah kering dan miskin di utara Ghana, Daerah Hulu Timur. Di sini
perkebunan tanah kering yang luas bersanding dengan kegiatan non-pertanian dan migrasi.
Aset kunci yang dapat diakses dan pengelolaan tenaga kerja dalam kelompok-kelompok besar
rumah tangga menjadi faktor sangat penting bagi keberhasilan penghidupan.

Siapa punya apa? Tanah cukup melimpah dan anggota keluarga pria sering mengolah
lahan yang besar, meski luasan lahan sangat beragam. Para perempuan mengolah petak-petak
lahan kecil di dekat rumah. Petak-petak lahan tampak berbeda antara lahan-lahan sempit dekat
rumah yang diolah secara intensif dan lahan-lahan luas yang jauh dari rumah. Aset kunci
mereka berupa ternak, baik sapi maupun ternak kecil, dan bajak. Kotoran ternak penting bagi
produksi pertanian, khususnya karena harga pupuk terus membumbung. Pola kepemilikan aset
sangat beragam, dengan segelintir laki-laki memiliki sebagian besar ternak dan bajak.

Siapa melakukan apa? Para pria di kelompok rumah tangga menanam sorgum dan
jewawut, juga kapas, kacang tanah, kacang hijau dan padi. Para perempuan berfokus pada
kacang tanah dan sayuran. Semakin banyak perempuan juga terlibat dalam kerja non-
pertanian, seperti berdagang di pasar, seringkali dengan keuntungan tipis. Para pria bermigrasi
di musim kering, juga dengan upah rendah. Keluarga-keluarga miskin menyediakan tenaga
kerja serabutan bagi keluarga-keluarga sejahtera selama masa tanam.

Siapa dapat apa? Keluarga-keluarga yang memang sudah punya modal sumber daya
(khususnya ternak dan peralatan bercocok tanam) dan suplai tenaga kerja siap pakai di
kelompok rumah tangga mereka, berikut tenaga kerja upahan, dapat mengakumulasi kekayaan
dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan cuaca dan pasar. Akses terhadap tenaga kerja
menjadi faktor kunci yang membedakan antar-kelompok rumah tangga, dan ini berubah-ubah
dari waktu ke waktu karena siklus demografis dan faktor-faktor dadakan (contigent) seperti
kematian, sakit, kecacatan dan perantauan para pria. Faktor-faktor ekonomi eksternal, dihela
oleh krisis ekonomi yang meluas di level nasional, memengaruhi penghidupan lewat tekanan
harga, undur dirinya bantuan negara dan susutnya peluang pekerja migran.

Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Investasi berfokus pada
aset kunci seperti ternak dan bajak. Ternak-ternak kecil menjadi penting untuk dijual di luar
musim tanam, sehingga makanan dan komoditas lain dapat dibeli. Investasi untuk perumahan
(atap seng), sekolah dan kesehatan anak juga penting. Pendapatan dari luar pertanian dan kerja
upahan seringkali terbatas, menarik orang keluar dari bercocok tanam dan masuk ke dalam
perangkap kemiskinan yang memertahankan kebutuhan dan kerentanan, sembari mendesak
sebagian terjun ke dalam kepapaan atau migrasi yang dilakukan secara terpaksa.

Bagaimana kelompok-kelompok saling berinteraksi? Kelompok-kelompok besar rumah


tangga merupakan pemegang aset utama dan menjadi unit koperasi tenaga kerja. Mengelola
rumah tangga dan menyewa tenaga kerja merupakan proses penting yang bergantung kepada
relasi sosial yang baik. Kelompok rumah tangga yang berhasil akan menarik lebih banyak
anggota, dan dengan demikian lebih banyak tenaga kerja, serta menghasilkan siklus yang sehat.
Berinvestasi dalam relasi sosial dan mengelola konflik di dalam maupun di luar rumah tangga
menjadi sangat penting dalam kesuksesan penghidupan. Bantuan dari luar melalui proyek-
proyek pemerintah dan Ornop berperan penting dalam menyediakan aset-aset kunci yang
mentransformasikan peluang bagi segelintir orang. Akan tetapi, sebagian besar masih
bergantung kepada kondisi kerja yang sangat tidak menguntungkan dan relasi pasar dalam
konteks meningkatnya kompetisi dan konflik lahan, khususnya di antara kelompok-kelompok
etnis.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Pengolahan lahan kering secara
ekstensif menjadi strategi pertanian utama kawasan-kawasan padang rumput. Akses terhadap
petak-petak lahan kecil di kawasan basah, semisal di tepi sungai untuk menanam bawang
merah, tetap penting bagi sebagian orang. Dengan ketiadaan input yang stabil, melorotnya
kesuburan tanah di lahan-lahan luas telah memengaruhi produksi. Meskipun tanah tegalan
tetap tersedia untuk digarap atau dijadikan padang gembala, jaraknya kian jauh dari desa, dan
konflik-konflik tanah semakin merebak.

Kasus 6: Provinsi Hebei, timur laut Tiongkok (Jingzhong, Wang dan Long 2009;
van der Ploeg dan Jingzhong 2010; Jingzhong dan Lu 20011)

Kasus ini berfokus di Kabupaten Yixian di Provinsi Hebei, sekitar 300 kilometer dari Beijing.
Penelitian ini bersandar pada seretetan penelitian mendalam di desa-desa sekitar Kota Pocang.
Kawasan ini mengalami perubahan dalam waktu singkat, pertama ketika sistem produksi
beralih dari kolektifisasi menjadi sistem kelola berbasis rumah tangga, dan kemudian ketika
permintaan akan pekerja pria bertumbuh seiring pertumbuhan industrialisasi di Tiongkok.
Sistem registrasi rumah tangga mencegah pergerakan keluarga ke kawasan-kawasan perkotaan
dan memastikan ikatan terus berlanjut dengan kampung halaman di desa. Akan tetapi,
perubahan-perubahan di atas berujung pada pergeseran besar-besaran dalam hal penghidupan,
dengan setidaknya empat jalur pergeseran yang dapat teramati. Sebagian memperkuat
penghidupan dan produksi sebagai petani kecil, tetapi menambahkannya dengan kegiatan non-
pertanian dan berspesialisasi dalam komoditas-komoditas pertanian baru. Sebagian lain
melakukan diversifikasi keluar dari pertanian dan mendapatkan penghidupan dari luar kegiatan
pertanian di kota dan usaha pedesaan, dalam sektor penambangan atau melalui perdagangan
dan migrasi. Sebagian lain menyusutkan skala pertanian hingga ke bentuk sederhana di petak-
petak lahan kecil ketika para pria merantau dan orang-orang tua, perempuan dan anak-anak
ditinggal di desa. Sebagian lainnya terseret menuju jurang kemiskinan ketika peluang-peluang
penghidupan lenyap. Meski memulai dengan aset yang nisbi setara ketika tanah dialokasikan
kepada individu, pola diferensiasi terjadi. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan negara, relasi
sosial di dalam dan luar desa dan perubahan pola migrasi.

Siapa punya apa? Tanah didistribusi dalam sistem kelola rumah tangga pada awal
1980-an. Masing-masing rumah tangga mendapatkan luasan yang sama. Kini ukuran tanah
rata-rata mengecil, biasanya kurang dari satu hektare, kadang hanya sepersepuluh hektare, dan
sebagian menyewa lahan dari warga lain. Warga desa punya akses terhadap tanah di
pegunungan melalui sistem kontrak, dimana satu atau dua hektare dikontrakkan selama lima
puluh sampai tujuh puluh tahun untuk padang gembala dan penanaman pohon. Aset kunci
lokal berupa ternak (khususnya domba untuk produksi wol) dan pohon (utamanya buah dan
pohon kacang-kacangan, termasuk apel dan walnut). Komoditas-komoditas ini telah menjadi
fokus spesialisasi produksi pada tahun-tahun belakangan ini.

Siapa melakukan apa? Campuran strategi penghidupan merefleksikan keberagaman


jalur penghidupan yang dijelaskan di atas. Produksi pertanian tradisional didominasi oleh
gandum, jagung, ubi jalar dan kacang tanah, dengan irigasi musiman. Migrasi merupakan faktor
sangat penting, dan sebagian besar rumah tangga punya satu atau lebih perantau, kebanyakan
pria, yang merantau pada masa-masa tertentu untuk menyokong pusat-pusat industri termasuk
Beijing. Sebagian perantau ini bekerja di perantauan sampai selama sepuluh tahun dan jarang
pulang kampung, sementara sebagian lainnya bekerja tidak jauh dari kampung, misalnya di
industri-industri kota kecil atau di tambang biji besi dan vermiculite di daerah sekitar, dan
dapat pulang secara teratur. Warga yang tinggal didominasi oleh orang lanjut usia, perempuan
dan anak-anak. Anak-anak lumayan sering terlibat bekerja, di dalam maupun luar pertanian.
Dengan berkurangnya tenaga orang dewasa, sebagian rumah tangga menyusutkan skala dan
menyederhanakan kerja cocok tanam mereka. Di sana terdapat aktivitas mencari nafkah non-
pertanian yang cukup beragam, termasuk perdagangan, penggilingan, pengolahan bihun,
pembuatan batu bata, penjualan pakan dan bahkan pemeliharaan kalajengking.

