Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pendidikan

Dosen pengampu: Nur Setyaningrum, M. Si.

Disusun oleh :
Siti Nurjannah ( 211300)
Ria Afrina (2230022)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
TAHUN AJARAN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii


PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 4
PEMBAHASAN TEORI ................................................................................................... 5
A. Kebijakan Pengelolaan satuan Pendidikan .............................................................. 5
B. Kebijakan Pemerintah tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan .................... 6
STUDI KASUS DAN SOLUSI ....................................................................................... 12
PENUTUP ........................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan............................................................................................................ 16
B. Saran ...................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah menyelenggarakan pembaruan sistem pemerintahan yang
sentralistik menjadi desentralistik merupakan dampak dari tuntutan reformasi total.
Dampak reformasi pendidikan adalah melahirkan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang meliputi demokratisasi pendidikan,
peningkatan mutu pendidikan, penghapusan diskriminasi, serta perbaikan manajemen
sistem pendidikan. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu
pesat juga menuntut adanya pembaruan sistem pendidikan, agar sesuai dengan tuntutan
global. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan strategi dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
Masyarakat Islam sebagai komponen bangsa, telah lama berpartisipasi dalam
mewujudkan harapan dari undang-undang tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dari sejarah
munculnya madrasah dan sekolah Islam di Indonesia, yang lebih didorong oleh
kebutuhan dan prakarsa masyarakat Islam sendiri. Madrasah merupakan institusi
pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari dan oleh masyarakat. Dengan demikian,
secara substansial, madrasah telah otonom. Berangkat dari kenyataan ini,
maka pada dasarnya madrasah telah menerapkan model manajemen berbasis sekolah dan
masyarakat. Sejak diterbitkannya Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, madrasah secara institusi telah diakui sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional, tetapi perwujudan makna pengakuan itu belum sesuai dengan
jiwa undang-undang tersebut. Hal ini masih dirasakan sampai sekarang, misalnya alokasi
anggaran untuk pembinaan dan pengembangan mutu madrasah jumlahnya sangat sedikit.
Kenyataan ini membuat masyarakat Islam kecewa yang sejak lama telah memberi
kontribusi terhadap pendidikan di negeri ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Kebijakan Pemerintah Dalam Pengeloaan Satuan Pendidikan?
2. Apa Kebijakan Pemerintah Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan?
3. Apa Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan

1.Untuk Mengetahui Kebijakan Pemerintah Dalam Pengeloaan Satuan Pendidikan.

2. Untuk Mengetahui Kebijakan Pemerintah Tentang Sistem Penjaminan Mutu


Pendidikan.

3. Untuk Mengetahui Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan.


PEMBAHASAN TEORI

A. Kebijakan Pengelolaan Satuan Pendidikan

Merespons itikad baik pemerintah dalam usahanya untuk menghilangkan


diskriminasi sebagaimana ditegaskan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, merupakan
tantangan bagi satuan pendidikan keagamaan Islam, agar citra yang selama ini melekat;
sekolah nomor dua, sebagian besar tenaga kependidikannya mismatch (tidak seimbang),
underqualified, dan citra buruk lainnya, berupaya memperbaiki citra dengan

meningkatkan kualitas, terutama tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan


prasarana, kurikulum, pengelolaan, dan pembiayaannya, minimal memenuhi standar
nasional. Kelima komponen inilah menurut

pasal 35 ayat 2 UUSPN No. 20 Tahun 2003 dijadikan acuan standar nasional pendidikan.

Penegasan pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang, merupakan


tantangan bagi masyarakat Islam, agar dalam mengelola pendidikan memiliki landasan
falsafah, visi, dan konsep yang matang serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga
program yang dijalankan, bukan sekedar berjalan apa adanya saja. penyelenggaraan
pendidikan harus mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, maka dalam menyelenggarakan pendidikan, dituntut
memenuhi mutu minimal yang ada dalam Standar Nasional Pendidikan tersebut. Selain
itu, diperlukan pula strategi-strategi dalam pelaksanaannya, sehingga penyelenggaraan
pendidikan dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif.

