LANDASAN TEORI
2.1 Sungai
2.1.1 Definisi
Suatu alur yang panjang diatas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal
dari hujan disebut alur sungai. Bagian yang senantiasa tersentuh aliran air ini disebut aliran
sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai.
Dalam perjalanannya dari hulu menuju hilir, aliran sungai secara berangsur berpadu
dengan banyak sungai lainnya. Perpaduan ini membuat tubuh sungai menjadi besar. Apabila
suatu sungai mempunyai lebih dari dua cabang, maka sungai yang daerah pengaliran,
panjang dan volume airnya paling besar disebut sebagai sungai utama (main river).
Sedangkan cabang yang lain disebut anak sungai (tributary). Suatu sungai terkadang
sebelum alirannya sampai ke laut, sungai tersebut membentuk sungai (enfluent)
(Sosrodarsono, 2008,p.1).
Alur sungai sendiri dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hulu, tengah, dan hilir.
Bagian hulu memiliki ciri khas yaitu terdapat arus yang deras, erosi besar pada bagian bawah
sungai. Berikutnya adalah bagian tengah yang merupakan transisi dari hulu ke hilir dan
memiliki kemiringan dasar sungai yang relatif landai. Selanjutnya bagian hilir adalah bagian
sungai yang memiliki kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan aliranya
lambat, dan arusnya lebih tenang.
2.1.2 Morfologi Sungai
Morfologi sungai merupakan ukuran dan bentuk sungai sebagai hasil reaksi terhadap
perubahan kondisi hidraulik dari aliran. sehingga sungai akan leluasa dalam menyesuaikan
ukuran-ukuran dan bentuknya baik geometri atau kekasaran dasar sungai. Bentuk sungai
selalu berubah mengikuti karakteristik alami yang merupakan faktor penting dalam proses
pembentukan sungai.
Sungai dikelompokkan menjadi 3 tipe sungai berdasarkan morfologinya, yaitu sungai
lurus, sungai teranyam, dan sungai berkelok. Sungai yang berbentuk meander adalah sungai
yang mempunyai tikungan yang secara teratur membentuk fungsi sinus pada bidang
datarannya. Persamaan empiris untuk panjang gelombang (L) dan amplitudo meander (A)
terhadap lebar sungai sebagai berikut .
5
6
……………………………………………………………..(2-1)
Dengan :
SI < 1,05 (Straight River)
SI < 1,50 (Meander River)
1,05 > SI > 1,50 (Braided River)
2. Sungai Sinous
Sungai sinus adalah sungai pada fase pertumbuhan menuju fase berikutnya yaitu
sungai berkelok (meander) sungai ini memiliki kemiringan yang landai dan berukuran
sempit.
yang sangat besar dihasilkan dari keruntuhan tebing sungai di daerah pegunungan dan
tertimbun di dasar sungai terangkut ke hilir oleh aliran sungai. Karena di daerah pegunungan
kemiringan sungainya curam, gaya tarik aliran airnya cukup besar. Tetapi setelah mencapai
dataran, maka gaya tariknya menurun drastis. Dengan demikian beban yang terdapat dalam
arus sungai berangsur-angsur diendapkan. (Sosrodarsono, 2008, P.4)
Pada daerah dataran yang rata alur sungai tidak stabil dan apabila sungai mulai
membelok, maka terjadilah erosi pada tebing belokan luar yang berlangsung sangat intensif,
sehingga terbentuklah meander. Meander semacam ini umumnya terjadi pada ruas sungai di
dataran rendah dan apabila proses meander berlangsung terus menerus, maka pada akhirnya
terjadilah sudetan alam pada dua belokan luar yang sudah sangat berdekatan, dan
terbentuklah sebuah danau.
Di dekat muara aliran air tidak deras dan intensitas pengendapan sangat meningkat,
lebih-lebih dengan adanya air asin di muara tersebut dan terjadilah pengendapan dalam
volume yang sangat besar. Dataran yang terjadi di muara sungai, bentuknya sangat berbeda
satu dengan yang lainnya tergantung dari keadaan sungai dan laut/danau tempat
bermuaranya sungai tersebut dan tergantung dari tingkat kadar sedimen berbutir halus yang
terdapat didalam air sungai. Apabila volume sedimen yang hanyut besar, sedangkan laut atau
danaunya dangkal dan gelombangnya tidak besar atau arusnya tidak deras, maka akan
terbentuk delta (Sosrodarsono, 2008).
2.1.4 Peranan Sungai
Sungai memiliki peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia di
dunia ini, yakni dengan menyediakan daerah – daerah subur yang umumnya terletak di
lembah sungai dan sumber air sebagai sumber kehidupan yang paling utama bagi makhluk
hidup. Demikian pula sungai menyediakan dirinya sebagai sarana transportasi guna
meningkatkan mobilitas serta komunikasi antar manusia. (Sosrodarsono, 2018, P.6)
Hingga pada dewasa ini, sungai mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan
kita sehari-hari. Di daerah pegunungan, air digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan
juga memegang peranan utama sebagai sumber air untuk kebutuhan irigasi, penyediaan air
minum, kebutuhan industri dan kebutuhan yang lainnya. Selain itu, sungai berguna sebagai
tempat untuk pariwisata, pengembangan perikanan dan sarana lalu lintas sungai. Ruas sungai
yang melintasi daerah pemukiman yang padat biasanya dipelihara sebaik mungkin dan
dimanfaatkan penduduk sebagai ruang terbuka yang berharga. Sungai juga berfungsi pula
9
sebagai saluran pembuang untuk menampung air selokan dan air buangan dari areal
pertanian. (Sosrodarsono, 2018, P.6)
2.2 Analisis Hidrologi
2.2.1 Uji Konsistensi Data
Apabila dalam suatu DAS terdapat perubahan atau pemindahan lokasi stasiun hujan,
gangguan lingkungan, kerusakan instrumentasi, ketidaksesuaian prosedur pengukuran
sering terjadi perubahan relatif terhadap nilai data hujan yang tercatat. Oleh karena itu untuk
menghasilkan hasil analisa hidrologi yang baik, pemeriksaan terhadap konsistensi data hujan
menggunakan metode kurva massa ganda (double mass curve).