Siapa dapat apa? Meski mendapatkan alokasi tanah yang dengan ukuran setara, pola
diferensiasi semakin membesar, digerakkan oleh akses yang berbeda terhadap pendapatan dari
kiriman para perantau (remitansi). Sebagian dapat mengakumulasi kekayaan dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan dan koneksi yang mereka kembangkan dengan sering
bepergian dan relasi sosial. Melakukan spesialisasi dalam pekerjaan bernilai tinggi, seperti
produksi wol, irigasi sayuran atau pemeliharaan tanaman obat, sebagian lainnya dapat menjadi
lebih kaya dan mengkonsolidasikan penghidupan di desa.

Apa yang mereka lakukan terhadap apa yang mereka dapatkan? Remitansi
menggerakkan banyak investasi untuk perumahan dan barang-barang konsumsi tetapi juga
produksi pertanian. Ini meliputi alat pertanian (seperti traktor roda tiga dan peralatan irigasi),
input (termasuk pupuk) dan infrastruktur (seperti rumah kaca). Akan tetapi, sebagian besar
pendapatan dari remitansi dibelanjakan untuk kebutuhan dasar, untuk reproduksi dan bertahan
hidup, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial bagi keluarga yang ditinggal di kampung.

Bagaimana kelompok-kelompok saling berinteraksi? Migrasi menciptakan distorsi


demograsi yang berujung pada hubungan perawatan yang baru, seringkali dengan kakek-nenek
membesarkan anak, ketiadaan orang tua dan keterlibatan intensif anak-anak dalam bekerja
dapat menghasilkan dampak sosial dan psikologis yang negatif terhadap anak-anak. Sebagian
orang di desa meraup kekayaan dengan menimba pengetahuan dan keterampilan melalui
koneksi sosial berdasarkan kepercayaan dan kerjasama. Negara punya pengaruh besar terhadap
bagaimana struktur penghidupan terbentuk, dari alokasi tanah, bantuan untuk desentralisasi
industrialisasi di pedesaan, hingga sistem registrasi rumah tangga yang membatasi migrasi.

Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan ini merupakan daerah
pegunungan, dengan tanah kurus dan berpasir. Akses terhadap irigasi di sungai (lembah) sangat
penting bagi produksi pertanian, sementara akses terhadap padang penggembalaan di
pegunungan melalui sistem kontrak amat menentukan bagi perawatan ternak. Kehadiran
tambang di kawasan ini telah memengaruhi peluang penghidupan non-pertanian. Kurangnya
lahan dengan irigasi berkualitas membatasi pertumbuhan potensi pertanian dan mendorong
diversifikasi non-pertanian dan migrasi.
Tema-Tema yang Mencuat

Masing-masing kasus ini, dari latar yang sangat beragam, menunjukkan bahwa penghidupan
pedesaan berwatak dinamis, beragam, serta ditempa oleh proses-proses jangka panjang dan
penggerak struktural yang berdaya jangkau luas. Kegiatan-kegiatan pertanian dan non
pertanian dicampurbaurkan; kaitan antara pedesaan dan perkotaan sangat vital. Kita tidak
dapat melekatkan penamaan secara sederhana terhadap tipe dan identitas penghidupan,
sebagaimana dicatat Bernstein (2010a): rakyat adalah petani, pekerja, pedagang, migran,
kadang seluruhnya secara bersamaan. Sebagaimana ditunjukkan pada bab berikutnya,
kombinasi metode dan perspektif longitudinal dibutuhkan untuk memahami penghidupan
pedesaan. Enam tema mencuat dari kasus-kasus ini yang menguatkan beberapa poin yang telah
diungkap dalam buku ini sejauh ini:

 Berbagai jenis penghidupan pedesaan muncul dari proses jangka panjang diferensiasi
agraria. Sangat penting untuk memahami bagaimana pola akumulasi terjadi dan untuk
keuntungan siapa, serta bagaimana kelas-kelas berbeda terbentuk. Kelas-kelas yang
terbentuk kadang bersifat hibrida, menggabungkan kerja upahan atau kewirausahaan
dengan pertanian, misalnya. Sebuah pembauran (bricolage) dinamis kegiatan
penghidupan berbeda menjadi lumrah. Para petani jarang yang hanya bekerja sebagai
petani saja, sebagaimana para buruh upahan sering punya kegiatan lain untuk
mempertahankan penghidupan mereka. Maka, perspektif yang utuh dan inklusif
terhadap penghidupan sangat dibutuhkan.
 Banyak kegiatan penghidupan berlangsung di luar lahan pertanian, baik di dalam ruang
pedesaan maupun perkotaan. Kaitan antara tempat-tempat ini—sepanjang waktu, lintas-
generasi, di dalam dan antar-rumah tangga—sangat penting untuk memahami
penghidupan pedesaan. Sangat sering kelompok-kelompok paling miskin memadukan
berbagai macam kegiatan untuk membentuk penghidupan yang sangat rapuh dan
rentan. Migrasi pekerja menjadi ciri yang senantiasa memberi pengaruh penting
terhadap penghidupan, tidak hanya lewat aliran kiriman uang tetapi juga melalui
perubahan aspirasi, nilai dan norma budaya.
 Seluruh penghidupan dipengaruhi oleh perubahan pasar dan koneksi global. Pergeseran
dalam pasar global punya efek gema sehingga perspektif lebih luas dalam menilai
penghidupan menjadi sangat penting. Negara juga penting, sekalipun kadang tersamar.
Proses regulasi/deregulasi, penetapan standar dan lainnya memengaruhi siapa dapat
melakukan apa, dan apa yang harus membayarnya. Fasilitasi negara bagi investasi asing
atau pengembangan infrastruktur juga membentuk ulang peluang-peluang penghidupan
dengan cara fundamental.
 Akan tetapi, perubahan di tingkat global dan nasional selalu dimediasi di tingkat lokal.
Artinya, dampak-dampak penghidupan tidak seragam, dan menyelidiki penghidupan
membutuhkan pemahaman terperinci akan proses-proses sosial, institusional dan
politik di tingkat lokal. Kesementaraan, agensi dan pengalaman kontekstual tertentu
seluruhnya menjadi faktor penting dalam menjelaskan bagaimana proses kapitalis
berskala besar beroperasi, berikut relasi histotis, budaya dan sosial yang sangat penting
untuk menjelaskan perubahan penghidupan dalam jangka panjang.
 Dengan demikian, analisis ekonomi politik perlu mengartikulasikan pemahaman
mengenai relasi-relasi sosial dan bagaimana mereka memengaruhi institusi dan
organisasi. Ini perlu dilakukan di berbagai level, dari latar yang sangat mikro—seperti
pengelolaan tenaga kerja di dalam satu rumah tangga—sampai ke proses-proses yang
lebih luas—semisal organisasi kolektif petani dan pekerja. Karena itu, ekonomi politik
bukan hanya tentang elemen-elemen makro perubahan struktural tetapi juga dinamika
relasi kuasa tingkat mikro yang berkaitan dengan produksi, reproduksi dan investasi.
 Dalam konteks diferensiasi yang melaju cepat, pembagian kekuasaan dan klaim-klaim
yang bersaing dalam memperbutkan sumber daya untuk penghidupan, konflik antar-
kelompok, merupakan ciri-ciri yang terus mencuat. Ini seringkali muncul ketika tatanan
institusional dan legal bersifat hibrida dan tidak jelas, menyulitkan negosiasi dan
arbitrase yang jelas. Konflik antara pendatang dan orang setempat, antar-generasi,
antar-gender, dan antara tuan tanah dan pekerja, seluruhnya terlihat di kasus-kasus di
atas. Untuk memahami akar dan dinamika konflik-konflik tersebut, analisis
penghidupan harus berfokus pada titik perjumpaan antara kekuasaan dan agensi.

Kesimpulan

Menghubungkan analisis penghidupan yang terperinci dan longitudinal di latar tertentu dengan
proses perubahan agraria, pola akumulasi dan investasi serta pembentukan kelas dapat
membantu kita mengaitkan realitas lokal dengan proses-proses yang lebih luas. Upaya ini
mengharuskan kita mengajukan pertanyaan yang benar tentang relasi sosial produksi dan kerja,
dan basis ekologis dari relasi tersebut. Enam pertanyaan kunci yang diajukan dalam bab ini
menghadirkan daftar awal. Kasus-kasus yang diulas di atas menunjukkan bahwa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dapat mengungkap banyak hal. Tetapi masing-masing kasus akan
membutuhkan investigasi yang unik; sehingga sementara mereka bisa saja menjadi pengingat
berguna ketika disandingkan dengan kerangka penghidupan berkelanjutan (Gambar 7.1),
deretan pertanyaan itu seharusnya tidak digunakan secara berlebih dan eksklusif.

