Deretan perspektif dalam kajian penghidupan menjadi kian penting dalam diskusi mengenai
pembangunan pedesaaan sejak beberapa dekade lalu. Buku kecil ini menawarkan sebuah
tinjauan umum mengenai debat-debat ini, meletakkan mereka dalam kerangka kajian
perubahan agraria yang lebih luas dan menggeledah dampak-dampaknya terhadap penelitian,
kebijakan dan praktik. Sebuah buku singkat yang mengulas sebuah gagasan besar, daya
cakupnya tidak mungkin paripurna. Tujuan saya adalah untuk menawarkan seranai pandangan
dan perspektif untuk membantu menggerakkan debat-debat mengenai penghidupan,
pembangunan pedesaan dan perubahan agraria.
Kajian yang berfokus pada penghidupan tentu bukan sesuatu yang baru. Perspektif
terpadu, holistik dan ‘dari-bawah’ yang berusaha memahami apa yang orang lakukan untuk
mengusahakan penghidupan di konteks sosial dan situasi berbeda telah menjadi perhatian
dalam pemikiran dan praktik pembagunan pedesaan selama banyak dekade. Dari kerja-kerja
lapangan di masa kolonial hingga pembangunan pedesaan terpadu sampai kebijakan bantuan
masa kini, penghidupan telah menawarkan cara mengintegrasikan kerja-kerja sektoral dan
mendasari banyak upaya di tingkat lokal. Kini, pemikiran tentang penghidupan diperbaharui
kembali untuk menghadapi tantangan-tantangan baru, termasuk adaptasi perubahan iklim,
pengurangan risiko bencana, perlindungan sosial dan lainnya.
Gambar 1.1 dan 1.2 menunjukkan grafik jumlah penggunaan istilah “penghidupan” dan
“penghidupan berkelanjutan” dalam buku dan artikel jurnal dalam kurun tertentu. Tampak
peningkatan penggunaan keduanya, utamanya sejak 1990-an.
Gambar 1.2 Jumlah terbitan dengan kata ‘penghidupan’ (livelihoods) dan frasa
‘penghidupan berkelanjutan’ (sustainable livelihoods) dalam artikel
jurnal 1994-2013 (dari Thomson Reuters Web of Science).
Sejumlah Pemikiran tentang Penghidupan
Terlepas dari sejumlah klaim mengenai silsilah pemikiran mengenai penghidupan, perspektif-
perspektif penghidupan tidak muncul tiba-tiba pada 1992 bersama terbitnya makalah
berpengaruh Robert Chamber dan Gordon Conway. Jauh sebelum itu, perspektif penghidupan
lintas disiplin punya sejarah yang kaya dan penting, dapat ditelusuri hingga jauh ke belakang
dan telah memengaruhi pemikiran dan praktik secara mendasar.
Pada 1820-an, William Corbett menjelajahi Inggris bagian selatan dan tengah dengan
menunggang kuda sembari melakukan“pengamatan langsung terhadap kondisi pedesaan”
untuk merumuskan dasar kampanye politiknya, seluruhnya terdokumentasi dalam catatan
perjalannya, “Menunggang Kuda di Pedesaan” (Rural Rides) (Corbett 1885). Dalam buku ini
saya juga akan mengajukan argumen bahwa Karl Marx dalam risalah klasiknya mengenai
metode ekonomi politik kritis, Grundrisse (Marx 1973), mengajukan elemen-elemen kunci dari
sebuah pendekatan penghidupan. Kajian-kajian geografi dan antropologi sosial awal juga
menelisik “penghidupan” atau “cara hidup” (cf. Evan Pritchard 1940, Vidal de la Bache 1911;
lihat Sakdapolorak 2014). Karl Polanyi yang meneliti hubungan antara masyarakat dan pasar
dalam transformasi ekonomi (1944), sedang mengerjakan sebuah buku, “Penghidupan
Manusia” (The Livelihood of Man), ketika ia meninggal (Polanyi 1977; lihat Kaag et. al. 2004).
Pada 1940-an dan 1950-an karya-karya Rhodes-Livingstone Institute di negara yang kini
menjadi Zambia memuat apa yang kini dapat kita sebut sebagai analisis penghidupan. Karya-
karya ini melibatkan kolaborasi antara ahli ekologi, antropologi, pertanian dan ekonomi yang
melihat sistem-sistem di pedesaan yang tengah berubah dan tantangan-tantangan
perkembangannya (Werbner 1984; Fardon 1990). Meski tidak dinamai demikian, karya-karya
ini melibatkan analisis penghidupan—analisis terpadu, lokal, lintas-sektor, diasupi oleh
keterlibatan mendalam di lapangan dan komitmen untuk melakukan tindakan.
Tentu itu tidak berlaku umum, ada beberapa kontribusi penting yang lebih bernuansa
ditawarkan para ekonom dan pemikir Marxis, khususnya di bidang ekonomi pertanian dan
geografi. Tradisi kajian pedesaan merupakan alternatif penting dan berbasis empiris bagi
analisis-analisis ekonomi pedesaan lain (Lipton dan Moore 1972; Harris 2011). Di India,
misalnya, serangkaian kajian klasik meneliti beragam macam dampak Revolusi Hijau (Farmer
1977; Walker dan Ryan 1990). Dalam banyak aspek, kajian-kajian ini merupakan kajian
penghidupan, meskipun berfokus pada ekonomi-mikro produksi unit pertanian dan pola
akumulasi rumah tangga. Ketika mengembangkan pendekatan berorientasi-aktor dalam Aliran
Wageningen, Norman Long merujuk pada strategi-strategi penghidupan di lokasi studinya pada
masa itu, Zambia (Long 1984; lihat De Haan dan Zoomers 2005). Pada masa bersamaan, dari
tradisi teoritis lain, studi lapangan seperti kajian klasik perubahan pedesaan di utara Nigeria
oleh Michael Watts (1983), Silent Violence (Kekerasan Senyap), menawarkan wawasan-
wawasan penting dalam melihat pola-pola perubahan penghidupan.
Rentetan studi ini menjadi inspirasi bagi lebih banyak ragam kajian yang muncul
kemudian. Terbangun di atas kajian-kajian pedesaan, deretan kajian mengenai rumah tangga
dan sistem cocok tanam (farming) menjadi bagian penting dari penelitian pembangunan pada
1980-an (Moock 1986), khususnya yang berfokus pada dinamika di dalam rumah tangga (Guyer
dan Peters 1987). Penelitian sistem cocok tanam didorong di banyak negara, dengan itikad
untuk menemukan perspektif sistem yang lebih terpadu mengenai persoalan-persoalan
bercocok tanam. Kemudian, analisis agro-ekosistem (Conway 1985) dan pendekatan-
pendekatan kaji cepat dan partisipatif pedesaan (Chambers 2008) memperbanyak metode dan
gaya kerja di lapangan.
Kajian-kajian yang berfokus pada penghidupan dan perubahan lingkungan juga punya
peran penting. Mengingat pentingnya ekologi yang dinamis, sejarah dan perubahan jangka
panjang, gender dan diferensiasi sosial dan konteks budaya, pada kurun itu para ahli geografi,
antropologi dan ekonomi-sosial menghasilkan serangkaian analisis yang kaya dan berpengaruh
mengenai kawasan pedesaan.1 Hal ini mendefinisikan bidang kajian lingkungan dan
pembangunan, serta penghidupan yang berada di bawah tekanan, dengan fokus pada strategi
hadap-masalah (coping) dan adaptasi penghidupan.
Kajian-kajian ini dalam banyak hal bersimpangan dengan kajian-kajian geografi politik
Marxis, tetapi punya jalur intelektual sendiri yang kelak bernama “ekologi politik”.2 Pada
dasarnya ekologi politik berfokus pada titik-simpang antara kekuatan-kekuatan politik
struktural dan dinamika ekologis, meski ada banyak percabangan dan variasi. Ekologi politik
sebagian dicirikan oleh komitmennya terhadap kerja lapangan di level mikro, dengan
pemahaman yang melekat pada realitas-realitas yang rumit tampak pada berbagai ragam
penghidupan, namun tetap dihubungkan dengan isu-isu makro-struktural.
1 Misalnya, untuk Afrika, Richards 1985; Mortimore 1989; Davies 1996; Fairhead dan Leach 1996;
Scoones et al. 1996; Mortimore dan Adams 1999; Francis 2000; Batterbury 2001; Homewood 2005; di
antara banyak lainnya termasuk para perintis dalam tradisi ekologi budaya, seperti Rappaport 1967 dan
Netting 1968.
2 Lihat Blaikie 1985; Blaikie dan Brookfield 1987; Robbins 2003; Forsyth 2003; Peet dan Watts 1996,
2004; Peet et al. 2010; Zimmerer dan Bassett 2003; Bryant 1997.
guncangan dan tekanan lingkungan berjangka panjang. Istilah “keberlanjutan” menjadi penting
menyusul terbitnya laporan Brundtland pada 1987 (WCED 1987) dan menjadi pusat perhatian
kebijakan seusai Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada
1992 (Scoones 2007). Agenda pembangunan berkelanjutan sering secara kikuk digandengkan
dengan isu-isu penghidupan yang mengedepankan masyarakat lokal (ciri penting Agenda 21),
dan perhatian global terhadap isu-isu lingkungan (tertulis dalam konvensi-konvensi mengenai
perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan sains keberlanjutan) (Folke et. al. 2002;
Gunderson dan Holling 2002; Clarke dan Dickson 2003; Walker dan Salt 2006).
Minat atas penghidupan meluas sejak akhir 1980-an, yang menghubungkan tiga kata:
berkelanjutan, desa dan penghidupan.4 Penggandengan tiga kata ini dikenal muncul pada 1986
di sebuah hotel di Genewa, Swiss, dalam sebuah diskusi tentang laporan Pangan 2000 yang
dibuat untuk Komisi Bruntland.5 Dalam laporan tersebut M.S. Swaminathan, Robert Chambers
dan kolega mereka menyajikan sebuah visi tentang pembangunan berorientasi-rakyat yang
menjadikan kenyataan yang dihadapi warga miskin pedesaan sebagai pijakannya (Swaminathan
et. al. 1987). Ini menjadi tema yang kuat dalam karya-karya Robert Chambers, dan khususnya
pada bukunya yang sangat berpengaruh Rural Development: Putting the Last First
(Pembangunan Desa: Mengedepankan yang Dibelakangkan) (Chambers 1983). Buku ini sendiri
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman Chambers sebelumnya sebagai seorang pegawai
distrik dan manajer sebuah penelitian terpadu (Cornwall dan Scoones 2011). Pada 1987, di
bawah arahan visioner Richard Sandbrook, International Institute for Environment and
Development (Institut Internasional Lingkungan dan Pembangunan) menyelenggarakan sebuah
konferensi mengenai penghidupan berkelanjutan (Conroy dan Litvinoff 1988). Dan Chambers
menulis sebuah tinjauan umum (1987).
3
Termasuk, dalam kepustakaan berbahasa Perancis, kajian-kajian mengenai systemes agraires (cf.
Pelissier 1984; Gaillard dan Sourisseau 2009).
4 Koleksi ini diambil dari Scoones 2009.
5 Wawancara Robert Chambers; meskipun dia menyebutkan bahwa ada sejumlah pendahulu (yang
beragam), seperti esai untuk Pertemuan Tingkat Menteri Negara-Negara Persemakmuran berjudul
Policies for Future Rural Livelihoods (Kebijakan untuk Penghidupan Pedesaan di Masa Depan).
Tetapi baru pada 1992, ketika Chambers dan Conway menghasilkan sebuah kertas kerja
untuk Institute of Development Studies, definisi penghidupan berkelanjutan yang kini banyak
digunakan baru dirumuskan. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
Sebuah penghidupan terdiri dari kapabilitas [atau kesanggupan], aset (termasuk sumber-sumber
material dan sosial) dan kegiatan mencari nafkah. Sebuah penghidupan dapat disebut
berkelanjutan bila dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, mempertahankan
atau menguatkan kapabilitas dan aset, sembari tidak menyusutkan basis sumber daya alam.
(Conway dan Chambers 1992: 6)6
Kertas kerja ini dianggap sebagai titik berangkat bagi apa yang kelak dikenal pada 1990-
an sebagai “pendekatan penghidupan berkelanjutan”. Pada masa itu, tujuannya sederhana saja
dan muncul dari pembicaraan dua penulisnya. Keduanya melihat pentingnya kaitan antara
perspektif mereka “mengedepankan yang diterbelakangkan” dalam praktik pembangunan
(Chambers 1983) dengan analisis agro-ekosistem dan tantangan-tantangan pembangunan
berkelanjutan yang lebih luas (Conway 1987). Kertas kerja ini dibaca luas7 tetapi pada masa itu
tidak berdampak langsung pada pemikiran pembangunan arus utama.
Deretan argumen mengenai pengetahuan dan prioritas masyarakat lokal dan perhatian
sistematis terhadap keberlanjutan tidak cukup punya daya tarik dalam debat-debat sengit
mengenai reformasi ekonomi dan kebijakan neoliberal pada masa itu. Terlepas dari buku-buku
dan artikel yang memuat kritik pedas, pembelokan menuju neoliberal pada 1980-an telah
berhasil menyusutkan rangkaian debat mengenai alternatifnya. Diskusi di seputar penghidupan,
lapangan kerja dan kemiskinan mencuat di sekitar Pertemuan Puncak untuk Pembangunan
Sosial (World Summit for Social Development) Kopenhagen pada 1995,8 tetapi pendekatan
penghidupan tetap berada di pinggiran. Tentu saja, aspek argumen partisipasi untuk
keterlibatan pihak lokal dan fokus terhadap penghidupan ditempelkan ke paradigma neoliberal,
bersama narasi tentang pengurangan peran negara dan kebijakan berorientasi permintaan
(pasar). Tetapi bagi sebagaian kalangan, kecenderungan ini menyulap ‘partisipasi’ menjadi
tirani baru (Cooke dan Kothari 2001). Dengan cara serupa, debat mengenai keberlanjutan
menjadi bagian pelengkap bagi solusi-solusi berorientasi-pasar dan tatakelola global lingkungan
yang bersifat dari-atas dan instrumental (Berkhout et. al. 2003). Perhatian terhadap
penghidupan, dinamika lingkungan dan pembangunan yang menyasar kemiskinan masih
bertahan di pinggiran.
Tetapi semua ini berubah pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Solusi-solusi baku
Konsensus Washington mulai mendapat tantangan—di jalanan, seperti Battle of Seattle pada
pertemuan tingkat menteri WTO 1999; dalam debat-debat yang digelar oleh gerakan-gerakan
sosial di World Social Fora (sejak 2001 di Porto Alegre); dan dalam debat-debat akademik,
termasuk dalam ilmu ekonomi (sejak Amartya Sen dan Joseph Stiglitz). Konsensus Washington
juga mendapat tantangan di negara-negara dengan ekonomi yang mengalami kemerosotan
seusai melakukan reformasi ekonomi versi neoliberal, dan kemampuan pemerintah mereka
mengalami penurunan selama reformasi itu berlangsung. Di Inggris, pemilihan umum 1997
9 www.dfid.gov.uk/Pubs/files/whitepaper1997.pdf
mengaitkan input (modal, aset, atau sumber daya) dan keluaran (strategi-strategi
penghidupan). Ini kemudian dihubungkan dengan hasil (outcomes) penghidupan yang
menggandengkan kajian-kajian yang sudah akrab bagi para ekonom (semisal garis kemiskinan
dan tingkat penyerapan tenaga kerja) dengan kerangka-kerangka lebih luas (seperti
kesejahteraan dan keberlanjutan) (lihat Bab 2). Masing-masing kerangka ini dilihat sebagai
sesuatu yang dimediasi oleh proses-proses sosial, institusional dan organisasional.
Kata-Kata Kunci
Untuk membantu memahami debat ini, Gambar 1.3 menyajikan ‘awan kata’ (word
cloud) dari artikel klasik Chambers dan Conway (1992) tentang penghidupan berkelanjutan.
Gambar 1.3 Awan kata berdasar karya Chambers dan Conway (1992), diproses
dengan Wordle hanya menggunakan teks inti, dengan sebagian kata penghubung
dihilangkan
Pertanyaan-Pertanyaan Kunci
Akan tetapi buku ini bukan tentang kecenderungan di dalam birokrasi bantuan atau pergerakan
fesien di dunia akademis, atau pelipatgandaan penerapan pendekatan ini di latar yang beraneka
ragam. Buku ini berkonsentrasi pada beberapa pertanyaan konseptual dasar yang sangat
penting untuk memahami konteks pedesaan dan perubahan agraria. Lewat buku ini saya juga
menyarankan bahwa pendekatan-pendekatan penghidupan, meminjam dari tetapi juga
melebarkan aplikasi yang telah dibahas sejauh ini. Juga bahwa pendekatan-pendekatan ini
punya peran penting sebagai alat untuk memahami dan menjadi dasar bagi tindakan.
Penghidupan di latar apa pun sangat rumit dan punya banyak dimensi. Penghidupan
desa tentu melampaui usaha tani dan cocok tanam hingga mencakup kegiatan di luar lahan
pertanian, meliputi seluruh lapangan kerja pedesaan. Kaitan dengan wilayah perkotaan dan
migrasi juga penting. Penghidupan dikonstruksi sebagai sebuah ‘gudang konsep’ yang rumit
(Chambers 1995) atau bricolage (Cleaver 2012; Batterbury 1999; Croll dan Parkin 1992),
pembauran elemen-elemen berbeda di antara masyarakat dan di sepanjang waktu dan ruang.
Sebagian orang melakukan spesialisasi, sementara sebagian lagi diversifikasi: dirujuk oleh
Chambers sebagai “rubah dan landak” (Chambers 1997a).
Sebagaimana dijelaskan Henry Bernstein (2009: 73), banyak orang harus mengusahakan
penghidupan
melalui kerja upahan yang rentan, menindas dan kian ‘terinformalisasi’ dan/atau
berbagai macam aktivitas ‘sektor informal’ (‘bertahan hidup’) yang berskala kecil dan
rentan, termasuk bercocok tanam; ini menghasilkan berbagai jenis kombinasi rumit
antara lapangan pekerjaan yang tersedia dan yang harus diciptakan sendiri. Banyak dari
orang miskin yang bekerja melakukan hal ini di banyak tempat dengan beragam sistem
pemilahan kerja: perkotaan dan pedesaan, pertanian dan non-pertanian, serta kerja
upahan dan kerja mandiri. Hal ini menganulir asumsi warisan mengenai gagasan (dan
‘identitas’) ‘buruh’, ‘pedagang’, ‘perkotaan’, ‘pedesaan’, ‘bekerja’, ‘bekerja-mandiri’.
Frank Ellis (2000) menekankan pentingnya melihat penghidupan pedesaan sebagai serentang
ragam strategi, bercocok tanam hanya salah satu di dalamnya, berbeda-beda di antara dan
dalam masing-masing keluarga. Di latar yang mengalami perubahan agraria, ekonomi pedesaan
non-pertanian semakin penting seiring dipadukannya produksi pertanian dan kegiatan lain
(Haggblade et al. 2010). Aliran sumber daya dari luar pedesaan dalam bentuk remitansi
(kiriman dari para perantau) juga sangat penting, demikian pula dengan perubahan pola
migrasi, terhubung dengan daerah perkotaan, dan meluasnya diaspora global (McDowell dan
DeHaan 1997). Seiring terjadinya perubahan ekonomi lebih luas, wilayah pedesaan pun
mengalami perubahan. Bersama perubahan ini muncul pula pola de-agrarianisasi (Bryceson
1996), kelas-kelas pekerja ‘lepas’ (footloose) (Breman 1996) dan pengurangan penduduk di
kawasan-kawasan tertentu, dengan kelompok-kelompok tertentu bergerak ke kota-kota atau
wilayah lain sementara kelompok lain ditinggal di desa (Jingzhong dan Lu 2011). Di sebagian
wilayah pedesaan, kegiatan-kegiatan ekonomi baru seperti eksploitasi mineral (Bebbington et
al. 2008) atau investasi perkebunan berskala besar (White et al. 2012) menghasilkan perubahan
besar-besaran dalam peluang penghidupan, ketika para petani kecil terpaksa beralih ke kerja
upahan. Ke manapun kita memalingkan pandangan, utara atau selatan, kita akan melihat
perubahan struktural besar-besaran di pedesaan yang digerakkan oleh perubahan ekonomi.
Semuanya membentuk ulang penghidupan secara dramatis. Sehingga menjadi penting bagi
sebuah pendekatan penghidupan untuk mengakui kekhususan kontekstual penghidupan
tertentu dan menghubungkannya dengan faktor penggerak struktural yang lebih luas. Ini
merupakan argumen utama dalam sebuah buku teks Universitas Terbuka yang luar biasa
namun sering terlewatkan, Rural Livelihoods: Crises and Responses, disunting oleh Henry
Bernstein, Ben Crow dan Hazel Johnson, terbitan tahun 1992.
Bagi latar tertentu, kita perlu bertanya, “penghidupan apa saja yang sedang kita
bicarakan?”, sehingga, meminjam dari penulis buku anak-anak yang terkenal Richard Scarry,
jelajahi “apa yang dilakukan orang sepanjang hari?” Kita pun perlu menelisik “penghidupan
siapa?” sehingga dapat mengulas relasi sosial dan proses-proses pemilahan sosial. Kita juga
perlu bertanya “di mana penghidupan dapat diperoleh?” untuk melihat soal-soal ekologi,
geografi dan teritori. Kita perlu menjelajahi dimensi temporal, bertanya tentang musim dan
variasi tahunan. Dan mungkin di atas semuanya, kita perlu melampaui kajian deskriptif untuk
bertanya mengapa penghidupan tertentu memungkinkan dan yang lainnya tidak. Ini butuh
pemahaman akan penyebab yang lebih luas seperti pemiskinan, penundukan dan peminggiran,
tetapi juga butuh pemahaman tentang peluang dan usaha, dan dengan itu proses-proses
institusional dan politik yang memengaruhi hasilnya (O’Laughlin 2004).
Deretan pertanyaan ini tidak sederhana. Pertanyaan-pertanyaan ini mengangkat isu inti
ekonomi politik agraria yang telah dijelajahi Marx, Lenin, Kautsky dan lainnya, dan karena itu
sejumlah pertanyaan klasik tentang bagaimana kelas-kelas agraria muncul dan bagaimana
hubungan antar-kelompok di bawah kondisi ekonomi politik berbeda berefek terhadap
kehidupan manusia (Bernstein 2010a, b). Di Bab 6, saya menyarankan kebutuhan untuk
menautkan tradisi lama ini dengan fokus penghidupan yang muncul belakangan.
Tetapi di bagian berikut saya akan jelaskan dulu tentang hasil-hasil penghidupan; apa
yang orang dapatkan dari kegiatan penghidupan mereka yang beragam dan terpilah, bagaimana
hasil-hasil ini terdistribusi dan bagaimana orang memahami kebutuhan, keinginan dan hasrat?
Untuk melakukan ini, saya akan meletakkan pembahasan mengenai penghidupan di dalam
kerangka kepustakaan yang lebih luas tentang kemiskinan, kesejahteraan dan kapabilitas.