2.2.1.1 Uji Kurva Massa Ganda
Prosedur yang digunakan untuk melakukan uji konsistensi data dengan metode kurva
massa ganda adalah sebagai berikut (Triatmodjo, 2013, p.41):
Setelah mendapatkan nilai S1 dan S2, selanjutkan dapat dilakukan perhitungan untuk
mendapatkan nilai σ dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
11
Untuk dapat mengetahui nilai batas derajat kepercayaan, maka harus mengetahui nilai Dk,
untuk mengethaui nilai tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dk = N1 + N2 - 2 ………………………………………………………………....(2-6)
Keterangan :
t : variabel t terhitung.
,̅̅1̅ : Rata – rata hitung sampel ke-1.
X1 : Rata – rata hitung sampel ke-2. N1 : Jumlah sampel set ke-1.
N2 : Jumlah sampel set ke-2.
σ : Deviasi standar.
S12 : Varian sampel set ke-1.
S22 : Varian sampel set ke-2.
Dk : Derajat kebebasan.
Dalam tahap yang terakhir, uji ini akan dibandingkan, menurut hasil hitung nilai t
terhitung degan tcr atau disebut t kritis yang mana nilai ini dapat didapatkan melalui table tc
uji-t. Setelah mendapatkan nilai tcr maka akan didapatkan dua kemungkinan, yaitu
(Kaimana,2011,p.23-24).
- Jika nilai t terhitung > tcr atau t kritis, artinya kedua sampel yang diuji tidak berasal dari
populasi yang sama.
- Jika t terhitung < tcr atau t kritis, artinya kedua sampel yang diuji berasal dari populasi
yang sama.
Jadi kesimpulan yang akan didapat dari uji-t ini adalah jika hasil uji ini berasal dari
populasi yang sama, maka data tersebut dapat dikatakan atau bersifat homogen (stabil),
namun jika hasil uji tidak berasal dari populasi yang sama maka data tersebut dapat
dikatakan tida bersifat homogen (tidak stabil).
2.2.2.2 Uji Persistensi
Persistensi (Persistence) adalah ketidak tergantungan dari setiap nilai dalam deret
berkala. Untuk melaksanakan pengujian persistensi harus dihitung besarnya koefisien
korelasi serial. Salah satu metode untuk menentukan koefisien korelasi serial adalah dengan
12
metode Spearman. Adapun koefisien korelasi serial metode Spearman dapat dirumuskan
sebagai berikut (Soewarno, 1995, pp.98- 99):
1 ∑4
#5 23
KS 1− ………………………………………………………..……..(2-7)
67 6
6
t KS 9 :&
; …………………………………………………………………..(2-8)
Keterangan:
KS : Koefisien korelasi serial.
m : N-1.
N : Jumlah data.
di : Perbedaan nilai antara peringkat data ke Xi dan ke Xi+1.
t : Nilai dari distribusi-t pada derajat kebebasan m-2 dan derataj kepercayaan tertentu.
Setelah dibandingkan, maka akan mendapatkan dua kemungkinan yaitu:
- Jika nilai t terhitung > tcr atau t kritis, artinya data menunjukkan adanya persistensi data
atau dapat dikatakan data bersifat acak (randomnes).
- Jika t terhitung < tcr atau t kritis, artinya data tidak menunjukkan adanya persistensi data
atau dapat dikatakan data bersifat independen.
Tahap pengujian tersebut umumnya disebut dengan penyaringan (screening) data,
dengan maksud untuk memeriksa dan memilahkan atau mengelompokkan data yang
bertujuan untuk memperoleh data hidrologi yang cukup handal untuk analisis, sehingga
kesimpulan yang diperoleh cukup baik (Soewarno, 2011, p.101).
2.2.3 Analisis Curah Hujan Rerata Daerah
2.2.3.1 Metode Poligon Thiessen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan
di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan
yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun
mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerrah
yang ditinjau tidak merata.
13
Dengan:
P̅ : hujan rerata kawasan
P1, P2, ...., Pn : hujan pada stasiun 1, 2, 3, ... , n
A1, A2, ... , An : luas daerah yang mewakili stasiun 1, 2, 3, ... , n
14
.......................................................................................(2-11)
……………………………………………………….….. (2-14)
Untuk jumlah kelas distribusi dapat dihitung dengan rumus:
……………………………………………..…………...…(2-15)
Dengan:
X2 : nilai Chi-Kuadrat terhitung
Ei : Frekensi pengamatan yang diharapkan sesuai dengan pembagian kelas
Oi : Frekensi yang terbaca pada kelas yang sama
G : Jumlah sub kelompok pada satu grub
K : Jumlah kelas distribusi
Nilai X2hitung harus lebih kecil dari nilai X2Cr untuk derajat tertentu, biasanya yang
sering diambil adalah 5%. Untuk menghitung derajat kebebasan dilakukan dengan rumus
(Triatmodjo, 2013, p, 238)
……………………………………………...………….….…...(2-16)
Dengan:
DK : Derajat Kebeasan
K : Banyak kelas
a : Banyak parameter, (Untuk Chi-kuadarat adalah 2)
Langkah-langkah perhitungan untuk uji Chi-Kuadrat sebagai berikut:
1. Urutkan data dalam urutan kecil ke besar atau sebaliknya
2. Kelompokkan data menjadi G sub-grup, tiap sub-grup minimal terdiri dari 4 data
pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebasar Oi untuk tiap sub-grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar E
5. Setiap sub-grup menghitung nilai: (Oi – Ei)2 dan (Oi – Ei)2/ Ei
6. Jumlahkan seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai Chi
Kuadrat hitung
7. Tentukan derajat kebebasan.
Jika nilai Chi-Kuadrat yang dihasilkan lebih dari 5%, maka persamaan distribusi
teoritis yang digunakan dapat diterima. Sedangkan, apabila nilai ynag dihasilkan lebih kecil
dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan tidak diterima.