Untuk penyelenggaraan satuan pendidikan keagamaan (Islam), pemerintah telah


menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP tersebut secara implisit mengatur cara
penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam dan keagamaan lainnya. Dalam pasal 13
ayat 4 disebutkan ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan satuan pendidikan
keagamaan dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan mencakup: isi
pendidikan/kurikulum, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, sumber
pembiayaan, sistem evaluasi, serta manajemen dan proses pembelajaran. Kemudian pada
pasal 18 (tentang kurikulum) dan pasal 19 (tentang ujian nasional pendidikan diniyah
dasar dan menengah), pemerintah memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk
membuat peraturan lebih lanjut dengan tetap berpedoman pada Standar Nasional
Pendidikan. Demikian juga pada ayat 5 pasal 13 di atas, disebutkan bahwa untuk
pengaturan selanjutnya akan diatur via Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman
pada ketentuan Standar Nasional Pendidikan.

Kebijakan pemerintah melalui PP No. 19 Tahun 2005 dan PP No. 55 Tahun 2007
jelas berimplikasi terhadap perubahan pada sisi manajerial satuan pendidikan keagamaan,
tidak terkecuali satuan pendidikan keagamaan Islam, sehingga perlu bagi Kemenag untuk
membuat kebijakan yang diawali dengan melakukan analisis SWOT-nya terlebih dahulu.
Apa yang diperlukan dan menjadi prioritas untuk menindaklanjuti PP tersebut. Hal ini
perlu, mengingat ketertinggalan yang dialami satuan pendidikan keagamaan (Islam)
selama ini.

B. Kebijakan Pemerintah tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan adalah melalui


sistem penjaminan mutu pendidikan (SPMP). Sebagaiana sebutkan dalam Permendiknas
Nomor 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan pasal 2, bahwa
penjaminan mutu pendidikan adalah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau
program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah,
pemerintah dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa
melalui pendidikan. Sementara tujuan dari adanya SPMP adalah tingginya kecerdasan
kehidupan manusia dan bangsa sebagaimana dicita-citakan oleh Pembukaan UUD RI
1945. SPMP sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu SPM internal dan SPM eksternal.

1. Sistem Penjaminan Mutu Internal

SPMI dilaksanakan oleh sekolah dengan mengadakan evaluasi diri sekolah,


SPMI membangun semangat sadar terhadap pentingnya budaya dan perbaikan
mutu berkelanjutan. SPMI melibatkan seluruh warga sekolah, mulai dari kepala
sekolah, guru, staf, siswa, komite sekolah, orang tua siswa, dunia usaha/industri
yang berada di bawah binaan pengawas satuan pendidikan.

Pemerinah mewajibkan pelaksanaan SPMI dengan penyusunan dokumen


evaluasi diri sekolah (EDS), yaitu sebuah dokumen yang menjelaskan kinerja dan
pencapaian kinerja sekolah secara internal yang penyusunannya berpedoman pada
delapan standar pendidikan. EDS digunakan sebagai dasar perencanaan dalam
meningkatkan kualitas sekolah secara koheren dan terus-menerus sekaligus
menjadi pertimbangan bagi kepala daerah untuk membuat rencana investasi.

Beberapa tujuan dan manfaat adaanya EDS antara lain:

a. Mengidentifikasi kekuatan sekolah sebagai dasar perumusan program


berikutnya.

b. Sekolah dapat menemukan tantangan sekaligus menganalisis kebutuhan untuk


meningkatkan kualitasnya.

c. Mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,


mengevaluasi keberhasilan, dan memperbaiki program kerja mereka.

d. Sebagai laporan resmi kepada para pemangku kepentingan terkait hasil kerja
yang telah dicapai.

e. Menyediakan data dan informasi untuk perencanaan, dan pengambilan


keputusan bagi lembaga di atasnya.

f. Mengidentifikasi prioritas untuk memenuhi kebutuhan sekolah.

g. Mengidentifikasi keberhasilan sekolah berdasarkan indikator pencapaian sesuai


dengan standar nasional pendidikan.

