1. Bibliografi
Alam, S., Andi Adam Malik, & Khairuddin. 2020. Laju Respirasi, Pertumbuhan,
dan Sintasan Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio) Dikultur pada Berbagai
Salinitas. Journal of Aquaculture and Fish Health, Vol. 9(2): 173-181.
Diunduh pada 26 April 2022, pada https://e-
journal.unair.ac.id/JAFH/article/download/16814/10456.
3. Fakta-Fakta Unik
a. Pertumbuhan ikan mas tergolong cepat dengan berat mencapai 500 g/ekor
dari 5 bulan sejak telur menetas.
b. Laju pertumbuhan benih ikan mas yang dikultur pada salinitas (0 ppt, 4 ppt,
8 ppt, 12 ppt) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan
berat benih ikan mas.
c. Pertumbuhan berat ikan minggu pertama relatif seragam disebabkan
penggunaan energi masih sedikit dalam pembentukan sel somatik.
d. Air dengan salinitas yang tinggi memiliki pertumbuhan lebih lambat pada
awal, karena adaptasi lingkungan, lebih banyak energi untuk proses
osmoregulasi dibandingkan pertumbuhan somatik.
e. Laju pertambahan panjang benih ikan mas yang dikultur pada berbagai
salinitas tidak berbeda nyata (P>-0,05).
f. Pertambahan panjang ikan berkaitan dengan perkembangan struktur tulang
belakang ikan.
g. Konsentrasi salinitas media kultur berpengaruh nyata terhadap sintasan
benih ikan mas (P<0,05).
h. Sintasan semakin menurun dengan bertambahnya waktu, ini karena
tingginya penggunaan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup,
sehingga kebutuhan regenerasi sel tidak terpenuhi.
i. Salinitas berpengaruh pada kehidupan organisme dalam laju pertumbuhan,
jumlah makanan konsumsi, nilai konversi makanan dan sintasan.
j. Perubahan salinitas dapat menyebabkan perubahan laju metabolisme.
k. Ikan berukuran sedang lebih tahan terhadap perubahan salinitas daripada
ikan berukuran kecil.
l. Salinitas media kultur berpengaruh nyata (P<0,05) pada laju respirasi ikan.
m. Ikan mas dapat mentoleransi pH air antara 5–11.
n. Suhu mempengaruhi nafsu makan ikan mas dan kadar oksigen terlarut (DO)
dalam air.
o. Air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan
dengan air yang bersifat asam.
p. Amonia meningkat seiring dengan peningkatan salinitas. Rendahnya kadar
amonia karena penggantian air secara rutin dan sistem aerasi yang baik.
q. Ikan mas mulai terganggu pertumbuhannya jika habitanya mengandung
amonia 1,2 mg/L
6. Refleksi
Setelah membaca dan menganalisis kritis artikel jurnal yang berjudul
“Laju Respirasi, Pertumbuhan, dan Sintasan Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Dikultur pada Berbagai Salinitas”, pengetahuan saya menjadi bertambah terkait
bagaimana kecepatan respirasi benih ikan mas, pertumbuhannya, serta individu
yang berhasil bertahan hidup dari beberapa keadaan baik salinitas, temperatur,
ataupun pH habitatnya yang berbeda-beda. Selain itu, menjadikan saya flashback
terkait materi dan praktek yang pernah saya pelajari tentang respirasi yang juga
ada kaitannya dengan proses termoregulasi dan osmoregulasi. Dari hasil
menganalisis kritis artikel ini saya banyak menemukan konsep-konsep dan
informasi baru, serta kosa kata yang baru bagi saya yang menambah
pengetahuan saya, seperti kata sintasan.
Alasan saya memilih artikel jurnal ini karena saya sangat tertarik dengan
bagaimana laju respirasi ikan mas yang mana ikan mas ini banyak saya temui di
daerah saya sebagai ikan yang mudah peliharaannya. Artikel ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari artikel ini yaitu terdapat tabel dan
grafik pengamatan yang jelas yang mendukung hasil pengamatan yang diperoleh.