2.2.5.2 Uji Smirnov-Kolmogorof
Uji Smirnov-Kolmogorof merupakan uji distribusi terhadap penyimpangan data ke
arah horisontal untuk mengetahui suatu data sesuai dengan jenis sebara teoritis yang dipilih
16
Tabel 2. 2
Intensitas hujan dalam % metode PSA 007
Durasi Hujan (Jam)
Kala Ulang Tahun
0,5 0,75 1 2 3 6 12 24
5 32 41 48 59 66 78 88 100
10 30 38 45 57 64 76 88 100
25 28 36 43 55 63 75 88 100
50 27 35 42 53 61 73 88 100
100 26 34 41 52 60 72 88 100
1000 23 32 39 49 57 69 88 100
CMB 20 27 34 45 52 64 88 100
Sumber: PPBU Vol 2 Hidrologi, (1999)
Dalam mendapatkan nilai curah hujan kritis distribusi hujan metode PSA 007 disusun
dalam bentuk genta, yakni penempatan hujan paling tinggi ada pada tengah, paling tinggi
kedua ditempatkan di sebelah kiri, ketiga disebelah kanan, dan seterusnya. Hal ini didasari
pendekatan kondisi hujan di Indonesia.
2.2.9 Analisis Debit Banjir Rancangan
2.2.9.1 Hidrograf Satuan Sintetis Nakayasu
Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan
efektif merata di DAS dengan intensitas tetap (diambil 1 mm/jam) dalam satuan waktu yang
ditetapkan (1 jam). Hidrograf satuan ini dianggap tetap selama faktor fisik DAS tidak
mengalami perubahan. Upaya ini digunakan untuk menghitung debit sungai. Prinsip-prinsip
hidrograf satuan bisa diterapkan untuk menaksir banjir rancangan (dalam hal ini diperlukan
data hujan yang panjang) (Limantara, 2010,p.149).
Hidrograf satuan sintesis merupakan suatu cara untuk memungkinkan penggunaan
konsep hidrograf satuan untuk suatu perencanaan yang tidak tersedia pengukuran-
pengukuran langsung mengenai hidograf banjir.
Berikut merupakan kerakteristik dalam Analisa HSS Nakayasu (Soemarto, 1987).
1. Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak hidrograf.
2. Tenggang waktu dari titik nerat hujan sampai titik berat hidrograf.
3. Tenggang waktu hidrograf.
4. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS).
5. Panjang alur sungai terpanjang.
6. Koefisien pengaliran
Berikut merupakan persamaan HSS Nakayasu:
19
C.E.FG
Qp = ………………………………………………….(2.19)
@,1 I.@ J' I.@
Dengan:
Qp = Debit puncak banjir (m3/detik/mm)
c = Koefisien pengaliran (=1)
A = Luas DAS sampai ke Outlet (km2)
R0 = Hujan satuan
Tp = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = Waktu penurunan debit puncak sampai 30% dari debit puncak (jam)
Menghitung Aliran Dasar (Base Flow)
QB = 0.4715 A0.6444 D0.9430……………………………………………………..(2-20)
Dengan :
QB = Aliran Dasar (m3/dt)
A = Luas DAS (km2)
D = Kerapatan jaringan Sungai.
Untuk dapat menentukan Tp dan T0,3 digunakan rumus sebagai berikut (Soemarto,
1987):
Tp = Tg + 0,8Tr …..………………………………………………………..…….(2-21)
T0,3 = a x Tg………………….…………………...…………………………..…(2-22)
Tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Panjang Sungai (L) ) ≥ 15 km
Tg = 0,4 + 0,058 L …………….……………………………………..……...(2-23)
T0,3 = 0,6 x Tg ………………………………………..……………………..(2-24)
b. Panjang sungai (L) ≤ 15 km
Tg = 0,2 x L0,7…………………………...………………………..…………(2-25)
Tr = 0,5 x tg ……………………………..………………………………….(2-26)
Dengan:
Tg : Waktu antara hujan sampai puncak debit (jam)
L : Panjang sungai
a : parameter hidrograf
: pengaliran biasa a = 1
: bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat a = 1,5
; bagian menurun hidrogrsf yang lembat dan bagian naik yang cepat a = 3
Tr : satuan waktu dari curah hujan yang besarnya (0,5 -1 ) x Tg.
20
Qa = Qp Maks ………………………………………………………..(2-27)
b. Pada waktu turun
- Tp ≤ t ≤ (Tp + T0,3)
Dengan:
Qk : debit banjir rencana ordinat dari hidrograf pada jam tertentu / ke -k (m3/dt)
Un : debit ordinat hidrograf satuan (m3/dt)
Ri : netto hujan pada jam ke -I (mm)
21
Peristiwa ini biasanya akan terjadi pada hilir bangunan bendung, bendungan atau bangunan-
bangunan pengatur sungai.
