Kartono (2013) mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara
pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari
interaksi otomatis di antara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin (ada relasi interpersonal).
Menurut Terry dan Rue (2013) kepemimpinan adalah sebagai kemampuan seseorang atau
pemimpin, untuk mempengaruhi perilaku orang lain menurut keinginan-keinginannya dalam suatu
keadaan tertentu.
Sedangkan menurut Siswanto (2013) mengatakan kepemimpinan adalah sikap dan perilaku untuk
mempengaruhi bawahan agar mereka mampu bekerja sama sehingga dapat bekerja secara lebih
efisien dan efektif. Secara singkat, kepemimpinan adalah sifat yang harus dimiliki oleh perencana,
pengorganisasi, pengarah, pemotivasi, dan pengendali untuk mempengaruhi orang dan mekanisme
keja guna mencapai tujuan.
Dari berbagai definisi yang ada diatas, dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan berhubungan
dengan suatu proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh tersebut sengaja dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain untuk menstrukturkan kegiatan serta hubungan di dalam sebuah
organisasi atau kelompok guna mencapai tujuan.
Arti pentingnya kepemimpinan dalam organisasi ini dapat dilihat dari berbagai teori dan pendekatan
yang ada, studi kepemimpinan secara garis besar dapat dikelompokan kedalam tiga periode
(Chemers dalam Handoko dan Tjiptono, 2005), yakni mulai tahun 1910 sampai Perang Dunia II,
periode kedua adalah periode perilaku (behavior period) dimuiai setelah Perang Dunia lII sampai
akhir tahun 1900, dan periode selanjutnya adalah periode kontigensi yang dimulai sejak tahun 1960 -
an hingga saat ini.
Pendekatan sifat berupaya mengidentifikasi kombinasi ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dapat
membedakan pemimpin dengan pengikut. Anggapan yang ada dalam pendekatan ini adalah bahwa
pemimpin dilahirkan, bukan dibuat.
Sementara itu pendekatan perilaku berusaha menentukan apa yang dilakukan para pernimpin efektif.
Pendekatan ini memusatkan perhatian pada dua aspek perilaku kepemimpinan, yaitu fungsi
kepemimpinan dan gaya kepemimpinan.
Beberapa teori yang terkenal dalam kelompok pendekatan ini antara lain : Studi University of
Michigan dari Rensis Likert yang mengatakan bahwa ada dua dimensi perilaku kepemimpinan yaitu
pemimpin yang berorientasi karyawan (pemimpin yang menekankan hubungan antar pribadi) dan
pemimpin yang berorientasi produksi (pemimpin yang menekankan pada aspek teknis atau tugas
dari pekerjaan. Studi Ohio Slate University yang menyatakan bahwa terdapat dua kategori/dimensi
perilaku kepemimpinan yaitu struktur awal (sejauh mana seorang pemimpin berkemungkinan
mendefinisikan dan menstruktur peran bawahan dalam upaya mencapai tujuan) dan pertimbangan
(sejauh mana seorang pemimpin berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan saling
percaya, menghargai gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka), dan kisi-kisi
manajerial dari Blake dan Mouton yang menggambarkan tentang matrik sembilan kali sembilan yang
membagankan delapan puluh gaya kepemimpinan yang berlainan.
Pada prinsipnya kedua pendekatan pertama ini berupaya untuk mengidentifikasikan suatu gaya
kepeminpinan terbaik. Dalam era selanjutnya , disadari bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan
yang "terbaik" yang berlaku universal untuk segala situasi dan lingkungan. Pendekatan
situasional/kontigensi menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang digunakan tergantung pada
faktor-faktor situasi, karyawan, tugas, organisasi, dan variabel lingkungan lainya.
Teori-teori situasional yang banyak diadopsi antara lain : Teori kontigensi Model Fiedler yang
mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara
gaya interaksi dari si pemimpin dengan bawahanya serta sampai tingkat mana situasi meberikan
kendali dan pengaruh kepada si pemimpin; Teori Leader - Member - Exchange (LMX) yang
berpendapat bahwa karena tekanan waktu, para pemimpin membangun suatu hubungan yang
istimewa dengan suatu kelompok kecil bawahan mereka.
