Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


TUMOR ADRENAL

Disusun Oleh:
Brandon 01073190033
Cindy Permata Sari 01073190040
Gerald Reinaldi Tanardi 01073190032
Jessica T. D. Simanjuntak 01073190148
Jesslyn Natalie Hariyanto 01073190092
Rachel Adelia Putri 01073190038
Yonesha R. Prasetya 01073190080

Pembimbing:

Dr. dr. Edwin R. P. L. Tobing, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM KARAWACI
PERIODE JUNI – AGUSTUS 2021
TANGERANG
DAFTAR PUSTAKA

BAB I 4

PENDAHULUAN 4

BAB II 5

TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Anatomi Kelenjar Adrenal 5
2.2. Fisiologi Kelenjar Adrenal 8
2.2.1. Korteks Adrenal 8
2.2.2. Medulla Adrenal 13
2.3. Definisi 13
2.4. Epidemiologi 14

2.5. Etiologi 15
2.6. Patogenesis dan Patofisiologi 16
2.7. Klasifikasi 18
2.8. Manifestasi Klinis 24
2.8.1 Adrenocortical adenoma dan adrenocortical carcinoma 25
2.8.2 Pheochromocytoma 26
2.8.3 Neuroblastoma 26
2.8.4 Ganglioneuroma 26
2.9. Diagnosis 27
2.9.1. Tumor Cortex Adrenal 27
2.9.1.1 Anamnesis 27
2.9.1.1.1 Adrenocortical adenoma 27
2.9.1.1.2 Adrenocortical carcinoma 27
2.9.1.1.3 Cushing's Syndrome 27
2.9.1.2 Pemeriksaan Fisik 28
2.9.1.2.1 Adrenocortical adenoma 28
2.9.1.2.2 Adrenocortical carcinoma 28
2.9.1.2.3 Cushing's Syndrome 29
2.9.1.3 Pemeriksaan Penunjang 29
2.9.1.3.1 Complete Blood Count 29
2.9.1.3.2 Low Dose Dexamethasone Supression Test 30
2.9.1.3.3 Late Night Salivary Cortisol 31
2.9.1.3.4 24 Hour Urine Free Cortisol 31
2.9.1.3.5 Plasma ACTH Level 31
2.9.1.3.6 Plasma Androgen Levels 32
2.9.1.3.7 Computed Tomography (CT) 32
2.9.1.3.7.1 Adrenocortical adenoma 33
2.9.1.3.7.2 Adrenocortical carcinoma 33
2.9.1.3.8 Magnetic Resonance Imaging (MRI) 34
2.9.1.3.9 Biopsi Adrenal 34
2.9.1.3.10 Adrenal Scintigraphy 35
2.9.2 Primary Aldosteronism (Conn's Syndrome) 35
2.9.2.1 Anamnesis 35
2.9.2.2 Pemeriksaan Fisik 35
2.9.2.3 Pemeriksaan Penunjang 36
2.9.2.3.1 Skrining 37
2.9.2.3.2 Confirmatory Testing 37
2.9.2.3.2.1 Fludrocortisone Suppresion Test 38
2.9.2.3.2.2 Oral Sodium Loading Test 38
2.9.2.3.2.3 Intravenous Saline Infusion Test 38
2.9.2.3.2.3 Captopril Supression Test 38
2.9.2.3.3 Diferensiasi suptipe 39
2.9.2.3.3.1 Computed Tomography (CT) 39
2.9.2.3.3.2 Sampling Vena Adrenal 40
2.9.2.3.3.3 Posture Stimulation 41
2.9.3 Pheochromocytoma 42
2.9.3.1 Anamnesis 42
2.9.3.2 Pemeriksaan Fisik 42
2.9.3.3 Pemeriksaan Penunjang 42
2.9.3.3.1 Pemeriksaan Urin 43
2.9.3.3.2 Katekolamin Plasma 43
2.9.4 Adrenal Incidentaloma 44
2.9.1.1 Massa dengan Pencitraan Jinak 46
2.9.1.2 Massa Berukuran ≥1-<4 cm 46
2.9.1.2 Massa Berukuran ≥4 cm 47
2.9.5 Neuroblastoma 47
2.10. Tatalaksana 48
2.10.1. Adrenalektomi terbuka 50
2.10.2. Adrenalektomi laparaskopi 53
2.10.3. Tantangan intraoperatif 54
2.10.4. Komplikasi 54
2.11. Komplikasi 55
2.12. Prognosis 56

BAB III. KESIMPULAN 58


BAB I
PENDAHULUAN

John Hopkins Medicine mendefinisikan tumor sebagai istilah umum yang digunakan
tetapi tidak spesifik untuk neoplasma. Istilah tumor mengacu pada adanya pertumbuhan massa.
John Hopkins Medicine mendefinisikan tumor adrenal sebagai pertumbuhan abnormal pada satu
atau kedua kelenjar adrenal dan dapat bersifat jinak (non-cancerous) atau ganas (cancerous).
Tumor adrenal dapat diklasifikasikan berdasarkan tumor yang memproduksi hormon atau tidak,
functioning dan non-functioning dan berdasarkan lokasi yaitu tumor pada korteks adrenal dan
tumor pada medula adrena dan ekstra-adrenal.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, prevalensi
tumor atau kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1,000 penduduk di
tahun 2013 menjadi 1,79 per 1,000 penduduk pada tahun 2018. Tumor adrenal merupakan kasus
yang jarang, yang memiliki insidensi sekitar 0,6 – 1,67 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Rasio antara perempuan dan laki – laki untuk terkena tumor adrenal adalah 2,5 – 3: 1. Tujuan
dari referat ini adalah untuk mengetahui peristiwa - peristiwa yang dapat menyebabkan tumor
adrenal, berbagai macam tumor adrenal serta patofisiologis yang mengikuti, sehingga dapat
menentukan pendekatan untuk memperbaiki patofisiologis tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kelenjar Adrenal

Kelenjar Adrenal atau disebut juga kelenjar suprarenal merupakan kelenjar yang

terletak di bagian superior dan medial dari masing-masing ginjal, terletak di ruang

retroperitoneal, dan berada pada level tulang iga ke 11. Pada orang dewasa, setiap

kelenjar adrenal memiliki ukuran dengan panjang 3-5 cm , lebar 2-3 cm, dan dengan

ketebalan kurang dari 1 cm, dengan berat sekitar 4-5 g. 1 Kelenjar adrenal kanan

berbentuk triangular atau piramidal, dan terletak dekat dengan hemidiafragma kanan,

liver dan vena cava inferior. Kelenjar adrenal kiri cenderung berbentuk bulat dan seperti

bulan sabit, dimana terletak dekat dengan struktur aorta, di bagian permukaan bawah

terdapat bagian ekor pankreas, dan terletak limpa di bagian superior dan lateral. 1,2 Ginjal

dan kelenjar adrenal tertutup oleh fascia gerota (perirenal).3


Gambar 1.1. Anatomi Kelenjar Adrenal dan Organ Gastrointestinal

Vaskularisasi dari masing-masing Kelenjar Adrenal didapatkan dari tiga arteri;

yaitu arteri adrenal superior yang berasal dari arteri phrenica inferior, arteri adrenal media

yang berasal dari aorta, dan arteri adrenal inferior yang berasal dari arteri renalis.

Beberapa arteri yang berasal dari arteri interkostal dan gonadal juga memberikan suplai

pada kelenjar adrenal. Untuk aliran vena, sangat berbeda dengan suplai arteri dimana

kelenjar adrenal mengalirkan darah hanya ke satu vena besar tiap sisinya. Vena pada

kelenjar adrenal kanan biasanya pendek dan mengalirkan langsung ke vena cava inferior.

Untuk bagian kelenjar adrenal kiri, biasanya lebih panjang, dan mengalirkan darah ke

vena renalis kiri setelah bersatu dengan vena phrenica inferior.1,2 Pada 5-10% kasus,

terdapat vena aksesoris pada kelenjar adrenal, dimana pada sisi kanan, vena aksesoris

akan mengalir ke vena hepatika kanan atau ke vena renalis kanan, dan untuk vena

aksesoris pada sisi kiri, akan secara langsung mengalirkan darah ke vena renalis kiri.1

Gambar 1.2. Vaskularisasi Kelenjar Adrenal1

Saat perkembangan embrionik, kelenjar adrenal terbagi menjadi dua bagian baik

secara struktural maupun fungsional, yaitu bagian adrenal korteks dan adrenal medulla.
Adrenal korteks merupakan struktur yang berada di bagian perifer, dimana tampak

berwarna kuning karena kandungan tinggi lipid dan membentuk 80-90% dari volume

kelenjar. Adrenal medulla berada di bagian sentral, membentuk 10-20% volume kelenjar

adrenal dan tampak berwarna merah kecoklatan.1,2

Secara Histologi, bagian korteks adrenal terbagi lagi menjadi tiga zona sesuai

hormon yang disekresikan, yaitu zona glomerulosa, zona fasciculata dan zona reticularis.

Zona Glomerulosa merupakan zona terluar dari korteks adrenal, dan terdiri dari sel-sel

yang tersusun secara rapat, berbentuk kelompok bulat atau kolom melengkung, dan

merupakan tempat produksi dari hormon mineralocorticoid, yaitu aldosterone. Zona

fasciculata, terbentuk dari sel-sel tersusun dalam kolom-kolom panjang dan lurus,

merupakan zona paling besar pada korteks adrenal, dan tempat hormon glucocorticoids

dihasilkan. Bagian terdalam, yaitu zona reticularis, terbentuk dari sel-sel tersusun

bercabang, dan menghasilkan hormon androgen.1,2,3 Setelah zona reticularis di bagian

lebih dalam terdapat bagian adrenal medulla yang memproduksi hormon katekolamin,

yaitu epinefrin dan norepinefrin. Sel-sel pada adrenal medulla tersusun teratur seperti tali

dan berbentuk polihedral. Sel-sel tersebut dikenal juga dengan nama sel chromaffin,

dikarenakan sel tersebut di stain secara spesifik oleh chromium salts.1


Gambar 1.3. Histologi Kelenjar Adrenal2

1. Brunicardi F C, Anderson D, Dunn DL. Schwartz’s Principles of surgery. 10th ed. New
York: McGraw-Hill Medical Publishing. 2010 -- 1
2. Tortora, GJ, Derrickson, B. Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition. United
States of America: John Wiley & Sons, Inc. 2012 -- 2
3. Tanagho EA. General Urology. 18th ed. San Fransisco. McGraw-Hill. 2013 -- 3

2.2. Fisiologi Kelenjar Adrenal


2.2.1. Korteks Adrenal
a. Zona Glomerulosa
Sel-sel pada zona glomerulosa akan menghasilkan hormon
mineralokortikoid. Aldosterone adalah mineralokortikoid yang utama.
Aldosterone berfungsi untuk mengatur homeostasis dari dua ion mineral yaitu ion
Natrium (Na+) dan ion kalium (K+) serta membantu menyesuaikan tekanan dan
volume darah . Selain itu aldosterone juga membantu sekresi ion H+ dalam urin
untuk mencegah terjadinya asidosis (pH < 7.35). Yang mengatur sekresi dari
aldosterone sendiri adalah jalur renin-angiotensin-aldosterone:
- Stimulus yang menginisiasi jalur RAA: dehidrasi, defisiensi Na+,
perdarahan
- Ketiga kondisi tersebut dapat menurunkan volume darah yang akhirnya
akan menurunkan tekanan darah
- Penurunan tekanan darah akan menstimulasi sel juxtaglomerular yang ada
di ginjal untuk mensekresikan hormon renin
- Kadar renin dalam darah akan meningkat
- Renin yang disekresikan tadi akan mengonversi angiotensinogen (protein
plasma yang diproduksi liver) menjadi angiotensin I
- Kadar angiotensin I dalam darah akan meningkat
- Saat darah mengalir di kapiler terutama di paru-paru, Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) akan mengonversi Angiotensin I menjadi
Angiotensin II
- Kadar angiotensin II dalam darah akan meningkat
- Angiotensin II akan menstimulasi tersekresinya hormon aldosterone dari
korteks adrenal & merangsang kontraksi otot polos di dinding arteriol
sehingga akan terjadi vasokonstriksi dari arteriol yang akan meningkatkan
tekanan darah menjadi normal
- Kadar aldosterone meningkat dalam darah dan bersirkulasi di ginjal
- Kerja aldosterone di ginjal: meningkatkan reabsorbsi natrium (Na+) dan
air sehingga volume urin akan menurun.
- Aldosterone juga menstimulasi ginjal untuk meningkatkan sekresi K+ dan
H+ ke dalam urin
- Peningkatan absorbsi air di ginjal → volume darah dapat meningkat

- Volume darah meningkat → tekanan darah akan meningkat ke normal


- Aldosterone juga akan tersekresi apabila ada peningkatan konsentrasi K+
di dalam darah
b. Zona Fasikulata
Zona tengah dan terluas dari korteks adrenal yang memproduksi hormon
glukokortikoid. Glukokortikoid berfungsi dalam pengaturan metabolisme dan
pertahanan terhadap stres. Yang termasuk dalam glukokortikoid yaitu hormon
kortisol (hydrocortisone), kortikosteron, dan kortison. Dari ketiga hormon yang
dihasilkan, kortisol merupakan hormon yang paling banyak tersekresi, yaitu
sekitar 95% dari aktivitas glukokortikoid. Sekresi glukokortikoid diatur melalui
sistem negative feedback.
Apabila kadar glukokortikoid dalam darah rendah (terutama kortisol),
maka akan menstimulasi sel-sel neurosekretori di hipotalamus untuk sekresi
corticotropin-releasing hormone (CRH). CRH bersama dengan kadar kortisol
yang rendah juga akan membantu pelepasan adrenocorticotropic hormone
(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH yang ada di dalam sirkulasi, akan dibawa
ke korteks adrenal. Di korteks adrenal, ACTH akan merangsang sekresi
glukokortikoid. Selain itu, tekanan fisik dan emosional juga akan meningkatkan
pelepasan CRH di hipotalamus.
Efek-efek dari glukokortikoid:
1. Pemecahan protein
Glukokortikoid akan meningkatkan tingkat pemecahan protein di otot dan
meningkatkan pelepasan asam amino ke dalam darah yang akan
digunakan untuk sintesis protein baru dan produksi ATP.
2. Lipolisis
Pemecahan trigliserida dan pelepasan asam lemak dari jaringan adiposa ke
dalam darah
3. Glukoneogenesis
Glukokortikoid akan merangsal hepatosit untuk mengonversi asam amino
atau asam laktat menjadi glukosa yang akan digunakan untuk produksi
ATP. Glukoneogenesis adalah proses pengubahan zat selain glikogen dan
monosakarida lainnya menjadi glukosa.
4. Ketahanan terhadap stres
Glukosa tambahan yang diproduksi oleh hepatosit akan menyediakan
jaringan sebagai sumber ATP yang siap melawan berbagai tekanan.
Glukokortikoid juga akan membuat pembuluh darha menjadi lebih sensitif
terhadap hormon lain yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
akhirnya dapat meningkatkan tekanan darah.
5. Efek anti-inflamasi
Glukokortikoid mnghambat leukosit yang memberikan respon terhadap
inflamasi sehingga glukokortikoid juga sangat berguna sebagai terapi dari
penyakit inflamasi kronik seperti artritis reumatik
6. Immonosupresi
Glukokortikoid dosis tinggi akan menekan sistem imun sehingga sering
diberikan kepada pasien yang baru menerima transplantasi organ untuk
memperlambat penolakan jaringan oleh sistem kekebalan.