Selain itu, bahasa yang digunakan juga mudah dipahami dan tidak berbelit-belit,
kesimpulan yang disajikan dalam artikel telah sesuai dengan tujuan penelitian,
metode penelitian dijelaskan secara rinci, serta artikel ini banyak mengambil
kajian literatur dari penelitian nasional dan internasional, sehingga memperluas
wawasan pembaca. Sedangkan kekurangan dari artikel ini yaitu tidak terdapat
gambar pengamatan yang mendukung hasil pengamatan yang diperoleh.
Kekurangan lainnya, pada penelitian ini yaitu pada bagian abstrak tidak disertai
dengan kata kunci, dimana tujuan dari kata kunci ini untuk memudahkan
pembaca dalam memahami isi artikel jurnal.
Dari kekurangan yang ada, saran saya adalah sebaiknya penulis
menambahkan gambar-gambar lagi yang mendukung penelitiannya. Selain itu,
sebaiknya penulis memberikan hasil dan pembahasan secara keseluruhan dari
masalah yang diteliti supaya pembaca tidak setengah-setengah dalam
mendapatkan informasi. Upaya yang akan saya lakukan setelah melakukan
analisis kritis artikel ini adalah, saya tertarik untuk melakukan penelitian pada
hewan yang terdapat di daerah saya terkhusunya berkaitan dengan proses
fisiologinya yang tidak banyak orang ketahui. Upaya lain yang akan saya lakukan
untuk menambah wawasan saya yaitu dengan banyak membaca sumber literatur
terpercaya, seperti buku, artikel penelitian, majalah penelitian, dan juga saya
dapat belajar melalui studi wisata diberbagai tempat yang mendukung dalam
meningkatkan pengetahuan dan wawasan saya, seperti seminar ataupun jelajah
alam sambil belajar.
Journal of Aquaculture and Fish Health Vol. 9(2) - June 2020
DOI : 10.20473/jafh.v9i2.16814
Respiration Rate, Growth, and Survival Rate of Carp (Cyprinus carpio) Fry
Cultured on Various Salinities
Abstrak
*Correspondence :
andiadammalikhamzah@yahoo.
co.id Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
salinitas yang berbeda terhadap laju respirasi, pertumbuhan,
Received : 2019-12-20 dan sintasan ikan mas. Benih ikan mas sebagai sampel
Accepted : 2020-02-25 dengan panjang 3 cm yang diproduksi oleh Balai Benih Ikan
Karrang dengan padat tebar 20 ekor/m2 dengan kadar
Kata Kunci : protein pakan 36% dengan dosis 20% dari biomassa.
Laju respirasi, Pertumbuhan, Salinitas dibuat dengan menambahkan garam pada media
Sintasan, Cyprinus carpio, kultur dengan empat jenis perlakuan salinitas dan 3 kali
Salinitas ulangan. Laju respirasi tertinggi pada perlakuan D dan
terendah pada A. Pertumbuhan berat pada minggu 1
Keywords : seragam, selanjutnya minggu 2 mulai bervariasi. Laju
Respiration rate, Growth, pertambahan bobot tertinggi didapatkan pada perlakuan B
Survival rate, Cyprinus carpio, (1,77 gram/hari). Sintasan benih ikan mas tertinggi pada
Salinity perlakuan A (96%) dan terendah pada perlakuan D (60%)
yang secara umum semakin menurun dengan bertambahnya
waktu penelitian. Konsentrasi salinitas media kultur yang
optimal untuk pemeliharaan benih ikan mas yaitu 4 ppt.
Abstract
PENDAHULUAN
Potensi luas areal budidaya air ml/g saat aktif. Hal ini dikarenakan pada
payau saat ini tercatat 2.964.331 Ha, saat aktif, sel-sel tubuh memerlukan lebih
dengan tingkat pemanfaatan 650.509 Ha banyak energi dan karena itu lebih
(21,9%). banyak oksigen (Ashraf et al., 2010; Foss
Tambak udang Indonesia mencapai et al., 2001; Fujaya, 2002; Abdel-Hakim
380.000 hektar dan sekitar 75% masih et al., 2008; Sumeru dan Anna, 1992;
dikelola secara tradisional (Suyanto dan Saravanan et al., 2018; Saputra et al.,
Takarina, 2009). Provinsi Sulawesi 2017).
