Anda di halaman 1dari 16

Tugas UAS Makalah

Hukum Laut Nasional Dan Hukum Laut Internasional Serta Sejarah Hukum
Laut Nasional Dan Hukum Laut Internasional

Disusun Oleh :

Nama : Muhamad Fiqri Wiya


Nim : 202321634
Kelas : RPL3
Mata kuliah : Hukum Laut Internasional

Dosen Pengasuh : Dr. Irma H. Hanafi, SH. MH

Fakultas Hukum
Universitas Pattimura Ambon
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya saya dapat
menyelesaikan makalah berjudul “Hukum Laut Nasional Dan Hukum Laut Internasional
Serta Sejarah Hukum Laut Nasional Dan Hukum Laut Internasional”. Meskipun banyak
rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil
menyelesaikan tepat pada waktunya.

Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengasuh Dr. Irma H. Hanafi, SH.
MH yang telah memberikan tugas makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu, saya menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun demi perbaikan ke arah
sempurna.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca . Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Ambon, 13 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................5
A. Pengertian Hukum Laut Nasional 5
B. Pengertian Hukum Laut Internasional.............................................................................6
C. Sejarah Hukum Laut Nasional..........................................................................................7
D. Sejarah Hukum Laut Internasional..................................................................................8

BAB III PENUTUP

1.1 Kesimpulan ....................................................................................................................14


1.2 Saran .............................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara
revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah dekade
terakhir, selain dari pada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime highways).
Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay - Jamaica, oleh
sejumlah besar negara (tidak kurang dari seratus delapan belas negara) yang terwakili dalam
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut 1973 sampai 1982
(UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif
berkaitan dengan hukum laut dibawah judul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah
ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas. Dalam kaitan ini, yang perlu
dikemukakan hanyalah bahwa sebagian terbesar dari Konvensi, yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang cukup penting didalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang
berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat
internasional.
Dalam hal ini harus disadari bahwa siapapun tidak dapat melompat, dengan tanpa banyak
melakukan pembahasan, kepada suatu analisis atas Konvensi 1982 ini seakan-akan konvensi
itu sendiri sudah cukup menjelaskan tentang rezim hukum internasional mengenai laut, dasar
laut dan wilayah-wilayah maritim dewasa ini. Mengutip pendapat seorang ahli sejarah
terkenal, Dr. A. L. Rowse, “landasan dari semua perkembangan ilmu sosial adalah sejarah;
dari sanalah ilmu-ilmu sosial itu menemukan, baik dalam kadar yang lebih besar maupun
lebih kecil, pokok permasalahan dan bahan-bahan, verifikasi dan kontradiksi”. Selain dari
sejarah yang harus dipahami, pengertian dari hukum laut baik itu hukum laut nasional
maupun hukum laut internasional juga harus dipahami terlebih dahulu.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah:
1. Apa pengertian hukum laut nasional?
2. Apa pengertian hukum laut internasional?

4
3. Bagaimanakah sejarah hukum laut nasional?
4. Bagaimanakah sejarah hukum laut internasional?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Laut Nasional


Sebelum melihat pengetian hukum laut nasional terlebih dahulu kita melihat pengertian
laut. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi, tetapi
definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut menurut definisi hukum adalah
keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.
Menurut Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, menyatakan bahwa pemakaian istilah “Hukum
Laut”tanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, bahkan mungkin ada
kesalahpahaman. Terutama sekali, oleh karena dalam perpustakaan ilmu pengetahuan hukum
di Negeri Belanda dengan tidak sedikit pengaruhnya di Indonesia istilah “Zee-recht” biasanya
terpakai dalam arti yang lebih sempit daripada yang dimaksudkan oleh Dr. Wirjono
Prodjodikoro SH, dengan istilah “Hukum Laut”.
Ada misalnya dua buku, yang satu dari Mr. W. L. P. A. Molengraaff, yang lain dari Mr. H.
F. A. Vollmar, yang secara monografi meninjau hal yang mereka namakan “Zee-recht”. Dan
lagi ada buku kecil dari Mr. F. G. Scheltema tentang “Het Nieuwe Zeerecht”. Ternyata yang
ditinjau oleh tiga penulis tadi ialah peraturan-peraturan hukum yang ada hubungannya
dengan pelajaran kapal di laut dan teristimewa mengenai pengangkutan orang atau barang
dengan kapal laut.
Juga sekiranya dapat dikatakan, bahwa hal yang mereka tinjau itu, hanyalah pada
pokoknya peraturan-peraturan hukum yang berada di dalam lingkungan “privaatrecht”
(Hukum Perdata), tidak meliputi peraturan hukum yang berada dalam lingkungan “public
recht” (hukum public).
Lain dari pada penulis-penulis tersebut, Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, bermaksud
meninjau peraturan-peraturan hukum yang tidak terbatas pada lingkungan “privaatrecht”,
melainkan meliputi juga hal-hal yang oleh penulis-penulis tersebut diserahkan peninjauannya
kepada penulis-penulis tentang hukum internasional publik, seperti misalnya Mr. J. P. A.
Francois dan L. Oppenheim-H. Lautterpacht, yaitu antara lain mengenai “teritoriale zee”
(perairan territorial di laut) atau hal mencari ikan di laut lebih-lebih Dr. Wirjono Prodjodikoro
SH, tidak membatasi peninjauan pada hukum privaat, oleh karena hukum adat di Indonesia

