Anda di halaman 1dari 39

1.

Hemoglobinopati

Hemoglobinopati adalah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan


pembentukan molekul hemoglobin. Kelainan ini dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :

a. Hemoglobinopati struktural

terjadi perubahan sturktur hemoglobin (kualitatif) karena substitusi satu asam amino atau
lebih pada salah satu rantai peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian
besar merupakan varian rantai beta. Pada hemoglobinopati struktural dapat ditemukan
splenomegali namun tidak dapat ditemukan hepatomegali. Contoh hemoglobinopati
struktural adalah penyakit HbC, HbE, HbS dll

b. Thalassemia

Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau
absennya pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis
hemoglobin normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis
suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi,
membentuk Heinz bodies. Eritrosit yang mengandung Heinz Bodies ini mengalami
hemolisis intramedular sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai pemendekan masa
hidup eritrosit yang beredar.

Thalassemia

a. Definisi

Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang diturunkan


dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara autosomal resesif yang secara umum
terdapat penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin.
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun
berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia
mayor dan thalassemia intermedia.

b. Klasifikasi

Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun


berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia
mayor dan thalassemia intermedia.
o Thalassemia Alfa (α-thalassemia)

Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pada bayi yang baru lahir masih terdapat
jumlah HbF(α2γ2) yang masih cukup tinggi. Pada usia 20 hari sesudah kelahiran kadar
HbF akan menurun dan setelah 6 bulan kadarnya akan menjadi normal seperti orang
dewasa. Selanjutnya pada masa tersebut akan terjadi konversi HbF menjadi HbA(α2β2)
dan HbA2 (α2δ2).

Pada kasus thalassemia α, akan terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan
produksi rantai globin α (memiliki 4 lokus genetik) menurun yang menyebabkan adanya
kelebihan rantai globin β pada orang dewasa dan kelebihan rantai γ pada newborn.
Derajat thalassemia α berhubungan dengan jumlah lokus yang termutasi (semakin banyak
lokus yang termutasi, derajat thalassemia semakin tinggi)

Ø Silent carrier α thalassemia :

Salah satu dari empat gen α absent (αα/αo). Tiga loki α globin cukup memungkinkan
produksi Hb normal. Secara hematologis sehat, kadang-kadang indeks RBC rendah.
Tidak ada anemia dan hypochromia pada orang. Diagnosis tidak dapat ditentukan dengan
elektroforesis.

Ø α thalassemia trait :

Delesi pd 2 gen α (αα/oo) atau (αo/αo). Dua loki α globin memungkinkan erythropoiesis
hampir normal, tetapi ada anemia hypochromic microcytic ringan dan indeks RBC
rendah.

Ø α thalassemia intermedia (Hb H disease) :

Delesi 3 gen α globin (αo/oo). 2 Hb yagn tidak stabil ada dlm drh : HbH (tetramer rantai
β) & Hb Barts (tetramer rantai γ). Kedua Hb yang tidak stabil ini memp afinitas yang ›
thd O2 drpd Hb normal → pengiriman O2 yg rendah ke jaringan. Ada anemia
hypochromic microcytic dg sel-sel target dan “Heinz bodies” (precipited HbH) pd
preparat apus drh tepi, juga splenomegali. Kelainan ini nampak pd masa anak-anak atau
pd awal kehidupan dewasa ketika anemia dan splenomegali terlihat

Ø α thalassemia major/homozygous α thalassemia


Delesi sempurna 4 gen α (oo/oo). Fetus tdk dpt hidup segera sesdh keluar dr uterus dan
kehamilan mungkin tdk bertahan lama. Sebag besar bayi dmk mati pd saat lahir dg
hydrops fetalis,dan bayi yg lahir hidup akan segera mati stlh lahir, kecuali transfusi darah
intrauterine diberikan. Mereka edema dan memp sedikit Hb yg bersirkulasi, dan Hb yg
ada semua tetramer rantai γ (Hb Barts).

o Thalassemia Beta (β-thalassemia)

Thalassemia β terkadi karena mutasi pd gen HBB pd khromosom 11. Thalassemia ini
diturunkan scr autosom resesif. Derajat penyakit tgt pd sifat dasar mutasi. Mutasi
diklasifikasikan sbg (βo) jika mereka mencegah pembtkan rantai β, mereka dikatakan sbg
(β+) jika mereka memungkinkan formasi bbrp rantai β terjadi.

Terdapat rantai α relatif berlebihan, ttp ini tdk membtk tetramer. Mereka berikatan dg
membran sel drh merah, yg menyebabkan kerusakan membran, dan pd konsentrasi tinggi
mereka membtk agregat toksik.

Ø Silent carrier β thalassemia : mutasi ® tidak ada gejala, kecuali kemungkinan indeks
RBC rendah. Mutasi ® thalassemia sangat ringan (β+ thalassemia),

Ø β thalassemia trait/minor : produksi rantai β berkisar dari 0 – tingkat defisiensi yang


bervariasi. Anemia ringan, indeks RBC abnormal & Hb elektroforesis abnormal (HbA2
&/ HbF ). Hipochromia & microcytosis, target cells and faint basophilic stippling. Pada
sebagian besar kasus asimtomatik, dan banyak penderita tidak menyadari kelainan ini.
Deteksi biasanya dengan mengukur ukuran RBC (MCV : mean corpuscular volume) dan
memperhatikan volume rata-rata yang agak ↓ daripada normal.

Ø β Thalassemia intermedia (heterozygous) : suatu kondisi tengah antara bentuk major


dan minor. Penderita dapat hidup normal, tetapi mungkin memerlukan transfusi sekali-
sekali, misal pada saat sakit atau hamil, tergantung pada derajad anemianya.

Ø β thalassemia associated with β chain structural variants : sindrom thalassemia (HbE/β


thalassemia). Secara klinik : seringan thalassemia intermedia – thalassemia major.

Ø Thalassemia major (Cooley anemia) : kedua allele β-globin mutasi. Hypochromic &
microcytosis berat, anisocytosis, RBC terfragmentasi, hypochromic macrocytes,
polychromasia, RBC bernucleus & kadang leukosit immatur. Anemi tergantung transfusi,
massive splenomegaly, bone deformities, retardasi pertban. Tanpa pengobatan mati
dalam 5 tahun pertama sebab komplikasi anemia.

c. Patofisiologi

Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah
berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-
sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat,
bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan
destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi
rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.

Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,


peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia
kronis, serta proses hemolisis.

d. Patogenesis

o Thalassemia Alfa

Pada thalassemia alfa terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan tidak
terbentuknya rantai globin α. Pada newborn yang masih memiliki Hb F (α2γ2),
kekurangan rantai globin α menyebabkan terdapat rantai globin γ yang tidak
berpasangan. Rantai globin γ yang tidak berpasangan tersebut, kemudian akan
membentuk tetramer sebagai Hb Barts. Sedangkan pada bayi > 6 bulan (dimana kadar
HbF sama dengan orang dewasa) terdapat Hb A (α2β2), kekurangan rantai globin α
menyebabkan rantai β tidak berpasangan yang kemudian membentuk tetramer sebagai
HbH.

Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoiesis yang kurang efektif. Tetramer


HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies.
Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena
HbH dan Hb Bart’s adalah homotetramer yang tidak mengalami perubahan allosentrik
yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepas
oksigen pada tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Hb Bart’s sebanding
dengan beratnya hipoksia
o Thalassemia Beta

Pada thalassemia beta terjadi mutasi pada kromosom 11 yang menyebabkan tidak
terbentuknya rantai globin β yang mengakibatkan kelebihan rantai globin α pada HbA
(α2β2). Kelebihan rantai α akan mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya.
Hal ini menyebabkan pengrusakan prokursor eritrosit yang hebat intramedular. Eritrosit
yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di
lien dan oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan
penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga pada thalassemia β disebabkan oleh
berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit dan memberikan gambaran
anemia hipokrom dan mikrositer. Terjadinya eritropoesis yang berlangsusng tidak efektif
mengakibatkan jumlah eritrosit normal yang dibutuhkan menjadi berkurang. Hal ini
menimbulkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang (intramedular), dan bila
masih belum mencukupi akan dibantu dengan eritropoesis ekstramedular pada hati dan
limpa.

