Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KONSEP KEBUDAYAAN PADA ANAK USIA DINI

Disusun guna memenuhi salah satu syarat tugas mata kuliah


Pengembangan Studi Sosial Anak Usia Dini
Dosen Pengampu : Nika Cahyati, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Almeyida Nur Azzahra (224223006)


2. Ai Siti Daripah (224223015)
3. May Sumarni (224223023)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP MUHAMMADIYAH KUNINGAN
2023
BAB I
PEMBAHASAN
A. Konsep kebudayaan pada anak usia dini
1. Keberagaman dalam masyarakat
Keragaman budaya etnis suku agama di lingkungan sekitar anak harus
dikenalkan sejak usia dini, karena Indonesia mempunyai berbagai macam
budaya yang perlu di ajarkan pada anak guna mengetahui perbedaan-
perbedaan yang ada. keanekaragaman suku, budaya, ras dan antar golongan
di lingkungan anak-anak banyak sekali yang dapat di contohkan oleh guru
maupun orang tua, misal perbedaan agama, adat-istiadat, suku atau
keturunan. Hal ini diharapkan mampu memberi pengetahuan anak terkait
dengan banyaknya perbedaan-perbedaan yang ada di sekeliling mereka.
(Tabi’in, 2020:140).
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia yang berslogan Bhinneka Tunggal
Ika memiliki keragaman budaya, bahasa, agama dan adat istiadat. Setiap
budaya tentunya mempunyai karakter dan persoalan yang berbeda dengan
daerah lain. Apalagi bagi Indonesia yang penuh dengan kemajemukan
geografis, budaya, kesenian. Kondisi tersebut pada akhirnya menciptakan
masyarakat yang multikultural, multiracial dan multilingual. Keberagaman
merupakan hal yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia tidak terelakkan
lagi. Hal itu memunculkan persoalan tersendiri bagi anak-anak Indonesia.
Sejak dini anak Indonesia menghadapi berbagai persoalan tentang adanya
persamaan dan perbedaan. Pemahaman mengenai multikultural, multirasial
dan multilingual merupakan warisan nenek moyang dengan nilai-nilai
luhurnya. Namun slogan Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan Orde Baru
merupakan kasus yang menggambarkan pengelolaan keberagaman yang
mengabaikan pemahaman akan keberagaman itu sendiri. Otoritas nasional
muncul sebagai pengatur budaya yang dominan (Pradipto, 2005). Adanya
anggapan bahwa keberagaman akan membahayakan keutuhan negara
menjadi alasan membuat keberagaman itu harus tetap berada dalam
keutuhan, kesatuan yang akhirnya justru mendorong munculnya
monokulturalisme.(Kusmaryani, 2011).
Dalam hal ini orang tua perlu mengenalkan keberagaman tersebut.
Apa saja yang perlu dilakukan orangtua kepada anak usia dini dalam
mengenalkan budaya :
a. Mengenalkan budaya kepada anak menggunakan berbagai
media, misalnya : cerita bergambar, video interaktif dan lain
sebagainya dengan tampilan visual yang menarik sehingga anak
mudah mengingatnya. Usia dini adalah usia yang tepat untuk
mengenalkan budaya, pada usia tersebut adalah usia emas
perkembangan mereka agar ketika anak beranjak dewasa anak akan
mengemali dan menghargai budaya tersebut.
b. Selain itu untuk mengenalkan anak usia dini dengan budaya
bisa melalui permainan tradisional. Kenalkan pada anak berbagai
macam permainan tradisional secara bertahap. Metode mudah
mengenalkan permainan pada anak ialah learning by doing. Biarkan
anak terlibat langsung dan mencoba untuk memainkannya.
