Anda di halaman 1dari 19

PROJECT

BIOKIMIA NUTRISI

“Bioanalisa / Analisa Klinik & Kaitannya dengan Gangguan Metabolisme”

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ida Duma Riris, M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 9 :

Feriaman Sibarani (4193141019 )

Syaharani Sara (4201131019)

Yuni Annisya (4201131024)

PRODI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat yang telah di berikan-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas Project yang berjudul “Bioanalisa / Analisa Klinik &
Kaitannya dengan Gangguan Metabolisme” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari critical book review ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Biokimia Nutrisi dengan Ibu Prof. Ida Duma Riris,M. Si. selaku dosen
pengampu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat
dan membagi pengetahuannya melalui buku sehingga penulis dapat menyelesaikan Project
ini. Penulis menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Atas
perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Kelompok 9
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan metabolisme telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dan
tantangan klinis di seluruh dunia berkaitan dengan urbanisasi, asupan energi yang
berlebihan, peningkatan kejadian obesitas dan gaya hidup sedentary serta terkait
dengan dampak yang ditimbulkannya. Angka kejadian sindroma metabolik semakin
meningkat sejalan dengan terjadinya modernisasi, perubahan pola makan serta
kurangnya aktivitas fisik. Berbagai faktor dapat berkontribusi dalam terjadinya
sindrom metabolik yaitu usia, genetik, gaya hidup, konsumsi pangan, dan tingkat
sosial ekonomi.
Bioanalisis merupakan ilmu terapan dari kimia analisis yang menganalisis
secara kualitatif maupun kuantitatif suatu analit maupun metabolit dalam sampel
biologis. Bioanalisis untuk menentukan atau menetapkan kadar zat-zat xenobiotic
(obat dan metabolitnya) serta zat biotic (makromolekul, protein, DNA, molekul obat
yang besar) dalam matriks biologi. Bioanalisis memberikan dukungan yang besar
terhadap kemajuan berbagai aspek ilmu yang lain, diantaranya untuk pengembangan
obat baru, studi bioavailabilitas dan bioekivalensi, uji toksikokinetik, uji
farmakokinetik dan uji farmakodinamik. Bioanalisis juga memberikan dukungan
dalam pengujian penyalahgunaan obat dan farmasi forensik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bioanalisa / analisa klinis?
2. Masalah apa yang terdapat pada bioanalisa / analisa klinis dan gangguan
metabolisme?
3. Permasalahan apa yang sering terjadi pada bioanalisa / analisa klinis dan
gangguan pada metabolisme?
4. Bagaimana solusi terhadap permasalahan pada bioanalisa / analisa klinis dan
gangguan pada metabolisme?

C. Tujuan
1. Dapat menegetahui apa yang dimaksud dengan bioanalisa / analisa klinis
2. Dapat mengetahui masalah apa yang terdapat pada bioanalisa / analisa klinis dan
gangguan metabolisme?
3. Dapat mengetahui permasalahan apa yang sering terjadi pada bioanalisa / analisa
klinis dan gangguan pada metabolisme?
4. Dapat mengetahui bagaimana solusi terhadap permasalahan pada bioanalisa /
analisa klinis dan gangguan pada metabolisme?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bioanalisis merupakan ilmu terapan dari kimia analisis yang menganalisis secara
kualitatif maupun kuantitatif suatu analit maupun metabolit dalam sampel biologis.
Bioanalisis memberikan dukungan yang besar terhadap kemajuan berbagai aspek ilmu
yang lain, diantaranya untuk pengembangan obat baru, studi bioavailabilitas dan
bioekivalensi, uji toksikokinetik, uji farmakokinetik dan uji farmakodinamik. Bioanalisis juga
memberikan dukungan dalam pengujian penyalahgunaan obat dan farmasi forensik.
Sampel biologis yang paling umum digunakan untuk bioanalisis obat adalah plasma,
serum, darah total, dan saliva. Penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel biologis
merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data Pengembangan Obat
(Uji pra klinis dan klinis obat baru) Farmakokinetika, Monitoring Obat. Penggunaan
KCKUTSM/SM ditambah dengan prosedur ekstraksi yang optimal dapat menjadi solusi yang
kompetitif untuk menganalisis kadar analit dan metabolit yang kompleks di dalam sampel
biologis.
Penentuan kadar obat dalam sampel biologis merupakan hal yang sangat penting
dalam evaluasi dan interpretasi data farmakokinetika. Cairan biologis yang umum digunakan
untuk analisis adalah darah, plasma (serum), dan urin. Analisis konsentrasi obat dalam darah
biasanya tidak digunakan dalam farmakokinetik karena darah merupakan sistem fisik
kompleks yang mengandung sel darah merah, sel darah putih dan platelet yang tersuspensi
dalam plasma. Darah dengan elemen selular yang telah dihilangkan dengan sentifugasi
(plasma) atau pembekuan (scrum) lebih disukai (Rosenbaun., 2011). Sampel biologis yang
paling umum digunakan adalah plasma karena hubungan konsentrasi obat dalam plasma
dengan efek terapetik yang ditimbulkan baik (Kelly., 1992).

Pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk
pemantauan pengobatan dan memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat dan mengoptimasi
terapi (Shargel., 2005). Salah satu keuntungan dari KCKT adalah dapat menghitung sampel
dengan kadar yang sangat rendah sehingga dapat digunakan untuk konsentrasi obat dalam
plasma yang diukur mencapai level mikrogram sampai nanogram atau pikogram (Johnson &
Stevenson, 1991).
Pada matriks biologis seperti plasma mengandung sejumlah besar komponen endogen
yang dapat menggangu analisis dimana sebagian besar obat akan berikatan dengan protein
plasma sehingga harus dibebaskan terlebih dahulu. Oleh karena itu, diperlukan preparasi
sampel dengan tujuan agar dapat memisahkan atau mengisolasi obat yang akan ditentukan
dari komponen endogen plasma yang dapat mengganggu analisis, membebaskan obat dari sisi
pengikatan protein dan memekatkan obat agar diperoleh analisis yang sensitif. Kegiatan
preparasi sampel merupakan hal penting dalam bioanalisis (Harahap, 2010).

Tahap-tahap Analisis Sampel Biologis


a. Preparasi sampel (pengendapan protein)
Kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan
dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum
penentuan kadar obat dapat dilakukan. Pengendapan protein dilakukan dengan
denaturasi protein. Denaturasi dapat dilakukan akibat adanya perubahan pH,
temperature, dan penambahan senyawa kimia. Cara denaturasi protein yang umum
digunakan adalah dengan penambahan precipitating agent (TCA, ammonium sulfat,
zink sulfat, pelarut organik)
b. Trikloro asetat (TCA)
Mekanisme TCA 10 % sebagai agen presipitasi yakni ion negatif dari TCA
akan bergabung dengan protein yang sedang berada pada kondisi sebagai kation (pH
larutan dalam kondisi asam hingga pH isoelektrik protein) hingga membentuk garam
protein. Beberapa garam yang dihasilkan tersebut tidak larut dengan demikian
metode ini dapat digunakan untuk memisahkan protein dari larutan. Umumnya agen
presipitasi akan melarut sedangkan garam protein akan terdekomposisi dengan adanya
penambahan basa (membentuk protein yang bermuatan negatif atau anionic protein).
TCA umumnya digunakan untuk protein-protein yang telah berada dalam keadaan
bebas pada filtrat darah dan pada pemeriksaan awal materi biologis. Bila protein
belum berada dalam kondisi yang bebas maka perlu penambahan asam tanin, dimana
tanin akan bereaksi dengan protein kulit membentuk protein tanat yang tidak larut.
c. Ammonium Sulfat
Larutan (NH4)2SO4 merupakan garam dengan konsentrasi tinggi. Mekanisme
(NH4)2SO4 sebagai anti presipitasi protein dikenal sebagai salting out, yakni
penurunan kelarutan protein dengan adanya peningkatan konsentrasi garam. Sifat ini
terjadi karena kemampuan ion garam untuk terhidrasi dan terjadi kompetisi antara
garam dengan molekul protein untuk mengikat air. Sehingga interaksi antara air
dengan gugus polar dari protein menurun, mengakibatkan pengendapan protein
tersebut.
d. Pelarut Organik
Pelarut organik secara umum dapat digunakan untuk mengendapkan protein
tergantung dari ukuran molekul, besar molekul dan konsentrasi pelarut organik
tersebut. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang dapat bercampur dengan air
seperti; Metanol, Etanol, dan Asetonitril. Pengendapan ini berkaitan dengan titik
isoelektrik (pI) protein, dimana semakin jauh dari titik isoelektrik maka kelarutan
akan semakin meningkat dan semakin dekat dengan titik isoelektrik maka kelarutan
akan semakin menurun. Penambahan larutan organik pada larutan protein dalam air
akan menurunkan Kd (Konstanta Dielektrik) pelarut/air yang meningkatkan tarikan
antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein.
Selain itu pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air di sekitar
daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga
menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan
menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan.
Metanol: volume sama banyak atau 2x dari volume plasma
Etanol: volume sama banyak atau 2x dari volume plasma. Dibandingkan metanol,
etanol lebih efektif karena semakin panjang rantai alkohol semakin mudah
mendenaturasi protein.
Asetonitril: volume sama banyak dengan volume plasma digunakan, Asetonitril
merupakan pelarut terbaik yang memberikan presentasi pengendapan tertinggi
dengan rasio volume terhadap plasma terendah.

