Anda di halaman 1dari 50

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1 Sungai
2.1.1 Definisi
Suatu alur yang panjang diatas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal
dari hujan disebut alur sungai. Bagian yang senantiasa tersentuh aliran air ini disebut aliran
sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai.
Dalam perjalanannya dari hulu menuju hilir, aliran sungai secara berangsur berpadu
dengan banyak sungai lainnya. Perpaduan ini membuat tubuh sungai menjadi besar. Apabila
suatu sungai mempunyai lebih dari dua cabang, maka sungai yang daerah pengaliran,
panjang dan volume airnya paling besar disebut sebagai sungai utama (main river).
Sedangkan cabang yang lain disebut anak sungai (tributary). Suatu sungai terkadang
sebelum alirannya sampai ke laut, sungai tersebut membentuk sungai (enfluent)
(Sosrodarsono, 2008,p.1).
Alur sungai sendiri dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, tengah, dan hilir.
Bagian hulu memiliki ciri khas yaitu terdapat arus yang deras, erosi besar pada bagian bawah
sungai. Berikutnya adalah bagian tengah yang merupakan transisi dari hulu ke hilir dan
memiliki kemiringan dasar sungai yang relatif landai. Selanjutnya bagian hilir adalah bagian
sungai yang memiliki kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan aliranya
lambat, dan arusnya lebih tenang.
2.1.2 Morfologi Sungai
Morfologi sungai merupakan ukuran dan bentuk sungai sebagai hasil reaksi terhadap
perubahan kondisi hidraulik dari aliran. sehingga sungai akan leluasa dalam menyesuaikan
ukuran-ukuran dan bentuknya baik geometri atau kekasaran dasar sungai. Bentuk sungai
selalu berubah mengikuti karakteristik alami yang merupakan faktor penting dalam proses
pembentukan sungai.
Sungai dikelompokkan menjadi 3 tipe sungai berdasarkan morfologinya, yaitu sungai
lurus, sungai teranyam, dan sungai berkelok. Sungai yang berbentuk meander adalah sungai
yang mempunyai tikungan yang secara teratur membentuk fungsi sinus pada bidang
datarannya. Persamaan empiris untuk panjang gelombang (L) dan amplitudo meander (A)
terhadap lebar sungai sebagai berikut .

5
6

……………………………………………………………..(2-1)

Dengan :
SI < 1,05 (Straight River)
SI < 1,50 (Meander River)
1,05 > SI > 1,50 (Braided River)

Gambar 2. 1 Talweig and Valley Length


Sumber : Morisawa (1985 : 91)
1. Sungai Lurus (Straight River)
Sungai lurus adalah sungai yang bentuk alinemen sungainya relatif lurus tanpa
kelokan. Sungai jenis ini umumnya memiliki kemiringan lereng yang hampir datar, atau
curam yang mengakibatkan kecepatan aliran yang tinggi

Gambar 2. 2 Sungai Lurus


Sumber : Morisawa, (1985 : 91)
7

2. Sungai Sinous
Sungai sinus adalah sungai pada fase pertumbuhan menuju fase berikutnya yaitu
sungai berkelok (meander) sungai ini memiliki kemiringan yang landai dan berukuran
sempit.

Gambar 2. 3 Sungai Sinous


Sumber : Morisawa, (1985 : 91)
3. Sungai Berkelok
Sungai berkelok memiliki pola berliku-liku dengan cutbanks dan pool di bagian luar
kelokan, serta terdapatnya endapan bar dibagian dalam tikungan, dan pola ripples yang
melintasi antar channels.

Gambar 2. 4 Sungai Berkelok


Sumber : Morisawa (1985 : 91)
4. Sungai Anostomasing
Sungai Anastomasing terjadi karena adanya dua aliran sungai yang bercabang,
dimana cabang satu dengan yang lain bertemu kembali pada suatu titik dan bersatu pada titik
yang lain membentuk satu aliran.

Gambar 2. 5 Sungai Anostomasing


Sumber : Morisawa, (1985 : 91)
2.1.3 Perilaku Sungai
Sungai adalah saluran drainase yang terbentuk secara alamiah. Akan tetapi disamping
fungsinya sebagai saluran drainase dan dengan adanya air yang mengalir didalamnya, sungai
menggerus tanah dasarnya terus menerus dan terbentuklah lembah sungai. Volume sedimen
8

yang sangat besar dihasilkan dari keruntuhan tebing sungai di daerah pegunungan dan
tertimbun di dasar sungai terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Karena di daerah pegunungan
kemiringan sungainya curam, gaya tarik aliran airnya cukup besar. Tetapi setelah mencapai
dataran, maka gaya tariknya menurun drastis. Dengan demikian beban yang terdapat dalam
arus sungai berangsur-angsur diendapkan. (Sosrodarsono, 2008, P.4)
Pada daerah dataran yang rata alur sungai tidak stabil dan apabila sungai mulai
membelok, maka terjadilah erosi pada tebing belokan luar yang berlangsung sangat intensif,
sehingga terbentuklah meander. Meander semacam ini umumnya terjadi pada ruas sungai di
dataran rendah dan apabila proses meander berlangsung terus menerus, maka pada akhirnya
terjadilah sudetan alam pada dua belokan luar yang sudah sangat berdekatan, dan
terbentuklah sebuah danau.
Di dekat muara aliran air tidak deras dan intensitas pengendapan sangat meningkat,
lebih-lebih dengan adanya air asin di muara tersebut dan terjadilah pengendapan dalam
volume yang sangat besar. Dataran yang terjadi di muara sungai, bentuknya sangat berbeda
satu dengan yang lainnya tergantung dari keadaan sungai dan laut/danau tempat
bermuaranya sungai tersebut dan tergantung dari tingkat kadar sedimen berbutir halus yang
terdapat didalam air sungai. Apabila volume sedimen yang hanyut besar, sedangkan laut atau
danaunya dangkal dan gelombangnya tidak besar atau arusnya tidak deras, maka akan
terbentuk delta (Sosrodarsono, 2008).
2.1.4 Peranan Sungai
Sungai memiliki peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia di
dunia ini, yakni dengan menyediakan daerah – daerah subur yang umumnya terletak di
lembah sungai dan sumber air sebagai sumber kehidupan yang paling utama bagi makhluk
hidup. Demikian pula sungai menyediakan dirinya sebagai sarana transportasi guna
meningkatkan mobilitas serta komunikasi antar manusia. (Sosrodarsono, 2018, P.6)
Hingga pada dewasa ini, sungai mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan
kita sehari-hari. Di daerah pegunungan, air digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan
juga memegang peranan utama sebagai sumber air untuk kebutuhan irigasi, penyediaan air
minum, kebutuhan industri dan kebutuhan yang lainnya. Selain itu, sungai berguna sebagai
tempat untuk pariwisata, pengembangan perikanan dan sarana lalu lintas sungai. Ruas sungai
yang melintasi daerah pemukiman yang padat biasanya dipelihara sebaik mungkin dan
dimanfaatkan penduduk sebagai ruang terbuka yang berharga. Sungai juga berfungsi pula
9

sebagai saluran pembuang untuk menampung air selokan dan air buangan dari areal
pertanian. (Sosrodarsono, 2018, P.6)
2.2 Analisis Hidrologi
2.2.1 Uji Konsistensi Data
Apabila dalam suatu DAS terdapat perubahan atau pemindahan lokasi stasiun hujan,
gangguan lingkungan, kerusakan instrumentasi, ketidaksesuaian prosedur pengukuran
sering terjadi perubahan relatif terhadap nilai data hujan yang tercatat. Oleh karena itu untuk
menghasilkan hasil analisa hidrologi yang baik, pemeriksaan terhadap konsistensi data hujan
menggunakan metode kurva massa ganda (double mass curve).
2.2.1.1 Uji Kurva Massa Ganda
Prosedur yang digunakan untuk melakukan uji konsistensi data dengan metode kurva
massa ganda adalah sebagai berikut (Triatmodjo, 2013, p.41):

Gambar 2. 6 Grafik Uji Kurva Massa Ganda


Sumber: Triatmodjo, 2013, P.42
a) Metode ini membandingkan hujan tahunan kumulatif di stasiun y (stasiun yang diuji)
terhadap stasiun referensi x (stasiun pembanding).
b) Stasiun pembanding adalah nilai rerata dari beberapa stasiun di dekatnya.
c) Nilai kumulatif tersebut digambarkan pada sistem koordinat X – Y dalam bentuk dalam
bentuk diagram pencar antara stasiun yang akan diuji dan stasiun pembanding.
d) Melakukan analisa terhadap konsistensi data hujan. Apabila pencatatan garis yang
terbentuk lurus berarti pencatatan di stasiun yang diuji konsisten.
e) Apabila kemiringan kurva patah atau berubah, berarti pencatatan di stasiun yang diuji
tak konsisten dan perlu dikoreksi.
f) Koreksi dilakukan dengan mengalikan data setelah kurva berubah dengan perbandingan
kemiringan setelah dan sebelum kurva patah
10

2.2.2 Uji Homogenitas


Uji homogenitas merupakan sebuah uji untuk mengetahui seri data yang terkumpul
dari dua stasiun hujan yang dianalisis berasal dari satu populasu yang sama atau tidak. Dalam
uji homogenitas terdapat dua uji, yaitu, Uji stasioner dan Persistensi.
Dalam uji homogenitas ada syarat yang harus dipenuhi jika ingin mengatakan data itu
valid, yaitu:
- Dalam uji stasioner didapatkan hasil yang stabil, atau sama jenis
- Pada uji persistensi didapat hasil dengan sifat independent
Apabila syarat tersebut terpenuhi, selanjutnya dapat disarankan untuk digunakan dalam
analisis hidrologi lanjutan. (Soewarno, 2011, p.101)
2.2.2.1 Uji Stasioner
Uji stasioner dimaksudkan untuk menguji kestabilan nilai varian dan rata – rata dari
deret berkala. Uji ini termasuk uji kesamaan jenis tahap ke II untuk mengetahui homogen
atau tidaknya varian dan rata – ratanya. (Kamiana, 2011, pp.95- 96).
 Metode Uji F (Kesetablian Varian)
Dalam tahap akhir uji ini akan dibandingkan, menurut hasil perhitungan nilai f terhitung
dengan fcr atau f kritis yang mana nilainya dapat diperoleh melalui tabel fc uji – f. Setelah
memperoleh nilai fcr maka akan diperoleh dua kemungkinan yaitu (Soewarno, 1993, pp.38-
40) :
- Jika nilai f terhitung > fcr atau f kritis, artinya kedua sampel yang diuji tidak berasal dari
varian yang sama.
- Jika f terhitung < fcr atau f kritis, artinya kedua sampel yang diuji berasal dari varian
yang sama.
Kesimpulan yang didapat pada uji-f ini adalah bila hasil uji berasal dari varian yang
sama maka data tersebut bersifat homogen atau stabil, sedangkan bila hasil uji tidak berasal
dari varian yang sama maka data tersebut bersifat tidak homogen atau tidak stabil.
 Metode Uji-t (Kesetablian rata-rata)
Perumusan Uji-t ditulis sebagai berikut (Kaimana,2011,p.23):
/