c. Zona Retikularis
Zona teradalam dari korteks adrenal yang menghasilkan sejumlah kecil
hormon androgen lemah. Androgen utama yang disekresikan adalah
dehydroepiandosterone (DHEA).
Pada pria, setelah masa pubertas, sebuah androgen yaitu testosterone akan
dilepaskan dalam jumlah besar oleh testis sehingga jumlah androgen yang
disekresikan oleh kelenjar adrenal apda laki-laki terbilang sangat rendah dan tidak
signifikan.
Sementara pada wanita, androgen yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal
memiliki peranan penting untuk meningkatkan libido dan diubah menjadi
estrogen. Saat wanita sudah menopause, sekresi estrogen oleh ovarium akan
berhenti sehingga semua estrogen wanita hanya berasal dari konversi androgen
adrenal. Androgen adrenal juga akan merangsang pertumbuhan rambut ketiak dan
kemaluan pada anak laki-laki dan perempuan, serta berkontribusi pada percepatan
pertumbuhan pra-pubertas. Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) adalah
hormon utama yang merangsang sekresi hormon di adrenal.

2.2.2. Medulla Adrenal

Bagian dalam dari kelenjar adrenal yang merupakan ganglion simpatis yang
dimodifikasi dari sistem saraf otonom. Sel-sel medula adrenal yang mengeluarkan
hormon disebut dengan sel kromafin. Dua hormon utama yang disintesis di medula
adrenal adalah Epinefrin (Adrenalin) dan Norepinefrin (Noradrenalin). Sel-sel kromafin
akan mengeluarkan hormon-hormon ini dalam jumlah yang tidak seimbang yaitu sekitar
80% epinefrin dan 20% norepinefrin. Hormon pada medula adrenal hanya meningkatkan
respons simpatik di bagian tubuh lain.
Kedua hormon yang dihasilkan di medula adrenal ini sangat penting dalam
meningkatkan respons “fight or flight”. Hormon ini akan meningkatkan meningkatkan
detak jantung dan kekuatan kontraksi sehingga akhirnya akan menignkatkan curah
jantung dan tekanan darah. Selain itu, epinephrine dan norepinefrin juga akan
meningkatkan aliran darah ke jantung, hati, otot rangka, dan jaringan adiposa; melakukan
dilatasi saluran udara ke paru-paru, dan meningkatkan kadar glukosa serta asam lemak di
dalam darah.

2.3. Definisi

Tumor didefinisikan sebagai massa jaringan abnormal yang terbentuk karena


kelainan dari pertumbuhan sel, dimana memiliki karakteristik yaitu proliferasi sel yang
abnormal dan berlebih. Tumor sendiri terbagi menjadi 2, yaitu tumor jinak (benign) dan
tumor ganas (malignant / cancerous). Tumor Jinak merupakan sel tumor yang
pertumbuhannya terbatas pada tempat asal, struktur sel tetap normal, dan tidak invasif
terhadap jaringan sekitar serta tidak mengalami metastasis. Untuk Tumor Ganas, struktur
sel abnormal, pertumbuhan sel terjadi secara berlebih, bersifat invasif terhadap jaringan
sekitar, dan dapat mengalami metastasis.6
Tumor kelenjar adrenal merupakan pertumbuhan abnormal jaringan pada kelenjar
adrenal, baik menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Karena kelenjar adrenal secara
fisiologi menghasilkan berbagai jenis hormon, sehingga pada beberapa jenis tumor
kelenjar adrenal dapat terjadi sekresi berlebih dari hormon tersebut. Oleh karena hal
tersebut, selain dikenal terbagi berdasarkan tumor jinak dan ganas, tumor kelenjar adrenal
juga terbagi menjadi tumor functioning dan non-functioning.7

6. Tarini Sinha. Tumors: Benign and Malignant. Canc Therapy & Oncol Int J. 2018;
10(3): 555790. DOI:10.19080/CTOIJ.2018.10.555790.
7. Jarolim, L., Breza, J., & Wunderlich, H. Adrenal Tumours. European Urology. 2003;
43(1), I–X. doi:10.1016/s0302-2838(02)00365-2

2.4. Epidemiologi

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, prevalensi


tumor/kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1,000 penduduk
di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1,000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker
tertinggi adalah di provinsi DI Yogyakarta sebanyak 4,86 per 1,000 penduduk, diikuti
Sumatera Barat 2,47 per 1,000 penduduk dan Gorontalo 2,44 per 1,000 penduduk
(Kemenkes RI, 2019).
Tumor adrenal sendiri adalah kasus yang jarang dijumpai, dengan insidensi
sekitar 0,6 – 1,67 kasus per 1 juta penduduk per tahun. Rasio antara perempuan dan laki –
laki untuk terkena tumor adrenal adalah 2,5 – 3: 1. Akumulasi data, terutama dalam
register internasional mengungkapkan kejadian tumor adrenal lebih tinggi pada
perempuan, terutama pada usia 0 – 3 tahun dan di atas 13 tahun. Dibuktikan oleh data
dari The International Pediatric Adrenocortical Tumor Registry, median usia di mana
anak – anak mengalami karsinoma adrenal adalah 3,2 tahun; 60% kasus lebih muda dari
usia 4 tahun dan 14% lebih tua dari 13 tahun. Tumor adrenal terjadi di 2 puncak utama,
yaitu pada dekade pertama kehidupan dan pada dekade keempat hingga kelima. Tumor
fungsional sering terjadi pada anak – anak dan tumor nonfungsional sering terjadi pada
orang dewasa.
2.5. Etiologi

Beberapa hal bisa membuat tumorigenesis adrenokortikal terjadi, salah satunya


adalah aktivasi berbagai proto-onkogen seperti Ras, PKC, C myc, C fos, protein G,
hormon luteinisasi, dan katekolamin. Inaktivasi gen supresor tumor (antionkogen) seperti
TP53, TP57, TP16, H19, gen retinoblastoma dapat juga membuat hal ini terjadi.
Penghambatan apoptosis melalui mutasi gen telomerase atau BCL-2. Hiperplasia adrenal
juga dikatakan berhubungan dengan adenoma adrenokortikal fungsional. Beberapa kasus
karsinoma Adrenal juga berhubungan dengan hiperaldosteronisme primer.
Sebagian besar kanker korteks adrenal tidak diturunkan (sporadik), tetapi
beberapa (hingga 15%) disebabkan oleh genetik. Sindrom Li-Fraumeni adalah kondisi
langka yang paling sering disebabkan oleh cacat pada gen TP53. Orang dengan sindrom
ini memiliki risiko tinggi terkena beberapa jenis kanker, termasuk kanker payudara,
kanker tulang, kanker otak, dan kanker korteks adrenal. Orang dengan sindrom
Beckwith-Wiedemann juga memiliki peningkatan risiko terkena kanker ginjal, hati, dan
korteks adrenal.
Pasien dengan Multiple endokrin neoplasia memiliki risiko yang sangat tinggi
untuk mengembangkan tumor dari 3 kelenjar: hipofisis, paratiroid, dan pankreas. Sekitar
sepertiga hingga setengah orang dengan kondisi ini juga mengembangkan adenoma
adrenal (tumor jinak) atau kelenjar adrenal yang membesar. Sindrom ini disebabkan oleh
cacat pada gen MEN1. Orang yang memiliki riwayat keluarga MEN1 atau kanker
hipofisis, paratiroid, pankreas, atau adrenal harus datang ke konseling genetik.
Pasien dengan polip adenomatosa familial memiliki risiko kanker adrenal yang
lebih tinggi. Namun, sebagian besar tumor adrenal pada pasien dengan FAP adalah
adenoma jinak. Sindrom ini disebabkan oleh kesalahan pada gen yang disebut APC.
Sindrom Lynch atau kanker kolorektal nonpolyposis herediter adalah kelainan genetik
bawaan yang meningkatkan risiko kanker kolorektal, kanker perut, dan beberapa kanker
lainnya, termasuk kanker korteks adrenal. Dalam kebanyakan kasus, kelainan ini
disebabkan oleh cacat pada gen MLH1 atau MSH2, tetapi gen lain dapat menyebabkan
sindrom Lynch, termasuk MLH3, MSH6, TGFBR2, PMS1, dan PMS2.
Faktor risiko seperti berat badan yang berlebihan, merokok, gaya hidup sedenter,
dan jika seseorang terpapar zat penyebab kanker di lingkungan dapat mempengaruhi
resiko seseorang terkena berbagai jenis kanker. Meskipun tidak satu pun dari faktor-
faktor ini ditemukan secara pasti mempengaruhi risiko seseorang terkena kanker adrenal,
merokok telah disarankan sebagai faktor risiko utama oleh beberapa penelitian.

● Libé, R.. Adrenocortical carcinoma (ACC): diagnosis, prognosis, and treatment.


Frontiers in Cell and Developmental Biology. 2015; Vol 3 doi:10.3389/fcell.2015.00045
● Anne W H, JM N, HT C, JK M, JF F. Risk factors for adrenal cancer: an exploratory
study [Internet]. PubMed. 2015 [cited 14 July 2021]. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/8621222/

2.6. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis dari tumor adrenal sama dengan patogenesis tumor lainnya, yaitu
dimana akan terjadinya tiga tahap: inisiasi, promosi, dan progresi. Pada tahap inisiasi,
terjadi aktivasi dari oncogene (gen yang pada sel normal menyebabkan pertumbuhan
yang abnormal/tumor), terhambat atau hilangnya kemampuan tumor supressor genes.
Tahap inisiasi dapat dimulai dengan satu sel, atau dapat melibatkan sekumpulan sel pada
organ target yang disebut sebagai field effect. Tahap promosi hanya terjadi apabila sel
atau jaringan target telah melalui tahap inisiasi, pada tahap ini sel tersebut berproliferasi
dan menghasilkan banyak sel turunan yang memiliki inti sel yang berbeda dari sel yang
normal. Tahap promosi disebabkan oleh promoter, yaitu suatu senyawa yang memiliki
efek proliferasi terhadap sel.
Secara garis besar promoter dibagi menjadi dua kategori, yaitu promoter spesifik
yang bekerja pada reseptor sel atau jaringan target, dan promoter non-spesifik yang
bekerja dengan mengubah pola ekspresi gen terhadap proliferasi tanpa diketahuinya
reseptor spesifik. Tahap progresi adalah tahap di mana tumor yang semula jinak
berkembang menjadi lebih agresif secara bertahap hingga menjadi kanker yang invasif.
Progresi dapat terjadi akibat proses mutasi dan proliferasi yang berulang-ulang,
setidaknya diperlukan empat hingga lima mutasi pada gen agar tumor dapat berprogresi
menjadi tumor ganas, sementara tumor jinak hanya memerlukan lebih sedikit mutasi pada
gen.
Karakteristik biologis tumor ditentukan oleh seberapa banyak perubahan pada
kode genetik pada masing-masing inti sel tumor. tergantung pada pertumbuhan tumor
baik jinak atau ganas di zona tertentu. Tumor pada korteks adrenal dapat menimbulkan
salah satu dari tiga sindrom hipersekresi yang terdiri dari Sindrom Conn, Sindrom
Cushing dan Sindrom Androgenital. Sindrom Conn atau dikenal juga dengan
Hiperaldosteronisme terjadi akibat produksi aldosteron yang berlebihan oleh sel-sel pada
zona glomerulosa. Hal tersebut sering terjadi pada pasien dewasa, dengan prevalensi
cenderung lebih tinggi pada wanita. Pada sekitar 80% kasus, penyebabnya adalah
Adenoma Adrenokortikal dan pada 20% kasus terjadi karena Hiperplasia Bilateral
korteks adrenal. Gejala yang muncul berupa kelemahan otot, sakit kepala, hipertensi
arteri, hipokalemia, alkalosis metabolik dan kadar renin plasma yang rendah.
Sindrom Cushing disebabkan oleh hipersekresi dari kortisol. Beberapa gejala khas
dari sindrom cushing meliputi obesitas, wajah moon-shaped, munculnya striae pada
perut, payudara dan paha, hirsutisme, jerawat, hipertensi, dan osteoporosis. Sekitar 20-
30% dari semua kasus sindrom Cushing disebabkan oleh tumor jinak atau ganas dari
korteks adrenal. Pada anak perempuan pubertas, sindrom Cushing biasanya merupakan
konsekuensi dari bentuk tumor ini.
Sindrom adrenogenital hampir selalu disebabkan oleh tumor di dalam zona
reticularis, yang menghasilkan androgen atau estrogen dalam jumlah berlebihan dan
kadang-kadang juga kortisol. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak-anak dan remaja. Pada
usia pra pubertas, sindrom adrenogenital jauh lebih sering terjadi pada wanita daripada
pria. Overproduksi androgen pada wanita menyebabkan virilisasi yang memanifestasikan
dirinya melalui hirsutisme, atrofi payudara, dan oligomenorea. Pada anak laki-laki,
kelebihan produksi androgen menyebabkan pubertas yang lebih cepat, sedangkan pada
pria dewasa sindrom adrenogenital hampir tidak dapat dideteksi.
Produksi estrogen yang berlebihan menyebabkan feminisasi pria dewasa, yang
dapat memanifestasikan dirinya melalui ginekomastia, atrofi testis dan penurunan libido.
Pada anak perempuan prapubertas, akibat kelebihan produksi estrogen oleh tumor
kelenjar adrenal adalah pubertas dini. Gejala subjektif pertama dari karsinoma
adrenokortikal adalah nyeri tumpul yang persisten yang disebabkan oleh tekanan tumor
pada organ yang berada di sebelahnya atau oleh infiltrasi ke dalam berkas saraf. Nyeri
perut hebat dapat muncul jika terjadi perdarahan akut ke dalam tumor atau terjadinya
ruptur karsinoma adrenokortikal.
Sel-sel medula adrenal menghasilkan katekolamin, yang utama adalah adrenalin
dan noradrenalin, yang mempengaruhi pengaturan berbagai fungsi fisiologis dan
metabolisme. Penyakit medula adrenal yang paling signifikan adalah pheochromocytoma.
Dalam 80-90% kasus, pheochromocytoma terjadi karena tumor soliter. Tanda
patognomonik dari pheochromocytoma adalah hipertensi paroksismal yang muncul pada
sekitar 50% pasien.
Efek biologis katekolamin bisa berupa stimulasi reseptor alfa-adrenergik yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan kontraktilitas jantung,
glikogenolisis, glukoneogenesis, dan relaksasi usus ataupun stimulasi reseptor beta-
adrenergik yang menghasilkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas. Tingkat
katekolamin relatif juga berbeda pada pheochromocytomas. Kebanyakan
pheochromocytomas mensekresi norepinefrin secara dominan, sedangkan sekresi dari
medula adrenal normal kira-kira 85% epinefrin.