Selatan memiliki luas areal pertambakan Berdasarkan hal tersebut, maka
± 87.000 hektar dari potensi lahan seluas dipandang perlu melakukan kajian
150.000 hektar. Luas lahan ini mengenai laju respirasi, pertumbuhan
menunjukkan bahwa potensi lahan yang dan sintasan benih ikan mas (Cyprinus
ada belum dimanfaatkan secara optimal carpio Linn) yang dikultur pada berbagai
(Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi salinitas. Tujuan penelitian ini adalah
Sulawesi Selatan, 2018). untuk mengetahui pengaruh salinitas
Guna menjamin produksi yang yang berbeda terhadap laju respirasi,
optimal, target produksi ikan pada tahun pertumbuhan, dan sintasan ikan mas.
2019 yaitu 18,8 juta ton (KKPRI, 2017), Sedangkan keterbaharuannya adalah
maka diperlukan ketersediaan sarana dan sebagai salah satu bahan informasi
prasarana produksi. Penggunaan tambak mengenai kadar salinitas yang optimal
ini untuk membudidayakan spesies ikan untuk budidaya ikan mas.
air tawar adalah sangat mungkin asalkan
ikan dapat mentolerir kondisi salin. METODOLOGI
Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) Waktu dan Tempat
merupakan salah satu dari 10 jenis ikan
Penelitian ini dilaksanakan selama
air tawar penting yang dibudidayakan di
3 bulan mulai bulan Maret sampai Mei
Indonesia Ikan mas merupakan salah satu
2018 di Balai Benih Ikan (BBI) Karrang
jenis ikan konsumsi yang mempunyai
Desa Karrang Kecamatan Cendana
nilai ekonomis penting (Saparinto, 2010;
Kabupaten Enrekang.
Boyd, 1982; Tobin dan Dusheck, 2005).
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Tahun 2014 Materi Penelitian
melaporkan bahwa perkembangan Alat yang digunakan adalah
produksi ikan mas mengalami baskom plastik bulat volume 30 liter
peningkatan produksi rata-rata dari (sebagai media hewan uji), ember plastik
tahun 2010-2014 sebesar 14,44%, begitu 10 liter sebagai tempat pemberian pakan,
pula dengan angka nilai produksi selama timbangan elektrik tipe DS-671 merek
kurun waktu yang sama menunjukkan DIGI kapasitas hingga 30 kg (sebagai alat
kenaikan rata-rata per tahun sebesar untuk menimbang pakan), pH meter
18,67%. Nutron. Tech pH–0,09–A, pen type pH
Pertumbuhan ikan mas tergolong meter buatan Cina (untuk mengukur pH
cepat karena pada umur 5 bulan sejak air), tes kit (untuk mengukur amonia),
telur menetas bibitnya sudah mencapai DO meter spesifikasi DO-5509 Lutron :
500 g/ekor (Cahyono, 2000). Sedangkan range 0-20 mg/L buatan Taiwan untuk
kecepatan pertumbuhan ikan mas di mengukur O2 dan suhu, hand
kolam biasanya 3 cm setiap bulan refractometer V SA1 Salinity 0 – 100 0/00
(Susanto, 2006). Iwama et al. (1997) size 27 x40 x 190 buatan Cina
menyatakan laju konsumsi oksigen ikan (mengukur salinitas), handcounter merek
mas (Cyprinus carpio) adalah sebesar Joyko HC 4 D 0 – 9.999 hitungan buatan
0,14 ml/g/jam saat inaktif, dan 0,255 Cina, dan stop watch menggunakan
aplikasi pada Samsung Tablet A6 (untuk panjang dan laju respirasi serta
menghitung respirasi pada ikan). parameter kualitas air dilakukan setiap
minggu.
Rancangan Penelitian Parameter kualitas air yang diamati
Rancangan yang digunakan adalah selama penelitian berupa suhu, pH, CO2,
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 4 jenis O2, salinitas, dan amonia. Data yang
perlakuan salinitas dengan 3 kali diperoleh dalam penelitian ini akan
ulangan. Kadar salinitas perlakuan ditampilkan dalam bentuk grafik dan
didasarkan hasil penelitian Saputra et. al. tabulasi.