5
pada aslinya tidak menyadari adanya perincian hukum secara pembedaan antara
“privaatrecht” dan “publicrecht”. Demikianlah agar jelas semula, bahwa istilah “hukum laut”
dalam arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungannya dengan laut,
sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal yaitu hanya hukum laut bagi Indonesia,
artinya sekedar berlaku untuk Republik Indonesia dan para warganya.

B. Pengertian Hukum Laut Internasional


Laut, terutama lautan samudera, mempunyai sifat istimewa bagi manusia. Begitu pula
hukum laut, oleh karena hukum pada umumnya adalah rangkaian peraturan-peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat dan bertujuan mengadakan
tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Laut adalah suatu keluasan air yang
meluas diantara berbagai benua dan pulau-pulau di dunia. Tidak dapat dikatakan dalam
pengertian biasa, bahwa di atas atau didalam air yang amat meluas itu, ada orang manusia
berdiam atau menetap. Sebenarnya laut merupakan jalan raya yang menghubungkan
transportasi keseluruh pelosok dunia. Melalui laut, masyarakat internasional dan subjek-
subjek hukum internasional lainnya yang memiliki kepentingan dapat melakukan perbuatan-
perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan.
Maka pada hakekatnya lain dari pada di benua-benua dan di pulau-pulau, adalah sukar
bahkan barangkali tidak mungkin ditengah-tengah lautan terdiri suatu masyarakat tertentu,
apalagi suatu negara. Dengan demikian pada hakekatnya, segala peraturan hukum yang
berlaku dalam tiap-tiap negara, selayaknya terhenti berlaku apabila melewati batas menginjak
pada laut. Tetapi bagi orang-orang manusia yang berdiam di tepi laut, sejak dahulu kala, ada
dirasakan dapat dan berhak menguasai sebagian kecil dari laut yang terbatas pada pesisir itu.
Ini justru oleh karena didasarkan tidak ada orang lain yang berhak atas laut selaku suatu
keluasan air.
Maka ada kecenderungan untuk memperluas lingkaran berlakunya peraturan-peraturan
hukum di tanah pesisir itu sampai meliputi sebagian dari laut yang berada di sekitarnya.
Sampai berapa jauh kearah laut peraturan-peraturan hukum dari tanah pesisir ini berlaku,
adalah hal yang mungkin menjadi soal, terutama apabila tidak jauh dari tanah pesisir itu ada
tanah pesisir dibawah kekuasaan negara lain. Maka dengan ini sudah mulai tergambar suatu
persoalan internasional, apabila orang menaruh perhatian pada hukum mengenai laut. Maka
dapat dimaknai bahwa hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi
nasionalnya (national jurisdiction).

