Anda di halaman 1dari 8

BAB V

PEMBAHASAN

A. Dukungan Keluarga Dengan Pasien Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di


Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Dukungan Keluarga Dengan Pasien


Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri
diketahui bahwa sebagian besar responden sebanyak 22 (73%) responden dalam
kategori Baik. Hal ini sesuai dengan hasil kuesioner bahwa keluarga selalu menunjukan
wajah menyenangkan saat membantu responden dan selalu merawat dengan penuh
kasih sayang dan tulus dan iklas. Anggota keluarga juga selalu meluangkan waktu,
mendengar dan menanyakan keluhan yang dirasakan responden dan keluarga tidak
membiarkan responden sendiri saat menghadapi masalah. Selain itu pula keluarga selalu
mengetahui jadwal pemeriksan fisioterapi pada responden dan bahkan anggota keluarga
juga mempersiapkan dana khusus untuk biaya berobat. Anggota keluarga juga selalu
mengajari responden tentang hal-hal yang harus dihindari selama perawatan fisioterapi
dan memberi pujian atas sikap responden yang dilakukan secara benar dalam arah
perawatan, keluarga memberikan susana ketenangan dan nyaman kepada responden
dirumah, keluarga (suami,orang tua, mertua, anak dan saudara) selalu menyediakan alat
transportasi kepada responden untuk pergi menjalani fisioterapi di rumah sakit dan
keluarga selalu bersikap halus dan menerima bila ada sikap negatif yang muncul dari
responden.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Usia dengan Dukungan Keluarga Dengan
Pasien Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota
Kediri diketahui bahwa sebagian besar responden dengan Usia 25-35 Tahun sebanyak
17 (56%) responden dalam kategori Baik. Hal ini menunjukan bahwa semakin matang
usia responden maka semakin baik dukungan yang diberikan kepada anggota keluarga
yang menjalani fisioterapi neurolog. Notoatmodjo (2019), menjelaskan bahwa semakin
matang usia seseorang maka sikap dan perilakunya akan semakin positif terhadap
kesehatan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Pendidikan dengan Dukungan Keluarga
Dengan Pasien Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri diketahui bahwa hampir setengah dari responden dengan tingkat
pendidikan SMA sebanyak 14 (44%) responden dalam kategori Baik. Hal ini
menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan responden maka dapat memberikan
informasi dan mengajari responden tentang hal-hal yang harus dihindari selama
perawatan fisioterapi bahkan anggota keluarga selalu mengetahui jadwal pemeriksan
fisioterapi. Hal ini pula didukung dengan pengalaman anggota keluarga dalam
perawatan anggota keluarganya yang sakit. Notoatmodjo (2019) mengatakan bahwa
pendidikan merupakan pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang dapat
memahami sesuatu yang belum tahu menjadi tahu. Pengalaman itu terjadi karena ada
interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu
menimbulkan proses perubahan pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu
menghasilkan perkembangan bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam
lingkungannya.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Pekerjaan dengan Dukungan Keluarga
Dengan Pasien Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri diketahui bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai IRT sebanyak
16 (53%) responden dalam kategori Baik. Hal ini menunjukan bahwa dengan pekerjaan
anggota keluarga sebagai ibu rumah tangga maka selalu memiliki banyak waktu untuk
dapat mengantarkan pasien dalam menjalani fisioterapi neurologi. Hal ini selalu aktif
dilakukan ketika tiba jadwal pemeriksaan. Manuaba (2019), mengatakan bahwa
seseorang yang tidak bekerja akan memiliki banyak waktu untuk dapat melakukan
pemeriksaan kesehatan dirinya bahkan anggota keluarga yang sakit.
Pasien stroke menjalani fisioterapi sangat bergantung kepada dukungan keluarga,
semakin tinggi dukungan keluarga maka kepatuhan pasien menjalani fisioterapi akan
semakin membaik pula, tanpa ada dukungan keluarga fisioterapi tidak dapat dilakukan
sesuai jadwal. Dukungan keluarga suatu system support yang di berikan keluarga
kepada anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan dimana di dalamnya
terdapat dukungan emosional, informasional, instrumental dan penghargaan dengan
harapan keluarga yang sakit dapat pulih ataupun meminimalisir dampak lain dari
