Makalah Sejarah
Makalah Sejarah
SHOWA
Disusun oleh:
DAFTAR ISI 1
BAB 1 2
PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 2
BAB 2 3
PEMBAHASAN 3
2.1 Militer Jepang 3
2.2 Imperialisme Jepang 4
2.2.1 Invasi Manchuria 4
2.2.2 Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan Ekspansi ke Asia Timur 5
2.2.3 Perang Pasifik dan Imperialisme Jepang di Pasifik. 6
2.2.4 Dampak Imperialisme Jepang 7
2.3 Hubungan dengan Tetangga dan Dunia 7
2.3.1 Dua puluh satu tuntutan 8
2.3.2 Pembantaian Nanjing (The Nanjing Massacre) 9
2.3.3 Insiden Jembatan Marco Polo 9
BAB 3 10
KESIMPULAN 10
DAFTAR PUSTAKA 11
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Zaman Showa adalah periode sejarah di Jepang yang berlangsung dari tahun 1926
hingga 1989. Era ini dipandang sebagai zaman modern Jepang dan mencakup beberapa
peristiwa penting dalam sejarah negara tersebut.
Pada awal Zaman Shōwa, Jepang mengalami transformasi sosial, politik, dan
ekonomi yang besar. Menurut Kamarudin (2021) “Jepang sendiri adalah negara yang kuat
dan bisa memberikan dampak besar terhadap dunia terutama dengan teknologinya. Bukan
hanya dalam bidang teknologi tapi juga bidang perekonomian, bidang politik, dan bidang
kebudayaan. Secara tidak langsung juga memberikan dampak yang besar dari segi
kebudayaan.”Negara ini berubah dari monarki konstitusional menjadi negara otoriter yang
memasuki Perang Dunia II. Setelah kekalahan dalam perang, Jepang mengalami pendudukan
Sekutu mengadopsi konstitusi baru pada tahun 1947 yang masih berlaku hingga saat ini.
Jepang juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, yang membawanya
menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Selain itu, percetakan uang baru juga
dilakukan untuk mendorong transaksi perdagangan pasca Perang Dunia II Ochno, (2016).
Era Showa juga menyaksikan perkembangan dalam seni, budaya populer, dan teknologi,
dengan munculnya banyak inovasi dalam industri seperti otomotif dan teknologi elektronik.
Menurut artikel terbaru Reditya (2022) pada tahun 1989, Kaisar Hirohito meninggal,
dan era Showa berakhir. Ini diikuti oleh Era Heisei, yang berlangsung hingga tahun 2019
ketika Kaisar Akihito turun tahta dan dimulainya Era Reiwa di Jepang.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Militerisme telah berkembang ketika masa Meiji. Militerisme era Meiji merupakan
titik awal dari militerisme yang bersifat sentralistik, nasionalis dan modern. Hal inilah yang
kemudian memicu perang Boshin dan perang Satsuma. Perang tersebut terjadi ketika
golongan militer feodal dari Tokugawa dan Samurai menolak upaya pembangunan
militerisme modern ala Meiji.
Kemenangan Jepang atas China pada tahun 1895 dan Rusia tahun 1905 membawa
motivasi baru bagi penguatan militerisme Jepang sekaligus membuktikan bahwa militerisme
dapat mengantarkan Jepang menjadi aktor imperialisme di Asia. Meiji telah meletakan suatu
fondasi militerisme yang sangat penting, yaitu pemahaman bernama Fokoku Kyouhei yang
berarti “Negara Kaya, Militer Kuat”. Kemenangan ini kemudian berpengaruh pada
tumbuhnya pengaruh militer pada masa Taisho dan Showa.
Zaman Shōwa berlangsung pada masa pemerintahan Kaisar Shōwa (Hirohito), sejak
Kaisar Hirohito naik tahta pada 25 Desember 1926 hingga wafat pada 7 Januari 1989.
Menurut Nadya dan Sephia (2019), zaman ini ditandai dengan awal kehancuran
perekonomian Jepang akibat krisis dunia. Arti Showa sendiri berasal dari kanji yang bila
diterjemahkan terdapat arti "kedamaian yang cerah".
Zaman Showa juga disebut sebagai zaman dengan pemerintahan yang cukup panjang.
Militer bersenjata yang kuat muncul pada zaman ini dan dibentuk sebelum menghadapi
perang dunia II. Sejak zaman Showa, Jepang sudah dikenal dengan negara yang pantang
mundur dan tidak mau kalah. Selama zaman Shōwa, Jepang memasuki periode
totalitarianisme politik, ultranasionalisme, dan fasisme yang berpuncak pada invasi ke
Tiongkok pada tahun 1937. Menurut Nadya (2019), Peristiwa tersebut merupakan bagian dari
masa konflik dan kekacauan di seluruh dunia, seperti halnya Depresi Besar dan Perang Dunia
II.