Beberapa teknik preparasi sampel yang digunakan untuk mengisolasi obat dari
matriks biologis antara lain:

a. Pengendapan protein
Pada metode ini, dapat dilakukan dengan cara penambahan asam atau pelarut
organik untuk mendenaturasi dan mengendapkan protein. Penambahan asam pada
kosentrasi 5-20% seperti asam trikloroasetat (TCA) dan asam perkolat, sangat efesien
untuk mengendapkan protein. Penambahan larutan yang berisi ion logam berat atau
penambahan pelarut organik seperti metanol, etanol, asetonitril dan aseton kedalam
sampel biologis telah digunakan secara luas dalam bioanalisis karena
kompatibilitasnya dengan fase gerak KCKT, meskipun memiliki efesiensi yang relatif
rendah dalam memisahkan protein. Pelarut organik akan mengendapkan protein
bedasarkan prinsip polaritas dan menurunkan solubilitas protein. (Evans., 2004;
Harahap., 2010)
b. Ultrafiltrasi
Larutan bebas protein dapat diperoleh melalui proses penyaringan dengan
melewatkan larutan pada suatu membran semipermeabel yang selektif dengan
menggunakan tekanan hidrostatik (1-10 atm) untuk memberikan dorongan dalam
proses pemisahan. (Harahap, 2010)
c. Ekstraksi cair-cair (Liquid-liquid Extraction)
Ekstraksi cair-cair adalah proses pemindahan atau pemisahan suatu komponen
dari satu fase ke fase lainnya yang tidak saling bercampur satu sama lain, proses ini
disebut partisi atau distribusi Salah satu fasenya yaitu fase aqueous dan fase lainnya
merupakan pelarut organik. Larutan aqueous yang dapat digunakan adalah air, larutan
yang bersifat asam basa, garam dan lainnya. Pelarut organik yang dapat digunakan
adalah heksan, etil asetat, toluene dan lainnya. Pelarut organik non polar untuk
mengekstraksi senyawa yang bersifat lipofil. sedangkan senyawa hidrofil lebih mudah
larut dalam pelarut organik yang relatif polar. Metode ekstraksi dengan pelarut
organik merupakan cara yang paling umum digunakan untuk pemisahan parsial. pH
fase air harus dioptimasi agar diperoleh bentuk tidak terionisasi, karena obat dapat
terekstraksi dalam pelarut organik apabila dalam bentuk tidak terionisasi. Optimasi
dapat dilakukan dengan menghitung atau menentukan pKa obat.
Penguapan dapat menggunakan bantuan evaporator vakum atau diapkan pada
temperatur kamar. Untuk mempercepat penguapan, dapat ditambahkan beberapa tetes
etanol, dan penambahan sedikit natrium sulfat anhidrat pada saat penyaringan dapat
menghilangkan air dari fase organik. Selanjutnya hasil penguapan direkonstitusi
menggunakan pelarut yang sesuai. Kelemahan dari metode yaitu terjadinya
pembentukan emulsi dan tidak dapat diaplikasikan : kesemua analit, contohnya
metode ini sulit digunakan untuk analit yang bersifat sangat polar (Evans 2004;
Harahap., 2010)
d. Ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction)
Prinsip mekanisme pemisahan dan isolasi yang digunakan dalam pemisahan
fase padat yaitu fase terbalik, fase normal dan ion exchange sama seperti yang
digunakan dalam KCKT. Metode ekstraksi fase padat ini berdasarkan prinsip
kromatografi. Prinsip umum dari ekstraksi fase padat yaitu adsorpsi obat dari lantan
kedalam adsorben atau fase diam. Partikel silika berukuran 40-60 µm merupakan
adsorben yang sering digunakan berkaitan dengan membentuk fase hidrokarbon.
Adsorben yang paling baik kapasitasnya dalam mengadsorbsi analit adalah Ca.
Pada metode mi, digunakan kolom berukuran kecil (eutridge) dengan adsorben
yang memilda sifat ming dengan sifat analit yang diperiksa. Ekstraksi fase padat
adalah suatu teknik yang dapat mengatasi beberapa masalah yang ditemui pada
ekstraksi cair-cair Secara umum SPE menggunakan 5 tahap yaitu pengkondician,
penyeimbangan fase diam, memasukkan sampel, pencucian untuk menghilangkan
senyawa pengganggu, dan chusi sampel (Evans, 2004, Harahap. 2010)
BAB III