● Jarolim, L., Breza, J., & Wunderlich, H. Adrenal Tumours. European Urology. 2003;
43(1), I–X. doi:10.1016/s0302-2838(02)00365-2

2.7. Klasifikasi

WHO 2017 membagi klasifikasi tumor adrenal secara garis besar menjadi
tumor korteks adrenal dan tumor medula adrenal. Pada pembagian tumor korteks
adrenal, terdiri dari adrenalcortical carcinoma, adrenal cortical adenoma, sex
cord stromal tumor, dan adenomatoid tumor. Untuk klasifikasi tumor medula
adrenal terdiri atas pheochromocytoma, neuroblastoma, dan ganglioneuroma.
Tabel__ Klasifikasi Tumor Adrenal berdarsarkan WHO 2017.

2.7.1 Adrenalcortical Carcinoma

Adrenal carcinoma (ACC) merupakan jenis tumor adrenal yang termasuk


kasus jarang, insidensi 0,5 hingga 2 kasus per juta penduduk per tahun di
Amerika. ACC harus dipikirkan sebagai diagnosis banding ketika dicurigai tumor
adrenal lebih dari 6 cm.
Pada jenis tumor adrenal ini, tidak ada kecenderungan terhadap jenis
kelamin. Penelitian menyatakan puncak pertama dapat terjadi pada masa kanak-
kanak, lalu puncak kedua pada dekade ke 4 dan 5 kehidupan. Adrenalcortical
carcinoma diasosikan dengan beberapa penyakit seperti Li Fraume Syndrome
(mutasi pada TP53) Beckwith-Wiedemann syndrome, dan hiperplasia adrenal
korteks.

Pasien dengan ACC melaporkan penurunan berat badan. Virilasi


dilaporkan pada wanita (untuk tumor yang mensekresi androgen), dan feminisasi
pada pria (untuk tumor yang mensekresi estrogen). Pasien dengan ACC yang
tidak aktif secara hormon biasanya datang dengan keluhan gastrointesinal atau
nyeri pinggang belakang yang disebabka oleh efek massa yang mendesak. Tumor
yang bersifat highly necrotic dapat menyebabkan demam dan dapat menstimulasi
proses infeksi. Tumor ini cenderung dapat mengivasi vena adrenal, vena cava,
daerah ginjal dan retroperineum sehingga dapat menyebabkan tromboemboli.
Metastasis terjadi ke liver hingga 60%, nodus limfa 40%, paru-paru 40%.

Untuk membantu diagnosis, pada pasien ACC akan ditemukan


dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) yang meningkat. Pada CT scan akan
didapatkan batas tidak teratur, peningkatan teratur, kalsifikasi, area nekrotik
dengan degenerasi kistik dengan Unit Houncefield tinggi (+/- 39 HU). Pada
pemeriksaan histologi akan ditemukan invasi kapsul, aktivitas mitosis yang
ditandai dengan bentuk atipikal, berbagai pola pertumbuhan yang terdiferensiasi
dengan baik menjadi sel anaplastic dan banyak neurofril, giant cell, dengan ciri
sarkomatoid serta inklusi globular eosinofilik dan nekrosis. Pada pemeriksaan
sitologi akan ditemukan sel tunggal, sel kohesif yang buruk dengan latar belakang
nekrotik, sitoplasma tervakuolasi menjadi esofinofilik padat dan sering ditandai
atipia nuklir dan aktivitas mitosis. Selain itu menilai stratifikasi rasio dan
membuktikan bahwa ini adalah ACC, dapat digunakan Skor Weiss dan apabila
nilai diatas yang terdiri parameter dari sebagai berikut:
Tabel __. Weiss System

2.7.2 Adrenalcortical adenoma

Addrenalcortical adenoma (ACA) adalah proliferasi neoplastik yang berasal dari


sel kortikal adrenal dan sering terjadi pada wanita dibandingkan laki – laki, dan
pada dekade kelima dan ketujuh dari kehidupan. Predileksi terjadi pada kelenjar
adrenal kanan dan kiri sama. Tumor ini dapat muncul dari tiga lapisan, zona
fasikulata merupakan salah satunya yang paling umum.

ACA berasosiasi dengan sejumlah faktor predisposisi genetik seperti


MEN2, BWS, LFS, sindrom adrenogenital yaitu hiperplasia kelenjar adrenal
kongenital, dan Carney complex yang mengekspresikan trias Carney, yaitu
malignant gastrointestinal stromal tumor, pulmonary chondroma, extra-adrenal
paraganglioma, dan ACA. ACA juga terjadi pada 20-55% kasus mutasi MEN1
Sekitar 90% ACA bersifat non-fungsional, dengan 10% bersifat
fungsional yang mensekresikan satu atau lebih dari 3 kelas utama steroid adrenal,
yaitu zona glomerulosa dengan mineralkortikoid (aldosterone), zona fasikulata
dengan glukokortikoid (kortisol) dan zona retikularis dengan androgen
(testosteron, dihidrotestosteron, androstenedion dan DHEA).

ACA dapat menimbulkan gejala endokrin murni atau campuran. Yang paling
sering ditemukan adalah hiperaldosteronisme (Conn’s Syndrome) dimana
bermanifestasi sebagai hipertensi, kelemahan otot proksimal, sakit kepala,
poliuria, takikardia, hipokalemi dan hipokalsemia karena akibat peningkatan
retensi air dan natrium pada tubulus distal nefron. Feminisasi, karena peningkatan
dari androgen dan proses aromatisasi sehingga ada peningkatan estrogen dengan
tanda ginekomastia. Selain itu ada hiperkotikolism atau sindrom Cushing yang
memiliki gejala dan tanda obesitas, moon facies, striae, kulit tipis yang mudah
memar, hirsutism, telangiectasia dan hiperhidrosis. Virilisasi dapat ditemukan,
pada wanita ada peningkatan massa otot (Herculean habitus), klitoromegali dan
pada laki – laki ada pembesaran penis.

Pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium. Parameter endokrin yang


dapat diperiksakan meliputi dexamethasone supression test, dan kadar ACTH.
Dapat juga diperiksakan kadar DHEA, testoesterone, estrogen, dan juga elektrolit
sebagai penunjang. Biopsi aspirasi dapat dilakukan sebagai diagnostik, namun
dinyatakan sulit untuk membedakan ACA dibandingkan korteks adrenal yang
normal. Pada pemeriksaan radiologi, dapat ditemukan perbatasan yang bulat yang
tervisualisasi dengan baik, homogen, pemisahan yang jelas dan tidak ada ekstensi
ke dalam struktur sekitarnya.
2.7.3 Phaechromocytoma

WHO membagi klasifikasi histologi Phaechromocytoma termasuk dalam tumor


medula adrenal (75-90% kasus). Pheochromocytoma adalah tumor sel penghasil
katekolamin yang terjadi sekitar 1 hingga 2 per 100,000 individu setiap tahunnya.
Tumor ini juga dapat terjadi pada ekstra adrenal (10-25%) yang disebut
sebagai paraganglioma. Paraganglioma ini dapat timbul pada kepala, leher, toraks,
abdomen dan pelvis yang memiliki ciri khas chromaffin-producing neural crest.

Pheochromocytoma herediter/familial memiliki masalah pada gen


rearranged transfection proto- oncogene (RET), von Hippel-Lindau gene (VHL),
neurofibromatosis type 1 gene (NF1) dan mitochondrial succinate dehydrogenase
subunits D dan B genes (SDHD, SDHB). Malignant pheochromocytoma dapat
dinyatakan apabila ada tanda dan bukti metastasis. Pheochromocytoma terdiri
10% ekstra adrenal, 10% familial, 10% bilateral, 10% pediatrik dan 10% ganas. 13
Pheochromocytoma memiliki gejala trias yang terdiri dari sakit kepala bersifat
episodik, keringatan, takikardia pada 30% kasus. Gejala lainnya termasuk
palpitasi, ansietas, hipotensi postural dan paroksismal hipertensi. Diagnostik
phaechromocytoma jarang menggunakan biopsi aspirasi karena gambaran
histologinya sering tumpang tindih dengan gambaran medula adrenal yang
normal. Pada gambaran potong lintang, adrenal pheochromocytoma ditemukan
lesi yang vaskularitas yang kaya dan konten lipid rendah dengan > 10 HU pada
CT scan tanpa kontras.

2.7.4 Neuroblastoma

Neuroblastoma tersusun atas sel neuroblast yang bersifat imatur, dan menjadi
tumor ekstra-adrenal yang paling sering terjadi pada anak-anak. Lebih sering
terjadi pada laki-laki, presentasi gejala muncul pada umur 23 bulan dengan
puncak insidensi pada usia 0-4 tahun. Neuroblastoma merupakan keganasan yang
berasal dari sel-sel neural crest yang menimbulkan medula adrenal dan ganglia
simpatis

Neuroblastoma berasal dari medula adrenal dan daerah paraspinal atau


periaorta. Presentasi bervariasi menurut tempat asalnya, namun 65%
neuroblastoma primer terjadi pada abdomen, 40% pada kelenjar adrenal, sehingga
banyak anak – anak datang dengan gejala berhubungan dengan abdomen seperti
rasa mudah penuh atau distensi akibat efek massa. Sebanyak 6% kasus datang
dengan gejala diare. Ada pun gejala neurologis yang dapat menyertai adanya
perubahan gerakan mata yang cepat, ataksia, dan pergerakan otot secara ireguler.

2.7.5 Adrenal Incidentaloma

Adrenal Incidentaloma (AI) merupakan massa adrenal yang ditemukan secara


kebetulan, biasanya setelah prosedur pencitraan rutin yang tidak berhubungan
dengan kelenjar adrenal. Pada umumnya, pasien tidak menunjukkan tanda –
tanda kelebihan hormon atau keganasan yang jelas terlihat. Teknik pencitraan
telah meningkat dan lebih umum digunakan, sehingga semakin banyak
insidentaloma adrenal yang dapat ditemukan. Kemungkinan mengalami
insidentaloma adrenal meningkat dengan bertambahnya usia. Pada usia 50 tahun,
ada risiko 3% mengalami insidentaloma adrenal dan meningkat hingga 7% pada
usia 70 tahun. Meskipun sebagian besar insidentaloma adrenal tidak
menyebabkan keluhan ataupun masalah, namun harus dievaluasi dan investigasi
awal pilihan adalah CT scan tanpa kontras.

2.7.6 Ganglioneuroma

Ganglioneuroma merupakan neoplasma jinak matur yang berasal dari sel neural
crest dari simpatetik ganglia ataupun medulla adrenal. Ganglioneuroma termasuk
salah satu jenis tumor yang paling ter diferensiasi. Sering terjadi pada anak-anak
diatas 7 tahun. Kasus adrenal ganglioneuroma cenderung terjadi pada orang
muda, 20% kasus terjadi pada dekade ke 4 dan 5 dan sekitar 50% terjadi pada usia
10-29 tahun. Tumor ini diasosiasikan dengan predisposisi familial Turner
Syndrome.

Ganglioneuroma dapat tumbuh besar dan memiliki kecenderungan untuk


membungkus pembuluh darah tanpa mengenai lumen pembuluh darah. Pada
pasien biasanya tidak menimbulkan gejala hingga gejala non spesifik berupa nyeri
perut, massa abdomen yang terpalpasi. Hipertensi yang disebabkan oleh sekresi
katekolamine dapat terjadi namun sangat jarang. Diagnosis sebagian besar bersifat
patologis, selalu harus dilakukan reseksi untuk menegakkan diagnosa. Meskipun
demikian, ahli urologi harus menyadari bahwa tumor dapat terus tumbuh besar
dan dapat mengelilingi struktur penting seperti pembuluh darah retroperitoneal.

2.8. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang dialami oleh pasien dengan tumor adrenal bergantung pada jenis dari
tumor.