…………………………………………………………….(2-2)
/
∑ " # "
S $
…………………………………………………………….(2-3)

Setelah mendapatkan nilai S1 dan S2, selanjutkan dapat dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai σ dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
11

$ & '$ & /


σ $ '$ …………………………………………………………..(2-4)

Dengan Nilai σ, maka nilai dari t dapat dicari dengan rumus:


)# "
" )
( / …………………………………………………………...……..(2-5)
* '
+ +

Untuk dapat mengetahui nilai batas derajat kepercayaan, maka harus mengetahui nilai Dk,
untuk mengethaui nilai tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dk = N1 + N2 - 2 ………………………………………………………………....(2-6)
Keterangan :
t : variabel t terhitung.
,̅̅1̅ : Rata – rata hitung sampel ke-1.
X1 : Rata – rata hitung sampel ke-2. N1 : Jumlah sampel set ke-1.
N2 : Jumlah sampel set ke-2.
σ : Deviasi standar.
S12 : Varian sampel set ke-1.
S22 : Varian sampel set ke-2.
Dk : Derajat kebebasan.
Dalam tahap yang terakhir, uji ini akan dibandingkan, menurut hasil hitung nilai t
terhitung degan tcr atau disebut t kritis yang mana nilai ini dapat didapatkan melalui table tc
uji-t. Setelah mendapatkan nilai tcr maka akan didapatkan dua kemungkinan, yaitu
(Kaimana,2011,p.23-24).
- Jika nilai t terhitung > tcr atau t kritis, artinya kedua sampel yang diuji tidak berasal dari
populasi yang sama.
- Jika t terhitung < tcr atau t kritis, artinya kedua sampel yang diuji berasal dari populasi
yang sama.
Jadi kesimpulan yang akan didapat dari uji-t ini adalah jika hasil uji ini berasal dari
populasi yang sama, maka data tersebut dapat dikatakan atau bersifat homogen (stabil),
namun jika hasil uji tidak berasal dari populasi yang sama maka data tersebut dapat
dikatakan tida bersifat homogen (tidak stabil).
2.2.2.2 Uji Persistensi
Persistensi (Persistence) adalah ketidak tergantungan dari setiap nilai dalam deret
berkala. Untuk melaksanakan pengujian persistensi harus dihitung besarnya koefisien
korelasi serial. Salah satu metode untuk menentukan koefisien korelasi serial adalah dengan
12

metode Spearman. Adapun koefisien korelasi serial metode Spearman dapat dirumuskan
sebagai berikut (Soewarno, 1995, pp.98- 99):
1 ∑4
#5 23
KS 1− ………………………………………………………..……..(2-7)
67 6

6
t KS 9 :&
; …………………………………………………………………..(2-8)

Keterangan:
KS : Koefisien korelasi serial.
m : N-1.
N : Jumlah data.
di : Perbedaan nilai antara peringkat data ke Xi dan ke Xi+1.
t : Nilai dari distribusi-t pada derajat kebebasan m-2 dan derataj kepercayaan tertentu.
Setelah dibandingkan, maka akan mendapatkan dua kemungkinan yaitu:
- Jika nilai t terhitung > tcr atau t kritis, artinya data menunjukkan adanya persistensi data
atau dapat dikatakan data bersifat acak (randomnes).
- Jika t terhitung < tcr atau t kritis, artinya data tidak menunjukkan adanya persistensi data
atau dapat dikatakan data bersifat independen.
Tahap pengujian tersebut umumnya disebut dengan penyaringan (screening) data,
dengan maksud untuk memeriksa dan memilahkan atau mengelompokkan data yang
bertujuan untuk memperoleh data hidrologi yang cukup handal untuk analisis, sehingga
kesimpulan yang diperoleh cukup baik (Soewarno, 2011, p.101).
2.2.3 Analisis Curah Hujan Rerata Daerah
2.2.3.1 Metode Poligon Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan
di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan
yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun
mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerrah
yang ditinjau tidak merata.
13

Gambar 2. 7 Poligon Thiessen


Sumber: Triatmodjo (2013, p,34)
Pembentukan polygon Thiessen adalah sebagai berikut (Triatmodjo, 2013, p. 33).
a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau termasuk stasiun
hujan di luar DAS yang berdekatan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga
membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan Panjang yang
kira-kira sama.
c. Dibuat garis berat pada sisi – sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
d. Garis – garis berat tersebut membentuk polygon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap
stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di
dekat abatas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.
e. Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun
yang berada di dalam poligon.
f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang
ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik
mempunyai bentuk berikut ini (Triatmodjo, 2013, p. 34).
=>? '= ? '=@?@'⋯'=B?B
P = '= '=@'⋯'=B
………………………………………...…………..(2-9)

Dengan:
P̅ : hujan rerata kawasan
P1, P2, ...., Pn : hujan pada stasiun 1, 2, 3, ... , n
A1, A2, ... , An : luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2, 3, ... , n
14

2.2.4 Analisis Frekuensi Curah Hujan Rancangan


2.2.4.1 Metode Log-Pearson Type III
Parameter yang digunakan pada distribusi Log Pearson Type III adalah harga rata- rata
(mean), penyimpangan baku (standard deviation), dan koefisien kepencengan (skewness).
Berikut merupakan langkah-langkah perhitungan dalam menghitung distribusi Log Pearson
Type III (Soewarno, 1995, p.176):
1. Ubah data curah hujan n buah X1,X2,…,Xn menjadi Log X1, Log X2,…, LogXn
2. Menghitung harga rata-rata
.................................................................................,,.........(2-10)

3. Hitung standar deviasi

.......................................................................................(2-11)

4. Hitung koefisien kepencengan


....................................................................................(2-12)

5. Menghitung curah hujan rancangan


............................................................................................(2-13)
6. Menghitung antilog dari logaritma XT untuk mendapatkan curah hujan rancangan
Dengan:
Xr : curah hujan rancangan (mm)
LogX : rata-rata logaritma dari hujan maksimum tahunan
n : jumlah data
S : standar deviasi
Cs : koefisien kepencengan
G : koefisien frekuensi (diambil dari tabel untuk harga Cs postif dan Cs negatif)
2.2.5 Uji Kesesuaian Distribusi
Data dari hidrologi yang dipakai untuk estimasi banjir rancangan dengan
menggunakan Analisa frekuensi belum tentu sama atau sesuai dengan distribusi yang lainnya
untuk dogunakan dalam perhitungan. Ada dua cara untuk melakukan uji kesesuaian
distribusi yaitu dengan Uji Smirnov Kolmogorof dan juga uji Chi-Kuadrat atau Chi-Square.
2.2.5.1 Uji Chi-Kuadrat (Chi-Square)
Uji Chi-Kuadrat (Chi-Square) didasari pada perbedaan atai ketidaksamaan nilai
frekuensi dengan ordinat empiris. Uji ini dapat dihitung dengan cara perhitungan seperti
berikut (Triatmodjo, 2013, p, 238)
15

……………………………………………………….….. (2-14)
Untuk jumlah kelas distribusi dapat dihitung dengan rumus:

……………………………………………..…………...…(2-15)
Dengan:
X2 : nilai Chi-Kuadrat terhitung
Ei : Frekensi pengamatan yang diharapkan sesuai dengan pembagian kelas
Oi : Frekensi yang terbaca pada kelas yang sama
G : Jumlah sub kelompok pada satu grub
K : Jumlah kelas distribusi
Nilai X2hitung harus lebih kecil dari nilai X2Cr untuk derajat tertentu, biasanya yang
sering diambil adalah 5%. Untuk menghitung derajat kebebasan dilakukan dengan rumus
(Triatmodjo, 2013, p, 238)
……………………………………………...………….….…...(2-16)
Dengan:
DK : Derajat Kebeasan
K : Banyak kelas
a : Banyak parameter, (Untuk Chi-kuadarat adalah 2)
Langkah-langkah perhitungan untuk uji Chi-Kuadrat sebagai berikut:
1. Urutkan data dalam urutan kecil ke besar atau sebaliknya
2. Kelompokkan data menjadi G sub-grup, tiap sub-grup minimal terdiri dari 4 data
pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebasar Oi untuk tiap sub-grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar E
5. Setiap sub-grup menghitung nilai: (Oi – Ei)2 dan (Oi – Ei)2/ Ei
6. Jumlahkan seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai Chi

Kuadrat hitung
7. Tentukan derajat kebebasan.
Jika nilai Chi-Kuadrat yang dihasilkan lebih dari 5%, maka persamaan distribusi
teoritis yang digunakan dapat diterima. Sedangkan, apabila nilai ynag dihasilkan lebih kecil
dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan tidak diterima.
2.2.5.2 Uji Smirnov-Kolmogorof
Uji Smirnov-Kolmogorof merupakan uji distribusi terhadap penyimpangan data ke
arah horisontal untuk mengetahui suatu data sesuai dengan jenis sebara teoritis yang dipilih
16

atau tidak (Limantara, 2010, p. 64). Pengujiannya dilakukan dengan membandingkan


probabilitas tiap data, antara sebaran teoritis dan sebaran empiris yang nantinya akan
dinyatakan dalam Δ. Distribusi akan dianggap sesuai apabila Δmaks ˂ Δcr. Persamaan Δmaks
dapat ditulis sebagai berikut (Harto, 1993, p.179):
…...…………………………..……………...…………..(2-17)
Dengan:
Δmaks : selisih maksimum antara peluang empiris dan teoritis
Pe : peluang empiris
Pt : peluang teoritis
Δcr : simpangan kritis
Kemudian dibandingkan antara dan , apabila ˂ maka distribusi
tersebut dapat diterima. Namun, jika terjadi hal yang berlwanan maka distribusi ditolak.
2.2.6 Periode Kala Ulang
2.2.6.1 Probabilitas Kala Ulang
Pengertian Q25 tidak berarti terjadi banjir setiap 25 tahun. Analisis periode ulang debit
menggunakan ilmu statistik dalam menentukan besaran tersebut, yaitu dalam konsep analisis
kemungkinan (probability).
Dalam hal ini dipakai persamaan sederhana sebagai berikut.
P = 1 / T ………………………………………………………………………….(2-18)
Keterangan:
P : Probabilitas atau keungkinan yang akan terjadi biasanya dalam %
T : Periode kala ulang (tahun)
Misal debit rencana dipakai debit untuk kala ulang 25 tahun, kemungkinan terjadi
banjir dengan debit kala ulang tersebut (Q25) sama dengan 1/25 atau 4%.
2.2.6.2 Peraturan PUPR No. 28 Tahun 2015
Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan
Sungai dan Danau, bagian Lampiran I BAB II Halaman 10 menetapkan bahwa dalam
penanganan perencanaan sungai diisayaratkan mengikuti ketentuan berikut:
1. Sungai Kabupaten/Kota untuk mengalirkan debit rencana (Q10 – Q25)
2. Sungai Provinsi untuk mengalirkan debit rencana (Q25 – Q50)
3. Sungai Negara/Metropolitan untuk mengalirkan debit rencana (Q50 – Q100)
17