(2017) sebagai berikut: Perlakuan A
salinitas 0 ppt; perlakuan B salinitas 4 Analisis Data
ppt; perlakuan C salinitas 8 ppt, dan Parameter penelitian yang diamati
perlakuan D salinitas 12 ppt. yaitu laju respirasi, laju pertumbuhan
panjang spesifik, sintasan, dan parameter
Prosedur Kerja kualitas air. Pengaruh perlakuan
Kadar salinitas dibuat dengan dianalisis menggunakan sidik ragam
menambahkan garam curah (tidak (ANOVA) dan dilanjutkan Uji Lanjut
beryodium) pada media kultur sesuai Tukey guna mengetahui perbedaan
dengan perlakuan yang dicobakan. pengaruh antar perlakuan (Singgih,
Wadah yang digunakan dalam penelitian 2000). Sebagai alat bantu yang
ini adalah baskom kapasitas 30 L yang digunakan SPSS versi 21.0 for Windows,
diisi air sebayak 20 L. Wadah penelitian sedangkan untuk penyajian grafik dan
tersebut ditempatkan secara acak di tabulasi data menggunakan Microsoft
dalam kolam guna menjaga fluktuasi Excel 2007.
suhu media kultur. Penelitian ini Laju respirasi diukur dengan
dilakukan dengan beberapa tahapan, menghitung frekuensi bukaan operkulum
yaitu sebelum digunakan terlebih dahulu per satuan waktu (Ratningsih, 2008)
dicuci dengan detergen, kemudian dibilas sebagai berikut:
dengan air bersih lalu dikeringkan. f
Lr = $
Media kultur yang digunakan t
terlebih dahulu diendapkan selama 3 hari Keterangan :
dan ditampung pada bak fiber glass Lr : Laju respirasi
volume 1000 L. Setelah itu dimasukkan f : Frekuensi bukaan operkulum
t : Waktu (Menit)
ke dalam wadah kultur dengan volume
Laju pertumbuhan panjang spesifik
masing-masing 20 L, selanjutnya
(LPPS) menggunakan rumus Effendie
ditambahkan garam sesuai dengan
(1979) yang dimodifikasi sebagai berikut:
salinitas yang diinginkan. Pk − PA
Sebelum dilakukan penebaran Lpps =
t
benih, ikan uji terlebih dahulu Keterangan :
diadaptasikan secara bertahap, dimana Lpps : Laju Pertumbuhan Panjang Spesies
setiap perbedaan 2 ppt diadaptasikan Pk : Panjang Akhir (cm)
selama 15 menit (Kandjou, 2008). Sesaat PA : Panjang Awal (cm)
setelah penebaran benih dilakukan T : Waktu penelitian (hari)
pengamatan laju respirasi awal pada 5 Sintasan dalam penelitian ini
ekor sampel pada setiap unit percobaan, dihitung berdasarkan rumus Effendie
dengan menghitung frekuensi bukaan (1979) sebagai berikut:
operkulum selama 2 menit (Ratningsih, Nt
S= x 100%
2008). No
Selama proses pemeliharaan Keterangan :
S : Sintasan (%)
dilakukan pergantian air setiap hari
Nt : Jumlah Hewan Uji pada akhir (Ekor)
sebanyak 10% dari total volume. No : Jumlah Hewan Uji pada awal (Ekor)
Sampling populasi dan pengukuran
3,00
Pertambahan Berat (Gram)
2,50
2,00 A
1,50 B
1,00 C
0,50 D
0,00
1 2 3 4 5
Lama penelitian (Minggu)
4,0
3,0 A
B
2,0
C
1,0
D
0,0
0 1 2 3 4
Waktu Penelitian (Minggu)
Gambar 2. Laju pertambahan panjang benih ikan mas pada berbagai perlakuan selama
penelitian.
120
100
Sintasan (%)
80
60
A
40 B
20 C
D
0
1 2 3 4 5
Waktu pengamatan (Minggu)
Gambar 3. Sintasan benih ikan mas selama penelitian.
150
100 A
B
50 C
D
0
0 1 2 3 4
Waktu pengamatan (Minggu)
Gambar 4. Laju respirasi (bukaan operkulum/menit) pada berbagai salinitas benih ikan
mas selama penelitian.
disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Fisiologi Hewan yang
Dibina oleh Erna Wijatanti, M.Pd.