Bab 2
Penghidupan, Kemiskinan dan Kesejahteraan
Perhatian utama setiap analisis penghidupan ialah untuk memahami siapa yang miskin dan
siapa yang sejahtera, dan mengapa demikian. Kemiskinan masih lebih banyak ditemukan di
perdesaan dan terkonsentrasi di bagian dunia tertentu, namun pola ketimpangan dalam hal
peluang penghidupan berlangsung nyaris universal (Picketty 2014). Sebagaimana disimpulkan
Paul Collier, “milyaran orang di tingkat paling bawah” adalah kelompok yang butuh perhatian
segera, dan pendekatan-pendekatan yang membantu kita memahaminya dan bertindak tak
kalah pentingnya. Tetapi mengapa sangat banyak orang di awal abad dua puluh satu tetap
terperangkap di tingkat paling bawah adalah pertanyaan yang lebih luas: pertanyaan ekonomi
politik dan relasi struktural global. Terlepas dari masih berlanjutnya debat mengenai bagaimana
persisnya mengukur kemiskinan (Ravallion 2011a), di mana kaum miskin berada dan
bagaimana pola kemiskinan berubah (Kanbur dan Sumner 2012; Sumner 2012), kegentingan
tantangan pembangunan tak dapat terelakkan.
10 www.stiglitz-sen-fitoussi.fr/en/index.htm
komunitas dan suara politik adalah atribut-atribut penting kesejahteraan (Chambers 1997b;
Duflo 2012). Mereka juga berpendapat bahwa berbagai macam indikator harus digabungkan
untuk dapat memahami secara lengkap kemiskinan; dengan seluruh dimensinya yang jamak.
Tetapi Martin Ravallion, mantan pentolan ahli ekonomi Bank Dunia, menantang pendapat ini
yang akan menambahkan lebih banyak indikator (yang terus bertambah). Ia berpendapat bahwa
ukuran-ukuran komposit seperti itu membingungkan, berdasarkan pada serangkaian penilaian
(judgement) dan tidak membantu untuk melakukan perbandingan. Sebagai gantinya,
pendekatan yang lebih jujur dan transparan akan bertahan dengan indikator yang terbatas,
berpusat pada pendapatan sembari menerima keterbatasannya, atau merujuk pada pendekatan
sederhana yang tidak berusaha menggabungkan ciri-ciri berbeda dari sebuah kenyataan yang
rumit dalam satu sistem ukuran (Ravallion 2011b,c).
Debat pun berlanjut. Bab ini akan menyajikan sejumlah gagasan yang dimasukkan ke
dalam berbagai pilihan untuk mengkaji hasil-hasil penghidupan. Masing-masing punya pro dan
kontra, dan setiap kajian penghidupan harus menimbangnya. Pengukuran-pengukuran hasil
penghidupan berasal dari konseptualisasi kemiskinan, penghidupan dan kesejahteraan. Fokus
terhadap faktor-faktor material akan menekankan pendapatan, belanja dan kepemilikan aset;
sementara pandangan lebih luas yang berfokus pada apa yang disebut Amartya Sen sebagai
“kapabilitas”11 (Sen 1985, 1999) akan melebarkannya. Penekanan terhadap kesejahteraan
ketimbang kemiskinan, misalnya, akan menimbang kualitas psikologis dan relational dari
penghidupan, selain kualitas material, sehingga harus menjangkau atribut yang lebih luas
(McGregor 2007). Perspektif keadilan sosial yang menekankan “kebebasan” meluaskan visi
hingga ke isu pemberdayaan, suara dan partisipasi (Nussbaum 2003).
Sebuah fokus normatif terhadap kemiskinan juga mengharuskan kita melihat siapa yang
kaya dan mengapa. Kemiskinan dan kepapaan (ill-being) tidak muncul dari ruang kosong, dan
hubungan antara yang kaya dan miskin serta pola-pola ketimpangan dalam sebuah masyarakat,
di sepanjang waktu, sangat penting untuk memahami hasil-hasil penghidupan (Wilkinson dan
Pickett 2010). Di sini perspektif sejarah dan ekonomi politik juga menjadi penting, sama
pentingnya dengan mengeksplorasi proses-proses diferensiasi yang menghasilkan ketimpangan.
11Catatan Penerjemah: Kapabilitas diartikan Sen sebagai serangkaian pilihan yang secara aktual bisa
seseorang lakukan, akses atau capai.
penghidupan. Masing-masing pendekatan punya fokus berbeda, muncul dari tradisi intelektual
dan disiplin ilmu berbeda, dan masing-masing menunjukkan tantangan metodologis yang beda
pula. Menurut saya, seluruh pendekatan ini berguna dengan cara berbeda, dan banyak di
antaranya dapat digunakan secara bergandengan untuk menghasilkan pemahaman lebih utuh
mengenai hasil-hasil penghidupan.
Di sini saya mengajukan empat pendekatan berbeda terhadap penghidupan dan hasil-hasilnya.
Seluruhnya menawarkan pandangan multidimensi, tetapi masing-masing berakar pada tradisi
konseptual berbeda (bandingkan Laderchi et al. 2003).
Pendekatan pertama berfokus pada individu, dan mengarah pada maksimalisasi apa
yang disebut para ekonom sebagai daya guna (utility). Pendekatan ini meninjau keseimbangan
pertukaran di antara berbagai pilihan, dan antara individu berbeda, dan meneliti bagaimana
kemakmuran diperoleh. Ekomomi kemakmuran punya tradisi panjang, merentang sejak kajian-
kajian abad 19 oleh Charles Booth (1887) dan Seebohm Rowntree (1902) di Inggris yang
mengeksplorasi perubahan penghidupan di kampung-kampung kaum miskin kota. Analisis-
analisis ini menyarankan adanya skema-skema perlindungan atas kelayakan hidup, kelak
dilembagakan sebagai negara kemakmuran. Sejak kajian-kajian awal penghidupan itu, yang
lebih kuantitatif, para ekonom kemakmuran telah memformalkan analisis mereka untuk
menyorot ‘pendekatan alokasi’ yang memaksimalisasi daya guna. Pendekatan individualis dan
utilitarian mengambil inspirasi dari tradisi panjang filsafat moral, dari Jeremy Bentham, John
Stuart Mill dan lainnya, yang membenarkan tindakan-tindakan manusia untuk memaksimalkan
daya guna dan mengurangi efek-efek negatif.
12Catatan penerjemah: Amartya Sen menggunakan ‘functioning’ untuk memperjelas konsep ‘kapabilitas’.
Dia mengartikannya sebagai: ‘bagaimana orang menjalani hidup secara nyata, dengan memfungsikan
kapabilitas.’ Dengan demikian kapabilitas adalah potensi, sedangkan functioning adalah capaian dari
diejawantahkan melalui kebebasan seseorang untuk memilih elemen-elemen hidup yang
bermartabat. Sekali lagi, pandangan ini berfokus pada individu tetapi dalam pengertian lebih
luas, melihat lebih banyak faktor yang meningkatkan pembangunan manusia. Martha
Nussbaum melangkah lebih jauh dengan membuat daftar “kapabilitas-kapabilitas utama
manusia”. Daftar ini mencakup: hidup (mampu hidup hingga akhir usia normal hidup
manusia); kesehatan tubuh; keutuhan tubuh (terlindung dari serangan kekerasan fisik); pilihan
reproduktif dan seksual; penalaran praktis (mampu memikirkan hidup yang baik); afiliasi
(sanggup hidup dengan orang lain dan hidup secara kolektif); bermain; dan punya kendali atas
lingkungan. Meski disajikan sebagai sesuatu yang universal, aspek-aspek ini tentu saja
ditentukan secara kultural dan akan bervariasi, tetapi maksudnya adalah bahwa cakupan aspek
ini cukup luas dan konsepsi hidup yang baik melampaui sekadar maksimalisasi daya guna oleh
individu.
Pendekatan ketiga sekaligus berfokus pada aspek subyektif, personal dan relasional dari
kehidupan seseorang. Kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan psikologis, menurut
pandangan ini, berasal dari serangkaian faktor, termasuk hubungan seseorang dengan orang
lain (Gough dan McGregor 2007; Layard dan Layard 2011). Maka, rendah diri, depresi dan
kurangnya rasa hormat dari orang lain punya dampak besar terhadap kesejahteraan. Faktor-
faktor ini tidak selalu mendapat apresiasi dari sudut pandang utilitarian, atau bahkan dalam
sebagian pendekatan kapabilitas, namun tetap penting bagi setiap perspektif penghidupan agar
menjadi lebih utuh.
Pendekatan keempat bersifat relasional, dalam kerangka sosial dan politik yang lebih
luas. Kesejahteraan, menurut pendekatan ini, berkembang dalam masyarakat-masyarakat yang
lebih setara, dan di mana peluang-peluang tersedia untuk menciptakan kemajuan. Di atas garis
dasar pendapatan tertentu, di negara-negara yang sangat hierarkis, terbelah dan timpang,
tampak angka harapan hidup yang lebih rendah bersama tingginya tingkat keterpaparan
berbagai macam masalah sosial dan kesehatan (Wilkinson dan Picket 2010). Perspektif ini
mansyaratkan agar hasil-hasil penghidupan individual dievaluasi dalam konteks sosial dan
politik lebih luas, sebab ketimpangan boleh jadi menghambat pembangunan yang lebih luas.
Ketimpangan buruk untuk semua orang, demikian menurut Richard Wilkinson dan Kate
Pickett, tetapi lebih buruk bagi mereka yang lebih miskin.
potensi tersebut. Contoh, kapabilitas seperti kesehatan, membuka pilihan bagi seseorang untuk dapat
melakukan banyak hal dengan tubuh yang sehat, semisal memfungsikan tubuh untuk belajar atau bekerja
mencari nafkah yang memadai. Atau, dengan kapabilitas ‘kebebasan berkumpul dan berserikat’, orang
dapat memfungsikan kebebasan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik
yang berpengaruh terhadap hidup mereka.
Empat perspektif penghidupan ini, sebagaimana dibahas, berakar pada asumsi-asumsi
filosofis lebih dalam tentang tujuan pembangunan, perilaku umat manusia, dan fondasi moral
dan etika kita. Masing-masing pondasi konseptual ini kemudian menyarankan cara yang
berbeda untuk mengukur hasil-hasil penghidupan. Bagian berikut ini memberi gambaran
umum mengenai sebagian dari sekian banyak pilihan.
Bahkan, telah muncul banyak debat tentang kemanjuran pengukuran seperti ini karena
adanya banyak jenis pengukuran (Ravallion 2011a). Ini dapat terlihat dari debat yang tengah
berlangsung tentang apakah lebih cocok menggunakan pendapatan atau konsumsi untuk
mengukur kemiskinan. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan. Ukuran pendapatan,
misalnya, meski langsung menunjukkan ukuran kecukupan/kekurangan pendapatan, punya
masalah dalah hal mengingat (jumlah pendapatan), sebab sensitifitas ingatan biasanya
terhubung hanya dengan sumber pendapatan tertentu. Sumber pendapatan juga biasanya
beragam, bisa hanya datang pada saat tertentu sehingga sulit membuat satu ukuran untuk
menentukan jumlah pendapatan secara keseluruhan. Sebaliknya, ukuran-ukuran konsumsi
lebih mudah dikumpulkan dan tidak terlalu rentan terhadap variasi, meski belanja-belanja
tertentu bisa jadi hanya berlangsung sesekali. Akan tetapi, ukuran konsumsi tidak dapat
menangkap keseluruhan aspek pembelanjaan dan pertukaran-pertukaran penting (Greeley
1994; Baulch 1996).
Mengenai pendekatan survai rumah tangga lain, termasuk banyak jenis pengukuran
garis kemiskinan, fokus terhadap rumah tangga akan melewatkan dimensi-dimensi internal
rumah tangga (Razavi 1999; Kanji 2002; Dolan 2004), tetapi juga mengenai relasi antara rumah
tangga sebagai bagian dari “kluster” rumah tangga (Drinkwater et al. 2006). Debat mengenai
kelemahan rumah tangga sebagai unit analisis sudah berlangsung cukup lama (Guyer dan
Peters 1987; O’Laughlin 1998). Sebuah rumah tangga sering didefiniskan sebagai sekelompok
orang yang “makan dari satu periuk,” berfokus pada organisasi domestik di seputar pemenuhan
pangan. Akan tetapi, penghidupan bisa saja dikonstruksi oleh dimensi lain. Ini khususnya
berlaku pada rumah tangga yang dihubungkan melalui perkawinan poligami, lewat rumah
tangga yang dikepalai anak-anak, atau melalui pola migrasi di mana rumah kota dan desa
terkait erat. Demikian pula, kerabat dekat di sebuah desa atau sekelompok rumah dapat berbagi
aset, bahkan pemenuhan pangan, sehingga seringkali membuat unit rumah tangga jadi kabur.
Sabina Alkire dan kolega (lihat di atas) menggabungkan dua indikator kesehatan
(tingkat gizi buruk dan kematian anak), dua indikator pendidikan (lama sekolah dan tingkat
partisipasi sekolah), enam indikator standar hidup (termasuk akses terhadap pelayanan publik,
proksi kemakmuran rumah tangga, dst.) dan menghitung seluruh indikator berbasis pada data
rumah tangga. Masing-masing kelompok indikator ditimbang secara setara sebagaimana dalam
Laporan Pembangunan Manusia. Pendekatan ini, menurut mereka, memungkinkan
perbandingan multidimensional baik di dalam maupun di antara negara. Indikator-indikator
tersebut cenderung menawarkan gambaran nasional atau regional tetapi lagi-lagi sering
berangkat dari data rumah-tangga dan dengan demikian punya kelemahan serupa.
Mengevaluasi Ketimpangan
Seluruh pengukuran dan kaji cepat terhadap hasil-hasil penghidupan ini dapat dievaluasi
dengan melihat distribusinya. Koefisien Gini, misalnya, mengukur tingkat kesetaraan distribusi,
sementara ukuran-ukuran statistik lain menawarkan indikator-indikator serupa.15 Demikian
pula, keberagaman ukuran bisa saja membantu mengkaji cepat nilai penting berbagai elemen
sebuah portofolio dari pilihan-pilihan yang ada. Mereka dapat mendorong debat mengenai
meluasnya pilihan-pilihan tersebut sebagai bagian dari “jalur” penghidupan (cf. Stirling 2007).
Kaji cepat seperti ini dapat dikerjakan pada skala berbeda, dari tingkat rumah tangga
hingga nasional dan regional. Sebagaimana dibahas di atas, Richard Wilkinson dan Kate Pickett
(2010) dalam buku mereka The Spirit Level, mengevaluasi ketimpangan dengan berbagai
macam kriteria untuk melihat hasil yang dicapai secara nasional. Mereka menemukan bahwa
13www.oecdbetterlifeindex.org/
14www.ilo.org/global/about-the-ilo/decent-work-agenda/lang--de/index.htm
15web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/EXTPA/0,,contentMDK:2028991~
menuPK:492138~pagePK:148956~piPK:216618~thesitePK:430367,00.html
ketimpangan punya dampak besar ketika garis dasar kemakmuran telah terlampaui. Fokus
terhadap ketimpangan mengedepankan perhatian atas aspek-aspek struktural masyarakat yang
memengaruhi hasil-hasil penghidupan, lewat efek-efek psikososial dan perilaku yang rumit.
Di titik ini pendekatan analitis berbasis kelas dapat membantu menjelaskan bagaimana
pilihan penghidupan tertentu dimungkinkan bagi sebagian orang dan tidak bagi sebagian
lainnya. Apa arti keterpinggiran dalam hubungannya dengan relasi kuasa yang lebih luas di
dalam masyarakat? Analisis terhadap aspek seperti distribusi tanah dan struktur agraria,
kepemilikan aset dan rezim ketenagakerjaan (labor regime) mungkin bisa membantu
memperjelas kaji cepat semacam ini. Pertanyaan-pertanyaan dasar dari tradisi Marxis ini
berada di jantung analisis ekonomi politik penghidupan, sebuah tema yang akan saya bahas di
Bab-Bab selanjutnya.
Seluruh pendekatan ukuran dan kaji cepat ini punya kegunaan. Tetapi juga punya keterbatasan.
Karena itu, apakah mungkin menggabungkan yang terbaik dari masing-masing pendekatan ke
dalam satu system pengukuran dan indeks untuk menangkap karakter multidimensi
kemiskinan, penghidupan dan kesejahteraan?
Pertanyaan ini telah menciptakan debat panjang tetapi baru akhir-akhir ini menjadi
perhatian, khususnya dengan upaya advokasi untuk mengedepankan pendekatan Indeks
Kemiskinan Multidimensional (Multidimensional Poverty Index) (Alkire and Foster 2011; lihat
di atas). Dengan wahana yang lebih luas, dan terhubung dengan pendekatan kapabilitas Sen,
para pengusungnya menekankan bahwa pendekatan ini dapat mengidentifikasi kegagalan
functioning secara operasional (Alkire 2002).
Meskipun kini telah menjadi perhatian utama, pendekatan ini bukanlah satu-satunya
upaya untuk menlakukan kaji cepat secara multidimensi. Bahkan, berbagai jenis indeks dan
pemeringkatan telah berkembang biak dengan menggabungkan berbagai jenis ukuran dalam
satu angka. Meskipun mengakui kerumitan penghidupan dan keanekaragaman sumber-sumber
kemiskinan dan kepapaan (ill-being), terdapat sejumlah masalah dengan pendekatan ini.
Tidak ada jawaban mudah untuk debat ini. Apa yang dipilih, tentu saja merefleksikan
perbedaan pilihan pribadi, disiplin dan kelembagaan, juga menurut tren, fesien dalam
pengukuran kemiskinan dan kajian kesejahteraan. Tetapi kita harus awas akan kekuatan politis
jenis ukuran tertentu dan tetap waspada terhadap asumsi-asumsi dan simplifikasi yang dibuat.
Inilah mengapa setiap kajian penghidupan harus didasarkan pada konteks lokal dan
membangun pemahaman dasar ini, ketimbang menerima begitu saja data survai dan
pemeringkatan dan indikator yang mengiringinya dan muncul dari sana. Sebuah pendekatan
multi-metode dan lintas-disiplin selalu paling kokoh bagi analisis penghidupan (Hulme dan
Shepherd 2003; Hulme dan Toye 2006), dan mengapa penting untuk tahu tentang deretan
potensi dan kelemahan pendekatan-pendekatan yang disebutkan di atas.
Kritik yang senantiasa muncul terhadap banyak pendekatan pengukuran yang diulas di atas
menyebutkan bahwa pendekatan-pendekatan itu memaksakan pandangan dunia, yaitu
pandangan tentang penghidupan dan kemiskinan, dengan memilih data apa yang akan
dikumpulkan dan bagaimana data tersebut digabungkan. Hal ini berlaku baik terhadap ukuran
tunggal garis kemiskinan maupun pendekatan multidimensi yang bersifat agregat. Pendekatan
pengukuran berwatak paternalistik ini dapat memberi bahan bagi tanggapan-tanggapan
paternalistik, dengan asumsi mengenai siapa orang miskin yang berhak menerima dan apa yang
mereka butuhkan (Duflo 2012).
Catatan-catatan etnografis mengenai pengalaman hidup dalam kemiskinan pada
konteks berbeda menyediakan cara lain untuk mengerangkakan persoalan ini. Tony Beck (1994)
dalam buku The Experience of Poverty: Fighting for Respect and Resources in Village India,
menggambarkan secara sangat mendalam pengalaman kemiskinan dari sudut pandang
penduduk desa di Bengali Barat, India. Dia menekankan pertarungan sehari-hari, negosiasi dan
tawar-menawar yang terjadi, misalnya, di seputar usaha mendapatkan akses terhadap sumber
daya bersama dan mengelola ternak. Beck juga menunjukkan bahwa dalam situasi seperti ini,
rasa hormat menjadi sumber daya yang penting. Dia menunjukkan relasi kuasa antara yang
kaya dan miskin, antara perempuan dan lelaki, juga pandangan orang miskin terhadap orang
kaya dan terhadap pendindasan dan kekerasan yang menciptakan kemiskinan (Beck 1989).
Memahami penghidupan dari pengalaman sehari-hari seperti ini—dari perspektif emik—dan
berfokus pada persepsi, relasi sosial dan dinamika kekuasaan telah lama menjadi tujuan kajian-
kajian antropologi sosial. Namun penerjemahan pengalaman akrab dan personal seperti ini oleh
orang luar selalu rentan terhadap bias dan kekeliruan tafsiran.
Dalam sebuah kajian longitudinal klasik dari Rajasthan barat, India, N.S. Jodha (1988)
membandingkan standar ukuran kemiskinan dengan indikator-indikator kesejahteraan yang
lebih kualitatif studi-studi partisipatif dari dua periode, 1963-1966 dan 1982-1984. Rumah
tangga yang masuk kategori ‘rumah tangga miskin’ oleh pengukuran kemiskinan standar
menjadi lebih sejahtera ketika menggunakan kajian kesejahteraan ekonomi yang lebih
kualitatif. Pandangan minoritas mengenai kajian kemiskinan ini—bahkan mengenai ekonomi
pembangunan secara umum (cf Hill 1986)—menyarankan kerangka yang lebih luas
sebagaimana diisyaratkan oleh kajian-kajian penghidupan.
Pendekatan semacam itu telah menginspirasi upaya lebih mutakhir untuk berfokus pada agenda
pembangunan pasca-2015, termasuk inisiatif Participate, yang mencoba menangkap
pandangan dari bawah untuk menyediakan bahan bagi proses-proses global,16 dan My World,
sebuah situsweb untuk berbagi pandangan tentang rentang kriteria dari publik global.17
16 www.ids.ac.uk/project/participate-knowledge-from-the-margins-for-post-2015
17 www.odi.org/projects/2638-my-world
kerja, dan sebagainya, mengapa tidak mengembalikan pertanyaan itu kepada rakyat sendiri?
Pemeringkatan kemakmuran dikembangkan sebagai cara sederhana untuk menghasilkan
diskusi mengenai pola kemakmuran dalam sebuah komunitas; melibatkan kegiatan pemilahan
kartu bersama anggota masyarakat berdasarkan daftar rumah tangga (Gradin 1988; Guijt 1992).
Sebuah diskusi awal dilakukan untuk memastikan istilah-istilah setempat untuk kemakmuran
(atau kriteria lain yang hendak diteliti), lalu sejumlah informan memilah kartu itu ke dalam
kelompok-kelompok tertentu, dengan peringkat dibuat dari gabungan skor. Hasilnya kemudian
dapat digunakan untuk membuat strategi sampling, tetapi lebih penting lagi, diskusi yang
mencuat dari proses pemeringkatan dapat mengungkap sejumlah besar kriteria (sering tak
terduga) yang mendefinisikan persepsi setempat mengenai kemakmuran.
Meskipun demikian, pendekatan pemeringkatan punya peran sebagai bagian dari alat-
alat untuk memahami perubahan penghidupan dan pola diferensiasi (keterpilahan) sosial. Di
Bab 7 dan 8, saya akan mengenalkan metode tambahan untuk menelisik detil spesifik praktik-
praktik penghidupan, melalui pendekatan etnografis atau pendekatan ekonomi politik, yang
melihat struktur dan relasi lebih luas di masyarakat pedesaan.