Individu-individu ini Menyusun ’’ kelompok- dalam" mercka dipercaya, mendapat sejumlah perhatian
yang tidak proporsional dari si pemimpin, dan kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hak
istimewa. Bawahan yang lain berada dalam "kelompok-luar", mereka memperoleh lebih sedikit
waktu pemimpin, lebih sedikit ganjaran yang disukai yang dikendalikan oleh si pemimpin, dan
mendapatkan hubungan atasan bawahan yang didasarkan pada interaksi otoritas formal; Teori siklus
kehidupan dari Hersey dan Blanchard yang mengatakan bahwa kepemipinan yang berhasil dicapai
dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau
kedewasaan para pengikutnya; Path Goal Theory dari Robert House yang menyatakan bahwa
perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh bawahan sejauh mereka pandarng sebagai
suatu sumber kepuasan segera atau kepuasan masa depan dan Leadership Participation Model dari
Victor Vroom dan Phillip Yetton yang mengembangkan suatu leori kepemimpinan yang memberikan
seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif
dalam situasi yang berlainan.
Periode kontigensi juga ditandai dengan adanya beberapa pendekatan terbaru terhadap
kepemimpinan (Robbins,2008) yaitu diantaranya: Teori Atribusi Kepemimpinan yang menyatakan
bahwa kepemimpinan semata-mata hanyalah suatu atribusi yang dibuat orang mengenai individu-
individu lain: Teori Kepemimpinan Karismatik yang mengemukakan bahwa para pengikut membuat
atribusi dan kemampuan kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati perilaku
- perilaku tertentu dan kepemimpinan Transaksional dan Transformasional.
Kebanyakan teori kepemimpinan yang ada seperti Study Ohio, model Fiedler, teori jalur tujuan dan
model partisipasi pemimpin memperhatikan pemimpin transaksional, dímana pemimpin ini
merupakan model kepemimpinan dengan menitik beratkan pada perilaku untuk memandu atau
memotivasi pengikut mereka ke arah tujuan-tujuan yang ditetapkan dengan memperjelas peran dan
tuntutan tugas (Robbins, 2008 ).
Seperti halnya dengan Borns dan Bass yang memandang kepemimpinan transaksional sebagai
sebuah pertukaran imbalan - imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Namun demikian, Bass
mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yang lebih luas dari pada Borns.
Salah satu komponen dari perilaku transaksional (disebut perilaku"contingen reward") mencakup
kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk memperoleh imbalan - imbalan dan penggunaan
insentif dan contingent reward untuk mempengaruhi motivasi.
Komponen kedua (disebut "active management by exepition") termasuk pemantauan dari para
bawahan dan tindakan tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut
dilaksanakan secara efcktif. Komponen ketiga ( discbut'passive management by exeption") yang baru-
baru ini telah ditambahkan oleh Bass dan kawan -kawan ( Bass & Avolio, 1990; Yammarino & Bass,
dalam Yulk, 2005), yakni memasukkan penggunaan contingent punishment dan tindakan tindakan
memperbaiki lainya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari standar standar
kinerja yang dapat diterima
Bass (1985 dalam Yulk, 2005) memandang teori - teori seperti teori LMX dan teori Path Goal sebagai
penjelasan mengenai kepemimpinan transaksioanal. la memandang kepemimpinan transformasional
dan kepemimpinan transaksional sebagai proses-proses yang berbeda namun tidak saling Eksklusif,
dan ia mengakui bahwa pemimpin yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan
tersebut pada waktu- waktu dan situasi - situasi yang berbeda.
Konsep deskriptif mengenai pemimpin - pemimpin politik . Burn (1978 dalam Yulk, 2005)
menjelaskan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang padanya " para pemimpin
dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi"
Bass (1985 dalam Yukl 2005) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional yang
dibangun atas gagasan -gagasan yang lebih awal dari Bum (1978, dalam Yulk 2005) Tingkat
sejauhmana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubunganya
dengan efek pemimpin tersebut terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin
transformasional merasa adanya kepercayaan, kesetiaan dan rasa hormat terhadap pemimpin
tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada apa yang awalnya diharapkan dari
mereka.