2.8.1 Adrenocortical adenoma dan adrenocortical carcinoma


25% pasien dengan Cushing's Syndrome tanpa adanya tanda produksi hormon
ektopik, memiliki tumor adrenal. 30% diantaranya merupakan keganasan, sedangkan
sisanya berupa adenoma jinak. Adanya tumor ini dapat membuat pasien memiliki
beberapa gejala yang pada umumnya timbul 6-12 bulan sebelum terdiagnosis, gejala-
gejala tersebut berupa: kadar glukokortikoid tinggi (45%), kadar androgen tinggi
(15%), kadar androgen dan glukokortikoid tinggi (35%) dan kadar mineralokortikoid
atau estrogen tinggi (5%). Gejala lain dapat berupa perut yang terasa nyeri/tidak
nyaman, penurunan berat badan, kelelahan yang ekstrim dan kelemahan yang
ekstrim. Pasien juga dapat mengalami diabetes.46
● Gejala pada hormon glukokortikoid tinggi: Moonface (wajah yang bulat, merah,
dan lebih penuh), peningkatan berat badan yang dapat menyebabkan ciri buffalo
hump (adanya kumpulan lemak di SKDntara bahu) dan obesitas sentral
(abdomen yang besar namun ekstremitas yang terlihat kurus), perubahan kulit
(penipisan kulit, lebih mudah luka, jerawat, striae berwarna ungu pada bagian
abdomen, paha, dan dada), tekanan darah tinggi, kelemahan, nyeri punggung,
nyeri kepala, rasa haus, peningkatan frekuensi BAK, gangguan mental,
perubahan periode menstruasi pada wanita, dan perkembangan payudara serta
impotensi pada pria. 47
● Gejala hormon androgen tinggi pada wanita: gejala virilisme yaitu hirsutism,
tumbuhnya jerawat, dan alopesia androgenik. 48
● Gejala hormon estrogen tinggi pada pria: gejala feminisme yang ditandai dengan
adanya disfungsi ereksi, pembesaran payudara (ginekomastia) dan infertilitas.49
● Gejala hormon mineralokortikoid tinggi: Hormon aldosteron merupakan jenis
hormon mineralokortikoid yang paling penting. Akibat dari tingginya kadar
aldosteron, tanda yang paling sering muncul adalah adanya hipertensi yang
bersifat resisten walaupun sudah diberikan beberapa jenis obat penurun tekanan
darah. Gejala yang dapat ditimbulkan karena hipertensi berupa sakit kepala,
penurunan penglihatan dan pusing. Selain hipertensi, pasien dengan kadar
aldosteron yang tinggi dapat memiliki tingkat kalium yang rendah, hal ini dapat
menyebabkan beberapa keluhan antara lain kelelahan, buang air kecil berlebihan,
peningkatan rasa haus, kram otot, dan kelemahan pada otot. 50

2.8.2 Pheochromocytoma
Pasien dengan tumor jenis ini pada umumnya terdiagnosis setelah adanya
investigasi terhadap hipertensi yang bersifat persisten. Triad dari gejala yang dialami
pasien dengan pheochromocytoma adalah sakit kepala, palpitasi dan diaforesis. Gejala
yang dapat ditimbulkan pada kasus jinak atau ganas adalah sebagai berikut; 46
● Kulit: berkeringat, kemerahan, atau memucat
● Kardiovaskular: hipertensi, takikardi, perubahan ritme yang paroksismal, nyeri
dada, hipotensi postural
● Sistem saraf pusat: sakit kepala, tremor, mudah marah, perubahaan mood,
psikosis dan anoreksia
● Metabolik: penurunan berat badan, peningkatan metabolic rate, dan glikosuria
2.8.3 Neuroblastoma
Tumor jenis ini juga berasal dari sel krista saraf, namun sifat sel nya yang lebih
imatur dan tidak terdiferensiasi dengan baik membuat tumor jenis ini cenderung lebih
ganas dibanding ganglioneuroma. Gejala yang ditimbulkan bervariasi. Gejala berupa
massa abdomen merupakan tanda yang paling sering muncul. Massa bersifat tidak nyeri
namun dapat disertai nyeri abdomen yang bersifat ringan. Gejala lain yang dapat terjadi
berupa demam, kelelahan, penurunan berat badan dan anemia. Apabila sudah
bermetastase, akan menimbulkan gejala lain tergantung dari organ yang terkena dampak
dari tumor.46,52

2.8.4 Ganglioneuroma
Gejala yang ditimbulkan bersifat tidak spesifik, pada umumnya tidak terdeteksi
dari kadar hormon dan gejala bergantung terhadap lokasi dan ukuran. Sekitar 30% pasien
memiliki peningkatan katekolamin plasma dan urin namun sangat jarang yang memiliki
gejala peningkatan vasoaktif amino.51

2.9. Diagnosis

Pasien dengan massa adrenal memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap,
pemeriksaan hormonal, serta pemeriksaan imaging untuk evaluasi massa. Umumnya pasien
terdiagnosis dengan massa adrenal memiliki keluhan extra-adrenal sebelumnya, seperti nyeri
abdomen yang tidak spesifik, nyeri lumbar, nefropati, atau gangguan liver/bilier. Keluhan karena
produksi hormon berlebih juga seringkali menjadi keluhan pada pasien dengan massa adrenal,
seperti hipertensi, obesitas generalized, dan toleransi glukosa abnormal, serta beberapa temuan
seperti hirsutism, striae, dan ginekomastia.1,2
2.9.1. Tumor Cortex Adrenal
2.9.1.1 Anamnesis
2.9.1.1.1 Adrenocortical adenoma
Pada adenoma yang bersifat tidak fungsional atau pada massa yang memproduksi
hormon dengan jumlah kecil, pada umumnya bersifat asimtomatik. Pada massa jinak yang
bersifat produktif akan terdapat gejala Cushing's Syndrome. 76

2.9.1.1.2 Adrenocortical carcinoma


Pada pasien dengan ACC, sebagian besar pasien akan datang dengan gejala yang sudah
lanjut, dimana sudah terdapat massa abdomen multipel bahkan massa ekstra-abdomen yang
merupakan metastasis (stage IV). Gejala pada ACC terbagi menjadi gejala pada tumor yang yang
bersifat tidak fungsional (silent tumor) dan gejala pada tumor yang aktif secara hormonal. Silent
tumor terdapat pada 40% kasus ACC. Gejala yang dapat dialami pada penderita ACC yang tidak
fungsional adalah demam, penurunan berat badan, nyeri pada bagian abdomen, nyeri punggung,
rasa penuh pada abdomen, dan gejala yang berhubungan dengan metastasis. Pada ACC, 30-40%
akan mengalami gejala Cushing's Syndrome, sedangkan 20-30% memiliki sindroma virilisasi.71

2.9.1.1.3 Cushing's Syndrome


Pada anamnesis Cushing's syndrome, dapat ditemukan minimal 3 dari gejala berikut ini;72
1. Obesitas (kecuali pada bagian ekstrimitas), moon face, bantalan lemak pada bagian
supraklavikular dan dorsoservikal (buffalo hump)
2. Striae pada bagian abdomen dan paha
3. Hipertensi
4. Miopati pada bagian proksimal dengan adanya kelemahan terutama pada kuadrisep
femoris (kesulitan bangun dari kursi)
5. Gangguan emosional berupa perasaan labil, sifat lekas marah, sulit tidur, dan
kepribadian psikotik
6. Osteoporosis dengan nyeri punggung karena ada fraktur kompresi dari vertebrae
lumbar dan fraktur iga
7. Pada 80% kasus terdapat hiperglikemia postprandial, dan terdapat peningkatan gula
darah puasa pada 20% kasus
8. Gejala androgen tinggi pada wanita dengan Cushing's syndrome yang hanya terjadi
pada kasus karsinoma (hirsutism, pengunduran batas rambut, payudara mengecil,
pembentukan otot yang berlebihan, dan suara yang semakin berat)
2.9.1.2 Pemeriksaan Fisik

2.9.1.2.1 Adrenocortical adenoma


Pada pemeriksaan fisik, adenoma yang bersifat tidak fungsional atau pada massa
yang memproduksi hormon dengan jumlah kecil, pada umumnya tidak terdapat
abnormalitas pada pemeriksaan fisik. Pada massa jinak yang bersifat produktif akan
terdapat tanda-tanda Cushing's Syndrome pada pemeriksaan fisik.72

2.9.1.2.2 Adrenocortical carcinoma


Pada pemeriksaan fisik, karena ukuran carcinoma yang pada umumnya memiliki
ukuran lebih besar (>4 cm) maka dapat palpasi massa pada saat melakukan palpasi
abdomen. Pada pemeriksaan fisik, juga terdapat tanda-tanda yang sesuai dengan produksi
hormon yang meningkat. Hormon androgen yang meningkat pada wanita dapat
menimbulkan tanda virilisasi berupa hipertrofi klitoris, jerawat, dan pertumbuhan rambut
kelamin dan ketiak yang meningkat. Pada kasus yang lebih langka, dapat terjadi
peningkatan hormon estrogen yang meningkat pada pria dengan tanda berupa
ginekomastia dan hipertensi. Apabila hormon kortisol yang meningkat karena adanya
karsinoma, maka dapat terdapat tanda-tanda Cushing's syndrome.71

2.9.1.2.3 Cushing's Syndrome


Pada pasien dengan Cushing's syndrome, akan terdapat tanda-tanda pada
pemeriksaan fisik berupa obesitas (kecuali pada bagian ekstrimitas), moon face, bantalan
lemak pada bagian supraklavikular dan dorsoservikal (buffalo hump), dan striae pada
bagian abdomen dan paha.62
Gambar 2.11 Gejala pada Cushing’s Syndrome

2.9.1.3 Pemeriksaan Penunjang

2.9.1.3.1 Complete Blood Count


Pada pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan peningkatan leukosit dan
neutrofil. Selain itu juga dapat ditemukan peningkatan gula darah dan hipokalemia. 80
Gambar 2.12 Bagan Pemeriksaan Penunjang Massa Adrenokortical

2.9.1.3.2 Low Dose Dexamethasone Supression Test


Low-dose dexamethasone suppression test dilakukan dengan cara mengonsumsi
1 mg dexamethasone pada malam hari (sebelum pukul 23:00), kemudian sampel darah
puasa akan diambil pada pagi hari keesokan harinya pada pukul 08:00. Interpretasi hasil
berupa: 54
o <5 mikrogram/dL = normal
o 5-10 mikrogram/dL = tes harus diulang atau dapat dilakukan pemeriksaan urin kortisol
o >10 mikrogram/dL= Cushing's syndrome
Hasil positif palsu dapat terjadi pada wanita hamil, penyakit akut, depresi dan
alkoholisme. Pada 15% pasien obese, kortisol tidak akan menurun pada tes ini.
2.9.1.3.3 Late Night Salivary Cortisol
Pemeriksaan late night salivary cortisol merupakan salah satu pemeriksaan yang
paling sensitif untuk mendeteksi adanya Cushing's syndrome. Kortisol yang meningkat
pada pukul 11.00 malam sampai pada tengah malam merupakan tanda abnormalitas pada
pasien dengan Cushing's syndrome. Pada umumnya, sekresi kortisol sangat rendah pada
waktu tersebut, namun pada pasien dengan cushing's syndrome jumlahnya akan
meningkat. Nilai normal untuk kadar kortisol pada saliva adalah 3-4 nmol/L.
Pengambilan sampel saliva menggunakan sampling tube dan dapat disimpan dalam suhu
ruangan.73

2.9.1.3.4 24 Hour Urine Free Cortisol


Pada pemeriksaan ini, sampel urin akan diambil sebanyak beberapa kali dalam 24
jam dan akan diperiksa kadar kortisolnya. Kadar kortisol yang normal pada urin selama
24 jam adalah 10-50 mikrogram. Kadar kortisol yang meningkat 2 kali lipat menandakan
adanya Cushing's syndrome. Dapat terjadi positif palsu apabila pada penyakit akut,
depresi dan alkoholisme.73

2.9.1.3.5 Plasma ACTH Level


Apabila diagnosis Cushing's syndrome sudah ditegakkan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan kadar plasma ACTH untuk membedakan penyebab Cushing's syndrome
yaitu ACTH-dependant causes (Cushing's disease atau sindrom ektopik ACTH) atau
karena tumor adrenal. Angka normal dari pemeriksaan ini adalah 10-50 pg/mL. Pasien
dengan Cushing's disease memiliki nilai ACTH mulai dari 10-200 pg/mL, pada pasien
dengan sindrom ektopik ACTH dapat ditemukan nilai lebih dari 200 pg/mL. Pasien
dengan tumor adrenal akan memiliki kadar ACTH yang rendah yaitu kurang dari 5
pg/mL. Pada pasien dengan kadar plasma ACTH yang meningkat, dapat dilakukan
pemeriksaan imaging untuk menentukan letak asal dari peningkatan ACTH. MRI pituitari
merupakan tahap pertama. Sebanyak 50-60% pasien dengan Cushing's disease akan
mendapatkan hasil positif, sisanya akan mendapatkan hasil positif pada pengambilan
sampel ACTH melalui drainase vena dari pituitari anterior yaitu melalui sinus cavernosa
dan sinus petrosal inferior. Apabila MRI dan drainase vena tidak dapat menentukan
diagnosis maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan CT scan abdomen dan dada untuk
melokalisir tumor ektopik. 72

2.9.1.3.6 Plasma Androgen Levels


Pada pasien dengan adenoma adrenal, kadar androgen dapat normal atau
menurun, sedangkan pada pasien dengan ACC, kadar androgen seringkali meningkat.
Pasien dengan gejala virilisme ataupun hirsutism, dapat melakukan pemeriksaan kadar
plasma DHEA-S. Pemeriksaan kadar plasma DHEA-S merupakan pemeriksaan paling
umum digunakan, namun pemeriksaan lain dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
androstenedion, testosteron, 17-OH-progesteron dan 17-B-estradiol.53,54

2.9.1.3.7 Computed Tomography (CT)


CT merupakan pilihan paling efektif untuk melakukan pemeriksaan pada kelenjar
adrenal. CT dapat melakukan identifikasi ukuran, lokasi, karakteristik, adanya invasi
lokal/vaskular, keterlibatan kelenjar getah bening, dan adanya metastase. Pada pasien
dengan lesi adrenal, kelenjar adrenal kontralateral juga harus dievaluasi untuk
menentukan apakah tumor bersifat unilateral/bilateral. Kontras yang diberikan lewat
intravena pada umumnya tidak diperlukan untuk melihat keberadaan massa adrenal,
namun kontras diperlukan untuk melihat keterlibatan vaskular. CT non-kontras dapat
menunjukan karakteristik massa dengan menggunakan Hounsfield Unit (HU). 53,54
Pasien dengan Cushing's syndrome dengan kecurigaan tumor adrenal dan
terdapat kadar ACTH yang menurun harus melakukan CT scan dari abdomen dengan
bagian-bagian berukuran 3 mm pada bagian adrenal. Tumor adrenal yang dapat
menyebabkan Cushing's syndrome pada umumnya memiliki diameter berukuran > 3
cm.72
2.9.1.3.7.1 Adrenocortical adenoma