Perhatian kita terhadap hasil-hasil penghidupan sering berfokus pada perubahan dari waktu ke
waktu. Sebuah potret sederhana, sekalipun multidimensional, akan kurang menarik bila
dibandingkan dengan gambaran mengenai kecenderungan, transisi dan transformasi
penghidupan. Penelitian mengenai dinamika kemiskinan (Baulch dan Hoddinot 2000; Addison
et al. 2009) menunjukkan pentingnya ambang batas aset dalam transisi menuju kemiskinan
(Carter dan Barrett 1996) dan cara hasil-hasil penghidupan berubah di sepanjang waktu, tetapi
dengan cara yang timpang. Sekali lagi, pendekatan yang paling cocok akan melibatkan
pencampuran metode kualitatif dan kuantitatif (White 2002; Kanbur 2003; Kanbur dan Shaffer
2006).
Ketergelinciran menuju kemiskinan dapat terjadi tiba-tiba, sedangkan untuk keluar bisa
saja merupakan proses perlahan, sering berlangsung bertahun-tahun. Pendekatan yang
menggeser perhatian menuju kerentanan (Swift 1989) dan ketangguhan penghidupan (Bene et
al. 2012) mengangkat deretan faktor yang meredam dampak tekanan jangka panjang atau
guncangan tiba-tiba (Conway dan Chambers 1992), dan memungkinkan kita menelisik
bagaimana orang dapat “melangkah naik”, “melangkah keluar”, “bertahan” atau “terlempar
keluar” (Dorward 2009; Mushongah 2009; lihat Bab 3).
Terdapat perbedaan penting antara kemiskinan yang bersifat transisi dan kronis.
Kemiskinan kronis dicirikan oleh sejumlah perangkap yang saling bersimpangan, yaitu
kurangnya jaminan dan penegakan hak kewarganegaran, keterbelakangan berbasis spasial,
diskriminasi sosial, dan kurangnya peluang kerja (Green dan Hulme 2005; CPRC 2008).
William Wolmer dan saya menggambarkan beragam jalur penghidupan yang muncul di
lokasi-lokasi penelitian di Afrika: “penghidupan berkembang dari tindakan-tindakan
sebelumnya dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam kondisi agro-ekologis yang speksifik-
historis, serta terus ditempa ulang oleh institusi dan tatanan sosial” (Wolmer dan Scoones
2002: 27). Gagasan tentang jalur-jalur penghidupan menyiratkan kemungkinan munculnya
jalur penghidupan berbeda dari latar yang sama, sebab orang-orang yang berbeda memberi
tanggapan secara berbeda pula, dibekali pengalaman dan sejarah masing-masing (de Bruijn dan
van Dijk 2005). Karena itu, gaya penghidupan berbeda bisa saja muncul (de Haan dan Zoomers
2005), merefleksikan beraneka ragam elemen kultural.
Kemampuan merespons secara efektif guncangan dan tekanan menjadi penting dalam
mengurangi kerentanan (Chambers 1989). Penghidupan yang rentan merupakan hasil dari
kurangnya ketangguhan (resilience) dan ketiadaan kapasitas adaptif untuk merespon beragam
konteks. Perhatian terhadap strategi menghadapi masalah telah lama menjadi bagian dari
kajian-kajian penghidupan (Corbett 1988; Maxwell 1996) dan sudah mengalami perluasan
khususnya dalam konteks perubahan iklim, sampai kepada pemahaman lebih luas mengenai
kapasitas adaptif dan ketangguhan (Adger 2006). Penghidupan yang luwes, responsif,
oportunistik menjadi perhatian dalam kajian jangka panjang mengenai perubahan
penghidupan. Karya Michael Mortimer (1989) dan Simon Batterbury (2001) di kawasan Sahel
Afrika, misalnya, mengangkat tentang bagaimana adaptasi responsif telah menjadi bagian
penting penghidupan, dan bagaimana menopang kapasitas-kapasitas tersebut sangat penting
bagi pembangunan.
Transformasi penghidupan bisa juga berupa hak dan pemberdayaan. Banyak kalangan
berpendapat bahwa penghidupan membaik ketika hak-hak diperkuat melalui pemberdayaan
dan partisipasi inklusif (Moser dan Norton 2001; Conway et al. 2002). Mereka mengangkat
sebuah pendekatan berbasis-hak bagi pembangunan dan berfokus pada hak-hak penghidupan
sebagai hal yang sangat penting untuk mendapatkan hasil-hasil penghidupan yang positif.
Pendekatan ini menitikberatkan pada penghilangan eksklusi berupa pembungkaman, penafian
dan diskriminasi berdasarkan kelas, gender, seksualitas, ras atau (dis)abilitas, dan semacamnya.
Pendekatan ini mengusung upaya untuk melampaui pendekatan individualistik dalam kajian
kemiskinan dan penghidupan, menuju pendekatan yang lebih relasional (Mosse 2010), yang
menggarisbawahi bahwa suara, partisipasi dan pemberdayaan adalah bagian inti dari hasil-hasil
penghidupan (Hickey dan Mohan 2005).
Benyak pendekatan diulas di atas berfokus pada hasil di level individual dan rumah
tangga. Pendekatan ekonomi politik terhadap penghidupan dan perubahan agraria (lihat Bab 6)
memberi pandangan lebih luas, berfokus pada isu-isu distribusi, dan khususnya pada pola-pola
akumulasi dan diferensiasi sosial di masyarakat pedesaan (Bernstein, Crow dan Johnson 1992).
Maka, pendekatan penghidupan yang diasupi oleh ekonomi politik harus melihat ciri-
ciri struktural yang memengaruhi proses dan hasil penghidupan, termasuk pola kepemilikan
tanah, tenaga kerja dan kapital yang ditentukan oleh posisi kelas. Proses-proses ekonomi dan
politik kapitalisme, khususnya dalam bentuknya sekarang berupa globalisasi neoliberalisme,
memperlihatkan siapa yang punya kuasa atas siapa, dan dengan konsekuensi apa saja (Hart
1986; Bernstein 2010a). Kapitalisme modern mensyaratkan pendekatan relasional atas
kemiskinan yang menelisik bagaimana “kelas-kelas pekerja” yang “terpecah-belah” (misalnya
berdasarkan gender, etnsitas, agama dan kasta) terbentuk, dan bagaimana mereka
mendapatkan akses terhadap peluang produksi dan reproduksi (Bernstein 2010a).
Kesimpulan
Pendekatan kaji cepat penghidupan cukup beragam. Dari yang cukup sempit berupa
pengukuran pola pendapatan atau kemiskinan konsumsi dalam sebuah populasi, sampai yang
lebih kualitatif seperti pengkajian kesejahteraan dan kapabilitas manusia, dan lebih jauh hingga
analisis lebih luas pola relasional akumulasi dan diferensiasi, serta relasi distribusi antar-
kelompok sosial. Seluruh pendekatan ini hanya sederet contoh ilustratif dari variasi pendekatan
yang sangat luas: masih dapat ditambahkan, dan kategorisasi mereka bisa beragam. Namun
seluruhnya menawarkan wawasan yang bermanfaat dengan cara berbeda.
Terlepas dari perebutan pengaruh di dunia akademis, tidak ada yang dapat disebut cara
paling benar mengkaji hasil-hasil penghidupan: masing-masing pendekatan menawarkan lensa
berbeda, dan tentu parsial, untuk meneropong sebuah isu yang rumit. Sebagaimana diulas
sebelumnya, bagaimana analisis dikerangkakan memengaruhi prosedur dan alat ukur mana
yang dipilih. Menginterogasi kerangka-kerangka semacam ini, bertanya apa yang kita maksud
dengan penghidupan, apa yang penting bagi mencapai hidup yang baik, dan seterusnya,
merupakan langkah yang sangat penting, dan itu butuh partisipasi aktif dari semua pihak yang
terlibat. Masing-masing kerangka akan mengarahkan ke hasil yang berbeda, dan pemaksaan
oleh para peneliti dari luar, atau bahkan orang-orang kuat dari dalam masyarakat sendiri, jelas
tidak memadai untuk mendapatkan analisis yang kokoh. Demikian pula, pemeriksaan ulang
dengan berbagai pendekatan dan ukuran merupakan cara yang berguna untuk melihat untung-
rugi, perbedaan dan implikasi dari asumsi-asumsi yang menopang pendekatan/ukuran itu
sendiri. Di Bab 8, saya akan kembali mengulas metode pengkajian penghidupan, tetapi
sebelumnya kita perlu bertanya bagaimana pendekatan-pendekatan penghidupan
menambahkan pemahaman kita dan bagaimana elemen-elemen berbeda digabungkan ke dalam
sebuah kerangka heuristik.
BAB 3
Kerangka yang lebih luas dapat membantu memahami kerumitan seperti itu,
juga untuk memikirkan bagaimana bertindak. Sebuah kerangka hanya merupakan
model menalar-dari-pengalaman yang disederhanakan tentang kemungkinan
bagaimana berbagai hal berinteraksi. Kerangka itu menawarkan sebuah hipotesis
tentang bagaimana elemen-elemen saling berhubungan dan apa yang terjadi di antara
mereka. Ia merupakan petunjuk berpikir ketimbang sebuah deskripsi kenyataan.
Kerangka-kerangka penghidupan berkembang biak pada akhir 1990-an dengan
keragaman yang membingungkan. Sebagaimana yang ditampilkan Google untuk
“penghidupan berkelanjutan” dan anda akan melihatnya.
Mengingat konteks yang khusus (latar kebijakan, politik, sejarah, kondisi agro-ekologi
dan sosial-ekonomi), kombinasi sumber-sumber daya penghidupan (jenis ‘modal’ yang
berbeda) manakah yang akan menghasilkan kemampuan untuk mewujudkan kombinasi
strategi-strategi penghidupan (intensifikasi/ekstensifikasi pertanian, diversifikasi
penghidupan dan migrasi) dengan hasil apa saja? Perhatian khusus kerangka ini terletak
pada proses-proses kelembagaan (melekat dalam struktur pranata dan organisasi,
formal dan informal) yang memediasi kemampuan untuk menjalankan strategi-strategi
dan meraih (atau tidak) deretan hasil seperti di atas. (Scoones 1998: 3)
Maka kerangka ini (lihat Gambar 3.1) mengaitkan rentetan konteks penghidupan
dengan sumber daya, bahan pembangun penghidupan, dengan strategi-strategi
(berbeda menurut konteks produksi pertanian, diversifikasi kegiatan non-pertanian dan
migrasi ke luar daerah), dan dengan hasil-hasil (melalui berbagai macam indikator,
sebagaimana diulas di Bab 2). Sebagaimana tampak dalam kotak berarsir, institusi dan
organisasi merupakan elemen kunci dalam kerangka ini, sebab mereka berperan
membentuk proses dan struktur yang memediasi penggunaan aset, strategi yang
dijalankan dan hasil yang dicapai bagi kelompok berbeda. Dengan kata lain, kerangka
ini merupakan sebuah diagram sederhana dari daftar kebutuhan (checklist),
dimaksudkan untuk membangun kerangka penelitian lapangan yang dijalankan secara
sistematis bagi tim peneliti lintas-disiplin.
Dengan uang dan politik di belakang gagasan ini—dan saat itu dengan kerangka
yang atraktif dan tersebar dengan baik berikut lembar-lembar petunjuk penggunaan,
sebuah petunjuk belajar online serta terus bertambahnya ‘kotak-alat’ (toolbox) yang
disebar melalui jaringan Livelihoods Connect18 berbasis web—konsep ini tersebar dan
meraih momentum—berikut sejumlah besar kekeliruan penerapan dan
kesalahpahaman yang mengiringinya. Bersama DfID, komunitas Ornop merupakan
pihak yang penting. Oxfam, CARE dan yang lain membawa rentetan gagasan baru dan
pengalaman lapangan untuk mengelaborasi pendekatan penghidupan. PBB, melalui
FAO, juga tertarik, sebagaimana UNDP, yang menciptakan berbagai macam pendekatan
penghidupan (Carney et al. 1999). Ketertarikan ini terus bergulir serupa bola salju di
tahun-tahun berikutnya. Kader-kader profesional penasihat yang menggunakan
pendekatan ini digembleng di DfID dan organisasi lain, dan penggunaan konsultansi
untuk pendekatan penghidupan bermekaran. Kajian komparatif berbagai pendekatan di
badan-badan berbeda segera bermunculan, menunjukkan perbedaan dalam menafsir
dan menerapkan beraneka ragam versi Kerangka Penghidupan Berkelanjutan” (Hussein
2002).
18 www.livelihoods.org
Di bab-bab berikutnya saya akan meninjau debat-debat ini untuk menunjukkan
bagaimana pendekatan penghidupan dapat diperluas, dipertajam dan disegarkan. Di
empat bagian berikutnya dalam bab ini saya akan berfokus pada debat tentang
kerangka-kerangka penghidupan, yang menjelaskan tentang sebagian tantangan
konseptual dan metodologis dari pendekatan penghidupan untuk penelitian dan
pembangunan.
Mana yang lebih penting: apa yang dilakukan rakyat secara nyata atau faktor-faktor
yang menghambat atau memungkinkan tindakan-tindakan mereka? Jawabannya, tentu
saja, ialah bukan salah satunya. Tetapi telah berlangsung debat panjang dalam kajian-
kajian penghidupan antara mereka yang berfokus pada agensi individual (petani,
penggembala, penghuni hutan, dan sebagainya) yang menciptakan serentang strategi
adaptif yang fleksibel, dengan kalangan yang berfokus pada kekuatan-kekuatan
ekonomi politik struktural yang lebih luas dan memengaruhi mana yang mungkin dan
tidak.
Sebagaimana dibahas pada Bab 1, banyak kajian penghidupan dari 1980-an dan
1990-an berfokus pada agensi individual, merayakan kekayaan ragam penghidupan dan
kecakapan khas orang-orang beraset kecil dan berpendapatan rendah dalam
menciptakan penghidupan di latar yang sulit. Kajian pembuka seperti buku Susanna
Davies (1996) Adaptive Livelihoods dan Robert Netting (1993) Smallholders,
Householders meninjau bagaimana para petani beradaptasi, melakukan inovasi dan
bertahan dalam kondisi sulit. Banyak studi serupa menyusul, khususnya di Afrika,
dengan mengikuti tradisi kajian pedesaan (Wiggins 2000). Seluruhnya berdasarkan
kajian desa level-mikro, memanfaatkan displin ilmu geografi sosial, ekologi manusia
dan antropologi.
Bagi banyak kajian ini, “konteks” adalah sesuatu dari luar dan kadang sangat
jauh. Penelitiannya seringkali dilakukan jauh dari pusat-pusat kekuasaan, dimana
agensi lokal masih mendominasi proses-proses politik yang berlangsung. Kajian-kajian
semacam ini sangat mungkin merupakan tanggapan terhadap apa yang dianggap
sebagai analisis Marxis yang terlampau struktural dan deterministik terhadap
perubahan pedesaan, yang muncul sebelum mereka. Pengetahuan dan agensi lokal yang
diperhadapkan dengan kekuatan dominan negara atau pembangunan dari luar menjadi
tema yang sering muncul (Richards 1985; Long dan Long 1992).
Simon Batterbury (2008) menamai ketegangan antara agensi dan praktik lokal
dengan struktur dan politik lebih luas ini sebagai ‘debat Mortimer-Watts’, mengacu
kepada dua ahli geografi yang sangat berpengaruh. Keduanya pernah meneliti isu-isu
penghidupan di utara Nigeria, menelisik tantangan-tantangan dari sudut pandang
berbeda dalam spektrum agensi-struktur (Watts 1983; Mortimer 1989). Kedua
pendekatan sangat kaya gagasan, tetapi kombinasi kedua perspektif inilah yang
sebenarnya sangat kuat. Banyak dari analisis penghidupan, dan kerangka-kerangka
yang berkaitan, telah berbelok ke agensi dan praktik lokal, dan menjadikan relasi dan
politik struktural hanya sebagai “konteks”. Kecenderungan ini, sebagaimana buku ini
sampaikan, adalah sebuah kesalahan.
Aset-Aset, Sumber Daya dan Modal Penghidupan
Debat panas yang kedua berlangsung di seputar pemahaman mengenai aset atau
sumber daya penghidupan sebagai modal. Kerangka penghidupan versi DfID Inggris
mengangkat “pentagon aset” yang mengemukakan lima modal (Carney 1998). Hal ini
melecut lebih banyak masalah ketimbang aspek-aspek lain dalam kerangka
penghidupan. Pertama, muncul keberatan sebagian kalangan bahwa istilah “modal”
(capitals) menyederhanakan kerumitan proses-proses penghidupan menjadi sekadar
unit-unit ekonomis sehingga menyarankan bahwa proses-proses ini dapat
diperbandingkan dan diukur. Mengambil dari bahasa dan istilah ekonomi tentu
merupakan langkah strategis di awal pengembangan kerangka penghidupan, dan para
ekonom dengan cepat memahami gagasan ini. Tetapi penyederhanaan ini
menghadirkan rentetan masalah. Karena lima modal ini tidak dapat diperbandingkan
atau dengan mudah diukur, gagasan untuk memetakan hubungan antara mereka dalam
sebuah diagram pentagon (bagun bersudut lima) akhirnya berujung lorong buntu,
menyia-siakan banyak sumber daya dan waktu.
Pihak lain menunjukkan bahwa lima modal itu membatasi, dan bahwa ada
sumber-sumber daya lain yang dapat dipertimbangkan, baik modal politik maupun
modal budaya. Kelompok lain lagi menolak istilah modal, khususnya modal alam,
sebagai cara untuk menyederhanakan alam yang rumit menjadi satu aset yang bersifat
tunggal, dapat diperdagangkan dan diasumsikan setara dengan modal lain, sehingga
menghapus peran kekuasaan atas pengelolaan alam (Wilshusen 2014). Kelompok
lainnya melihat bahwa definisi modal-modal tertentu membingungkan. Di sini “modal
sosial” menjadi sasaran utama. Gelombang besar kajian pada 1990-an mengklaim
bahwa memahami modal sosial sebagai ‘kepadatan hubungan-hubungan’ (density of
relationships) merupakan hal penting untuk memahami pembangunan (Putnam,
Leonardi dan Nanetti 1993), sementara kalangan lain dengan sengit mengklaim tidak
demikian (Fine 2000; Harriss 2002). Demikian pula, penggunaan istilah ini dengan
cara yang sangat berbeda juga membingungkan, dengan sebagian merujuk kepada
Bourdieu (1986), yang melihat modal dalam kerangka proses, diperoleh dalam konteks
struktur dominasi dan subordinasi (Sakdapolorak 2014). Sementara sebagian masih
terus menggunakan versi yang lebih berwatak ekonomi, dengan modal dilihat sebagai
barang, sering sebagai deretan komoditas untuk dipertukarkan.
Terlepas dari seluruh silang pendapat itu—yang bagi banyak kalangan dari luar
bidang ini akan tampak sebagai ‘kesuntukan-orang-dalam’—ada banyak alasan untuk
menelisik hal-hal yang dapat diakses masyarakat. Ini lebih dari sekadar trio klasik
tanah, tenaga kerja dan modal. Ini juga mencakup berbagai macam sumber daya sosial
dan politik, serta keterampilan dan kecakapan yang sangat penting bagi upaya-upaya
yang dilakukan manusia. Pun, ini bukan hanya tentang perbedaan distribusi aset
penting, tetapi juga tentang bagaimana aset-aset itu digabungkan dan diurutkan
(Batterbury 2008; Moser 2008), serta relasi kuasa seperti apa yang ditampakkannya.
Aset seseorang, seperti tanah, bukan cuma tempat mencari nafkah: aset juga memberi
makna kepada dunia seseorang. Aset bukan sekadar sumber daya yang digunakan orang
dalam membangun penghidupan: aset memberi mereka kapabilitas untuk menjadi dan
bertindak. Aset seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai barang yang memungkinkan
orang bertahan hidup, beradaptasi dan menggerus kemiskinan: aset juga menjadi dasar
bagi kekuasaan seseorang untuk bertindak dan bereproduksi, menantang atau
mengubah aturan-aturan yang mengelola penguasaan, penggunaan dan transformasi
sumber daya. (Bebbington 1999: 2022)
Maka, selain tentang apa yang orang punya, aset juga sekaligus tentang apa yang
mereka percaya, rasakan dan merupakan tanda pengenal mereka. Aset juga adalah
sumber daya politik. Akan tetapi, dapat diduga bahwa dalam wacana yang didominasi
oleh badan-badan bantuan, fokus terhadap hal yang lebih instrumental, ekonomis dan
material bertahan menjadi pusat diskusi dan menentukan banyak dari tindakan di
lapangan, meskipun tetap berlangsung debat yang lebih luas dan bernuansa.
Perubahan Penghidupan
Satu kritik atas pendekatan penghidupan yang terus muncul adalah diabaikannya
politik dan kekuasaan. Ini tidak sepenuhnya betul. Para pengusung penghidupan datang
dari banyak kelompok, dan sudah ada sejumlah karya penting yang mengelaborasi apa
yang dimaksud, dalam berbagai varian kerangka, dengan “mentransformasikan struktur
dan proses,” “kebijakan, institusi dan proses,” “memediasi insistusi dan organisasi,”
“tatakelola penghidupan berkelanjutan” atau “penggerak perubahan” (cf. Davies dan
Hossain 1987; Hyden 1988; Hobley dan Shields 2000; Leftwich 2007). Hasil-hasil
refleksi ini meneropong struktur dan proses sosial dan politik yang memengaruhi
pilihan-pilihan penghidupan. Kekuasaan, politik dan diferensiasi sosial—dan
dampaknya terhadap tatakelola pemerintahan—telah menjadi tema sentral dalam hal
ini. William Wolmer dan saya mengomentari tentang bagaimana pendekatan-
pendekatan penghidupan telah mendorong munculnya refleksi terhadap isu-isu
tersebut:
Beraneka ragam kerangka juga tidak membantu. Jelas, kita bisa mengajukan
pendapat bahwa kekuasaan ada di mana-mana—dari konteks sampai konstruksi dan
akses modal sebagai institusi dan relasi sosial yang memediasi, memandu pemilihan
strategi dan memengaruhi pilihan dan hasil tindakan. Sebagian mencoba membuat
politik lebih tampak, menambahkan modal politik ke dalam daftar aset dan
menekankan bahwa modal sosial menyiratkan perhatian terhadap relasi kuasa. Tetapi
19
Lihat Carswell et al. 1999, Brock dan Coulibaly 1999, Shankland 2000, Scoones dan Wolmer 2002.
penambahan seperti itu tidak benar-benar ditujukan untuk menjelaskan titik-titik
persimpangan yang rumit dalam basis struktural kekuasaan—dalam kepentingan
politik, wacana yang bertarung dan praktik-praktik lama. Sebaliknya, usaha semacam
itu menyusutkan kerumitan hingga ke bentuk yang tidak membedakannya kerangka
serupa lainnya (Harriss 1997). Dengan begitu, suara yang terus muncul untuk
mempertimbangkan kekuasan dan politik seringkali tak mendapat perhatian, dan
penerapan instrumental terus berlangsung sebagai praktik yang wajar, tetapi dengan
label penghidupan, meskipun dengan perhatian lebih besar terhadap proses-proses
kebijakan (Keeley dan Scoones 1999; IDS 2006; lihat Bab 4).