2.3.1 Klasifikasi Angkutan Sedimen
Pada dasarnya sedimen yang terangkut oleh aliran dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan sumber/asal sedimen :
a. Angkutan material dasar, dapat dibagi lagi menjadi :
- bed load
- suspended load
b. Wash load
2. Berdasarkan mekanisme transpor :
a. Bed load
b. Suspended load
Keterangan :
- Suspended load, yaitu sedimen yang bergerak diatas dasar secara melayang dimana berat
partikel dikompensasi oleh turbulensi aliran.
- Bed load, yaitu sedimen yang bergerak didasar secara menggelinding (rolling),
menggeser (sliding), atau meloncat (jumping).
- Wash load, yaitu sedimen yang butirannya sangat halus bergerak melayang di bagian atas
aliran dan tidak mengendap di dasar sungai.
2.3.2 Permulaan Gerak Butiran
Air yang mengalir pada permukaan sedimen mengerjakan gaya pada butiran yang
cenderung menggerakkannya. Gaya yang menahan gaya yang ditimbulkan oleh air yang
mengalir berbeda-beda sesuai dengan ukuran butiran dan distribusi ukuran pada sedimen.
Pada awal gerak butiran gaya yang ditumbulkan oleh aliran air adalah seimbang
dengan gaya hambatan dari butiran atau sedimen dasar. Untuk butiran sedimen kohesif,
parameter penting didalam menetukan awal gerak sedimen adalah konsentrasi atau rapat
massa dari endapan dasar. Definisi dari awal gerak sedimen adalah sebagai berikut :
1. Bila satu partikel telah bergerak
2. Bila sedikit partkel telah bergerak
3. Bila sebagian partikel telah bergerak
4. Bila = cr dimana penangkapan sedimen (qb) = 0
24
Secara umum, pergerakan awal butiran disebabkan pengaruh tegangan geser (o) dan
tegangan geser kritis (cr). Atau secara teoritik (o > cr) dimana jika tegangan geser lebih
besar dari tegangan geser kritis maka pada ketinggian tertentu butiran akan bergerak.
Tegangan Geser (o)
Pada saluran yang lebar dan panjang, untuk saluran seragam tegangan geser yang
terjadi pada dasar saluran dirumuskan dengan: (Varma, C.V.J: 1971, p.376)
o = w × g × h × I ……………………………………………………...(2-37)
Dengan:
w = Kerapatan air (kg/m3)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
h = Tinggi air (m)
I = Kemiringan dasar sungai / slope
Tegangan Geser Kritis (cr)
Tegangan geser kritis adalah keseimbangan batas pada saat akan mulai terjadi Gerakan
pada butiran, semua teori didasari pada pertimbangan bahwa gaya tegangan geser berkaitan
dengan kecepatan aliran. (Priyantoro, 1987 P.25)
QR
Ѱcr =
ST SU . .OVW
Dengan :
R = Radius Hidrolis (m)
D90 = Diameter butiran lolos saringan 90%
- Friciton Factor Angkutan (m0.5/dt)
]
C = …………………………………………………………...……..(2-42)
√_ F
Dengan :
U = Kecepatan (m/dt)
I = Kemiringan dasar saluran (Slope)
R = Radius Hidrolis (m)
- Ripple Factor
` @/
μ = ……………………………………………………....……..(2-43)
`a
Dengan :
C = Friction Factor Angkutan (m0.5/dt)
C’ = Friction Factor Intensive (m0.5/dt)
- Intensitas Pengaliran
27
b.c.>
Ѱ = ………………………………………………….............……..(2-44)
d.OL
Dengan :
μ = Ripple Factor
R = Radius Hidrolis (m)
I = Kemiringan dasar saluran (Slope)
= (s – w)/w
Dm = Diameter efektif (D50 – D60)
- Intensitas Angkutan
= (4. - 0.188)3/2……………………………………………….……..(2-45)
Dengan :
Ѱ = Intensitas pengaliran
- Volume Angkutan Sedimen (m3/dt/m)
S = (g..Dm3)0,5………………………………………………...……..(2-46)
Dengan :
= Intensitas angkutan
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
= (s – w)/w
Dm = Diameter efektif (D50 – D60)
D35 = Diameter butiran lolos uji saringan 35%
2.4 Analisis Hidrolika dengan Aplikasi HEC-RAS V. 5.0.7
2.4.1 Saluran Terbuka dan Model Numerik HEC-RAS
Aliran dalam saluran terbuka maupun saluran tertutup yang mempunyai permukaan
bebas disebut aliran permukaan bebas (free surface flow) atau aliran saluran terbuka (open
channel flow). Permukaan bebas mempunyai tekanan atmosfir setempat. Air yang mengalir
pada saluran terbuka mempunyai bidang kontak hanya pada dinding dan dasar saluran.
Saluran terbuka dapat berupa:
Saluran alamiah atau buatan
Galian tanah dengan atau tanpa lapisan penahan
Terbuat dari pipa, beton, batu, bata, dan material lainnya
28
Atau jika saluran memiliki lebar terhingga, dapat ditulis berdasarkan prinsip St. Venant
sebagai berikut:
ef e
+ 0……………………………………………………………………...(2-54)
eg e
Dengan:
Q = Debit aliran (m3/dt)
A = Luas tampang melintang sungai (m2)
q = debit persatuan lebar (m2/dt)
y = tinggi muka air (m)
x = dimensi ruang (m)
t = dimensi waktu (dt)
turunan ruang dan nilai fungsi ditaksir dalam 4 titik, (n+Ɵ) Δt. Nilai pada (n+1) Δt
disubstitusikan pada seluruh persamaan (US. Army Corps of Engineers, 2016).
