Makalah
Dosen Pengampu:
Oleh:
NUSANTARA TANGERANG
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan kesempatan dalam
penulisan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar. Makalah ini berjudul “Ganti Kerugian
dan rehabilitas”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulis memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
keterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta memasukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia Pendidikan.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis,
berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata.
Maka dari itu, Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau
yang berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan
teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga
butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Ganti Kerugian?
2. Bagaimana cara pelaksanaannya dalam hukum acara?
3. Adakah pasal yang mengatur tentang Ganti Kerugian?
4. Apa itu Rehabilitasi?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ganti Kerugian
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara
keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti
kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum
perdata. Ganti kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum
pidana. “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”1
Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti
kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu
pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan
penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh
tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya
(tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian
kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah
nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril,
yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti. Misalnya rasa ketakutan,
kehilangan kesenangan atau cacat anggota tubuh Sebagai contoh A beli buku tulis.
Namun A tidak mendapat buku tulis itu meskipun ia telah membayar sejumlah uang
untuk membeli buku tulis tersebut (kerugian materil). Seandainya A mendapat buku tulis
tersebut, buku itu bisa ia pakai untuk menulis, dan dari hasil menulis itu A bisa membuat
novel dan menjual novel tersebut untuk mendapatkan uang (kerugian immaterial).
Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya
yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk.
Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena
perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
1
UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
5
adalah tersangka, terdakwa atau terpidana.2 Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan
ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya
dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat
praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan
itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas
perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke
pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika
permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk
mengajukan ganti kerugian.
2
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983
3
Roeslan, Saleh. Pembinaan Cita Hukum dan Asas – asas Hukum Nasional. Jakarta: Karya Dunia Fikri, 1996.
6
ganti k erugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti
kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk
putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin
juga penolakan atas permohonan ganti kerugian. Setelah penetapan dikeluarkan maka
akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan mengenai eksekusi. Prosesnya adalah sebagai berikut: ketua pengadilan negeri
setempat yang memeriksa perkara tersebut mengajukan permohonan penyediaan dana
kepada menteri kehakiman c.q. sekretaris jenderal depkeh yang selanjutnya akan
meneruskan kepada menteri keuangan c.q. dirjen anggaran dengan menerbitkan surat
keputusan otorisasi. Ada surat keputusan SKO gitu. Kemudian aslinya itu akan
disampaikan kepada si terdakwa. Setelah SKO itu diterima maka ia mengajukan
pembayaran kepada kantor perbendaharaan negara melalui ketua pengadilan setempat.
Jadi pada dasarnya terdakwa itu hanya ke pengadilan negeri dan yang melaksanakan
segala prosedur adalah pengadilan negeri. Proses ini biasanya akan memakan waktu
sekitar 6 bulan sampai 1 tahun.
7
Korban dapat menggabungkan perkara ganti kerugian tersebut kepada perkara
pidana. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses memperbaiki ganti kerugian
tersebut. Korban juga bisa mengajukan gugatan ganti kerugian melalui hukum acara
perdata, namun prosesnya akan lama dibandingkan jika permohonan ganti kerugian
digabungkan dengan perkara pidananya. Besarnya jumlah ganti kerugian ini hanya
terbatas pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
Artinya kalau misalnya korban mengalami luka-luka dan dia harus ke rumah sakit, maka
hanya biaya Rumah Sakit saja yang dapat diminta ganti kerugian. Jika korban
mempunyai tuntutan lain seperti tuntutan immateril karena dirinya cacat, maka gugatan
immaterilnya itu harus diajukan sebagai perkara perdata biasa dan tidak bisa digabungkan
ke perkara pidana. Jika tindak pidana dilakukan oleh banyak orang (tindak pidana
massal) maka polisi akan mencari siapa-siapa saja yang menjadi tersangka/terdakwa
sebagai orang yang bertanggungjawab secara pidana dan hanya kepada
tersangka/terdakwa itulah ganti kerugian dimintakan.