6
C. Sejarah Hukum Laut Nasional
Keputusan Mahkamah Internasional tahun 1951; Cara penentuan laut territorial di
sekeliling kepulauan Indonesia menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak
mau akan mengambil sebagai suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang
menghubungkan titik ujung terluar dari pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight
base-lines from point to point” ini mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga
keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18
Desember 1951. Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree
dari tanggal 12 Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that the base-lines
fixed by the said degree were not contrary to international law”.
Sangat menarik adalah sebab yang mendorong Mahkamah Internasional untuk mengambil
keputusan itu katanya disebabkan oleh “geographical realities” dan juga dipengaruhi oleh
“economics interest” peculiar to a region, the reality and importance of which are clearly
evidenced by long usage”. Walaupun keadaan geografis Indonesia berlainan yakni garis-garis
yang menghubungkan titik ujung akan jauh lebih panjang dari pada garis terpanjang yang
diketengahkan dalam pertikaian antara Inggris dan Norwegia itu (44 mil), namun keadaan
Indonesia sebagai suatu pulau cukup unik untuk dapat membenarkan cara penentuan garis
pangkal (base-line) yang serupa. Yang penting dalam Anglo Norwegian Fisheries Case ini
adalah bahwa suatu cara penarikan garis pangkal yang lain dari pada cara yang klasik (yaitu
menurut garis air rendah) telah mendapat pengakuan dari Mahkamah Internasional.
Jadi yang kita lakukan adalah peninjauan kembali dari pada base-line (garis pangkal) yang
disesuaikan dengan keadaan Indonesia sebagai suatu kepulauan (archipelago).
Dengan demikian kita memperbaiki Undang-undang yang dahulu hanya mengutamakan
kesamaan hukum antara Indonesia sebagai “oversees gebiedsdeel” dengan Negeri Belanda
dalam lingkungan “Het Koninkrijk der Nederlanden”, dari pada kepentingan integritet
territorial dari pada Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dan kepentingan rakyat (dilihat
dari sudut ekonomi yaitu lautan sebagai sumber kekayaan alam). Untuk menjamin kelancaran
Negeri yang sangat penting untuk menyangkal tuduhan-tuduhan negara-negara lain bahwa
kita menghalang-halangi pelayaran bebas, perlu adanya jaminan bahwa : “…..lalu lintas yang
damai di lautan pedalaman bagi kapal asing dijamin selama tidak membahayakan kedaulatan
dan keselamatan negara Indonesia”.

7
D. Sejarah Hukum Laut Internasional
Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh
pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-negara maritim
utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad ke-20, dengan dua negara maritim besar,
Amerika Serikat dan Inggris, secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil tersebut.
Memang aturan itu belum memperoleh penerimaan sebagai suatu ketentuan universal hukum
internasional. Sejumlah besar negara memakai suatu ukuran yang lebih lebar untuk jalur
maritim. Semakin banyak jumlah negara yang selama 15 tahun belakangan ini mendukung
batas seluas 12 mil dan bahkan lebar yang lebih besar lagi. Dua perkembangan penting dari
sejarah hukum laut internasional adalah: Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut
internasional terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yaitu:

1. Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental shelf)
Pengakuan umum atas prinsip landas kontinen memperlihatkan kulminasi tendensi
yang dimulai dari tahun 1945-1951 pada waktu, melalui deklarasi sepihak, sejumlah
negara maritim menyatakan klaim yurisdiksi eksklusif, pengawasan atau hak-hak
berdaulat (yang berbeda dari kedaulatan) terhadap sumber-sumber daya di landas kontinen
dan wilayah-wilayah lepas pantai yang berkaitan. Apa yang umumnya disebut “landas
kontinen” atau “landasan kontinen” (continental platform) adalah dasar bawah
permuakaan air laut, yang berbatasan dengan suatu daratan benua (continental land mass),
dan sedemikian rupa sehingga seolah-olah merupakan suatu kelanjutan dari, atau bagian
tambahan daratan benua ini, tetapi umumnya tidak terletak pada suatu kedalaman di
bawah permukaan air laut lebih dari 200 meter. Kira-kira pada kedalaman ini, biasanya,
mulai “penurunan” ke kedalaman laut yang sangat curam. Melewati tepi terluar atau
lereng yang menurun demikian Dario landas kontinen, dasar laut dalam menurun dengan
tahap-tahap, yang menurut nomenklatur umum dikenal sebagai “landas kontinen”
(continental slope), dan “tanjakan kontinen” (continental rise), sebelum tenggelam ke
dasar laut yang lebih dalam, atau “ngarai dasar laut” (abyssal plain). Istilah “tepi kontinen”
(continental margin) umumnya dipakai untuk mencakup landas kontinen, lereng kontinen
dan tanjakan kontinen, batas terluar dari tepi kontinen yang merupakan permulaan, sejauh
hal itu dapat didefenisikan secara geomorfologis, ngarai dasar laut.