Bentuk umum persamaan diferensial
1. Turunan waktu
ej ∆j I.l ∆j m '∆j
…………………………………………………………..(2-55)
e ∆ ∆
2. Turunan Ruang
ej ∆j jm j 'n ∆j m '∆j
…………………………………………….…..(2-56)
e ∆ ∆g
3. Nilai fungsi akhir
o 0.5 oM' + oM + 0.5q ∆oM' + ∆oM ……………………………………………..(2-57)
r
ef e e
+ s
+ [t + j + − uvg + wj x 0 ………………………………….(2-58)
e eg eg
Dengan:
Q = Debit aliran
A = Luas tampang melintang sungai (m2)
Ao = Luas tampang kecepetan dapat diabaikan (m2)
q = Debit persatuan lebar (m2/dt)
t = Waktu (dt)
g = Percepatan gravitasi (m/dt2)
Vx = Kecepatan aliran lateral arah x (m/dt)
B = Lebar atas sungai (m)
Sf = friction slope
Se = expansion/contraction
2.4.1.4 Pengaruh Koefisien Kekasaran Manning
Sungai memiliki nilai kekeasaran yang sangat bermacam – macam dan tergantung
pada beberapa faktor sehingga perlu adanya tinjauan terhadap faktor – faktor yang memiliki
pengaruh besar terhadap nilai koefisien kekasaran. Faktor – faktor yang mempengaruh
koefisien kekasaran Manning adalah sebagai berikut (Chow, 1997):
Kekasaran permukaan
Tumbuh – tumbuhan
Ketidakteraturan saluran
Pengendapan dan penggerusan
Hambatan
Taraf air dan debit
Endapan melayang dan endapan dasar
Berikut adalah persamaan untuk mendapatkan nilai Manning Equivalent:
7/ /7
∑ g{
y z …………………………………………………………..……(2-59)
{ /7
Dengan:
Neq = Manning Equivalent
N = Manning perimeter basah
P = Panjang perimeter basah (m)
32
Tabel 2. 3
Nilai Koefisien Kekasaran Manning
Harga n
No Tipe Saluran dan Jenis Bahan
Minimum Normal Maksimum
1 Beton
- Saluran lurus dan bebas kotoran 0,010 0,011 0,013
Saluran dengan lengkungan dan sedikit
- 0,011 0,013 0,014
kotoran
- Beton dipoles 0,011 0,012 0,014
- Saluran pembuang dengan bak kontrol 0,013 0,015 0,017
2 Tanah, lurus, dan seragam
Bersih baru 0,016 0,018 0,020
- Bersih telah melapuk 0,018 0,022 0,025
- Berkerikil 0,022 0,025 0,030
Berumput pendek sedikit tanaman
- 0,022 0,027 0,033
pengganggu
3 Saluran alam
- Bersih lurus 0,025 0,030 0,033
- Bersih berkelok - kelok 0,033 0,040 0,045
- Banyak tanaman pengganggu 0,050 0,070 0,080
- Dataran banjir berumput pendek - tinggi 0,025 0,030 0,035
- Saluran di belukar 0,035 0,050 0,070
Sumber: Chow, 1997
2.4.2 Pemodelan dengan aplikasi HEC-RAS V.5.0.7
Software HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk memodelkan aliran sungai.
Dalam analisanya, software HEC-RAS memiliki dua jenis klasifikasi aliran yaitu aliran
berubah beraturan (steady flow) dan aliran berubah tak beraturan atau aliran tak tunak
(unsteady flow).
Berikut merupakan beberapa tampilan dari interface beserta fungsi – fungsi dari
beberapa interface tersebut.
1. Tampilan Utama HEC-RAS
2. Geometric Data
Geometric data adalah fitur untuk input data geometri sungai berupa skema,
potongan melintang sungai, serta berbagai konfigurasi untuk parameter geometri.
Gambar 2. 19. Tampilan umum Boundary Conditions Pada menu Unsteady Flow Data
Sumber: Aplikasi HEC-RAS 5.0.7., 2020
3. Unsteady Flow Data
Unsteady Flow Data merupakan fitur untuk input data hidrologi dan hidraulik. Data
hidrologi yang dimaksud adalah debit banjir rancangan yang telah dianalisis sebagai Flow
hyetograph, debit tambahan yang masuk sebagai lateral flow hyetograph, dan pasang surut
sebagai stage hyetograph.
4. Unsteady Flow Analysis
Unsteady flow analysis merupakan fitur untuk proses data – data yang telah
dimasukan. Dalam prosesnya dapat diatur dari waktu simulasi serta output yang diinginkan.
Gambar 2. 27. Diagram Pengendalian banjir dengan metode struktur dan non-struktur
Sumber: Sosrodarsono (2008, p.8)
38
sungai sehingga mampu untuk menampung debit banjir yang terjadi dan tidak meluap ke
daerah di sekitar alur sungai tersebut.
Gambar 2. 29 Contoh normalisasi sungai
Sumber: Sosrodarsono (2008)
Dalam merencanakan perbaikan alur sungai atau normalisasi, maka diperlukan hal-hal
berikut ini:
1. Kapasitas pengaliran
Kapasitas pengaliran suatu sungai dipengaruhi oleh koefisien kekasaran manning, luas
tampang, kemiringan dasar, dan jari-jari hidrolis. Dalam menentukan kapasitas pengaliran
dapat didekati persamaan kontinuitas dan persamaan manning sebagai berikut ini.
Q = A . V …………………………………………………………….………...(2-60)
A = ( B + mh)h ……………………………………………………..………….(2-61)
V = 1/n . R2/3 . √So……………………………………………….……………..(2-62)
R = A / P …………………………………………………………...…………..(2-63)
P = b + 2h√1+m…………………………………………………..……………(2-64)
Dengan :
Q = debit (m3/dt)
N = nilai kekasaran manning
V = kecepatan aliran (m/dt)
R = jari-jari hidrolis (m)
A = luas penampang basah (m2)
b = lebar dasar saluran (m)
P = keliling penampang basah (m)
h = kedalaman air (m)
z = kemiringan talud
I = kemiringan dasar sungai
Dari persamaan di atas jika R merupakan fungsi h, dengan h yang terjadi merupakan
h maksimum, maka debit pada waktu itu merupakan debit bankfull capacity (kapasitas
pengaliran maksimum suatu tampang). Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa
kapasitas pengaliran suatu tampang sungai dapat mengecil jika nilai kekasaran manning
membesar, demikian pula sebaliknya.