IDENTIFIKASI MASALAH

Vankomisin adalah antibiotik lini pertama yang secara luas diindikasikan untuk
pengobatan infeksi bakteri gram positif yang resistan terhadap berbagai obat. Vankomisin
memiliki indeks terapeutik yang sempit dan variabilitas farmakokinetik yang besar. Selain
itu, interaksi dengan obat lain dapat meningkatkan atau menurunkan konsentrasi plasma
vankomisin, yang mempengaruhi keefektifannya dan kemungkinan kejadian toksik berupa
zat nefrotoksik dan ototoksik. Beberapa metode untuk menentukan konsentrasi vankomisin
dalam plasma manusia menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dengan
detektor UV. Perolehan parameter hasil uji validasi metode bioanalisis vankomisin dalam
spikedplasma telah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh European Medicine Agency
(EMA). Dengan demikian, metode ini dapat digunakan untuk aplikasi PKOD vankomisin dan
keperluan klinis lainnya seperti studi farmakokinetika vankomisin terutama pada konsentrasi
tunak. Penelitian ini merekomendasikan waktu pemeriksaan kadar vankomisin dalam plasma
pasien dilakukan maksimal 24 jam setelah penerimaan sampel. Sementara itu, untuk
keperluan studi farmakokinetika vankomisin lainnya, vankomisin tetap stabil selama 21 hari
pada suhu penyimpanan -20oC.