Kepemimpinan Transformasional lebih kuat dalam penggunaan visi dan inspirasi dalam
pendekatannya, cenderung untuk mengkomunikasikan visi dan tujuan secara jelas dan mudah
diterima, dengan demikian anggota dapat mengidentifikasi dan cenderung menimbulkan pengaruh
yang kuat pada pengikutnya.
Dari pendapat-pendapat para ahli diatas, dapat disimpuikan suatu definisi tentang gaya
kepemimpinan, Gaya Kepemimpinan adalah cara tertentu yang diterapkan oleh seorang pimpinan
dalam proses mempengaruhi , mengarahkan, menggerakkan dan memotivasi anggota-anggota
oraganisasi supaya bekerja dan memperoleh dukungan untuk mencapai tujuaan-tujuan organisasi.
Sedangkan Peter Drucker (2002: 139) menyatakan: Efektivitas adalah melakukan hal yang benar,
Sedangkan efisiensi adalahı melakukan hal socara benar atau juga cfcktif adalahscjah mana kita
mencapai sasaran dan efisiensi berarti bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat.
Dengan dernikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa efektivitas adalah penyelesaian
pekerjaan secara tepat wakhu yang telah ditetapkam Bila kaitkan dengan kepemimpian berarti
menjadi efèktivitas kepemimpinan artinya sejauhmana seorang pemimin dapat mencapai tujuan
orgarisasi secara tepat waktu yang telah ditetapkan, tetapi untuk sampaipada kesimpulan itu, ada
baiknya terlebih dahulu dibahas tentang ati peminpin dan kepeminpinan.
Secara ilmu asal kata pemimpin dan kepemimpiran berasal dari "pimpin" kemudian mengalami
perubahan menjadi "pemimpin" dan kepemimpinan. Dari ilmu asal kata tersebut untuk dapat
memahami kepemimpinan, penliti perlu mengemukakan definisi dari para ahli diantaranya sebagai
berikut:
Jason Colquitt (2009: 441) mendefirisikan balwa Kepemimpinan adalah penggunan kekuatan dan
pengaruh untuk mengarahkan pengikut dalam mencapai tujuan Sedangkan menurut Gibson,
Ivancevich, Donelly (2010:312) dalam memimpin pasti terlibat kemampuan seseorang utuk
mempengaruhi atau memotivzsi orang lain atau bawahanya agar mereka mau melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dapat juga dikatakan bahwa kepemimpinan itu merupakan kegiatan untuk
mempengaruhi perilaku atau seni menpengnuhi manusia baik perseorangan atau kelompok.
Lebih lanjut Paul Herey (2008: 62) mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses
mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok kearah pencapaian sasaran berdasarkan situasi
Kepemipinan ini disebut kepemimpinan situasional.
Sebagai pemimnpin dituntut utuk mampu mempengaruhi para karyawannya untuk meningkatkan
kinerjarya dengan menggurakan symbol-simbol pengaruh dan bukan paksaan langsung, melainkan
kegiatan koordinasi antar anggota dari suatı kelompok dalam mencapai tujuan. Apabila seorang
pemimpin menggunakan paksaan dalan melaksanakan tugasnya akan mengalami stres sehingga
kinerjanya akan menurun.
Menurut Jason A. Colquitt (2009: 448) untuk dapat melaksanakan pekerjaan itu, sebaiknya seorang
pemimpin harus memiliki taktik mempengaruhi. Ada sepuluh tipe taktik yang diklasifikasikan atas
tiga level umum menunt efektivitasiya: Efektivitas tinggi, terdiri dari
(3) Konsultasi
a. Manis sikap
b. Loyalitas
c. Pertukaran taktik
(1) Tekanan adalah penggunaan pemaksaan kekuasaan melalui acaman dan periintah
(2) Koalisi muncul ketika pemberi pengaruh meminta bantuan orang lain utuk mempengaruhi target
Berdasarkan hasil kajian dan analisis di atas, maka yang dimaksud dengan efeektivitas kepemimpinan
adalah upaya mengarahkan dan mempengaruhi pengikut agar mau dengan sukarela melakukan
pekerjaan dengan penuh semengat dan kepercayaan serta berusaha mencapai tujuan organisasi
dengan indikator sebagai berikut:
1. Menetapkan keputusan
2. Mempercayai pengikut
3. Membuat prosedur kerja dan menggunakan fungsi manajemen
Budaya kerja
Budaya kerja merupakan salah satu hal yang menjadi pembeda atau ciri khas antara
perusahaan satu dan perusahaan lainnya. Bahkan, banyak orang yang tertarik dan
melamar kerja ke suatu perusahaan karena budaya kerja yang diterapkan. Semakin
baik budaya kerja suatu perusahaan, semakin produktif karyawannya.