Nilai kekasaran manning dipengaruhi oleh konfigurasi dasar sungai maupun tebing
sungai. Semakin kasar dan tak teratur dasar/tebing sungai maka gaya hambat aliran semakin
41
besar, sehingga akan memperkecil kecepatan air yang berarti juga memperkecil dari
kapasitas tampang sungai. Dari pengertian tersebut maka teknik memperkecil/memperhalus
nilai kekasaran sungai merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan kapasitas aliran
sungai, yang sangat penting dalam rangka pengendalian banjir.
2. Debit banjir rencana
Debit banjir (Qo) umumnya dihitung menggunakan beberapa metode yang ada, seperti
Hidrograf Satuan Sintetis. Selanjutnya agar mendapatkan debit banjir rencana (Qp), maka
hasil perhitungan perlu ditambahkan dengan kandungan sedimen yang terdapat dalam aliran
banjir sebesar 10%, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut (Sosrodarsono (1994, p.328):
|} 1,1 |Z …………………………………………………...………………..(2-65)
Pada perhitungan tersebut, kecepatan aliran dianggap konstan walaupun konsentrasi
sedimennya tinggi.
3. Lebar rencana sungai
Seandainya lebar sungai diperkecil, maka akan lebih besar kemungkinan terjadinya
limpasan atau jebolnya tanggul karena daya tampung sungai berkurang. Di samping itu
kemungkinan dapat terjadi penurunan dasar sungai yang membahayakan bangunan sungai,
mengingat sungai yang semakin dalam akan mempunyai gaya Tarik yang semakin besar.
Sebaliknya, apabila lebar sungai diperbesar, maka lintasan aliran air semakin tidak teratur,
sehingga lintasan aliran banjir tidak dapat dipastikan. Berdasarkan hal yang telah
dikemukakan diatas, maka penentuan lebar rencana sungai adalah salah satu perencanaan
yang penting. (Sosrodarsono, 2008, P.329).
4. Bentuk penampang sungai
Dalam kondisi ketika penampang sungai terlalu lebar dalam menampung debit rencana
kecil sampai sedang, maka aliran banjir tersebut akan mengalir melalui sebagian kecil lebar
sungai. Dalam keadaan demikian aliran banjir sedang dan kecil tersebut akan meningkatkan
intensitas proses meander, maka sungai harus direncanakan dengan penampang ganda (Two-
stage channel). (Sosrodarsono: 1984,p.327)
Penampang ganda adalah saluran yang terdiri dari bagian penampang bawah sebagai
utama dan dataran banjir (flood plain) untuk menampung debit tinggi. Saluran utama
direncanakan untuk menampung debit saat musim kemarau atau debit kala ulang kecil
seperti Q1.1 - Q2 tahun atau debit dominan, lalu untuk saluran kedua diperuntukkan untuk
debit banjir besar seperti Q25 tahun dan seterusnya.
42
]∗C…
= ρs†ρw ………………………………..………………………………(2-69)
ρw
. .‚ƒ
Dengan :
Ѱcr = Gaya seret kritis (N/m2)
cr = Tegangan geser kritis (N/m2)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
44
Dengan:
U* = Kecepatan geser (m/dt)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
Ketika kondisi seperti persamaan diatas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa
butiran diatas permukaan dasar sungai akan mulai bergerak karena dihanyutkan oleh aliran
dan berarti dasar sungai mulai bergerak turun. (Sosrodarsono: 1994, p.331).
Tetapi apabila kondisi seperti persamaan berikut:
‡∗
< 1 ……………………………………………………………….……..(2-70)
‡∗ˆ‰
Dengan:
U* = Kecepatan geser (m/dt)
U*cr = Kecepatan geser kritis (m/dt)
Maka butiran dengan ukuran yang lebih halus akan hanyut dan permukaan dasar
sungai akan tertutup dengan butiran yang lebih besar, atau bisa dikatakan dasar sungai
meningkat. (Sosrodarsono: 1994, p.331).
Perhitungan keseimbangan dinamis
Kemiringan stabil dinamis dapat diperoleh dari formula transportasi sedimen yag
dimodifikasi dan menghasilkan persamaan sebagai berikut: (Sosrodarsono: 1994, p.332).
•‘ –/—
I. ׎• × ×26× ∈
=Œ •
•’
I / ×
………………………………...(2-71)
” BŽ 7/
Dengan:
I = Kemiringan stabil dinamis dasar sungai
qb = Angkutan sedimen muatan dasar
ρw = Kerapatan air
ρs = Kerapatan massa
Dm = Diameter butiran rerata
g = percepatan gravitasi
45
n = koefisien manning
q = debit persatuan lebar
Perubahan kemiringan memanjang
Sebaiknya kemiringan dasar sungai di daerah pengendapan tidak perlu diubah. Jika
memang harus dilakukan perubahan seyogyanya tidak dilaksanakan secara drastic, tetapi
sedikit demi sedikit. Selanjutnya apabila secara mendadak kemiringan dasar sungai menjadi
lebih landau, maka pada titik transisinya terjadi proses pengendapan dan dapat terjadi luapan
dan diikuti dengan penyempitan penampang basah sugai serta di waktu banjir dapat terjadi
luapan yang menimbulkan genangan di sekitar lokasi tersebut. (Sosrodarsono: 1994, p.332).