Tantangan kita ialah menemukan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi, dan untuk
meletakkan temuan-temuan ini dalam pemahaman dinamika perubahan politik dan ekonomi.
Sebab, hanya dengan wawasan-wawasan ini, intervensi-intervensi untuk menyokong
penghidupan dapat berhasil. Maka, sebagai peneliti, praktisi atau gabungan keduanya, kita
perlu tahu keberagaman jalur penghidupan, dan relasi di antara mereka untuk mengetahui apa
saja yang bisa berhasil bagi siapa. Kita perlu tahu pola penyokong relasi sosial dan institusi,
termasuk peran negara, dan dampaknya bagi hasil-hasil penghidupan, untuk memahami siapa
yang menang dan siapa yang kalah, serta piranti institusional dan kebijakan mana yang bisa
berperan. Serta, kita perlu tahu bagaimana penghidupan dan ekologi saling membentuk, dan
dengan begitu bagaimana penghidupan dapat lebih berkelanjutan.

Invervensi terhadap penghidupan selalu memasuki sistem yang dinamis dengan sejarah
yang rumit dan kesalingkaitan yang berlipat ganda. Memahami bagaimana sebuah intervensi
dapat dilakukan mengharuskan kita menimbang kerumitan tersebut. Sebuah intervensi
terhadap penghidupan akan berdampak pada keseluruhan sistem penghidupan, apakah itu akan
melibatkan perubahan aturan penguasaan tanah; pergeseran regulasi di seputar migrasi;
bantuan penambahan asset di kelompok tertentu; fokus terhadap tanaman komoditas tertentu
melalui penelitian dan penyuluhan pertanian; investasi usaha skala kecil di sebuah wilayah;
ataupun kombinasi antar-pendekatan ini atau dengan lainnya. Ini bukan sebuah argumen untuk
tidak melakukan intervensi, sebab pengentasan kemiskinan, perbaikan penghidupan, serta
pemberdayaan ekonomi dan sosial semuanya penting dilakukan. Akan tetapi, sebuah analisis
penghidupan sebagaimana diulas di sini harus membuat mereka yang terlibat dalam intervensi
lebih punya banyak informasi, punya dasar lebih baik dan lebih siap untuk menilai deretan
risiko dan konsekuensi dalam konteks pendekatan penghidupan.
Bab 8

Metode-Metode Analisis Penghidupan

Jenis-jenis pertanyaan yang diajukan pada bab sebelumnya menyarankan metode campuran
untuk menjawabnya. Pertama-tama tujuannya adalah untuk “menyingkap” dan “meluaskan”
debat (cf. Stirling 2007) tentang perubahan penghidupan. Keberagaman metode—kuantitatif,
kualitatif, deliberatif, partisipatif, dan sebagainya—relevan (Murray 2002; Angelsen 2011).
Tetapi bagaimana kita memilih? Apakah ini kerja yang tidak mungkin dilakukan?

Bagi para peneliti, kerja mereka mungkin lebih mudah pada masa-masa sebelum
munculnya spesialisasi disiplin yang berlebihan, ketika masing-masing disiplin mengusung
rangkaian metode terakreditasi tertentu untuk dipublikasikan. Pembelajaran dan kerja tim yang
lebih fleksibel dan oportunistik (berdasar tujuan) masih mungkin dilakukan, dan dialog antar-
disiplin masih sering terjadi (cf. Bardhan 1989). Demikian pula, bagi para praktisi, keterbukaan
dan pembelajaran masih lapang ketika tekanan dari “budaya audit” dan pengejaran kesuksesan
dan dampak progam belum membebani mereka. Wajar jika pada masa itu metode-metode awal
pendekatan penghidupan berkembang pesat, di era ketika tantangan lebih bersifat praktis dan
berorientasi hadap masalah. Ketika itu, mereka tidak terlalu dibebani oleh spesialiasi sempit
dan metode-metode, pengukuran dan alat ukur yang mengiringinya, serta tidak terlalu dibatasi
oleh prosedur-prosedur birokratis (Bab 1).

Di bab ini saya akan meninjau beragam metode yang digunakan dalam analisis
penghidupan. Bab ini akan dibuka dengan pertanyaan bagaimana serangkain metode dapat
disandingkan untuk meruntuhkan dinding disiplin ilmu dan menangkap kerumitan dan variasi
latar penghidupan nyata. Kemudian dilanjutkan dengan melihat metode-metode untuk
mengoperasionalkan pendekatan penghidupan dalam pelaksanaan dan kebijakan
pembangunan, dan menimbang kesesuaian antara metode-metode itu dengan praktik dan
kebijakan tersebut. Akhirnya, saya akan mengulas tantangan-tantangan yang dihadapi ketika
melekatkan analisa ekonomi politik pada pendekatan-pendekatan penghidupan.

Metode Campuran: Menyeberangi Dinding Disiplin

Secara metodologis, apa saja ciri pendekatan penghidupan awal? Pertama, perhatian terhadap
interaksi ekologi dan masyarakat, politik dan ekonomi. Berbeda dengan pemilahan disiplin
masa kini, tidak ada garis tegas yang memisahkan ilmu alam dan sosial, ilmu ekonomi dan
politik. Kedua, perhatian terhadap sejarah dan dinamika jangka panjang. Ini memungkinkan
pengamatan masa kini diletakkan dalam konteks historis; kadang dengan teori perubahan
historis tertentu, sebagaimana yang dilakukan Marx. Pendekatan-pendekatan studi pedesaan
secara eksplisit berwatak longitudinal, kadang merentang hingga tiga puluh tahun atau lebih.
Ketiga, prinsip triangulasi sangat jelas: pemeriksaan-silang, melihat dari perspektif berbeda dan
menggunakan metode-metode berbeda sekaligus.
Begitu cengkraman disiplin menguasai upaya-upaya pembangunan—dan bahkan dunia
akademi secara umum—sejak 1970-an dan 1980-an, bermunculanlah isu-isu yang dilihat dari
fokus tunggal dan sempit. Di beberapa bidang—kedokteran dan fisika kuantum misalnya—
spesialisasi disiplin punya manfaat yang jelas. Tetapi di bidang lain manfaatnya kabur. Karena
pembangunan kemudian terseret menjadi cabang tertentu ekonomi neo-klasik, setidaknya di
tempat-tempat penting, seperti Bank Dunia dan agen-agen pembangunan penting, sudut
pandang neo-klasik menjadi lebih terang-benderang. Rekomendasi yang kian sempit kemudian
menyusul. Program penyesuaian struktural menjadi solusi satu-satunya. Dan sisanya, menurut
mereka, sudah jadi sejarah. Kurun ini mengilustrasikan bagaimana dominasi satu perspektif
disiplin dapat menyempitkan metode, menutup debat, mengesampingkan perspektif lebih luas
dan memungkinkan satu pendekatan tertutup bagi kritik agar bisa berhasil. Sebagaimana dalam
kasus ini, pendekatan tunggal, diperkuat oleh proses-proses politik dan institusional yang
mengabaikan alternatif lain, dapat berujung pada kerusakan dan penderitaan besar-besaran
(Wade 1996, Broad 2006).

Tentu saja, ada penolakan terhadap hegemoni ini. Penentangan ini datang dari berbagai
medan pertarungan, dari gerakan sosial dan dunia akademis hingga praktisi dan pihak lain yang
melihat kerusakan terus berlansung. Sebagai contoh, pada akhir 1970-an, karena frustrasi
melihat keterbatasan dari apa yang kelak disebut Robert Chambers sebagai “perbudakan
survai”, muncul kaji cepat pedesaan (rural rapid appraisal). Pendekatan ini mendapatkan
banyak pengikut pada 1980-an, meminjam dari metode penelitian antropologi, psikologi, agro-
ekosistem dan lainnya (Howes dan Chambers 1979; Chambers 1983; Conway 1985).
Dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi, pendekatan ini memungkinkan tim lapangan
berangkat ke desa-desa untuk menemukan apa yang terjadi dan menyusun pemahaman nyata
akan penghidupan. Ini kemudian dikenal dengan nama “kaji cepat partisipatif” (participatory
appraisal) (Chambers 1994) dan “pembelajaran dan tindakan partisipatif”22 (participatory
learning and action) seiring didorongnya keterlibatan warga lokal dalam penelitian lapangan.

Masih pada 1970-an, muncul gerakan serupa yang mungkin lebih radikal di kalangan
aktivis sosial dan para akademisi, khususnya di Amerika Latin. Dengan label “penelitian aksi
partisipatif” (participatory action research) (Fals Borda dan Rahman 1991; Reason dan
Bradbury 2001), gerakan ini menimba inspirasi dari Paulo Freire (1970) dan kritiknya terhadap
sekolah dan cara belajar konvensional. Diadopsi oleh gerakan sosial, sebagai bagian dari teologi
pembebasan, pendekatan ini melengkapi pemahaman mendalam warga lokal akan kondisi
hidup mereka, pemahaman yang berbasis tindakan. Dalam kasus ini mereka menghadapi
penindasan para diktator Amerika Latin.