Gambar 2.13 CT Non-contrast Adenoma Adrenal Kanan HU <1072

Pasien dengan adenoma adrenal pada umumnya memiliki adenoma dengan


ukuran diameter 3-6 cm. Dengan karakteristik kontur halus, marginasi jelas, <10 HU
(unenhanced attenuation yang rendah), dan washout kontras yang cepat (>50% dalam 10
menit). Adanya pembesaran adrenal yang bilateral pada umumnya mengindikasikan
Cushing's disease atau sindroma ACTH ektopik. 72

2.9.1.3.7.2 Adrenocortical carcinoma

Gambar 2. 14 CT Non-contrast Adrenocortical Carcinoma Kiri (Terdapat Batas Iregular dan Massa
Satelit Kecil dibagian Medial) 72
Karsinoma umumnya memiliki diameter > 5 cm dan seringkali bersifat invasif
secara lokal atau terdapat metastasis ke hati atau paru-paru. Umumnya adrenal
kontralateral akan tertekan sehingga akan terlihat atrofi atau berukuran normal.
Karakteristik yang tampak pada CT scan adalah massa besar, heterogen dengan atenuasi
dibagian central yang rendah karena adanya nekrosis tumor, ukuran yang iregular,
kalsifikasi, unilateral, washout yang lambat (<50% dalam 10 menit), dan adanya tanda
invasi lokal.53,54

2.9.1.3.8 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemeriksaan MRI bukan hanya melihat sisi detail anatomis namun juga
karakteristik jaringan dan ekstensi kepada struktur yang berdekatan dan menunjukan
hubungan antara tumor adrenal dengan pembuluh yang besar. 53,54

Tipe Tumor MRI

Adenoma jinak ● Iso Intensitas dengan liver pada T1


dan T2
● Bukti pergeseran lipid

Adrenocortical ● Hipo intensitas pada liver di T1


carcinoma ● Intensitas sedang sampai dengan
tinggi pada T2
● Adanya bukti invasi lokal

Tabel 2.4. MRI Massa Adrenal

2.9.1.3.9 Biopsi Adrenal


Fine-Needle Aspiration Biopsy (FNAB) perkutan dengan guide CT atau USG
dapat menjadi pilihan untuk melakukan biopsi adrenal dengan syarat sebagai berikut: 53,54
· Massa terbukti tidak aktif secara hormonal
· Massa tidak dapat ditentukan melalui imaging
· Tindakan yang dilakukan pada pasien akan berubah sesuai dengan hasil
histologi
Pada umumnya pemeriksaan FNAB dilakukan pada kasus keganasan yang diawali
dari organ lain dengan ditemukannya massa adrenal baru. FNAB bersifat invasif dan
memiliki resiko morbiditas yang tinggi. Resiko yang dapat terjadi pada biopsi adrenal
adalah hematoma (pada adrenal, ginjal dan hati), pankreatitis, nyeri abdomen,
pneumothorax, hematuria, dan pembentukan abses. 53,54

2.9.1.3.10 Adrenal Scintigraphy


Pemeriksaan ini terbatas karena kurangnya pusat kesehatan dengan fasilitas
nuklir yang berpengalaman. Pemeriksaan ini dapat menentukan lokasi anatomis,
karakteristik adrenal berdasarkan uptake dan akumulasi radiotracer pada jaringan
adrenokortical yang berfungsi.53 131I-6B-iodomethyl-norcholesterol (NP59) adalah analog
kortisol yang bisa menandakan sel kortikal adrenal untuk mengevaluasi hipersekresi.
Sebelum melakukan injeksi dari radiotracer, potassium iodine tersaturasi (lugol)
dimasukkan untuk melindungi tiroid. Supresi ACTH dengan deksametason (1 mg setiap 6
jam selama 7 hari) dibutuhkan. Evaluasi dari uptake radiotracer dimulai pada 4 hari
setelah injeksi NP59 dan dapat berlangsung sampai hari ke 10. Terdapat adanya uptake
radiotracer kurang dari 5 hari setelah injeksi pada unilateral menandakan adanya
adenoma, sedangkan uptake bilateral menandakan adanya hiperplasia idiopatik.
Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada lesi kurang dari 1,5 cm. 62

2.9.2 Primary Aldosteronism (Conn's Syndrome)

2.9.2.1 Anamnesis
Diagnosis adanya hiperaldosteronism primer pada umunya didapatkan pada dekade
ketiga hingga keenam pada kehidupan pada saat dilakukan evaluasi hipertensi. Pasien dapat
mengalami gejala sakit kepala, polidipsi, palpitasi, poliuria, nokturia dan kelemahan otot karena
adanya hipokalemia. Selain itu pasien juga dapat mengalami kebas dan kesemutan pada bagian
ekstremitas.62,72

2.9.2.2 Pemeriksaan Fisik


Rata-rata tekanan darah yang ditemukan pada pasien aldosteronism primer adalah
184/112. Pasien dengan aldosteronism primer dapat mengalami gangguan organ kardiovaskular
dan gangguan ginjal. Pasien dengan aldosteronism primer dapat meningkatkan resiko stroke
sebanyak 4 kali, resiko infark miokard sebanyak 6.5 kali dan resiko fibrilasi atrium sebanyak 12
kali.62,72
2.9.2.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pada aldosteronism primer dapat dibagi menjadi 3 tahap yang sistematis
yaitu skrining, confirmatory testing, dan diferensiasi subtipe. 62,72

Gambar 2. 15 Bagan Pemeriksaan Penunjang pada Hiperaldosteronism Primer


2.9.2.3.1 Skrining
Indikasi untuk melakukan skrining adalah adanya hipertensi dengan hipokalemia,
hipertensi resisten (konsumsi 3 atau lebih jenis obat namun tekanan darah tidak terkontrol
dengan baik), AI dengan hipertensi, hipertensi dengan early-onset (dibawah 20 tahun)
atau stroke dengan early-onset (dibawah 50 tahun), hipertensi berat
(≥160/≥110), pertimbangan adanya penyebab hipertensi sekunder
(pheochromacytoma atau penyakit renovaskular), hipokalemia yang tidak dapat
dijelaskan (spontan atau diinduksi diuretik), dan adanya bukti kerusakan pada target
organ yang tidak sesuai dengan derajat hipertensi.
Sebelum melakukan skrining, hipokalemia harus dikoreksi dan obat yang bersifat
kontraindikasi harus dihentikan yaitu antagonis reseptor mineralokortikoid (diberhentikan
6 minggu sebelum dilakukan tes) dan dapat diganti menjadi alpha 1 receptor blocker atau
long acting calcium channel blocker. 62,72
Skrining dilakukan dengan cara mengambil sampel darah pada pagi hari (pukul
08.00-10.00) untuk menilai plasma aldosterone concentration (PAC) dan plasma renin
activity (PRA). Hasil yang menandakan adanya hiperaldosteronisme primer adalah: 53,54
○ PAC= >20 ng/dL
○ Rasio PAC: PRA = >30 ng/dL
○ PRA= <1 ng/mL per jam

2.9.2.3.2 Confirmatory Testing


Apabila hasil skrining positif, maka dilakukan confimatory testing sebelum
menegakkan diagnosis aldosteronism primer. Sama seperti skrining, pasien harus terlebih
dahulu melakukan koreksi hipokalemia dan tidak meminum antagonis reseptor
mineralokortikoid selama 6 minggu. Dalam confirmatory testing, 3 jenis tes akan
mengevaluasi penekanan kadar aldosterone setelah adanya loading natrium dan 1 jenis
tes untuk mengevaluasi penekanan rasio aldosteron dengan reni setelah pemberian ACE
inhibitor. Pemeriksaan loading natrium memiliki teori bahwa pemberian natrium akan
menurunkan kadar produksi renin dan aldosteron plasma. Pemilihan tes tergantung
kepada karakteristik dan keadaan fisik pasien. Pada saat melakukan tes, tekanan darah
harus selalu dimonitor. 62,72
2.9.2.3.2.1 Fludrocortisone Suppresion Test
Pemeriksaan ini diawali dengan memberikan mineralokortikoid fludrocortisone
sintesis (0.1 mg setiap 6 jam) dan natrium klorida atau NaCl (2 gram setiap 8 jam) selama
4 hari. Setelah 4 hari, kadar aldosteron akan diukur pada posisi duduk. Hasil plasma
aldosteron yang melebihi 6 ng/dL menandakan adanya aldosteronism primer. 62,72

2.9.2.3.2.2 Oral Sodium Loading Test


Diet natrium sodium selama 3 hari merupakan tahap untuk melakukan
pemeriksaan ini. Setelah itu, kadar urin untuk aldosteron, natrium dan kreatinin akan
diukur. Tambahan NaCl dapat diberikan untuk memastikan intake natrium per hari
minimal 12.8 gram per hari. Diagnosis aldosteronism primer dapat ditegakkan apabila
kadar aldosteron 24 jam melebihi 12 mikrogram per hari. 62,72

2.9.2.3.2.3 Intravenous Saline Infusion Test


Pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan karena pasien tidak diharuskan untuk
melakukan loading natrium selama beberapa hari. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
pemberian NaCl 0.9% IV sebanyak 2 liter selama 4 jam dalam posisi supine. Infus
dilakukan setelah puasa selama 1 malam. Setelah dilakukan pemberian NaCl, kadar
aldosteron akan diukur, nilai diatas 5 ng/dL menegakkan diagnosis aldosteronism primer,
dan kadar di atas 10 ng/dL menandakan adanya adenoma yang memproduksi aldosteron.
62,72

2.9.2.3.2.3 Captopril Supression Test


Pasien akan diberikan ACE Inhibitor yaitu Captopril sebanyak 25-50 mg. Setelah
itu kadar aldosteron akan diperiksa. Penekanan sistem RAAS seharusnya terjadi pada
pasien tanpa aldosteronism primer. Sedangkan pasien dengan kadar aldosteron lebih dari
15 ng/dL mengindikasikan adanya aldosteronism primer. 62,72
2.9.2.3.3 Diferensiasi suptipe
Setelah menegakkan adanya aldosteronism primer, maka dilakuka diferensiasi
subtipe. Diferensiasi subtipe sangat penting karena berhubungan dengan manajemen yang
akan dilakukan selanjutnya. Terapi bedah hanya sukses pada pasien dengan subtipe
tertentu. Familial Hyperaldosteronism tipe 1 merupakan penyakit yang sangat langka,
maka pemeriksaan genetik tidak dilakukan pada seluruh pasien. Pasien dengan adanya
riwayat keluarga aldosteronism primer, onset yang sangat awal (<20 tahun) atau pasien
dengan riwayat keluarga dengan kejadian vaskuler serebral pada usia muda harus
dipertimbangkan melalui pemeriksaan genetik. 62,72

Gambar 2. 16 Subtipe hiperaldosteronism primer

2.9.2.3.3.1 Computed Tomography (CT)


CT scan digunakan untuk mengevaluasi adanya nodul adrenal. Karakteristik
untuk adenoma yang memproduksi aldosteron adalah adanya lesi densitas rendah dengan
HU <10, ukuran 1.6-1.8 cm, dengan keadaan adrenal kontralateral bersifat normal.
Namun karena ukuran 20% adenoma <1 cm, maka lateralisasi tidak berdasarkan
pemeriksaan CT saja. Karakteristik radiografi untuk hiperplasia idiopatik adalah adanya
nodul multipel pada adrenal unilateral atau bilateral, atau pembesaran adrenal bilateral
dengan peningkatakan ukuran limb, atau ukuran kelenjar yang normal. 62,72

2.9.2.3.3.2 Sampling Vena Adrenal


Untuk menentukan lateralisasi dari sekresi aldosteron, maka dilakukan adrenal
vein sampling. Pemeriksaan ini dilakukan pada pagi hari setelah pasien melakukan puasa
selama 1 malam. Akses perkutan akan didapatkan melalui vena femoralis dan kateter
akan diposisikan untuk mendapatkan sampel dari 3 sisi: vena adrenal kanan, vena adrenal
kiri, dan vena cava inferior. Kadar aldosteron dan kortisol kemudian akan di evaluasi. 62,72

Gambar 2.17 Sampling Vena Adrenal

Konsentrasi kortisol dari sampel vena adrenal akan dibandingkan dengan


konsentrasi kortisol dari sampel vena cava inferior. Rasio seharusnya di atas 1.1:1 sampai
5:1 tergantung dari stimulasi ACTH. Untuk pemeriksaan lateralisasi sekresi aldosteron,
dapat dibandingkan dengan cara membandingkan aldosteron dengan rasio kortisol dari
sisi dominan ke sisi non-dominan. Sekresi aldosteron dinyatakan terlateralisasi apabila
rasio sisi dominan dibandingkan non-dominan adalah melebihi 2-4:1. 62,72
Gambar 2.18 Bagan Sampling Vena Adrenal

2.9.2.3.3.3 Posture Stimulation


Pemeriksaan tambahan ini dilakukan untuk membedakan antara adenoma yang
memproduksi aldosteron dengan hiperplasia idiopatik berdasarkan perubahan kadar
konsentrasi aldosteron yang merupakan respon dari perubahan posisi. Tes ini dilakukan
dengan membandingkan konsentrasi aldosteron plasma setelah pasien berbaring selama
semalaman dengan setelah bangun selama 4 jam. Pada teorinya, peningkatan angiotensin
yang terjadi karena posisi bangun akan meningkatkan aldosteron plasma pada pasien
normal sebanyak 2-4 kali lipat dibandingkan pada posisi berbaring. Pasien dengan
hiperplasia idiopatik akan meningkat sebanyak 33% dari baseline, sedangkan pasien
dengan adenoma tidak akan terjadi peningkatan pada perubahan postur tubuh. 62,72
2.9.3 Pheochromocytoma

2.9.3.1 Anamnesis
Trias dari gejala yang dialami pasien dengan pheochromocytoma adalah sakit kepala,
palpitasi dan diaforesis. Pasien akan mengeluhkan adanya sakit kepala yang sesuai dengan tingkat
keparahan tekanan darah tinggi. Terdapat peningkatan kadar berkeringat tanpa ada penyebab
seperti aktivitas fisik dan lingkungan yang panas, flushing, berdebar-debar, kelemahan,
penurunan berat badan, penurunan mortalitas pencernaan, ansietas, dan ketidakstabilan psikis. 62