Sebagian kecil precursor eritrosit memiliki kemampuan membuat rantai γ menghasilkan


HbF extra uterine. Pada thalassemia β sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai α
lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Kombinasi
anemia pada thalassemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi ,
menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini
mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan parubahan tulang,
peningkatan absorbsi besi, metabolisme yang tinggi dan gambaran klinis thalassemia β
mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa
yang diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit dalam limpa,
sehngga menimbulkan gambaran hiperplenisme.

e. Manifestasi Klinis

Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemia. Gejala awal pucat (karena
pecahnya sel darah merah) mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun
pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah
lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan
anak akan terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat
disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama bisanya menyebabkan
pembesaran jantung.

Terdapat hepatomegali (pada kasus thalassemia berat) dan splenomegali yang dapat
menyebabkan penderita mudah terserang infeksi. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi
perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat
sistem eritropoiesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan,
dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat
anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawatan pendek. Kadang-kadang ditemukan
epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, pembesaran ginjal dan batu empedu.
Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia
5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat
timbul pansitopenia akibat hipersplenisme. Selain itu terdapa pula Osteoporosis

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan


perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung
(aritmia, gangguan hantara, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).

2. Anemia Normositik Normokrom

Penyebab dan patofisiologi anemia normositik normokrom

Anemia normositik normokrom dapat terjadi karena

a. Hemolitik

b. Pasca perdarahan akut

c. anemia aplastik

d. sindrom mielodisplasia

e. alkoholism

f. anemia pada penyakit hati kronik

Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah / destruksi darah yang berlebih
sehingga menyebabkan Sumsum tulang harus bekerja lebih keras lagi dalam eritropoiesis.
Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran darah tepi. Jika
retikulosit tidak ditemukan, maka dicurigai adanya anemia aplastik, anemia def besi dan
b12 yang tidak diobati, terapi radiasi, masalah endokrin, kegagalan sumsum tulang,
sindrom mielodisplasia, dan alkoholism.

a. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh pemecahan eritrosit yang
meningkat. Normal masa hidup sel eritrosit dalam sirkulasi darah berkisar diantara 100-
120 hari. Setelah kira-kira 120 hari eritrosit tersebut mengalami penghancuran oleh sistim
RE, terutama di limpa. Apabila proses penghancuran tersebut berlangsung lebih cepat
dari waktu yang tersebut diatas maka umur eritrosit memendek.

Timbulnya anemia akibat faktor yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan sumsum
tulang meningkatkan produksi eritrosit yang cukup sebagai kompensasi dari umur
eritrosit yang memendek. Bila sumsum tulangnya normal, maka dia mampu untuk
mengkompensasi berkurangnya umur eritrosit 4-6 kali dan mencegah terjadinya anemia
sehingga terjadilah keadaan yang disebut penyakit hemolitik terkompensasi. Banyak hal
yang dapat menyebabkan hemolitik, sebaiknya penyebab-penyebab hemolitik tersebut
dibagi 2 kategori:

1. Kelainan intra korpuskular. Hampir selalu herediter, dimana eritrosit abnormal sejak
pembentukannya dalam sumsum tulang.

2. Kelainan ekstra korpuskular. Hampir selalu didapat sesudah lahir, dimana eritrosit
dibentuk normal oleh sumsum tulang tetapi rusak oleh sesuatu didalam sirkulasi.

Anemia hemolitik herediter biasanya disebabkan cacat intrinsik eritrosit. Darah normal
yang ditransfusikan bertahan sama lama pada pasien ini seperti pada resipient sehat.
Anemia hemolitik didapat biasanya merupakan perubahan ekstra korpuskular atau
lingkungan, darah normal yang ditransfusikan akan mempunyai umur yang sama pendek
seperti sel eritrosit pasien itu sendiri.

Klasifikasi

a) Anemia hemolitik herediter.

1. Cacat pada membran.


2. Cacat pada metabolisme.

3. Cacat pada hemoglobin.

b) Anemia hemolitik didapat

1. Gangguan proses immunologis

- Anemia hemolitik autoimmun

- Isoimun

2. Sindrom fragmentasi

3. Hipersplenisme

4. Skunder :

- Penyakit ginjal

- Penyakit hati

5. Paroxysimal Nocturnal Hemoglobin (PNH)

6. Lain-lain ; infeksi, zat kimia, toksin, obat-obatan.

Pada beberapa penelitian sering ditemukan masa hidup eritrosit memendek pada
penderita sirosis hati. Mengapa terjadi penurunan umur eritrosit ini, alasanya belum
diketahui dengan pasti. Pada sirosis hati dijumpai adanya perubahan yang khas pada lipid
membran eritrosit, dimana rasio kolesterol dan fosfolipid membran eritrosit berubah dan
sebagai akibatnya terbentuk kelainan morfologi eritrosit berupa makrosit tipis, target sel
dan makrosit tebal. Bila kegagalan fungsi hati semakin berat, penimbunan kolesterol
dalam membran eritrosit tanpa disertai penimbunan lesitin mengakibatkan terbentuknya
spur sel (sel taji, akantosis). Dengan terbentuknya spur sel, umur eritrosit menjadi
memendek, karena terjadi hemolisis dan menandakan penyakit hati menjadi berat dan
mempunyai prognosa jelek. Disamping itu hemolisis juga diakibatkan oleh abnormalitas
metabolisme eritrosit, dengan terbentuknya Heinzbodies dan adanya penurunan ATP
pada hipofosfatemia, serta oleh adanya hipersplenisme yang menyebabkan umur eritrosit
memendek.
Gejala Klinis

Gambaran klinis suatu anemia tergantung kepada :

a) Tingkat anemia (berat, sedang, dan ringan).

b) Etiologi anemia.

c) Kecepatan terjadinya anemia (akut atau kronis).

d) Umur penderita.

e) Kemampuan sistem kardiovaskular dan pulmonal untuk melakukan kompensasi akibat


anemia.

Apabila terjadi anemia pada seorang penderita maka kemampuan hemoglobin sebagai
pengangkut oksigen dari paru-paru sampai keseluruh jaringan tubuh akan mengalami
gangguan. Kapasitas pengangkut O2 akan menurun sampai batas tertentu kesetiap
jaringan dan menimbulkan hipoksia jaringan. Akibat hipoksia, setiap jaringan akan
menimbulkan reaksi berupa gejala dan tanda yang khas untuk masing- masing organ
tubuh terutama organ vital seperti otak, jantung, paru-paru, vaskular, dan
muskuloskeletal.

Pada ummunya, gejala dan tanda anemia adalah mudah lemah, terutama waktu bekerja,
pucat pada selaput lendir mulut dan mata, gangguan kardiovaskular, jantung berdebar-
debar, nadi cepat atau sesak nafas. Adanya rasa nyeri pada dada (angina) bila disertai
iskemia.

Gejala dan tanda amemia hemolitik secara umum pasien kelihatan pucat, ikterus serta
splenomegali.

Pemeriksaan laboratorium

Hasil laboratorium dibagi menjadi 3 kelompok :

a) Gambaran peningkatan penghancuran eritrosit :

1. Bilirubin serum meningkat, terutama inderek.

2. Urobilinogen urin meningkat.


3. Sterkobilinogen feses meningkat.

4. Haptoglobin serum tidak ada karena kompleks hemoglobin-hemoglobin ditarik oleh


RE sel.

b) Gambaran peningkatan produksi eritrosit :

1. Retikulositosis.

2. Hiperplasia eritrosit sumsum tulang.

c) Eritrosit rusak :

1. Fragilitas Osmotik, otohemolitis dan sebagainya.

2. Umur eritrosit memendek. Terbaik diperlihatkan oleh penandaan (labelling) 51Cr


dengan pemeriksaan tempat -tempat destruksi.

3. Morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer, target


cell, sickle cell, sferosit.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan penyebabnya.


Bila karena reaksi toksik imunologik yang didapat diberikan adalah kortikosteroid
(prednison, prednisolon) kalau perlu dilakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak
berhasil, dapat diberikan obat-obatan sitostatik seperti klorambusil dan siklofosmid.
Mengingat insiden yang besar pada autoimun anemia hemolitik, maka jenis anemia ini
akan dibahas secara khusus seperti di bawah ini.

Anemia Hemolitik Autoimun (AIHA)

Kadang-kadang sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan fungsi dan menghancurkan


selnya sendiri karena keliru mengenalinya sebagai bahan asing (reaksi autoimun). Jika
suatu reaksi autoimun ditujukan kepada sel darah merah, akan terjadi anemia hemolitik
autoimun. Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar
penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).

Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik
antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.:

Antibodi tipe hangat (warm type) yang aktif pada suhu 37°C (85%)
Antibodi tipe dingin (cold type) yang aktif pada suhu 4°C (15%).

a. Anemia Hemolitik Antibodi Hangat.

Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh.

Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda
asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum
tulang.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita. Sepertiga penderita anemia jenis ini
menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan
ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu,
terutama metildopa. Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan,
mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar,
sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.

Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan


kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya
per-oral (ditelan).

Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut.
Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar
limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Pengangkatan limpa berhasil mengendalikan anemia pada sekitar 50% penderita. Jika
pengobatan ini gagal, diberikan obat yang menekan sistem kekebalan (misalnya
siklosporin dan siklofosfamid).

Transfusi darah dapat menyebabkan masalah pada penderita anemia hemolitik autoimun.
Bank darah mengalami kesulitan dalam menemukan darah yang tidak bereaksi terhadap
antibodi, dan transfusinya sendiri dapat merangsang pembentukan lebih banyak lagi
antibodi.

b. Anemia Hemolitik Antibodi Dingin.

Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk
autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam
suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik.
Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu
atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif
ringan dan menghilang tanpa pengobatan.

Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau
artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang
hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit
gejala.

Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri
sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan
lengan. Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.

Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada


permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.
Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya.
Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan
jarang menyebabkan gejala yang serius. Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan
bentuk yang kronik.

Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal

Definisi Hemoglobinuria Paroksismal Nokturnal adalah anemia hemolitik yang jarang


terjadi, yang disebabkan serangan mendadak dan berulang dari penghancuran sel darah
merah oleh sistem kekebalan. Penghancuran sejumlah besar sel darah merah yang terjadi
secara mendadak (paroksismal), bisa terjadi kapan saja, tidak hanya pada malam hari
(nokturnal), menyebabkan hemoglobin tumpah ke dalam darah.

Ginjal menyaring hemoglobin, sehingga air kemih berwarna gelap (hemoglobinuria).


Anemia ini lebih sering terjadi pada pria muda, tetapi bisa terjadi kapan saja dan pada
jenis kelamin apa saja. Penyebabnya masih belum diketahui. Penyakit ini bisa
menyebabkan kram perut atau nyeri punggung yang hebat dan pembentukan bekuan
darah dalam vena

besar dari perut dan tungkai. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
yang bisa menemukan adanya sel darah merah yang abnormal, khas untuk penyakit ini.
Untuk meringankan gejala diberikan kortikosteroid (misalnya prednison).

Penderita yang memiliki bekuan darah mungkin memerlukan antikoagulan (obat yang
mengurangi kecenderungan darah untuk membeku, misalnya warfarin). Transplantasi
sumsum tulang bisa dipertimbangkan pada penderita yang menunjukkan anemia yang
sangat berat.

Etiologi

Sejumlah faktor dapat meningkatkan penghancuran sel darah merah:

- Pembesaran limpa (splenomegali)

- Sumbatan dalam pembuluh darah

- Antibodi bisa terikat pada sel darah merah dan menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkannya dalam suatu reaksi autoimun

- Kadang sel darah merah hancur karena adanya kelainan dalam sel itu sendiri (misalnya
kelainan bentuk dan permukaan, kelainan fungsi atau kelainan kandungan hemoglobin)

- Penyakit tertentu (misalnya lupus eritematosus sistemik dan kanker tertentu, terutama
limfoma)

- Obat-obatan (misalnya metildopa, dapson dan golongan sulfa).

Gejala Klinis

Gejala dari anemia hemolitik mirip dengan anemia yang lainnya. Kadang-kadang
hemolisis terjadi secara tiba-tiba dan berat, menyebabkan krisis hemolitik, yang ditandai
dengan:

- demam

- menggigil

- nyeri punggung dan nyeri lambung

- perasaan melayang

- penurunan tekanan darah yang berarti.

Sakit kuning (jaundice) dan air kemih yang berwarna gelap bisa terjadi karena bagian
dari sel darah merah yang hancur masuk ke dalam darah. Limpa membesar karena
menyaring sejumlah besar sel darah merah yang hancur, kadang menyebabkan nyeri
perut. Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang berpigmen,
dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel darah merah
b. Anemia Pasca Perdarahan

Definisi

Anemia Karena Perdarahan adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah
hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang disebabkan oleh perdarahan.

Etiologi

Perdarahan hebat merupakan penyebab tersering dari anemia.

Jika kehilangan darah, tubuh dengan segera menarik cairan dari jaringan diluar
pembuluh darah sebagai usaha untuk menjaga agar pembuluh darah tetap terisi.

Akibatnya darah menjadi lebih encer dan persentase sel darah merah berkurang.

Pada akhirnya, peningkatan pembentukan sel darah merah akan memperbaiki anemia.
Tetapi pada awalnya anemia bisa sangat berat, terutama jika timbul dengan segera karena
kehilangan darah yang tiba-tiba, seperti yang terjadi pada:

- Kecelakaan

- Pembedahan

- Persalinan

- Pecahnya pembuluh darah.

Yang lebih sering terjadi adalah perdarahan menahun (terus menerus atau berulang-
ulang), yang bisa terjadi pada berbagai bagian tubuh: Perdarahan hidung dan wasir : jelas
terlihat.

Perdarahan pada tukak lambung dan usus kecil atau polip dan kanker usus besar) :
mungkin tidak terlihat dengan jelas karena jumlah darahnya sedikit dan tidak tampak
sebagai darah yang merah di dalam tinja; jenis perdarahan ini disebut perdarahan
tersembunyi.

Perdarahan karena tumor ginjal atau kandung kemih; bisa menyebabkan ditemukannya
darah dalam air kemih. Perdarahan menstruasi yang sangat banyak.

Gejala Klinis
Hilangnya sejumlah besar darah secara mendadak dapat menyebabkan 2 masalah:

- Tekanan darah menurun karena jumlah cairan di dalam pembuluh darah berkurang

- Pasokan oksigen tubuh menurun karena jumlah sel darah merah yang mengangkut
oksigen berkurang.

Kedua masalah tersebut bisa menyebabkan serangan jantung, stroke atau kematian.
Anemia yang disebabkan oleh perdarahan bisa bersifat ringan sampai berat, dan
gejalanya bervariasi. Anemia bisa tidak menimbulkan gejala atau bisa menyebabkan:

- pingsan

- pusing

- haus

- berkeringat

- denyut nadi yang lemah dan cepat

- pernafasan yang cepat.

Penderita sering mengalami pusing ketika duduk atau berdiri (hipotensi ortostatik).
Anemia juga bisa menyebabkan kelelahan yang luar biasa, sesak nafas, nyeri dada dan
jika sangat berat bisa menyebabkan kematian. Berat ringannya gejala ditentukan oleh
kecepatan hilangnya darah dari tubuh. Jika darah hilang dalam waktu yang singkat
(dalam beberapa jam atau kurang), kehilangan sepertiga dari volume darah tubuh bisa
berakibat fatal.