Selain itu, budaya kerja juga menjadi acuan bagi karyawan yang bekerja di
dalamnya, dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan. Jadi, sebelum melamar
kerja, cari tahu dulu budaya kerja di perusahaan tujuan. Jangan sampai menyesal
nantinya.
Budaya kerja adalah kombinasi sikap, keyakinan, dan perilaku yang membentuk
suasana yang mengakar dalam suatu lingkungan kerja. Budaya di tempat kerja yang
sehat akan menyelaraskan perilaku karyawan dan kebijakan perusahaan dengan
apa yang menjadi tujuan perusahaan secara keseluruhan, tanpa menyampingkan
kesejahteraan setiap individu yang berada di dalamnya.
Pengertian budaya kerja lainnya yakni, budaya hipotesis, nilai dan norma yang
diterapkan berulang kali oleh karyawan atau budaya yang dikembangkan dalam
organisasi, yang tercermin dalam sikap terhadap perilaku, keyakinan, cita-cita,
pendapat, di mana budaya tersebut tercermin.
Selain itu, terdapat juga pengertian budaya kerja berdasarkan para ahli/tokoh. Di
antaranya sebagai berikut.
2.Hierarchy Culture
Berkebalikan dengan clan culture, hierarchy culturemenekankan konsep
lingkungan kerja yang lebih formal dan terstruktur. Budaya kerja ini
berfokus pada pengembangan dan pemeliharaan aturan, struktur, dan proses
organisasi yang stabil dengan menerapkan sistem hierarki pada kewenangan
dan manajemen.
Berkat kejelasan atas peran dan tanggung jawab, budaya kerja ini bisa
mendatangkan koordinasi yang lebih efisien. Budaya kerja ini cocok bagi
karyawan perusahaan yang mendambakan kejelasan peran dan stabilitas.
3.Adhocracy Culture
Adhocracy culture atau budaya adhokrasi adalah budaya kerja yang memacu
kreativitas dan pertumbuhan dengan menantang status quo. Budaya kerja ini
menekankan inovasi dan inisiatif serta berani mengambil risiko dalam
menavigasi aktivitas kerja.
4.Market Culture
Market culture adalah jenis budaya organisasi yang paling agresif karena
menekankan tempat kerja yang didorong target, tenggat waktu, dan
kebutuhan untuk mendapatkan hasil. Oleh karenanya, kinerja staf dipantau
secara ketat.
Market culture seperti budaya klan dan budaya adhokrasi yang menekankan
fleksibilitas, tetapi masih membutuhkan stabilitas untuk tetap berfungsi atau
bertahan.
Dengan orientasi pada hasil, tim kerja yang memenuhi target atau melebihi
harapan bisa menjadi lingkungan kerja yang bermanfaat bagi karyawan
perusahaan.
Budaya kerja ini cocok untuk perusahaan dan pekerja ambisius yang
mendambakan pengembangan professional. Contoh budaya kerja market
culture adalah Tesla dan Amazon
Budaya Kerja
a. Pengertian Budaya
Dalam kamus besar bahasa indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran, adat
istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan
tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan
dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang menjadi kebiasaan dari
kelompok dalam masyarakat tersebut.