Disusun oleh:
NIM : 2008086080
APRIL 2022
MEKANISME DAN LAJU RESPIRASI BELUT SAWAH (Monopretus
albus) PADA BERBAGAI PERLAKUAN (MEDIA AIR, MEDIA
AQUADEST, DAN MEDIA TANAH BERLUMPUR)
1
Kelangsungan hidup ikan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam mendapatkan oksigen yang cukup dari lingkungan sekitar.
Berkurangnya oksigen terlarut dalam air akan mempengaruhi fisiologi
respirasi dan metabolisme tubuh belut sawah. Pada percobaan ini, akan
mengkaji mekanisme dan laju pernafasan belut sawah dengan
menggunakan alat pernafasan biasa dan dengan menggunakan beberapa
perlakuan tambahan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mampu membuktikan proses respirasi yang menghasilkan
karbondioksida (CO2).
2. Mampu memahami mekanisme dan laju respirasi dari belut sawah.
3. Mampu mengaitkan keterkaitan pengaruh lingkungan terhadap laju
respirasi belut sawah.
C. Kajian Teori
Belut merupakan salah satu jenis ikan yang tidak memiliki sirip
dada, sirip punggung dan sirip dubur. Belut juga memiliki kulit yang
tidak berjari atau beruas, tidak bersisik dan tidak bersirip perut. Letak
dubur jauh ke belakang badan. Tempat hidupnya adalah perairan air
tawar yang berlumpur, seperti persawahan. Belut juga dapat ditemukan
disungai atau rawa-rawa yang tawar maupun payau (Sarwono, 2011).
Berdasarkan kemampuan belut dalam mempertahankan hidupnya
di dua alam, para ahli menggolongkan belut dalam kelompok air
breathing fishes, yaitu ikan yang mampu mengambil oksigen langsung
dari udara selama musim kering tanpa air di sekelilingnya. Hal tersebut
karena belut memiliki pernafasan tambahan yaitu berupa kulit tipis
berlendir yang terdapat di rongga mulut, yang berfungsi untuk
mengambil oksigen secara langsung dari udara, selain itu insangnya juga
bertugas mengambil oksigen dari air (Sarwono, 2011).
2
Belut sawah berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara Barat. Belut
sekarang bahkan dilaporkan telah menghuni rawa-rawa di Hawaii,
Florida, dan Georgia di Amerika Serikat dan dianggap sebagai hewan
invasif. Belut sawah betina memiliki ukuran kurang dari 25 cm dan untuk
belut jantan lebih dari 30 cm. Belut sawah dengan ukuran 25-30 cm
biasanya adalah belut yang sedang kosong kelamin. Belut jantan
biasanya memiliki ukuran kepala yang lebih besar dari belut betina. Kulit
punggung belut sawah berwarna cokelat kekuningan (agak cerah)
(Warisno, 2010).
Menurut Taufik dan Saparinto (2008), klasifikasi belut sawah
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Synbranchoidae
Famili : Synbranchidae
Genus : Monopterus
Spesies : Monopterus albus
Penelitian terhadap belut sawah telah banyak dilakukan (Affandi,
dkk., 2003). Belut menyukai perairan yang banyak mengandung lumpur
seperti sawah, rawa-rawa, kolam ikan dan pinggiran danau. Hal ini
karena belut merendam atau mengubur diri dalam lumpur dengan cara
membuat lubang persembunyian di dalam lumpur. Belut hidup di air
tawar dan dataran rendah hingga dataran tinggi, yaitu dan 0 sampai lebih
dan 1.200 m di atas permukaan laut (dpl). Belut termasuk jenis ikan yang
memiliki toleransi cukup tinggi dan penyebaran wilayah goegrafi yang
cukup luas. Sekalipun, belut dapat bertahan hidup pada perairan minim
oksigen dan dasar perairan yang mengandung bahan organik tinggi,
namun pada fase larva dan benih, belut tidak dapat bertahan pada
perairan minim oksigen. Karena itu, untuk pembenihan, kualitas air yang
3
dibutuhkan adalah suhu 25-32 ⁰C, dan pH 5-7. Konsentrasi oksigen
terlarut yang baik untuk pertumbuhan belut antara 5-7 mg/l. Sedangkan
pH optimal terhadap pertumbuhan belut dewasa adalah 7,0-8,0
(Ghufran, et. al., 2007 dalam Mashuri, dkk., 2012).