gangguan kesehatan yang dialami terutama kecemasan dalam diri pasien stroke
(Radiani, 2018). Kecemasan yang dimiliki pasien tidak dapat memberikan pandangan
yang positif terhadap penyakitnya, sehingga pasien terus merasa tidak puas terhadap
kehidupan yang dijalanakannya, menyebabkan semakin rendahnya kualiats hidup
mereka. Sehingga dukungan keluarga sangat penting bagi pasien dalam menjalani
fisioterapi neurologi (Ja'man, 2019).
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
anggotanya. Anggota keluarga meyakini bahwa orang yang bersifat mendukung selalu
siap memberikan pertolongan dan pendampingan kepada keluarga yang menjalani
pengobatan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat diperoleh dari anggota keluarga
(suami, istri, anak, dan kerabat), teman dekat atau kerabat (Ani, 2020). Pasien stroke
memerlukan perawatan jangka panjang, khususnya di rumah setelah pulang. Dengan
demikian, pasien stroke memerlukan dukungan emosional, informasional, instrumental
dan dukungan penuh rasa syukur dari anggota keluarga untuk mendukung kehidupan
mereka (Eni, 2021).
Dukungan emosional bertindak sebagai pintu gerbang ke relaksasi dan pemulihan,
membantu untuk mengatasi emosi, dan meningkatkan moral dalam keluarga. Dukungan
emosional termasuk mengekspresikan empati, perhatian, pemberian semangat,
kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan emosional. Dukungan emosional termasuk
mengekspresikan empati, perhatian, dorongan, kehangatan pribadi, cinta, atau dukungan
emosional. Ini melibatkan semua tindakan yang meningkatkan kenyamanan dan
membuat individu percaya bahwa dia dikagumi, dihormati dan dicintai, dan bahwa
orang lain bersedia untuk memperhatikan. Misalnya, keluarga selalu mengindahkan
keluhan pasien, menjaga hati pasien agar tidak tersinggung, menghibur pasien saat
sedih, dan mengutarakan kasih sayang dalam kata-kata dan tindakan (Eni, 2021).
Dukungan informasi diberikan oleh keluarga berupa nasehat, saran dan diskusi
untuk mengulas cara menanggulangi atau mengatasi suatu masalah. Misalnya anggota
keluarga penderita stroke selalu memberikan saran tentang pola makan dan gaya hidup
yang dapat menyebabkan terjadinya stroke, memberikan informasi tentang cara
pengobatan, dan mengingatkan penderita stroke untuk kontrol dan melakukan aktivitas
fisik. Dukungan instrumental merupakan dukungan yang diberikan secara langsung
oleh keluarga, yang meliputi bantuan material seperti memberikan tempat tinggal,
meminjamkan atau memberikan uang dan bantuan dalam pekerjaan rumah sehari-hari.
Misalnya keluarga menyediakan finansial yang cukup untuk perawatan dan pengobatan
(Eni, 2021).
Dukungan penghargaan, keluarga adalah sumber untuk mengidentifikasi anggota,
bertindak sebagai sistem umpan balik untuk mengarahkan dan mengatasi pemecahan
masalah. Dukungan penghargaan diberikan melalui ungkapan rasa syukur, termasuk
evaluasi positif dan pikiran positif, dan tindakan orang lain yang berbanding lurus satu
sama lain. Misalnya ketika pasien stroke mengalami kemajuan, keluarga memberikan
pujian, semangat dan tetap meminta pendapat kepada pasien dalam memecahkan
masalah keluarga sehingga pasien tetap merasa dihargai (Eni, 2021).
Menurut pendapat peneliti bahwa dukungan keluarga sangat membantu pasien
stroke untuk selalu aktif menjalani fisioterapi neurologi, sehingga pasien selalu
mendapatkan perawatan yang optimal dari tenaga kesehatan. Keluarga yang mampu
memberikan dukungan secara menyeluruh yang mencakup bio, psiko, social kepada
pasien stroke, risiko terjadinya depresi dapat dihindari. Dukungan baik yang diterima
pasien menunjukkan pasien membutuhkan kehadiran keluarga. Karena keluarga
merupakan orang yang paling dekat dengan pasien memberikan dukungan berupa
informasi, bantuan, dan perhatian. Dukungan baik dari keluarga dapat membuat pasien
mengalami stres ringan. Maka sangat di perlukan dukungan moril maupun material agar
pasien merasa terkurangi beban dalam menjalani perawatan. Selain itu pula keluarga
memiliki peran sistem pendukung utama dalam memberi perawatan langsung pada
setiap keadaan sehat-sakit anggota keluarganya. Dukungan keluarga yang tinggi akan
menunjukkan penyesuaian yang lebih baik terhadap kondisi kesehatan anggota
keluarganya. Dengan diberikannya dukungan kepada pasien stroke meraka akan merasa
bahwa dirinya dibutuhkan, diperhatikan dan meraka merasa dirinya tidak berbeda
dengan orang lain yang keadaan fisiknya jauh lebih kuat darinya.