Supriyadi dan Triguno (2006:15) menyatakan bahawa: “Budaya kerja adalah suatu falsafah
dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan yang juga
pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi
perilaku, cita- cita, pendapat, pandangan sera tindangan yang terwujud sebagai kerja.”
bahwa: “Budaya kerja adalah seperangkat perilaku perasaan dan kerangka psikologis yang
terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi”.
kebiasaan seseorang dan menentukan kualitas seseorang dalam bekerja. Nilai- nilai dapat
berasal dari adat kebiasaan, ajaran agama, norma dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat,
dari definisi tersebut, jelas bahwa seseorang yang memiliki budi pekerti, taat pada agama, dan
memiliki nilai-nilai luhur akan mempunyai kinerja yang baik dalam arti mau bekerja keras,
jujur, anti KKN, serta selalu berupaya memperbaiki kualitas hasil pekerjaannya demi
kemajuan organisasi.
perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan kinerja untuk menghadapi berbagai
tantangan di masa yang akan dating. Oleh karena itu, dapat di tarik kesimpulan bahwa
manfaat dari penerapan budaya kerja yang baik : (1) meningkatkan jiwa gotong royong, (2)
meningkatkan kebersamaan, (3) saling terbuka satu sama lain, (4) meningkatkan jiwa
kekeluargaan, (5) meningkatka
2.
rasa kekeluargaan, (6) membangun komunikasi yang lebih baik, (7) meningkatkan kinerja,
(8) tanggap dengan perkembangan dunia luar, dan lain-lain.
f.
Kerangka Pikir
1. Pengertian Budaya Kerja
efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan
masyarakat”
Budaya kerja merupakan falsafah sebagai nilai-nilai yang menjadi
sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong yang dimiliki bersama oleh setiap individu dalam
lingkungan kerja suatu organisasi.Jika dikaitkan dengan organisasi, maka budaya kerja dalam
organisasi menunjukkan bagaimana nilai-nilai organisasi dipelajari yaitu ditanam dan
dinyatakan dengan
14
2. Kinerja Pegawai
Kinerja kini banyak dibicarakan oleh banyak orang. Batasan mengenai
kinerjapun bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, tergantung pada siapa
prasarana yang tersedia dengan menghasilkan keluaran yang optimal, bahkan kalau mungkin
maksimal. Kemampuan yang dimaksud dalam definisi tersebut tidak hanya berhubungan
dengan sarana dan prasarana, tetapi juga berhubungan dengan pemanfaatan waktu dan
sumber daya manusia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa sifat khas budaya kerja adalah kemampuan mengelola proses
perubahan yang tujuannya untuk mencapai kinerja, karena berdasar pada nilai-nilai
kebersamaan/integritas, sehingga sedikit demi sedikit sikap perilaku yang negatif akan
terkikis dan munculnya nilai-nilai baru yang lebih baik untuk mendorong menjadi lebih
optimal. Dengan kata lain, budaya kerja menjadi pengarah perilaku pegawai untuk mencapai
tujuan organisasi.
Pada dasarnya perusahaan atau organisasi kerja bukan saja mengharapkan pegawai yang
mampu, cakap, dan terampil, tetapi yang terpenting mereka mau bekerja giat dan
berkeinginan untuk mencapai hasil kerja yang optimal.
Lanjutan apih
b. Pengembangan karyawan
Sebagai informasi untuk pengambilan keputusan untuk pengembangan personel seperti: promosi,
mutasi, rotasi, terminasi dan penyesuaian kompensasi.
Tujuan utama sistem penilaian kinerja adalah menghasilkan informasi yang akurat dan valid
sehubungan dengan perilaku dan kinerja karyawan. Semakin akurat dan valid infornasi yang
dihasilkan oleh sistem penilaian kinerja, semakin besar potensi nilainya bagi perusahaan.
Untuk melakukan evaluasi maka manajer akan menilai kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluator
menggunakan informasi untuk menilai kinerja dan kemudian menggunakan data tersebut dalam
keputusan-keputusan pomosi, demosi, terninasi dan kompentensi. Teknik evaluatif membandingkan
semua pegawai satu dengan yang lain atau terhadap beberapa standar sehingga keputusan -
keputusan dapat dibuat berdasarkan catatan-catatan kinerja mereka.