Belut bertahan pada perairan yang minim oksigen dan kekeringan,
asalkan masih becek dan tubuhnya masih basah. Hal ini karena belut
mempunyai alat pernapasan tambahan, yakni berupa kulit tipis berlendir
yang terdapat di rongga mulut. Alat tersebut berfungsi untuk menyerap
oksigen secara langsung dan udara, selain insangnya yang digunakan
untuk menghirup oksigen di dalam air. Organ pernapasan tambahan
pada belut biasanya terdapat pada ikan yang hidup di perairan yang
minim oksigen, seperti ikan yang hidup di perairan bersuhu tinggi, air
tenang, atau perairan yang miskin oksigen akibat adanya penguraian
bahan organik. Organ pernapasan tersebut biasanya berupa arboresen
yang terdapat pada bagian rongga buko-faring dan branchi, dinding
lambung atau usus dan gelembung renang. Pada belut (Monopterus sp.)
rongga buko-faring-nya memiliki lapisan mukosa tipis dan berkapiler
darah yang berfungsi untuk pernapasan di udara. Sering kali belut
menampakkan sebagian tubuhnya di luar air dan membiarkan bagian
ekornya saja yang berada di dalam air, hal ini berarti kapiler-kapiler
darah pada kulitnya (cutane) membantu dalam pernapasan
(Burhanuddin, 2008 dalam Yusriadi, dkk., 2017).
Respirasi (pernapasan) sendiri adalah poses pertukaran oksigen
dan karbondioksida antara suatu organisme dengan lingkungannya.
Peranan oksigen dalam kehidupan ikan merupakan zat yang mutlak
dibutuhkan oleh tubuh, yaitu untuk mengoksidasi zat makanan
(karbohidrat, lemak, dan protein) sehingga dapat menghasilkan energi.
Komponen-komponen pada sistem pernapasan antara lain alat
pernapasan (insang), oksigen dan karbondioksida, dan darah (butirbutir
darah merah, Hb). Prinsip pernapasan yaitu proses pertukaran gas
terjadi secara difusi. Pada proses difusi, terjadi suatu aliran molekul gas
4
dari lingkungan/ruang dengan konsentrasi gas tinggi ke
lingkungan/ruang dengan konsentrasi gas rendah.
Pada ikan (termasuk belut) dengan respirasi akuatik, terdapat
organ respirasi yang terspesialisasi untuk respirasi dengan medium air.
Belut memanfaatkan sistem countercurrent flow untuk optimasi
penyerapan oksigen oleh darah. Ketika air masuk ke insang dan melalui
filamen pada lamellae insang, akan terjadi proses difusi gas (Hickman et
al., 1997; Evans, 2010).
Adapun laju respirasi suatu organisme dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama, perubahan tekanan parsial PCO2, PO2, dan pH dalam
darah jika melewati atau kurang dari ambang akan memengaruhi laju
respirasi. Konsentrasi CO2 di darah bila terdeteksi kadarnya lebih tinggi
daripada yang seharusnya, laju respirasi akan meningkat (Sherwood,
2014). Kedua, kondisi emosi yang akan menstimulasi hipotalamus.
Ketiga, usia akan memengaruhi performa respirasi. Seiring
bertambahnya usia, performanya akan menurun. Keempat, suhu tubuh
pada hewan poikiloterm (berdarah dingin) dan homoiterm (berdarah
panas). Pada hewan berdarah panas, dibutuhkan energi lebih besar
untuk menjaga suhu tubuh agar tetap sehingga laju respirasi pada
organisme homoiterm lebih cepat daripada poikiloterm. Kelima, ukuran
tubuh juga memengaruhi laju respirasi, semakin kecil ukurannya,
semakin cepat pula lajunya (Hill et al., 2012). Seluruh refleks yang akan
menentukan laju respirasi dikendalikan oleh chemoreceptor,
baroreceptor, dan stimulus pada tubuh (Martini et al., 2014).
Ketersediaan oksigen dalam air sangat sedikit oleh karena itu
oksigen sering disebut sebagai faktor pembatas, karena daya larut
oksigen dalam air kecil. Apabila kandungan oksigen dalam air rendah
makaikan dan organism akuatik lain harus memompa air dalam jumlah
tertentu kepermukaan insang untuk mendapatkan oksigen yang cukup
agar kecepatan metabolismenya stabil. Oksigen sebagai bahan
pernafasan di butuhkan oleh sel untuk berbagai reaksi metabolisme.