8
Dalam North Sea Continental Shelf Cases, yang mendorong Internasional Court of
Justice adalah konteks geologis ini, pada saat berusaha untuk merasionalkan dasar klaim-
klaim landas kontinen, untuk menggaris bawahi pertimbangan bahwa landas kontinen
merupakan kelanjutan atau perpanjangan alamiah dari wilayah daratan, dan karenanya
merupakan tambahan wilayah yang telah dikuasai negara pantai.
Jika pada awal timbulnya klaim-klaim terhadap landas kontinen yang diajukan melalui
pengumuman atau pernyataan resmi lainnya, alasan pembenarannya biasa dikaitkan, atau
lain, dengan pertimbangan-pertimbangan hubungan geografis dan keamanan. Sedangkan
tujuan sesungguhnya dari negara pesisir terkait adalah untuk mencadangkan antara lain
sumber minyak dan mineral-mineral yang mungkin terdapat di dasar laut kawasan landas
kontinen tersebut bagi kepentingannya sendiri, yang eksploitasinya telah dimungkinkan
dengan kemajuan teknologi, sehingga klaim yang diajukan harus dinyatakan dalam
peristilahan yang cukup untuk meliputi sumber-sumber daya non-mineral.
Keluasaan sesungguhnya dari klaim-klaim itu berbeda-beda; Pengumuman Presiden
Amerika Serikat pada bulan September 1945 hanya menyatakan hak-hak “yurisdiksi dan
pengawasan” atas sumber-sumber daya alam di bawah tanah dasar laut dan dasar laut
landas kontinen, yang jelas mempertahankan seutuhnya sifat dari perairan landas kontinen
sebagai laut bebas serta hak pelayaran bebas, akan tetapi dalam deklarasi-deklarasi
berikutnya dari negara-negara lain, klaim-klaim tertuju pada kedaulatan pemilikaan atas
dasar laut dan tanah dibawahnya, juga perairan landas kontinen. Tentu saja, klaim-klaim
demikian menyangkut perluasan yurisdiksi atau kedaulatan di luar jalur maritim, bahkan
jauh melampaui lebar zona-zona tambahan yang mana terhadapnya negara-negara tertentu
telah mengajukan klaim. Misalnya, landas kontinen Amerika Serikat secara resmi
dilukiskan sebagai berikut :
“…..hampir seluas kawasan yang tercakup dalam Lousiana Purchase, yaitu 827.000
mil persegi, dan hampir dua kali luas 13 koloni asli, yaitu 400.000 mil persegi. Sepanjang
garis pantai Alaska landas kontinen tersebut membentang beratus-ratus mil dibawah laut
Bering. Di pantai Timur luas landas kontinen bervariasi antara 20 mil sampai 250 mil,
dan sepanjang pantai Pasifik seluas 1 mil sampai 50 mil”.
Karena luasnya kawasan-kawasan landas kontinen tersebut, maka ada sedikit analogi
antara klaim-klaim ini dan klaim-klaim yang secara eksklusif guna mengawasi kawasan
terbatas dasar laut di luar jalur maritim untuk kepentingan pengambilan mutiara, tiram dan
ikan-ikan sedender (sedentary fisheries). Klaim-klaim yang lebih sempit ini bersandar
pada pendudukan/okupasi suatu bagian dasar laut sebagai suatu res nullius, atau bersandar

9
pada suatu hak pembuktian historis atau kuasi-historis atau atas dasar kepentingan
masyarakat regional (misalnya peternakan mutiara di Teluk Persia) adalah suatu persoalan
yang masih kontroversial mengenai apakah deklarasi yurisdiksi atau kedaulatan yang
dinyatakan oleh negara-negara pesisir terkait pada tahun 1945-1951 itu telah memberikan
sumbangan terhadap pembentukkan kebiasaan hukum internasional yang memberikan
kepada negara-negara pantai hak-hak demikian atas landas kontinen mereka. Seperti akan
terlihat, bagaimanapun doktrin landas kontinen telah diakui melalui konsensus umum
dalam Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen.

2. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo-


Norwegian
Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar
pada jarak tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur
maritim di ukur, sebagai pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur
maritim.
Mengenai penetapan batas jalur maritim dengan menunjuk pada metode “garis
pangkal” (Baseline metode), seperti telah dikemukakan di atas, merupakan akibat dari
keputusan International Court of Justice tahun 1951 dalam Anglo-Norwegian Fisheries
Case. Dalam keputusan tersebut Mahkamah mengatakan bahwa Dekrit Norwegia bulan
Juli 1935 yang menetapkan batas suatu zona penangkapan ikan ekslusif sepanjang hampir
1000 mil dari garis pantai Laut Utara pada keluasan tertentu, yang berlaku sebagai jalur
maritim dengan lebar empat mil (lebar yang dipakai oleh Pemerintah Norwegia) yang
membentang dari garis pangkal lurus ditarik melalui 48 titik yang dipilih pada daratan
utama atau pulau-pulau atau karang-karang pada jarak tertentun dari pantai, adalah tidak
bertentangan dengan hukum internasional. Tampak dari keputusan Mahkamah bahwa
metode garis pangkal ini, yang dianggap lebih baik daripada tanda air surut, dapat diterima
apabila suatu garis pantai menjorok ke dalam, atau apabila terdapat suatu lingkaran pinggir
kepualuan di sekitarnya yang berdekatan, dengan ketentuan bahwa penarikan garis
pangkal demikian tidak menyimpang dari “arah” umum” (general direction) pantai
tersebut, dan bahwa kawasan yang terletak di bagian dalam garis-garis pangkal itu cukup
berdekatan dengan daratan utama yang sebenarnya sama dengan perairan pedalaman.
Apabila syarat-syarat untuk diperkenankannya penarikan garis pangkal ini dipenuhi, maka
perhitungan dapat dilakukan untuk menentukan garis pangkal khusus untuk kepentingan
ekonomi khususnya untuk kepentingan wilayah terkait, apabila kepentingan-kepentingan

10
tersebut telah merupakan hal yang berjalan cukup lama. Dengan perkataan lain, apabila tidak
ada syarat-syarat geografis yang diperlukan yang dapat merujuk pada sifat dari garis pantai
dan pulau-pulau yang berdekatan, maka kepentingan-kepentingan ekonomi semata-mata dari
negara pantai tidak dapat begitu saja membenarkan pengalihan kepada metode garis pangkal.
Garis-garis pangkal tersebut hendaknya diberitahukan secara layak dan digambarkan dalam
peta-peta yang dipublikasikan.
Pokok Pemikiran International Court of Justice dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case
adalah pertimbangannya bahwa jalur maritime bukanlah suatu perluasan semu (artificial
extension) terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu Negara sebagai suatu wilayah
tambahan yang berdampingan dimana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan geografis
Negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak berdaulatan eksklusif, yang hanya
tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing.
Sementara itu, mulai dengan sidang pertamanya pada tahun 1949, rezim laut lepas dan
rezim jalur maritim telah menarik perhatian Komisi Hukum Internasional Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nations International Law Commission), sebagaimana yang
tercantum di antara topik-topik yang berkaitan dengan kodifikasi yang dipandang perlu dan
memungkinkan oleh Komisi. Pengkajian atas dua masalah itu berkembang hingga delapan
kali sidang, 1949-1956. Pada saat belangsungnya sidang ke 4 tahun 1952, Komisi
menyatakan pilihan istilah “laut teritorial” untuk mengganti istilah jalur maritim, dan istilah
ini sejak saat itu dipakai secara universal, dengan demikian mengganti dan mengubah istilah
usang “jalur maritim” dan “perairan teritorial” (territorial waters) suatu istilah untuk
menyatakan bagian pantai yang tunduk dibawah kedaulatan Negara pesisir.
Pada sidang ke 8 tahun 1956 Komisi menyusun rancangan akhir naskah ketentuan
mengenai laut territorial, dengan memasukkan perubahan-perubahan setelah berkomunikasi
dengan pemerintah negara-negara, dan mengesahkan laporan akhir mengenai ketentuan
hukum laut lepas, yang berisi 73 rancangan pasal, yang dimaksudkan untuk menyusun suatu
ketentuan hukum tunggal yang terkoordinasi dan sistematis. Hal-hal ini terjadi sebelum
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1956, dan sesuai dengan
rekomendasi-rekomendasi Komisi, melalui resolusi tanggal 27 Februari 1957, memutuskan
untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional yang berwenang penuh “untuk
mengkaji hukum laut, dengan memperhatikan bukan saja aspek hukum melainkan juga
aspek-aspek teknis, biologi, ekonomi, dan politik dari permasalahan, dan mewujudkan hasil-
hasil pekerjaannya dalam satu Konvensi internasional atau lebih ataupun instrumen-
instrumen hukum lain yang dianggap sesuai oleh konferensi”.