Walaupun demikian, pada sekitar lima belas tahun terakhir, kerangka penghidupan,
dan debat-debat terkait, memainkan peran diskursif dan politik. Mereka punya
kekuasaan dan pengaruh cukup kuat, meminta perhatian dan sumber daya di beragam
latar. Mereka menggerakkan komunitas peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan ke
dalam jaringan-jaringan longgar, diikat oleh komitmen untuk melaksanakan
pembangunan secara berbeda tetapi juga dengan kerangka dan nomenklatur bersama.
Seluruh hal ini dulu berlangsung dalam intensitas beragam, dan nyatanya masih
terjadi di kalangan-kalangan tertentu. Sejumlah besar program Master dan Doktor
mengerjakan berbagai versi kerangka penghidupan, menerapkan dan mengkritiknya.
Sebagaimana digambarkan Thomas Kuhn (1962), ini merupakan kemunculan “sains
normal” setelah “peralihan paradigma.” Hasilnya telah mematangkan diskusi, dan
menghasilkan lebih banyak nuansa dan kualifikasi dalam penerapan. Sayangnya, watak
mesin bantuan yang sering berubah dengan cepat tidak sabar dengan evolusi sains
normal yang berlangsung lamban. Bahkan, di dalam DfID dan agensi lain, kerangka dan
kata kunci baru telah bermunculan yang kerapkali melewatkan pelajaran yang diperoleh
sebelumnya (Cornwall dan Eade 2010). Sebagaimana pendekatan penghidupan yang
sebenarnya telah ada sebelum 1992, bisa dipastikan bahwa debat akan bergeser, kata-
kata kunci akan ditemukan kembali, dan pendekatan penghidupan akan kembali dalam
bentuk baru.
Akan tetapi, tujuan buku ini bukan menyelami perpuratan fashion lembaga
bantuan tetapi untuk melanjutkan debat ini, belajar dari dan membangun di atas masa
lalu. Tentu seluruh debat yang diulas di atas telah memainkan peran penting, dan
masing-masing terhubung dengan perhatian ilmu sosial yang lebih luas dengan cara-
cara yang penting.
Kesimpulan
Kita dapat menemukan cara untuk bergerak maju jika kita tidak terperangkap dalam
detil-detil partikular dari masing-masing kerangka, yang kadang menyempitkan
pandangan hingga ke tingkat yang menjenuhkan. Kita harus menggunakannya untuk
membuka debat tentang definisi, hubungan dan pertukaran, seluruhnya berkaitan
dengan perhatian terhadap teori sosial dan politik yang lebih luas dan fundamental.
Awalnya dirancang sebagai alat bantu untuk berpikir (heuristic) dan mengajukan
pertanyaan (checklist) yang bersifat lintas-disiplin, kerangka ini seharusnya tidak
diharapkan berperan lebih. Dengan pikiran terbuka, dan pendekatan yang lebih kaya
secara konseptual, kerangka-kerangka penghidupan, menurut saya, dapat membantu
penelitian apa pun. Kerangka ini dapat memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan
dan debat terbuka—tetapi harus diiringi oleh pentunjuk yang penting diperhatikan.
Bab 4
Semua orang bicara tentang institusi/pranata dan organisasi tetapi bagaimana kita
mendefinisikan dan memahami keduanya? Douglas North (1999) mengajukan sebuah
definisi sederhana dan bermanfaat. Menurutnya, institusi adalah “aturan main,”
sementara organisasi adalah “pemainnya.” Sehingga, misalnya, di latar pedesaan,
pranata pernikahan, pewarisan dan penguasaan lahan punya efek terhadap siapa yang
punya akses terhadap lahan, sementara organisasi seperti gereja, perkauman,
pemerintah lokal dan pendaftaran tanah nasional merupakan latar organisasional untuk
penerapan aturan.
Tentu kenyataannya tidak sesedehana itu, sebab berlapis-lapis aturan bisa saja
berlaku, sebagian secara formal tertulis dalam undang-undang, sementara yang lain
lebih informal; dan aturan-aturan ini kemudian dijalankan oleh berbagai macam
organisasi yang bertumpang tindih. Dalam dunia nyata, tidak ada hubungan yang rapih
antara pranata dan organisasi, antara aturan dan pemain.
Maka, kembali ke contoh akses terhadap tanah pedesaan, tanah bisa saja
diperoleh melalui alokasi formal lewat badan pemerintahan yang mengurusi tanah,
misalnya melalui program landreform. Hal ini mungkin menguntungkan para
perempuan dan imigran, misalnya, sebagai bagian dari program pemberdayaan dan
pemukiman ulang. Pada saat bersamaan, tanah bisa saja diperoleh melalui pewarisan
atau lewat alokasi dari seorang pemimpin tradisional atau kepala puak, meskipun hal
ini hanya mungkin bila penerimanya adalah seorang pria dari garis keturunan setempat.
Maka, bergantung dari siapa anda, pranata berbeda berlaku dan organisasi berbeda
relevan untuk anda. Selanjutnya, pranata dan organisasi melekat secara sosial, terwujud
dalam konteks budaya, sosial dan politik tertentu. Pranta dan organisasi bukan
pengambil keputusan yang netral mengenai akses tetapi sangat dipengaruhi oleh politik.
Dalam kasus di atas, akses tanah melalui program pemerintah berkaitan dengan
pranata formal dan dikelola lewat aturan-aturan atau kebijakan tertentu. Sebaliknya,
akses melalui pemimpin tradisional bersifat informal, menjadi bagian dari “hukum
adat” (Channock 1991). Hukum semacam ini punya kaitan dengan praktik-praktik,
rutinitas dan adat lokal yang berterima (Moore 2000). Tentu, apa yang dianggap adat
dan tradisi dapat berubah (Ranger dan Hobsbawm 1983) dan dipengaruhi oleh relasi
kuasa setempat. Pranata-pranata dan organisasi informal sangat cair dan terbuka bagi
pertarungan kekuasaan di tingkat lokal. Saya bukan mengatakan bahwa institusi formal
bersifat statis dan tidak terpengaruh oleh pertarungan kekuasaan: jauh dari itu. Tetapi
pengaruh terhadap aturan dan kebijakan, sebagaimana akan dibahas di bawah,
bentuknya berbeda dan secara umum—meski tidak selalu—lebih terlihat, transparan
dan bertanggung gugat.
Maka, dalam hal tanah, pranata yang mengatur akses tanah—seperti panitia
tataguna tanah yang mengawasi pemagaran, melakukan patroli dan menjatuhkan denda
bagi penyalahgunaan dan penyerobotan—lebih mungkin bekerja baik bila tanah yang
dijaga bernilai tinggi. Di wilayah tanah penggembalaan, misalnya, lebih masuk akal
untuk berinvestasi secara institusional (melalui aturan-aturan) dan secara
organisasional (lewat panitia-panitia) guna melindungi sumber daya penggembalaan
penting, seperti cadangan padang gembalaan di musim kering, wilayah tepi sungai atau
dasar lembah basah, ketimbang berusaha mengelola padang terbuka (Lane dan
Moorehead 1994).
Akses terhadap seluruh sumber daya penting bagi penghidupan diatur oleh
beraneka jenis pranata dan organisasi. Garrett Hardin dalam makalahnya yang sering
dikutip “tragedy of the commons” (tragedi sumber daya milik bersama) (Hardin 1968)
keliru mengasumsikan bahwa “sumber daya milik bersama” terbuka untuk semua
orang. Elinor Ostrom dan kolega dalam Lokakarya Teori Politik dan Analisis Kebijakan
di Universitas Indiana, AS, menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, pengelolaan
properti bersama secara nyata beroperasi menurut aturan yang cukup ketat yang
20Ketika jabatan atau posisi seseorang digunakan untuk kepentingan pribadi melalui ikatan patron-klien,
ketimbang mengikuti pemilahan tegas antara arena publik dan pribadi (lihat Clapham 1998; Bratton dan
van der Walle 1994).
dikelola oleh organisasi yang mapan dan kadang bersifat informal (Ostrom 1990).
Ostrom mendefiniskan delapan prinsip untuk perancangan pranata bagi properti milik
bersama, mencakup kebutuhan untuk: menentukan tapal batas kelompok yang jelas;
menyesuaikan aturan yang mengelola penggunaan sumber daya milik bersama
terhadap kebutuhan dan kondisi setempat; memastikan bahwa mereka yang terpapar
efek aturan dapat terlibat dalam memodifikasi aturan tersebut; memastikan bahwa hak
pembuatan-aturan anggota komunitas dihormati; mengembangkan sistem monitoring
berbasis masyarakat; menjalankan sanksi bertahap bagi pelanggar aturan; menyediakan
piranti penyelesaian perselisihan yang mudah diakses dan berbiaya rendah; dan
merumuskan pasal-pasal tanggungjawab bagi pengelolaan sumberdaya bersama dari
tingkat lokal ke sistem yang lebih luas. Prinsip-prinsip ini, menurut Ostrom, harus
beroperasi dari skala lokal menuju tingkat global dan sangat penting untuk memahami
bagaimana penghidupan berkelanjutan dapat dicapai (Ostrom 2009).
Lebih jauh, para peneliti tanah dan penguasaan tanah menunjukkan bahwa
meski institusi memang tidak baku orang tetap terus berinvestasi ke sana karena
merupakan bagian dari proses sosial dan kultural yang tengah berlangsung (Berry 1989
dan 1993). Meskipun pranata itu punya ciri formal, dia sering merupakan tatanan
hibrida, terbangun dari aturan-aturan informal yang beraneka ragam, kerapkali
ambigu, dan terus-menerus dinegosiasikan. Pranata sangat melekat secara sosial dan
kultural, dan tidak sejalan dengan rancangan sederhana. Sifat melekat ini seringkali
berlangsung di dalam relasi sosial yang sangat timpang, yang kemudian direplikasi dan
diperkuat dalam penataan institusional (Peters 2004, 2009).
Pranata dan organisasi sangat penting dalam memahami bagaimana sebagian orang
mendapatkan akses sumber daya dan penghidupan sementara yang lain tereksklusi.
Meluaskan karya Amartya Sen, kerangka “daya-akses lingkungan” yang menyatakan
bahwa pranata memediasi akses terhadap sumber daya, dan bahwa akseslah (bukan
kelimpahan sumber daya) yang menjelaskan dilema manajemen dan tatakelola sebagian
sumber daya penting di lapangan (Leach et al. 1999). Pranata diatur oleh beraneka
ragam proses formal dan informal yang seringkali bertumpang tindih. Seperti telah saya
bahas, proses-proses ini punya dampak berbeda, dipengaruhi oleh relasi kuasa. Gender,
usia, kekayaan, etnik, kelas, lokasi dan berbagai faktor lain memengaruhi siapa yang
mendapatkan akses dan siapa yang tidak (Mehta et al. 1999).
Teori mana yang dapat membantu kita memahami proses-proses ini? Dalam
makalah mereka yang sangat berpengaruh, Jesse Ribot dan Nancy Peluso (2003)
mengajukan “teori akses” yang memanfaatkan dan meluaskan banyak dari kepustakan
yang telah dibahas di sini. Mereka melihat pemerolehan, pengendalian dan tindakan
mempertahankan akses berkaitan dengan sehimpun kekuasaan yang jauh melampaui
hak atas properti. Akses bisa ditentukan oleh berbagai mekanisme yang tumpang tindih,
antara lain teknologi, modal, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas dan
relasi sosial.
Kerangka lain yang berguna untuk memahami akses dikembangkan oleh Derek
Hall, Phillip Hirsch dan Tania Li, berdasarkan penelitian panjang mereka di Asia
Tenggara (Hall et al. 2011). Mereka menggarisbawahi bahwa berbagai macam kekuatan
eksklusi (powers of exclusion), sehingga menekankan pada pertarungan dan konflik
serta pengerahan kekuatan untuk mengekslusi orang dari tanah dan sumber daya. Ini
melengkapi pemahaman kita tentang “penutupan akses” (enclosure), “akumulasi awal”
(primitive accumulation) atau “akumulasi lewat perampasan” (accumulation by
dispossession), dengan bertanya mengapa dan bagaimana proses semacam itu terjadi
dan siapa saja yang terpapar (Hall 2012). Mereka berpendapat bahwa ada empat proses
eksklusi yang saling berinteraksi: aturan, pasar, kekuatan fisik dan legitimasi.
Pertarungan atas tanah atau air tidak hanya tentang akses terhadap sumber daya
material tetapi juga akses terhadap berbagai macam faktor lain. Tanah berkaitan sangat
akrab dengan pemaknaan sejarah, ingatan dan kultural. Demikian pula, air punya
ikatan dengan dewa, nenek moyang, mitos dan legenda. Di India Barat, misalnya, Lyla
Mehta menjelaskan bagaimana air terikat erat dengan pemaknaan kultural dan simbolik
(Mehta 2005).
Di luar dimensi kultural dan sosial penghidupan, juga terdapat dimensi personal
dan emosional yang kemudian memengaruhi pranata. Esha Shah (2012) mengulas
peran “sejarah afektif”—kebiasaan, perasaan dan emosi yang terpahat secara
mendalam—dari praktik dan perilaku yang berkaitan dengan penghidupan. Dia
berpendapat bahwa bunuh diri petani di pedesaan India tidak dapat dijelaskan hanya
dengan kondisi struktural krisis agraria yang ditebar oleh globalisasi dan liberalisasi,
atau kelangkaan material yang memengaruhi kehidupan rakyat, tetapi juga pada
bagaimana krisis dan kelangkaan itu dipahami dan dirasakan. Ini tercermin dalam
ekspresi emosional mereka seperti ketakutan, alienasi, keputusasaan, serta bagaimana
mereka menghadapi nasib atau stigma. Ini pun dipengaruhi oleh bagaimana mereka
membayangkan jati-diri mereka dan oleh identitas dan hierarki sosial yang terbentuk
secara historis.
Karena itu, bahkan jika seseorang tidak kekurangan makan secara material,
perasaan teralienasi, pengalaman terpinggirkan dan ketakutan akan kepapaan dan
kehilangan martabat bisa menyumbang dampak besar. Imajinasi dan memori kolektif
menguatkan hal ini, menggerakkan orang melakukan bunuh diri. Meskipun merupakan
tanggapan ekstrim, secara umum dapat dikatakan bahwa faktor “afektif” dapat
memengaruhi penghidupan sebagaimana faktor struktural dan material, dan selalu
saling berinteraksi, serta tidak dapat diabaikan dalam analisis penghidupan. Hal ini
kemudian mengharuskan para peneliti menelisik dan memahami dunia subyektif ini,
dan memasuki drama-drama situasi dalam kehidupan nyata.
Dengan perspektif ini, kini kita dapat melihat bagaimana pranata tidak
dibakukan dan dirancang, juga bukan hasil dari pemahaman rasional dan sederhana
atas insentif ekonomi. Pranata dibentuk dan dibentuk ulang secara dinamis, oleh
tindakan banyak aktor lokal yang terus berlangsung (Ortner 1984). Pertarungan
beragam makna untuk beraneka sumber daya terlibat dalam proses ini. Sebagai aktor-
aktor yang dapat mengetahui dan menyusun strategi dengan subyektifitas masing-
masing, fokus terhadap praktik penghidupan dapat menerangkan bagaimana pranata
diciptakan dan beroperasi. Fokus ini juga menawarkan perspektif lebih dinamis
mengenai hubungan yang diciptakan bersama oleh manusia, penghidupan dan pranata.
Semua ini membawa pesan penting bagi mereka yang terlibat dalam kajian
penghidupan, sebab bentuk-bentuk dominasi mungkin tidak hanya muncul dari
ketimpangan akses terhadap sumber daya penghidupan tertentu. Bahkan, bentuk-
bentuk dominasi itu mungkin lebih mewujud di arena sosial dan politik, menunjukkan
bagaimana orang berbeda dipandang, diakui, diidentifikasi dan diapresiasi—menurut
gender, seksualitas, disabilitas, ras, kasta atau dimensi pembeda lainnya.
Tetapi, serupa dengan cara melihat hasil penghidupan (Bab 2), tidak ada cara
tunggal yang benar untuk memahami pranata dan penghidupan. Pendekatan
komplementer yang menggabungkan analisis dari ekonomi kelembagaan, kajian sosio-
legal, antropologi hukum, sosiologi politik, ekonomi/ekologi politik dan etnografi
praktik, misalnya, dapat menghasilkan gagasan terbaik.
Proses-Proses Kebijakan
Seluruh dimensi institusional ini dipengaruhi oleh kebijakan. Dalam pembangunan, ada
banyak diskusi tentang kebijakan tetapi terbatas pada memahami apa itu kebijakan.
Secara formal, dan di banyak buku teks, kebijakan dimaknai sebagai pernyataan, aturan
dan undang-undang resmi yang punya kaitan dengan itikad pemerintah. Kebijakan-
kebijakan disepakati melalui debat politis dan diterapkan melalui birokrasi. Pandangan
linear yang kerap disebarkan menganggap penetapan agenda, kajian kebijakan dan
penetapan prioritas hingga ke penerapan dan evaluasi sebagai sesuatu yang berurutan.
Tentu saja, pandangan yang rapih dan linear seperti itu merupakan sebuah
penyederhanaan yang berlebihan. Menurut Edward Clay dan Edward Schaffer (1984:
192), kebijakan adalah “sebuah kekacauan tujuan dan kecelakaan.” Proses-proses
kebijakan berjalan tidak rapih, menemui penolakan, dan di atas semuanya, bersifat
politis (Shore dan Wright 2003). Proses-proses tersebut dipengaruhi oleh konteks,
individu-individu, dan merupakan hasil dari rentetan negosiasi yang rumit.
Hal ini sangat disadari oleh sebagian besar pembuat kebijakan. Tentu keputusan
dibuat di warung kopi atau diskusi informal; tentu kelompok-kelompok kepentingan
melakukan lobi dan memengaruhi; dan tentu proses pelaksanaan kebijakan butuh
diskresi, revisi dan perubahan di sepanjang perjalanannya. Jadi bagaimana kita
memahami proses seperti ini?
Sebuah kerangka analisa sederhana (Keeley dan Scoones 2003; IDS 2006) dapat
membantu kita melakukan pekerjaan ini. Kerangka ini memilah kekuatan narasi
(bagaimana kebijakan dibicarakan, dan bagaimana perbedaan bentuk pengetahuan dan
kepakaran dipakai), kekuatan aktor dan jaringan (bagaimana orang berbeda dan
jaringan mereka bisa berhimpun untuk memengaruhi perubahan kebijakan) dan
kekuatan politik dan kepentingan (bagaimana kelompok-kelompok kepentingan
membentuk dan memengaruhi hasil kebijakan melalui negosiasi, tawar-menawar dan
persaingan politik). Perspektif-perspektif yang bertumpang-tindih ini, dibuat dalam
satu diagram sederhana (Gambar 4.1), memungkinkan kita memahami perubahan
kebijakan melalui dimensi kekuasaan yang berbeda, serta skala dan disiplin ilmu yang
berbeda.
Gambar 4.1: Elemen-elemen kunci dalam proses kebijakan
Wacana/
Narasi
Ruang
kebijakan
Politik/ Aktor/
Kepentingan Jaringan
Sebagai contoh, ilmu politik telah lama menyatakan bahwa tawar-menawar dan
negosiasi antar-kelompok kepentingan di masyarakat adalah esensi dari politik
kebijakan. Sebaliknya, pendekatan yang lebih berorientasi aktor menelisik agensi
individu pemain kebijakan, jaringan mereka dan relasi kuasa yang melekat di dalamnya
(Long dan van der Ploeg 1989). Kekuasaan mencuat melalui politik pengetahuan,
merepresentasikan bentuk kekuasaan diskursif yang lebih cair dan merembes ke mana-
mana, menentukan bentuk-bentuk apa yang Michel Foucault sebut sebagai
“governmentality” dalam proses-proses kebijakan (cf. Foucault et al. 1991).
Di pusat diagram ada ruang kebijakan (cf. Grindle dan Thomas 1991) yang dapat
terbuka atau tertutup bergantung pada konfigurasi narasi/wacana, aktor/jaringan dan
politik/kepentingan dalam sebuah proses kebijakan. Dengan begitu, kita bisa
memahami perubahan kebijakan dengan menyelidiki ketiga dimensi ini dan
mendefinisikan ruang kebijakan apa yang tersedia, baik bagi kebijakan yang sudah ada
maupun kebijakan yang baru akan dibuat. Kerangka ini dapat dipakai untuk
menentukan status quo, ataupun sebagai alat meramal untuk menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan dan merancang taktik dan strategi untuk perubahan.
Membongkar dan mentransformasi rezim kebijakan yang ada tidaklah mudah,
mengingat kekuasaan dan persistensi narasi-narasi arus utama berkaitan dengan
deretan aktor dan kepentingan yang menyokong mereka. Sementara untuk menggeser
perspektif kebijakan, dan dengan demikian menawarkan jalan lain, akan memerlukan
kerja keras demi membangun narasi berbeda dan menciptakan persekutuan dan aliansi
baru yang dapat mendongkel atau mengkooptasi kepentingan-kepentingan yang sudah
ada.
Kebijakan sebaiknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang
terjadi di lapangan. Analisis kebijakan terlalu sering berlangsung dalam dunia abstrak,
dan mengadopsi kerangka manajerial yang linear. Padahal kebijakan terikat sangat erat
dengan praktik dan negosiasi rumit di seputar implementasinya. Proses-proses inilah
yang menstabilkan model kebijakan, melalui mobilisasi narasi dan kebijakan, gagasan
dan praktik. David Mosse (2004) berpendapat bahwa kebijakan harus selalu dilihat
dalam hubungannya dengan pranata dan relasi sosial yang menjadi wahana tempat
kebijakan diartikulasikan.
Narasi pertanian skala besar inilah yang akhir-akhir ini menopang penguasaan
tanah besar-besaran (land grab). Narasi ini dipromosikan oleh tokoh-tokoh
berpengaruh, seperti Paul Collier yang mengajukan argumen di majalah yang dibaca
luas Foreign Policy bahwa “dunia butuh lebih banyak pertanian komersial, bukan lebih
sedikit. Model pertanian besar berproduktifitas tinggi di Brazil dapat diperluas ke
wilayah-wilayah di mana pertanian jenis ini kurang dilakukan” (Collier 2008). Bank
Dunia juga ingin membangunkan ‘raksasa tidur’ yaitu Afrika lewat pertanian komersial
di seluruh wilayah padang rumput Guinea (Morris et al. 2009). Dengan para investor
dan spekulator finansial mencari pilihan-pilihan murah, dan seiring meningkatnya
harga minyak, pakan dan pangan, minat akan tanah meningkat. Aliansi-aliansi lokal
juga terbentuk di kalangan pejabat pemerintahan yang menginginkan investasi asing
(dan kadang potensi mendapatkan sogokan) dan para pemimpin tradisional yang
mungkin berpikir mereka bisa meraup untung dari kesepakatan-kesepakatan seperti itu
(Wolford et al. 2013). Koalisi multi-skala yang kuat sudah terbentuk, bervariasi menurut
latar tetapi bergabung di seputar narasi yang kuat dan disokong para pakar. Hasilnya,
sebagaimana kita lihat di beberapa tahun terakhir, adalah perampasan penghidupan,
penghancuran hak akses dan di banyak kasus kurangnya alternatif peluang kerja dan
pertumbuhan ekonomi (White et al. 2012).