Oleh sebab itu, kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh
5
kemampuannya memperoleh oksigen yang cukup dari lingkungannya.
Berkurangnya oksigen terlarut dalam perairan, akan mempengaruhi
fisiologi respirasi organisme air, dan hanya yang memiliki sistem
respirasi yang sesuai dapat bertahan hidup (Fujaya, 2004).
Sebagai mana menurut Zonneveld (1991), bahwa faktor yang
mempengaruhi konsumsi oksigen pada ikan (termasuk belut), yaitu (1)
aktifitas, organisme dengan aktifitas tinggi misalnya yang aktif berenang
akan mengkonsumsi oksigen jauh lebih banyak dari pada yang tidak
aktif; (2) ukuran, organisme yang ukurannya lebih kecil, kecepatan
metabolismenya lebih tinggi daripada yang ukurannya lebih besar
sehingga konsumsi oksigennya lebih banyak; (3) umur, organisme yang
masih berumur masih muda akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak
daripada organisme yang lebih tua; (4) temperatur, organisme yang
berada pada temperatur tinggi laju metabolismenya tinggi sehingga
konsumsi oksigennya lebih banyak.
6
E. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah
dipaparkan, maka dapat diperoleh hipotesis penelitian ini, yaitu:
1. Pemberian perlakuan pada belut dengan menutup wadah/akuarium
akan mempercepat laju respirasi yang mempengaruhi kebutuhan
konsumsi oksigen pada belut.
2. Belut dengan habitat hidup pada media berlumpur akan
menggunakan alat repirasi tambahan (berupa kulit tipis) karena
kandungan air yang sedikit.
3. Suhu, pH, kandungan oksigen terlarut dalam air berpengaruh
terhadap penurunan atau kenaikan laju respirasi belut sawah.
F. Metode Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2022.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia
Kampus II Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
Walisongo, Semarang.
2. Metode dan Rancangan Penelitian
a. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimental. Kusriningrum (2008) menyatakan bahwa
eksperimen dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang
dibatasi dengan nyata dan dapat dianalisis hasilnya. Pengambilan
data penelitian dilakukan berdasarkan hasil uji setelah perlakuan.
Penelitian eksperimental digunakan untuk mengetahui pengaruh
variabel tertentu terhadap suatu kelompok dalam kondisi yang
terkontrol.
Desain eksperimen terdiri dari kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kelompok kontrol dimaksudkan sebagai
pembanding hingga terjadi perubahan akhir berbagai variabel
eksperimen tersebut. Yang menjadi variabel kontrol adalah air
7
biasa. Sedangkan yang menjadi variabel eksperimen adalah media
air biasa yang ditutup dengan wrap lilin, media aquadest, dan
media lumpur.
b. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
4 perlakuan dan 2 kali ulangan. Perlakuan pertama/ kontrol (A)
adalah belut yang dimasukkan pada media habitat air biasa tanpa
tambahan apapun. Perlakuan kedua (B) adalah belut yang
dimasukkan pada media habitat air biasa namun wadah akuarium
ditutup. Perlakuan ketiga (C) adalah belut yang dimasukkan pada
media habitat aquadest dan dipasang aerator. Perlakuan keempat
(D) adalah belut yang dimasukkan pada media habitat air
berlumpur. Tiap perlakuan terdiri dari 10 ekor belut sawah.
3. Prosedur Kerja
a. Persiapan Alat
Akuarium/bak plastik yang digunakan dalam penelitian ini
berukuran 30 cm x 20 cm x 25 cm sebanyak 4 unit (akuarium A, B,
C, dan D). Akuarium/bak plastik dibersihkan, kemudian dibilas
dan dikeringkan terlebih dahulu. Akuarium/bak plasik kemudian
disusun teratur dan diberi plastik hitam diseluruh sisi akuarium
untuk meminimalkan cahaya yang masuk dikarenakan belut
sawah merupakan ikan nokturnal.