Zaman showa sendiri dibagi menjadi 3 era tahap yaitu era permulaan sampai dengan
kekalahan perang dunia II, Jepang Modern, dan era meninggalnya kaisar Showa. Militer pada
zaman Showa adalah militer yang sangat amat kuat. Hal ini terbukti dari 4 peristiwa besar
yang dialami Jepang pada Era Showa. Peristiwa Manchuria, peristiwa di dalam negeri,
3
perang Jepang-China, dan yang terakhir adalah Dai Ni Ji Sekai Taisen atau perang dunia ke
II.
Sebelum menuju perang dunia II, Jepang sempat mengalami sebuah gerakan bernama
kudeta ultranasionalis. Menurut Gibran (2020), perwira yang menggerakan ultranasionalis
adalah perwira muda yang ingin membentuk militer totaliter dengan menyuarakan kodo dan
melakukan restorasi showa. Pada masa ini, terbentuklah pasukan militer Jepang yang telah
dibekali pendidikan militer ketat, dan terciptanya fraksi angkatan darat maupun laut.
Menurut Mikiso Hane (1992), Zaman Showa (1926-1989) dimulai sejak diangkatnya
Kaisar Hirohito pada tanggal 25 Desember 1926 setelah kematian Kaisar Yoshihito yang
sebelumnya memerintah pada Zaman Taisho. Terjadinya Great Depression pada tahun 1929
yang melanda hampir seluruh dunia dan tekanan dari imperialisme bangsa Barat membuat
Jepang yang tidak memiliki SDA yang melimpah harus menginvasi negara lain. Meskipun
hal itu tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Barat, Jepang tetep melakukan
kebijakan imperialisme ke negara lain untuk mempertahankan negaranya sendiri.
2.2.1 Invasi Manchuria
Kebijakan imperialisme pada Zaman Showa diawali dengan dilakukannya
Invasi Manchuria pada tahun 1931. Dalam buku yang berjudul The China Year Book
yang ditulis oleh Woodhead (1921) tertulis bahwa, nama Manchuria berasal dari nama
kota di daerah pedalaman dinasti Ching yang dijuluki sebagai Three Eastern
Province.
Manchuria merupakan kebijakan ekspansionis yang dimiliki oleh Rusia di
daratan China yang sudah terjadi sejak 1902. Menurut Nish dalam bukunya yang
berjudul "China and The Russo Japanese War" yang ditulis pada tahun 2004,
melemahnya China pada masa itu, dimanfaatkan oleh Jepang yang selalu ingin
merebut China yang saat itu sedang dibawah kekuasaan Rusia karena kekalahannya
dalam perang melawan Negara Eropa pada akhir abad ke-19.
Tentara Jepang memulai insiden pengeboman oleh salah satu opsir junior
Jepang, di jalur kereta api di Mukden, Manchuria Selatan atau yang dikenal dengan
Insiden Mukden. Setelah itu, Jepang memanfaatkan situasi tersebut untuk
melayangkan penyerbuan dan merebut Manchuria dari tangan Rusia. Perang itu
dimenangi oleh pihak Jepang. Jepang mendirikan negara boneka di wilayah tersebut
4
dan diberi nama wilayah Machunkou. Namun pada akhirnya, Jepang secara resmi
mengakhiri invasinya ke wilayah Manchuria dengan adanya perjanjian genjatan
senjata yang ditandatangani oleh pihak Jepang dan China pada tanggal 31 Mei 1933.
5
Taniputera (2009), hal tersebutlah yang menandakan resminya akhir dari Perang
Tiongkok-Jepang II pada tanggal 9 September 1945.
6
2.2.4 Dampak Imperialisme Jepang
Dampak imperialisme yang dirasakan negara yang diduduki Jepang pada
Zaman Showa.
1. Eksploitasi Sumber Daya Alam: Jepang mengeksploitasi sumber daya alam
di wilayah-wilayah yang mereka duduki, yang mendukung pertumbuhan
industri mereka, seperti minyak, bijih besi, dan komoditas lainnya.
2. Penyebaran Budaya dan Sistem Pemerintahan: Jepang sering kali mencoba
menyebarkan budaya, bahasa dan bahkan sistem pemerintahan mereka di
wilayah yang didudukinya.
3. Ketegangan Sosial dan Politik: Wilayah-wilayah yang diduduki oleh Jepang
sering mengalami ketegangan sosial dan politik karena upaya Jepang yang
sering mengubah budaya dan sistem pemerintahan di wilayah yang
didudukinya.
7
memiliki hubungan yang tegang sekitar tahun 1930-an karena ekspansionisme
agresif Jepang di China. Diawali dari Invasi Manchuria kemudian meningkat
menjadi invasi Jepang dalam skala penuh ke seluruh China, dikenal sebagai Perang
Tiongkok-Jepang Kedua (1937-1945). Dalam kurun waktu tersebut, Jepang
menginvasi Tiongkok dan melakukan kejahatan perang seolah hal yang lumrah.