2.2.7 Koefisien Pengaliran


Koefisien pengaliran (C) adalah perbandingan antara jumlah air yang mengalir di
suatu daerah akibat hujan dengan jumlah air hujan yang turun di daerah tersebut. Besarnya
koefisien pengaliran berdasarkan pada daerah pengaliran dan karakteristik hujan suatu
daerah yang meliputi keadaan hujan, luas, pemanfaatan lahan, aliran sungai, dan bentuk
daerah. Angka koefisien pengaliran untuk setiap daerah dapat dilihat di tabel berikut.
Tabel 2. 1
Kondisi dan Nilaii Koefisien Daerah Pengaliran
Kondisi Daerah Pengaliran dan Koefisien
Sungai Pengaliran (C)
Daerah pegunungan yang curam 0,75 - 0,90
Daerah pegunungan tersier 0,70 - 0,80
Tanah bergelombang dan hutan 0,50 - 0,75
Tanah dataran yang ditanami 0,45 - 0,60
Persawahan yang diari 0,70 - 0,80
Sungai di daerah pegunungan 0,75 - 0,85
Sungai kecil di dataran 0,45 - 0,75
Sungai besar yang lebih dari
setengah daerah pengalirannya terdiri 0,50 - 0,75
dari dataran
Sumber: Sosrodarsono, 1977
2.2.8 Pola Distribusi Hujan Jam-jaman
2.2.8.1 Metode PSA-007
Perolehan distribusi hujan jam-jaman didapatkan melalui mengelompokkan tinggi
hujan dengan kedalam harga tertentu. Melalui pengelompokan ini diambil nilai tinggi hujan
rancangan terdistribusi dengan berdasar hitungan analisa frekuensi curah hujan dan nilai
frekuensi kemunculan paling tinggi hujan jam-jaman tertentu yang terdistribusi. Dengan ini
prosentase hujan tiap jam terhadap tinggi hujan total dapat diketahui.
Pola distribusi pada durasi hujan memberikan pengaruh besar untuk hasil nilai desain
banjir yang dihitung. Pendistribusian curah hujan dengan durasi panjang menghasilkan lebih
pendek puncak banjir dibandingkan pendistribusian curah hujan dengan durasi pendek.
Apabila pada pos duga air otomatis tidak terdapat perhitungan hidrograf banjir dan
perhitungan distribusi hujan jam-jaman, maka sebagai gantinya pola distribusi hujan dapat
dihitung menggunakan metode PSA 007.
18

Tabel 2. 2
Intensitas hujan dalam % metode PSA 007
Durasi Hujan (Jam)
Kala Ulang Tahun
0,5 0,75 1 2 3 6 12 24
5 32 41 48 59 66 78 88 100
10 30 38 45 57 64 76 88 100
25 28 36 43 55 63 75 88 100
50 27 35 42 53 61 73 88 100
100 26 34 41 52 60 72 88 100
1000 23 32 39 49 57 69 88 100
CMB 20 27 34 45 52 64 88 100
Sumber: PPBU Vol 2 Hidrologi, (1999)
Dalam mendapatkan nilai curah hujan kritis distribusi hujan metode PSA 007 disusun
dalam bentuk genta, yakni penempatan hujan paling tinggi ada pada tengah, paling tinggi
kedua ditempatkan di sebelah kiri, ketiga disebelah kanan, dan seterusnya. Hal ini didasari
pendekatan kondisi hujan di Indonesia.
2.2.9 Analisis Debit Banjir Rancangan
2.2.9.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan
efektif merata di DAS dengan intensitas tetap (diambil 1 mm/jam) dalam satuan waktu yang
ditetapkan (1 jam). Hidrograf satuan ini dianggap tetap selama faktor fisik DAS tidak
mengalami perubahan. Upaya ini digunakan untuk menghitung debit sungai. Prinsip-prinsip
hidrograf satuan bisa diterapkan untuk menaksir banjir rancangan (dalam hal ini diperlukan
data hujan yang panjang) (Limantara, 2010,p.149).
Hidrograf satuan sintesis merupakan suatu cara untuk memungkinkan penggunaan
konsep hidrograf satuan untuk suatu perencanaan yang tidak tersedia pengukuran-
pengukuran langsung mengenai hidograf banjir.
Berikut merupakan kerakteristik dalam Analisa HSS Nakayasu (Soemarto, 1987).
1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf.
2. Tenggang waktu dari titik nerat hujan sampai titik berat hidrograf.
3. Tenggang waktu hidrograf.
4. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS).
5. Panjang alur sungai terpanjang.
6. Koefisien pengaliran
Berikut merupakan persamaan HSS Nakayasu:
19

C.E.FG
Qp = ………………………………………………….(2.19)
@,1 I.@ J' I.@
Dengan:
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik/mm)
c = Koefisien pengaliran (=1)
A = Luas DAS sampai ke Outlet (km2)
R0 = Hujan satuan
Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = Waktu penurunan debit puncak sampai 30% dari debit puncak (jam)
Menghitung Aliran Dasar (Base Flow)
QB = 0.4715 A0.6444 D0.9430……………………………………………………..(2-20)
Dengan :
QB = Aliran Dasar (m3/dt)
A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan Sungai.
Untuk dapat menentukan Tp dan T0,3 digunakan rumus sebagai berikut (Soemarto,
1987):
Tp = Tg + 0,8Tr …..………………………………………………………..…….(2-21)
T0,3 = a x Tg………………….…………………...…………………………..…(2-22)
Tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Panjang Sungai (L) ) ≥ 15 km
Tg = 0,4 + 0,058 L …………….……………………………………..……...(2-23)
T0,3 = 0,6 x Tg ………………………………………..……………………..(2-24)
b. Panjang sungai (L) ≤ 15 km
Tg = 0,2 x L0,7…………………………...………………………..…………(2-25)
Tr = 0,5 x tg ……………………………..………………………………….(2-26)
Dengan:
Tg : Waktu antara hujan sampai puncak debit (jam)
L : Panjang sungai
a : parameter hidrograf
: pengaliran biasa a = 1
: bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat a = 1,5
; bagian menurun hidrogrsf yang lembat dan bagian naik yang cepat a = 3
Tr : satuan waktu dari curah hujan yang besarnya (0,5 -1 ) x Tg.
20

Pembagian persamaan hidrograf satuan sebagai berikut (Soemarto, 1987):


a. Pada waktu naik
0 ≤ t Tp

Qa = Qp Maks ………………………………………………………..(2-27)
b. Pada waktu turun
- Tp ≤ t ≤ (Tp + T0,3)

Qt = Qp maks × ....................................................................... (2-28)


- (Tp + T0,3) ≤ t ≤ y (Tp + T0,3 + T0,32)
Qt – Qmaks x 0,3 ………………………………………….…..……….(2-29)
- t ≥ (Tp + T0,3 + 1,5T0,3)
Qt = Qmaks x 3 …………………………………………………..…….(2-30)
Setelah mendapatkan hasil berbentuk hidrograf selanjutnya diperlukan perhitungan
untuk melihat keandalan dari hasil analisis dengan metode Hidrograf satuan Sintetis. Dengan
membagi volume limpasan dengan luas DAS, lalu mengitung kedalaman aliran yang terjadi,
dan mendapatkan faktor koreksi, maka hasil yang didapatkan dikalikan debit banjir dan
mendapatkan hidrograf satuan terkoreksi.
Volume limpasan = (Qt + Qt+1) × (Tt + Tt+1) × 0.5 × 60 ×60..…….(2-31)
G KL MLJ N L7
Kedalaman Aliran (HDRO) = K N OEP L
………………………….(2-32)

Faktor Koreksi = 1/HDRO ….……………………………………(2-33)


Setelah mendapatkan hasil dari perhitungan hidrograf satuan dengan parameter yang
sudah dikalibrasi sesuai kondisi yang ada, maka hidrograf banjir dengan berbagai jenis kala
ulang dapat dihitung dengan persamaan seperti berikut (Sosrodarsono, 1987, p.166)
……….………….…(2-34)

Dengan:
Qk : debit banjir rencana ordinat dari hidrograf pada jam tertentu / ke -k (m3/dt)
Un : debit ordinat hidrograf satuan (m3/dt)
Ri : netto hujan pada jam ke -I (mm)
21

Bf : base flow (m3/dt)

Gambar 2. 8 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu


Sumber: Triatmodjo 2013, p.13
2.2.9.2 Metode Rasional
Fungsi metode rasional adalah untuk menentukan debit banjir rancangan pada keadaan
hanya debit puncak banjir (Qp), jadi termasuk metode banjir rancangan non hidrograf.
Persyaratan Metode rasional adalah luas DAS menurut standar PU tidak lebih besar dari
5000 ha. (Limantara, 2010, p.197)
Q = 0.278 C.I.A ………………………………………………………………..(2-35)
Dengan:
Q = Debit banjir rancangan (m3/dt)
C = Keofisien pengaliran
I = Intensitas hujan (mm/jam)
A = Luas DAS (km2)
2.2.10 Waktu Tiba Banjir
Waktu tiba banjir atau waktu konsentrasi (tc) adalah waktu yang diperlukan oleh
hujan yang jatuh pada titik terjauh DAS, untuk mencapai outlet. Untuk menghitung waktu
tiba banjir, digunakan persamaan yang ditemukan oleh Mc Dermott, yaitu:
Tc = 0.76 . A0.38……………………………………………………………….(2-36)
Dengan:
Tc = Waktu tiba banjir (menit)
A = Luas DAS (km2)
2.2.11 Debit Dominan
Debit dominan adalah debit dimana efek pemebentukan alur sama dengan hasil
komprehensif oleh debit yang sesuai dengan hidrograf jangka panjang. Debit dominan
memliki pengaruh paling besar dalam membentuk alur sungai, walaupun banjir kala ulang
tinggi mempunyai potensi besar, hal tersebut tidak memegang peranan maksimum karena
periodenya pendek.
22