2.6.2 Tanggul Urugan Tanah
Tanggul urugan merupakan bangunan yang berbahan utama dari tanah yang
dipadatkan untuk menahan luapan banjir dari sungai.
Tabel 2. 4
Hubungan Antara Debit Banjir Rancangan dengan Tinggi Jagaan
Debit Banjir Rancangan Tinggi Jagaan
No
m3/dt m
1 < 200 0.6
2 200 - 500 0.8
3 500 - 2000 1
4 2000 - 5000 1.2
5 5000 - 10000 1.5
6 10000 < 2
Sumber: Sosrodarsono: 1985, p.87
2.6.2.2 Lebar Puncak Tanggul
Lebar puncak tanggul merupakan site yang diperlukan untuk peninjauan atau
pemantauan, jalan inspeksi, maupun jalur untuk melakukan pemeliharaan. Penentuan lebar
puncak tanggul disesuaikan dengan debit banjir rencana, dan tidak boleh kurang dari nilai
yang diberikan pada table 2.2. Bila tanah daratan lebih tinggi dari tinggi muka air banjir
rencana dan bila keadaan topografi cukup baik untuk pengendalian banjir, lebar puncak dapat
dibuat 3 m atau lebih dengan tetap memperhatikan debit banjir rencana.
Tabel 2. 5
Hubungan antara Debit Banjir Rncangan dengan Lebar Mercu
Debit Banjir Rancangan Lebar Mercu
No
m3/dt m
1 < 500 3
2 500 - 2000 4
3 2000 - 5000 5
4 5000 - 10000 6
5 10000 < 7
Sumber: Sosrodarsono: 1985, p.87
2.6.2.3 Jalan Inspeksi
Tanggul hendaknya dilengkapi dengan jalan inspeksi dengan struktur seperti tersebut
di bawah, untuk mengontrol sungai, aktivitas penanggulangan banjir pada saat banjir :
Bila terdapat jalan pengganti, jalan inspeksi tidak perlu dibuat.
Bila tanngul terbuat dari beton atau sheet pile baja atau dari material sejenisnya, tersedia
seluruhnya atau sebagian, atau bila perbedaan tinggi antara tanggul dan permukaan tanah
daratan kurang dari 0,6 m :
47
1. Lebar minimal 3 m
2. Tinggi bersih 4,5 m atau lebih
2.6.2.4 Gradien atau Kemiringan Tanggul
Gradien kemiringan tanggul harus merupakan gradien yang landai sebesar 20 % atau
kurang. Hal ini tidak selalu diperlukan bila permukaan ditutup dengan beton ataupun
material sejenis.
Kemiringan tanggul dapat pula ditentukan dengan mengikuti sudut tenang (angle of
repose) berdasarkan material tanggulnya. Sudut tenang (angle of repose) adalah suatu sudut
dimana material utama pada material berbutir akan secara alami mengalami kestabilan.
Sudut tenangadapat berkisar dari 0° hingga 90°. Bahan yang berbeda memiliki sudut tenang
yang berbeda karena ukuran, sifat, dan kekasaran partikel senyawa tersebut.
Tabel 2. 6
Sudut Tenang (Angle Of Repose) dari beberapa material
Material Angle of repose
Ashes 40°
Asphalt (crushed) 30–45°
Bark (wood refuse) 45°
Chalk 45°
Clay (dry lump) 25–40°
Clover seed 28°
Coconut (shredded) 45°
Coffee bean (fresh) 35–45°
Earth 30–45°
Flour (corn) 30–40°
Flour (wheat) 45°
Granite 35–40°
Gravel (crushed stone) 45°
Gravel (natural w/ sand) 25–30°
Malt 30–45°
Sand (dry) 34°
Sand (water filled) 15–30°
Sand (wet) 45°
Snow 38°
Wheat 27°
Sumber: Glover T.J, 1997
48
Indonesia menunjukkan berbagai macam daerah dan risiko. Dalam jenis bangunannya, tiap
jenis bangunan memiliki persyaratan gempa tersendiri.
Persyaratan gempa untuk dinding penahan mengacu pada AASHTO (American
Association of State Highway and Transportation Officials) Bridge Design Specification
(2012). Pendekatan yang sesuai dalam evaluasi gaya gempa pada dinding penahan harus
sesuai dengan kondisi dan batasan yang disyaratkan oleh masing – masing persamaan
sebagai berikut:
1. Pendekatan pseudostatik menggunakan pendekatan Mononobe (1929) dan Okabe
(1926) dengan asumsi, abutmen bebas berdeformasi sedemikian hingga memberikan
kondisi tekanan aktif, timbunan di belakang abutmen bersifat nonkohesif dengan
sudut geser dalam, dan timbunan tidak jenuh sehingga tidak ada pengaruh likuifaksi.
Rumus Koefisen Aktif dimodifikasi sebagai berikut:
Dengan :
KAE = Koefisien aktif dengan tekanan seismik
γ = Berat jenis tanah (kN/m3)
ϕ = Sudut geser tanah
ƟMO = Arc tan (Kh/(1-Kv))
Kh = Koefisien gempa horizontal
K = Koefisien gempa vertikal
i = Kemiringan isian di belakang dinding
Β = Kemiringan dinding
2. Pendekatan modifikasi Mononobe – Okabe dengan mempertimbangkan kohesi tanah
dengan menggunakan persamaan Anderson (2008), yang mengasumsikan koefisien
seismik vertikal (Kv) = 0 dan koefisien seismik horizontal (Kh) = PGA yang telah
disesuaikan dengan kondisi situs.
