Makalah Sosiologi Pendidikan Klompok 7
Makalah Sosiologi Pendidikan Klompok 7
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan
Disusun oleh :
Siti Nurjannah ( 211300)
Ria Afrina (2230022)
A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah menyelenggarakan pembaruan sistem pemerintahan yang
sentralistik menjadi desentralistik merupakan dampak dari tuntutan reformasi total.
Dampak reformasi pendidikan adalah melahirkan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang meliputi demokratisasi pendidikan,
peningkatan mutu pendidikan, penghapusan diskriminasi, serta perbaikan manajemen
sistem pendidikan. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat juga menuntut adanya pembaruan sistem pendidikan, agar sesuai dengan tuntutan
global. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan strategi dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
Masyarakat Islam sebagai komponen bangsa, telah lama berpartisipasi dalam
mewujudkan harapan dari undang-undang tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah
munculnya madrasah dan sekolah Islam di Indonesia, yang lebih didorong oleh
kebutuhan dan prakarsa masyarakat Islam sendiri. Madrasah merupakan institusi
pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat. Dengan demikian,
secara substansial, madrasah telah otonom. Berangkat dari kenyataan ini,
maka pada dasarnya madrasah telah menerapkan model manajemen berbasis sekolah dan
masyarakat. Sejak diterbitkannya Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, madrasah secara institusi telah diakui sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional, tetapi perwujudan makna pengakuan itu belum sesuai dengan
jiwa undang-undang tersebut. Hal ini masih dirasakan sampai sekarang, misalnya alokasi
anggaran untuk pembinaan dan pengembangan mutu madrasah jumlahnya sangat sedikit.
Kenyataan ini membuat masyarakat Islam kecewa yang sejak lama telah memberi
kontribusi terhadap pendidikan di negeri ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Kebijakan Pemerintah Dalam Pengeloaan Satuan Pendidikan?
2. Apa Kebijakan Pemerintah Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan?
3. Apa Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
pasal 35 ayat 2 UUSPN No. 20 Tahun 2003 dijadikan acuan standar nasional pendidikan.
Kebijakan pemerintah melalui PP No. 19 Tahun 2005 dan PP No. 55 Tahun 2007
jelas berimplikasi terhadap perubahan pada sisi manajerial satuan pendidikan keagamaan,
tidak terkecuali satuan pendidikan keagamaan Islam, sehingga perlu bagi Kemenag untuk
membuat kebijakan yang diawali dengan melakukan analisis SWOT-nya terlebih dahulu.
Apa yang diperlukan dan menjadi prioritas untuk menindaklanjuti PP tersebut. Hal ini
perlu, mengingat ketertinggalan yang dialami satuan pendidikan keagamaan (Islam)
selama ini.
d. Sebagai laporan resmi kepada para pemangku kepentingan terkait hasil kerja
yang telah dicapai.
3) Bagi masyarakat dan orang tua, hasil akreditasi menjadi informasi mengenai
kualitas layanan pendidikan yang diberikan sekolah, sehingga mereka dapat
membuat pilihan dan keputusan yang tepat tterkait pendidikan anak-anaknya.
4) Bagi siswa, hasil akreditasi dapat meningkatkan posisi mereka karena mereka
dapat menerima pendidikan yang berkualitas.
Kelompok kami mengambil studi kasus dengan judul “Kebijakan pemerintah terhadap
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya disekolah
reguler terdekat dengan tempat tinggalnya. (Direktorat Pembinaan SLB, 2007). Dalam peraturan
menteri pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 70 tahun 2009 dijelaskan bahwa
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif
memiliki prinsip-prinsip dalam menjamin dan memberikan peluang bagi semua anak, terutama
bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif yaitu
pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa, pendidikan inklusif
menghindari semua aspek negatif labeling dan pendidikan inklusif selalu melakukan chek dan
Sebagai suatu model pembelajaran yang baru di Indonesia, tentu terdapat kendala-
pendidik, kurikulum, dan pendanaan. Dalam hal hambatan budaya masyarakat belum memiliki
pengetahuan tntang pendidikan inklusif, mereka masih enggan memasukkan anaknya di sekolah
inklusif. Ada juga masyarakat yang merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus.