2.3.1 Dua puluh satu tuntutan
Dua Puluh Satu Tuntutan adalah serangkaian tuntutan yang dibuat oleh
pemerintah Jepang ke China selama Perang Dunia I. Menurut Akagi (1936)
Setelah melalui kemenangannya dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama dan
Perang Rusia-Jepang, Jepang telah mendapatkan lingkup pengaruh yang besar
di China utara dan Manchuria, dengan demikian Jepang telah bergabung pada
barisan imperialis Eropa dalam memperebutkan pembangunan dominasi
politik dan ekonomi atas Kekaisaran China di bawah dinasti Qing. Dengan
penggulingan dinasti Qing dalam Revolusi Xinhai, dan pembentukan Republik
Tiongkok yang baru, Jepang melihat kesempatan untuk lebih memperluas
posisinya di Tiongkok.
Menurut Lowe (1969) Tuntutan tersebut diajukan pada Januari 1915,
dirancang untuk memberikan Jepang kekuasaan regional dan memperluas
kendali atas China juga menandai awal penolakan Jepang terhadap kuasa
negara Barat untuk membagi wilayah dan kekuasaan di China. Tuntutan
tersebut menjadikan Jepang sebagai target utama nasionalis Tiongkok. 5
pengelompokkan dari dua puluh satu tuntutan tersebut adalah:
1. Tuntutan teritorial: Pengakuan dominasi Jepang di Shandong, Manchuria
selatan, dan Mongolia Dalam timur.
2. Tuntutan ekonomi: Jepang berusaha untuk mengakui kepentingan
khususnya di kompleks industri di China tengah dan melarang China
memberikan konsesi pantai atau pulau lebih lanjut kepada kekuatan
asing kecuali Jepang.
3. Tuntutan politik: Jepang menuntut hak untuk campur tangan dalam
urusan internal dan untuk mendirikan protektorat atas China.
4. Tuntutan budaya: Jepang meminta hak untuk mengajar bahasa Jepang di
sekolah-sekolah China dan untuk mempromosikan budaya dan bahasa
Jepang di China.
8
5. Tuntutan militer: Jepang menuntut hak untuk menempatkan pasukan,
menggunakan pelabuhan dan kereta api China untuk tujuan militer.
2.3.2 Pembantaian Nanjing (The Nanjing Massacre)
Disebut juga pemerkosaan Nanjing, merupakan pembunuhan massal
warga sipil Tiongkok di Nanjing, ibu kota Republik Tiongkok setelah
Pertempuran Nanking dalam Perang Sino-Jepang Kedua, oleh Tentara
Kekaisaran Jepang. Dilansir dari artikel yang ditulis Augustyn (2020)
Peristiwa memilukan ini terjadi dalam kurun waktu sekitar 6 minggu pada
tanggal 13 Desember 1937 sampai Januari 1938 dan memakan
200.000-300.000 korban jiwa. Dilansir dari buku “A Dark Page In History”,
Lu (2012) menceritakan kekejaman tentara Jepang terhadap warga sipil
beserta aktivitas mereka dalam pembantaian Nanjing, seperti pemerkosaan,
penjarahan, eksekusi massa, dan pembakaran wilayah.
2.3.3 Insiden Jembatan Marco Polo
Insiden Jembatan Marco Polo (Insiden Lugouqiao) terjadi pada 7 Juli
1937, di distrik Beijing antara Tentara Revolusioner Nasional Tiongkok dan
Tentara Kekaisaran Jepang. Dilansir dari ThoughtCo. Szczepanski (2019)
mengatakan Insiden tersebut disebabkan oleh perselisihan tentang seorang
tentara Jepang yang hilang, kemudian pasukan kecil Jepang menuntut masuk
ke kota bertembok Wanping untuk mencarinya. Garnisun China yang bertugas
di sana menolak masuknya tentara Jepang, setelah itu terdengar suara
tembakan, yang menyebabkan kedua belah pihak berakhir saling menembak.
Beberapa penyebab atas insiden Jembatan Marco polo, antara lain:
1. Perselisihan atas seorang tentara Jepang yang hilang
2. Permintaan Jepang untuk menggeledah kota bertembok Wanping
3. Penolakan garnisun China untuk mengizinkan masuknya Jepang
4. Sebuah tembakan terdengar, yang menyebabkan kedua belah pihak
saling menembak
9
BAB 3
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Mada.
Kamarudin, H. M. (2021). Perubahan dan Penerapan Gerakan serta Properti pada Tarian
Yosakoi sejak Zaman Showa sampai Zaman Reiwa. Universitas Darma Persada.
Lowe, P. (1969). The Twenty-one Demands. Dalam P. Lowe, Great Britain and Japan
https://doi.org/10.1007/978-1-349-00344-0_8
Lu, S. (Ed.). (2012). A dark page in history: The Nanjing Massacre and post-massacre social
Pangestu, N. S., & Nurfadina, S. (2019). Makalah Era Showa. Universitas Negeri Padang.
https://www.kompas.com/global/read/2022/01/07/113000070/7-januari-1989--kaisar-
hirohito-meninggal-dunia
Szczepanski, K. (2023). What Was the Marco Polo Bridge Incident? ThoughtCo.
https://www.thoughtco.com/the-marco-polo-bridge-incident-195800
11