Paracetamol (acetaminophen) merupakan analgesik non opioid (Sudarma &


Subhaktiyasa, 2021) dan antipiretik (Kam et al., 2018) banyak digunakan oleh masyarakat
umum dan diresepkan oleh dokter sebagai analgesik. Obat ini banyak diresepkan karena
memiliki jendela terapi yang efektif. Mekanisme kerja paracetamol secara luas sebagai
pereda nyeri adalah melalui penghambatan enzim siklooksigenase yang menghasilkan
prostaglandin. Secara khusus penghambatan prostaglandin terjadi pada sistem saraf pusat
(Sudarma & Subhaktiyasa, 2021), produksi prostaglandin ini terhambat karena merupakan
senyawa yang dapat menimbulkan reaksi nyeri. Sehingga saat produksi prostaglandin ini
terhambat, respon nyeri pada tubuh pun berkurang. 7 Paracetamol termasuk dalam kategori
obat bebas (Oktaviana et al., 2017), sehingga obat ini dapat dibeli secara bebas di apotik
tanpa resep dokter. Di Indonesia, paracetamol dijual bebas di apotek, kios, dan toko yang
menjual berbagai merek obat tersebut. Obat paracetamol beredar di Indonesia dalam bentuk
tablet, kapsul, larutan, supositoria dan juga injeksi parenteral. Rumus kimia paracetamol
adalah C8H9NO2 dan nama lainnya adalah (paracetamol, N-(4-hidroksifen, (asetamida)).
Paracetamol memiliki efektivitas yang baik sebagai pereda nyeri, dimana efek analgesiknya
mirip dengan salisilat, yaitu ringan. Pereda nyeri hingga sedang Efektivitas paracetamol
sebagai analgesik pada dosis normal setara dengan dosis aspirin 600-650 mg, naproxen 220
mg dan celecoxib 200 mg Paracetamol tidak hanya berfungsi sebagai analgesik tetapi juga
sebagai penurun demam.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Permasalahan
Bioanalisis merupakan ilmu terapan dari kimia analisis yang menganalisis secara
kualitatif maupun kuantitatif suatu analit maupun metabolit dalam sampel biologis.
Bioanalisis untuk menentukan atau menetapkan kadar zat-zat xenobiotic (obat dan
metabolitnya) serta zat biotic (makromolekul, protein, DNA, molekul obat yang besar) dalam
matriks biologi. Bioanalisis memberikan dukungan yang besar terhadap kemajuan berbagai
aspek ilmu yang lain, diantaranya untuk pengembangan obat baru, studi bioavailabilitas dan
bioekivalensi, uji toksikokinetik, uji farmakokinetik dan uji farmakodinamik. Bioanalisis juga
memberikan dukungan dalam pengujian penyalahgunaan obat dan farmasi forensik.

Beberapa permasalahan analisis :

Plasma, serum komposisi kimiawinya sangat komplek, tapi relatif tetap sekalipun
berasal dari pasien, pH 7.3-7.5 Tetapi kandungan lipidnya bervariasi tgt waktu dan jenis
makan. Analisis untuk keperluan farmakokinetik/biofarmasetik perlu penghilangan lipid
dengan ekstraksi balik. Sering kali diperlukan analisis untuk obat bebas saja (tidak terikat
protein) perlu diperhatikan adanya lain yang dapat mendesak keterikatan obat dari
protein.Ultrafiltrasi dapat menjadi pilihan untuk maksud memisahkan obat yang terikat
protein.

a. Obat bebas / tak terikat protein mungkin kadarnya sangat rendah (out of limit
detection), bisa diatasi dengan equilibrisasi dengan obat tertandai radioaktif. Ada
kalanya deproteinisasi tidak diperlukan dengan pertimbangan keterikatan obat bersifat
reversibel mol tak tenonkan dapat langsung diekstraksi dengan solven organik pada
pH tertentu : pH adjustment with little volume of buffer and extracted with relatively
large volume of organic solvent. Alternatif pemisahan analit dalam larutan dengan
adsorpsi menggunakan matriks pada dan kemudian dielusi sejumlah resin atau ion.
Adanya enzim esterase non spesifik yang akan mendegradasi obat dalam sampel
sewaktu penyimpanan. Estrase ini bervariasi diantara spesies.
b. Permasalahan analisis pada urin. Biasanya tidak mengandung protein, kecuali untuk
kasus gagal ginjal. Bervariasi dalam warna, time dependent. Komponen kimiawi yang
terkandung larut dalam air, sehingga obat dapat langsung diekstraksi dengan solven
organik. Analisis obat dalam urin sering memerlukan pengukuran volume urin untuk
menentukan jumlah (bukan kadar) obat yang dieksresi dalam urin. Bila volume besar,
limit deteksi terlampaui, kesalahan analisis dalam kadar rendah menjadi bertambah-
tambah bila digunakan untuk menentukan jumlah obat dalam seluruh volume urin,
kesalahan pada waktu sampling satu dengan lainnya dapat sangat berbeda, bila
dianalisis dilakukan terhadap waktu sampling faktor ini perlu dipertimbangkan (dalam
kasus doping misalnya). Pada pH urin relatif lebih bervariasi (5,5 – 7,0) tergantung
diaet kondisi mol obat sesuai dengan pH saat urin dieksresi. Dalam penyimpanan bisa
makin alkalis karena kehilangan CO2, fosfat anorganik mengendap. Obat dalam urin
dapat terdekomposisi karena perubahan pH atau ikut menegndap bersama fosfat.
Fresh urine may differ from storeed urine in drug content. Metoda sampling dan
jumlah urin sering menjadi sumber kesalahan pada analisis farmakokinetik dan
biofarmasetik.