Contohnya seperti bermain petak umpet yang memberikan tantangan
kepada anak untuk mencari teman yang sedang bersembunyi.
c. Mengenalkan berbagai makanan dari setiap daerah. Dengan
mengenalkan keberagaman Indonesia dari makanan, anak tak hanya
semakin mengenal budaya masayarakat saja, namun juga bisa
mencicipi berbagai cita rasa khas dari berbagai daerah
d. Mengenalkan melalui warisan seni berupa tradisi dan budaya
yang menjadi ciri khas dalam keluarga sendiri tersebut. Ada baiknya
dikenalkan budaya dari keluarga sendiri, seperti apa asaja yang masih
dilakukan dan dijunjung tinggi hingga sekarang. Ini menjadi sangat
penting dalam budaya karena ketika anak usia dini beranjak dewasa akan
memiliki keturunan selanjutnya yang akan meneruskan warisan tersebut.
2. Menghargai kebhinekaan dan keragaman.
Setiap orang hendaknya sadar bahwa dia harus bisa dan mau
menerima orang lain apa adanya tidak ada diskriminasi, menerima seseorang
tidak membedakan suku, agama, bahasa, jenis kelamin, dan bangsanya.
Pentingnya menghargai keberagaman demi mewujudkan dan
memantapkan penghargaan orang lain, seseorang harus memahami juga
alasan penting menghargai orang lain adalah:
a. Manusia lahir di bumi sama-sama ciptaan Tuhan.
b. Kedudukan dan sama posisinya di hadapan Tuhan dan hukum.
c. Manusia adalah makhluk mulia dan sangat berharga.
d. Manusia makhluk sosial, orang tidak bisa hidup sendiri, saling
membutuhkan dan mencukupi serta melengkapi.
Sementara itu, tujuan menghargai orang lain antara lain:
a. Untuk kemuliaan Tuhan.
b. Menciptakan kedamaian.
c. Menciptakan kebahagiaan dan kemajuan bersama, dimana ada
kedamaian di situ ada kebahagiaan dan disitu akan terjadi kemajuan.
Contoh, sebuah keluarga berbahagia jika sesama anggota keluarga
saling menghargai termasuk dengan masyarakat tidak akan mengalami
kemajuan jika di masyarakat tidak ada penghargaan terhadap orang lain.
Penanaman nilai menghargai keberagaman anak usia di daerah perkotaan,
dapat dilaksanakan antara lain melalui:
a. Keteladanan dan menciptakan hubungan harmonis
b. Ajaran agama mendalam
c. Mendidik dengan larangan yang tepat
d. Melakukan aktivitas fisik bersama-sama
e. Mendampingi anak belajar bersama melalui internet dan
penggunaan gadget.
Sementara itu, penanaman nilai menghargai keberagaman anak usia di
daerah perdesaan, dapat dilaksanakan antara lain melalui :
a. Pembelajaran konvesional
b. Banyak mendengarkan penjelasan guru di depan kelas.
c. Melaksanakan tugas jika guru memberikan penugasan.
d. Penerapan metode ceramah, tanya jawab dan diskusi, serta
penugasan.
Pendidikan perlu menciptakan suatu kurikulum multikultural yang
dapat menjembatani bagaimana peserta didik dapat saling menghargai
perbedaan sejak mereka masih di bangku sekolah dasar. Menurut Gupta, A.
(2009), pendidikan multikultural membantu peserta didik untuk
mengevaluasi fakta dan asumsi yang terjadi ketika ini diajarkan semenjak
usia dini, itu membantu peserta didik membentuk social impression sejak
awal dari pandangan multikultural, sehingga kelak dewasa menjadi seorang
lebih siap menghadapi tekanan sosial yang terjadi di lingkungan. Contoh
penerapan, pelajaran agama di kurikulum wujud pendidikan hendaknya
mengajarkan budaya multikultural melalui perayaan kepercayaan. Jika satu
kelas ada pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu,
pengajar dapat mengajak membuat perayaan sederhana hari raya
kepercayaan tiba tujuannya menumbuhkan rasa saling menghargai peserta
didik latar belakang kepercayaan yang berbeda satu sama lain. Budaya
mengenalkan keberagaman suku salah satu bahan pengajaran tentang
keberagaman, contoh; peserta didik bercerita hal unik budaya/suku mereka
berasal lalu pendidik membuka diskusi memberi kesempatan lainnya
bertanya dan membahas secara gamblang tentang topik yang
diangkat.(Pendidikan et al., 2019).