Jika darah hilang lebih lambat (dalam beberapa hari, minggu atau lebih lama lagi),
kehilangan sampai dua pertiga dari volumer darah tubuh bisa hanya menyebabkan
kelelahan dan kelemahan atau tanpa gejala sama sekali.

Manifestasi klinis menurut Brunner dan Suddart (2001):

a) Pengaruh yang timbul segera

Akibat kehilangan darah yang cepat terjadi reflek cardia vaskuler yang fisiologis berupa
kontraksi orteiola, pengurangan cairan darah atau komponennya ke organ tubuh yang
kurang vital (otak dan jantung). Gejala yang timbul tergantung dari cepat dan banyaknya
darah yang hilang dan apakah tubuh masih dapat mengadakan kompensasi. Kehilangan
darah 200 ml pada orang dewasa yang terjadi dengan cepat dapat lebih berbahaya
daripada kehilangan darah sebanyak 3000ml dalam waktu yang lama.
b) Pengaruh lambat

Beberapa jam setelah perdarahan terjadi pergeseran cairan ekstraseluler dan intravaskuler
yaitu agar isi iontravaskuler dan tekanan osmotik dapat dipertahankan tetapi akibatnya
terjadi hemodilati. Gejala yang ditemukan adalah leukositosis (15.000-20.000/mm3) nilai
hemoglobin, eritrosit dan hematokrit merendah akibat hemodilasi. Untuk
mempertahankan metabolisme, sebagai kompensasi sistem eritropoenik menjadi
hiperaktif, kadang-kadang terlihat gejala gagal jantung. Pada orang dewasa keadaan
hemodelasi dapat menimbulkan kelainan cerebral dan infark miokard karena hipoksemia.
Sebelum ginjal kembali normal akan ditemukan oliguria atau anuria sebagai akibat
berkurangnya aliran ke ginjal.

Penatalaksanaan

Pengobatan tergantung kepada kecepatan hilangnya darah dan beratnya anemia yang
terjadi. Satu-satunya pengobatan untuk kehilangan darah dalam waktu yang singkat atau
anemia yang berat adalah transfusi sel darah merah. Selain itu, sumber perdarahan harus
ditemukan dan perdarahan harus dihentikan. Jika darah hilang dalam waktu yang lebih
lama atau anemia tidak terlalu berat, tubuh bisa menghasilkan sejumlah sel darah merah
yang cukup untuk memperbaiki anemia tanpa harus menjalani transfusi. Zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah juga hilang selama perdarahan.

Karena itu sebagian besar penderita anemia juga mendapatkan tambahan zat besi,
biasanya dalam bentuk tablet.

c. Anemia Aplastik

Definisi Anemia aplastik merupakan suatu pansitopenia pada hiposelularitas sum-sum


tulang. Anemia aplastik didapat (Acquired qplastic anemia) berbeda dengan iatrogenic
marrow aplasia, hiposelularitas sum-sum setelah chemotherapy sitotoksik intensif.
Anemia aplastik dapat pula diturunkan : anemia Fancani genetic dan dyskeratosis
congenital, dan sering berkaitan dengan anomaly fisik khas dan perkembangan
pansitopenia terjadi pada umur yang lebih muda, dapat pula berupa kegagalan sum-sum
pada orang dewasa yang terlihat normal. Anemia aplastik didapat seringkali
bermanifestasi yang khas, dengan onset hitung darah yang rendah secara mendadak pada
dewasa muda yang terlihat normal; hepatitis seronegatif atau pemberian obat yang salah
dapat pula mendahului onset ini. Diagnosis pada keadaan seperti ini tidak sulit. Biasanya
penurunan hitung darah moderat atau tidak lengkap, akan menyebabkan anemia,
leucopenia, dan thrombositopenia atau dalam beberapa kombinasi tertentu.

Anemia aplastik sangat berat

Anemia aplastik bukan berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan
<30% sel hematopoietik residu, dan

- Dua dari tiga kriteria berikut :

netrofil < 0,5×109/l

trombosit <20×109 /l

retikulosit < 20×109 /l

Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2×109/l

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan
sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut :

- netrofil < 1,5×109/l

- trombosit < 100×109/l

- hemoglobin <10 g/dl

Etiologi Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis terkait
(Table 2); namun, hubungan ini seringkali tidak tepat dan mungkin bukan etiologi.
Walaupun kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya riwayat medis
memisahkan kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi seperti paparan obat.

Patofisiologi

Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik.
Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada
morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34,
marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel
bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan
bahwa “kolam” sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat.
Suatu kerusakan intrinsic pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel
dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada
paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien
anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC
dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomaly akibat
kegagalan sum-sum dan tanpa anomaly secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan
penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma
atau produksi faktor pertumbuhan.

Kerusakan akibat Obat.

Kerusakan ekstrinsik pada sum-sum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti
dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling
sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu
mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama
jika bersifat polar dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan
degradasi enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang
disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk
berikatan dengan makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan
quinolon berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang
berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara
genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat;
kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu loci dan
dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat.
Table 3: Beberapa Obat dan Zat Kimia yang Berkaitan dengan Anemia Aplastik

1 Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sum-sum sebagai toksisitas utama
pada dosis biasa atau paparan yang normal.

2 Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating agents,


antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic

3 Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sum-sum:


Benzene

4 Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang
relative rendah

Chloramphenicol

Insektisida

Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine


Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone, indomethacin,
ibuprofen, sulindac, aspirin)

Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate)

Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury)

Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole,


methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide, chlorpropamide),
carbonic anhydrase

Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine)

D-Penicillamine

Estrogens (kehamilan)

4 Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas:

Antibiotik lainnya (streptomycin, tetracycline, methicillin, mebendazole,


trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine)

Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, prochlorperazine, piperacetazine,


chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon)

Allopurinol, Lithium, Methyldopa, Quinidine, Guanidine, Potassium perchlorate


Thiocyanate, Carbimazole

Autoimun

Penyembuhan pada fungsi sum-sum pada beberapa pasien yang dipersiapkan untuk
transplantasi sum-sum dengan antilymphocyte globulin (ALG) menjelaskan bahwa
anemia aplastik kemungkinan dimediasi imun. Seperti dengan hipotesis ini adalah
seringnya kegagalan transplantasi sum-sum dari kembar syngeneic, kemoterapi sitotoksik
tidak dilakukan, keadaan ini menyangkal absennya sel bakal sebagai penyebab dan
keberadaan dari faktor resipien yang menciptakan kegagalan sum-sum. Data laboratorium
mendukung peranan penting sistem imun pada anemia aplastik. Sel darah dan sel sum-
sum tulang pada pasien dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel
T yang diamati pada sum-sum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki
pembentukan koloni in vitro. Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan
pada pasien anemia aplastik dan biasanya menurun dengan terapi immunosupressif;
penukuran sitokin menunjukkan respn imun TH1 (interferon γ dan tumor necrosis factor).
Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas pada sel CD34, menyebabkan apoptosis.;
lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sum-sum tulang dan produksi lokal pada faktor
pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel bakal.

Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan baik. Analisis
ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T sitotoksik akibat
antigen. Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk menginisiasi respon
imun patologis, namun paling tidak beberapa sel T kemungkinan dapat membedakan self-
antigen. Jarangnya anemia aplastik walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan
dan virus hepatitis) menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic
dapat mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal
yang berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen
sitokin, dang en yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor.

Manifestasi klinik Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia.


Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel
darah putih.

Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:

(1) Ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)

(2) Epistaksis (perdarahan hidung)

(3) Perdarahan saluran cerna

(4) Perdarahan saluran kemih

(5) Perdarahan susunan saraf pusat.

Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat
disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari
500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian
dan infeksi dan atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun
penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan
pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan
perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian
maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.
Anamnesis

Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang berkembang
dengan cepat. Perdarahan merupakan gejala awal yang paling sering terjadi; keluhan
mudah terjadi memar selama beberapa hari hingga minggu, gusi yang berdarah, mimisan,
darah menstruasi yang berlebihan, dan kadang-kadang peteki. Adanya thrombositopenia,
perdarahan massif jarang terjadi, namun perdarahan kecil pada sistem saraf pusat dapat
berbahaya pada intracranial dan menyebabkan perdarahan retina. Gejala anemia juga
sering terjadi termasuk mudah lelah, sesak napas, dan tinnitus pada telinga. Infeksi
merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak seperti pada
agranulositosis, dimana faringitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering terjadi pada
permulaan penyakit). Gejala yang khas dari anemia aplastik adalah keterbatasan gejala
pada sistem hematologist dan pasien sering merasa dan sepertinya terlihat sehat walaupun
terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Keluhan sistemik dan penurunan berat badan
sebaiknya mengarahkan penyebab pasitopenia lainnya. Adanya pemakaian obat
sebelumnya, paparan zat kimia, dan penyakit infeksi virus sebelumnya mesti diketahui.
Riwayat kelainan hematologis pada keluarga dapat mengindikasikan penyebab
konstitusional pada kegagalan sum-sum.

Pemeriksaan Fisik

Peteki dan ekimosis sering terjadi dan perdarahan retina dapat ditemukan. Pemeriksaan
pelvis dan rectal tidak dianjurkan namun jika dikerjakan, harus dengan hati-hati dan
menghindari trauma; karena pemeriksaan ini biasanya menyebabkan perdarahan dari
servikal atau darah pada tinja. Kulit dan mukosa yang pucat sering terjadi kecuali pada
kasus yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Infeksi pada pemeriksaan
pertama jarang terjadi namun dapat timbul jika pasien telah menjadi simptomatik setelah
beberapa minggu. Limfadenopati dan splenomegaly juga tidak sering terjadi pada anemia
aplastik. Bintik Café au lait dan postur tubuh yang pendek merupakan tanda anemia
Fanconi; jari-jari yang aneh dan leukoplakia menandakan dyskeratosis congenital.

Pemeriksaan Laboratorium

Darah

Apusan menunjukkan eritrosit yang besar dan kurangnya platelet dan granulosit. Mean
corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat. Retikulosit tidak ditemukan atau kurang
dan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Keberadaan myeloid immature
menandakan leukemia atau MDS; sel darah merah yang bernukleus menandakan adanya
fibrosis sum-sum atau invasi tumor; platelet abnormal menunjukkan adanya kerusakan
perifer atau MDS. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan sel darah merah,
sel darah putih dan trombosit.

Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung
retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan
yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan
jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan
menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan
agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga
merupakan keadaan imunologis.

Sum Sum Tulang

Sum-sum tulang biasanya mudah diaspirasi namun menjadi encer jika diapuskan dan
biopsi specimen lemak terlihat pucat pada pengambilan. Pada aplasia berat, apusan dari
specimen aspirat hanya menunjukkan sel darah merah, limfosit residual, dan sel strome;
biopsy (dimana sebaiknya berukuran >1 cm) sangat baik untuk menentukan selularitas
dan kebanyakan menunjukkan lemak jika dilihat dibawah mikroskop, dengan sel
hematopoetik menempati <25% style=”"> sum-sum yang kosong, sedangkan “hot-spot”
hematopoiesis dapat pula terlihat pada kasus yang berat. Jika specimen pungsi krista
iliaka tidak adekuat, sel dapat pula diaspirasi di sternum. Sel hematopoietik residual
seharusnya mempunyai morfologi yang normal, kecuali untuk eritropoiesis megaloblastik
ringan; megakariosit selalu sangat berkurang dan biasanya tidak ditemukan. Sebaiknya
myeloblast dicari pada area sekitar spikula. Granuloma (pada specimen seluler) dapat
mengindikasikan etiologi infeksi dari kegagalan sum-sum.

Radiologi

Gambaran radiology yang sering ditemukan pada penderita anemia aplastik yaitu dengan
abnormalitas skelet, yang paling sering hipoplasia atau tidak adanya ibu jari dan anomaly
pergelangan tangan sisi radial.

- 50 % mengalami hipoplasia

- 25 % mengalami osteoporosis

- 25 % mengalami anomaly ginjal, ginjal atopik atau aplastik dan horse shoe kidney.
Diagnosis

Diagnosis anemia aplastik biasanya dilakukan dengan cepat, berdasar dari kombinasi
pansitopenia dengan sum-sum tulang kosong dan berlemak. Anemia aplastik merupakan
penyakit dewasa muda dan sebaiknya menjadi diagnosis utama pada seorang remaja atau
dewasa yang mengalami pansitopenia. Jika yang terjadi adalah pansitopenia sekunder,
diagnosis utama biasanya ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis :
pembesaran limpa seperti pada sirosis alkoholik, riwayat metastasis kanker, atau sistemik
lupus eritematosus, atau tuberculosis miliar pada gambaran radiologi. Masalah
diagnosis dapat timbul dengan gambaran penyakit yang atipikal dan merata. Dimana
pansitopenia sangat umum terjadi, beberapa pasien dengan hiposelularitas pada sum-sum
memiliki penurunan hanya pada satu atau dua dari tiga jenis sel darah, seringkali
memperlihatkan perkembangan menjadi anemia aplastik yang jelas. Sum-sum tulang
pada anemia aplastik sulit dibedakan secara morfologis dengan aspirat pada penyakit
didapat. Diagnosis dapat dipengaruhi oleh riwayat keluarga, hitung jenis darah yang
abnormal, atau keberadaan dari anomali fisik yang terkait. Anemia aplasia lebih sulit
dibedakan dari variasi hiposeluler dari MDS : MDS ditandai dengan penemuan
abnormalitas morfologis, terutama megakariosit dan sel bakal myeloid, dan abnormalitas
sitogenik tipikal.

Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan

Prinsip pengobatan yang dilakukan yaitu :

- Hilangkan penyebab

- Hindari trauma, terutama pada selaput lender dan kulit

- Hindari infeksi.

- Stimulasi sumsum tulang (Hemopoiesis) dimana hormone androgen mengalami


testosterone dan oksimetolon

- Melakukan transfuse darah seminimal mungkin, jika Hb 8 – 9 gr / dl

- Mengganti stem cell yang rusak dengan cara mentransplantasi sumsum tulang

Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan


aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada
pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu
sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum
tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak
menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8
dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.

Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel
induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang
cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia S[HLA] yang cocok). Pada
kasus-kasus yang dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin
antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk
mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak
tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok.

Penatalaksanaan Anemia Aplastik

Anemia aplastik dapat disembuhkan dengan penggantian sel hematopoietik yang hilang
(dan sistem imun) dengan transplantasi stem cell, atau dapat diringankan dengan
penekanan sistem imun untuk mempercepat penyembuhan fungsi sum-sum tulang
residual. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki keterbatasan manfaat dan
glukokortikoid tidaklah bermanfaat. Paparan obat atau zat kimia yang dicurigai sebaiknya
dihentikan dan dihindari; namun, penyembuhan spontan dari penurunan sel darah yang
berat jarang terjadi, dan periode menunggu sebelum memulai penanganan tidak
dianjurkan kecuali hitung jenis darah hanya sedikit menurun. Tindakan lain, yaitu
diberikan :

- Kortikosteroid dengan trombositopenia berat

- Splenoktomi dengan kasus resisten

- Immunosupresif dengan kausa immunologic.