Terdapat argumen alternatif dan terkoneksi dengan baik tentang pertanian skala
kecil, hak tanah rakyat lokal, dan kedaulatan pangan (Rosset 2011). Bahkan, ini sering
disokong oleh argumen yang kuat tentang efisiensi pertanian skala kecil (Lipton 2009)
atau manfaat alternatif agro-ekologis bagi industri skala besar (Altieri dan Toledo 2011).
Tetapi menghadapi koalisi kuat para investor, pemain agribisnis dari sektor swasta,
pemerintah dan elit lokal, alternatif seperti ini hanya bisa bergerak secara terbatas dan
sering dicap sebagai gagasan yang naïf dan populis.
Tentu tidak semua investasi dari luar dan kesepakatan tentang tanah merupakan
hal buruk, dan sebagian narasi yang berkaitan dengan posisi kesepakatan tanah skala
besar punya pembenaran. Dunia nyata tentu saja lebih rumit daripada lazimnya debat
kebijakan yang terbentuk di seputar serangkaian dikotomi sederhana—antara lain,
besar versus kecil, dari luar versus dari dalam, produksi pangan versus tanaman
komoditas, terbelakang versus modern. Dikotomi-dikotomi ini mengaburkan
kompleksitas yang justru hendak disingkap oleh analisis penghidupan, bahkan jika
mereka menyajikan bahan kampanye yang berguna bagi kedua pihak. Strategi lain ialah
dengan lebih dulu melihat apa yang terjadi kapan dan di mana, lalu menciptakan
sebuah alternatif narasi yang berfokus pada peluang produksi terbaik bagi petani kecil
dan mencari cara bagaimana peluang ini dapat dilengkapi dengan investasi dari luar
(Vermeulen dan Cotula 2010). Pendapat seperti ini, meskipun lebih realistis dan
pragmatis, masih rentan terhadap kooptasi dan pelemahan ketika menghadapi
kekuatan-kekuatan yang digdaya. Analisis seksama yang speksifik sesuai konteks atas
proses-proses kebijakan merupakan kebutuhan mendasar bila kita ingin
mempromosikan hak atas penghidupan.
Istilah penghidupan dan keberlanjutan saling terkait erat, khususnya dengan adanya
konsep penghidupan berkelanjutan. Meskipun punya pendahulu (Bab 1), konsep ini
dipopulerkan oleh Robert Chambers dan Gordon Conway dalam makalah mereka yang
terbit tahun 1992. Seperti disebut pada Bab 1, mereka merumuskan bahwa “sebuah
penghidupan dikatakan berkelanjutan bila dia dapat mengatasi dan pulih dari tekanan
dan guncangan, mempertahankan atau menguatkan kapabilitas dan aset, sembari tidak
menyusutkan basis sumber daya alam” (1992: 5). Definisi ini meletakkan penghidupan
di jantung sistem yang dinamis, melibatkan perubahan tekanan eksternal—baik tekanan
berjangka panjang maupun guncangan tiba-tiba. Argumen mereka juga mengaitkan
penghidupan dengan sumber daya alam dan menekanan bahwa keberlanjutan berarti
tidak menyusutkan basis sumber daya alam. Chambers dan Conway melanjutkan
dengan mengatakan bahwa keberlanjutan harus selalu menimbang pertanyaan antar-
generasi, dengan imbangan pertukaran (tradeoff) antara penggunaan sekarang dan
masa datang berada di pusat analisis penghidupan. Mereka juga menelisik
keterhubungan secara global, menekankan bagaimana penghidupan dan gaya hidup di
satu belahan dunia dapat memengaruhi pilihan-pilihan di belahan lain, baik masa kini
maupun masa datang, melalui efek global perubahan iklim sebagai salah satu faktor
lingkungan yang memengaruhi peluang penghidupan.
Dalam sebuah buku klasik, The Lie of the Land: Challenging Received Wisdom
on the African Environment, Melissa Leach dan Robin Mearns (1996) menjelaskan
bagaimana narasi perubahan lingkungan di Afrika, yang seringkali meminjam jalan
cerita klasik Malthusian tentang kiamat-dan-kesuraman, masih sangat kuat bertahan.
Pasal ini diajukan secara lebih luas oleh Emery Roe (1991) dalam bidang pembangunan
secara umum. Penyederhanaan narasi memang membantu, tetapi juga sangat melekat
dalam institusi, sistem pendidikan dan pelatihan, serta mesin kebijakan. Pelembagaan
narasi ini berlangsung dalam jangka panjang, kerapkali merentang sejak masa kolonial
hingga setelah kemerdekaan. Terlepas dari banyaknya usaha untuk mengkritik,
menantang dan mendongkelnya, narasi tersebut terus bertahan. Kemampuan ini lebih
karena kekuatan politis narasi tersebut ketimbang topangan saintifik (sering sangat
goyah, atau setidaknya terbatas pada contoh-contoh dan latar tertentu). Maka, debat-
debat tentang keberlanjutan dibangun di atas narasi semacam itu, dan debat-debat itu
lebih merupakan tanggapan refleks ketimbang analisis mendalam tentang interaksi-
interaksi dinamis dan kompleks antara manusia dan lingkungan di tempat-tempat
tertentu.
Sebagaimana dalam seluruh jalan cerita yang baik, narasi-narasi ini punya
korban dan juru selamat, orang baik dan jahat, serta solusi eksternal yang sederhana
dan seringkali heroik. Peran antagonis diciptakan—semisal para petani tebang-bakar,
pemburu dan peramu, penggembala terbelakang, pengumpul kayu bakar, pembakar
arang—dan dicap jahat dalam narasi kebijakan, seringkali dengan sedikit bukti yang
kuat. Para penjahat ini sering berupa orang miskin, kelompok terpinggirkan, dan
mereka yang mengusahakan penghidupan di luar norma para petani beradab dan
menetap atau para penghuni kota. Dalam proses ini, penghidupan dikriminalisasi dan
dianggap melanggar hukum, dan akses mereka terhadap sumber daya yang sudah lama
menjadi gantungan ditepis. Pagar dibangun untuk melindungi keanekaragaman hayati
di taman-taman nasional, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “konservasi
dengan benteng” (Brockington 2002; Hutton, Adams dan Murombedzi 2005); unit-unit
penjaga anti perambah diadakan untuk mengejar para pemburu dan menghentikan
penggembalaan ilegal; pembakaran sebagai bagian dari praktik pengolahan lahan
dilarang; dan para penggembala dihalau agar tidak menggunakan sumber-sumber daya
penting, seperti tanah basah atau daerah tepi sungai, atas nama perlindungan dari erosi
tanah.
Meskipun bermaksud baik, langkah-langkah seperti itu seringkali salah arah dan
tidak ilmiah. Ambil contoh aturan pembakaran: di padang rumput dan banyak
ekosistem hutan, api adalah bagian alamiah dari proses ekosistem dan telah lama
mempertahankan kekayaan keanekaragaman vegetasi (Frost dan Robertson 1987).
Melarang pembakaran (sehingga juga melarang peladangan bergilir, pengumpulan
madu dan penggembalaan musiman) bukan hanya berarti mengancam penghidupan,
tetapi juga menciptakan kerentanan lebih tinggi terhadap kebakaran di masa datang
(misalnya, melalui menumpuknya rumput) dan mengurangi keanekaragaman hayati
misalnya dengan menciptakan kawasan dengan tegakan yang berusia sama. Aturan ini
kemudian juga menciptakan konflik antara mereka yang diberi tugas melindungi alam
dan masyarakat setempat, sebagaimana didokumentasikan Iokine Rodriguez di
Venezuela (Rodriguez 2007).
Ekologi Non-Ekuilibrium
Ekosistem bukan sebuah unsur statis “modal alam” (cf. Bab 3) untuk dipertahankan
(atau diperdagangkan—lihat McAfee 1999). Ekosistem itu kompleks, dinamis dan
senantiasa berubah. Gagasan dari ekologi “non-ekuilibrium” menjadi penting sebab
mereka menantang gagasan statis dan manajerial seperti perlindungan, pengendalian,
daya dukung dan ambang batas (Behnke dan Scoones 1993; Zimmerer 1994; Scoones
1995 dan 1999). Ekologi non-ekuilibrium butuh pendekatan pengelolaan yang lebih
rumit, responsif dan adaptif (Holling 1973), mempertimbangkan guncangan dan
tekanan tak terhindarkan, juga memperlakukan ketangguhan dan keberlanjutan sebagai
properti yang diciptakan oleh sistem yang dinamis (Berkes et al. 1998; Folke et al. 2002;
Walker dan Salt 2006). Ini bukan hal baru bagi ahli ekologi sumber daya alam dan
penduduk lokal yang juga adalah pengelola sumber daya dalam ekosistem yang rumit.
Bahkan, persis seperti inilah ekosistem dikelola di banyak belahan bumi selama ribuan
tahun, khususnya di kawasan tropis, dengan variasi curah hujan, tempratur, kebarakan,
penyakit dan faktor penggerak ekosistem lainnya yang lebih tinggi ketimbang di
kawasan lain. Akan tetapi, sebagian karena penyederhanaan narasi tentang
pengendalian dan pengelolaan sumber daya yang telah diulas di atas, sebagian besar
rezim pengelolaan dan kebijakan tidak mengadopsi pendekatan yang responsif dan
adaptif itu terhadap hutan, padang penggembalaan, keanekaragaman hayati atau air.
Sebaliknya, pendekatan dari atas, berpegang pada gagasan mengenai ambang batas dan
pengendalian, telah menjadi inti bagi pengelolaan sumber daya di seluruh belahan
dunia.
Seluruh hal di atas memerlukan kita untuk secara langsung memerhatikan politik
keberlanjutan, secara individual, lokal maupun global (Scoones et al. 2015) dan
menciptakan pertautan baru antara penghidupan, teknologi dan kebijakan yang
menghasilkan masa depan yang lebih berkelanjutan. Apakah itu berarti beralih ke input
rendah atau pertanian agro-ekologis (Altieri 1995), kedaulatan pangan dan
pembangunan ekonomi lokal (Patel 2009; Rosset dan Martinez-Torres 2012), ‘kota
transisi’ yang menggabungkan hidup berkarbon rendah dengan tatanan ekonomi baru
(Barry dan Quilley 2009) atau mengubah pola konsumsi (Jackson 2005), semuanya
bergantung pada konteks dan pilihan-pilihan yang tersedia.
Faktor-faktor penggerak yang lebih luas dapat mengubah pola kepemilikan dan
penguasaan atau menciptakan dinamika pasar baru yang dapat memengaruhi
komodifikasi dan jual beli sumber daya. Ini kemudian berujung pada akumulasi bagi
sebagian, dan kehilangan bagi yang lain. Dalam konteks kapitalisme neoliberal dengan
finansialisasi dan globalisasi, relasi pasar sering mendominasi dan punya jangkauan
yang luar biasa luas (Harvey 2005). Pasar untuk tanah, hutan, sumber mineral dan air
telah lama hadir. Tetapi kini juga ada pasar untuk karbon, keanekaragaman hayati dan
bahkan spesies tertentu, dengan sumber-sumber daya berharga di satu belahan dunia
dilindungi sebagai bagian dari penjualan jasa lingkungan yang memungkinkan
eksploitasi di bagian dunia lainnya (Arsel dan Buscher 2012; Buscher et al. 2012;
Fairhead et al. 2012).
Ambil contoh, dalam perdagangan skema karbon global dan REDD (Reducing
Emissions from Deforestation dan Forest Degradation), karbon di hutan atau tanah
diasumsikan dapat diukur (dan karenanya dapat diperjualbelikan) dan ukurannya dapat
disetarakan dengan karbon yang dilepas ke udara sebagai emisi di belahan dunia lain.
Maka, penyerapan karbon di lahan dan hutan, menurut sejumlah standar terspesifikasi,
berbarti bahwa kredit karbon dapat dijual untuk meredam dampak perubahan iklim di
tempat lain dengan hasil positif bagi mitigasi perubahan iklim. Jutaan hektar di seluruh
dunia menjadi sasaran skema ini. Konsekuensinya bermacam-macam, bagi penyerapan
karbon (sering lebih rendah daripada yang diharapkan karena kebocoran dan sifatnya
yang non-permanen) dan manfaat bagi masyarakat (juga kerapkali lebih rendah sebab
pelekatan harga pada sumber daya menghasilkan pengusiran, perselisihan dan konflik
terbuka) (Leach dan Scoones 2015). Dengan demikian, hubungan pasar mutakhir yang
mengelola sumber daya punya dampak baru terhadap penghidupan desa, sehingga
membutuhkan perspektif yang menimbang berbagai dinamika dan koneksi globalnya.
Komodifikasi alam gaya baru ini, sebagai bagian dari “ekonomi hijau”
dimaksudkan untuk melindungi “modal alam” dengan menciptakan pasar dan dengan
demikian harga, punya konsekuensi luas bagi politik keberlanjutan (McAfeee 2012;
Corson et al. 2013). Bahkan, komodifikasi ini menjadi pola akumulasi lewat konservasi,
seiring berlangsungnya skema penyerapan karbon dan pembayaran jasa perlindungan
ekosistem (Buscher dan Fletcher 2014). Proses-proses ini membentuk jalur menuju
keberlanjutan—dan khususnya arah, distribusi dan keberagaman jalur. Ini dilakukan
dengan cara-cara mendasar, melampaui analisis ekonomi politik yang sudah ada
tentang akses dan kontrol sumber daya dalam debat tentang keberlanjutan dan
penghidupan (Leach et al. 1999; Ribot dan Peluso 2003; Peluso dan Lund 2011; lihat
Bab 4).
Oleh karena itu, kita harus menelisik bagaimana sumber, strategi dan hasil
penghidupan (Bab 2), difasilitasi atau dihambat oleh faktor-faktor penggerak struktural
yang lebih luas. Fakt0r-faktor itu boleh jadi merupakan “tapal batas” yang terbentuk
oleh keterbatasan-keterbatasan lingkungan, tetapi bisa juga berupa tapal batas sosial
dan politik, yang diciptakan misalnya oleh distribusi sumber daya yang timpang,
operasi pasar global, atau penguasaan sumber daya oleh kalangan elit.
Dengan demikian, keberlanjutan penghidupan dinegosiasikan dalam adukan
peluang dan hambatan. Sebuah jalur berkelanjutan merupakan salah satu pilihan—satu
di antara banyak pilihan, yang tidak selalu memungkinkan karena keterbatasan agensi
politik dan suara orang banyak. Membuat ulang kerangka keberlanjutan dengan cara ini
berarti membicarakan soal kekuasaan untuk menegosiasikan jalur penghidupan menuju
keberlanjutan: soal pengetahuan dan apa yang dimaksud dengan keberlanjutan di
berbagai konteks; soal akses dan kontrol sumber daya, pasar dan kemampuan untuk
memilih berbagai arah. Maka perhatian terhadap ekonomi politik penghidupan dan
lingkungan merupakan tema inti, yang akan dibahas lebih konkrit di bab selanjutnya.
Bab 6
Penghidupan berlangsung dalam konteks tertentu dan secara mendasar dipengaruhi oleh
kekuasaan dan politik. Bab 4 berfokus pada proses institusional, organisasional dan kebijakan
yang membawa pengaruh atas strategi dan hasil penghidupan. Bab 5 berfokus pada negosiasi
politis jalur-jalur menuju penghidupan berkelanjutan. Tetapi ada konteks lebih luas, di mana
analisis penghidupan harus diletakkan. Konteks itu berupa pola-pola interaksi yang terbentuk
secara struktural, bersifat historis dan berjangka panjang: relasi kuasa antar kelompok sosial,
proses kendali ekonomi dan politik oleh negara dan aktor kuat lainnya, dan beragam pola
produksi, akumulasi, investasi dan reproduksi di semua masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi
politik penghidupan.21
secara analitis bergerak menuju konsep-konsep yang lebih sederhana, dari bayangan tentang
yang konkrit menuju abstraksi yang lebih tipis hingga saya tiba pada faktor-faktor penentu yang
paling sederhana. Dari situ perjalanan harus memutar sampai saya kembali tiba pada rakyat (the
people), tetapi kini bukan sebagai kekacuan konsepsi dari keseluruhan, tetapi sebuah totalitas
yang kaya dari banyak faktor penentu dan relasi. (1973: 100)
sehingga, menurut Marx, kita dapat lebih baik memahami dunia dengan melihat aspek
material/struktural dan relasi.
21Pendirian analitis ini lebih berhubungan dengan tradisi ekonomi politik Marxian ketimbang motif
tatakelola atau politik yang kini berpengaruh dalam kajian pembangunan (cf. Hudson dan Leftwich
2014), dan dalam kerangka kajian penghidupan, antara lain menimba inspirasi dari Bernstein et al. 1992.
dan abstraksi dan kecenderungan lebih luas yang mengiringi pemahaman kelas (yang bersifat
relasional dan dinamis) inilah yang menawarkan wawasan penting mengenai jalur-jalur jangka
panjang perubahan agraria dan proses diferensiasi. Bridget O’Laughlin (2002, 2004)
menegaskan argumen ini dalam seruannya untuk melampaui metode desktiptif dan murni
empiris dalam analisis penghidupan menuju sebuah konsepsi penghidupan yang lebih teoritis
dalam konteks struktural. Ini bukan ajakan menuju sebuah meta-teori; masa itu nyaris pasti
sudah lewat (Sumner dan Tribe 2008). Ini merupakan seruan untuk lebih memerhatikan
deretan ketegangan, kontradiksi dan peluang yang muncul di antara kekuatan-kekuatan yang
kontekstual, rumit, beragam dan sangat spesifik dengan yang struktural, historis dan relasional
yang terus-menerus menempa dan menempa ulang apa yang memungkinkan dan tidak bagi
kelompok tertentu. Ini memungkinkan kita untuk bergerak melampaui deskripsi menuju
penjelasan, untuk mengaitkan pola-pola dan proses-proses yang spesifik kepada yang lebih luas,
dan menunjukkan “faktor-faktor penentu” mana saja yang penting dan bagaimana mereka
saling berhubungan.
Ini meliputi borjuasi kecil (mengakumulasi aset, menyewa pekerja, menjual surplus produk dan
seterusnya) dan sekelompok besar produsen komoditas skala kecil. Sebagian dari rumah tangga
ini lebih berhasil dari yang lain, sebab bagi banyak rumah tangga fokus terhadap strategi-strategi
penghidupan ada pada reproduksi, dengan sesekali melakukan akumulasi. Rumah tangga pekerja
tani, juga tampak dapat mengaitkan pendapatan di luar lahan tani dengan produksi pertanian
yang berhasil …. Sebaliknya, ada banyak semi-petani kecil dan buruh tani yang sering menjual
tenaga kepada petani lain, setidaknya secara musiman, dan gagal mengakumulasi, dengan
banyak di antaranya mampu mereproduksi diri. Mereka harus pergi atau bertahan hidup lewat
cara-cara yang sangat sulit. Di antara dua ekstrim ini ada kelompok campuran… Kita [dengan
demikian] melihat identifikasi klasik kelas yang jamak, mulai dari mereka yang sedang menuju ke
atas dan mengakumulasi dengan cepat (bergerak dari produksi komoditas skala kecil hingga
menjadi bagian dari borjuasi kecil pedesaan) sampai mereka yang hanya bisa bertahan hidup,
meskipun tidak hidup susah, tetapi harus melakukannya dengan berbagai cara (produksi
komoditas skala kecil, diversifikasi ke luar pertanian, mencari kerja upahan, dan sebagainya).
(Scoones et al. 2012: 521).
Lebih penting lagi, kajian ini membedakan antara mereka yang “mengakumulasi dari
bawah” dan mereka yang bergantung setidaknya sebagian kepada akumulasi “dari atas”, melalui
patronase dan cara lain. Hal ini penting dalam keseluruhan kajian dinamika agraria mengingat
sangat beragamnya aliansi dan komitmen politik dan ekonomi terhadap tanah yang dilibatkan.
Kajian ini menyimpulkan bahwa “dinamika kelas yang muncul di pemukiman baru bersifat
kompleks, seringkali bersifat sangat sementara dan tidak mudah untuk dikategorikan secara
rapih; dan dengan keberagaman usia, gender dan etnis melintasi seluruh dimensi ini, dinamika
ini menjadi lebih rumit” (Scoones et al. 2012: 521).
Lahan-lahan keluarga petani kecil selalu berubah dan tidak pernah membentuk tipe
ideal sebagaimana dibayangkan para pengusung populisme agraria. Di seluruh kasus, menjadi
buruh tani sering digabungkan dengan beraneka bentuk kegiatan lain, di desa maupun di luar.
Seiring berubahnya kapitalisme, khususnya dalam konteks globalisasi, terjadi peralihan tak
terhindarkan dalam hubungan antar-kelas. Demikian pula, kelas-kelas itu terbelah oleh dimensi
gender, generasi, etnisitas dan sebagainya, dan modal membawa efek berbeda bagi kelompok
berbeda (Bernstein 2010b).
Apakah “fakta sosial” kelas ini berujung pada bentuk-bentuk tindakan dan pertarungan
politik kolektif untuk mengamankan penghidupan di antara kelompok, ini bergantung pada
berbagai situasi kontekstual (Mamdani 1996). Di kasus Zimbabwe, pola formasi kelas menyusul
landreform menjadi sangat dinamis dan masih terus berlangsung, dengan dimensi etnisitas di
sebagian wilayah dimainkan dalam proses lebih luas (Scoones et al. 2012). Apakah bentuk-
bentuk baru tindakan politik kolektif terbentuk lewat pola ini, mengembangkan advokasi yang
kuat bagi penghidupan petani skala kecil, masih harus kita tunggu (Scoones et al. 2015).
Para penduduk desa bisa saja menjadi petani, buruh, pedagang, pelayan dan lainnya,
dengan ikatan yang melintasi pemilihan kota dan desa. Kelas tidak menyatu, ternaturalisasi
atau statis. Kajian kasus Zimbabwe yang diperkenalkan sebelumnya mengurai lima belas model
strategi penghidupan, mencakup sangat banyak jenis kegiatan penghidupan di satu provinsi
(Scoones et al. 2010, 2012). Mengingat keberagaman hibrida strategi penghidupan dan
identitas kelas, bagaimana akumulasi berlangsung? Berdasarkan penelitian di pedesaan Afrika
Selatan, Ben Cousins (2010: 17) berpendapat:
Akumulasi dari bawah yang berhasil biasanya melibatkan kelas petani kapitalis skala kecil yang
produktif, yang muncul dari populasi lebih besar yang terdiri dari produsen komoditas skala
kecil, buruh-petani kecil, pekerja upahan yang menguasai jatah tertentu dan produsen pangan
tambahan.
Bahkan, kita hanya bisa memahami jalur-jalur penghidupan berjangka panjang lewat
perspektif ini, yang dinamis, longitudinal, dan mengakar dari pemahaman akan perubahan
agraria. Sebab penghidupan tidak terisolasi dan terlepas, tetapi terikat pada apa yang terjadi di
tempat lain, baik secara lokal maupun yang lebih luas. Karena itu, perspektif ekonomi politik
yang lebih luas sangat penting bagi setiap analisis penghidupan yang efektif.