2.3 Transportasi Sedimen


Pengangkutan sedimen merupakan pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui
suatu sungai dalam keadaan tertentu apakah akan terjadi penggerusan (degradasi),
engendapan (aggradasi), atau mengalami angkutan sedimen (aquilibrium transport) dan
untuk memperkirakan kuantitas yang terangkut dalam proses tersebut.
Keadaan-keadaan yang menentukan pengangkutan :
a. Sifat-sifat aliran air
b. Sifat-sifat sedimen
c. Pengaruh timbal-balik (inter-action)

Gambar 2. 9 Bed Load atau Muatan Dasar


Sumber : Priyantoro, Dwi: 1987
 Keseimbangan (Equillibrium)
Sungai disebut dalam keadaan seimbang jika sedimen yang melewati suatu
penampang sungai tetap, atau dengan kata lain debit sedimen (sediment discharge) yang
masuk sama dengan debit yang keluar didalam satu satuan waktu. Keadaan dimana jumlah
debit sedimen yang masuk sama dengan yang keluar didalam satu satuan waktu disebut
Debit Sedimen Seimbang (Qse).
 Pengendapan (Agradasi)
Suatu sungai dikatakan mengalami pengendapan jika sedimen yang masuk (Qs) lebih
besar dari debit sedimen seimbang (Qse) dalam satu satuan waktu. Proses pengendapan
(aggradasi) ini akan mengurangi kemiringan dasar sungai (pendangkalan) dan mungkin
akan menyebabkan terjadinya proses pelebaran sungai.
 Penggerusan (Degradasi)
Degradasi adalah suatu keadaan dimana debit sedimen yang masuk (Qs) lebih kecil
dari debit sedimen seimbang (Qse) dalam satu satuan waktu. Proses ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan elevasi sungai, sehingga kemiringan dasar sungai akan menjadi curam.
23

Peristiwa ini biasanya akan terjadi pada hilir bangunan bendung, bendungan atau bangunan-
bangunan pengatur sungai.
2.3.1 Klasifikasi Angkutan Sedimen
Pada dasarnya sedimen yang terangkut oleh aliran dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan sumber/asal sedimen :
a. Angkutan material dasar, dapat dibagi lagi menjadi :
- bed load
- suspended load
b. Wash load
2. Berdasarkan mekanisme transpor :
a. Bed load
b. Suspended load
Keterangan :
- Suspended load, yaitu sedimen yang bergerak diatas dasar secara melayang dimana berat
partikel dikompensasi oleh turbulensi aliran.
- Bed load, yaitu sedimen yang bergerak didasar secara menggelinding (rolling),
menggeser (sliding), atau meloncat (jumping).
- Wash load, yaitu sedimen yang butirannya sangat halus bergerak melayang di bagian atas
aliran dan tidak mengendap di dasar sungai.
2.3.2 Permulaan Gerak Butiran
Air yang mengalir pada permukaan sedimen mengerjakan gaya pada butiran yang
cenderung menggerakkannya. Gaya yang menahan gaya yang ditimbulkan oleh air yang
mengalir berbeda-beda sesuai dengan ukuran butiran dan distribusi ukuran pada sedimen.
Pada awal gerak butiran gaya yang ditumbulkan oleh aliran air adalah seimbang
dengan gaya hambatan dari butiran atau sedimen dasar. Untuk butiran sedimen kohesif,
parameter penting didalam menetukan awal gerak sedimen adalah konsentrasi atau rapat
massa dari endapan dasar. Definisi dari awal gerak sedimen adalah sebagai berikut :
1. Bila satu partikel telah bergerak
2. Bila sedikit partkel telah bergerak
3. Bila sebagian partikel telah bergerak
4. Bila  = cr dimana penangkapan sedimen (qb) = 0
24

Secara umum, pergerakan awal butiran disebabkan pengaruh tegangan geser (o) dan
tegangan geser kritis (cr). Atau secara teoritik (o > cr) dimana jika tegangan geser lebih
besar dari tegangan geser kritis maka pada ketinggian tertentu butiran akan bergerak.
 Tegangan Geser (o)
Pada saluran yang lebar dan panjang, untuk saluran seragam tegangan geser yang
terjadi pada dasar saluran dirumuskan dengan: (Varma, C.V.J: 1971, p.376)
o = w × g × h × I ……………………………………………………...(2-37)
Dengan:
w = Kerapatan air (kg/m3)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
h = Tinggi air (m)
I = Kemiringan dasar sungai / slope
 Tegangan Geser Kritis (cr)
Tegangan geser kritis adalah keseimbangan batas pada saat akan mulai terjadi Gerakan
pada butiran, semua teori didasari pada pertimbangan bahwa gaya tegangan geser berkaitan
dengan kecepatan aliran. (Priyantoro, 1987 P.25)
QR
Ѱcr =
ST SU . .OVW

τcr = Ѱcr × (ρs - ρw ) × g × D50


Dimana :
Ѱcr = Gaya seret kritis

τcr = Tegangan geser kritis


U*cr = Kecepatan geser kritis
g = Percepatan gravitasi
D = Diameter butiran
Shield pada tahun 1936, telah mengadakan penyelidikan yang sistematis terhadap
hubungan antara keseimbangan kritis, tegangan geser kritis, dan kecepatan kritis. Oleh
Shield telah dibuat diagram yang menggambarkan saat sebuah partikel butiran bergerak atau
diam.
25

Gambar 2. 10 Diagram Shield


Sumber: Priyantoro, Dwi: 1987, p.28

Gambar 2. 11 Shield’s Diagram Dimensionless Critical Shear Stress


Sumber: Priyantoro, Dwi: 1987, p.28
26

2.3.3 Analisis Angkutan Sedimen Muatan Dasar (Bed Load)


Muatan dasar (bed load), adalah partikel yang bergerak pada dasar sungai dengan
cara berguling, meluncur,dan meloncat. Muatan dasar keadaannya selalu bergerak, oleh
sebab itu pada sepanjang aliran dasar sungai selalu terjadi proses degradasi dan agradasi
yang disebut sebagai alterasi Dasar Sungai.
Beberapa metode untuk menghitung jumlah transportasi muatan dasar telah
dikembangkan oleh beberapa peneliti dari tahun ke tahun. Formula muatan dasar ini
didasarkan pada prinsip bahwa kapasitas aliran sedimen transport sepanjang dasar bervariasi
secara langsung dengan perbedaan antara shear stress pada partikel dasar dan critical shear
stress yang diijinkan untuk partikel yang bergerak.
2.3.3.1 Metode Meyer-Petter dan Muller (M.P.M)
Meyer-Peter and Muller melakukan beberapa kali percobaan pada flume dengan
coarse-sand, dan menghasilkan beberapa persamaan empiris, sebagai berikut:
- Friciton Factor Intensive (m0.5/dt)
F
C’ = 18YZ[ …………………………………………………...……..(2-41)
O\I

Dengan :
R = Radius Hidrolis (m)
D90 = Diameter butiran lolos saringan 90%
- Friciton Factor Angkutan (m0.5/dt)
]
C = …………………………………………………………...……..(2-42)
√_ F
Dengan :
U = Kecepatan (m/dt)
I = Kemiringan dasar saluran (Slope)
R = Radius Hidrolis (m)
- Ripple Factor
` @/
μ = ……………………………………………………....……..(2-43)
`a
Dengan :
C = Friction Factor Angkutan (m0.5/dt)
C’ = Friction Factor Intensive (m0.5/dt)
- Intensitas Pengaliran
27

b.c.>
Ѱ = ………………………………………………….............……..(2-44)
d.OL
Dengan :
μ = Ripple Factor
R = Radius Hidrolis (m)
I = Kemiringan dasar saluran (Slope)
  = (s – w)/w
Dm = Diameter efektif (D50 – D60)

- Intensitas Angkutan
 = (4. - 0.188)3/2……………………………………………….……..(2-45)
Dengan :
Ѱ = Intensitas pengaliran
- Volume Angkutan Sedimen (m3/dt/m)
S =  (g..Dm3)0,5………………………………………………...……..(2-46)
Dengan :
 = Intensitas angkutan
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
 = (s – w)/w
Dm = Diameter efektif (D50 – D60)
D35 = Diameter butiran lolos uji saringan 35%
2.4 Analisis Hidrolika dengan Aplikasi HEC-RAS V. 5.0.7
2.4.1 Saluran Terbuka dan Model Numerik HEC-RAS
Aliran dalam saluran terbuka maupun saluran tertutup yang mempunyai permukaan
bebas disebut aliran permukaan bebas (free surface flow) atau aliran saluran terbuka (open
channel flow). Permukaan bebas mempunyai tekanan atmosfir setempat. Air yang mengalir
pada saluran terbuka mempunyai bidang kontak hanya pada dinding dan dasar saluran.
Saluran terbuka dapat berupa:
 Saluran alamiah atau buatan
 Galian tanah dengan atau tanpa lapisan penahan
 Terbuat dari pipa, beton, batu, bata, dan material lainnya
28

 Dapat berbentuk dengan bermacam geometri

Gambar 2. 12 Aliran Saluran Terbuka


Sumber: Chow (P.4), 1989
Aliran permukaan bebas dapat diklasifikasikan menjadi berbagai tipe tergantung
kriteria yang digunakan. Berdasarkan perubahan kedalaman atau kecepatan mengikuti
fungsi waktu, aliran dibedakan menjadi aliran permanen dan tidak permanen. Sementara itu,
berdasarkan fungsi ruang, aliran dibedakan menjadi aliran seragam dan tidak seragam. Jika
kecepatan pada suatu lokasi tertentu berubah terhadap waktu, maka alirannya disebut aliran
tidak permanen atau tidak tunak (unsteady flow).