Meskipun hegemoni disiplin ilmu tertentu menguasai level kebijakan, banyak hal
berlangsung di lapangan. Kajian pedesaan tradisional masih bertahan, dengan dilakukannya
banyak kajian terperinci mengenai dinamika perubahan jangka panjang pedesaan. Steve
Wiggins menyusun daftar dua puluh enam kajian di Afrika, masing-masing menunjukkan
bagaimana perubahan berlangsung kompleks dan beragam (Wiggins 2000). Kajian historis
berjangka panjang yang dilakukan Sara Berry di Ghana (1993) dan Mary Tiffen dan kolega di

Awalnya RRA Notes lalu PLA Notes diterbitkan oleh Internatonal Institute for Environment and
22

Development sejak 1988.


Kenya (mengambil dua contoh saja) menjadi inspirasi yang kuat bagi kajian-kajian
penghidupan kontemporer. Di India Selatan, kajian-kajian International Crop Research
Institute for Semi-Arid Tropics (ICRISAT) menimba inspirasi langsung dari kajian-kajian
pedesaan sebelumnya (Walker dan Ryan 1990). Kaji cepat terpadu menjadi inti bagi penelitan
sistem cocok tanam (Gilbert et al. 1980), sebuah pendekatan yang mengaitkan kajian-kajian
sosial-ekonomi dengan agronomi di lapangan. Kelak, penelitian partisipatif petani (Farrington
1988) dan pengembangan teknologi partisipatif (Haverkort et al. 1991) seluruhnya meminjam
dari prinsip-prinsip integrasi lintas disiplin dalam tim lapangan menggunakan berbagai macam
metode secara partisipatif. Demikian pula, kajian-kajian jangka panjang perubahan lingkungan
dan penghidupan memadukan analisis teknis dan biofisik dengan kaji cepat penghidupan (cf.
Warren et. al. 2001; Scoones 2001, 2005).

Ketika para peneliti kemiskinan menemukan kembali dinamika jangka panjang, serta
ciri-ciri transisi dan ambang batas (lihat Bab 2), perhatian kembali tertuju pada kajian-kajian
longitudinal, memanfaatkan survai berulang dan penelitian etnografis jangka panjang. Peter
Davis dan Bob Baulch (2011) menyajikan sebuah survai yang bermanfaat mengenai metode
seperti itu yang diterapkan dalam sejumlah kajian kemiskinan di Bangladesh. Mereka kembali
mempertahankan argumen mengenai nilai penting metode campuran, yang menggabungkan
metode kualitatif dan kuantitatif, metode survai dan sejarah hidup (Baulch dan Scott 2006).

Pada tahun-tahun belakangan ini, sebuah ciri sistem pedesaan yang sering disebut—
kompleksitas—mendapatkan perhatian metodologis dalam kajian pembangunan (Eyben 2006;
Guijt 2008; Ramalingam 2013). Meminjam dari tradisi panjang dan beragam dari sains dan
metode kompleksitas—dari tradisi pemodelan kuantitatif Insitut Santa Fe23 hingga penelitian
yang lebih kualitatif berdasarkan teori grounded dan analisis berjalan (Denzin dan Lincoln
2011)—pendekatan kompleksitas telah menjadi tambahan penting bagi pengayaan piranti
konseptual dan metodologis kajian-kajian penghidupan.

Pendirian metodologis apa pun yang digunakan, seluruh wawasan biasanya berdiri pada
posisi tertentu, plural dan parsial. Ihwal ini muncul dalam kritik-kritik feminisme yang menilai
bahwa seluruh pengetahuan mau tidak mau “tersituasikan” dan bahwa pendirian “keterbukaan
dalam berbuat” (“passionate detachment”) yang juga mengakui subyektifitas, identitas dan
lokasi diperlukan bagi penelitian manapun (Haraway 1998). Dengan kata lain, kita harus
menginterogasi bias-bias dan asumsi-asumsi dalam pembentukan pengetahuan dan harus
melakukan refleksifitas dalam proses penelitian (Prowse 2010).

Pendekatan Operasional dan Kaji Cepat Penghidupan

Bagaimana para praktisi lapangan dan pembuat kebijakan menanggapi merebaknya pendekatan
penghidupan, dan bagaimana mereka merespons kencederungan ini dalam debat yang lebih
luas? Bagaimana ini diterjemahkan dalam metode-metode dan pendekatan opeasional tertentu?

23
www.santafe.edu/
Satu tanggapan yang seringkali muncul terhadap penggabungan wawasan dari debat-
debat yang disebutkan di atas ialah dengan memproduksi survai-survai atau kaji cepat
penghidupan terpadu sebagai bagian dari proyek pembangunan, kerja-kerja bantuan atau
tanggap darurat bencana. Bentuknya beraneka macam, dengan derajat kompleksitas dan
kecanggihan yang juga beragam.

Di Afrika, “pendekatan ekonomi rumah tangga” digunakan luas. Pendekatan ini


dikembangkan pada awal 1990-an oleh Save the Children Inggris. Mengikuti Sen, pendekatan
ini berfokus pada akses pangan ketimbang produksi. Pendekatan ini awalnya dikembangkan
untuk situasi tanggap darurat tetapi sejak itu diperluas untuk upaya-upaya pembangunan lebih
luas. Untuk zona-zona penghidupan berskala luas lainnya, sebuah kaji cepat dijalankan
berdasarkan pemilahan (disagregasi) kekayaan. Analisis hasil penghidupan didasarkan pada
pengumpulan data dasar (baseline), dan efek ancaman sebagaimana yang dipengaruhi oleh
strategi menghadapi ancaman. Penekanannya diletakkan pada perlindungan penghidupan dan
ambang batas bertahan hidup (survival thresholds). Pendekatan ini dielaborasi dari waktu ke
waktu dan dilibatkan dalam penelitian lebih luas tentang dinamika penghidupan dan
kemiskinan. Pedoman terbaru bagi para praktisi mencapai ketebalan 401 halaman24 dan
melebarkan pendekatan ini hingga ke isu-isu seperti institusi dan ekonomi politik.

Sebuah pendekatan serupa juga digunakn untuk mengkaji kerentanan.25 Sekali lagi,
pedoman ini biasanya dimulai dengan pendekatan keseimbangan pangan tetapi juga melihat
ragam kegiatan penghidupan yang berkontribusi untuk mendapatkan pangan, termasuk
penghidupan di dalam dan luar lahan pertanian. Kajian kebecanaan,26 lebih sering diasosikan
dengan tanggap darurat ketimbang monitoring tahunan, berfokus pada perubahan basis aset,
dan khususnya strategi menghadapi ancaman, tetapi sekali lagi mencoba menerapkan
pandangan holistik terhadap penghidupan untuk membantu tanggap darurat tetapi juga kerja-
kerja rehabilitasi.

Kaji cepat kemiskinan telah menjadi langkah wajib dalam makalah-makalah strategi
pengentasan kemiskinan dan membutuhkan kaji cepat penghidupan yang beragam, baik di desa
maupun kota (Norton dan Foster 2001). Kadang-kadang asesemen-asesmen itu diterapkan
sebagai survai yang luas, mengadopsi teknik dan pengukuran yang membaurkan berbagai
macam metode sebagaimana di singgung di atas; di lain kesempatan mereka digunakan sebagai
pendekatan yang lebih partisipatif dengan warga lokal diminta mendefiniskan pemahaman
mereka tentang kemiskinan (Booth dan Lucas 2002; Lazarus 2008).

Sebagaimana disebut di Bab 2, jumlah sumber data yang telah diperbaiki untuk
mengasupi survai-survai dan kaji cepat seperti itu telah meningkat. Survai Pengukuran Standar
Hidup, misalnya, menjadi prosedur rutin di banyak negara, diulang pada rentang waktu
tertentu secara teratur. Di banyak tempat berlangsung survai longitudinal, bersama kajian-
kajian berjangka panjang yang terdokumentasi dengan baik. Badan-badan statistik dapat

24 www.savethechildren.org.uk/resources/online-library/practitioners%E2%80%99-guide-household-
economy-approach
25 ftp://ftp.fao.org/.../Vulnerability%20Assessment%20Methodologies.doc
26 www.disasterassessment.org/section.asp?id=22
menyediakan data yang lebih umum mengenai berbagai elemen penghidupan, meskipun di
Afrika kualitas data seperti ini masih dapat dipertanyakan (Jerven 2013).