Apa arti semua ini bagi pemikiran penghidupan? Jelas, hubungan antara negara, pasar
dan warga negara menjadi titik perhatian penting. Versi masing-masing entitas ini yang
teresensialisasi, statis dan ahistoris dapat menjadi masalah. Bentuk-bentuk dominasi bisa saja
berakar dalam, dan gerakan progresif harus menantang itu. Penghidupan di seluruh dunia
terperangkap dalam krisis kapitalisme, dengan efek berganda terhadap kerja, perawatan (care)
dan lingkungan. Sebuah pendekatan politis atas penghidupan berkelanjutan harus menimbang
isu-isu ini sejak awal.
Maka, menurut Fraser (2011), muncul kebutuhan untuk mengaitkan kritik atas
komodifikasi dengan kritik terhadap dominasi. Sebagai contoh, kritik pencita lingkungan
terhadap merebaknya pencaplokan ekonomis atas sumber daya seharusnya tidak berujung pada
aliran perlindungan lingkungan garis keras yang mengeksklusi, meminggirkan dan
menyusutkan penghidupan. Demikian pula, argumen yang membela perlindungan sosial dan
penguatan penghidupan dalam ekonomi perawatan (care) tidak boleh membiarkan kondisi
ketimpangan dan eksploitasi yang ada.
Kesimpulan
Ekonomi politik penghidupan harus menjangkau seluruh dimensi yang diurai di atas, dan
melekatkan analisis itu dalam teoritisasi relasi negara, masyarakat dan alam yang cocok untuk
kondisi sekarang. Bahkan, harus mengaitkan pemahaman mikro tentang siapa melakukan apa
di tempat tertentu—kerja standar dalam analisis penghidupan—dengan faktor-faktor penggerak
struktural, kontekstual dan historis, yang membentuk peluang dan hambatan (cf. Bernstein dan
Woodhouse 2001; Batterbury 20007). Di bab berikutnya, saya akan beralih ke sejumlah contoh
dan peluasan kerangka untuk analisis penghidupan yang mengharuskan kita mengajukan
pertanyaan yang benar, yaitu yang menimbang secara serius perspektif ekonomi politik.
Bab 7
Mengajukan Pertanyaan yang Benar:
Meluaskan Pendekatan Penghidupan
Untuk memahami ekonomi politik isu-isu penghidupan sebagaimana diuraikan di Bab 6 kita
perlu mengajukan pertanyaan yang benar. Henry Bernstein menawarkan serangkaian
pertanyaan dasar yang sangat berguna—Michael Watts menamainya “haiku Bernstein” (Watts
2011). Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dikaitkan langsung dengan analisis penghidupan
konvensional, memperdalam dan meluaskan kerangka analitis yang sudah ada sebelumnya.
Empat pertanyaan inti dapat ditanyakan (Bernstein et al. 1992: 24-25; Bernstein 2010a):
Siapa punya apa (atau siapa punya akses terhadap apa)? Ini berkaitan dengan
properti dan kepemilikan aset dan sumber-sumber penghidupan
Siapa melakukan apa? Ini berhubungan dengan pemilahan kerja secara sosial,
perbedaan antara siapa yang mempekerjakan dan siapa yang dipekerjakan, serta
pemilahan berdasarkan gender.
Siapa dapat apa? Ini bekaitan dengan pendapatan dan aset, serta pola akumulasi dari
waktu ke waktu, dan proses diferensiasi sosial dan ekonomi.
Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Ini berhubungan dengan
berbagai macam strategi penghidupan dan konsekuensinya sebagaimana tercermin
dalam pola konsumsi, reproduksi sosial, tabungan dan invenstasi.
Selain empat pertanyaan ini, kita dapat menambahkan dua pertanyaan (lihat
www.iss.nl/ldpi), keduanya berfokus pada tantangan sosial dan ekologi yang menjadi ciri
masyarakat dewasa ini:
Bagaimana kelas dan kelompok sosial di masyarakat dan dalam negara saling
berinteraksi? Ini berfokus pada relasi sosial, institusi dan bentuk-bentuk dominasi
dalam masyarakat dan antara warga dan negara ketika mereka membawa efek terhadap
penghidupan.
Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh dinamika ekologi dan sebaliknya? Ini
berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ekologi politik, dan bagaimana dinamika
lingkungan memengaruhi penghidupan. Ini kemudian dibentuk oleh aktivitas-aktivitas
melalui pola-pola dan daya akses sumber daya.
Bila digabungkan, enam pertanyaan inti kajian agraria dan lingkungan kritis ini,
memberi landasan yang kuat bagi kajian penghidupan yang berusaha dihubungkan dengan
ekonomi politik dinamika perubahan agraria. Sebagaimana akan dijelajahi lebih jauh pada bab
selanjutnya, kerangka penghidupan asli dapat diperkuat dengan pertanyaan-pertanyaan ini,
menggeser analisis menuju lapangan penyelidikan terhadap dinamika agraria yang lebih kritis.
Gambar 7.1 menawarkan versi perluasan dari kerangka penghidupan, dengan memasukkan
enam pertanyaan ini, mengangkat aspek-aspek yang seringkali terlewatkan dari kerangka asli.
Ini bukan upaya untuk mempromosikan kerangka baru yang harus diikuti semua orang. Saya
malah mendorong Anda untuk merumuskan versi Anda sendiri! Yang penting adalah
memikirkan secara serius pertanyaan-pertanyaan, hubungan dan koneksi dalam analisis
tersebut dan, sebagaimana ditekankan dalam bab berikutnya, melakukan inovasi dengan
penggabungan metodologi untuk menjawabnya.
Kasus 1: Wilayah adat India Barat (Mosse et al. 2002; Mosse 2007, 2010)
Kasus ini berfokus pada masyarakat adivasi (kesukuan) di pegunungan berhutan India Barat,
tempat pertanian dan penghidupan berbasis hutan semakin berkaitan dengan ekonomi pekerja
migran yang dipicu oleh kecepatan perluasan ekonomi di kota-kota India yang sedang
bertumbuh. Tipe-tipe relasi sosial yang mencuat dari perkembangan ekonomi kapitalis
menguatkan pola penyingkiran dan merawat eksploitasi, perampasan dan alienasi.
Siapa punya apa? Hak atas tanah di kawasan hutan mengalami pelemahan akibat
serangkaian intervensi dari luar, dimulai sejak masa kolonial dengan pembuatan tapal batas
hutan dan berlanjut hingga sekarang, khususnya di masa reformasi ekonomi dengan
penguasaan tanah dan tambang yang didukung negara. Hal ini melemahkan strategi-strategi
penghidupan tradisional, memicu hilangnya aset dan berujung pada meningkatnya kemiskinan.
Siapa melakukan apa? Para petani adivasi menanam bebuliran untuk pasar lokal.
Seiring berjalannya proses inkorporasi, pasar-pasar itu menjadi lebih labil, dan petani dipaksa
bermigrasi secara musiman untuk memertahankan penghidupan. Peluang-peluang migrasi
meningkat pesat, khususnya dalam sektor konstruksi di kota-kota sekitar, tetapi kerja upahan
mereka bergaji rendah dan dimediasi oleh perekrut buruh yang eksploitatif.
Siapa dapat apa? Terjadi peningkatan pola diferensiasi, sebab kawasan-kawasan yang
dulunya terpencil menjadi sasaran kekuatan pasar dan penetrasi kapital. Terjadi pola
kemiskinan yang terus meningkat dan tingginya tingkat kerentanan di sejumlah kelompok
masyarakat. Para tuan tanah, peminjam uang dan perekrut buruh meraup keuntungan.
Hasilnya, ketimpangan menanjak.
Apa yang mereka lakukan dengan apa yang mereka dapatkan? Para petani skala kecil
menjual bebuliran yang juga bahan pangan mereka untuk membayar utang. Para pekerja tanpa
keterampilan dan serabutan menawarkan upah rendah dan kondisi kerja yang buruk, tetapi
memungkinkan mereka mengirim uang ke desa, dan kadang berinvestasi untuk produksi di
desa. Mereka yang mengeksploitasi relasi sosial produksi dan pasar dapat meraup untung dari
bentuk-bentuk ketimpangan baru tersebut.
Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan yang dulunya hutan
menjadi sangat gundul, seringkali melalui eksploitasi komersial oleh orang luar. Kawasan
pegunungan rata-rata kering dan tidak subur, sehingga produksi pertanian rentan terhadap
kekeringan. Kerentanan ekologis itu meningkat seiring dengan pertumbuhan orang setempat
yang mengakses basis sumber daya yang kian susut.
Siapa punya apa? Para petani lokal memiliki dua sampai tiga hektare kebun kakao yang
dulunya merupakan ladang milik bersama. Penanaman kakao menciptakan individuasi
penguasaan lahan dan bertumbuhnya tuna kisma (orang tanpa tanah). Petak-petak lahan yang
terindividuasi dan berpagar juga dijual, sering karena krisis dan kebutuhan uang mendadak.
Para pendatang dan orang-orang lokal yang lebih kaya menjadi pembeli tanah, meningkatkan
pola diferensiasi dalam hal penguasaan lahan.
Siapa dapat apa? Diferensiasi dengan kecepatan tinggi berlangsung melalui individuasi
penguasaan dan komoditisasi tanah dan tanaman komoditas. Hal ini membuat sebagian dapat
mengakumulasi tanah secara besar-besaran, sementara yang lain menjadi buruh upahan tak
bertanah. Aliran masuk para pendatang ke sejumlah kawasan berujung pada diferensiasi antara
penduduk setempat dan pendatang, dengan banyak penduduk setempat terlempar dari tanah
mereka.
Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Investasi oleh mereka
yang mengambil untung dari masa jaya kakao meliputi perbaikan rumah, pembelian kendaraan,
dan simbol-simbol modernitas lain di kawasan pesisir. Sebagaiman disebutkan, mereka yang
kehilangan tanah harus bergantung pada kerja upahan, dengan upah digunakan untuk
kebutuhan pokok.
Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan pegunungan yang luas,
dulunya dicirikan oleh sistem perladangan dengan masa bera beberapa tahun, telah
bertransfomasi menjadi kebun tanaman komoditas dengan sistem monokultur, dengan sisa
kawasan hutan sangat terbatas. Sistem perladangan lama mengalami tekanan karena arus
masuk pendatang, tetapi juga oleh wabah hama dan penyakit yang merusak tanaman lama
mereka, sehingga menguatkan dorongan untuk beralih ke kakao.
Siapa punya apa? Landreform pada 1964 dan 1973 memungkinkan pertanian skala kecil
berkembang, dan cengkraman hacienda dan gereja melemah. Rakyat beralih dari hubungan
kerja upahan yang menyebabkan ketergantungan menuju produksi mandiri. Kondisi yang keras
dan kurangnya akses terhadap sumber daya berarti diversifikasi penghidupan menjadi penting.
Siapa melakukan apa? Rakyat menggabungkan produksi skala kecil dengan migrasi,
sangat mencerminkan pemilahan gender dengan pria (muda) bermigrasi ke kawasan-kawasan
pesisir. Akan tetapi, para pria mempertahankan ikatan dengan kampung halaman dan investasi
dari hasil kerja di rantau terus berlangsung, khususnya untuk membangun rumah. Sebagian
telah berhasil mengakses tanah yang mahal, seperti lahan-lahan beririgasi di dasar lembah, dan
dapat membangun produksi tanaman holtikultura; sementara yang lain melakukan diversifikasi
dengan menjadi pedagang kecil, bekerja di pabrik tekstil atau di sektor jasa pariwisata.
Siapa dapat apa? Pendapatan dari lahan pertanian menurun, dan sangat labil. Karena
itu, diversifikasi menjadi amat penting dan migrasi dibutuhkan untuk bagi banyak orang.
Sebuah proses diferensiasi juga sedang berlangsung, dipengaruhi oleh kepemilikan aset lokal
(khususnya tanah berkualitas tinggi) dan peluang-peluang migrasi dan non-pertanian.
Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Menyusul landreform,
mereka yang dapat membeli tanah berkualitas tinggi meraup untung dari akumulasi di desa dari
pertanian. Sebagian lainnya yang mengandalkan penghidupan beragam terus berinvestasi untuk
rumah dan lahan pertanian di sekitar rumah mereka.
Kasus 4: Perkebunan Anggur Tanjung Barat, Afrika Selatan (du Toit dan Ewert
2002; Ewert dan du Toit 2005)
Kasus ini berfokus pada produksi anggur di provinsi Tanjung Barat, Afrika Selatan. Perubahan
di pasar anggur global, bersama deregulasi industri serta intervensi pemerintah terhadap hak-
hak pekerja, menghasilkan transformasi besar dalam hal peluang-peluang penghidupan, baik
bagi petani maupun pekerja. Sebuah pola diferensiasi baru muncul, memperhadapkan para
produsen yang dapat menjual ke pasar internasional dengan harga tinggi dengan mereka yang
lebih bergantung pada pasar lokal, dan antara para pekerja tetap dengan mereka yang hanya
dapat bekerja musiman.
Siapa punya apa? Perkebunan anggur sangat beragam dalam hal ukuran dan organisasi,
dengan level peluang kerja yang berbeda, baik yang tetap maupun musiman/harian. Tampak
kecenderungan ke arah semakin tidak menentunya ikatan kerja, dengan pekerja temporer
punya kian sedikit sumber daya dan hidup dalam kemiskinan yang kian mendalam di tengah
dan pinggiran kota di daerah-daerah produsen anggur. Akan tetapi, kekuatan ekonomi tidak
lagi berada dalam genggaman para petani anggur tetapi mereka yang berada di hilir rantai
komoditas, dalam pengolahan dan pemasaran. Ini memengaruhi ruang manufer para produsen
anggur.
Siapa melakukan apa? Dalam persaingan pasar global, tekanan untuk memodernisasi
produksi sangat kuat. Ini berarti mempekerjakan pekerja terampil secara tetap dengan kondisi
kerja yang nisbi baik (seringkali lelaki dan diambil dari komunitas “berwarna” campuran), dan
mempekerjakan secara musiman para buruh migran perempuan, berkulit gelap, penutur Xhosa.
Seluruh perkebunan anggur telah merumahkan pekerja tetap dan meningkatkan ikatan kerja
musiman (kasualisasi).
Siapa dapat apa? Perbedaan mencolok tampak antara kebun-kebun yang dapat menjual
ke pasar ekspor bernilai tinggi dan mereka yang tidak bisa, juga antar-kategori pekerja. Dengan
begitu, peluang penghidupan juga berbeda. Perbedaan-perbedaan ini berdiri di atas sejarah
jangka panjang, kondisi agro-ekologi varietas anggur tertentu, kolaborasi bisnis serta
keterampilan dan latar belakang pekerja. Ras merupakan faktor penentu penting yang
membedakan peluang penghidupan, dengan orang-orang kulit putih pemilik perkebunan,
pekerja tetap yang umumnya adalah ras campuran, dan pekerja musiman yang sebagian besar
berkulit hitan.
Apa yang mereka lakukan dengan yang mereka dapatkan? Dengan bertumbuhnya
konsumsi anggur di Eropa dan kini Asia, keuntungan ekspor menjadi sangat besar. Hal ini
diterjemahkan menjadi gaya hidup mewah para produsen anggur yang sukses. Aturan-aturan
ketenagakerjaan memaksa peningkatan kondisi kerja bagi pekerja tetap, dan gaji dapat
menyokong penghidupan mereka, dengan pengeluaran berfokus pada pemenuhan pangan dan
barang-barang konsumsi. Jumlah pekerja musiman bertambah, kebanyakan peremuan, tinggal
di luar perkebunan dalam kondisi yang buruk di pemukiman-pemukiman perkotaan dan
pinggir kota, dan tidak dapat bergantung sepenuhnya pada upah kerja. Kelompok ini
mengalami kemiskinan mendalam, dan bersandar pada kegiatan penghidupan yang beragam
dan dana pembagian hibah pemerintah untuk bertahan hidup.
Siapa punya apa? Tanah cukup melimpah dan anggota keluarga pria sering mengolah
lahan yang besar, meski luasan lahan sangat beragam. Para perempuan mengolah petak-petak
lahan kecil di dekat rumah. Petak-petak lahan tampak berbeda antara lahan-lahan sempit dekat
rumah yang diolah secara intensif dan lahan-lahan luas yang jauh dari rumah. Aset kunci
mereka berupa ternak, baik sapi maupun ternak kecil, dan bajak. Kotoran ternak penting bagi
produksi pertanian, khususnya karena harga pupuk terus membumbung. Pola kepemilikan aset
sangat beragam, dengan segelintir laki-laki memiliki sebagian besar ternak dan bajak.
Siapa melakukan apa? Para pria di kelompok rumah tangga menanam sorgum dan
jewawut, juga kapas, kacang tanah, kacang hijau dan padi. Para perempuan berfokus pada
kacang tanah dan sayuran. Semakin banyak perempuan juga terlibat dalam kerja non-
pertanian, seperti berdagang di pasar, seringkali dengan keuntungan tipis. Para pria bermigrasi
di musim kering, juga dengan upah rendah. Keluarga-keluarga miskin menyediakan tenaga
kerja serabutan bagi keluarga-keluarga sejahtera selama masa tanam.
Siapa dapat apa? Keluarga-keluarga yang memang sudah punya modal sumber daya
(khususnya ternak dan peralatan bercocok tanam) dan suplai tenaga kerja siap pakai di
kelompok rumah tangga mereka, berikut tenaga kerja upahan, dapat mengakumulasi kekayaan
dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan cuaca dan pasar. Akses terhadap tenaga kerja
menjadi faktor kunci yang membedakan antar-kelompok rumah tangga, dan ini berubah-ubah
dari waktu ke waktu karena siklus demografis dan faktor-faktor dadakan (contigent) seperti
kematian, sakit, kecacatan dan perantauan para pria. Faktor-faktor ekonomi eksternal, dihela
oleh krisis ekonomi yang meluas di level nasional, memengaruhi penghidupan lewat tekanan
harga, undur dirinya bantuan negara dan susutnya peluang pekerja migran.
Apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka dapatkan? Investasi berfokus pada
aset kunci seperti ternak dan bajak. Ternak-ternak kecil menjadi penting untuk dijual di luar
musim tanam, sehingga makanan dan komoditas lain dapat dibeli. Investasi untuk perumahan
(atap seng), sekolah dan kesehatan anak juga penting. Pendapatan dari luar pertanian dan kerja
upahan seringkali terbatas, menarik orang keluar dari bercocok tanam dan masuk ke dalam
perangkap kemiskinan yang memertahankan kebutuhan dan kerentanan, sembari mendesak
sebagian terjun ke dalam kepapaan atau migrasi yang dilakukan secara terpaksa.
Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Pengolahan lahan kering secara
ekstensif menjadi strategi pertanian utama kawasan-kawasan padang rumput. Akses terhadap
petak-petak lahan kecil di kawasan basah, semisal di tepi sungai untuk menanam bawang
merah, tetap penting bagi sebagian orang. Dengan ketiadaan input yang stabil, melorotnya
kesuburan tanah di lahan-lahan luas telah memengaruhi produksi. Meskipun tanah tegalan
tetap tersedia untuk digarap atau dijadikan padang gembala, jaraknya kian jauh dari desa, dan
konflik-konflik tanah semakin merebak.
Kasus 6: Provinsi Hebei, timur laut Tiongkok (Jingzhong, Wang dan Long 2009;
van der Ploeg dan Jingzhong 2010; Jingzhong dan Lu 20011)
Kasus ini berfokus di Kabupaten Yixian di Provinsi Hebei, sekitar 300 kilometer dari Beijing.
Penelitian ini bersandar pada seretetan penelitian mendalam di desa-desa sekitar Kota Pocang.
Kawasan ini mengalami perubahan dalam waktu singkat, pertama ketika sistem produksi
beralih dari kolektifisasi menjadi sistem kelola berbasis rumah tangga, dan kemudian ketika
permintaan akan pekerja pria bertumbuh seiring pertumbuhan industrialisasi di Tiongkok.
Sistem registrasi rumah tangga mencegah pergerakan keluarga ke kawasan-kawasan perkotaan
dan memastikan ikatan terus berlanjut dengan kampung halaman di desa. Akan tetapi,
perubahan-perubahan di atas berujung pada pergeseran besar-besaran dalam hal penghidupan,
dengan setidaknya empat jalur pergeseran yang dapat teramati. Sebagian memperkuat
penghidupan dan produksi sebagai petani kecil, tetapi menambahkannya dengan kegiatan non-
pertanian dan berspesialisasi dalam komoditas-komoditas pertanian baru. Sebagian lain
melakukan diversifikasi keluar dari pertanian dan mendapatkan penghidupan dari luar kegiatan
pertanian di kota dan usaha pedesaan, dalam sektor penambangan atau melalui perdagangan
dan migrasi. Sebagian lain menyusutkan skala pertanian hingga ke bentuk sederhana di petak-
petak lahan kecil ketika para pria merantau dan orang-orang tua, perempuan dan anak-anak
ditinggal di desa. Sebagian lainnya terseret menuju jurang kemiskinan ketika peluang-peluang
penghidupan lenyap. Meski memulai dengan aset yang nisbi setara ketika tanah dialokasikan
kepada individu, pola diferensiasi terjadi. Hal ini dipengaruhi oleh kebijakan negara, relasi
sosial di dalam dan luar desa dan perubahan pola migrasi.
Siapa punya apa? Tanah didistribusi dalam sistem kelola rumah tangga pada awal
1980-an. Masing-masing rumah tangga mendapatkan luasan yang sama. Kini ukuran tanah
rata-rata mengecil, biasanya kurang dari satu hektare, kadang hanya sepersepuluh hektare, dan
sebagian menyewa lahan dari warga lain. Warga desa punya akses terhadap tanah di
pegunungan melalui sistem kontrak, dimana satu atau dua hektare dikontrakkan selama lima
puluh sampai tujuh puluh tahun untuk padang gembala dan penanaman pohon. Aset kunci
lokal berupa ternak (khususnya domba untuk produksi wol) dan pohon (utamanya buah dan
pohon kacang-kacangan, termasuk apel dan walnut). Komoditas-komoditas ini telah menjadi
fokus spesialisasi produksi pada tahun-tahun belakangan ini.
Siapa dapat apa? Meski mendapatkan alokasi tanah yang dengan ukuran setara, pola
diferensiasi semakin membesar, digerakkan oleh akses yang berbeda terhadap pendapatan dari
kiriman para perantau (remitansi). Sebagian dapat mengakumulasi kekayaan dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan dan koneksi yang mereka kembangkan dengan sering
bepergian dan relasi sosial. Melakukan spesialisasi dalam pekerjaan bernilai tinggi, seperti
produksi wol, irigasi sayuran atau pemeliharaan tanaman obat, sebagian lainnya dapat menjadi
lebih kaya dan mengkonsolidasikan penghidupan di desa.
Apa yang mereka lakukan terhadap apa yang mereka dapatkan? Remitansi
menggerakkan banyak investasi untuk perumahan dan barang-barang konsumsi tetapi juga
produksi pertanian. Ini meliputi alat pertanian (seperti traktor roda tiga dan peralatan irigasi),
input (termasuk pupuk) dan infrastruktur (seperti rumah kaca). Akan tetapi, sebagian besar
pendapatan dari remitansi dibelanjakan untuk kebutuhan dasar, untuk reproduksi dan bertahan
hidup, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial bagi keluarga yang ditinggal di kampung.