Gambar 2. 13 Diagram jenis aliran permanen dan tidak permanen


Sumber: Suripin, 2018
Anggapan – anggapan yang digunakan dalam model numerik HEC-RAS, sebagai
berikut:
1. Persamaan kontinuitas (konservasi massa)
2. Skema mutlak persamaan diferensial (implicit finite difference scheme)
29

3. Persamaan gerak (persamaan momentum)


4. Pengaruh kekasaran dinding dan turbulensi dengan persamaan Manning
5. Batas kondisi (boundary condition)
2.4.1.1 Persamaan Kontinuitas
Persamaan kontinuitas untuk aliran tidak permanen disusun berdasarkan konservasi
massa pada dimensi ruang kecil di antara 2 buah penampang pada saluran. Pada aliran tidak
permanen, debit berubah terhadap jarak dan kedalaman berubah terhadap waktu.(Chow,
1997).
Persamaan kontinuitas dapat dinyatakan sebagai berikut (Chow, 1997):
ef eE
+ 0……………………………………………………………….……..(2-53)
eg e

Atau jika saluran memiliki lebar terhingga, dapat ditulis berdasarkan prinsip St. Venant
sebagai berikut:
ef e
+ 0……………………………………………………………………...(2-54)
eg e

Dengan:
Q = Debit aliran (m3/dt)
A = Luas tampang melintang sungai (m2)
q = debit persatuan lebar (m2/dt)
y = tinggi muka air (m)
x = dimensi ruang (m)
t = dimensi waktu (dt)

Gambar 2. 14 Kontinuitas aliran tidak permanen


Sumber: Chow, 1997
2.4.1.2 Persamaan Diferensial
Prosedur yang diakui untuk menyelesaikan persamaan 1D unsteady flow adalah four-
point implicit scheme, yang juga dikenal sebagai kotak iterasi skema. Pada skema ini,
30

turunan ruang dan nilai fungsi ditaksir dalam 4 titik, (n+Ɵ) Δt. Nilai pada (n+1) Δt
disubstitusikan pada seluruh persamaan (US. Army Corps of Engineers, 2016).
Bentuk umum persamaan diferensial
1. Turunan waktu
ej ∆j I.l ∆j m '∆j
…………………………………………………………..(2-55)
e ∆ ∆
2. Turunan Ruang
ej ∆j jm j 'n ∆j m '∆j
…………………………………………….…..(2-56)
e ∆ ∆g
3. Nilai fungsi akhir
o 0.5 oM' + oM + 0.5q ∆oM' + ∆oM ……………………………………………..(2-57)

Gambar 2. 15 Tipe diagram persamaan dieferensial


Sumber: US. Army Corps of Engineers, 2016
2.4.1.3 Persamaan Momentum
Menurut hukum Newton ke – 2, perubahan momentum per satuan waktu dalam air
yang mengalir pada saluran adalah sama dengan resultan semua gaya – gaya yang bekerja
dalam air tersebut. (Chow, 1997)
Persamaan momentum (U.S. Army Corps of Engineers, 2016)
31

r
ef e e
+ s
+ [t + j + − uvg + wj x 0 ………………………………….(2-58)
e eg eg

Dengan:
Q = Debit aliran
A = Luas tampang melintang sungai (m2)
Ao = Luas tampang kecepetan dapat diabaikan (m2)
q = Debit persatuan lebar (m2/dt)
t = Waktu (dt)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
Vx = Kecepatan aliran lateral arah x (m/dt)
B = Lebar atas sungai (m)
Sf = friction slope
Se = expansion/contraction
2.4.1.4 Pengaruh Koefisien Kekasaran Manning
Sungai memiliki nilai kekeasaran yang sangat bermacam – macam dan tergantung
pada beberapa faktor sehingga perlu adanya tinjauan terhadap faktor – faktor yang memiliki
pengaruh besar terhadap nilai koefisien kekasaran. Faktor – faktor yang mempengaruh
koefisien kekasaran Manning adalah sebagai berikut (Chow, 1997):
 Kekasaran permukaan
 Tumbuh – tumbuhan
 Ketidakteraturan saluran
 Pengendapan dan penggerusan
 Hambatan
 Taraf air dan debit
 Endapan melayang dan endapan dasar
Berikut adalah persamaan untuk mendapatkan nilai Manning Equivalent:
7/ /7
∑ g{
y z …………………………………………………………..……(2-59)
{ /7
Dengan:
Neq = Manning Equivalent
N = Manning perimeter basah
P = Panjang perimeter basah (m)
32

Tabel 2. 3
Nilai Koefisien Kekasaran Manning
Harga n
No Tipe Saluran dan Jenis Bahan
Minimum Normal Maksimum
1 Beton
- Saluran lurus dan bebas kotoran 0,010 0,011 0,013
Saluran dengan lengkungan dan sedikit
- 0,011 0,013 0,014
kotoran
- Beton dipoles 0,011 0,012 0,014
- Saluran pembuang dengan bak kontrol 0,013 0,015 0,017
2 Tanah, lurus, dan seragam
Bersih baru 0,016 0,018 0,020
- Bersih telah melapuk 0,018 0,022 0,025
- Berkerikil 0,022 0,025 0,030
Berumput pendek sedikit tanaman
- 0,022 0,027 0,033
pengganggu
3 Saluran alam
- Bersih lurus 0,025 0,030 0,033
- Bersih berkelok - kelok 0,033 0,040 0,045
- Banyak tanaman pengganggu 0,050 0,070 0,080
- Dataran banjir berumput pendek - tinggi 0,025 0,030 0,035
- Saluran di belukar 0,035 0,050 0,070
Sumber: Chow, 1997
2.4.2 Pemodelan dengan aplikasi HEC-RAS V.5.0.7
Software HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk memodelkan aliran sungai.
Dalam analisanya, software HEC-RAS memiliki dua jenis klasifikasi aliran yaitu aliran
berubah beraturan (steady flow) dan aliran berubah tak beraturan atau aliran tak tunak
(unsteady flow).
Berikut merupakan beberapa tampilan dari interface beserta fungsi – fungsi dari
beberapa interface tersebut.
1. Tampilan Utama HEC-RAS

Gambar 2. 16 Tampilan Umum HEC-RAS 5.0.7


Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020
33

2. Geometric Data
Geometric data adalah fitur untuk input data geometri sungai berupa skema,
potongan melintang sungai, serta berbagai konfigurasi untuk parameter geometri.

Gambar 2. 17. Tampilan Geometri Data HEC-RAS 5.0.7


Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020

Gambar 2. 18. Tampilan Input Data Dimensi Saluran


Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020
34

Gambar 2. 19. Tampilan umum Boundary Conditions Pada menu Unsteady Flow Data
Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020
3. Unsteady Flow Data
Unsteady Flow Data merupakan fitur untuk input data hidrologi dan hidraulik. Data
hidrologi yang dimaksud adalah debit banjir rancangan yang telah dianalisis sebagai Flow
hyetograph, debit tambahan yang masuk sebagai lateral flow hyetograph, dan pasang surut
sebagai stage hyetograph.
4. Unsteady Flow Analysis
Unsteady flow analysis merupakan fitur untuk proses data – data yang telah
dimasukan. Dalam prosesnya dapat diatur dari waktu simulasi serta output yang diinginkan.

Gambar 2. 20 Tampilan Unsteady Flow Analysis


Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020
35

Selanjutnya adalah pemodelan aplikasi HEC-RAS 5.0.7 untuk sedimen.


- Quasi - Unsteady Flow Data
Pada toolbar ini akan melakukan input data debit banjir rencana yang telah dihitung.
Lalu menginput tinggi pasang surut air laut, setelah itu memasukkan data temperatur air di
lapangan.

Gambar 2. 21. Quasi - Unsteady Flow Editor Toolbar


Sumber: HEC-RAS 5.0.7. 2022
- Sediment Boundary Condition
 Initial Conditions And Transport Parameters
Pada Toolbar ini akan melakukan input gradasi butiran. asumsi kedalaman gerusan
maksimum. dan menentukan Transport Function.

Gambar 2. 22 Sediment Data Toolbar


Sumber: HEC-RAS 5.0.7. 2021
36

Gambar 2. 23 Bed Gradation Sediment Data


Sumber : HEC-RAS 5.0.7. 2021

Gambar 2. 24 Sediment Data – Boundary Conditions


Sumber: HEC-RAS 5.0.7. 2021
Setelah melakukan input data. tahap selanjutnya adalah pemodelan / running data
pada toolbar Sediment Trasnport Analysis yang sebelumnya telah dilakukan penyesuaian
agar output yang dihasilkan dapat menjawab persoalan. Pada analisis ini akan menggunakan
output level 6, dengan output satuan volume.

Gambar 2. 25 Sediment Transport Analysis Toolbar


Sumber: HEC-RAS 5.0.7. 2021
37

Gambar 2. 26 Sediment Output Options Toolbar


Sumber : HEC-RAS 5.0.7. 2021
Untuk mengetahui angkutan sedimen yang terjadi, akan dipilih output sediment discharge
pada HEC-RAS 5.0.7.
2.5 Sistem Penanggulangan dan Pengendalian Banjir (Flood Control System)
Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya air yang meluap akibat badan sungai yang
tidak cukup untuk menampung limpasan air yang mengalir ke sungai. Banjir sesungguhnya
adalah peristiwa alam yang biasa terjadi di daerah sekitar dataran banjir, namun banjir dapat
menimbulkan masalah ketika daerah dataran banjir tersebut berubah fungsi lahan menjadi
daerah permukiman. Pada saat datang banjir daerah tersebut menjadi banjir akibat luapan
dari sungai yang dekat dengan daerah permukiman tersebut dan dapat menjadi bencana
ketika merusak dan menimbulkan kerugian pada masyarakat dan lingkungan sekitar daerah
luapan banjir tersebut.

Gambar 2. 27. Diagram Pengendalian banjir dengan metode struktur dan non-struktur
Sumber: Sosrodarsono (2008, p.8)
38

Penanggulangan dan pengendalian banjir (flood control) pada dasarnya adalah


tindakan-tindakan dalam rangka mengurangi kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh
banjir. Tindakan-tindakan tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu tindakan
yang bersifat fisik (structural measures) dan tindakan yang bersifat non fisik (non structural
measures).
2.6 Perbaikan dan Pengaturan Sungai
Perencanaan perbaikan dan pengaturan sungai dilakukan agar disesuaikan dengan
tingkat perkembangan suatu sungai serta kebutuhan masyrakat. Sungai diperbaiki dan
diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diadakan pencegahan terhadap bahaya banjir
dan sedimentasi serta mengusahakan agar alur sungai senantiasa dalam keadaan stabil,
sehingga dapat memudahkan pemanfaatan air yang akan memberikan kemudahan dalam
penyadapannya, pelestarian lingkungan dan menjamin kelancaran serta kemanan lalu
lintas sungai. (Sosrodarsono, 2008, P.8)
Dalam perencanaan perbaikan dan pengaturan sungai yang diutamakan adalah
konsep pengaliran banjir sungai secara aman, guna mencegah terjadinya luapan yang
dapat mengakibatkan terjadinya bencana banjir. Dengan demikian uasaha yang penting
adalah membuat dan kemudian mempertahankan penampang yang cukup memadai
sesuai dengan kapasitas pengaliran rencananya, yakni dengan konsep pencegahan
sedimentasi di dasar sungai dan mengatur alur sungai agar senantiasa dalam keadaan
stabil.
Pembendungan - Normalisasi
- Tanggul
Perbaikan Alur Sungai - Sudetan
- Perbaikan muara
- Penangan pertemuan sungai
pengaturan sungai Pereduksi Banjir -Kolam regulasi
-Kolam retensi
Pekerjaan daerah
longsoran
Gambar 2. 28 Klasifikasi Pekerjaan Perbaikan dan Pengaturan Sungai
Sumber : (Sosrodarsono, 2008, P.13)
2.6.1 Normalisasi Sungai
Normalisasi sungai dilakukan untuk mengusahakan agar bagian sungai dapat
mengalirkan debit banjir dan mencapai kondisi yang stabil. Tujuan dari normalisasi sungai
daerah pengendapan adalah untuk mencegah pengendapan, mengurangi intensitas meander,
dan mencegah gerusan lokal. Terkadang dalam kegiatan normalisasi sungai juga
39

dikombinasikan dengan berbagai pekerjaan perbaikan dan pengaturan sungai.