B. Solusi
Matriks biologi yang paling sering digunakan dalam menganalisis kadar obat adalah
darah, serum, plasma, urine dan saliva. Dalam hal memperoleh matriks biologi (terutama
darah) dari subjek dapat dilakukan dengan cara invasif melalu vena (Venipuncture), ini
merupakan metode biosampling konvensional dengan teknik yang menyakitkan, selain itu
penggunaan volume sampel yang besar akan sulit dilakukan pada pengujian seri
farmakokinetik ataupun toksikokinetik yang dilakukan pada hewan kecil (Evans et al., 2015).

Penggunaan metode sampel darah kering dalam bioanalisis memberikan


penyederhanaan proses pengumpulan darah dan analisis dibandingkan metode Venipuncture.
Metode sampel darah kering diperkirakan menjadi pengganti yang menjanjikan bahkan bisa
melampaui metode bio-matriks (plasma/serum) untuk pengujian farmakokinetik dan
pemantauan terapi obat (Sharma et al., 2014). Keuntungan metode sampel darah kering
dibanding metode konvensioanal diantaranya; (1) mudah dan minimal invasif dalam
mengumpulkan sampel, dapat dilakukan tanpa tenaga phelebotomist karena sampel
dikumpulkan dari ujung jari atau tumit dengan invasif minimal menggunakan lancet steril
(Wenkui et al., 2015), (2) volume sampel yang digunakan sedikit, hal ini mudah
diimplementasikan pada hewan kecil, anak-anak dan bayi (Wilhelm et al., 2014), (3) analit
lebih stabil dibandingkan penyimpanan pada freezer (Wilhelm et al., 2014), (4) biaya yang
lebih rendah dalam proses, karena sampel DBS dapat disimpan dalam suhu kamar dalam
pengiriman dan penyimpanan sehingga tidak memerlukan dry ice/ice box (Déglon et al.,
2012), (5) memberikan keamanan, dalam keadaan kering senyawa pathogen menjadi tidak
aktif sehingga mengurangi resiko infeksi.

Hal yang sama dengan proses pengambilan sampel yang diusapkan pada kertas filter
akan mengurangi resiko infeksi HIV/AIDS dan infeksi pathogen lainya (Rizwana et al.,
2013). Kendala yang dihadapi dalam penerpan metode ini adalah; (1) volume kecil,
menyebabkan analit yang tersedia semakin kecil sehingga diperlukan tehnik analisa yang
lebih sensitif, (2) resiko kontaminasi, jika orang yang sama yang melakukan pemberian obat
dan pengambilan sampel maka memungkinkan resiko kertas filter terkontaminasi obat, (3)
jika dilakukan oleh pasien meski sudah diberikan pelatihan, pengambilan sampel tidak selalu
berhasil, (4) konsentrasi analit di kapiler kemungkinan berbeda dengan di vena, (5) validasi
yang lebih sulit karena variasi nilai hematokrit dapat menyebabkan perbedaan homogenitas
dan sebaran sampel pada spot kertas filter, penggunaan kertas yang berbeda juga diperlukan
validasi parsial (Timmerman et al., 2011). Metode sampel darah kering dapat membantu
aplikasi pada uji farmakokinetik dan toksikokinetik, monitoring penggunaan obat, skrining
penyakit, test penggunaan doping dan pengujian metabolisme. Hal ini telah diterapkan pada
industri farmasi, rumah sakit dan pusat penelitian, terutama untuk sampel dengan volume
kecil, daerah pengambilan sampel sulit atau terpencil, penyimpanan, proses dan
transportasinya (Sharma et al., 2014; Wilhelm et al., 2014; Evan et al., 2015).