2. Sistem Penjaminan Mutu Eksternal


SPME dilakukan oleh pihak luar sekolah lewat dua bentuk kegiatan, yaitu
monitoring oleh pemerintah daerah dan kegiatan akreditasi.

a. Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah

Berangkat dari laporan EDS, pemerintah daerah kemudian menggunakannya


untuk melaksanakan monitoring sekolah oleh pemerintah daerah (MSPD). MSPD
merupakan proses yang dilakukan pemerintah untuk menilai kualitas
pembelajaran di sekolah dengan tetap berpedoman pada delapan SNP. Secara
umum MSPD dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kemajuan, serta
menentukan sekolah yang memerlukan perbaikan.

Sementara tujuan dari MSPD di antaranya:

1) Mengumpulkan data mengenai kemampuan lembaga pendidikan dalam


memenuhi standar pendidikan nasional.

2) Meningkatkan kinerja lembaga pendidikan daerah dalam memantau dan


mengevaluasi kebijakan pendidikan di daerahnya.

3) Meningkatkan kualitas pengelolaan data mengenai kinerja sekolah dalam


melaksanakan standar pendidikan nasional.

4) Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam perencanaan pendidikan


berbasis data.

Sedangkan manfaat dari MSPD sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi kekuatan yang mendukung kinerja sekolah dan merencanakan


program berikutnya

2) Memverifikasi dokumen EDS

3) Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi sekolah dan menganalisis hal-hal


yang diperlukan untuk memperbaiki kualitas sekolah
4) Mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan, menilai
keberhasilan, memperbaiki program, dan membuat penyesuaian untuk program
yang ada.

5) Menilai tingkat pencapaian kineerja sekolah sesuai standar peendidikan


nasional

6) Memberikan laporan resmi pada pemangku kepentingan seperti DPRD,


Bappeda, dewan pendidikan daerah, dan pemprov mengenai kamajuan program
pendidikan.

b. Akreditasi Sekolah sebagai Penjamin Mutu

Akreditasi sekolah adalah mekanisme penjaminan mutu sekolah yang dilakukan


secara eksternal yang secara umum mengevaluasi kinerja setiap lembaga yang
terlibat dalam sistem penjaminan mutu pendiidkan seperti sekolah, LPMP,
pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lain-lain. Berikut beberapa manfaat dari
akreditasi:

1) Untuk kepala sekolah, akreditasi digunakan sebagai bahan pemetaan sekolah,


serta sumber informasi mengenai kinerja staf sekolah. Hasil akreditasi juga
menjadi dasar penyusunan alokasi anggaran sekolah.

2) Untuk guru, akreditasi merupakan sumber motivasi untuk meningkatkan


kualitasnya dan berupaya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada siswa
secara mandiri.

3) Bagi masyarakat dan orang tua, hasil akreditasi menjadi informasi mengenai
kualitas layanan pendidikan yang diberikan sekolah, sehingga mereka dapat
membuat pilihan dan keputusan yang tepat tterkait pendidikan anak-anaknya.

4) Bagi siswa, hasil akreditasi dapat meningkatkan posisi mereka karena mereka
dapat menerima pendidikan yang berkualitas.

5) Bagi pemerintah, hasil akreditasi menjadi bahan pertimbangan untuk


meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Akreditasi sekolah dimulai pada tahun 70-an, dengan sasaran akreditasi hanya
pada sekolah dan perguruaan tinggi swasta. Yang pada akhirnya peraturan ini
menimbulkan anggapan diskriminatif, bahwa sekolah negeris selalu memiliki
kualitas yanng lebih baik, padahal dalam kenyataanya belum tentu seperti itu.
Dalam perkembangannya pada awal tahun 2004 pemerintah melalui Kemendiknas
membentuk Badan Akreditasi Nasional, yaitu sebuah lembaga yang melakukan
proses akreditasi terhadap sekolah dan madrasah (BAN-SM) dan perguruan tinggi
(BAN-PT).

C. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan

pengembangan pendidikan bahwa pemerintah dengan segala penuh


tanggung jawab memberikan fasilitas agar basis-basis utama pendidikan dapat
dilakukan sesuai dengan apa yang telah direncanakan di sekolah. Inilah atauran-
aturan pemerintah untuk melakukan desenralisasi agar pendidikan khususnya di
Indonesia ini dapat perhatian lebih terutama pada aspekpengembangan pendidikan
Islam. Secara spesipik, desentralisasi pendidikan yaitu sebagai berikut:

1. Pengaturan kewenangan pusat daerah.

2. Mengembangkan masyarakat dalam partisipasi dunia pendidikan.

3.menguatkan system manajemen pemerintahan.

4. pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, 5. hubungan kemitraan


“stakeholders” pendidikan

6. pengembangan infrastruktur sosial.

Otonomi pendidikan memberikan kebebasan terhadap suatu lembaga di suatu


daerah dalam mengelola sesuai kemaman dan kebutuhan lembaga atau daerah
tersebut. Maka dalam konteks pendidikan yaitu pemerintah sebagai landasan
utama yang mengatur bagaimana konsep pendidikan ini semakin maju, terutama
pada pihak sekolah dan pemerintah harus berjalan.
STUDI KASUS DAN SOLUSI

Kelompok kami mengambil studi kasus dengan judul “Kebijakan pemerintah terhadap

pendidikan inklusif” Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan yang

mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya disekolah

reguler terdekat dengan tempat tinggalnya. (Direktorat Pembinaan SLB, 2007). Dalam peraturan

menteri pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 70 tahun 2009 dijelaskan bahwa

pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan

kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau

bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan

pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif

memiliki prinsip-prinsip dalam menjamin dan memberikan peluang bagi semua anak, terutama

bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif yaitu

pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa, pendidikan inklusif

menghindari semua aspek negatif labeling dan pendidikan inklusif selalu melakukan chek dan

dan balances.(Ilahi, 2013)

Sebagai suatu model pembelajaran yang baru di Indonesia, tentu terdapat kendala-

kendala atau hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Hambatan-hambatan

dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif diantaranya, hambatan budaya, ketidaksiapan

pendidik, kurikulum, dan pendanaan. Dalam hal hambatan budaya masyarakat belum memiliki

pengetahuan tntang pendidikan inklusif, mereka masih enggan memasukkan anaknya di sekolah

inklusif. Ada juga masyarakat yang merasa malu memiliki anak berkebutuhan khusus.

Masyarakat indonesia merasa malu ketika mereka memilki anak berkebutuhan khusus, banyak

dari mereka yang menyembunyikan anaknya. Ada juga masyarakat yang tidak mau jika
mensekolahkan anaknya bersama anak berkebutuhan khsusu, padahal undang-undang telah

menjamin hak dalam memperoleh pendidikan (Garnida, 2015).

Hambatan yang lain adalah hambatan dalam pendanaan. Pelaksanaan pendidikan inklusif

memerlukan biaya yang tidak sedikit, pendidikan inklusif membutuhkan biaya yang jauh lebih

besar dibandingkan sekolah umum lainnya. Biaya yang besar tersebut dibutuhkan oleh sekolah

inklusif untuk keperluan pengadaan sarana prasarana, honor para guru dan biaya operasional

lainnya. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah inklusif jauh lebih banyak

dibandingkan sekolah umum lainnya, misalnya ruang tantrum, ruang terapi, alat bantu belajar,

alat terapi dan media pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, untuk mengadakan sarana

prasaran ini memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara

memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan

pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula

memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan. Selama

ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga

macam lembaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa

(SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung

anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan

penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB

untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan

hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku

(Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB
menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah

sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru,

sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru

menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang

menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan

khusus. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Indonesia selama ini sudah menyeleng-garakan

pendidikan inklusif, dimulai dari tingkat pendidikan dasar (SD) sampai dengan tingkat atas