2.9.3.2 Pemeriksaan Fisik


Pada saat melakukan pemeriksaan fisik, akan terdapat takikardia dan hipertensi pada
sistol dan diastol. Selain itu terdapat artimia, tanda-tanda infark miokard, tanda-tanda gagal
jantung kongestif dan tremor. 46,53,62

2.9.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan biokimia untuk mengukur plasma dan urin memiliki prinsip sebagai berikut:
· Skrining pada populasi hipertensi tidak direkomendasikan karena rendahnya kejadian
pheochromocytoma (0.1%)
· Pasien dengan pheochromocytoma dengan hipertensi yang bersifat menetap, pada
umunya memiliki peningkatan kadar katekolamin dan metabolitnya pada pemeriksaan
urin dan plasma. Lebih dari 80% pasien memiliki kadar urin 2 kali lebih besar dari
normal dan kadar plasma katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) lebih dari 2000 ng/L
· Pasien dengan hipertensi episodik dapat memiliki kadar katekolamin plasma yang
normal dan kadar urin 24 jam yang normal. Evaluasi pada pasien-pasien ini dapat
dilakukan dengan cara mengambil sampel pada saat adanya hipertensi atau 2-4 jam
setelah adanya onset hipertensi
· Tes supresi atau stimulasi tidak direkomendasikan kecuali ketika diagnosis tidak bisa
ditegakkan pada saat menggunakan pemeriksaan rutin 72
2.9.3.3.1 Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan urin 24 jam merupakan pemeriksaan paling sederhana yang dapat
dilakukan. Kadar normal dari katekolamin dan metabolitnya adalah sebagai berikut: 62
· Norepinefrin: 10-100 mikrogram/24 jam
· Epinefrin: 0-20 mikrogram/24 jam
· Normetanefrin dan metanefrin: <1.5 mg/24 jam
· Vanillylmandelic Acid (VMA): 2-9 mg/24 jam

2.9.3.3.2 Katekolamin Plasma


Peningkatan kadar katekolamin dapat terdeteksi pada plasma di hampir seluruh
penderita pheochromocytoma, namun frekuensi positif palsu masih sering terjadi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil darah vena pada posisi supine tanpa
adanya riwayat pemakaian IV line dalam 30 menit terakhir, kadar normal dari
katekolamin plasma adalah: 62
· Norepinefrin: 100-200 pg/mL
· Epinefrin: 30-50 pg/mL

2.9.3.3.3 Imaging
Pheochromocytoma bersifat intra abdomen pada 98%, dan 90% merupakan intra-adrenal.
Pheochromocytoma yang berada di ekstra abdomen berasal dari mediastinum posterior, jantung
atau perikardium dan di leher. Sedangkan pheochromocytoma extra adrenal berada di
symphatetic chain, area periaorta, dan bifurkasio aorta.
Pasien dengan kadar katekolamin urin yang meningkat 2 kali lipat harus melakukan CT
scan. Jika pada CT scan terdapat tumor unilateral dan adrenal kontralateral normal, makan
diagnosis dapat ditegakkan. Pasien dengan sindroma keturunan dan pasien dengan kecurigaan
keganasan harus melakukan MIBG. Apabila hasil CT menunjukan keadaan normal, maka
dilakukan MRI atau MIBG untuk abdomen dan dada untuk melokalisir tumor. 62
2.9.3.3.3.1 Computed Tomography (CT)
Hasil pemeriksaan CT pada pasien dengan pheochromocytoma adalah vaskular
tinggi, HU >20 (unenhanced attenuation yang meningkat), washout yang lambat (<50%
dalam 10 menit), perubahan kista, perdarahan, dan ukuran yang bervariasi dengan
kemungkinan massa bilateral62
2.9.3.3.3.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Ketepatan pemeriksaan menggunakan MRI sama baiknya dengan pemeriksaan
menggunakan CT, namun memiliki biaya yang lebih mahal. Hasil MRI pada pasien
dengan pheochromocytoma adalah intensitas tinggi pada T2.62

2.9.3.3.3.3 Metaiodobenzylguanidine (MIBG) Scintigraphy


MIBG merupakan analog untuk norepinefrin. Pemeriksaan ini dapat
131 123
menggunakan I atau I. Komponen ini dapat mendeteksi pheochromocytoma,
neuroblasotma dan tumor yang berasal dari krista neural lainnya. Pemeriksaan ini baik
untuk melokalisir lesi kecil, lesi ekstra adrenal, lesi bilateral dan deposit metastatik pada
tumor ganas.62

2.9.4 Adrenal Incidentaloma


AI merupakan massa adrenal yang bersifat silent secara klinis yang ditemukan pada saat
pemeriksaan pengobatan, atau follow up yang tidak berhubungan dengan adrenal itu sendiri. Lesi
adrenal ditemukan pada 4-5% pemeriksaan CT scan untuk pemeriksaan yang tidak berhubungan
dengan adrenal. 70% AI merupakan adenoma yang non-fungsional, 5-16% merupakan adenoma
fungsional, 6% merupakan pheochromocytoma, 5% merupakan ACC, dan 2% merupakan
carcinoma metastasis. Sisanya merupakan jenis lesi yang lain (myelolipoma, hematoma, kista,
atau limfoma). Pada saat menemukan adrenal incidentaloma, permasalahan utama adalah apakah
lesi bersifat fungsional secara hormonal atau tidak, dan apakah lesi bersifat jinak atau ganas.
Hasil pemeriksaan tersebut akan menentukan pilihan tindakan kedepannya. 74
Gambar 2.19 Bagan Adrenal Incidentaloma
Prinsip utama dari pemeriksaan radiologis setelah ditemukan adanya adrenal
incidentaloma adalah:75
1. Massa berukuran <1 cm tidak membutuhkan investigasi lebih jauh
2. Massa incidental harus dikategorikan berdasarkan fitur pencitraan radiologi,
ukuran massa, pertumbuhan massa (jika ada pemeriksaan imaging sebelumnya), dan
riwayat kanker
3. Adrenal CT pada massa 1-4 cm dengan densitas <10 HU merupakan adenoma
jinak
4. Stabilitas dari lesi harus diperiksa dengan modalitas dari imaging adrenal
sebelumnya (CT dada, PET-CT, USG abdomen, MRI lumbar)
5. Pertimbangkan morbiditas pasien, ekspektasi kehidupan dan kemampuan pasien
untuk menerima pengobatan sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
Gambar 2.20 Imaging Adrenal Incidentaloma

2.9.1.1 Massa dengan Pencitraan Jinak


Jika massa memiliki karakteristik pencitraan jinak seperti myelolipoma (adanya makroskopik
lemak), kista, atau perdarahan (massa tanpa enhancement, dengan HU <10), hematoma lama, dan
kalsifikasi karena infeksi granulomatosa tidak dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.

2.9.1.2 Massa Berukuran ≥1-<4 cm


Apabila tidak memiliki karakteristik jinak namun massa masih stabil selama 1 tahun atau lebih,
maka kemungkinan besar massa tersebut adalah massa jinak, sehingga tidak dibutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut.
Massa yang baru muncul ataupun menjadi lebih besar memberikan kecurigaan adanya
keganasan. Pasien dengan riwayat kanker dan massa adrenal yang membesar bisa di lakukan PET/CT
atau biopsi. Pasien tanpa riwayat kanker dengan massa yang membesar, dapat melakukan pemeriksaan
biokimia dan tergantung dari pertumbuhan massa, dapat dilakukan reseksi operatif untuk menyembuhkan
kemungkinan ACC.
Apabila pasien tidak memiliki riwayat kanker, walaupun tidak memiliki karakteristik jinak
ataupun tidak memiliki hasil imaging sebelumnya, masih dapat dianggap bahwa tumor bersifat jinak.
Apabila ukuran tumor 1-2 cm, maka dapat dilakukan CT adrenal protokol pada 12 bulan kemudian,
sedangkan apabila ukuran tumor 2-4 cm maka dilakukan CT adrenal protokol pada saat yang sama.
Jika pasien tidak memiliki riwayat imaging sebelumnya, memiliki riwayat kanker, namun
massa adrenal bersifat terisolasi, maka dapat dilakukan CT adrenal protokol. Apabila massa adrenal
memiliki nekrosis sentral, maka kemungkinan besar lesi bersifat metastatis dan membutuhkan biopsi
adrenal atau PET/CT.
2.9.1.2 Massa Berukuran ≥4 cm
Pada massa adrenal yang berukuran 4 cm atau lebih, jika tidak ada karakteristik jinak, atau
pasien tidak memiliki riwayat kanker, maka reseksi bedah (tanpa biopsi) dapat direkomendasikan untuk
adanya kemungkinan ACC.

2.9.5 Neuroblastoma
Sekitar 65-70% pasien neuroblastoma karena tumor abdomen merupakan tumor pada
bagian medulla adrenal. Neuroblastoma adrenal lebih umum terjadi pada adrenal kanan dengan
persentase kasus yaitu 49%, adrenal kiri lebih jarang terjadi dengan persentase 24%, sedangkan
neuroblastoma pada kedua adrenal hanya terjadi pada 2% kasus. Pada anamnesis, pasien dapat
datang tanpa gejala, namun pasien dapat mengeluhkan rasa penuh pada perut, demam, penurunan
berat badan, anoreksia, failure to thrive, kelemahan, mudah marah dan nyeri tulang. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan massa abdomen berbentuk ireguler yang melewati batas
midline, padat, dan tidak nyeri.77
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan sampel urin untuk
mengukur kadar katekolamin. Sebanyak 90% dari seluruh kasus neuroblastoma, terdapat
peningkatan homovanillic acid (HVA) atau vanillylmandelic acid (VMA) pada urin. Selain itu,
pemeriksaan pencitraan juga dapat dilakukan. Pada prenatal neuroblastoma, tumor akan terdeteksi
pada pemeriksaan USG pada usia 19 minggu kehamilan. Pada anak yang datang dengan massa
abdomen, hasil USG akan menunjukan adanya massa padat heterogen dengan kalsifikasi, jika
letak neuroblastoma ada di kelenjar adrenal, akan ada perubahan posisi dari ginjal terdekat. Pada
pemeriksaan CT scan dan MRI, keduanya menunjukkan adanya massa padat heterogen yang
melewati midline. Pada pemeriksaan histologi setelah melakukan biopsi insisi pada lokasi tumor,
neuroblastoma masuk kepada kategori sel tumor ganas yang berbentuk bulat kecil.
Neuroblastoma kadang disebut sebagai “biru” karena memiliki nukleus besar yang hiperkromatik
dengan sitoplasma yang tipis. Pemeriksaan MIBG menggunakan iodine 123 dan 131 sebagai
analog norepinefrin juga dapat dilakukan.78

2.9.6 Ganglioneuroma
Pasien pada umumnya tidak mengeluhkan adanya gejala, walaupun 30% pasien dengan
ganglioneuroma memiliki peningkatan kadar katekolamin pada urin dan plasma, pada umumnya
tetap tidak menimbulkan gejala. Ganglioneuroma terdapat pada 0.3-2% dari seluruh kasus kasus
AI. Pada pemeriksaan USG, ganglioneuroma berbentuk lesi dengan batas jelas, homogen, dan
hypo-echogenic. Pada pemeriksaan CT scan, ganglioneuroma ditemukan sebagai massa dengan
batas jelas, berbentuk lobural, dan padat. Seringkali, massa membungkus pembuluh darah namun
tidak menekan atau menyebabkan adanya oklusi. Pada pemeriksaan MRI, gambar T1
menunjukan sinyal rendah/menengah secara homogen, sedangkan gambar T2 menunjukan sinyal
menengah/tinggi secara heterogen. Pada pemeriksaan histologi, ganglioneuroma memiliki 2 jenis
karakteristik yaitu tipe “mature” dan tipe “maturing”. Tipe mature menunjukan adanya sel
schwann, sel ganglion, dan sel perineural dewasa di dalam fibrosa stroma tanpa neuroblast dan
mitosis. Sedangkan tipe maturing menunjukkan adanya populasi sel yang sama namun memiliki
derajat kematangan sel yang beragam. 79