B. Tingkat Kecemasan Pasien Stroke Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di


Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Tingkat Kecemasan Pasien Stroke


Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri
diketahui bahwa hampir seluruh responden sebanyak 24 (80%) responden dalam
kategori Kecemasan Ringan. Hal ini didukung dengan hasil kuesioner bahwa keluarga
selalu mengambil keputusan sendiri untuk mengantarkan pasien menjalani fisioterapi di
rumah sakit. Keluarga juga selalu mengurus segala persiapan ketika pasien menjalani
fisioterapi. Pasien juga mengatakan anggota keluarga selalu mengkhawatirkan kondisi
pasien dan selalu menemani pasien selama persiapan menjelang fisioterapi. Responden
juga mengatakan bahwa tenaga kesehatan selalu memperhatikan kondisi pasien dan
selalu memberikan informasi dan penjelasan tentang fisioterapi kepada keluarga dan
pasien. Tenaga kesehatan juga selalu mengerti benar kebutuhan pasien, tidak ragu-ragu
menjawab pertanyaan pasien dan keluarga, petugas kesehatan juga tidak melakukan
kesalahan pada saat fisioterapi dan mengetahui prosedur tindakan yang akan dilakukan.
Dengan demikian kecemasan responden dalam kategori ringan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Usia dengan Tingkat Kecemasan Pasien
Stroke Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota
Kediri diketahui bahwa sebagian besar responden dengan Usia 25-35 Tahun sebanyak
19 (63%) responden dalam kategori Kecemasan Ringan. Hal ini menunjukan bahwa
semakin matang usia responden maka semakin baik perilakunya untuk patuh menjalani
fisioterapi neurologi dirumah sakit. Notoatomdjo (2019), mengatakan bahwa usia
seseorang merupakan faktor penentu sikap dan perilaku seseorang dalam melakukan
suatu aktifitas dimana semakin bertambahnya usia seseorang maka perannya akan
semakin baik begitupun sebaliknya.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Pendidikan dengan Tingkat Kecemasan
Pasien Stroke Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri diketahui bahwa setengah dari responden dengan tingkat pendidikan SMA
sebanyak 15 (50%) responden dalam kategori Kecemasan Kecemasan Ringan. Hal ini
menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan responden maka semakin baik sikap dan
perilakunya dalam mengambil keputusan untuk menjalani fisioterapi neurologi dirumah
sakit. Notoatmodjo (2019), mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Dengan pengetahuan tersebut maka seseorang akan lebih
mengetahui sesuatu yang ingin dilakukan ataupun tidak untuk dilakukan. Sebaliknya
pendidikan seseorang yang kurang akan menghambat perkembangan sikap dan perilaku
seseorang terhadap nila-nilai baru yang diperkenalkan terutama sikap pasien stroke
dalam menjalani fisioterapi neurologi dirumah sakit.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara Pekerjaan dengan Tingkat Kecemasan
Pasien Stroke Yang Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara
Kota Kediri diketahui bahwa sebagian besar responden bekerja sebagai IRT sebanyak
17 (56%) responden dalam kategori Kecemasan Ringan. Hal ini menunjukan bahwa
dengan adanya perkerjaan keluarga sebagai petani maka selalu memiliki waktu untuk
mengantarkan responden dalam menjalani fisioterapi dirumah sakit. Nrusalam (2019),
mengatakan bahwa seseorang yang tidak bekerja maka dapat memiliki banyak waktu
luang bersama keluarga dan bahkan selalu bersedia untuk mengatarkan anggota
keluarganya selama perawatan dirumah sakit.
Kecemasan adalah perasaan dan pengalaman individu yang bersifat subyektif dan
respon emosional yang menimbulkan ketidak nyamanan, perasaan tidak pasti,
ketidakberdayaan, ketidak nyamanan kognitif, psikomotor dan respon fisiologis sulit
tidur, jantung berdebar dan perubahan tanda-tanda vital. Sedangkan kecemasan sedang