Sampel yang telah diekstraksi siap untuk dianalisis, metode analisis yang digunakan
harus sudah tervalidasi untuk meyakini kebenaran hasil analisis, prosedur validasi yang
dilakukan mengikuti aturan dari Food and Drug Administration (FDA) ataupun European
Medicine Agency (EMA), optimasi yang dilakukan meliputi; volume sampel, homogenitas
bercak, hematokrit dan carry-over (Jager et al., 2014). Volume sampel berkisar antara 15-40
µL yang ditentukan selama validasi, volume sampel yang berbeda harus diuji minimal pada
dua tingkat konsentrasi (rendah dan tinggi) dan dilakukan pengulangan. Volume sampel yang
digunakan pada standar kalibrasi harus sama dengan volume sampel yang digunakan pada
aplikasi sampel klinis.

Homogenitas bercak dapat dipengaruhi saat penotolan sampel dan penyebarannya


serta lokasi pemotongan diameter kertas filter, hal ini akan mempengaruhi pengujian
kuantitatif sampel darah kering sehingga perlu dilakukan validasi pemotongan diameter
kertas filter dari tepi atau dari pusat bercak sampel dengan menyiapkan sampel minimal dua
konsentrasi (rendah dan tinggi) dan pengulangan 3 kali, jika masih ada penyimpangan
analisis dapat diujikan pada jenis kertas filter yang berbeda (O’mara et al., 2011). Carry-over
dilakukan untuk melihat adanya komponen yang terbawa analit pada sampel darah setelah
penyuntikan sampel pada konsentrasi tertinggi pada rentang kurva kalibrasi. Carry-over
dilakukan dengan menyuntikan blanko kertas filter setelah penyuntikan sampel dengan
konsentrasi tertinggi, sesuai pedoman pedoman EMA tidak boleh lebih besar dari 20% dari
batas bawah kuantifikasi.

Penggunaan darah utuh sebagai sampel yang diambil dari perifer dengan volume
kecil, menyebabkan analit yang akan dianalisa sangat kecil dan adanya hematokrit akan
sangat menggangu analisa secara kuantitatif molekul obat. Hematokrit akan mempengaruhi
penyebaran darah pada kertas filter sehingga diperlukan kondisi optimum yang valid dalam
penerapan metode sampel darah kering untuk dapat menganalisis molekul obat secara
kuantitatif (Philip & Neil 2010). Nilai hematokrit akan dipengaruhi antara lain oleh jenis
kelamin, umur, status gizi dan pasien yang menjalani kemoterapi. Pasien kemoterapi akan
mengalami anemia karena terjadi penurunan produksi platelet sehingga akan memiliki
hematokrit yang rendah berkisar 0,2-0,3, hematokrit pada darah kapiler lebih tinggi dari
hematokrit pada darah vena sekitar 0,61 dan pada anak-anak nilai hematokrit 0,35-0,45
(Kesel et al., 2013).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bioanalisis merupakan ilmu terapan dari kimia analisis yang menganalisis secara
kualitatif maupun kuantitatif suatu analit maupun metabolit dalam sampel
biologis. Bioanalisis memberikan dukungan yang besar terhadap kemajuan
berbagai aspek ilmu yang lain, diantaranya untuk pengembangan obat baru,
studi bioavailabilitas dan bioekivalensi, uji toksikokinetik, uji farmakokinetik dan
uji farmakodinamik. Bioanalisis juga memberikan dukungan dalam pengujian
penyalahgunaan obat dan farmasi forensik.
2. Vankomisin adalah antibiotik lini pertama yang secara luas diindikasikan untuk
pengobatan infeksi bakteri gram positif yang resistan terhadap berbagai obat.
Vankomisin memiliki indeks terapeutik yang sempit dan variabilitas
farmakokinetik yang besar. Selain itu, interaksi dengan obat lain dapat
meningkatkan atau menurunkan konsentrasi plasma vankomisin, yang
mempengaruhi keefektifannya dan kemungkinan kejadian toksik berupa zat
nefrotoksik dan ototoksik.
3. Plasma, serum komposisi kimiawinya sangat komplek, tapi relatif tetap sekalipun
berasal dari pasien, pH 7.3-7.5 Tetapi kandungan lipidnya bervariasi tgt waktu dan
jenis makan. Analisis untuk keperluan farmakokinetik/biofarmasetik perlu
penghilangan lipid dengan ekstraksi balik. Sering kali diperlukan analisis untuk
obat bebas saja (tidak terikat protein) perlu diperhatikan adanya lain yang dapat
mendesak keterikatan obat dari protein.
4. Penggunaan metode sampel darah kering dalam bioanalisis memberikan
penyederhanaan proses pengumpulan darah dan analisis dibandingkan metode
Venipuncture. Metode sampel darah kering diperkirakan menjadi pengganti yang
menjanjikan bahkan bisa melampaui metode bio-matriks (plasma/serum) untuk
pengujian farmakokinetik dan pemantauan terapi obat.