(Sosrodarsono, 2008, P.325).
Usaha Penanggulangan banjir dengan normalisasi sungai dimaksudkan untuk
memperbesar kapasitas pengaliran saluran. Kegiatan tersebut meliputi:
1. Normalisasi penampang melintang
2. Perbaikan kemiringan dasar saluran
3. Memperkecil kekasaran dinding alur saluran
4. Melakukan rekonstruksi bangunan di sepanjang saluran yang tidak sesuai dan
menggangu aliran air banjir.
5. Pembuatan tanggul banjir
Apabila sedimen yang mengalir memasuki bagian sungai pada daerah pengendapan
masih berlebihan, maka penyempitan penampang sungai pasti akan terjadi lagi dan dapat
menimbulkan bahaya banjir. Guna mencegah terjadinya luapan tersebut, tidak ada jalan lain
kecuali secara periodic dilakukan peggalian atau pengerukan agar penampang sungai
senantiasa sama dengan penampag yang telah direncanakan. (Sosrodarsono, 2008, P.326).
2.6.1.1 Perencanaan Normalisasi Sungai
Perencanaan normalisasi sungai adalah untuk menetapkan beberapa karakteristik alur
sungai, diantaranya adalah formasi alur sungai, formasi penampang sungai (lebar rencana
sungai, bentuk rencana penampang sungai), kemiringan memanjang (Slope) sungai, dan
rencana bangunan-bangunan sungai.
Untuk pelaksanaan perbaikan sungai perlu merencanakan perubahan lebar sungai
eksisting (B1) dan kedalamannya (H1) dengan melakukan pengerukan dan mendesain lebar
sungai (B2) dan kedalaman (H2) yang telah dianalisa.
Perbaikan alur sungai atau normalisasi adalah usaha memperbesar kapasitas pengaliran
40

sungai sehingga mampu untuk menampung debit banjir yang terjadi dan tidak meluap ke
daerah di sekitar alur sungai tersebut.
Gambar 2. 29 Contoh normalisasi sungai
Sumber: Sosrodarsono (2008)
Dalam merencanakan perbaikan alur sungai atau normalisasi, maka diperlukan hal-hal
berikut ini:
1. Kapasitas pengaliran
Kapasitas pengaliran suatu sungai dipengaruhi oleh koefisien kekasaran manning, luas
tampang, kemiringan dasar, dan jari-jari hidrolis. Dalam menentukan kapasitas pengaliran
dapat didekati persamaan kontinuitas dan persamaan manning sebagai berikut ini.
Q = A . V …………………………………………………………….………...(2-60)
A = ( B + mh)h ……………………………………………………..………….(2-61)
V = 1/n . R2/3 . √So……………………………………………….……………..(2-62)
R = A / P …………………………………………………………...…………..(2-63)
P = b + 2h√1+m…………………………………………………..……………(2-64)
Dengan :
Q = debit (m3/dt)
N = nilai kekasaran manning
V = kecepatan aliran (m/dt)
R = jari-jari hidrolis (m)
A = luas penampang basah (m2)
b = lebar dasar saluran (m)
P = keliling penampang basah (m)
h = kedalaman air (m)
z = kemiringan talud
I = kemiringan dasar sungai
Dari persamaan di atas jika R merupakan fungsi h, dengan h yang terjadi merupakan
h maksimum, maka debit pada waktu itu merupakan debit bankfull capacity (kapasitas
pengaliran maksimum suatu tampang). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa
kapasitas pengaliran suatu tampang sungai dapat mengecil jika nilai kekasaran manning
membesar, demikian pula sebaliknya.
Nilai kekasaran manning dipengaruhi oleh konfigurasi dasar sungai maupun tebing
sungai. Semakin kasar dan tak teratur dasar/tebing sungai maka gaya hambat aliran semakin
41

besar, sehingga akan memperkecil kecepatan air yang berarti juga memperkecil dari
kapasitas tampang sungai. Dari pengertian tersebut maka teknik memperkecil/memperhalus
nilai kekasaran sungai merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan kapasitas aliran
sungai, yang sangat penting dalam rangka pengendalian banjir.
2. Debit banjir rencana
Debit banjir (Qo) umumnya dihitung menggunakan beberapa metode yang ada, seperti
Hidrograf Satuan Sintetis. Selanjutnya agar mendapatkan debit banjir rencana (Qp), maka
hasil perhitungan perlu ditambahkan dengan kandungan sedimen yang terdapat dalam aliran
banjir sebesar 10%, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut (Sosrodarsono (1994, p.328):
|} 1,1 |Z …………………………………………………...………………..(2-65)
Pada perhitungan tersebut, kecepatan aliran dianggap konstan walaupun konsentrasi
sedimennya tinggi.
3. Lebar rencana sungai
Seandainya lebar sungai diperkecil, maka akan lebih besar kemungkinan terjadinya
limpasan atau jebolnya tanggul karena daya tampung sungai berkurang. Di samping itu
kemungkinan dapat terjadi penurunan dasar sungai yang membahayakan bangunan sungai,
mengingat sungai yang semakin dalam akan mempunyai gaya Tarik yang semakin besar.
Sebaliknya, apabila lebar sungai diperbesar, maka lintasan aliran air semakin tidak teratur,
sehingga lintasan aliran banjir tidak dapat dipastikan. Berdasarkan hal yang telah
dikemukakan diatas, maka penentuan lebar rencana sungai adalah salah satu perencanaan
yang penting. (Sosrodarsono, 2008, P.329).
4. Bentuk penampang sungai
Dalam kondisi ketika penampang sungai terlalu lebar dalam menampung debit rencana
kecil sampai sedang, maka aliran banjir tersebut akan mengalir melalui sebagian kecil lebar
sungai. Dalam keadaan demikian aliran banjir sedang dan kecil tersebut akan meningkatkan
intensitas proses meander, maka sungai harus direncanakan dengan penampang ganda (Two-
stage channel). (Sosrodarsono: 1984,p.327)
Penampang ganda adalah saluran yang terdiri dari bagian penampang bawah sebagai
utama dan dataran banjir (flood plain) untuk menampung debit tinggi. Saluran utama
direncanakan untuk menampung debit saat musim kemarau atau debit kala ulang kecil
seperti Q1.1 - Q2 tahun atau debit dominan, lalu untuk saluran kedua diperuntukkan untuk
debit banjir besar seperti Q25 tahun dan seterusnya.
42

Gambar 2. 30 Contoh Penampang ganda (Two-Stage Channel)


Sumber: Subramanya: 2017, p.125)
Dalam perencanaannya, terdapat metode yang banyak digunakan, yaitu Vertical Interface
Method.
 Vertical Interface Method
Pada metode ini, bantaran banjir dipisah dari saluran utama melalui interface
berbentuk vertikal. Interface ini dianggap sebagai permukaan geser nol (zero shear
strength), dimana tidak ada pergerakan momentum. Dengan demikian panjang vertical
interface ini tidak dihitung untuk mencari penampang basah. (Subramanya: 1986, p.127)

Gambar 2. 31 Pembagian Sub-Section pada Vertical Interface Method


Sumber: Subramanya: 1986, p.130
Dalam perhitungannya Section penampang dipisah menjadi 3 atau 2 sub-section (A1,
A2, A3), yang artinya 2 garis vertical interface menjadi batas untuk bantaran sungai kiri
(A1), dan kanan (A3), dengan saluran utama (A2).
5. Kemiringan memanjang (slope) sungai
Guna memperoleh bentuk stabil dasar sungai untuk jangka waktu yang lama, maka
harus diusahakan agar mempunyai daya angkut sedimen yang sama untuk seluruh ruas
sungai, sehingga tidak terjadi penggerusan atau pengendapan, dan diusahakan agar setiap
43

ruas sungai mampu bertahan terhadap gaya Tarik aliran sungai.


Kemiringan memanjang sungai dapat diperoleh baik dengan perhitungan
keseimbangan dinamis maupun keseimbangan statis (Sosrodarsono: 1994, p.330).
 Perhitungan Keseimbangan Statis
Gaya tarik aliran air yang bekerja pada dasar sungai dan juga dalam bentuk kecepatan
geser dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: (Sosrodarsono: 1994, p.330).
- Tegangan Geser
o = ρw × g × H × I ……………………………………………………...(2-66)
Dengan:
ρw = Kerapatan air (kg/m3)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
H = Tinggi muka air (m)
I = Kemiringan dasar sungai / slope
- Kecepatan Geser
U* = √[~ ……….………………………………………………………………..(2-67)
Dengan:
o = Gaya Tarik Air (N/m2)
g = Percepatan Gravitasi (m/dt2)
H = Tinggi muka air (m)
I = Kemiringan dasar sungai / Slope
Pada saat aliran air mulai meningkat mencapai suatu kecepatan yang mulai
menggerakan butiran dasar sungai, maka gaya tarik yang timbul pada aliran tersebut
dinamakan gaya tarik kritis, dan dinyatakan dengan U*c. Sama halnya ketika butiran
bergerak akibat tegangan geser, pada hal ini dinyatakan dengan tegangan geser kritis atau
cr. Berikut adalah persamaan untuk memperoleh kecepatan geser kritis dan tegangan geser
kritis. (Sosrodarsono: 1994, p.331).
QR
Ѱcr = …………………………………….…………………………(2-68)
ρs ρw . .‚ƒ

]∗C…
= ρs†ρw ………………………………..………………………………(2-69)
ρw
. .‚ƒ

Dengan :
Ѱcr = Gaya seret kritis (N/m2)
cr = Tegangan geser kritis (N/m2)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
44