yaitu memungkinkan seseorang untuk memusatkan padahal yang penting dan
mengesampingkan yang lain, sehingga sesesorang mengalami perhatian yang selektif
namun dapat melalukukan sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan. Kecemasan ini
mempersempit lapang presepsi individu. Tingkat kecemasan sedang ditandai dengan
respon fisiologis (sesak nafas, tekanan darah naik, anoreksia, diare, gelisah) respon
kognitif (lapang presepsi menyempit, rangsang luar tidak diterima, berfokus pada apa
yang menjadi perhatiannya) dan repon perilaku dan emosional (gerakan tersentak-
sentak, perasaan tidaknyaman dan bicara banyak dan cepat. Faktor-faktor yang bias
mempengaruhi kecemasan sedang yaitu minimnya pengetahuan responden mengenai
sehat sakit sehingga muncul perasaan cemas.
Kecemasan pasien stroke menjalani fisioterapi salah satu sinyal terhadap gangguan
aktivitas/mobilitas yang di alami pasien stroke dalam waktu lama dapat mengakibatkan
dampak psikologis terutama bisa meningkatkan kecemasan. Kondisi kecemasan
tentunya bisa di pahami karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki penderita
menjadi terganggu dan tidak sedikit akibat menderita sakit yang terlalu lama penderita
akan mengalami kecemasan bahkan sampai paniksebagai respon terhadap kebutuhan
dasar yang terganggu. Kecemasan menunjukkan ketegangan dalam saraf-sarafnya
karena memiliki perasaan berada pada situasi yang mengancam akibat dari perubahan
kondisi kehidupan, kecemasan dapat berkembang menjadi penyakit fisik dan gangguan
yang lain apabila tidak mendapatkan penanganan dengan baik.
Bila kecemasan sedang berlangsung terus menerus dan tidak di intervensi maka
tidak menutup kemungkinan kecemasan sedang ini akan meningkat menjadi kecemasan
berat atau bahkan berat sekali/panik. Disinilah peran perawat sangat dibutuhkan untuk
mengatasi kecemasan sedang yang dialami klien agar kecemasan klien tidak naik ke
tingkat yang lebih tinggi. Intervensi yang bias dilakukan untuk mengatasi kecemasan
sedang adalah bantu klien mengidentifikasi dan perasaannya, kenali sumber kecemasan
dengan menjadi pendengar yang baik, menggunakan komunikasi terapetik yang baik
untuk memberikan dukungan terhadap ekspresi perasaan klien serta membantu klien
menganalisis penyebab kecemasannya, bantu klien mengidentifikasi cara untuk
membangun kembali pikiran, memodifikasi perilaku, dorong klien untuk melakukan
aktifitas fisik untuk mengeluarkan energi, libatkan orang terdekat sebagai sumber dan
dukungan social dalam membantu klien mempelajari respons koping yang baru, ajarkan
klien tentang teknik relaksasi untuk meningkatkan kendali dan percaya diri dan
mengurangi stress dan dorong klien untuk menggunakan respons koping adaptif yang
efektif dengan tujuan klien akan menunjukan cara koping adaptif terhadap stress
sehingga kecemasan klien akan menurun pada tingkat kecemasan ringan (Ade, 2021).
Menurut pendapat peneliti bahwa keluarga harus selalu memberikan informasi
kepada pasien tentang pentingnya menjalani fisioterapi dirumah sakit dan keluarga juga
selalu rutin mengntarkan pasien untuk dapat menjalani fisioterapi neurologi. Disamping
itu juga diharapkan agar keluaga dapat menurunkan tingkat kecemasan responden
dengan mencari dukungan pada kerabat, perawat dan mencari informasi tentang
keadaan dan kondisi pasien serta mendekatkan diri pada Tuhan. Selain itu pula petugas
kesehatan lebih berusaha mengenal perasaan keluarga pasien lebih mendalam, dengan
meningkatkan komunikasi dan memberikan informasi tentang keadaan dan kondisi
pasien, menjadi pendengar yang baik, melakukan pendekatan dengan keluarga pasien
sehingga membantu mengurangi kecemasan dan dapat memberikan kenyamanan bagi
keluarga pasien .
C. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Stroke Yang
Menjalani Fisioterapi Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri

Hasil analisa data menunjukan bahwa tingkat signifikansi 0,000 < α = 0,05
sehingga H0 ditolak dan H1 diterima dengan demikian ada hubungan Dukungan
Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Stroke Yang Menjalani Fisioterapi
Neurologi Di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri. Hasil tabulasi silang antara
dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien stroke yang menjalani fisioterapi
neurologi di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri diketahui sebagian besar responden
sebanyak 22 (73%) responden dalam kategori Baik sehingga tingkat kecemasan dalam
kategori ringan.
Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi.
Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman, takut atau memiliki firasat akan
terjadi malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut
terjadi (Muwarni, 2018). Cemas bisa terjadi pada siapa saja baik orang sehat atau
sakit.bagi orang sakit kecemasan akan meningkat, terlebih jika yang bersangkutan
didiagnosa menderita penyakit terminal seperti stroke yang dipandang oleh masyarakat
sebagai penyakit penyebab kamtian. Pihak keluarga juga merasa cemas jika yang sakit
adalah orang yang sangat dicintai, sebagai tulang punggung keluarga atau sumber dari
segalanya bagi keluarga.
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman
baru serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Nevid, 2019). Supartini
(2020) berpendapat bahwa seseorang akan merasa takut dan cemas akan biaya yang
harus dikeluarkan untuk perawatan anggota keluarganya. Pembiayaan yang harus
dikeluarkan membuat orang dituntut untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar.
Orang akan melakukan aktivitas pekerjaan dengan maksimal dengan harapan
penghasilannya akan bertambah.
Penyebab cemas bagi keluarga pasien yang dirawat di Unit Stroke: terpisah secara
fisik dengan keluarga yang dirawat di Unit Stroke, merasa terisolasi secara fisik dan
emosi dari keluarganya yang lain yang sehat, dukungan moral yang tidak kuat atau
keluarga yang lain tidak bisa berumpul karena bertempat tinggal jauh, takut kematian
atau kecacatan tubuh terjadi pada keluarga yang sedang dirawat kurangnya informasi
dan komunikasi dengan staf Unit Stroke sehingga tidak tahu perkembangan kondisi
pasien, tarif Unit Stroke yang mahal, masalah keuangan, terutama jika psien adalah
satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga, lingkungan Unit Stroke atau ruangan yang
penuh dengan peralatan canggih, bunyi alarm, banyaknya selang yang terpasang di
tubuh pasien. Jika ada gangguan kesadaran, sulit atau tidak bisa berkomunikasi diantara
pasien dengan keluarganya dapat meningkatkan stress pada keluarga. Jam besuk yang
dibatasi, ruangan Unit Stroke yang sibuk dan suasananya yang serba cepat membuat
keluarga merasa tidak disambut atau dilayani dengan baik (Tryas, 2018).

Anda mungkin juga menyukai