(SMA). Pendidikan inklusif selayaknya dapat dimulai dari jenjang pendidikan yang paling awal,

yaitu dimulai dari jenjang PAUD. Hal ini disebabkan karena pada saat usia dini, seorang anak

dapat menerima rangsangan dengan sangat baik dibandingkan setelah anak tersebut menginjak

usia yang lebih tinggi (usia SD).

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa „pendidikan khusus

merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki

kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus

pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk

pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi

terutama pada Pendidikan Anak Usia Dini. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan

peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Dengan

demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB

tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah

reguler/umum.Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon
pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK. Pembekalan ini

perlu diwujudkan dalam Mata Kuliah Pendidikan Inklusif atau Pendidikan Anak Berkebutuhan

Khusus.
PENUTUP

A. Kesimpulan
kebijakan penjaminan mutu terpadau adalah suatu sistem yang di dalamnya
terdapat pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimalkan
daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus pada seluruh rangkaian mulai
produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya.Kebijakan pemerintah dalam
penjaminan mutu pendidikan dapat dikelompokkan dalam dua kegiatan, yaitu sistem
penjaminan mutu internal dengan pembuatan laporan EDS, dan sistem penjaminan mutu
eksternal yang terbagi menjadi dua bentuk kegiiatan yaitu monitoring sekolah oleh
pemerintah daerah, dan dengan pelaksanaan akreditasi sekolah oleh BAN. Tahapan
kegiatan penjaminan mutu dalam satuan pendidikan dimulai dengan pemetaan mutu,
pemenuhan standar nasional pendidikan, pemantauan, pelaporan, dan pengembangan
standar di atas SNP. Sementara Regulasi terkait kebijakan penjaminan mutu pendidikan
terdapat dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas yang menjadi induk tertinggi,
setelah UUD 1945. Dari UU ini kemudian terbit sejumlah regulasi turunan bidang
pendidikan pada tataran yang lebih teknis dan aplikatif yakni UU Nomor 20/2003, PP
Nomor 19/2005, dan PP Nomor 17/2010 yang terkait langsung dengan penjaminan mutu
pendidikan.
Kebijakan pemerintah melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, bertekad menghilangkan diskriminasi. Berdasarkan UU ini
pula, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi prinsip dalam penyelenggaraan
satuan pendidikan dasar dan menengah, dan harus memenuhi mutu minimal yang ada
dalam Standar Nasional Pendidikan.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, agar pembaca dapat menambah wawasan tentang
Kebijakan Pemerintah dalam pendidikan. Kami sebagai penulis menyadari kurangnya
referensi dan kurangnya kelengkapan dalam makalah ini, maka kami mengharapkan
kritik dan sarannya sehingga makalah ini dapat dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Saputra, A. (2016). Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan inklusif. Golden Age: Jurnal
Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 1(3), 1-15.

Tabrani, Z. A. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan


Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah). Serambi Tarbawi, 1(2).

Kurniasari, D. M. (2021). Kebijakan Pemerintah dalam Penjaminan Mutu Pendidikan.


INTIZAM: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 5(1), 1-14.

Idris Apandi dan Sri Rosdianawati. (2017). Guru Profesional Bukan Guru Abal-Abal.
Yogyakarta: Deepublish, 84-85.

Martono, Nanang. (2017). Sekolah Publik VS Sekolah Privat dalam Wacana Kekuasaaan,
Demokrasi dan Liberalisasi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 47.

Sari, E. S., Alfiyah, A., & Sugiarto, F. (2021). Analisis Kebijakan Pemerintah Dalam
Pendidikan Agama Dan Keagamaan Di Indonesia. Awwaliyah: Jurnal
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, 4(1), 1-9.

Anda mungkin juga menyukai