2.10. Tatalaksana

Pada umumnya, adrenalektomi diindikasikan untuk sindrom hiperfungsi korteks adrenal


atau medula yang disebabkan oleh tumor atau hipertrofi kortikal (kecuali hiperplasia adrenal
kongenital) atau untuk tumor adrenal dengan diameter >3 cm tanpa aktivitas hormonal yang
dicurigai keganasan. Terlepas dari ukuran tumor fungsional, mereka memiliki indikasi bedah.
Tumor adrenal yang mensekresi hormon di mana adrenalektomi diindikasikan adalah sebagai
berikut: Sindrom Cushing, muncul dari hipersekresi glukokortikoid yang diproduksi di korteks
adrenal fasciculata, sindrom Conn, muncul dari hipersekresi aldosteron yang dihasilkan oleh
korteks adrenal glomerulosa, dan Feokromositoma yang muncul dari adrenal medula dan
menghasilkan katekolamin.
Diagnosis pra-operasi yang benar sangat penting, dengan konfirmasi bentuk yang tepat
dari hipersekresi dan lateralisasinya. Jika tidak terdapat perubahan makroskopik yang terlalu
signifikan pada kelenjar adrenal, ahli bedah harus bekerja dengan lapangan operasi dengan
visibilitas tinggi dan hemostasis harus optimal untuk membedakan penyimpangan kecil dalam
hubungan anatomis dan fisiologis. Selain itu, perawatan pra dan pasca operasi harus
memungkinkan penghindaran atau tindakan cepat yang harus diambil dalam kasus keadaan kritis
karena penghilangan hiperfungsi hormonal.
Adrenalektomi adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan pheochromocytoma.
Tujuan utama pembedahan adalah untuk mereseksi tumor sepenuhnya dengan manipulasi tumor
seminimal mungkin tanpa memecahkan kapsul tumor. Pendekatan yang bersifat invasif secara
minimal pada kelenjar adrenal adalah prosedur pilihan untuk pasien dengan pheochromocytoma
intraadrenal soliter kecil yang tidak memiliki gambaran radiologis yang mengarah ke keganasan.
Pendekatan laparoskopi atau robotik transabdominal dan retroperitoneal telah berhasil
digunakan, meskipun ada beberapa bukti bahwa pendekatan retroperitoneal lebih disukai. Kunci
keberhasilannya adalah ahli bedah endokrin dengan keahlian dalam teknik robotik atau
laparoskopi dan operasi pada pheochromocytomas. Kurangnya pengalaman dapat menyebabkan
kesalahan kritis dalam manajemen; misalnya, kapsul tumor intraoperatif pecah dengan
penyemaian retroperitoneum dan menciptakan situasi yang tidak dapat disembuhkan.
Tumor unilateral yang memproduksi aldosteron paling baik ditatalaksana dengan
adrenalektomi, yang dapat dilakukan melalui laparoskopi atau pendekatan terbuka.
Adrenalektomi laparoskopi adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan adenoma adrenal.
Adrenalektomi biasanya dilakukan melalui pendekatan anterior terbuka (open) untuk
memfasilitasi deteksi tumor bilateral, lesi ekstraadrenal atau lesi
metastasis. Namun, sebagian besar pheochromocytoma dengan
diameter < 5 cm dapat direseksi dengan aman secara laparoskopi.
Adrenalektomi biasanya dilakukan untuk tumor besar (≥ 6 cm) atau
yang dicurigai sebagai kanker adrenokortikal.
Dalam adrenalektomi terbuka atau laparoskopi, kelenjar dapat dicapai secara anterior,
lateral atau posterior melalui retroperitoneum. Pilihan pendekatan tergantung pada ukuran dan
sifat lesi dan keahlian ahli bedah. Adrenalektomi laparoskopi telah menjadi prosedur standar
pilihan untuk eksisi sebagian besar lesi adrenal yang tampak jinak dengan diameter < 6 cm.
Pertimbangan teknis dan pengalaman ahli bedah, daripada ukuran tumor absolut, biasanya
menentukan ambang ukuran untuk reseksi laparoskopi. Adrenalektomi laparoskopi yang hand-
assisted dapat menjadi jembatan antara adrenalektomi laparoskopi dan konversi ke prosedur
terbuka. Belum ada randomised trial yang membandingkan adrenalektomi terbuka dan
laparoskopi secara langsung. Namun, penelitian telah menunjukkan gambaran bahwa
adrenalektomi laparoskopi terkait dengan perdarahan yang lebih sedikit, nyeri pasca operasi yang
berkurang, penggunaan narkotika yang lebih sedikit, pengurangan durasi perawatan di rumah
sakit dan pasien lebih cepat kembali bekerja setelah operasi.
Adrenalektomi adalah prosedur bedah yang berisiko tinggi dan membutuhkan tim ahli
bedah dan anestesi yang berpengalaman. Variabel kardiovaskular dan hemodinamik harus
dipantau secara ketat. Pengukuran tekanan intraarterial dan irama jantung secara terus menerus
diperlukan. Dalam pengaturan gagal jantung kongestif atau penurunan cadangan jantung,
pemantauan tekanan baji kapiler paru diindikasikan. Terapi medis persiapan praoperasi ditujukan
untuk mengontrol hipertensi yang termasuk mencegah krisis hipertensi selama operasi,
takikardia dan ekspansi volume.
Stres harus dihindari selama induksi anestesi dan penggunaan agen inhalasi seperti
isofluran dan enfluran lebih disukai karena efek depresan jantung yang minimal. Fentanil,
ketamin, dan morfin harus dihindari karena berpotensi merangsang pelepasan katekolamin dari
tumor. Obat-obatan yang digunakan untuk kontrol tekanan darah intraoperatif termasuk
nitroprusside, nitrogliserin, phentolamine, dan nicardipine. Aritmia intraoperatif paling baik
ditangani dengan beta blocker kerja pendek seperti esmolol. Pasca operasi, pasien berisiko
mengalami hipotensi karena hilangnya stimulasi adrenergik dan vasodilatasi konsekuen dan
karena itu membutuhkan resusitasi volume besar.

2.10.1. Adrenalektomi terbuka

Adrenalektomi terbuka dapat dilakukan melalui empat pendekatan, masing-masing


dengan kelebihan dan kekurangan tertentu:

1. Pendekatan anterior memungkinkan pemeriksaan rongga perut dan reseksi


tumor bilateral melalui insisi tunggal.
2. Pendekatan posterior menghindari morbiditas insisi laparotomi, terutama pada
pasien dengan penyakit kardiopulmoner dan mereka yang rentan terhadap
komplikasi luka (sindrom Cushing) dan menghindari perlengketan perut pada
pasien yang telah menjalani operasi perut sebelumnya. Waktu pemulihan juga
lebih cepat dan durasi rawat inap lebih singkat. Namun, pendekatan
retroperitoneal sulit pada pasien obesitas dan ruang kerja yang kecil
membuatnya tidak cocok untuk tumor dengan diameter > 6 cm.
3. Pendekatan lateral paling baik untuk pasien obesitas dan tumor besar karena
menyediakan ruang kerja yang lebih besar.
4. Pendekatan thoracoabdominal paling berguna untuk reseksi en bloc dari lesi
ganas yang besar (>10 cm). Namun, ini terkait dengan morbiditas yang
signifikan dan harus digunakan secara selektif.

Adrenalektomi dilakukan melalui insisi garis tengah (midline) atas atau subkostal,
tergantung pada preferensi ahli bedah. Insisi garis tengah atau subkostal diperpanjang lebih
disukai untuk reseksi adrenal bilateral, diseksi dan eksplorasi retroperitoneal dan ketika prosedur
yang tidak terkait adrenal harus dilakukan pada saat yang sama.
Untuk pendekatan secara anterior, kelenjar adrenal dapat dicapai melalui insisi garis
tengah (midline) atau insisi subkostal bilateral. Insisi midline memungkinkan paparan
infraumbilikal yang memadai untuk pemeriksaan tumor ekstra-adrenal, sedangkan insisi
subkostal bilateral memberikan eksposur superior dan lateral yang lebih baik.
Untuk sisi kanan, fleksura hepatika dari kolon dimobilisasi ke inferior dan triangular
ligament diinsisi untuk menarik hepar ke medial dan superior. Manuver Kocher dilakukan
digunakan untuk memobilisasi duodenum ke anterior dan mengekspos lemak retroperitoneal dan
vena cava inferior (IVC) Fasia Gerota diinsisi dan kelenjar dibebaskan dari jaringan fibro-fatty di
sekitarnya dan dari ginjal di bagian inferior. Permukaan lateral dan superior biasanya
dimobilisasi terlebih dahulu. Kemudian, vena adrenal kanan yang pendek dibedah, diikat, dan
dibagi, dengan hati-hati agar tidak melukai vena hepatik dan IVC.
Di sisi kiri, adrenal terletak cephalad ke ekor pankreas dan lateral dari aorta. Untuk
tumor besar, adrenal paling baik didekati dengan rotasi viseral secara medial untuk memobilisasi
limpa, kolon, dan pankreas ke arah garis tengah. Pendekatan alternatif adalah memasuki kantung
yang lebih rendah dengan membagi ligamen gastrokolik. Pankreas dimobilisasi ke superior
dengan insisi perlekatan peritoneum inferiornya, sehingga memperlihatkan ginjal kiri dan
adrenal. Kelenjar tersebut kemudian dimobilisasi seperti pada sisi kanan.
Untuk adrenalektomi unilateral, pasien diposisikan terlentang dengan panggul ipsilateral
ditinggikan dengan bantalan lembut yang memungkinkan eksposur yang memadai dan
fleksibilitas operasi jika ada kebutuhan untuk lebih banyak eksposur atau perluasan ruang
lingkup operasi. Untuk adrenalektomi bilateral, panggul tidak ditinggikan. Selain itu, operasi
terbuka memungkinkan reseksi struktur yang berdekatan bila diperlukan seperti reseksi IVC.
Adrenalektomi transabdominal terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan anterior atau
thoracoabdominal. Adrenalektomi transabdominal terbuka biasanya dilakukan dalam keadaan
klinis berikut untuk menghindari ruptur dan tumpahan tumor ganas atau besar:
● Keganasan adrenal primer dalam berbagai ukuran (misalnya, karsinoma kortikal adrenal,
pheochromocytoma ganas)
● Massa adrenal menyerang struktur sekitarnya (misalnya, hati, ginjal, vena cava inferior)
● Massa adrenal yang mencurigakan tetapi tidak dikonfirmasi sebagai keganasan adrenal
primer (misalnya, > 6 cm, tepi tidak teratur, perdarahan atau nekrosis sentral,
hipervaskular)
● Massa adrenal jinak bilateral tidak dapat diakses dengan pendekatan laparoskopi
● Prosedur ekstensif perut bagian atas atau retroperitoneal sebelumnya yang menghalangi
pendekatan minimally-invasive surgery (MIS)
● Prosedur yang dilakukan secara bersamaan (misalnya, reseksi hati) tidak dapat dilakukan
dengan pendekatan laparoskopi.
Pendekatan secara posterior melibatkan pasien ditempatkan secara tengkurap di meja
operasi yang diketahui mirip dengan pendekatan laparoskopi. Insisi hockey stick atau curvilinear
dapat digunakan dan dilanjutkan hingga melalui latisimus dorsi dan fasia sakrospinosa. Tulang
costae kedua belas umumnya dipotong pada dasarnya, dan costae kesebelas ditarik ke superior
untuk mengungkapkan pleura dan ligamen arkuata lateral hati di sisi kanan. Pleura juga
dimobilisasi ke arah cephalad dan adrenal dan ginjal diidentifikasi. Aspek superior kelenjar
dibedah terlebih dahulu dan pembuluh darah superior diidentifikasi dan diikat dengan tujuan
mencegah retraksi superior kelenjar adrenal. Sisa kelenjar kemudian dibedah dan kelenjar
adrenal serta tumor diangkat. Ruang yang dihasilkan umumnya diisi dengan lemak perinefrik
dan ditutup berlapis-lapis. Pemeriksaan x-ray toraks diperoleh pasca operasi untuk
menyingkirkan kemungkinan terjadinya pneumotoraks.
Untuk pendekatan lateral, pasien ditempatkan dalam posisi lateral dengan meja tertekuk,
dan insisi dibuat antara ruang interkostal kesebelas dan kedua belas atau secara subkostal.
Pembedahan kemudian dilakukan dengan langkah-langkah yang sama dengan pendekatan
anterior.
Penempatan drain rutin setelah operasi adrenal jarang diperlukan namun, drainase dapat
membantu jika ada kekhawatiran mengenai kebocoran limfatik retroperitoneal, pankreas, atau
urin. Jika kelenjar adrenal sangat besar, diseksi luas, atau jika ada struktur yang terus-menerus
mengalir, dapat ditempatkan closed-suction drain untuk mencegah pengumpulan cairan. Drain
dapat dilepas dengan aman ketika keluaran dari drain bersifat serous dan volumenya berkurang.

2.10.2. Adrenalektomi laparaskopi

Atas dasar waktu operasi yang lebih pendek, pengurangan


komplikasi dan pemulihan, dan hasil bedah yang setara dibandingkan
dengan operasi terbuka, adrenalektomi laparoskopi adalah
pendekatan standar untuk sebagian besar lesi adrenal yang
membutuhkan pembedahan seperti termasuk aldosteronoma,
pheochromocytoma, adenoma Cushing, insidentaloma, lesi metastatik,
myelolipoma simptomatik, dan tumor feminisasi/virilisasi. Operator
yang berpengalaman telah melaporkan adrenalektomi laparoskopi
yang berhasil untuk insisi ≤ 15 cm. Pendekatan laparoskopi
transperitoneal (anterior atau lateral), retroperitoneal (posterior
atau lateral), hand-assisted dan transtorakal telah dilaporkan. Adrenalektomi bilateral dan
adrenalektomi parsial telah dilakukan.
Pendekatan laparoskopi untuk kelenjar adrenal mirip dengan pendekatan yang untuk
nefrektomi laparoskopi transperitoneal, meskipun port ditempatkan di lokasi subkostal.
Pembedahan dapat dibandingkan dengan membuka buku. Untuk lesi sisi kiri, limpa dimobilisasi
ke medial, sedangkan jaringan adrenal dengan warna kuning yang khas dimobilisasi ke kanan.
Diseksi berlanjut ke arah berlawanan arah jarum jam. Vena adrenal utama memasuki vena
renalis. Tindakan dilanjutkan dengan perhatian khsusus pada aspek superomedial karena vena
adrenal superior (dari vena frenikus inferior) dapat substansial. Setelah mengontrol vena adrenal,
diseksi tumpul dan tajam digunakan untuk memobilisasi kelenjar adrenal dari otot psoas dan
aspek superior ginjal. Di sisi kanan, pendekatan pembedahan juga dapat dianalogikan dengan
membuka buku, dan pembedahan berlangsung searah jarum jam. Ligamentum triangular diinsisi
dengan peritoneum posterior, memungkinkan retraksi medial hati dan kolon. Ini akan
mengekspos vena cava inferior, dan kelenjar adrenal dimobilisasi dengan lembut ke lateral. Vena
adrenal yang bersambung dengan vena cava inferior diikat dan ditranseksi.
2.10.3. Tantangan intraoperatif

Berdasarkan jenis tumor spesifik dan/atau luasnya penyakit, manajemen dan tantangan teknis
dapat dihadapi selama reseksi, diantara lain:

1. Labilitas hemodinamik - Pasien dengan pheochromocytoma dapat mengalami labilitas


hemodinamik selama adrenalektomi
2. Insufisiensi adrenal - Berbeda dengan pasien dengan pheochromocytoma, pasien dengan
tumor aldosteron (sindrom Conn) atau yang mensekresi kortisol (sindrom Cushing)
biasanya tidak mengalami ketidakstabilan hemodinamik intraoperatif. Namun, untuk
mencegah hipotensi akibat insufisiensi adrenal segera setelah adrenalektomi unilateral
atau bilateral untuk pasien dengan sindrom Cushing, hidrokortison intravena (50 hingga
100 mg) diberikan setelah pengangkatan kelenjar adrenal. Ini dapat dengan cepat
dialihkan ke hidrokortison oral ketika pasien melanjutkan asupan oral, biasanya pada hari
operasi.
3. Keterlibatan vaskular – Tumor yang berbatasan atau menginvasi IVC dapat
mengakibatkan perdarahan intraoperatif dan/atau pascaoperasi yang berpotensi fatal.
Hiperkortisolisme dapat dikaitkan dengan jaringan yang rapuh yang juga termasuk IVC,
dengan risiko cedera yang lebih tinggi.
4. Ruptur kapsul tumor – Kanker, seperti karsinoma adrenokortikal, berisiko pecah dengan
manipulasi kapsul tumor. Kapsul tumor harus tetap utuh selama reseksi untuk mencegah
tumpahan sel tumor. Oleh karena itu, paparan yang luas dan diseksi yang teliti dari
struktur sekitarnya jauh dari tumor merupakan strategi terbaik untuk reseksi. Reseksi
lengkap sering membutuhkan eksisi en bloc dari struktur sekitarnya, termasuk selubung
lemak perinefrik, kelenjar getah bening retroperitoneal, IVC, limpa, atau pankreas.
Reseksi semacam itu paling baik dilakukan melalui pendekatan terbuka.