Bagaimana perubahan politik dibentuk oleh ekologi? Kawasan ini merupakan daerah
pegunungan, dengan tanah kurus dan berpasir. Akses terhadap irigasi di sungai (lembah) sangat
penting bagi produksi pertanian, sementara akses terhadap padang penggembalaan di
pegunungan melalui sistem kontrak amat menentukan bagi perawatan ternak. Kehadiran
tambang di kawasan ini telah memengaruhi peluang penghidupan non-pertanian. Kurangnya
lahan dengan irigasi berkualitas membatasi pertumbuhan potensi pertanian dan mendorong
diversifikasi non-pertanian dan migrasi.
Tema-Tema yang Mencuat
Masing-masing kasus ini, dari latar yang sangat beragam, menunjukkan bahwa penghidupan
pedesaan berwatak dinamis, beragam, serta ditempa oleh proses-proses jangka panjang dan
penggerak struktural yang berdaya jangkau luas. Kegiatan-kegiatan pertanian dan non
pertanian dicampurbaurkan; kaitan antara pedesaan dan perkotaan sangat vital. Kita tidak
dapat melekatkan penamaan secara sederhana terhadap tipe dan identitas penghidupan,
sebagaimana dicatat Bernstein (2010a): rakyat adalah petani, pekerja, pedagang, migran,
kadang seluruhnya secara bersamaan. Sebagaimana ditunjukkan pada bab berikutnya,
kombinasi metode dan perspektif longitudinal dibutuhkan untuk memahami penghidupan
pedesaan. Enam tema mencuat dari kasus-kasus ini yang menguatkan beberapa poin yang telah
diungkap dalam buku ini sejauh ini:
Berbagai jenis penghidupan pedesaan muncul dari proses jangka panjang diferensiasi
agraria. Sangat penting untuk memahami bagaimana pola akumulasi terjadi dan untuk
keuntungan siapa, serta bagaimana kelas-kelas berbeda terbentuk. Kelas-kelas yang
terbentuk kadang bersifat hibrida, menggabungkan kerja upahan atau kewirausahaan
dengan pertanian, misalnya. Sebuah pembauran (bricolage) dinamis kegiatan
penghidupan berbeda menjadi lumrah. Para petani jarang yang hanya bekerja sebagai
petani saja, sebagaimana para buruh upahan sering punya kegiatan lain untuk
mempertahankan penghidupan mereka. Maka, perspektif yang utuh dan inklusif
terhadap penghidupan sangat dibutuhkan.
Banyak kegiatan penghidupan berlangsung di luar lahan pertanian, baik di dalam ruang
pedesaan maupun perkotaan. Kaitan antara tempat-tempat ini—sepanjang waktu, lintas-
generasi, di dalam dan antar-rumah tangga—sangat penting untuk memahami
penghidupan pedesaan. Sangat sering kelompok-kelompok paling miskin memadukan
berbagai macam kegiatan untuk membentuk penghidupan yang sangat rapuh dan
rentan. Migrasi pekerja menjadi ciri yang senantiasa memberi pengaruh penting
terhadap penghidupan, tidak hanya lewat aliran kiriman uang tetapi juga melalui
perubahan aspirasi, nilai dan norma budaya.
Seluruh penghidupan dipengaruhi oleh perubahan pasar dan koneksi global. Pergeseran
dalam pasar global punya efek gema sehingga perspektif lebih luas dalam menilai
penghidupan menjadi sangat penting. Negara juga penting, sekalipun kadang tersamar.
Proses regulasi/deregulasi, penetapan standar dan lainnya memengaruhi siapa dapat
melakukan apa, dan apa yang harus membayarnya. Fasilitasi negara bagi investasi asing
atau pengembangan infrastruktur juga membentuk ulang peluang-peluang penghidupan
dengan cara fundamental.
Akan tetapi, perubahan di tingkat global dan nasional selalu dimediasi di tingkat lokal.
Artinya, dampak-dampak penghidupan tidak seragam, dan menyelidiki penghidupan
membutuhkan pemahaman terperinci akan proses-proses sosial, institusional dan
politik di tingkat lokal. Kesementaraan, agensi dan pengalaman kontekstual tertentu
seluruhnya menjadi faktor penting dalam menjelaskan bagaimana proses kapitalis
berskala besar beroperasi, berikut relasi histotis, budaya dan sosial yang sangat penting
untuk menjelaskan perubahan penghidupan dalam jangka panjang.
Dengan demikian, analisis ekonomi politik perlu mengartikulasikan pemahaman
mengenai relasi-relasi sosial dan bagaimana mereka memengaruhi institusi dan
organisasi. Ini perlu dilakukan di berbagai level, dari latar yang sangat mikro—seperti
pengelolaan tenaga kerja di dalam satu rumah tangga—sampai ke proses-proses yang
lebih luas—semisal organisasi kolektif petani dan pekerja. Karena itu, ekonomi politik
bukan hanya tentang elemen-elemen makro perubahan struktural tetapi juga dinamika
relasi kuasa tingkat mikro yang berkaitan dengan produksi, reproduksi dan investasi.
Dalam konteks diferensiasi yang melaju cepat, pembagian kekuasaan dan klaim-klaim
yang bersaing dalam memperbutkan sumber daya untuk penghidupan, konflik antar-
kelompok, merupakan ciri-ciri yang terus mencuat. Ini seringkali muncul ketika tatanan
institusional dan legal bersifat hibrida dan tidak jelas, menyulitkan negosiasi dan
arbitrase yang jelas. Konflik antara pendatang dan orang setempat, antar-generasi,
antar-gender, dan antara tuan tanah dan pekerja, seluruhnya terlihat di kasus-kasus di
atas. Untuk memahami akar dan dinamika konflik-konflik tersebut, analisis
penghidupan harus berfokus pada titik perjumpaan antara kekuasaan dan agensi.
Kesimpulan
Menghubungkan analisis penghidupan yang terperinci dan longitudinal di latar tertentu dengan
proses perubahan agraria, pola akumulasi dan investasi serta pembentukan kelas dapat
membantu kita mengaitkan realitas lokal dengan proses-proses yang lebih luas. Upaya ini
mengharuskan kita mengajukan pertanyaan yang benar tentang relasi sosial produksi dan kerja,
dan basis ekologis dari relasi tersebut. Enam pertanyaan kunci yang diajukan dalam bab ini
menghadirkan daftar awal. Kasus-kasus yang diulas di atas menunjukkan bahwa menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dapat mengungkap banyak hal. Tetapi masing-masing kasus akan
membutuhkan investigasi yang unik; sehingga sementara mereka bisa saja menjadi pengingat
berguna ketika disandingkan dengan kerangka penghidupan berkelanjutan (Gambar 7.1),
deretan pertanyaan itu seharusnya tidak digunakan secara berlebih dan eksklusif.
Tantangan kita ialah menemukan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi, dan untuk
meletakkan temuan-temuan ini dalam pemahaman dinamika perubahan politik dan ekonomi.
Sebab, hanya dengan wawasan-wawasan ini, intervensi-intervensi untuk menyokong
penghidupan dapat berhasil. Maka, sebagai peneliti, praktisi atau gabungan keduanya, kita
perlu tahu keberagaman jalur penghidupan, dan relasi di antara mereka untuk mengetahui apa
saja yang bisa berhasil bagi siapa. Kita perlu tahu pola penyokong relasi sosial dan institusi,
termasuk peran negara, dan dampaknya bagi hasil-hasil penghidupan, untuk memahami siapa
yang menang dan siapa yang kalah, serta piranti institusional dan kebijakan mana yang bisa
berperan. Serta, kita perlu tahu bagaimana penghidupan dan ekologi saling membentuk, dan
dengan begitu bagaimana penghidupan dapat lebih berkelanjutan.
Invervensi terhadap penghidupan selalu memasuki sistem yang dinamis dengan sejarah
yang rumit dan kesalingkaitan yang berlipat ganda. Memahami bagaimana sebuah intervensi
dapat dilakukan mengharuskan kita menimbang kerumitan tersebut. Sebuah intervensi
terhadap penghidupan akan berdampak pada keseluruhan sistem penghidupan, apakah itu akan
melibatkan perubahan aturan penguasaan tanah; pergeseran regulasi di seputar migrasi;
bantuan penambahan asset di kelompok tertentu; fokus terhadap tanaman komoditas tertentu
melalui penelitian dan penyuluhan pertanian; investasi usaha skala kecil di sebuah wilayah;
ataupun kombinasi antar-pendekatan ini atau dengan lainnya. Ini bukan sebuah argumen untuk
tidak melakukan intervensi, sebab pengentasan kemiskinan, perbaikan penghidupan, serta
pemberdayaan ekonomi dan sosial semuanya penting dilakukan. Akan tetapi, sebuah analisis
penghidupan sebagaimana diulas di sini harus membuat mereka yang terlibat dalam intervensi
lebih punya banyak informasi, punya dasar lebih baik dan lebih siap untuk menilai deretan
risiko dan konsekuensi dalam konteks pendekatan penghidupan.
Bab 8
Jenis-jenis pertanyaan yang diajukan pada bab sebelumnya menyarankan metode campuran
untuk menjawabnya. Pertama-tama tujuannya adalah untuk “menyingkap” dan “meluaskan”
debat (cf. Stirling 2007) tentang perubahan penghidupan. Keberagaman metode—kuantitatif,
kualitatif, deliberatif, partisipatif, dan sebagainya—relevan (Murray 2002; Angelsen 2011).
Tetapi bagaimana kita memilih? Apakah ini kerja yang tidak mungkin dilakukan?
Bagi para peneliti, kerja mereka mungkin lebih mudah pada masa-masa sebelum
munculnya spesialisasi disiplin yang berlebihan, ketika masing-masing disiplin mengusung
rangkaian metode terakreditasi tertentu untuk dipublikasikan. Pembelajaran dan kerja tim yang
lebih fleksibel dan oportunistik (berdasar tujuan) masih mungkin dilakukan, dan dialog antar-
disiplin masih sering terjadi (cf. Bardhan 1989). Demikian pula, bagi para praktisi, keterbukaan
dan pembelajaran masih lapang ketika tekanan dari “budaya audit” dan pengejaran kesuksesan
dan dampak progam belum membebani mereka. Wajar jika pada masa itu metode-metode awal
pendekatan penghidupan berkembang pesat, di era ketika tantangan lebih bersifat praktis dan
berorientasi hadap masalah. Ketika itu, mereka tidak terlalu dibebani oleh spesialiasi sempit
dan metode-metode, pengukuran dan alat ukur yang mengiringinya, serta tidak terlalu dibatasi
oleh prosedur-prosedur birokratis (Bab 1).
Di bab ini saya akan meninjau beragam metode yang digunakan dalam analisis
penghidupan. Bab ini akan dibuka dengan pertanyaan bagaimana serangkain metode dapat
disandingkan untuk meruntuhkan dinding disiplin ilmu dan menangkap kerumitan dan variasi
latar penghidupan nyata. Kemudian dilanjutkan dengan melihat metode-metode untuk
mengoperasionalkan pendekatan penghidupan dalam pelaksanaan dan kebijakan
pembangunan, dan menimbang kesesuaian antara metode-metode itu dengan praktik dan
kebijakan tersebut. Akhirnya, saya akan mengulas tantangan-tantangan yang dihadapi ketika
melekatkan analisa ekonomi politik pada pendekatan-pendekatan penghidupan.
Secara metodologis, apa saja ciri pendekatan penghidupan awal? Pertama, perhatian terhadap
interaksi ekologi dan masyarakat, politik dan ekonomi. Berbeda dengan pemilahan disiplin
masa kini, tidak ada garis tegas yang memisahkan ilmu alam dan sosial, ilmu ekonomi dan
politik. Kedua, perhatian terhadap sejarah dan dinamika jangka panjang. Ini memungkinkan
pengamatan masa kini diletakkan dalam konteks historis; kadang dengan teori perubahan
historis tertentu, sebagaimana yang dilakukan Marx. Pendekatan-pendekatan studi pedesaan
secara eksplisit berwatak longitudinal, kadang merentang hingga tiga puluh tahun atau lebih.
Ketiga, prinsip triangulasi sangat jelas: pemeriksaan-silang, melihat dari perspektif berbeda dan
menggunakan metode-metode berbeda sekaligus.
Begitu cengkraman disiplin menguasai upaya-upaya pembangunan—dan bahkan dunia
akademi secara umum—sejak 1970-an dan 1980-an, bermunculanlah isu-isu yang dilihat dari
fokus tunggal dan sempit. Di beberapa bidang—kedokteran dan fisika kuantum misalnya—
spesialisasi disiplin punya manfaat yang jelas. Tetapi di bidang lain manfaatnya kabur. Karena
pembangunan kemudian terseret menjadi cabang tertentu ekonomi neo-klasik, setidaknya di
tempat-tempat penting, seperti Bank Dunia dan agen-agen pembangunan penting, sudut
pandang neo-klasik menjadi lebih terang-benderang. Rekomendasi yang kian sempit kemudian
menyusul. Program penyesuaian struktural menjadi solusi satu-satunya. Dan sisanya, menurut
mereka, sudah jadi sejarah. Kurun ini mengilustrasikan bagaimana dominasi satu perspektif
disiplin dapat menyempitkan metode, menutup debat, mengesampingkan perspektif lebih luas
dan memungkinkan satu pendekatan tertutup bagi kritik agar bisa berhasil. Sebagaimana dalam
kasus ini, pendekatan tunggal, diperkuat oleh proses-proses politik dan institusional yang
mengabaikan alternatif lain, dapat berujung pada kerusakan dan penderitaan besar-besaran
(Wade 1996, Broad 2006).
Tentu saja, ada penolakan terhadap hegemoni ini. Penentangan ini datang dari berbagai
medan pertarungan, dari gerakan sosial dan dunia akademis hingga praktisi dan pihak lain yang
melihat kerusakan terus berlansung. Sebagai contoh, pada akhir 1970-an, karena frustrasi
melihat keterbatasan dari apa yang kelak disebut Robert Chambers sebagai “perbudakan
survai”, muncul kaji cepat pedesaan (rural rapid appraisal). Pendekatan ini mendapatkan
banyak pengikut pada 1980-an, meminjam dari metode penelitian antropologi, psikologi, agro-
ekosistem dan lainnya (Howes dan Chambers 1979; Chambers 1983; Conway 1985).
Dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi, pendekatan ini memungkinkan tim lapangan
berangkat ke desa-desa untuk menemukan apa yang terjadi dan menyusun pemahaman nyata
akan penghidupan. Ini kemudian dikenal dengan nama “kaji cepat partisipatif” (participatory
appraisal) (Chambers 1994) dan “pembelajaran dan tindakan partisipatif”22 (participatory
learning and action) seiring didorongnya keterlibatan warga lokal dalam penelitian lapangan.
Masih pada 1970-an, muncul gerakan serupa yang mungkin lebih radikal di kalangan
aktivis sosial dan para akademisi, khususnya di Amerika Latin. Dengan label “penelitian aksi
partisipatif” (participatory action research) (Fals Borda dan Rahman 1991; Reason dan
Bradbury 2001), gerakan ini menimba inspirasi dari Paulo Freire (1970) dan kritiknya terhadap
sekolah dan cara belajar konvensional. Diadopsi oleh gerakan sosial, sebagai bagian dari teologi
pembebasan, pendekatan ini melengkapi pemahaman mendalam warga lokal akan kondisi
hidup mereka, pemahaman yang berbasis tindakan. Dalam kasus ini mereka menghadapi
penindasan para diktator Amerika Latin.
Meskipun hegemoni disiplin ilmu tertentu menguasai level kebijakan, banyak hal
berlangsung di lapangan. Kajian pedesaan tradisional masih bertahan, dengan dilakukannya
banyak kajian terperinci mengenai dinamika perubahan jangka panjang pedesaan. Steve
Wiggins menyusun daftar dua puluh enam kajian di Afrika, masing-masing menunjukkan
bagaimana perubahan berlangsung kompleks dan beragam (Wiggins 2000). Kajian historis
berjangka panjang yang dilakukan Sara Berry di Ghana (1993) dan Mary Tiffen dan kolega di
Awalnya RRA Notes lalu PLA Notes diterbitkan oleh Internatonal Institute for Environment and
22
Ketika para peneliti kemiskinan menemukan kembali dinamika jangka panjang, serta
ciri-ciri transisi dan ambang batas (lihat Bab 2), perhatian kembali tertuju pada kajian-kajian
longitudinal, memanfaatkan survai berulang dan penelitian etnografis jangka panjang. Peter
Davis dan Bob Baulch (2011) menyajikan sebuah survai yang bermanfaat mengenai metode
seperti itu yang diterapkan dalam sejumlah kajian kemiskinan di Bangladesh. Mereka kembali
mempertahankan argumen mengenai nilai penting metode campuran, yang menggabungkan
metode kualitatif dan kuantitatif, metode survai dan sejarah hidup (Baulch dan Scott 2006).
Pada tahun-tahun belakangan ini, sebuah ciri sistem pedesaan yang sering disebut—
kompleksitas—mendapatkan perhatian metodologis dalam kajian pembangunan (Eyben 2006;
Guijt 2008; Ramalingam 2013). Meminjam dari tradisi panjang dan beragam dari sains dan
metode kompleksitas—dari tradisi pemodelan kuantitatif Insitut Santa Fe23 hingga penelitian
yang lebih kualitatif berdasarkan teori grounded dan analisis berjalan (Denzin dan Lincoln
2011)—pendekatan kompleksitas telah menjadi tambahan penting bagi pengayaan piranti
konseptual dan metodologis kajian-kajian penghidupan.
Pendirian metodologis apa pun yang digunakan, seluruh wawasan biasanya berdiri pada
posisi tertentu, plural dan parsial. Ihwal ini muncul dalam kritik-kritik feminisme yang menilai
bahwa seluruh pengetahuan mau tidak mau “tersituasikan” dan bahwa pendirian “keterbukaan
dalam berbuat” (“passionate detachment”) yang juga mengakui subyektifitas, identitas dan
lokasi diperlukan bagi penelitian manapun (Haraway 1998). Dengan kata lain, kita harus
menginterogasi bias-bias dan asumsi-asumsi dalam pembentukan pengetahuan dan harus
melakukan refleksifitas dalam proses penelitian (Prowse 2010).
Bagaimana para praktisi lapangan dan pembuat kebijakan menanggapi merebaknya pendekatan
penghidupan, dan bagaimana mereka merespons kencederungan ini dalam debat yang lebih
luas? Bagaimana ini diterjemahkan dalam metode-metode dan pendekatan opeasional tertentu?
23
www.santafe.edu/
Satu tanggapan yang seringkali muncul terhadap penggabungan wawasan dari debat-
debat yang disebutkan di atas ialah dengan memproduksi survai-survai atau kaji cepat
penghidupan terpadu sebagai bagian dari proyek pembangunan, kerja-kerja bantuan atau
tanggap darurat bencana. Bentuknya beraneka macam, dengan derajat kompleksitas dan
kecanggihan yang juga beragam.
Sebuah pendekatan serupa juga digunakn untuk mengkaji kerentanan.25 Sekali lagi,
pedoman ini biasanya dimulai dengan pendekatan keseimbangan pangan tetapi juga melihat
ragam kegiatan penghidupan yang berkontribusi untuk mendapatkan pangan, termasuk
penghidupan di dalam dan luar lahan pertanian. Kajian kebecanaan,26 lebih sering diasosikan
dengan tanggap darurat ketimbang monitoring tahunan, berfokus pada perubahan basis aset,
dan khususnya strategi menghadapi ancaman, tetapi sekali lagi mencoba menerapkan
pandangan holistik terhadap penghidupan untuk membantu tanggap darurat tetapi juga kerja-
kerja rehabilitasi.
Kaji cepat kemiskinan telah menjadi langkah wajib dalam makalah-makalah strategi
pengentasan kemiskinan dan membutuhkan kaji cepat penghidupan yang beragam, baik di desa
maupun kota (Norton dan Foster 2001). Kadang-kadang asesemen-asesmen itu diterapkan
sebagai survai yang luas, mengadopsi teknik dan pengukuran yang membaurkan berbagai
macam metode sebagaimana di singgung di atas; di lain kesempatan mereka digunakan sebagai
pendekatan yang lebih partisipatif dengan warga lokal diminta mendefiniskan pemahaman
mereka tentang kemiskinan (Booth dan Lucas 2002; Lazarus 2008).
Sebagaimana disebut di Bab 2, jumlah sumber data yang telah diperbaiki untuk
mengasupi survai-survai dan kaji cepat seperti itu telah meningkat. Survai Pengukuran Standar
Hidup, misalnya, menjadi prosedur rutin di banyak negara, diulang pada rentang waktu
tertentu secara teratur. Di banyak tempat berlangsung survai longitudinal, bersama kajian-
kajian berjangka panjang yang terdokumentasi dengan baik. Badan-badan statistik dapat
24 www.savethechildren.org.uk/resources/online-library/practitioners%E2%80%99-guide-household-
economy-approach
25 ftp://ftp.fao.org/.../Vulnerability%20Assessment%20Methodologies.doc
26 www.disasterassessment.org/section.asp?id=22
menyediakan data yang lebih umum mengenai berbagai elemen penghidupan, meskipun di
Afrika kualitas data seperti ini masih dapat dipertanyakan (Jerven 2013).
Akan tetapi, tidak satu pun dari pendekatan ini secara serius menimbang aspek politik
dan lebih khusus lagi ekonomi politik. Dengan pengecualian tertentu, banyak dari aspek
metodologis arus utama yang berkaitan dengan kajian penghidupan akhir-akhir ini—RRA, PRA,
kaji cepat dan survai-survai kemiskinan, asesmen kerentanan dan lainnya—tidak menimbang
pertanyaan politik yang berada di baliknya. Alat-alat ini mungkin lumayan baik untuk
menjawab pertanyaan “apa yang terjadi?” tetapi pertanyaan “mengapa?” sering terlewatkan. Ini
terjadi sebagian karena mereka sering mengesampingkan politik, atau membungkusnya agar
tampak lebih bersih, sebagaimana di banyak penerapan kerangka penghidupan yang dibahas
pada Bab 3. Sebagaimana saya ulas di bab sebelumnya, kita sangat perlu mengembalikan politik
ke dalam kajian penghidupan. Sebab politiklah, atau lebih tepatnya ekonomi politik—dan
dimensi institusional, pengetahuan dan relasi sosialnya—yang menentukan siapa punya apa,
siapa dapat apa dan seterusnya: pertanyaan-pertanyaan kunci dalam pendekatan penghidupan
yang diperluas, yang diangkat pada Bab 7.
Lantas bagaimana rangkaian teknik, alat-alat, metode dan model yang kita punya—pilihannya
melimpah—digunakan untuk menjawab deretan pertanyaan sentral dalam analisis penghidupan
dan perubahan agraria? Tabel 8.1 merangkum enam pertanyaan kunci yang diulas pada Bab 7
sebagai bagian dari kerangka penghidupan yang diperluas, dan menyajikan kemungkinan-
kemungkinan metode yang bisa membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu
rangkuman ini selalu bergantung pada konteks, keterampilan dan perhatian khusus, dan
lainnya, sehingga harus dilihat sebagai ilustrasi saja dan bukan sebagai resep baku.