Akan tetapi, tidak satu pun dari pendekatan ini secara serius menimbang aspek politik
dan lebih khusus lagi ekonomi politik. Dengan pengecualian tertentu, banyak dari aspek
metodologis arus utama yang berkaitan dengan kajian penghidupan akhir-akhir ini—RRA, PRA,
kaji cepat dan survai-survai kemiskinan, asesmen kerentanan dan lainnya—tidak menimbang
pertanyaan politik yang berada di baliknya. Alat-alat ini mungkin lumayan baik untuk
menjawab pertanyaan “apa yang terjadi?” tetapi pertanyaan “mengapa?” sering terlewatkan. Ini
terjadi sebagian karena mereka sering mengesampingkan politik, atau membungkusnya agar
tampak lebih bersih, sebagaimana di banyak penerapan kerangka penghidupan yang dibahas
pada Bab 3. Sebagaimana saya ulas di bab sebelumnya, kita sangat perlu mengembalikan politik
ke dalam kajian penghidupan. Sebab politiklah, atau lebih tepatnya ekonomi politik—dan
dimensi institusional, pengetahuan dan relasi sosialnya—yang menentukan siapa punya apa,
siapa dapat apa dan seterusnya: pertanyaan-pertanyaan kunci dalam pendekatan penghidupan
yang diperluas, yang diangkat pada Bab 7.

Menuju Analisis Ekonomi Politik Penghidupan

Lantas bagaimana rangkaian teknik, alat-alat, metode dan model yang kita punya—pilihannya
melimpah—digunakan untuk menjawab deretan pertanyaan sentral dalam analisis penghidupan
dan perubahan agraria? Tabel 8.1 merangkum enam pertanyaan kunci yang diulas pada Bab 7
sebagai bagian dari kerangka penghidupan yang diperluas, dan menyajikan kemungkinan-
kemungkinan metode yang bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu
rangkuman ini selalu bergantung pada konteks, keterampilan dan perhatian khusus, dan
lainnya, sehingga harus dilihat sebagai ilustrasi saja dan bukan sebagai resep baku.

Tabel 8.1 Metode-metode untuk analisis penghidupan yang dipeluas

Pertanyaan Kunci Kemungkinan Pilihan Metode


Siapa punya apa? Survai dan pemetaan sosial; pemeringkatan
kemakmuran/aset
Siapa melakukan apa? Pemetaan kegiatan; kalender musim pertanian dan
migrasi; analisis kasus dalam rumah tangga dan analisis
gender; narasi personal dan biografis; “sejarah afektif” yang
mendokumentasikan emosi.
Siapa dapat apa? Pengamatan etnografis dan sosiologis; survai kepemilikan
aset; analisis historis/longitudinal produksi dan akumulasi;
analisis konflik
Apa yang mereka Survai-survai pendapatan dan belanja; analisis longitudinal
lakukan dengan yang terhadap akuisisi aset dan investasi; cerita dan sejarah
mereka dapatkan? hidup
Bagaimana kelompok- Sosiologi berorientasi aktor (analisis interface); analisis
kelompok saling institusional; pemetaan organisasional; studi kasus konflik
berinteraksi dan kerjasama; sejarah desa dan sejarah hidup; analisis
gender
Bagaimana perubahan Pemetaan ekologis; transek; penerapaan pemetaan
politik dibentuk oleh satelit/GIS secara partisipatif; sejarah sosio-lingkungan;
ekologi survai tanah partisipatif; pemetaan keanekaragaman
hayati; sejarah lahan dan bentang alam

Sebagaimana telah dijelaskan, cadangan piranti kajian tersedia dalam jumlah melimpah.
Dan kita masih bisa menambah lebih banyak metode lagi. Tetapi yang penting adalah
bagaimana memilih piranti tertentu di seputar kerangka tertentu untuk melakukan penelitian,
ketimbang alat-alat itu sendiri. Artinya, kita harus mengajukan pertanyaan yang benar, dan
mencari metode yang cocok untuk menjawabnya dan untuk konteksnya. Kerangka penghidupan
yang diperluas (Bab 7) adalah langkah pertama, dan digabungkan dengan Tabel 2, menawarkan
permulaan sebuah pendekatan terhadap analisa penghidupan yang mempertimbangkan secara
serius ekonomi politik perubahan agraria dan penghidupan. Akan tetapi, penting mengingat
bahwa kita tidak mengikutinya seperti resep baku tetapi mengadopsi, membuat penemuan dan
mengubah, selalu dengan memerhatikan analisa terpadu yang mengaitkan aktivitas
penghidupan tertentu dengan proses-proses politik struktural lebih luas yang menyokongnya.

Semua ini bergantung pada apa yang ingin kita capai. Pendekatan penghidupan yang
diperluas itu boleh jadi berguna bagi peneliti yang tertarik menghubungkan informasi mengenai
penghidupan yang terperinci dan speksifik konteks dengan proses perubahan lebih luas.
Sebagai pengambil kebijakan, informasi seperti itu mungkin dapat membantu menjelajahi
berbagai skenario perubahan dalam kondisi kebijakan makro atau dalam penataan institusional,
dan untuk memeriksa dampak-dampak yang paling mungkin muncul terhadap penghidupan
rakyat. Sebagai praktisi lapangan, memikirkan tentang konsekuensi-konsekuensi intervensi
dalam sistem yang kompleks dapat membantu mengidentifikasi risiko, imbangan pertukaran
(tradeoffs), dan tantangan-tantangan, serta memastikan bahwa hasil-hasil yang lebih inklusif
dan berkelanjutan dapat dicapai.

Menantang Bias

Pertanyaan-pertanyaan yang baik dan pembauran metode bukan tongkat ajaib untuk
memperbaiki penghidupan. Tetapi mengajukan pertanyaan yang benar, melebarkan cakupan
analisis dan membuka debat kebijakan dapat membantu. Terlepas dari penekanan retorik
tentang “pendekatan penghidupan” akhir-akhir ini, upaya-upaya pembangunan tak punya
rekam jejak yang baik dalam memperbaiki penghidupan. Sebagaimana diungkap Robert
Chamber tiga puluh tahun lalu dalam buku klasiknya Rural Development: Putting the Last
First (1983), pembangunan desa masih dipenuhi dengan bias-bias profesional, berujung pada
pemaksaan dari atas dan proyek-proyek yang salah sasar. Tania Li (2007: 7) menyebutkan
dalam bukunya The Will to Improve:

Pertanyaan-pertanyaan yang ditempa menjadi [pertanyaan] teknis secara bersamaan


juga menjadi non-politis. Di sebagian besar bagian, para pakar yang bertugas membawa
perbaikan tidak melibatkan struktur relasi ekonomi-politik dalam diagnosa dan resep-
resep mereka. Mereka lebih berfokus pada kapasitas kalangan miskin ketimbang
praktik-praktik yang menyebabkan satu kelompok sosial dapat memiskinkan yang lain.

“Mesin anti-politik” (Ferguson 1990) pembangunan menciptakan bias yang berlipat ganda
melalui deretan praktik dan rutinitas. Di bidang-bidang yang tampak sangat teknis seperti
agronomi, pertarungan politik atas pembentukan kerangka dapat memengaruhi metode dan
hasil (Sumberg dan Thompson 2012).

Dapatkah pendekatan-pendekatan penghidupan, diterapkan dengan cara mengikuti


ulasan buku ini, membuat perbedaan? Menurut saya, jawabannya bisa. Dalam Seeing like a
State, James Scott (1998) menunjukkan bagaimana pembangunan dari atas dapat berujung
kekeliruan ketika tidak menimbang realitas yang langsung dirasakan di konteks tertentu. Kita
melihat kesalahan serupa secara berulang, kadang dirias dengan saputan retorika partisipasi
dan penghidupan. Tetapi, mengikuti seruan Chambers untuk “membalik” pemikiran dalam
pembangunan, bagaimana kalau kita membaliknya? Bagaimana jika tantangan-tantangan,
provokasi dan konfrontasi di dunia nyata menularkan dampak? Bagaimana rasanya melihat
seperti seorang petani kecil, atau penggembala, atau nelayan, atau pialang pasar, atau buruh,
atau satu atau kombinasi sekian banyak profesi dan praktik yang dijalankan orang desa? Pasti
akan terlihat amat berbeda.

Dalam sebuah buku tentang perkembangan penggembalaan di Afrika yang saya sunting
bersama Andy Catley dan Jeremy Lind (2013), kami menyajikan sebagian kontras antara
“melihat seperti agen pembangunan” dan “melihat seperti seorang penggembala” (Tabel 8.2).
Para aktor pembangunan—baik agen pemerintah, staf lembaga dana atau pekerja proyek
ornop—berulang-ulang menyalahpahami konteks penghidupan penggembala di banyak faktor.
Kesalahpahaman seperti itu berlumuran bias politik, budaya dan historis, dan dihiasi dislokasi
geografis mengingat jauhnya jarak kawasan penggembalaan dari kota dan pusat-pusat
kekuasaan. Buku itu menekankan agar kita menggeser sudut pandang dari ibu kota ke daerah
pedesaan, dari pusat ke pinggiran dan dari perspektif pakar elite ke para penggembala sendiri.

Tabel 8.2 Melihat seperti seorang agen pembangunan atau penggembala?