Masyarakat indonesia merasa malu ketika mereka memilki anak berkebutuhan khusus, banyak
dari mereka yang menyembunyikan anaknya. Ada juga masyarakat yang tidak mau jika
mensekolahkan anaknya bersama anak berkebutuhan khsusu, padahal undang-undang telah
Hambatan yang lain adalah hambatan dalam pendanaan. Pelaksanaan pendidikan inklusif
memerlukan biaya yang tidak sedikit, pendidikan inklusif membutuhkan biaya yang jauh lebih
besar dibandingkan sekolah umum lainnya. Biaya yang besar tersebut dibutuhkan oleh sekolah
inklusif untuk keperluan pengadaan sarana prasarana, honor para guru dan biaya operasional
lainnya. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah inklusif jauh lebih banyak
dibandingkan sekolah umum lainnya, misalnya ruang tantrum, ruang terapi, alat bantu belajar,
alat terapi dan media pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, untuk mengadakan sarana
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan
pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan. Selama
ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga
macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung
anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan
penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB
untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan
hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku
(Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB
menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah
sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru,
sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru
menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan
khusus. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Indonesia selama ini sudah menyeleng-garakan
pendidikan inklusif, dimulai dari tingkat pendidikan dasar (SD) sampai dengan tingkat atas
(SMA). Pendidikan inklusif selayaknya dapat dimulai dari jenjang pendidikan yang paling awal,
yaitu dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini disebabkan karena pada saat usia dini, seorang anak
dapat menerima rangsangan dengan sangat baik dibandingkan setelah anak tersebut menginjak
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa „pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk
terutama pada Pendidikan Anak Usia Dini. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan
peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Dengan
demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB
tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah
reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon
pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini
perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus.
PENUTUP
A. Kesimpulan
kebijakan penjaminan mutu terpadau adalah suatu sistem yang di dalamnya
terdapat pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan
daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus pada seluruh rangkaian mulai
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.Kebijakan pemerintah dalam
penjaminan mutu pendidikan dapat dikelompokkan dalam dua kegiatan, yaitu sistem
penjaminan mutu internal dengan pembuatan laporan EDS, dan sistem penjaminan mutu
eksternal yang terbagi menjadi dua bentuk kegiiatan yaitu monitoring sekolah oleh
pemerintah daerah, dan dengan pelaksanaan akreditasi sekolah oleh BAN. Tahapan
kegiatan penjaminan mutu dalam satuan pendidikan dimulai dengan pemetaan mutu,
pemenuhan standar nasional pendidikan, pemantauan, pelaporan, dan pengembangan
standar di atas SNP. Sementara Regulasi terkait kebijakan penjaminan mutu pendidikan
terdapat dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang menjadi induk tertinggi,
setelah UUD 1945. Dari UU ini kemudian terbit sejumlah regulasi turunan bidang
pendidikan pada tataran yang lebih teknis dan aplikatif yakni UU Nomor 20/2003, PP
Nomor 19/2005, dan PP Nomor 17/2010 yang terkait langsung dengan penjaminan mutu
pendidikan.
Kebijakan pemerintah melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, bertekad menghilangkan diskriminasi. Berdasarkan UU ini
pula, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi prinsip dalam penyelenggaraan
satuan pendidikan dasar dan menengah, dan harus memenuhi mutu minimal yang ada
dalam Standar Nasional Pendidikan.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini, agar pembaca dapat menambah wawasan tentang
Kebijakan Pemerintah dalam pendidikan. Kami sebagai penulis menyadari kurangnya
referensi dan kurangnya kelengkapan dalam makalah ini, maka kami mengharapkan
kritik dan sarannya sehingga makalah ini dapat dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Saputra, A. (2016). Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusif. Golden Age: Jurnal
Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 1(3), 1-15.
Idris Apandi dan Sri Rosdianawati. (2017). Guru Profesional Bukan Guru Abal-Abal.
Yogyakarta: Deepublish, 84-85.
Martono, Nanang. (2017). Sekolah Publik VS Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaaan,
Demokrasi dan Liberalisasi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 47.
Sari, E. S., Alfiyah, A., & Sugiarto, F. (2021). Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam
Pendidikan Agama Dan Keagamaan Di Indonesia. Awwaliyah: Jurnal
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 4(1), 1-9.