2.10.4. Komplikasi

Pasien dengan sindrom Cushing lebih rentan terhadap infeksi (abses insisional dan intra-
abdominal) dan komplikasi trombotik. Penciptaan pneumoperitoneum dapat mengakibatkan
cedera pada berbagai organ dari jarum Veress dan dari memasukkan trocar, emfisema subkutan,
pneumotoraks, dan perburukan hemodinamik. Retraksi dan diseksi yang berlebihan dapat
menyebabkan perdarahan akibat cedera pada IVC dan pembuluh darah ginjal atau dari cedera
pada organ di sekitarnya seperti hati, pankreas, limpa, dan lambung. Ketidakstabilan
hemodinamik pascaoperasi dapat terlihat pada pasien dengan pheochromocytoma dan pasien
berisiko mengalami insufisiensi adrenal setelah adrenalektomi bilateral dan terkadang setelah
adrenalektomi unilateral (sindrom Cushing yang tidak diketahui atau, sangat jarang, sindrom
Conn). Morbiditas jangka panjang terutama disebabkan oleh cedera pada nerve root (radiks)
selama insersi trokar, yang dapat menyebabkan sindrom nyeri kronis atau kelemahan otot,
khususnya dalam kasus pembedahan terbuka.

2.11. Komplikasi

Komplikasi dari tumor adrenal sangat bergantung pada jenis tumor yang diderita pasien.
Komplikasi paling sering terjadi karena produksi hormon berlebih yang terjadi pada 40-60%
pasien Karsinoma Adrenokortikal. Kondisi ini disebut hiperkortisolisme yang memunculkan
gejala-gejala klasik seperti diabetes melitus, kelelahan, hipertensi, obesitas sentral, kelemahan
otot, dan osteoporosis.1

Pada tumor adrenal berjenis pheochromocytoma, sebuah studi menunjukkan bahwa pasien
memiliki resiko tinggi untuk menderita gagal jantung kongestif, penyakit paru kronik, dan
hipertensi maligna. Hipertensi diderita oleh >60% pasien, dimana trias sakit kepala, palpitasi,
dan diaphoresis hanya dialami oleh 4% pasien.2

Diagnosis definitive Pheochromocytoma juga didasarkan pada kehadiran dari metastasis,


namun metastasis ini baru akan muncul dalam 20 tahun setelah diagnosis pheochromocytoma.
Sehingga dapat dikatakan bahwa komplikasi dari pheochromocytoma adalah metastasis yang
akan muncul belakangan.3

Komplikasi lain yang sangat mungkin terjadi adalah metastasis tumor, pada kasus Karsinoma
Adrenokortikal, >50% pasien biasanya sudah muncul dengan metastasis ke liver (48-85%),
paru-paru (30-60%), kelenjar limfe (7-20%), dan tulang (7-13%).1

Komplikasi lain yang patut dicurigai antara lain adalah komplikasi post-reseksi tumor, sebuah
studi menunjukkan bahwa komplikasi pasca-operasi yang paling sering terjadi adalah
Insufisiensi adrenal (20.8%), gangguan paru (10.6%), ganggian kardiovaskular (7.2%), Infeksi
(6.4%), gangguan urogenital (5.3%), dan gangguan gastrointestinal (4.5%).4

1. Torti JF, Correa R. Adrenal Cancer.; 2020.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546580/

2. Crona J, Beuschlein F, Pacak K, Skogseid B. Advances in adrenal tumors 2018.


Endocr Relat Cancer. 2018;25(7):R405-R420. doi:10.1530/ERC-18-0138
3. Parham DM, Khoury JD, Beth McCarville M. Tumors of the Adrenal Gland.; 2015.
doi:10.1007/978-1-4939-1729-7

4. Margonis GA, Amini N, Kim Y, et al. Incidence of Perioperative Complications


Following Resection of Adrenocortical Carcinoma and Its Association with Long-
Term Survival. World J Surg. 2016;40(3):706-714. doi:10.1007/s00268-015-3307-
y.Incidence

2.12. Prognosis

Sama seperti komplikasi, prognosis pada pasien tumor adenal juga sangat bergantung pada jenis
tumornya. Ada beberapa faktor yang dapat menentukan prognosis dari tumor adrenal, diantara adalah
stage tumor, indeks mitotik/Ki67, dan status reseksi tumor.4

Adenoma Adrenokortikal memiliki prognosis yang baik dengan survival 7 tahun 100%. 5 Adrenocortical
adenoma memiliki risiko kecil untuk menjadi ACC. Komplikasi umumnya berupa hiperaldosteronisme
yang disebabkan oleh tumor yang aktif memproduksi hormon. Tumor non aktif memiliki risiko 17%,
29%, dan 47% untuk menjadi aktif dalam 1, 2, dan 5 tahun.6,7

Pada varian pheochromocytoma, pengobatan yang cepat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
pasien secara signifikan.3 Reseksi tumor dapat memperbaiki kondisi kardiomiopati pasien hingga 96%.
Namun, bila tidak dilakukan reseksi, pasien memiliki resiko kematian atau harus melakukan transplantasi
jantung hingga 44%. Penelitian yang sama juga menyatakan bahwa pasien pheochromocytoma dengan
metastasis memiliki peluang bertahan hidup selama 5 tahun kedepan hinga 63%. 2

Pasien dengan Karsinoma Adrenokortikal memiliki resiko rekurensi tumor secara lokal sebesar 19-34%
setelah reseksi tumor total.1 European Network Staging Study for Adrenal Tumors (ENSAT) telah
membuat sistem klasifikasi untuk menentukan peluang hidup pasien dalam 5 tahun kedepan, yaitu 66-
82% untuk pasien kategori I, 58-64% untuk pasien kategori II, 24-50% untuk pasien kategori III, dan 0-
17% untuk pasien kategori IV.1 Selain itu, tindakan reseksi tumor meningkatkan keberlangsungan hidup
pasien, yaitu 76.1 bulan untuk pasien yang direseksi dibandingkan dengan 10.1 bulan bagi pasien yang
tidak melakukan reseksi tumor.2

Selain itu, prognosis dari tumor adrenal juga berhubungan erat dengan komplikasi post-operatif.
Kehadiran komplikasi pasca-operasi ini meningkatkan resiko jangka-panjang yang buruk, dimana infeksi
pasca-operasi menjadi prediktor utama yang menurunkan peluang kesembuhan total. 4
Sedangkan Neuroblastoma memiliki prognosis yang bervariasi. Secara umum, pasien
dengan neuroblastoma terlokalisir dan anak berusia < 1 tahun memiliki prognosis yang baik
dengan angka disease-free survival yang tinggi.8 Neuroblastoma stage 1 memiliki angka disease-
free survival 93% dan overall survival 99%. Neuroblastoma stage 2 memiliki angka disease-free
survival 81% dan overall survival 98%.66 Sebaliknya, neuroblastoma pada anak-anak yang lebih
tua dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang lebih buruk dengan kemungkinan sembuh
dan survival rate yang lebih kecil.8 Neuroblastoma stage 3 & 4 memiliki angka disease-free
survival 19-30% dan overall survival 56%.9

1. Torti JF, Correa R. Adrenal Cancer.; 2020.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK546580/
2. Crona J, Beuschlein F, Pacak K, Skogseid B. Advances in adrenal tumors 2018. Endocr
Relat Cancer. 2018;25(7):R405-R420. doi:10.1530/ERC-18-0138
3. Parham DM, Khoury JD, Beth McCarville M. Tumors of the Adrenal Gland.; 2015.
doi:10.1007/978-1-4939-1729-7
4. Margonis GA, Amini N, Kim Y, et al. Incidence of Perioperative Complications
Following Resection of Adrenocortical Carcinoma and Its Association with Long-Term Survival.
World J Surg. 2016;40(3):706-714. doi:10.1007/s00268-015-3307-y.Incidence
5. Else T, Kim AC, Sabolch A, et al. Adrenocortical carcinoma. Endocr Rev.
2014;35(2):282-326; Libe R, Arlt W, Louiset E, et al. A feminizing adrenocortical carcinoma in
the context of a late onset 21-hydroxylase deficiency. J Clin Endocrinol Metab. 2014;99(6):1943-
1944;
6. Mahmood E, Anastasopoulou C. Adrenal Adenoma. In: Leslie S, Hamawy K, editors.
StatPearls. Treasure Island, Florida: StatPearls Publishing; 2020
7. Thakker RV. Multiple Endocrine Neoplasia. In: Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 20 ed.
New York, NY: McGraw-Hill Education; 2018.
8. Hackam DJ, Upperman J, Grikscheit T, Wang K, Ford HR. Pediatric Surgery. In:
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Kao LS, Hunter JG, et al., editors.
Schwartz's Principles of Surgery. 11 ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2019.
9. Ritchey ML, Cost NG, Shamberger RC. Pediatric Urologic Oncology: Renal and
Adrenal. In: Partin AW, Dmochowski RR, Kavoussi LR, Peters CA, editors. Campbell-Walsh-
Wein Urology. 12 ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2020.
BAB III

KESIMPULAN

Tumor adrenal adalah tumor pada kelenjar adrenal (suprarenal) yang letaknya tepat
berada di atas ginjal. Tumor adrenal dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu functioning yang
berarti tumor adrenal memproduksi hormon yang meningkatkan risiko untuk penyakit dan non-
functioning yang berarti tumor adrenal tidak memproduksi hormon. Terdapat juga klasifikasi
tumor adrenal berdasarkan lokasi tumor, yaitu tumor pada adrenal korteks dan tumor dari adrenal
medula serta ekstra-adrenal paraganglia.
Pada tumor adrenal korteks, prevalensi ACC dan ACA lebih tinggi dibanding lainnya,
dimana ACC harus dipikirkan ketika dicurigai tumor adrenal lebih dari 6 cm. Untuk menilai
stratifikasi rasio dan membuktikan suatu kasus adalah ACC, dapat digunakan Skor Weiss. Selain
ACC, ACA juga termasuk dalam klasifikasi tumor adrenal korteks, yang sering terjadi pada
wanita dan pada dekade kelima hingga ketujuh dari kehidupan. Pada ACA akan sering
ditemukan sindrom Conn’s atau hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing atau
hiperkortisolisme, virilisme pada wanita dan feminisme pada pria.
Pada tumor adrenal medula dan ekstra-adrenal, prevalensi pheochromocytoma,
neuroblastoma dan ganglioneuroma lebih tinggi dibanding lainnya. Pheochromocytoma adalah
tumor sel penghasil katekolamin dari medula adrenal dan lebih sering terjadi pada adrenal
dibandingkan pada ekstra-adrenal. Pheochromocytoma memiliki gejala trias yang terdiri dari
sakit kepala yang bersifat episodik, diaforesis dan takikardia. Neuroblastoma merupakan
keganasan yang berasal dari sel – sel neural crest yang menimbulkan medulla adrenal dan
ganglia simpatis. Neuroblastoma adalah tumor ekstrakranial padat yang paling umum pada masa
kanak – kanak dan bermanifestasi sebagai massa pada abdomen disertai gejala sistemik.
Ganglioneuroma adalah neoplasma neuroektodermal jinak yang terdiri dari sel ganglion dan
schwann. Ganglioneuroma sangat jarang dan memiliki gejala yang tidak spesifik, namun
diagnosis tetap harus dipertimbangkan selama evaluasi ketika ketemu massa adrenal.
Terdapat juga adrenal incidentaloma yaitu massa adrenal yang sering ditemukan
secara kebetulan setelah prosedur pencitraan yang dilakukan yang tidak berhubungan dengan
kelenjar adrenal dan tidak menunjukkan tanda dari kelebihan hormon.
Walaupun tumor adrenal merupakan kasus yang jarang, tumor sering ditemukan pada
dekade pertama kehidupan dan pada decade keempat hingga kelima. Hingga saat ini, belum ada
yang menjelaskan secara pasti penyebab terbentuknya tumor, namun terdapat beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa ada sekumpulan faktor risiko yang tidak dapat diubah dan dapat
memengaruhi secara tidak langsung yaitu seperti usia dan mutasi genetik. Beberapa kondisi
genetik yang berhubungan dengan meningkatnya risiko tumor adrenal adalah MEN2, LFS, VHL,
NF1, BWS dan Carney complex. Proses pembentukan tumor adrenal sama dengan patogenesis
tumor pada jaringan lain dalam tubuh pada umumnya.
Diagnosis massa adrenal ditentukan dengan status fungsional yang akan dinilai
berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik termasuk gejala sesuai dengan lokasi tumor
dan pemeriksaan hormon (kortisol, aldosterone, katekolamin, DHEA, dll) dan potensi keganasan
yang dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan fenotipe pada pencitraan dan ukuran massa.
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan tekanan darah dan denyut jantung pasien. Massa
adrenal dapat dilihat dengan pencitraan berupa CT scan, MRI, FNAB, Adrenal Scintigraphy,
PET maupun angiografi. Staging pada tumor adrenal menggunakan sistem staging McFarlane-
Sullivan berdasarkan hasil CT scan dan MRI.
Tatalaksana tumor adrenal bergantung pada ukuran dan lokasi tumor untuk menentukan
pemilihan terapi yang sesuai. Dapat dipilih dari terapi radiasi, terapi konservatif dengan skrining,
adrenalektomi dengan atau tanpa terapi adjuvan.

Anda mungkin juga menyukai