Isu-isu Penghidupan Pandangan dari Pusat Pandangan dari Pinggiran


(Melihat seperti Seorang (Melihat seperti seorang
Agen Pembangunan) penggembala)
Mobilitas Pra-menetap, atau nomadisme Mobilitas sangat menentukan
(hidup berpindah-pindah) bagi penghidupan moderen—baik
adalah satu tahapan dalam bagi ternak, manusia, buruh,
proses pemberadaban uang
Lingkungan Penggembala adalah penjahat Merespons lingkungan yang non-
sekaligus korban equilibrium (tidak ada
keseimbangan sempurna)
Pasar Tidak ekonomis, lemah, tipis, Perdagangan lintas-tapal batas
informal, terbelakang, butuh yang ramai. Informalitas adalah
modernisasi dan formalisasi kekuatan.
Pertanian Ada di masa depan, sebuah rute Sebuah titik persinggahan
menuju kehidupan menetap sementara, tetapi berkaitan
dan pemberdaban dengan penggembalaan
Teknologi Terbelakang, primitif,butuh Teknologi tepat guna,
modernisasi menggabungkan yang lama
(penggembalaan berpindah)
dengan yangbaru (telepon
genggam, dsb.)
Layanan Tak sulit dipasok, tetapi Permintaan tinggi akan layanan
penerima manfaat yang kepala kesehatan dan pendidikan, tetapi
batu dan bebal tidak punya membutuhkan bentuk layanan
keinginan untuk menerima baru yang cocok dengan
layanan penghidupan yang berpindah-
pindah
Diversifikasi Solusi bagi penggembalaan; Pelengkap bagi penggembalaan,
sebuah strategi menghadapi penambahan nilai, mendapatkan
ancaman peluang bisnis, sebuah rute untuk
kembali ke pemeliharaan ternak
Perbatasan dan konflik Ujung wilayah negara, perlu Pusat dari penghidupan dan
dikendalikan dan dilindungi. jaringan pasar lintas-batas.
Pelucutan senjata, butuh Persaingan antar-klan dan inter-
mengusahakan perdamaian klan yang sudah berlangsung
dan pembangunan lama

Tetapi mencermati apa saja yang dikatakan orang setempat seharusnya bukan sekadar
tindakan populis. Para advokat pembangunan partisipatif telah lama mempromosikan
kebutuhan memahami “pengetahuan lokal” (Brokensha et al. 1980) dan mendengarkan “suara
kaum miskin” (Narayan et al. 2000). Sejak 1980-an, deretan metodologi penelitian partisipatif
berkembang secara besar-besaran, menyokong pendekatan pembangunan dari-bawah. Meski
demikian, upaya semacam itu terlalu sering melewatkan dinamika pemiskinan yang mendasar,
pola diferensiasi dan jalur-jalur penghidupan jangka panjang di latar berbeda. Sekadar
anggukan superfisial terhadap pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal tidak memadai
(Scoones dan Thompson 1994). Akibatnya, tanpa analisis mendalam dan tentangan terhadap
struktur kekuasaan, pola pembangunan serupa kembali muncul, dengan label baru: sebuah
tirani baru, menurut sebagian kalangan (Cooke dan Kothari 2001).

Akan tetapi, perspektif penghidupan sebagaimana disajikan di buku ini dapat menggeser
pemahaman kita dan mengarahkan ke jenis-jenis tindakan lain. Pergeseran fokus dapat
mengubah parameter diskursif dari debat: dari “melihat seperti seorang agen pembangunan”
menjadi “melihat seperti seorang penggembala”, misalnya. Sebagaimana dibahas pada Bab 4,
pergeseran narasi di seputar persoalan kebijakan bisa punya dampak besar, bahkan sampai
bagaimana pembangunan dipraktikkan di lapangan. Deliberasi yang mendasar mengenai
pilihan-pilihan—atau jalur-jalur—penghidupan juga dapat menyingkap imbangan pertukaran-
pertukaran penting. Kita akan mendapatkan banyak pengetahuan dengan bertanya siapa punya
apa, siapa melakukan apa, siapa dapat apa, dan apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka
dapatkan?

Sekali lagi, dalam kasus penggembalaan, kami mengidentifikasi empat jalur


penghidupan di Tanduk Afrika, masing-masing berkaitan dengan dinamika akumulasi dan
reproduksi sosial (Catley et al. 2013). Seluruhnya berhubungan dengan kelas-kelas penggembala
yang berbeda: dari mereka yang secara mapan terlibat dalam sirkuit pasar kapitalis, hingga
kelompok yang mendirikan usaha atau menyediakan tenaga kerja dalam ekonomi ternak yang
tengah bertumbuh. Selebihnya, terdapat kelompok yang dipaksa mencari pilihan di luar
ekonomi ternak, dan sebagian tergelincir dalam kepapaan. Gambaran yang beragam mencuat,
dengan dampak besar terhadap bagaimana upaya-upaya pembangunan seharusnya
diprioritaskan dan dipahami. Melangkah melampaui kategori-kategori standar dan bias—baik
yang meromantisasi penggembalaan tradisional atau yang mengkritiknya—akan membantu kita
menyajikan debat mengenai masa depan yang beragam, masing-masing dengan konfigurasi
penghidupan yang berbeda, dan pada gilirannya akan berdampak terhadap dukungan layanan,
peluang bisnis, pembangunan infrastruktur dan kebijakan.

Kesimpulan

Sebuah pendekatan penghidupan yang dilengkapi dengan pertanyaan yang benar dan
pembauran metode yang cocok—dan kadar pengakuan terhadap bias yang memadai—dapat
menawarkan fokus debat dan deliberasi yang baru. Bahkan, pendekatan seperti ini bisa
menggeser perspektif kita dan menantang asumsi-asumsi kita, baik yang berkaitan dengan
pemahaman epistemologis (apa yang kita ketahui) dan ontologis (apa yang ada). Pemahaman
lebih mendalam yang berangkat dari sebuah analisis penghidupan kemudian dapat membantu
mengasupi informasi bagi persoalan-persoalan kebijakan lebih luas, antara lain misalnya
siapakah kaum miskin itu, di mana mereka tinggal, bagaimana kemiskinan dialami dan apa
yang dapat dilakukan untuk menguranginya?
Bab 9

Melibatkan Kembali Politik:


Tantangan-Tantangan Baru Bagi Perspektif Penghidupan

Nilai penting melibatkan kembali politik dalam analisis penghidupan menjadi tema yang
senantiasa muncul dalam buku ini. Sebagaimana dibahas di Bab 3, instrumentalisasi analisis
penghidupan, melalui pencaplokan kerangka penghidupan dalam debat dan pelaksanaan
program lembaga-lembaga bantuan, menunjukkan bahwa politik seringkali dikesampingkan
atau bahkan hilang. Mengingat posisi kunci institusi, organisasi dan kebijakan dalam analisa
penghidupan—dan peran kunci politik dalam membentuk proses-proses itu—telah tiba
waktunya untuk kita mendudukkan dan menyegarkan kembali dimensi politik dalam analisa
penghidupan.

Buku ini telah berusaha melakukannya dengan berbagai alat dan pendekatan
konseptual, dan mempertajam kerangka asli untuk menekankan aspek politik. “Melibatkan
kembali politik” tentu adalah slogan berguna, dicabar oleh Chantal Mouffe dalam bukunya yang
singkat dan memukau On the Political (2005). Dia dengan tegas menolak pendekatan simplistik
terhadap demokrasi partisipatif dan deliberatif, menekankan bahwa apa yang dia sebut sebagai
“politik yang menyakitkan”—konflik, argumen, debat, ketidaksepakatan, perseteruan—harus
selalu menjadi pusat bagi transformasi demokratis. Menantang posisi “pos-politik”, dia
menyatakan:

Pendekatan seperti itu keliru secara mendasar dan [pendekatan] itu, ketimbang
berkontribusi terhadap ‘demokratisasi demokrasi’, menjadi sumber bagi banyak masalah
yang saat ini dihadapi institusi-institusi demokrasi. Pemikiran-pemikiran seperti ‘
demokrasi non-partisan’, ‘tatakelola pemerintahan yang baik’, ‘masyarakat sipil global’,
‘kedaulatan kosmopolitan’, ‘demokrasi absolut’—menyebutkan hanya beberapa dari
sekian banyak istilah yang kini sedang naik daun—seluruhnya mengambil bagian dalam
visi anti-politik yang menolak mengakui dimensi antagonistik yang membentuk ‘politik’.
Itikad mereka adalah menciptakan dunia yang ‘melampaui kiri dan kanan’, ‘melampaui
hegemoni’, ‘melampaui kedaulatan’ dan ‘melampaui antagonisme’. Hasrat-hasrat seperti
itu menyingkap ketakpahaman tentang apa yang dipertaruhkan di dalam politik
demokratis dan [ketakmengertian] tentang dinamika pembentukan identitas politik dan
… itu berkontribusi terhadap memburuknya potensi antagonistik yang sudah ada di
masyarakat. (Mouffe 2005: 1-2)

Tetapi di manakah letak politik semacam itu dalam analisis penghidupan yang telah
dipertajam? Saya ingin menekankan empat wilayah inti, masing-masing telah digarisbawahi di
berbagai titik pada bab-bab sebelumnya. Keempatnya adalah politik kepentingan, individual,
pengetahuan dan ekologi. Saya akan mengelaborasi secara ringkas masing-masing di bawah,
tetapi secara bersandingkan keempatnya menambahkan apa yang saya sebut sebagai
“melibatkan kembali politik” sebagai aspek sentral dalam analisa penghidupan. Di bagian akhir
bab ini, di ujung buku ini, saya akan membahas implikasi dari pendekatan yang lebih politis ini
terhadap penghidupan dan pembangunan desa bagi pengorganisasian dan tindakan.