Sebagaimana telah dijelaskan, cadangan piranti kajian tersedia dalam jumlah melimpah.
Dan kita masih bisa menambah lebih banyak metode lagi. Tetapi yang penting adalah
bagaimana memilih piranti tertentu di seputar kerangka tertentu untuk melakukan penelitian,
ketimbang alat-alat itu sendiri. Artinya, kita harus mengajukan pertanyaan yang benar, dan
mencari metode yang cocok untuk menjawabnya dan untuk konteksnya. Kerangka penghidupan
yang diperluas (Bab 7) adalah langkah pertama, dan digabungkan dengan Tabel 2, menawarkan
permulaan sebuah pendekatan terhadap analisa penghidupan yang mempertimbangkan secara
serius ekonomi politik perubahan agraria dan penghidupan. Akan tetapi, penting mengingat
bahwa kita tidak mengikutinya seperti resep baku tetapi mengadopsi, membuat penemuan dan
mengubah, selalu dengan memerhatikan analisa terpadu yang mengaitkan aktivitas
penghidupan tertentu dengan proses-proses politik struktural lebih luas yang menyokongnya.
Semua ini bergantung pada apa yang ingin kita capai. Pendekatan penghidupan yang
diperluas itu boleh jadi berguna bagi peneliti yang tertarik menghubungkan informasi mengenai
penghidupan yang terperinci dan speksifik konteks dengan proses perubahan lebih luas.
Sebagai pengambil kebijakan, informasi seperti itu mungkin dapat membantu menjelajahi
berbagai skenario perubahan dalam kondisi kebijakan makro atau dalam penataan institusional,
dan untuk memeriksa dampak-dampak yang paling mungkin muncul terhadap penghidupan
rakyat. Sebagai praktisi lapangan, memikirkan tentang konsekuensi-konsekuensi intervensi
dalam sistem yang kompleks dapat membantu mengidentifikasi risiko, imbangan pertukaran
(tradeoffs), dan tantangan-tantangan, serta memastikan bahwa hasil-hasil yang lebih inklusif
dan berkelanjutan dapat dicapai.
Menantang Bias
Pertanyaan-pertanyaan yang baik dan pembauran metode bukan tongkat ajaib untuk
memperbaiki penghidupan. Tetapi mengajukan pertanyaan yang benar, melebarkan cakupan
analisis dan membuka debat kebijakan dapat membantu. Terlepas dari penekanan retorik
tentang “pendekatan penghidupan” akhir-akhir ini, upaya-upaya pembangunan tak punya
rekam jejak yang baik dalam memperbaiki penghidupan. Sebagaimana diungkap Robert
Chamber tiga puluh tahun lalu dalam buku klasiknya Rural Development: Putting the Last
First (1983), pembangunan desa masih dipenuhi dengan bias-bias profesional, berujung pada
pemaksaan dari atas dan proyek-proyek yang salah sasar. Tania Li (2007: 7) menyebutkan
dalam bukunya The Will to Improve:
“Mesin anti-politik” (Ferguson 1990) pembangunan menciptakan bias yang berlipat ganda
melalui deretan praktik dan rutinitas. Di bidang-bidang yang tampak sangat teknis seperti
agronomi, pertarungan politik atas pembentukan kerangka dapat memengaruhi metode dan
hasil (Sumberg dan Thompson 2012).
Dalam sebuah buku tentang perkembangan penggembalaan di Afrika yang saya sunting
bersama Andy Catley dan Jeremy Lind (2013), kami menyajikan sebagian kontras antara
“melihat seperti agen pembangunan” dan “melihat seperti seorang penggembala” (Tabel 8.2).
Para aktor pembangunan—baik agen pemerintah, staf lembaga dana atau pekerja proyek
ornop—berulang-ulang menyalahpahami konteks penghidupan penggembala di banyak faktor.
Kesalahpahaman seperti itu berlumuran bias politik, budaya dan historis, dan dihiasi dislokasi
geografis mengingat jauhnya jarak kawasan penggembalaan dari kota dan pusat-pusat
kekuasaan. Buku itu menekankan agar kita menggeser sudut pandang dari ibu kota ke daerah
pedesaan, dari pusat ke pinggiran dan dari perspektif pakar elite ke para penggembala sendiri.
Tetapi mencermati apa saja yang dikatakan orang setempat seharusnya bukan sekadar
tindakan populis. Para advokat pembangunan partisipatif telah lama mempromosikan
kebutuhan memahami “pengetahuan lokal” (Brokensha et al. 1980) dan mendengarkan “suara
kaum miskin” (Narayan et al. 2000). Sejak 1980-an, deretan metodologi penelitian partisipatif
berkembang secara besar-besaran, menyokong pendekatan pembangunan dari-bawah. Meski
demikian, upaya semacam itu terlalu sering melewatkan dinamika pemiskinan yang mendasar,
pola diferensiasi dan jalur-jalur penghidupan jangka panjang di latar berbeda. Sekadar
anggukan superfisial terhadap pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal tidak memadai
(Scoones dan Thompson 1994). Akibatnya, tanpa analisis mendalam dan tentangan terhadap
struktur kekuasaan, pola pembangunan serupa kembali muncul, dengan label baru: sebuah
tirani baru, menurut sebagian kalangan (Cooke dan Kothari 2001).
Akan tetapi, perspektif penghidupan sebagaimana disajikan di buku ini dapat menggeser
pemahaman kita dan mengarahkan ke jenis-jenis tindakan lain. Pergeseran fokus dapat
mengubah parameter diskursif dari debat: dari “melihat seperti seorang agen pembangunan”
menjadi “melihat seperti seorang penggembala”, misalnya. Sebagaimana dibahas pada Bab 4,
pergeseran narasi di seputar persoalan kebijakan bisa punya dampak besar, bahkan sampai
bagaimana pembangunan dipraktikkan di lapangan. Deliberasi yang mendasar mengenai
pilihan-pilihan—atau jalur-jalur—penghidupan juga dapat menyingkap imbangan pertukaran-
pertukaran penting. Kita akan mendapatkan banyak pengetahuan dengan bertanya siapa punya
apa, siapa melakukan apa, siapa dapat apa, dan apa yang mereka lakukan terhadap yang mereka
dapatkan?
Kesimpulan
Sebuah pendekatan penghidupan yang dilengkapi dengan pertanyaan yang benar dan
pembauran metode yang cocok—dan kadar pengakuan terhadap bias yang memadai—dapat
menawarkan fokus debat dan deliberasi yang baru. Bahkan, pendekatan seperti ini bisa
menggeser perspektif kita dan menantang asumsi-asumsi kita, baik yang berkaitan dengan
pemahaman epistemologis (apa yang kita ketahui) dan ontologis (apa yang ada). Pemahaman
lebih mendalam yang berangkat dari sebuah analisis penghidupan kemudian dapat membantu
mengasupi informasi bagi persoalan-persoalan kebijakan lebih luas, antara lain misalnya
siapakah kaum miskin itu, di mana mereka tinggal, bagaimana kemiskinan dialami dan apa
yang dapat dilakukan untuk menguranginya?
Bab 9
Nilai penting melibatkan kembali politik dalam analisis penghidupan menjadi tema yang
senantiasa muncul dalam buku ini. Sebagaimana dibahas di Bab 3, instrumentalisasi analisis
penghidupan, melalui pencaplokan kerangka penghidupan dalam debat dan pelaksanaan
program lembaga-lembaga bantuan, menunjukkan bahwa politik seringkali dikesampingkan
atau bahkan hilang. Mengingat posisi kunci institusi, organisasi dan kebijakan dalam analisa
penghidupan—dan peran kunci politik dalam membentuk proses-proses itu—telah tiba
waktunya untuk kita mendudukkan dan menyegarkan kembali dimensi politik dalam analisa
penghidupan.
Buku ini telah berusaha melakukannya dengan berbagai alat dan pendekatan
konseptual, dan mempertajam kerangka asli untuk menekankan aspek politik. “Melibatkan
kembali politik” tentu adalah slogan berguna, dicabar oleh Chantal Mouffe dalam bukunya yang
singkat dan memukau On the Political (2005). Dia dengan tegas menolak pendekatan simplistik
terhadap demokrasi partisipatif dan deliberatif, menekankan bahwa apa yang dia sebut sebagai
“politik yang menyakitkan”—konflik, argumen, debat, ketidaksepakatan, perseteruan—harus
selalu menjadi pusat bagi transformasi demokratis. Menantang posisi “pos-politik”, dia
menyatakan:
Pendekatan seperti itu keliru secara mendasar dan [pendekatan] itu, ketimbang
berkontribusi terhadap ‘demokratisasi demokrasi’, menjadi sumber bagi banyak masalah
yang saat ini dihadapi institusi-institusi demokrasi. Pemikiran-pemikiran seperti ‘
demokrasi non-partisan’, ‘tatakelola pemerintahan yang baik’, ‘masyarakat sipil global’,
‘kedaulatan kosmopolitan’, ‘demokrasi absolut’—menyebutkan hanya beberapa dari
sekian banyak istilah yang kini sedang naik daun—seluruhnya mengambil bagian dalam
visi anti-politik yang menolak mengakui dimensi antagonistik yang membentuk ‘politik’.
Itikad mereka adalah menciptakan dunia yang ‘melampaui kiri dan kanan’, ‘melampaui
hegemoni’, ‘melampaui kedaulatan’ dan ‘melampaui antagonisme’. Hasrat-hasrat seperti
itu menyingkap ketakpahaman tentang apa yang dipertaruhkan di dalam politik
demokratis dan [ketakmengertian] tentang dinamika pembentukan identitas politik dan
… itu berkontribusi terhadap memburuknya potensi antagonistik yang sudah ada di
masyarakat. (Mouffe 2005: 1-2)
Tetapi di manakah letak politik semacam itu dalam analisis penghidupan yang telah
dipertajam? Saya ingin menekankan empat wilayah inti, masing-masing telah digarisbawahi di
berbagai titik pada bab-bab sebelumnya. Keempatnya adalah politik kepentingan, individual,
pengetahuan dan ekologi. Saya akan mengelaborasi secara ringkas masing-masing di bawah,
tetapi secara bersandingkan keempatnya menambahkan apa yang saya sebut sebagai
“melibatkan kembali politik” sebagai aspek sentral dalam analisa penghidupan. Di bagian akhir
bab ini, di ujung buku ini, saya akan membahas implikasi dari pendekatan yang lebih politis ini
terhadap penghidupan dan pembangunan desa bagi pengorganisasian dan tindakan.
Politik kepentingan
Kita tidak bisa menghindar dari fakta bahwa peluang-peluang penghidupan ditempa oleh
kepentingan dan politik struktural lebih luas yang dibentuk secara historis yang memengaruhi
siapa kita dan apa yang dapat kita lakukan. Bila anda membaca buku ini, mungkin anda hidup
berkecukupan, tentu anda berpendidikan, dan sangat punya peluang penghidupan yang bagi
banyak orang lain, dengan intelegensi dan kapasitas setara, hanya dapat diangankan.
Keistimewaan ini muncul dari lokasi kita, etnisitas, gender, kelas dan kekayaan yang kita warisi,
akses kita terhadap sumber daya, sejarah kita dan banyak lagi faktor lain. Politik kepentingan
menjadi pusat bagi fitur struktural yang menentukan hidup kita. Sebagaimana disebutkan oleh
Marx: “Orang membuat sejarah mereka sendiri, tetapi tidak melakukannya seperti yang mereka
kehendaki; mereka tidak membuatnya dalam situasi dimana mereka bisa memilih, tetapi dalam
situasi yang sudah ada, terberi dan diwariskan dari masa lalu.”
Pemahaman kita mengenai proses-proses ini harus diletakkan dalam kerangka ekonomi
politik lebih luas yang terbentuk secara historis di tempat tertentu. Dalam konteks kurun
globalisasi yang intensif di bawah neoliberalisme, pengangkangan sumberdaya untuk
penghidupan melalui komodifikasi dan finansialisasi lumayan terdokumentasikan—baik berupa
lahan pertanian, dan serbuan investasi terhadapnya (lihat Bab 5), maupun alam itu sendiri,
melalui akuisisi karbon, keanekaragaman hayati atau hak-hak jasa ekosistem. Penetrasi kapital
dan politik kepentingan lebih luas yang mengiringi proses ini punya dampak penting terhadap
penghidupan di seluruh dunia. Pertanyaan dasar seperti siapa punya apa dan siapa dapat apa
menjadi senantiasa relevan. Dengan begitu, setiap analisis penghidupan sentiasa berakar pada
ekonomi politik lebih luas, meletakkan pemahaman mikro akan strategi-strategi penghidupan
di tempat tertentu dalam perspektif yang lebih luas ini.
Politik Individual
Analisis struktural, historis dan ekonomi politik seperti itu sangat esensial di satu level resolusi,
tetapi perhatian terhadap individu-individu yang membentuk sistem penghidupan juga sangat
penting di level lain. Di berbagai bagian buku ini, saya menekankan pendekatan berorientasi-
aktor dan pentingnya memahami agensi, identitas dan pilihan ketika memikirkan tentang
penghidupan. Menelusuri hingga apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh individu-
individu merupakan bagian penting dalam analisis penghidupan. Berfokus pada perilaku, emosi
dan respons individu—ketimbang melakukan agregat dan homogenisasi—dapat membantu
untuk memahami kenyataan beragam penghidupan. Kesejahteraan muncul, sebagaimana kita
lihat pada Bab 2, dari keberagaman sumber daya. Tentu saja faktor-faktor material sama
pentingnya dengan aspek-aspek sosial, psikologis dan emosional.
Dunia yang kita tinggali, identitas dan subyektifitas kita, berikut pengalaman kita sangat
penting menentukan siapa kita dan dan apa yang kita lakukan. Ini berhubungan dengan politik
yang sangat personal yang sejalan dengan struktur ekonomi politik yang kita diskusikan di atas.
Contoh, politik tubuh, gender dan seksualitas dikondisikan dan dibentuk oleh kekuatan-
kekuatan berdaya jangkau luas ini (struktur ekonomi politik), tetapi politik-politik ini tetap
sangat personal, terbungkus dalam identitas tertentu. Saya telah menyinggung nilai penting
istilah Nancy Fraser (2003) “politik pengakuan” bersama perhatian lebih tradisional kajian-
kajian penghidupan terhadap politik akses, kontrol dan redistribusi.
Politik Pengetahuan
Politik pengetahuan dirajut melalui seluruh diskusi tentang penghidupan pada bab-bab
sebelumnya. “Pengetahuan siapa yang dipertimbangkan?” menjadi pertanyaan kunci dalam
setiap analisis. Robert Chambers (1997a), misalnya, bertanya “realitas siapa yang kita
perhatikan?” Versi penghidupan siapa yang dianggap valid dan mana yang dilihat sebagai
sempalan dan butuh perubahan, punya dampak besar terhadap kebijakan. Banyak dari
pemikiran tentang penghidupan disusupi asumsi-asumsi tentang apa saja yang membentuk
penghidupan yang baik. Seorang petani pemilik lahan juga yang membanting tulang dilihat oleh
banyak kalangan sebagai orang yang lebih berharga ketimbang orang yang mencari hidup
dengan mengumpulkan sampah, berburu atau pekerja seksual, misalnya. Petani yang
menggarap lahan sendiri mungkin dilihat lebih berharga ketimbang buruh yang mereka
pekerjakan, yang kadang tidak terlihat dan kurang dihargai. Usaha yang terspesialisasi dan
terfokus secara profesional menciptakan penghidupan tunggal oleh sebagian kalangan dianggap
lebih unggul ketimbang penghidupan yang dibentuk dari beraneka ragam sumber, dan
memadukan sekian banyak keterampilan dan koneksi di banyak tempat. Pembentukan
kerangka penghidupan, dengan demikian, menjadi penting bagi setiap analisis, juga untuk
menggeledah dan mempertanyakan tekanan-tekanan institusional dan kebijakan yang
membentuknya (Jasanoff 2004).
Politik pengetahuan juga bermain dalam cara kita mengukur, menghitung, menilai,
mengevaluasi dan memvalidasi penghidupan dalam metodologi penghidupan. Sebagaimana
didiskusikan pada Bab 2, ada berbagai cara yang sama validnya untuk mengkaji hasil-hasil
penghidupan. Tidak ada satu pilihan yang superior, atau yang lebih “benar” daripada yang lain.
Ini semua bergantung pada posisi normatif, asumsi-asumsi disiplin ilmu dan konteks
analisisnya. Tetapi dalam hierarki disiplin dan profesi yang memengaruhi perkembangan
penelitian dan praktik, politik pengetahuan sering beroperasi dengan cara tertentu sehingga
menjadikan indikator-indikator sempit, kuantitatif dan terukur sebagai yang paling valid. Versi
pengetahuan seperti ini mendominasi lingkaran kebijakan, juga didanai, diakreditasi dan
diterima sebagai yang valid.
Politik Ekologi
Dalam kurun perubahan lingkungan yang berlangsung cepat, serta menghadapi serangkaian
tantangan bagi keberlanjutan secara lokal dan global yang secara langsung berdampak terhadap
penghidupan, baik dalam bentuk perubahan iklim, perluasan kawasan perkotaan, penggunaan
air atau polusi beracun, kita harus memerhatikan politik ekologi. Sebagaimana diulas di Bab 5,
pendekatan ekologi politik dalam analisis penghidupan telah lama menjadi bagian dari kerja
intelektual yang lebih luas. Pasal yang penting dikemukanan adalah bahwa ekologi dan politik
punya hubungan timbal-balik: ekologi membentuk politik dan politik membentuk ekologi.
Mengabaikannya akan membuat kita membayar mahal.
Penghidupan ditempa oleh berbagai macam konteks ekologis yang dinamis. Tidak ada
bentang alam yang perawan, kosong, stabil dan berada di titik keseimbangan sempurna
(equilibrium). Penghidupan harus merespons lingkungan yang beraneka ragam dan terus
berubah baik secara mendadak maupun dalam jangka panjang, serta menghadapi pola-pola
ambang batas dan titik peralihan (tipping point). Kita harus awas terhadap deretan
keterbatasan dan tapal batas, serta bagaimana menegosiasikan dan mentransformasi mereka,
baik secara politik maupun sosial. Keberlanjutan penghidupan harus memerhatikan proses
negosiasi yang liat, responsif dan terasupi informasi ini. Upaya ini termasuk mengusahakan
inovasi dan transisi teknis dan sosial yang memungkinkan berbagai tujuan diwujudkan
sekaligus—tanpa melampaui batas-batas ekologis dan mempertahankan penghidupan di dalam
ruang gerak yang aman, tetapi juga mempertahankan peluang-peluang penghidupan secara adil
dan merata. Ini jelas merupakan tugas politis dengan imbangan pertukaran antara peluang
penghidupan dan batas-batas ekologis harus dinegosiasikan di berbagai skala dan antar-
generasi. Ini butuh penyeimbangan arah perubahan dan keberagaman kegiatan penghidupan,
dan bagaimana semuanya didistribusikan.
Melibatkan empat dimensi ini (dan tentunya dimensi lain), politik penghidupan baru dapat
diciptakan. Perspektif baru ini menantang dan meluaskan pendekatan-pendekatan
penghidupan yang sudah jamak dalam pembangunan pedesaan, khususnya sejak 1990-an.
Perspektif ini menyuntikkan sejumlah aspek baru ke dalam analisis penghidupan,
mengusahakan keketatan dan kedalaman lebih. Perspektif ini juga mencoba menghindari
instrumentalisme yang menyederhanakan yang terdapat dalam versi-versi sebelumnya, tanpa
berakhir dengan sebuah pendekatan yang tidak dapat dipahami dan mustahil diterapkan.
Dengan tidak hanya merespons kebutuhan birokratis bisnis bantuan, konseptualisasi yang
politis dan telah dipertajam itu memungkinkan penciptaan ekonomi politik yang praktis, yang
berfokus pada perubahan nyata di tingkat lokal namun tidak melupakan politik struktural dan
institusional lebih luas yang menempa kondisi dan kemungkinan-kemungkinan.
Pendekatan penghidupan diperluas yang dicabar dalam buku ini menghendaki perhatian
lebih terhadap yang lokal dan partikular, mengapresiasi kerumitan masyarakat di tempat-
tempat tertentu. Tetapi ini harus dilengkapi dengan pemahaman mengenai dinamika struktural
dan relasional yang lebih luas yang membentuk lokalitas dan penghidupan. Ini merupakan
tantangan untuk bergerak melintasi berbagai skala, dari mikro ke makro, tetapi terkhusus
antar-kerangka analitis: antara yang terperinci dan empiris (dengan banyak faktor penentu) dan
yang lebih konseptual dan terteorikan (yang konkrit). Dalam pendekatan klasik terhadap
metode dalam ekonomi politik ini, bolak-balik antar-skala dan kerangka merupakan hal
penting, dan mengungkap cara proses politik menstrukturkan dan membentuk apa yang
mungkin dan yang tidak, dan untuk siapa. Maka, perubahan harga komoditas, peralihan
perimbangan pertukaran, pembiayaan invenstasi pertanian, dan kesepakatan-kesepakatan
politis di tempat yang jauh akan membawa dampak pada pola penghidupan di berbagai konteks
lokal. Pada gilirannya, ini akan memberi efek pada proses diferensiasi sosial, pola pembentukan
kelas dan relasi gender—dan dengan demikian pada penghidupan.
Sebuah posisi normatif yang berpihak kepada kaum terpinggirkan, kehilangan dan
miskin, dan yang menegaskan sebuah cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bagi semua,
juga memungkinkan kita meletakkan pendekatan penghidupan dalam proyek politik lebih luas.
Hal ini punya ikatan dengan perjuangan lain untuk merebut hak atas pangan, tanah, rumah dan
sumber daya alam, di mana penghormatan, martabat dan pengakuan terhadap berbagai
identitas dan kemungkinan penghidupan menjadi titik pusat perjuangan. Sebuah hak atas
penghidupan berkelanjutan adalah sesuatu yang berharga untuk diperjuangkan, dan buku ini
saya harap dapat membantu mengerangkakannya secara intelektual.
Perjuangan atas hak, selayaknya dipimpin oleh rakyat dan pergerakan mereka, butuh
perspektif analitis yang memasok informasi, memperdalam dan kadang menantang. Membuat
kerangka konseptual dan metode lalu menghubungkannya dengan berbagai kepustakaan dan
contoh-contoh lapangan menjadi bagian penting di dalamnya, dan merupakan sesuatu yang
hendak diusahakan oleh buku ini, sekalipun secara ringkas. Ini bukan sekadar kerja akademis,
dalam makna pejoratif. Meskipun buku ini lebih memihak kepada mahasiswa dan praktisi yang
terlibat secara kritis, masih tersisa kerja penerjemahan dan penyebarluasan untuk melebarkan
jangkauan pemikiran dalam buku ini dalam bentuk yang lebih mudah diakses, lebih populer,
melekatkannya pada contoh-contoh relevan di tempat-tempat dan perjuangan yang berbeda.
Saya berharap pembaca buku ini, di mana pun anda, akan menjalankan tahapan lanjut itu.