ρs = Massa jenis tanah (kg/m3)


ρw = Massa jenis air (kg/m3)
Setelah mendapatkan hasil perhitungan maka akan mendapatkan dua kondisi yang bisa
disimpulkan dengan persamaan berikut:
‡∗
≥ 1 ……………………………………………………………….……..(2-70)
‡∗ˆ‰

Dengan:
U* = Kecepatan geser (m/dt)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
Ketika kondisi seperti persamaan diatas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa
butiran diatas permukaan dasar sungai akan mulai bergerak karena dihanyutkan oleh aliran
dan berarti dasar sungai mulai bergerak turun. (Sosrodarsono: 1994, p.331).
Tetapi apabila kondisi seperti persamaan berikut:
‡∗
< 1 ……………………………………………………………….……..(2-70)
‡∗ˆ‰

Dengan:
U* = Kecepatan geser (m/dt)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
Maka butiran dengan ukuran yang lebih halus akan hanyut dan permukaan dasar
sungai akan tertutup dengan butiran yang lebih besar, atau bisa dikatakan dasar sungai
meningkat. (Sosrodarsono: 1994, p.331).
 Perhitungan keseimbangan dinamis
Kemiringan stabil dinamis dapat diperoleh dari formula transportasi sedimen yag
dimodifikasi dan menghasilkan persamaan sebagai berikut: (Sosrodarsono: 1994, p.332).
•‘ –/—
I. ׎• × ×26× ∈
=Œ •
•’
I / ×
………………………………...(2-71)
” BŽ 7/

Dengan:
I = Kemiringan stabil dinamis dasar sungai
qb = Angkutan sedimen muatan dasar
ρw = Kerapatan air
ρs = Kerapatan massa
Dm = Diameter butiran rerata
g = percepatan gravitasi
45

n = koefisien manning
q = debit persatuan lebar
 Perubahan kemiringan memanjang
Sebaiknya kemiringan dasar sungai di daerah pengendapan tidak perlu diubah. Jika
memang harus dilakukan perubahan seyogyanya tidak dilaksanakan secara drastic, tetapi
sedikit demi sedikit. Selanjutnya apabila secara mendadak kemiringan dasar sungai menjadi
lebih landau, maka pada titik transisinya terjadi proses pengendapan dan dapat terjadi luapan
dan diikuti dengan penyempitan penampang basah sugai serta di waktu banjir dapat terjadi
luapan yang menimbulkan genangan di sekitar lokasi tersebut. (Sosrodarsono: 1994, p.332).
2.6.2 Tanggul Urugan Tanah
Tanggul urugan merupakan bangunan yang berbahan utama dari tanah yang
dipadatkan untuk menahan luapan banjir dari sungai.

Gambar 2. 32 Bagian – bagian tanggul


Sumber: Sosrodarsono:1985,p.87
Tanah sebagai bahan utamanya merupakan faktor penting dalam penentuan bentuk
melintang dari tanggul urugan. Tanah yang baik untuk tanggul urugan yaitu memiliki sifat
– sifat seperti kedapannya tinggi, pekat, dan angka pori yang rendah. Bahan tanah yang
cocok adalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Dalam keadaan jenuh air mampu bertahan terhadap longsor
 Pada waktu banjir yang lama tidak mengalami rembesan
 Pemadatan yang mudah
 Tidak terjadi retakan yang membahayakan kestabilan tubuh tanggul
2.6.2.1 Tinggi Jagaan (Freeboard)
Tinggi jagaan dari tanggul tidak boleh kurang dari nilai yang diberikan pada tabel
2.4, sesuai dengan debit banjir rencana. Oleh karena itu, bila tinggi tanah di daratan pada
tempat dimana tanggul akan dibuat lebih tinggi dari tinggi banjir rencana dan bila kondisi
topografi tidak terdapat kesulitan untuk pengendalian banjir yang terjadi, tinggi jagaan dapat
0,6 m atau lebih meskipun debit banjir rencana sampai 200 m3/detik atau lebih.
46

Tabel 2. 4
Hubungan Antara Debit Banjir Rancangan dengan Tinggi Jagaan
Debit Banjir Rancangan Tinggi Jagaan
No
m3/dt m
1 < 200 0.6
2 200 - 500 0.8
3 500 - 2000 1
4 2000 - 5000 1.2
5 5000 - 10000 1.5
6 10000 < 2
Sumber: Sosrodarsono: 1985, p.87
2.6.2.2 Lebar Puncak Tanggul
Lebar puncak tanggul merupakan site yang diperlukan untuk peninjauan atau
pemantauan, jalan inspeksi, maupun jalur untuk melakukan pemeliharaan. Penentuan lebar
puncak tanggul disesuaikan dengan debit banjir rencana, dan tidak boleh kurang dari nilai
yang diberikan pada table 2.2. Bila tanah daratan lebih tinggi dari tinggi muka air banjir
rencana dan bila keadaan topografi cukup baik untuk pengendalian banjir, lebar puncak dapat
dibuat 3 m atau lebih dengan tetap memperhatikan debit banjir rencana.
Tabel 2. 5
Hubungan antara Debit Banjir Rncangan dengan Lebar Mercu
Debit Banjir Rancangan Lebar Mercu
No
m3/dt m
1 < 500 3
2 500 - 2000 4
3 2000 - 5000 5
4 5000 - 10000 6
5 10000 < 7
Sumber: Sosrodarsono: 1985, p.87
2.6.2.3 Jalan Inspeksi
Tanggul hendaknya dilengkapi dengan jalan inspeksi dengan struktur seperti tersebut
di bawah, untuk mengontrol sungai, aktivitas penanggulangan banjir pada saat banjir :
 Bila terdapat jalan pengganti, jalan inspeksi tidak perlu dibuat.
 Bila tanngul terbuat dari beton atau sheet pile baja atau dari material sejenisnya, tersedia
seluruhnya atau sebagian, atau bila perbedaan tinggi antara tanggul dan permukaan tanah
daratan kurang dari 0,6 m :
47

1. Lebar minimal 3 m
2. Tinggi bersih 4,5 m atau lebih
2.6.2.4 Gradien atau Kemiringan Tanggul
Gradien kemiringan tanggul harus merupakan gradien yang landai sebesar 20 % atau
kurang. Hal ini tidak selalu diperlukan bila permukaan ditutup dengan beton ataupun
material sejenis.
Kemiringan tanggul dapat pula ditentukan dengan mengikuti sudut tenang (angle of
repose) berdasarkan material tanggulnya. Sudut tenang (angle of repose) adalah suatu sudut
dimana material utama pada material berbutir akan secara alami mengalami kestabilan.
Sudut tenangadapat berkisar dari 0° hingga 90°. Bahan yang berbeda memiliki sudut tenang
yang berbeda karena ukuran, sifat, dan kekasaran partikel senyawa tersebut.
Tabel 2. 6
Sudut Tenang (Angle Of Repose) dari beberapa material
Material Angle of repose
Ashes 40°
Asphalt (crushed) 30–45°
Bark (wood refuse) 45°
Chalk 45°
Clay (dry lump) 25–40°
Clover seed 28°
Coconut (shredded) 45°
Coffee bean (fresh) 35–45°
Earth 30–45°
Flour (corn) 30–40°
Flour (wheat) 45°
Granite 35–40°
Gravel (crushed stone) 45°
Gravel (natural w/ sand) 25–30°
Malt 30–45°
Sand (dry) 34°
Sand (water filled) 15–30°
Sand (wet) 45°
Snow 38°
Wheat 27°
Sumber: Glover T.J, 1997
48

2.7 Analisis Stabilitas


2.7.1 Kapasitas Daya Dukung Tanah
Kapasitas dukung tanah menyatakan tahanan tanah terhadap geseran untuk melawan
penurunan, yaitu tahanan geser yang dapat dikerahkan tanah di sepanjang bidang – bidang
gesernya. Veisc (1963) membagi mekanisme keruntuhan pondasi dalam 3 macam yaitu
keruntuhan geser umum, keruntuhan geser lokal, dan keruntuhan penetrasi. Analisa
keruntuhan kapasitas dukung dilakukan dengan menganggap bahwa tanah bersifat plastis.
Analisa Terzaghi (1943) menganggap bahwa pondasi kasar, sehingga menahan gerakan
tanah arah lateral di dasar pondasi dan mengikat tanah tersebut seolah – olah merupakan satu
kesatuan dengan pondasinya. Faktor kapasitas dukung yang disebabkan oleh berat tanah
yang merupakan fungsi dari sudutu geser dalam tanah disebut sebagai faktor Ny. Sedangkan
faktor kapasitas Nc dan Nq adalah faktor kapasitas dukung akibat pengaruh kohesi dan beban
terbagi rata yang keduanya merupakan fungsi dari sudut geser dalam.
Dengan demikian untuk menghitung kapasitas dukung tanah digunakan rumus
Terzaghi:
qut = c. Nc + γ.Df. Nq + 0,5γ.B. Ny ……………………………………………..(2-66)
dengan :
qut = kapasitas dukung (ton/m2)
γ = berat volume tanah (kN/m3)
B = Lebar pondasi (m)
Nc, Ny, Nq = faktor kapasitas dukung tanah (fungsi φ)
Nilai – nilai dari Nc, Ny, dan Nq ditetapkan dalam bentuk grafik hubungan yang diberikan
oleh Terzaghi.

Gambar 2. 33 Bentuk grafik hubungan nilai Nc, Ny, Nq.