B. Saran
Diharapkan kepada setiap pembaca agar dapat memahami makalah ini guna
untuk menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca serta memberikan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ari Wibowo,Damas Inggil Maulidina, Wahyuni Shalatan Fitri, Vitarani Dwi. (2019).
Validasi Metode Bioanalisis Vankomisin dalam Spiked-plasma Manusia Menggunakan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-detektor UV untuk Aplikasi Pemantauan Kadar Obat
dalam Darah. Jurnal Ilmu-ilmu MIPA , 57-70.

Diah Muldianah, Sulastri, Adelia Fatharani, Diany A.Nurdimayanthi, Dinda


S.Rahmawati,Hana Fadhilah. (2022). Metode Analisis Paracetamol (Acetaminophen) dalam
Darah, Plasma, dan Serum Manusia. Jurnal Penelitian & Pengabdian Masyarakat , 1-12.

Hadisutjipto, R. (2020). Validasi Metode Bioanalisis Karbamazepin Dan Karbamazepin 10,


11-Epoksida Dalam Spiked-Plasma Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) Dengan Detektor Photodiode Array.

Harahap, Y. 2010. Peran Bioanalisis dalam Penjaminan Kualitas Obat dan Peningkatan
Kualitas Hidup Pasien. Jakarta: UI Press.

Harmita, K., Harahap, Y., Supandi. 2019. Liquid Chromatography-Tandem Mass


Spectrometry (LC-MS/MS). Jakarta: ISFI Penerbitan.

Hermawan, A., Ikawati, M., Kristina, S. A., & Meiyanto, E. (2019). Efektivitas Hybrid e-
Learning Mata Kuliah Kimia Klinik dan Bioanalisis di Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada. J. Manaj. DAN PELAYANAN Farm.(Journal Manag. Pharm. Pract.

Kirchhoff, G., & Bunsen, R. Kimia analisis.

Kurniawati, A. (2016). Validasi Metode Analisis Etil p-metoksisinamat dalam plasma secara
In Vitro menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

Notario, D., Amelia, J., & Della, G. (2023). Pengembangan dan Validasi Metode Bioanalisis
Trimetoprim dalam Sampel Plasma dan Urin Manusia Simulasi Menggunakan KCKT-
PDA. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 41-49.

Nurkhasanah, L. (2020). Validasi Metode Bioanalisis Vankomisin Dalam Sampel Plasma


Manusia Dengan Standar Internal Parasetamol Menggunakan KCKT-UV.

Rahmi, E. (2016). Validasi Metode Analisis N-(hidroksietil)-p-metoksi sinamamida dalam


Plasma secara In Vitro menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
Supandi, S. (2016). Prosfektif Metode Sampel Darah Kering dalam Bioanalisis. Journal of
Tropical Pharmacy and Chemistry, 3(3), 224-231.

Wibowo, A., Maulidina, D. I., Fitri, W. S., & Ningrum, V. (2019). Validasi Metode
Bioanalisis Vankomisin HCl dalam Spiked-plasma Manusia Menggunakan KCKT-UV untuk
Aplikasi PKOD. EKSAKTA: Journal of Sciences and Data Analysis, 57-70.

Wiraagni, I. A. (2021). Modul Pengantar Aspek Forensik Napza. Ugm Press.

Anda mungkin juga menyukai