B. Konsep identitas dan perkembangan perilaku pada anak.
1. Lingkungan pada anak usia dini.
a. Lingkungan keluarga.
Lingkungan keluarga adalah Pilar utama untuk membentuk
baik buruknya pribadi manusia agar berkembang dengan baik dalam
beretika, moral dan akhlaknya. Peran Keluarga dapat membentuk pola
sikap dan pribadi anak, juga dapat menentukan proses pendidikan
yang diperoleh anak, tidak hanya di sekolah akan tetapi semua faktor
bisa dijadikan sumber pendidikan. Lingkungan keluarga juga dapat
berperan menjadi sumber pengetahuan anak, juga dapat berpengaruh
tehadap keberhasilan prestasi siswa.Anak dalam kandungan sampai
usia lanjut atau liang lahat akan mendapatkan pendidikan, baik dari
lingkungan keluarga (pendidikan informal), Lingkungan Sekolah
(pendidikan formal) maupun Lingkungan Masyarakat (nonformal).
Menurut penulis ada 6 peran keluarga dalam mendidik anak, yaitu:
1) Peran keluarga dalam perkembangan karakter anak
Efektivitas. Peran keluarga dalam perkembangan karakter anak
dapat menjadi modal awal anak dalam pembentukan karakter
anak agar dapat berinteraksi, berkomunikasi dan berprilaku
dengan yang lainnya.
2) Peran keluarga dalam perkembangan kognitif anak.
Perkembangan kognitif anak dapat diberikan oleh keluarga
dalam bentuk pemahaman benda-benda dan gambar-gambar.
Ketika anak mulai mengkritisi dan bertanya tentang suasana dan
keadaan ataupun apa yang di lihatnya.
3) Peran keluarga dalam perkembangan sosial anak. Peran
keluarga yang dapat memberikan tingkat kepercayaan diri anak
adalah dalam memberikan ruang gerak kepada anaknya untuk
dapat beraktualisasi dengan teman sebayanya juga dengan
orang lain.
4) Peran Keluarga Dalam Perkembangan Moral Anak.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi
moral anak untuk perkembangan kepribadian anak. Keluarga
yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah
keluarga yang penuh dengan konflik atau tidak bahagia.
5) Peran Keluarga Dalam Perkembangan Mendidik Anak.
Keluarga bagi seorang anak merupakan lembaga pendidikan
non formal pertama, di mana mereka hidup, berkembang, dan
matang. Di dalam sebuah keluarga, seorang anak pertama kali
diajarkan pada pendidikannya. Dari pendidikan dalam keluarga
tersebut anak mendapatkan pengalaman, kebiasaan,
ketrampilan berbagai sikap dan bermacam-macam ilmu
pengetahuan.
6) Peran Keluarga Dalam Perkembangan Kreativitas Anak
Peran keluarga dalam kreativitas anak mempengaruhi ketrampilan
berpikir anak yakni melalui proses penalaran untuk mengatahui bakat
yang di miliki oleh anaknya.
b. Lingkungan sekolah (PAUD)
Montessori, sama halnya dengan Piaget, menganggap
lingkungan sebagai kunci utama pembelajaran spontan anak.
Lingkungan di sini hendaknya yang menyenangkan bagi anak dan
juga memberi kesempatan bagi perkembangan potensi masing-masing
individu. Menurut Montessori, anak adalah an active agent (agen
aktif) dalam lingkungannya, sementara guru merupakan fasilitator yang
membantu pembelajaran dan perkembangan anak.
Lingkungan PAUD menyenangkan, menurut perspektif
Montessori memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Accessibility and availability (mudah diakses dan
tersedia). Kebanyakan anak menyukai area terbuka yang dapat
digunakan untuk berbagai aktivitas individu maupun
kelompok. Montessori menganjurkan pula bahwa taman atau
area terbuka hendaknya memiliki area tertutup juga, sehingga
memung-kinkan untuk digunakan anak dalam berbagai cuaca.