Sumber : Terzaghi, 1943. (Dalam Buku Christady, 2010)
2.7.2 Analisis Koefisien Gempa
Dalam perencanaan konstruksi tanggul diperlukan mempertimbangkan faktor
keamanan terhadap pengaruh kegempaan. Nilai gaya gempa berdasarkan pada peta
49

Indonesia menunjukkan berbagai macam daerah dan risiko. Dalam jenis bangunannya, tiap
jenis bangunan memiliki persyaratan gempa tersendiri.
Persyaratan gempa untuk dinding penahan mengacu pada AASHTO (American
Association of State Highway and Transportation Officials) Bridge Design Specification
(2012). Pendekatan yang sesuai dalam evaluasi gaya gempa pada dinding penahan harus
sesuai dengan kondisi dan batasan yang disyaratkan oleh masing – masing persamaan
sebagai berikut:
1. Pendekatan pseudostatik menggunakan pendekatan Mononobe (1929) dan Okabe
(1926) dengan asumsi, abutmen bebas berdeformasi sedemikian hingga memberikan
kondisi tekanan aktif, timbunan di belakang abutmen bersifat nonkohesif dengan
sudut geser dalam, dan timbunan tidak jenuh sehingga tidak ada pengaruh likuifaksi.
Rumus Koefisen Aktif dimodifikasi sebagai berikut:

CGN š n›œ • T3B š'¡ T3B š n›œ M


˜E™ × ¢1 − £Ÿ ¤ ……………...(2-67)
CGNš›œ .CGN žŸ T ¡'ž'n›œ T ¡'ž'n›œ Ÿ T M ž

Dengan :
KAE = Koefisien aktif dengan tekanan seismik
γ = Berat jenis tanah (kN/m3)
ϕ = Sudut geser tanah
ƟMO = Arc tan (Kh/(1-Kv))
Kh = Koefisien gempa horizontal
K = Koefisien gempa vertikal
i = Kemiringan isian di belakang dinding
Β = Kemiringan dinding
2. Pendekatan modifikasi Mononobe – Okabe dengan mempertimbangkan kohesi tanah
dengan menggunakan persamaan Anderson (2008), yang mengasumsikan koefisien
seismik vertikal (Kv) = 0 dan koefisien seismik horizontal (Kh) = PGA yang telah
disesuaikan dengan kondisi situs.
Pada persyaratan gempa untuk lereng SNI 8460:2017, percepatan puncak di
permukaan tanah dapat mengakibatkan gaya – gaya inersia signifikan pada lereng atau
timbunan dan gaya tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan atau deformasi
permanen. Analisa performa lereng dan timbunan terhadap beban seismik dapat
dilakukan menggunakan dua pendekatan sebagai berikut.
1. Metode kesetimbangan batas (limit equilibrium methods) menggunakan gaya
seismik yang direpresentasikan dalam model pseudostatik. Koefisien seismik yang
50

digunakan adalah percepatan puncak di permukaan (PGA) dengan faktor keamanan


minimum terhadap gempa (FK > 1,0). Koefisien seismik horizontal ditentukan
sebesar 0,5 dari percepatan puncak horizontal dengan penentuan kelas situs dan
faktor amplikasi.
2. Analisis berbasis perpindahan (displacement-based) menggunakan konsep blok
keruntuhan Newmark (Newmark sliding block) atau dapat disebut sebagai metode
pemodelan numerik.
Koefisien gempa ditentukan berdasarlan nilai percepatan gempa pada peta rawan
gempa Indonesia (SPGA) dan faktor aplikasi untuk PGA (FPGA) sesuai dengan jenis batuan
pada lokasi studi. Faktor amplikasi untuk PGA telah dirangkum yang memuat klasifikasi
lokasi dengan angka – angka yang berbeda, yang dapat dilihat sebagaimana pada tabel
berikut :
Tabel 2. 7
Faktor Amplikasi Untuk PGA (FPGA)
FPGA
Klasifikasi Site PGA≤0, PGA = PGA = PGA PGA =
1 0,2 0,3 0,4 0,5
Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1 1 1 1 1
Tanah Sangat Padat
1,2 1,2 1,2 1,2 1,2
dan Batuan Lunak
(SC)
Tanah Sedang (SD) 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6
Tanah Lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
Sumber : Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa, SNI 1726:2012
2.7.3 Stabilitas Lereng dengan Metode Fellenius
Analisa stabilitas Fellenius beranggapan bahwa gaya – gaya yang bekerja pada sisi
kanan – kiri dari sembarang irisan mempunyai resultan nol pada arah tegak lurus bidang
longsor. Dengan anggapan ini, keseimbangan arah vertikal dan gaya – gaya yang bekerja
dengan memperhatikan tekanan air pori adalah:

Ni = Wi cos θi – uiai ………………………………………………..…………,,,…….(2-68)


Faktor yang dinilai aman didefinisikan sebagai :
¦§6¨©ª 6 6«B 2©¬3 -©ª©B©B ”«T«¬ T«®©B¯©B” °32©B” ¨ T ¬
F ………………………..……...(2-69)
¦§6¨©ª 6 6«B 2©¬3 °«¬©- 6©TT© -©B©ª ±©B” ¨ B”T ¬

atau,
∑²
F + ∑ ²R ……………………………………………………………………..…….…..(2-70)
³
51

Lengan momen dari berat massa tanah tiap irisan adalah R sin θi, maka:
∑Md = R ∑i=n Wi sin θi ……………………………...……………………………….(2-71)
Dengan:
R = jari – jari lingkaran bidang longsor
n = jumlah irisan
Wi = berat massa tanah irisan ke-i
θi = sudut irisan terhadap bidang longsor
Momen yang menahan tanah akan longsor dihitung sebagai berikut:
∑Mr = R ∑i=n(cai + Ni + tan φ) …………………………………………………….(2-72)
∑ 5·
5 C ' µ CGNµ CGN K K ∅
´ ∑ 5· ………………………………………….(2-73)
† µM NM nM
Dengan:
F = faktor aman
c = kohesi tanah (kN/m2)
φ = sudut geser dalam tanah
ai = panjang lengkung lingkaran pada irisan ke-i (m)
Wi = berat irisan tanah ke-i (kN)
ui = tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2)
θi = sudut irisan terhadap bidang longsor

Gambar 2. 34 Stabilitas Lereng dengan metode irisan (Fellenius)


Sumber : Christady, 2010
Persamaan di atas merupakan persamaan faktor aman kondisi tanpa gempa, sedangkan
persamaan untuk faktor aman dengan kondisi gempa memperhitungkan beban seismik pada
momen tahanan geser bidang longsor dan momen dari berat massa tanah yang longsor.
Beban seismik dinotasikan sebagai (e).
Momen pada bidang longsor tiap irisan diberikan persamaan sebagai berikut:
N = W cos α ……………………………..…………………………………..……(2-74)
Ne = e W sin α …………………………..……………………………………..…. (2-75)
52

T = W sin α…………………………………………………………………….…(2-76)
Te = e W cos α ……………………………………………………………….……(2-77)
Dengan persamaan yang telah disebutkan, rumus faktor aman dengan kondisi saat gempa
dapat dihitung sebagai berikut: (Hardiyatmo, 2010)
∑ 5·
5 C ' KK ¹
´ ∑ 5·
¸
…………………………………………….……(2-78)
† '

Untuk angka keamanan pada tanggul urugan biasa digunakan nilai Fs ≥ 1.5 agar lereng aman
dari bahaya keruntuhan.
2.7.4 Stabilitas Lereng dengan Metode Simplified Bishop
Pada analisis stabilitas lereng terhadap kelongsoran dengan metode simplified Bishop
beranggapan bahwa gaya yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada arah
vertikal. Persamaan kuat geseer dalam tinjauan tegangan efektif yang dapat dikerahkan
tanah, hingga tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan memperhatikan faktor aman,
dihitung sebagai berikut:
Ca -©B ¹a
º + ¼−½ ……………………………………………………………..…..(2-79)
» »

Untuk irisan, nilai T = τa, yaitu gaya geser yang dikerahkan tanah pada dasar bidang longsor
untuk keseimbangan dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut:
Ca -©B ¹a
¾ »
+ yM − ½M ¿M »
………………………………………………………….(2-80)

Kondisi skeseimbangan momen dengan pusat rotasi O antara berat massa tanah yang akan
longsor, dinyatakan dengan persamaa sebagai berikut:
∑ wM ,M ∑ ¾M À……………………………………………………………….……….(2-81)
Dengan x adalah jarak W ke pusat rotasi O. Maka persamaan (2-82) dan (2-83) dinyatakan
sebagai berikut:
F ∑ 5·
5 C ' K ¹
F= 5· …………………………………...………………….(2-82)
∑ 5 µ g

Pada kondisi keseimbangan vertikal, jika X1 = Xi dan Xr = Xi+1, maka :


Ni cosƟi + Ti sinƟi = Wi + Xi – Xi+I …………...………………………………………(2-83)
U# 'Â# Â#m Ã# T3BÄ3
N3 …………………………………………...………………(2-84)
Ÿ TÄ#

Dengan Ni’= N1-uiai substitusi persamaan 2-82 dan 2-83, diperoleh menjadi persamaan
seperti berikut:
U# 'Â# Â#m §# ©# Ÿ TÄ# Ÿa©# T3BÄ3/Å
N3 …………………………………….…..…..(2-85)
Ÿ TÄ# 'T3BÄ# -©BÆÇ /Å
53

Subtitusi persamaan (2-85) dengan (2-82), maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
‘# mÉ# †É#m †Ê# È# ˆË’Ì# †ˆÇÈ# ’#ÍÌ#/Î
c ∑#5Í ÇÈ#
#5 Ÿ '-©BÆa ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F ………….…………(2-86)
∑#5Í
#5 Ñ# T3BÄ#

Untuk penyerdahanaan nilai Xi - Xi+I = 0, digunakan persamaan sebagai berikut:


Xi = R sin Ɵi……………………………………………………………………………(2-87)
bi = ai cos Ɵi……………………………………………………………………………(2-88)
Maka untuk persamaan faktor aman dapat disubtitusikan persamaan (2-87) dan (2-88)
dengan persamaan (2-86) menjadi sebagai berikut:

c ∑#5Í
#5 Ÿ
Ç•# ' µ ] Ò -©BÆa
ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F ………………………..(2-89)
∑#5Í
#5 Ñ# T3BÄ#

Dengan :

F = Faktor aman
C’ = kohesi tanah (kN/m2)
φ' = sudut geser dalam tanah
bi = lebar irisan ke – i (m)
Wi = berat irisan ke – i (kN)
Ɵi = sudut irisan terhadap bidang longsor
ui = tekanan air pori pada irisan ke – i (kN/m2)
Persamaan diatas merupakan persamaan faktor aman kondisi tanpa gempa, sedangkan
persamaan untuk faktor aman dengan kondisi gempa memperhitungkan beban seismic pada
momen tahanan geser bidang longsor dan momen dari berat massa tanah yang longsor beban
seisimik dinotasikan sebagai (e).
Momen pada bidang longsor tiap irisan agar lebih sederhana, diberikan persamaan
sebagai berikut:
N = Wi - uibi………………………………………………………………………(2-90)
Ne = e (Wi uibi) …………………………………………………………………....(2-91)
T = W sin a ………………………………………………………………………(2-92)
Te = e W cos a ………………………………………………………………….…(2-93)
Dengan persamaan tersebut, rumus faktor aman dengan kondisi gempa dapat dihitung
sebagai berikut (

c ∑#5Í
#5 Ÿ
Ç•# ' -©BÆa
ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F #5Í …………………….……(2-94)
∑#5 Ã'ë
54

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Anda mungkin juga menyukai