Pemberian tanda nama perlakuan pada tiap akuarium
diberikan setelah dilapisi plastik hitam. Air diendapkan kemudian
ditambahkan daun ketapang untuk membentuk warna air menjadi
kecoklatan atau kehijauan. Daun ketapang juga diketahui
mengandung tannin dan flavonoid yang dapat berfungsi sebagai
antibiotik (Kadarini dkk., 2010). Dosis daun ketapang yang
digunakan adalah 10 g/40 L (Kadarini dkk., 2010).
b. Persiapan Bahan
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut
sawah berjumlah 40 ekor. Belut sawah yang digunakan berasal
8
dari persawahan dan Pasar Kradenan, Blora. Masing-masing
akuarium diisi 10 ekor belut sawah. Belut sawah diadaptasikan
terlebih dahulu dengan penambahan substrat tanaman air dan
diberi pakan cacing.
c. Cara Kerja
1) Disipkan 4 unit akuarium/bak plastik (akuarium A, akuarium
B, akuarium C, dan akuarium D)
2) Akuarium A dan B diisi dengan air biasa (PDAM), akuarium C
diisi dengan aquadest, dan akuarium D diisi dengan air
dengan lumpur. Setiap akuarium/bak plastik diisi media
hingga ketinggian air 10 cm.
3) Kemudian dicatat pH, suhu, dan DO awal pada masing-masing
akuarium.
4) Dikelompokkan belut sebanyak 4 kelompok (masing-masing
kelompok berisi 10 belut) dalam wadah lain.
5) Terlebih dahulu masing-masing belut dalam wadah ditimbang
bobot awalnya dan dilakukan rata-rata.
6) Dimasukkan belut ke dalam akuarium (A, B, C, D) sesuai
dengan kelompok, masing-masing sebanyak 10 belut.
7) Akuarium A dibiarkan sebagai variabel kontrol, akuarium B
ditutup dan dilapisi wrap lilin, akuarium C dibiarkan terbuka
dan diberi aerator, sedangkan akuarium D diisi dengan
lumpur.
8) Hitung bukaan insang belut tiap 3 menit dan dilakukan
selama 30 menit, serta amati perilaku dari masing-masing
perlakuan.
9) Setelah 30 menit, buka penutup akuarium B, dan ukur setiap
DO akhir pada masing-masing akuarium (A, B, C, D).
10)Dilakukan analisis data dan perhitungan kebutuhan oksigen
tiap menit pada belut dengan rumus:
( )
{ }
( )
9
Keterangan:
TKO = tingkat konsumsi oksigen (mg O2/gr
tubuh/jam)
DO awal = oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)
DO akhir = oksigen terlarut akhir pengamatan (mg/L)
W = berat belut uji (gr)
t = periode pengamatan (jam)
V = volume air dalam respirometer (L)
10
DAFTAR PUSTAKA
Atif, A.B., Zahri M.K., Esa A.R., Zilfalil B.A., Rao U.S.M., & Nordin S. 2015.
Comparative Analysis of The Antibacterial, Antifungal,
Antiproliferative and Cyclic Response Element (Cre) Induced
Expression of Downstream Luc Gene Activities of Monopterus albus
and Channa straitus Extracts. Journal of Applied Pharmaceutical
Science, Malaysia.
Ikram, M.N., Nik Mohd., & Ridzwan B.H. 2013. A Preliminary Screening of
Antifungal Activities from Skin Mucus Extract of Malaysian Local
Swamp Eel (Monopterus albus). International Research Journal of
Pharmacy and Pharmacology, Malaysia.
Martini, F., & Nath J. L. 2015. Fundamentals of Anatomy & Physiology 10th
Edition. San Fransisco: Pearson. 860 – 865.
11
Santoso, Rachmat. 2014. Penambahan Atraktan yang Berbeda Dalam Pakan
Buatan Pasta Terhadap Pertumbuhan dan Feed Covertion Ratio Belut
(Monopterus albus) dengan Sistem Resirkulasi. [Skripsi]. Program
Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga.
Saparinto, C., & Taufik A. 2008. Usaha Pembesaran Belut. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Warisno, K. Dahana. 2010. Budidaya Belut Sawah dan Rawa di Kolam Intensif
dan Drum (Edisi 1). Yogyakarta: Penerbit And.
Yusriadi, A., dkk. 2017. Pengaruh Pergantian Air terhadap Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Belut Sawah (Monopterus albus) yang
Dipelihara pada Media Tanpa Lumpur. Media Akuatika, Vol.2 (4):
519-525.
12