Politik kepentingan

Kita tidak bisa menghindar dari fakta bahwa peluang-peluang penghidupan ditempa oleh
kepentingan dan politik struktural lebih luas yang dibentuk secara historis yang memengaruhi
siapa kita dan apa yang dapat kita lakukan. Bila anda membaca buku ini, mungkin anda hidup
berkecukupan, tentu anda berpendidikan, dan sangat punya peluang penghidupan yang bagi
banyak orang lain, dengan intelegensi dan kapasitas setara, hanya dapat diangankan.
Keistimewaan ini muncul dari lokasi kita, etnisitas, gender, kelas dan kekayaan yang kita warisi,
akses kita terhadap sumber daya, sejarah kita dan banyak lagi faktor lain. Politik kepentingan
menjadi pusat bagi fitur struktural yang menentukan hidup kita. Sebagaimana disebutkan oleh
Marx: “Orang membuat sejarah mereka sendiri, tetapi tidak melakukannya seperti yang mereka
kehendaki; mereka tidak membuatnya dalam situasi dimana mereka bisa memilih, tetapi dalam
situasi yang sudah ada, terberi dan diwariskan dari masa lalu.”

Maka, sebuah analisa terhadap konteks penghidupan, sebagaimana telah diulas,


seharusnya tidak dipaksakan ke dalam daftar pasif hal-hal yang dianggap ekternal yang
memengaruhi penghidupan lokal. Melainkan, analisa itu butuh langkah yang jauh lebih aktif
dalam melihat sejarah dan konfigurasi sejumlah kepentingan yang membentuk apa yang terjadi
(dan yang tidak terjadi). Hal ini muncul dari enam pertanyaan yang dibahas pada Bab 7 dan 8
yang membantu kita memahami strategi-strategi penghidupan lokal lewat lensa ekonomi
politik. Tetapi analisa ini juga menuntut perhatian kita atas pola politik kepentingan lebih luas
yang membentuk kebijakan dan institusi, dan kemudian memengaruhi akses terhadap aset
penghidupan dan pelaksanaan strategi-strategi penghidupan berbeda. Maka, analisa terhadap
proses kebijakan berfokus pada narasi dan jaringan aktor yang mengiringinya, yang terkait
dengan kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Demikian pula, perspektif yang terbentuk
secara sosial dan politik terhadap institusi sangat penting untuk memahami akses dan peluang
(Bab 4).

Pemahaman kita mengenai proses-proses ini harus diletakkan dalam kerangka ekonomi
politik lebih luas yang terbentuk secara historis di tempat tertentu. Dalam konteks kurun
globalisasi yang intensif di bawah neoliberalisme, pengangkangan sumberdaya untuk
penghidupan melalui komodifikasi dan finansialisasi lumayan terdokumentasikan—baik berupa
lahan pertanian, dan serbuan investasi terhadapnya (lihat Bab 5), maupun alam itu sendiri,
melalui akuisisi karbon, keanekaragaman hayati atau hak-hak jasa ekosistem. Penetrasi kapital
dan politik kepentingan lebih luas yang mengiringi proses ini punya dampak penting terhadap
penghidupan di seluruh dunia. Pertanyaan dasar seperti siapa punya apa dan siapa dapat apa
menjadi senantiasa relevan. Dengan begitu, setiap analisis penghidupan sentiasa berakar pada
ekonomi politik lebih luas, meletakkan pemahaman mikro akan strategi-strategi penghidupan
di tempat tertentu dalam perspektif yang lebih luas ini.
Politik Individual

Analisis struktural, historis dan ekonomi politik seperti itu sangat esensial di satu level resolusi,
tetapi perhatian terhadap individu-individu yang membentuk sistem penghidupan juga sangat
penting di level lain. Di berbagai bagian buku ini, saya menekankan pendekatan berorientasi-
aktor dan pentingnya memahami agensi, identitas dan pilihan ketika memikirkan tentang
penghidupan. Menelusuri hingga apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh individu-
individu merupakan bagian penting dalam analisis penghidupan. Berfokus pada perilaku, emosi
dan respons individu—ketimbang melakukan agregat dan homogenisasi—dapat membantu
untuk memahami kenyataan beragam penghidupan. Kesejahteraan muncul, sebagaimana kita
lihat pada Bab 2, dari keberagaman sumber daya. Tentu saja faktor-faktor material sama
pentingnya dengan aspek-aspek sosial, psikologis dan emosional.

Dunia yang kita tinggali, identitas dan subyektifitas kita, berikut pengalaman kita sangat
penting menentukan siapa kita dan dan apa yang kita lakukan. Ini berhubungan dengan politik
yang sangat personal yang sejalan dengan struktur ekonomi politik yang kita diskusikan di atas.
Contoh, politik tubuh, gender dan seksualitas dikondisikan dan dibentuk oleh kekuatan-
kekuatan berdaya jangkau luas ini (struktur ekonomi politik), tetapi politik-politik ini tetap
sangat personal, terbungkus dalam identitas tertentu. Saya telah menyinggung nilai penting
istilah Nancy Fraser (2003) “politik pengakuan” bersama perhatian lebih tradisional kajian-
kajian penghidupan terhadap politik akses, kontrol dan redistribusi.

Penekanan terhadap politik individual, meski tidak melupakan proses-proses politik


lebih luas, merupakan tahap penting lain untuk mengembalikan politik ke dalam analisis
penghidupan. Maka, merajut penelisikan ini ke dalam pemahaman kita tentang institusi (lihat
Bab 4) atau definisi kita mengenai hasil-hasil penghidupan (lihat Bab 2) dapat secara mendasar
mengayakan dan memperdalam analisis kita. Perspektif semacam ini meneropong individu,
politik kehidupan, gaya hidup dan penghidupan yang personal, dengan cara yang sering
dilewatkan oleh kerangka-kerangka teknis dan instrumental. Bahkan, cerita-cerita personal,
kesaksian, sejarah afektif dan etnografi yang mendalam (Bab 8), seluruhnya diasupi oleh politik
individual, dapat meluaskan, menantang dan memberagamkan wawasan kita.

Politik Pengetahuan

Politik pengetahuan dirajut melalui seluruh diskusi tentang penghidupan pada bab-bab
sebelumnya. “Pengetahuan siapa yang dipertimbangkan?” menjadi pertanyaan kunci dalam
setiap analisis. Robert Chambers (1997a), misalnya, bertanya “realitas siapa yang kita
perhatikan?” Versi penghidupan siapa yang dianggap valid dan mana yang dilihat sebagai
sempalan dan butuh perubahan, punya dampak besar terhadap kebijakan. Banyak dari
pemikiran tentang penghidupan disusupi asumsi-asumsi tentang apa saja yang membentuk
penghidupan yang baik. Seorang petani pemilik lahan juga yang membanting tulang dilihat oleh
banyak kalangan sebagai orang yang lebih berharga ketimbang orang yang mencari hidup
dengan mengumpulkan sampah, berburu atau pekerja seksual, misalnya. Petani yang
menggarap lahan sendiri mungkin dilihat lebih berharga ketimbang buruh yang mereka
pekerjakan, yang kadang tidak terlihat dan kurang dihargai. Usaha yang terspesialisasi dan
terfokus secara profesional menciptakan penghidupan tunggal oleh sebagian kalangan dianggap
lebih unggul ketimbang penghidupan yang dibentuk dari beraneka ragam sumber, dan
memadukan sekian banyak keterampilan dan koneksi di banyak tempat. Pembentukan
kerangka penghidupan, dengan demikian, menjadi penting bagi setiap analisis, juga untuk
menggeledah dan mempertanyakan tekanan-tekanan institusional dan kebijakan yang
membentuknya (Jasanoff 2004).

Politik pengetahuan juga bermain dalam cara kita mengukur, menghitung, menilai,
mengevaluasi dan memvalidasi penghidupan dalam metodologi penghidupan. Sebagaimana
didiskusikan pada Bab 2, ada berbagai cara yang sama validnya untuk mengkaji hasil-hasil
penghidupan. Tidak ada satu pilihan yang superior, atau yang lebih “benar” daripada yang lain.
Ini semua bergantung pada posisi normatif, asumsi-asumsi disiplin ilmu dan konteks
analisisnya. Tetapi dalam hierarki disiplin dan profesi yang memengaruhi perkembangan
penelitian dan praktik, politik pengetahuan sering beroperasi dengan cara tertentu sehingga
menjadikan indikator-indikator sempit, kuantitatif dan terukur sebagai yang paling valid. Versi
pengetahuan seperti ini mendominasi lingkaran kebijakan, juga didanai, diakreditasi dan
diterima sebagai yang valid.