Infornasi yang dihasilkan dari sistem penilaian kinerja dapat juga dipakai untuk lebih memudahkan
pengembangan pribadi karir pegawai. Dalam pendekatan pengembangan, manajer mencoba
meningkatkan kinerja seorang pegawai di massa yang akan datang. Aspek pengembangan dari
penilaian kinerja mendorong pertumbuhan pegawai dalam hal keahlian, pengalaman atau
pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk melaksanakan pekerjaan saat ini secara lebih baik.
Keahlian-keahlian atau pengetahuan yang harus dicapai seseorang untuk melaksanakan pekerjaan di
massa mendatang, dan tipe-tipe tanggung jawab yang harus diberikan seseorang guna
mnempersiapkannya terhadap penugasan-penugasan di masa mendatang.
Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup pemberian pedoman kepada
pegawai untuk kinerjanya di massa depan. Umpan balik ini mengenali kekuatan dan kelemahan
dalam kinerja massa lalu dan menentukan arah yang harus diambil pegawai untuk memperbaikinya.
Pegawai ingin mengetahui secara khusus bagaimana mereka dapat meningkat di massa depan.
Karena penilaian kinerja dirancang untuk menanggulangi masalah-masalah kinerja yang buruk,
penilaian haruslah dirancang untuk mengembangkan pegawai dengan lebih baik.
2) Penilaian komparasi
g. Karakteristik
1) Pengukuran kinerja non finansial harus dimasukan dalam suatu sistem karena banyak tujuan
perusahaan yang tidak mendasarkan pada biaya. Yang termasuk disini adalah waktu, ketersedian
alat, ketepatan jadwal, dan presentase produk yang tidak salah.
3) Pengukuran kinerja harus dapat memotivasi pegawai untuk membantu perusahaan mencapai
tujuan jangka panjangnya dan juga jangka pendek.
Pengukuran kinerja harus dapat dipakai di sermua bagian. Interval waktu antara persiapan dan
keluarnya produk merupakan suatu pengukuran yang meliputi beberapa daerah. Informasi yang
dihasilkan oleh sistem penilaian dapat digunakan untuk memudahkan pengembangan pribadi
pegawai. Sistem penilaian yang sehat dapat menghasilkan informasi yang valid pegawai. Jika
informasi ini diumpan-balikan kepada pegawai secara jelas dan dengan cara yang tidak mengancam,
maka informasi itu dapat memenuhi dua tujuan:
1) Bila informasi mengindikasikan bahwa pegawai sudah bekerja secara efektif, proses-proses umpan
balik itu sendiri dapat menguntungkan pegawai karena dapat meningkatkan rasa percaya diri dan
kompetensinya.
2) Bila informasi menemukan adanya kelemahan, maka umpan balik dapat menstimulasi proses
pengembangan untuk mengatasi proses untuk kelemahan yang ada.
Untuk manajemen sumber daya manusia, proses penilaian kinerja dapat menunjukan adanya
kebutuhan akan adanya pengembangan tambahan sebagaisuatu alat untuk meningkatkan kinerja.
Dengan adanya hasil penilaian kinerja yang mengindikasikan bahwa seorang pegawai mempunyai
potensi untuk bekerjadengan baik di suatu posisi yang dipromosikan, maka pegawai tersebut
mempunyai kesempatan untuk menduduki suatu posisi yang lebih tinggi.
Penilaian kinerja yang bertujuan pengembangan juga mencakup pemberian pedoman kinerja
pegawai di kemudian hari. Umpan balik akan menyadarkan pegawai akan kelemahan dan kekuatan
kinerja masa lalu dan menentukan arah yang harus dipilih pegawai untuk memperbaikinya. Pegawai
ingin mengetahui secara khusus, bagaiman mereka dapat meningkatkan keterampian mereka di
massa mendatang. Karena penilaian kinerja dirancang untuk menanggulangi masalah-masalah
kinerja yang buruk, penilaian harus dirancang untuk mengembangkan pegawai dengan lebih baik.
Dari pendapat dan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai seseorang atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan organisasi dan dapat ditunjukkan
buktinya secara kongkrit serta dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Indikator kinerja pegawai
yang digunakan adalah Kuantitas Kerja, Kualitas Kerja, Luasnya Pengetahuan, Keahlian atau Gagasan,
Kerjasama, Dapat diandalkan, Semangat, dan Kepribadian.