Prognosis

Sifat alami dari perkembangan anemia aplastik adalah penurunan kesehatan dan
kematian. Persiapan sel darah merah dan kemudian transfusi sel darah putih serta
antibiotic platelet terkadang berguna, namun hanya segelintir pasien memperlihatkan
penyembuhan spontan. Penentu utama prognosis adalah hitung darah, Prognosis
bertambah buruk jika ditemukan ciri-ciri sebagai berikut:
- Netrofil < 0,5 x 10 / L

- Platelet < 20 x 10 / L

- Retikulosit < 40 x 10 / L

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

Anemia Hemolitik adalah Kelainan dapatan dimana terbentuk Autoantibodi IgG ,


yang akan mengikat membran eritrosit. Antibodi ini biasanya langsung melawan
komponen dasar sistem Rh yang terdapat pada semua eritrosit manusia. Ketika
antibodi IgG melingkupi eritrosit, bagian Fc antibodi dikenali oleh makrofag lien,
dan bagian yang lain dikenali oleh sistem retikuloendotelial. Interaksi antara
makrofag lien dan eritrosit yang terlingkupi antibodi menyebabkan rusaknya
membran eritrosit dan pembentukan sferosit karena penurunan rasio permukaan
dengan volume eritrosit Sel-sel sferosit ini mengalami penurunan kelenturan dan
akan terjebak dalam pulpa merah lien , karena tidak mampu melewati fenetrasi
yang berdiameter kecil. Jika pada eritrosit terdapat IgG dalam jumlah yang banyak,
mungkin komplemen dapat menahannya. Lisis sel langsung jarang terjadi, namun
adanya C3b pada permukaan menyebabkan sel kupffer dalam hepar ikut berperan
dalam proses hemolitik karena pada sel Kupffer terdapat reseptor C3b.

Kurang lebih separuh kasus anemia hemolitik autoimun untuk bersifat idiopatik.
Kelainan ini juga bisatampak sehubungan denagan Systemic Lupus Eritematosus
( SLE ) leukemia limfositik kronis atau limfoma. Hal ini harus dibedakan dengan
Anemia hemolitik akibat terinduksi obat. Metildopa sering menstimulasi produksi
autoantibodi dengan spesifitas sama dengan anemia hemolitik autoimun idiopatik.
Obat-obatan yang lain ( penisilin, Kuinidin ) melingkupi membran eritrosit, dan
antibodi langsung melawan komplek membran-obat.

Tes antiglobulin Coomb menjadi dasar diagnosis kelainan hemolitik imun ini.
Reagen coomb adalah antibodi IgM kelinci yang dikuatkan melawan IgG manusia
atau komplemen manusia. Tes coomb direk dilakukan dengan cara mencampur
eritrosit pasien dengan reagen coomb dan dicari adanya aglutinasi, yang
menunjukkan antibodi pada permukaan eritrosit. Tes coomb indirek dilakukan
dengan mencampur serum pasien dengan panel eritrosit O setelah inkubasi,
ditambahkan reageen Coomb. Adanya aglutinasi menunjukkan adanya antibodi
bebas dalam serum pasien. Karena tes Coomb tradisional menggunakan Aglutinasi
yang terlihat sebagai hasil akhir, tes ini tidak terlalu sensitif dan tidak dapat
mendeteksi anemia hemolitik imun jika pada eritrosit hanya terdapat IgG dalam
jumlah yang kecil. Tes yang lebih sensitif ( mikro coomb ) sekarang telah tersedia.

Gambaran Klinis :

Anemia Hemolitik autoimun sering menimbulkan anemia dengan onset cepat


dan dapat mengancam jiwa. Pasien mengeluhkan mudah lelah dan mungkin
bersama angina atau gagal jantung kongestif. pada pemeriksaan biasanya
didapatkan splenomegali dan ikterus. Jika pasien memiliki kelainan lain seperti
SLE atau leukemia limfositik kronik, dijumpai juga gambaran penyaki-penyakit
tersebut.

Hasil Laboratorium

Derajat Anemia bervariasi, tapi mungkin berat, dengan hematokrit kurang dari
10 % biasanya didapatkan retikulositosis dan tampak sferosit pada apusan darah
tepi. Pada kasus hemolisis berat sum-sum tulang yang tertekan mungkin
melepaskan eritrosit yang berinti. seperti halnya kelainan hemolitik lain, bilirubin
indirek meningkat. Kurang lebih 10 % pasien anemia hemolitik autoimun
mempunyai koinsiden trombositopenia imun Syndrom Evans ).

Tes Coomb direk memberikan hasil positif sedangkan tes coomb indirek
mungkin positif atau mungkin tidak. Tes coomb indirek positif menunjukkan
adanya autoantibodi dalam jumlah besar yang memiliki ikatan tersaturasi dalam
eritrosit, dan sebagai akibatnya tampak dalam serum. pasien dengan anemia
hemolitik Sferositik dapatan yang mungkin merupakan varian autoimun dan tes
Coomb-nya negatif, harus diperiksa dengan tes mikro-coomb ( dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis pada 10 % kasus ) karena serum pasien biasanya
mengandung autoantibodi, sulit untuk mendapatkan donor yang cocok . ketersediaan
donor perlu diseleksi dengan metode laboratorium khusus.

Teapi

Terapi awal yang digunakan ialah Prednison, 1-2 mg/kgbb/hari dalam dosis
yang terbagi. sebagian besar darah transfusi dapat bertahan sebaik eritrosit pasien
itu sendiri. Meski begitu karena sulitnya melakukan Cross-match, mungkin darah
yang diberikan ternyata tidak cocok, sehingga pasien perlu dimonitor selama
transfusi. keputusan transfusi harus dibuat dengan konsultasi hematologis.Jika
Prednison tidak efektif atau jika penyakit kambuh saat penurunan ( tapering )
dosis, harus dilakukan splenektomi. Pasien anemia hemolitik autoimun yang
terhadap resisten prednison dan tidak dapat dilakukan Splenektomi, bisa diterapi
dengan agen imunosupresif, seperti siklofosfamid, azatiopirin atau siklosporin.
Danazol dengan dosis 600-800 Mg/ hari mungkin efektif, meski tidak seefektif jika
digunakan untuk trombositopenia imun.

Imunoglobulin dosis tinggi yaitu 500 Mg/kg/ hari selama 4 - 5 hari. yang
diberikan intravena sangat efektif dalam mengontrol hemolisis. Namun hal itu
hanya berlangsung singkat ( 1- 3 minggu ) dan obat ini sangat mahal. terapi
dengan Igiv hanya diberika jika prednison merupakan kontraindikasi. Prognosis
jangka panjang pasien cukup baik, tindakan splenektomi sering berhasil mengontrol
kelainan ini.3.

3. Anemia Megaloblastik

Pengertian

Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh sintesis DNA yang
terganggu. Sel – sel yang dipengaruhi terutama sel – sel awal hematopoietik dan epitel
gastrointestinal.

Pembelahan sel yang terjadi lambat, tetapi perkembangan sitoplasmik normal, sehingga
sel – sel megaloblastik cenderung menjadi besar dengan peningkatan rasio dari RNA
terhadap DNA. Sel – sel pendahulu eritroid megaloblastik cenderung dihancurkan dalam
sumsum tulang. Dengan demikian selularitas sumsum tulang sering meningkat tetapi
produksi sel darah merah berkurang (ineffective erythropoiesis).

Kebanyakan anemia megaloblastik disebabkan karena defisiensi vitamin B12


(kobalamin) dan atau asam folat.