11
Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdiri dari :
a. Pertama diselenggarakan di Jenewa mulai dari tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan
27 April 1958, dan tugas yang diselesaikannya dimuat dalam empat buah konvensi, yaitu
Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan, Konvensi mengenai Laut Lepas,
Konvensi mengenai Perikanan dan Konservasi sumber-sumber Daya Hayati di Laut Lepas,
dan Konvensi mengenai Landas Kontinen.
Konvensi-Konvensi ini mulai berlaku, berturut-turut, tanggal 10 September 1965, 30
September 1962, 20 Maret 1966 dan 10 Juni 1964, dan hingga akhir tahun 1979, konvensi-
konvensi itu telah diikutsertai, secara berturut-turut, oleh 45 negara, 56 negara, 35 negara,
dan 53 negara. Konferensi telah mengesahkan sebagai tambahan sebuah Protokol
Penandatanganan Bebas-Pilih yang berkaitan dengan Penyelesaian Wajib atas Sengketa-
sengketa (Optional Protocol of Signature concerning the Compulsory Settelement of
Disputes) yang kemudian berlaku mulai tanggal 30 September 1962, yang hingga
pengunjung tahun 1979 pesertanya mencapai 39 negara. Meskipun telah tercapai
kesepakatan dalam tingkat yang besar pada Konferensi mengenai sejumlah besar pokok
permasalahan penting, namun dua masalah masih belum berhasil diselesaikan, yaitu lebar
laut teritorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Sesudah berakhirnya Konferensi 1958,
Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan tanggal 10 Desember 1958 meminta
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelenggarakan Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang kedua untuk memikirkan lebih
lanjut dua masalah yang belum diselesaikan ini.
b. Lebih dari 80 negara diwakili pada Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa yang kedua
ini, yang dilangsungkan di Jenewa mulai dari tanggal 16 Maret 1960 sampai dengan 26
April 1960 dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan menyangkut kedua permasalahan
tersebut, meskipun Konferensi menyetujui suatu resolusi yang menegaskan perlunya
bantuan teknik bagi penangkapan ikan.
Satu masalah yang belum termasuk dalam laporan Komisi Hukum Internasional yang
diajukan kepada Majelis Umum tahun 1956 adalah mengenai kebebasan untuk akses (free
acces) ke laut bagi negara-negara tidak berpantai (land-locked States). Namun demikian,
persoalan ini dimuat dalam suatu memorandum yang diajukan ke Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut yang Pertama oleh suatu konferensi pendahuluan
mengenai negara-negara tidak berpantai yang diselenggarakan di Jenewa mulai tanggal 10
Februari 1958 sampai dengan 14 Februari 1958, yang berarti seminggu lebih sedikit sebelum
pembukaan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Memorandum ini menyebabkan

12
Konferensi yang diselenggarakan berikutnya menetapkan salah satu dari Komite-komite
utamanya yaitu Komite Kelima dengan mandat membahas persoalan akses ke laut bagi
Negara-negara tidak berpantai. Hasilnya, tidak ada konvensi tersendiri mengenai pokok
persoalan ini yang dikeluarkan oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan tetapi
dimuat dalam beberapa ketentuan dari Konvensi mengenai Laut Lepas yang berkaitan dengan
persoalan akses negara-negara tidak berpantai, dan Pasal 3 dari Konvensi yang disebut
terakhir secara tegas dan spesifik mengatur persoalan ini.
Selain dari pada itu, menyusul suatu resolusi yang dikeluarkan oleh Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Perdagangan dan Pembangunan (First United
Nations Conference on Trade and Development) yang diselenggarakan di Jenewa bulan Juni
1964, Majelis Umum memutuskan, pada tanggal 10 Februari 1965, untuk menyelenggarakan
konferensi internasional yang berwenang penuh untuk memikirkan pokok persoalan
mengenai perdagangan transit bagi negara-negara tidak berpantai, dan untuk mewujudkan
hasilnya dan suatu konvensi dan instrumen-instrumen hukum lainnya yang dianggap sesuai
oleh konferensi tersebut. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan
Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (United Nations Conference on the Transit Trade
of Land-Locked Countries) diadakan di New York mulai tanggal 7 Juni 1965 sampai dengan
8 Juli 1965, dengan keikutsertaan dari wakil-wakil 58 negara, dan mengeluarkan Konvensi
mengenai Perdagangan Transit bagi Negara-negara Tidak Berpantai (Convention on the
Transit Trade of Land Locked States).
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah menetapkan secara
kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak yang berkaitan dengan laut
lepas dan laut territorial, instrument-instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan
bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Hukum Laut yang komprehensif yang telah ditandatangani Montego Bay - Jamaica
pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 mengenai hukum laut adalah :
 Lebar laut territorial secara tepat
 Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang
merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut
territorial
 Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan

13
 Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-
kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.

BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
1. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi, tetapi
definisi ini hanya bersifat fisik semata. Sedangkan laut menurut definisi hukum adalah
keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.
Bahwa istilah “hukum laut” dala arti luas yaitu meliputi segala peraturan hukum yang ada
hubungannya dengan laut, sedang pembatasan peninjauan terletak pada hal yaitu hanya
hukum laut bagi Indonesia, artinya sekedar berlaku untuk Republik Indonesia dan para
warganya.
2. Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan
kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya
(national jurisdiction).
3. Sejarah Hukum Laut Nasional dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah Internasional
tahun 1951, yakni: Cara penentuan laut territorial di sekeliling kepulauan Indonesia
menurut cara yang kita perbincangkan sekarang mau tidak mau akan mengambil sebagai
suatu garis dasar (base-line) suatu garis lurus yang menghubungkan titik ujung terluar dari
pada kepulauan Indonesia. Cara penarikan “straight base-lines from point to point” ini
mendapat pengakuan dalam hukum intenasional denga keputusan Mahkamah
Internasional dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case pada tanggal 18 Desember 1951.
Cara penentuan base-line yang ditetapkan dalam Royal Norwegian Degree dari tanggal 12
Juli ini dibenarkan oleh Mahkamah yang menyatakan “that the base-lines fixed by the said
degree were not contrary to international law”.
4. Sejarah Hukum Laut Internasional Dua perkembangan penting dari sejarah hukum laut
internasional terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua yaitu:
• Evaluasi dan penerimaan umum atas doktrin landas kontinen (continental shelf)
• Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo-Norwegian

14
Fisheries Case yang memperkuat metode dalam hal-hal tertentu penarikan garis dasar pada
jarak tertentu dari garis pantai negara pesisir terkait, dari mana garis dasar lebar jalur maritim
di ukur, sebagai pengganti tanda air surut yang merupakan akhir garis jalur maritim.
Di luar fakta bahwa keempat konvensi 1958 dan konvensi 1965 telah menetapkan secara
kolektif suatu rezim yang mengatur pemanfaatan, dan hak-hak yang berkaitan dengan laut
lepas dan laut territorial, instrument-instrumen ini juga sesungguhnya telah membuka jalan
bagi dan menetapkan landasan fundamental bagi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengenai Hukum Laut yang komprehensif yang telah ditandatangani Montego Bay - Jamaica
pada tanggal 10 Desember 1982.
Perkembangan-perkembangan yang timbul sejak tahun 1960 sampai dengan Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 negenai hukum laut adalah :
 Lebar laut territorial secara tepat
 Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang
merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut
territorial
 Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan
 Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-
kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.

1.2 Saran
Dari kesimpulan diatas dapat disarankan bahwa, agar kita dapat memahami secara baik
materi tentang hukum laut baik itu hukum laut nasional maupun hukum laurt internasional
sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian dan juga sejarahnya, agar kita dapat
memahami materi selanjutnya dengan lebih baik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Junaidi Indrawadi, dkk. 2006. Buku Ajar Hukum Internasional. Padang: UNP Press.

Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut. Jakarta: Binacipta.

Munadjat Danusaputro. 1981. Wawasan Nusantara dalam Hukum Laut Internasional. Jakarta:
Alumni.

Starke, J. G. 1988. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Wirjono Prodjodikoro. 1976. Hukum Laut di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

http://andriankamil4u.blogspot.com/2010/06/hukum-laut-internasional.html

16

Anda mungkin juga menyukai