Penggabungan perkara ganti kerugian dalam suatu perkara pidana ini merupakan
suatu hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban. Kepada korban KUHAP
memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Gugatan
ganti kerugian ini memang pada saatnya bersifat perdata namun diajukan pada saat
perkara pidana ini berlangsung dengan alasan agar prosesnya lebih cepat. Ganti kerugian
yang dimohonkan oleh korban dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan
terdakwa di pengadilan, yaitu sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutannya
atau requisitornya. Bisa juga dia tidak mengajukannya sendiri melainkan meminta tolong
kepada jaksa penuntut umum untuk memasukkan permohonan ganti kerugian dalam
tuntutannya. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Dalam persidangan dengan acara cepat
(seperti praperadilan, pelanggaran lalu lintas, pencemaran nama baik, penghinaan ringan,
tindak pidana ringan) dimana persidangan dilakukan tanpa adanya jaksa penuntut umum,
korban dapat mengajukan permintaan ganti kerugian setidak-tidaknya sebelum hakim
memutus perkara tersebut.
Dalam hal penggabungan perkara pidana dan perdata, maka eksekusi ganti
kerugian dilakukan menurut hukum acara perdata. Seandainya pihak terdakwa, terpidana
dapat membayar ganti kerugian kepada korban maka menurut Surat Keterangan Menteri
Kehakiman pihak korban bisa mengajukan permintaan secara lisan maupun tertulis
kepada ketua PN yang memeriksa perkara tersebut agar permohonan ganti kerugian itu
dieksekusi. Berdasarkan permohonan eksekusi tersebut ketua PN memanggill terpidana
untuk membayar ganti kerugian. Jika ternyata terpidana tidak mampu atau tidak bisa
membayar maka hakim menetapkan untuk menyita barang bergerak milik terpidana
sesuai dengan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan. Jika ternyata barang bergerak
tersebut jumlahnya tidak mencukupi, maka hakim dapat menetapkan penyitaan
eksekutorial, yaitu penyitaan terhadap barang yang tidak bergerak. Jadi dalam eksekusi
8
pidana pihak yang melakukan eksekusi adalah jaksa. Namun dalam perkara
penggabungan pidana dan perdata, eksekusi pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan
untuk masalah ganti kerugian perdatanya eksekusi dilaksanakan oleh panitera dibantu
dengan juru sita. Jika korban tidak mengetahui bahwa dalam permohonan ganti kerugian
diajukan oleh korban kepada terdakwa hanya sebatas biaya yang telah dikeluarkan, maka
putusan hakim kemungkinan akan berbunyi putusan tidak dapat diterima dan harus
diajukan sebagai perkara perdata biasa karena permohonannya lebih dari jumlah yang
dikeluarkan dan harus diajukan sebagai perkara perdata biasa, maka korban dapat
mengajukan gugatan secara perdata biasa, tidak digabungkan dengan pidananya, korban
dapat langsung menggugat secara perdata saja. Atau mungkin juga hakim memutus tidak
dapat diterima gugatan tersebut tanpa adanya embel-embel perintah untuk mengajukan
secara perdata. Hal ini bisa dibilang menimbulkan masalah nebis in idem, artinya kalau
memang tidak dapat diterima tanpa ada perintah mengajukan secara perdata saja maka
korban tidak bisa mengajukan secara perdata.
Pasal 95
9
Pasal 96
D. Pengertian Rehabilitasi
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu
pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi
sebagai berikut. “Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”
Alasan Rehabilitasi
Baik sebagai alasan tuntutan ganti kerugian maupun alasan tuntutan rehabilitasi, yang
dimaksud oleh KUHAP bersifat limitatif, artinya terbatas atas hal-hal yang disebutkan
dalam ketentuan KUHAP saja.
Putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang ditetapkan, akan tetapi
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri Salah satu alasan tuntutan ganti kerugian
atau rehabilitasi ialah tindakan melawan hukum harus dipenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Tuntutan Rehabilitasi
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya
memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih
sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti
kerugian yang akan dibicarakan adalah ganti kerugian dalam hukum pidana sedangkan
dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak
korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana
dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan
karena perbuatan terdakwa.
Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Roeslan, Saleh. Pembinaan Cita Hukum dan Asas – asas Hukum Nasional. Jakarta: Karya Dunia
Fikri, 1996.
12