Analisis penghidupan, dengan pendekatannya yang pada intinya berwatak lintas-


disiplin, multi-sektor dan terpadu, harus senantiasa menantang asumsi-asumsi seperti di atas
dan mencari cara untuk memadukan berbagai pendekatan. Analisis penghidupan juga harus
menangkap berbagai bentuk pengetahuan dengan melibatkan kerangka-kerangka epistemologis
yang berbeda. Bagi analisis penghidupan, pendekatan berbasis disiplin ilmu yang sempit jelas
tidak memadai dan kurang afektif daripada pendekatan yang terbuka bagi berbagai bentuk
pengetahuan dari perspektif-perspektif berbeda. Mitos tentang keketatan dan validitas ilmiah
yang membungkus versi pengetahuan yang lebih sempit disokong dan dipertahankan oleh
politik pengetahuan tertentu. Nyatanya, dengan melakukan triangulasi melintasi berbagai
bentuk pengetahuan dari perspektif berbeda, kita dapat menguatkan keketatan ilmiah dan
melebarkan wawasan (Bab 8).

Memasukkan deretan wawasan ke dalam dilema penghidupan yang berasal dari


berbagai perspektif merupakan aspek inti bagi setiap analisis penghidupan. Mencari siapa yang
miskin, rentan, tersembunyi dan tak tampak; menantang bias-bias klasik pembangunan
pedesaan dan menjadi awas terhadap asumsi-asumsi normatif mengenai yang baik dan buruk,
yang menuntun perspektif kita, seluruhnya merupakan tantangan-tantangan yang penting
diperhatikan. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak dapat memperdengarkan suara?
Ketika menimbang isu-isu keberlanjutan penghidupan, generasi masa depan menjadi vital dan
harus diusahakan terlibat dalam dialog, sebagai bagian dalam menegosiasikan jalur-jalur
menuju keberlanjutan (Bab 5).

Politik Ekologi

Dalam kurun perubahan lingkungan yang berlangsung cepat, serta menghadapi serangkaian
tantangan bagi keberlanjutan secara lokal dan global yang secara langsung berdampak terhadap
penghidupan, baik dalam bentuk perubahan iklim, perluasan kawasan perkotaan, penggunaan
air atau polusi beracun, kita harus memerhatikan politik ekologi. Sebagaimana diulas di Bab 5,
pendekatan ekologi politik dalam analisis penghidupan telah lama menjadi bagian dari kerja
intelektual yang lebih luas. Pasal yang penting dikemukanan adalah bahwa ekologi dan politik
punya hubungan timbal-balik: ekologi membentuk politik dan politik membentuk ekologi.
Mengabaikannya akan membuat kita membayar mahal.

Penghidupan ditempa oleh berbagai macam konteks ekologis yang dinamis. Tidak ada
bentang alam yang perawan, kosong, stabil dan berada di titik keseimbangan sempurna
(equilibrium). Penghidupan harus merespons lingkungan yang beraneka ragam dan terus
berubah baik secara mendadak maupun dalam jangka panjang, serta menghadapi pola-pola
ambang batas dan titik peralihan (tipping point). Kita harus awas terhadap deretan
keterbatasan dan tapal batas, serta bagaimana menegosiasikan dan mentransformasi mereka,
baik secara politik maupun sosial. Keberlanjutan penghidupan harus memerhatikan proses
negosiasi yang liat, responsif dan terasupi informasi ini. Upaya ini termasuk mengusahakan
inovasi dan transisi teknis dan sosial yang memungkinkan berbagai tujuan diwujudkan
sekaligus—tanpa melampaui batas-batas ekologis dan mempertahankan penghidupan di dalam
ruang gerak yang aman, tetapi juga mempertahankan peluang-peluang penghidupan secara adil
dan merata. Ini jelas merupakan tugas politis dengan imbangan pertukaran antara peluang
penghidupan dan batas-batas ekologis harus dinegosiasikan di berbagai skala dan antar-
generasi. Ini butuh penyeimbangan arah perubahan dan keberagaman kegiatan penghidupan,
dan bagaimana semuanya didistribusikan.

Dalam konteks globalisasi, yang memunculkan jaringan-jaringan transnasional yang


membentuk penghidupan seperti dibahas pada Bab 4, analisis harus melintasi skala, tempat dan
jaringan. Ini membutuhkan ekologi politik global yang juga mengarahkan perhatian pada
pertarungan-pertarungan lokal dan bentuk-bentuk perlawanan, serta menimbang
persimpangan keduanya dengan gerakan-gerakan dan aliansi global yang mengaitkan perhatian
terhadap penghidupan dengan lingkungan dan keadilan sosial (Martinez-Alier et al. 2014;
Martinez-Alier 2014).

Politik Penghidupan Baru

Melibatkan empat dimensi ini (dan tentunya dimensi lain), politik penghidupan baru dapat
diciptakan. Perspektif baru ini menantang dan meluaskan pendekatan-pendekatan
penghidupan yang sudah jamak dalam pembangunan pedesaan, khususnya sejak 1990-an.
Perspektif ini menyuntikkan sejumlah aspek baru ke dalam analisis penghidupan,
mengusahakan keketatan dan kedalaman lebih. Perspektif ini juga mencoba menghindari
instrumentalisme yang menyederhanakan yang terdapat dalam versi-versi sebelumnya, tanpa
berakhir dengan sebuah pendekatan yang tidak dapat dipahami dan mustahil diterapkan.
Dengan tidak hanya merespons kebutuhan birokratis bisnis bantuan, konseptualisasi yang
politis dan telah dipertajam itu memungkinkan penciptaan ekonomi politik yang praktis, yang
berfokus pada perubahan nyata di tingkat lokal namun tidak melupakan politik struktural dan
institusional lebih luas yang menempa kondisi dan kemungkinan-kemungkinan.
Pendekatan penghidupan diperluas yang dicabar dalam buku ini menghendaki perhatian
lebih terhadap yang lokal dan partikular, mengapresiasi kerumitan masyarakat di tempat-
tempat tertentu. Tetapi ini harus dilengkapi dengan pemahaman mengenai dinamika struktural
dan relasional yang lebih luas yang membentuk lokalitas dan penghidupan. Ini merupakan
tantangan untuk bergerak melintasi berbagai skala, dari mikro ke makro, tetapi terkhusus
antar-kerangka analitis: antara yang terperinci dan empiris (dengan banyak faktor penentu) dan
yang lebih konseptual dan terteorikan (yang konkrit). Dalam pendekatan klasik terhadap
metode dalam ekonomi politik ini, bolak-balik antar-skala dan kerangka merupakan hal
penting, dan mengungkap cara proses politik menstrukturkan dan membentuk apa yang
mungkin dan yang tidak, dan untuk siapa. Maka, perubahan harga komoditas, peralihan
perimbangan pertukaran, pembiayaan invenstasi pertanian, dan kesepakatan-kesepakatan
politis di tempat yang jauh akan membawa dampak pada pola penghidupan di berbagai konteks
lokal. Pada gilirannya, ini akan memberi efek pada proses diferensiasi sosial, pola pembentukan
kelas dan relasi gender—dan dengan demikian pada penghidupan.

Sebuah posisi normatif yang berpihak kepada kaum terpinggirkan, kehilangan dan
miskin, dan yang menegaskan sebuah cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bagi semua,
juga memungkinkan kita meletakkan pendekatan penghidupan dalam proyek politik lebih luas.
Hal ini punya ikatan dengan perjuangan lain untuk merebut hak atas pangan, tanah, rumah dan
sumber daya alam, di mana penghormatan, martabat dan pengakuan terhadap berbagai
identitas dan kemungkinan penghidupan menjadi titik pusat perjuangan. Sebuah hak atas
penghidupan berkelanjutan adalah sesuatu yang berharga untuk diperjuangkan, dan buku ini
saya harap dapat membantu mengerangkakannya secara intelektual.

Perjuangan atas hak, selayaknya dipimpin oleh rakyat dan pergerakan mereka, butuh
perspektif analitis yang memasok informasi, memperdalam dan kadang menantang. Membuat
kerangka konseptual dan metode lalu menghubungkannya dengan berbagai kepustakaan dan
contoh-contoh lapangan menjadi bagian penting di dalamnya, dan merupakan sesuatu yang
hendak diusahakan oleh buku ini, sekalipun secara ringkas. Ini bukan sekadar kerja akademis,
dalam makna pejoratif. Meskipun buku ini lebih memihak kepada mahasiswa dan praktisi yang
terlibat secara kritis, masih tersisa kerja penerjemahan dan penyebarluasan untuk melebarkan
jangkauan pemikiran dalam buku ini dalam bentuk yang lebih mudah diakses, lebih populer,
melekatkannya pada contoh-contoh relevan di tempat-tempat dan perjuangan yang berbeda.
Saya berharap pembaca buku ini, di mana pun anda, akan menjalankan tahapan lanjut itu.

Anda mungkin juga menyukai