Klasifikasi Anemia Megaloblastik

 Defisiensi Kobalamin
 Asupan tidak cukup : vegetarian
 Malabsorbsi

 Defisiensi Asam Folat


 Asupan yang tidak cukup : sering pada alkoholik
 Keperluan meningkat : kehamilan, keganasan, anemia hemolitik kronik
 Malabsorbsi : sprue tropikal dan atopikal, obat
 Metabolisme yang terganggu
 Sebab – sebab lain

 Obat – obatan yang mengganggu metabolisme DNA


 Gangguan metabolik
 Idiopatik

Penegakan diagnosis
Defisiensi Kobalamin
- lemah - nyeri kepala ringan
- vertigo - palpitasi
- tinitus - keluhan gagal jantung kongestif
- pucat - ikterus (ringan)
- Gangguan neurologik (mati rasa – biasanya ekstrimitas bawah-, gangguan sfingter,
mudah lupa, mudah marah, dll)

Anemia Pernisiosa
- Kondisi kelainan yang diwariskan -- keadaan histologik lambung tidak mengeluarkan
faktor intrinstik sehingga vitamin B12 tidak bisa dimetabolisme sempurna
- manifestasi sama dengan defisiensi vit. B12
- atrofi lambung

Defisiensi Asam Folat


- Manifestasi sama
- Tidak ada gangguan neurologis
- Diare, choilitis, glositis

Mekanisme

Defisiensi asam folat/kobalamin --- gangguan sintesis DNA sel terutama sel – sel
hemopoiesis --- keterlambatan pematangan inti sel dan pembelahan sel --- turunan
meiloid terganggu --- RBC besar, neutrofil hipersegemen, trombosit rendah

RBC besar --- Rentan destruksi fagosit. Apoptosis di sumsum tulang tnpa menghasilkan
RBC (hematopoiesis inefektif) --- Anemia (Keluhan2 anemia)

Hematopoiesis inefektif --- aliran darah ke jaringan perifer membawa hanya sedikit
oksigen --- Kekurangan oksigen --- pucat

Kekurangan oksigen di otak ---pusing, vertigo

Kekurangan oksigen sluruh tubuh --- metabolisme anaerob dari glukosa --- penumpukan
asam laktat di otot ---capek, lemah

Def Vit.B12 --- Akumulasi S-adenosil hemosistein dan berkurangnya kadar S-adenosil
metionil dalam jaringan saraf --- gangguan metilasi meilin dan substansi lain ---
gangguan neurologis
Tata laksana
- Obati penyakit dasar ( cth: bakteri di intestinum --- antibiotik)
- Hentikan penyebab malabsorbsi (cth: alkohol, obat –obatan)
Terapi e.c:
- Penggantian kobalamin 1000 ug i.m tiap minggu sampai 8 minggu
- Lanjutkan suntikan i.m kobalamin 100 ug tiap bulan dari sisa hidup
- Atau, terapi oral kristalin B12 2 mg/hari (kepatuhan kurang)

Transfusi dilakukan jika :


- Anemia berat disertai gangguan membahayakan kardiovaskular
- Darah diberikan PRC sedikit demi sedikit (dapat gagal jantung karena kelebihan
cairan)

- Folat 1 mg/hari oral


- Malabsorbsi : folat 5 mg/hari oral

Penegakan diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
- Keluhan – keluhan anemia (lemah, cepat capek, lesu, pucat, ikterik, dll)
- Pada defisiensi kobalamin : gangguan neurologis
- Riwayat : alkoholik, obat – obatan, malabsorbsi

Pemeriksaan Laboratoris
- Makrositosis (MCV > 100)
- Indeks retikulosit rendah
- Leukosit dan trombosit bisa menurun
- Anisositosis, poikilositosis, makroovalositosis (sel darah merah dengan hemoglobin
penuh)
- Bintik basofilik
- Sel darah merah berinti
- Hipersegmen neutrofil
- Sumsum tulang hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid
- Serum Kobalamin (normal : 300-900) menurun
- Serum Asam folat (normal : 6-20) menurun
- Tes Schiling
- Kadar serum metilmalanat dan homosistein meningkat

DD
Aplastik anemia
Anemia Defisiensi Besi
Penyakit

Prognosis
Baik
Hanya saja gangguan neurologissulit untuk sembuh sempurna
Komplikasi
Gangguan neurologis
Gangguan kardiovaskular (gagal jantung kongestif)

Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia


makrositik normokrom.

Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam
folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder
karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik (seperti terlihat pada anemia
pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen
kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum)
akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam
mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik
(Beck, 1983).

Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik


defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik
sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja
dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan
hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan
penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.

Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik


Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet
rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal)
dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar

juga diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90%
folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi

dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan
disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis

kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan
penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti
malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan
kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).

Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada


identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki
defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12.
penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon
“spontan” bila di berikan diet seimbang.

5. Polisitemia Vera

Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk


hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut dan volume darah
total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis dan splenomegali.
Polisitemia Vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-60
tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1.

Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total


eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan
penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan
penurunan laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya
oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ
menyebabkan iskemia / infark seperti di otak, mata, telingga, jantung, paru, dan
ekstremitas.

Penatalaksanaan Polisitemia Vera tidak terapi tunggal. Tujuan utama terapi


adalah mencegah terjadinya trombosis.
PRINSIP PENGOBATAN:
1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan eritropoisis
dengan plebotomi.
2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik / polisitemia yang belum
terkendali.
3. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia
muda.
4. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi pada
pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
 Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama jika disertai
gejala trombosis.
 Leukositosis progresif.
 Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia .
 Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti prunitus, penurunan berat badan atau
hiperurikosuria yang sulit diatasi.

MEDIA PENGOBATAN
1.Plebotomi
Plebotomi merupakan pengobatan yang adekuat bagi pasien polisitemia
selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.
Indikasi plebotomi :
 Polisitemia vera fase polisitemia.
 Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% .
 Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung beratnya gejala
yang ditimbulkan.
Pada Polisitemia Vera tujuan plebotomi adalah mempertahankan hematokrit < 45%,
untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Manfaat plebotomi
disamping menurunkan sel darah merah juga menurunkan viskositas darah kembali
normal sehingga resiko timbulnya trombosis berkurang.
Terapi plebotomi sendiri tidak dapat diberikan pada semua pasien, karena pasien tua
tidak dapat mentolerir plebotomi karena status kardiopulmoner.
Dengan plebotomi saja angka harapan hidup lebih dari 12 tahun, tapi
dengan terapi plebotomi saja akan meningkatkan terjadinya trombosis dalam 3
tahun pertama terapi, karena buruknya komplikasi plebotomi, peningkatan
splenomegali, lekosit dan trombosit sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan terapi
sitoreduksi. Walaupun dengan terapi sitoreduksi ini akan meningkatkan kejadian
leukemia akut, sehingga disarankan terapi dengan Hidroksiurea plus plebotomi untuk
menurunkan kejadian trombosis dan leukemia akut.
Plebotomi disarankan pada semua pasien untuk mempertahankan hematokrit < 45 %.
Untuk pasien yang rendah resiko trombosis, umur dibawah 60 tahun, tidak ada riwayat
trombosis, tidak disarankan penambahan terapi. Sedangkan pasien dengan resiko tinggi
trombosis atau sering plebotomi pilihannya adalah agen mielosupresi. Pasien tua dapat
diterapi dengan Busulfan atau Pipobroman sedangkan Hidroksiurea dipertimbangkan
sebagai erapi pilihan pada usia muda.

Prosedur Plebotomi
 Pada permulaan, plebotomi 500 cc darah 1-3 hari sampai hematokrit < 55 %,
kemudian dilanjutkan plebotomi 250-500 ml/minggu, hematokrit dipertahankan <
45 %. Pada pasien yang berumur > 55 tahun atau penyakit vaskular aterosklerotik
yang serius, plebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu
mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma, untuk
mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena status
hipovolemik. Penyakit yang terkontrol memerlukan plebotomi 1-2 kali 500ml
setiap 3-4 bulan. Bila plebotomi diperlukan lebih dari 1 kali dalam 3 bulan,
sebaiknya dipilih terapi lain.
 Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 mL darah, defisiensi besi
merupakan efek samping pengobatan plebotomi berulang, defisiensi besi ini
diterapi dengan pemberian preparat besi.

2. Kemoterapi
Tujuan pengobatan kemoterapi adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan Hidrokiurea salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik, sedangkan
penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius.