Pada persyaratan gempa untuk lereng SNI 8460:2017, percepatan puncak di
permukaan tanah dapat mengakibatkan gaya – gaya inersia signifikan pada lereng atau
timbunan dan gaya tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan atau deformasi
permanen. Analisa performa lereng dan timbunan terhadap beban seismik dapat
dilakukan menggunakan dua pendekatan sebagai berikut.
1. Metode kesetimbangan batas (limit equilibrium methods) menggunakan gaya
seismik yang direpresentasikan dalam model pseudostatik. Koefisien seismik yang
50
atau,
∑²
F + ∑ ²R ……………………………………………………………………..…….…..(2-70)
³
51
Lengan momen dari berat massa tanah tiap irisan adalah R sin θi, maka:
∑Md = R ∑i=n Wi sin θi ……………………………...……………………………….(2-71)
Dengan:
R = jari – jari lingkaran bidang longsor
n = jumlah irisan
Wi = berat massa tanah irisan ke-i
θi = sudut irisan terhadap bidang longsor
Momen yang menahan tanah akan longsor dihitung sebagai berikut:
∑Mr = R ∑i=n(cai + Ni + tan φ) …………………………………………………….(2-72)
∑ 5·
5 C ' µ CGNµ CGN K K ∅
´ ∑ 5· ………………………………………….(2-73)
† µM NM nM
Dengan:
F = faktor aman
c = kohesi tanah (kN/m2)
φ = sudut geser dalam tanah
ai = panjang lengkung lingkaran pada irisan ke-i (m)
Wi = berat irisan tanah ke-i (kN)
ui = tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2)
θi = sudut irisan terhadap bidang longsor
T = W sin α…………………………………………………………………….…(2-76)
Te = e W cos α ……………………………………………………………….……(2-77)
Dengan persamaan yang telah disebutkan, rumus faktor aman dengan kondisi saat gempa
dapat dihitung sebagai berikut: (Hardiyatmo, 2010)
∑ 5·
5 C ' KK ¹
´ ∑ 5·
¸
…………………………………………….……(2-78)
† '
Untuk angka keamanan pada tanggul urugan biasa digunakan nilai Fs ≥ 1.5 agar lereng aman
dari bahaya keruntuhan.
2.7.4 Stabilitas Lereng dengan Metode Simplified Bishop
Pada analisis stabilitas lereng terhadap kelongsoran dengan metode simplified Bishop
beranggapan bahwa gaya yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada arah
vertikal. Persamaan kuat geseer dalam tinjauan tegangan efektif yang dapat dikerahkan
tanah, hingga tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan memperhatikan faktor aman,
dihitung sebagai berikut:
Ca -©B ¹a
º + ¼−½ ……………………………………………………………..…..(2-79)
» »
Untuk irisan, nilai T = τa, yaitu gaya geser yang dikerahkan tanah pada dasar bidang longsor
untuk keseimbangan dinyatakan oleh persamaan sebagai berikut:
Ca -©B ¹a
¾ »
+ yM − ½M ¿M »
………………………………………………………….(2-80)
Kondisi skeseimbangan momen dengan pusat rotasi O antara berat massa tanah yang akan
longsor, dinyatakan dengan persamaa sebagai berikut:
∑ wM ,M ∑ ¾M À……………………………………………………………….……….(2-81)
Dengan x adalah jarak W ke pusat rotasi O. Maka persamaan (2-82) dan (2-83) dinyatakan
sebagai berikut:
F ∑ 5·
5 C ' K ¹
F= 5· …………………………………...………………….(2-82)
∑ 5 µ g
Dengan Ni’= N1-uiai substitusi persamaan 2-82 dan 2-83, diperoleh menjadi persamaan
seperti berikut:
U# 'Â# Â#m §# ©# Ÿ TÄ# Ÿa©# T3BÄ3/Å
N3 …………………………………….…..…..(2-85)
Ÿ TÄ# 'T3BÄ# -©BÆÇ /Å
53
Subtitusi persamaan (2-85) dengan (2-82), maka diperoleh persamaan sebagai berikut:
‘# mÉ# †É#m †Ê# È# ˆË’Ì# †ˆÇÈ# ’#ÍÌ#/Î
c ∑#5Í ÇÈ#
#5 Ÿ '-©BÆa ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F ………….…………(2-86)
∑#5Í
#5 Ñ# T3BÄ#
c ∑#5Í
#5 Ÿ
Ç•# ' µ ] Ò -©BÆa
ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F ………………………..(2-89)
∑#5Í
#5 Ñ# T3BÄ#
Dengan :
F = Faktor aman
C’ = kohesi tanah (kN/m2)
φ' = sudut geser dalam tanah
bi = lebar irisan ke – i (m)
Wi = berat irisan ke – i (kN)
Ɵi = sudut irisan terhadap bidang longsor
ui = tekanan air pori pada irisan ke – i (kN/m2)
Persamaan diatas merupakan persamaan faktor aman kondisi tanpa gempa, sedangkan
persamaan untuk faktor aman dengan kondisi gempa memperhitungkan beban seismic pada
momen tahanan geser bidang longsor dan momen dari berat massa tanah yang longsor beban
seisimik dinotasikan sebagai (e).
Momen pada bidang longsor tiap irisan agar lebih sederhana, diberikan persamaan
sebagai berikut:
N = Wi - uibi………………………………………………………………………(2-90)
Ne = e (Wi uibi) …………………………………………………………………....(2-91)
T = W sin a ………………………………………………………………………(2-92)
Te = e W cos a ………………………………………………………………….…(2-93)
Dengan persamaan tersebut, rumus faktor aman dengan kondisi gempa dapat dihitung
sebagai berikut (
c ∑#5Í
#5 Ÿ
Ç•# ' -©BÆa
ˆË’Ì# m’#ÍÌ# ÏÈÍÐÇ /Î
F #5Í …………………….……(2-94)
∑#5 Ã'ë
54