Indikasi penggunaan kemoterapi :

1. Hanya untuk Polisitemia rubra primer .

2. Plebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 3 kali sebulan.

3. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis.

4. Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin


5. Splenomegali simtomatik / mengancam ruptur limpa.

A. Hidroksiurea
Dengan dosis 500-2000 mg/m/hari atau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15
mg/kg BB/kali, jika telah tercapai target dapat dianjurkan dengan pemberian intermiten
untuk pemeliharaan.

B. Klorambusil
Leukeran 2 mg/tablet dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/BB/hari selama 3-6 minggu
dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap minggu.

C. Busulfan
Mileran 2 mg/tablet, dosis 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m/hari, jika
telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.

Terapi sitoreduksi efektif mencegah trombosis tapi dapat meningkatkan tranformasi


hematologi, jadi sebenarnya ada 2 tujuan terapi yaitu meminimalkan komplikasi
trombosis dan mencegah progresi menjadi mielofibrosis atau leukemia akut.

D.Interferon α
Interferon α juga efektif dibandingkan dengan terapi lain, untuk menghindari
komplikasi hematologi yang berhubungan dengan plebotomi yang agresif atau terapi
Hidroksiurea dan dapat memperlambat perkembangan mielofibrosis jika digunakan lebih
awal dan mempunyai kontrol yang baik dari proliferasi megakariosit dan menurunkan
trombosit, serta mencegah trombosis. Dimulai dengan dosis 1 juta unit tiga kali
seminggu.
Suatu penelitian pada 11 orang pasien Polisitemia Vera yang diterapi dengan interferon
saja sel darah dapat normal setelah 6-12 bulan.
Suatu penelitian pada 279 pasien yang menggunakan inteferon dapat menurunkan
hematokrit <45 % pada 50 % tanpa plebotomi, 77 % dapat menurunkan splenomegali.
Interferon sering digunakan untuk pasien muda karena tidak berkembang
menjadi leukemogenik atau teratogenik dan terapi pilihan untuk ibu hamil tapi
harganya mahal dan diberikan secara parenteral serta mempunyai efek samping
sehingga sering pasien menghentikan pengobatan.

E.Posfor Radioktif
Posfor radioaktif ditangkap lebih banyak oleh sel yang membelah cepat dari pada sel
normal. Sebelum pemberian terapi dilakukan plebotomi sampai hematokrit normal.
Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau
dengan keadaan sosioekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.
Pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m secara intravena, apabila
diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%.
Pada penelitian 2005 diturunkan target hematokrit < 45%, dibanding plebotomi plus
aspirin ( 900 mg / hari ) dan dipiridamol 225 mg/hari dibanding dengan plebotomi plus
tapi penelitian diakhiri cepat ( 1,2 tahun) karena tingginya insiden pendarahan
gastrointestinal dan juga tidak adanya penurunan kejadian trombosit.
Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan memperbaiki trombosis tapi malahan akan
meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal.

PEMBEDAHAN PADA PASIEN POLISITEMIA VERA


A. Pembedahan Darurat
Pembedahan pada pasien Polisitemia Vera sebaiknya ditunda atau dihindari. Dalam
keadaan darurat, dilakukan plebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan
mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander
lainnya, bukan cairan isotonis / garam fisiologis, suatu prosedur yang merupakan
tindakan penyelamatan hidup. Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada
semua fase polisitemia, dan harus dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika
terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang diharapkan sebagai
pengganti.

B. Pembedahan Berencana
Pembedahaan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali. Lebih dari 75%
pasien dengan Polisitemia vera tidak terkendali atau belum diobati akan mengalami
perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan. Diperkirakan sepertiga dari
pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jika eritrositosis sudah
dikendalikan sebelum pembedahan.

Pengobatan Suportif
1. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-300 mg/hari. Gout arthritis dapat
terjadi pada 10 % pasien Polisitemia vera. Pada serangan akut terapinya sama dengan
gout primer dengan kolkisin dan penilbutazon.

2. Pruritus
Pruritus ini disebabkan proliferasi sel mast dan basofil atau pelepasan prostaglandin dan
serotonin. Terapi dapat diberikan antihistamin jika pruritus memburuk dengan terapi
plebotomi, interferon α dapat mengontrol pruritus

3. Gastritis / ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.

4. Eritromelalgia, jarang terjadi (3%)

5. Trombositosis dan disfungsi trombosit.


Penggunaan aspirin dosis tinggi tidak akan memperbaiki trombosis tapi
malahan akan meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal.

ETIOPATOGENESIS POLISITEMIA VERA

Pada etiopatogenesis Polisitemia vera, JAK2 merupakan golongan tirosin kinase yang
berfungsi sebagai perantara reseptor membran dengan molekul signal intraselulur. Dalam
keadaan normal proses eritropoisis dimulai dengan ikatan eritropoitin (EPO) dengan
reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi fosforilasi pada protein JAK, yang selanjutnya
mengaktivasi molekul STAT ( Signal Tranducers and Activator of Transcription),
molekul STAT masuk kedalam inti sel dan terjadi proses transkripsi. Pada Polisitemia
vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi 617
(V617F) sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi
valin-fenilalanin sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin.
sehingga pada pasien Polisitemia Vera serum eritropoetinnya rendah yaitu < 4mU/mL,
serum eritropoitin normal adalah 4-26 mU/mL.
Hal ini jelas membedakan dari Polisitemia sekunder dimana eritropoetin
meningkat secara fisiologis (sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang
meningkat), atau eritopoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom
paraneoplastik yang mensekresi eritropoetin.
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan karena
penurunan volume plasma tanpa peningkatan sel darah merah disebut polisitemia
relatif, misalnya pada dehidrasi berat, luka bakar dan reaksi alergi.

Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan proliferasi sel induk


hematopoitik adalah

 Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoitik yang bersifat


Neoplastik.
 Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi proliferasi
sel induk hematopoitik normal

 Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoitik terhadap eritropoitin,


Interleukin 1,3, GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor), Stem cell factor.

MANIFESTASI KLINIS POLISITEMIA VERA


Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan
meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan
aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport
oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa:

1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang
kemudian akan menyebabkan :
 Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan
menimbulkan eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
 Penurunan laju transport oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran
(iskemia/infark) seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.

2. Penurunan shear rate


Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer
yaitu agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan
timbulnya perdarahan walaupun jumlah trombosit > 450.000/mm

3. Perdarahan
Terjadi pada 10 - 30 % kasus Polisitemia Vera, manifestasinya dapat berupa epistaksis,
ekimosis dan perdarahan gastrointestinal.
Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak ada
korelasi trombositosis dengan trombosis.

4. Basofilia
Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria
suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah sebagai
akibat meningkatnya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi
karena peningkatan kadar histamin.

5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera. Splenomegali
ini terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.

6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera. Sebagaimana
halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.

7. Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuentrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat darah
akan meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate.
Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia .

8. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat.


Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin
B12. Hal ini dijumpai pada ± 30% kasus Polisitemis Vera karena penggunaan untuk
pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12
(Unsaturated B12 Binding Capacity) dijumpai meningkat > 75% kasus.

9. Muka kemerah-merahan (Plethora )


Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva hiperemis sebagai
akibat peningkatan massa eritrosit.

10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa,
vertigo, tinitus, perasaan panas.

11. Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena peningkatan
viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah arteri. Pasien
Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan waktu operasi atau
trauma.

Tanda dan gejala terbagi dalam 3 fase:

1. Gejala awal (early symptoms )


Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan
walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala,
telinga berdenging, mudah lelah, gangguan daya ingat, susah bernafas, hipertensi,
gangguan penglihatan, rasa panas pada tangan / kaki, pruritus, perdarahan hidung,
lambung, sakit tulang.

2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi


Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan /trombosis,
peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
peptikum.

3. Fase Splenomegali (Spent phase )

Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi
kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi
meningkat, hati dan limpa membesar.

Anda mungkin juga menyukai