Organisa-si materi atau alat-alat, aktivitas, dan kesibukan lain
juga merupakan aspek lingkungan menyenangkan yang
menawarkan ketersediaan dan kemudahan akses. Secara umum,
tiap-tiap aktivitas memiliki areanya yang mendukung anak
untuk bebas memilih.
2) Freedom of movement and choice (ada kebebasan
bergerak dan memilih). Terkait dengan hal ini, guru hendaknya
memiliki rasa percaya dan hormat kepada anak. Anak akan bisa
menentukan pilihan yang “tepat” jika ia memiliki kesempatan
untuk bergerak ke mana pun yang ia suka, dan menemukan apa
yang ia butuhkan untuk memuaskan dirinya.
3) Personal responsibility (penuh tanggung jawab personal).
Pemberian kebebasan perlu didukung dengan pelatihan sikap
bertanggung jawab kepada anak. Sikap ini bisa dibentuk misal-
nya dengan melatih seorang anak untuk mengembalikan mainan
atau sarana belajar ke tempatnya semula. Anak juga dilatih untuk
memiliki kesadaran sosial, yakni kemampuan untuk berbagi
dengan sesama.
4) Reality and nature (nyata dan alami). Model nyata seperti
benda 3D (tiga dimensi) dianggap lebih representatif daripada
2D (dua dimensi). Misalnya, penggunaan kerangka tubuh
manusia berbentuk 3D akan lebih mudah dicerna oleh anak
dibandingkan gambar 2D. Contoh lainnya, keberadaan kubus
3D akan lebih mudah dipahami daripada gambar kubus 2D.
Kesan alami akan tampak ketika anak diberikan kesempatan
lebih untuk bereksplorasi melalui berkebun, kelas alam, dan
segala aktivitas yang bersentuhan langsung dengan alam. Kelas
indoor pun akan terlihat lebih alami ketika dihiasi dengan bunga
atau tanaman yang asli, bukan buatan.
5) Beauty and harmony (indah dan selaras). Aspek
keindahan bisa diperoleh misalnya dari dekorasi ruangan yang
sederhana, artinya tidak berlebihan dan tidak mengalihkan
perhatian anak. Sedangkan kesan selaras bisa didapat dari
ketepatan pengorganisasian ruang belajar. Montessori
menyarankan agar ruang kelas tidak terlalu sunyi, tetapi juga
tidak ramai atau semrawut. Sebagaimana yang ada di Casa Dei
Bambini, ruang kelas bagi anak usia 3-6 tahun di sana dinilai
menyenangkan, sehingga anak bisa santai dan merasa seperti di
rumah sendiri (Isaac, 2010: 20-24).
Menurut penulis Jika mencermati keseluruhan ciri-ciri di atas,
sesungguhnya aksesibilitas juga berkenaan dengan peletakan alat-alat
atau perlengkapan bermain bagi anak. Sarana pembelajaran yang
tersedia di kelas sebaiknya mudah dijangkau anak-anak. Artinya, anak-
anak tidak bersusah payah untuk meraih perlengkapan bermain yang
letaknya dua meter lebih tinggi dari jangkauan maksimalnya. Selain
dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas kegiatan, sulitnya
mengakses sarana seperti itu juga bisa menghadirkan rasa putus asa
pada anak, sehingga bisa jadi anak tidak mau lagi bermain. Terkait
dengan freedom of movement and choice, guru hendaknya memberi
kebebasan bergerak dan memilih kepada anak. Guru perlu memiliki
rasa percaya dan hormat kepada anak. Dengan kata lain, anak di sini
tidak boleh merasa terhalangi kesempatannya untuk bergerak ke mana
pun yang ia suka, karena pada dasarnya anak ingin menemukan apa
yang ia butuhkan untuk memuaskan dirinya. Apabila diamati lebih
dalam, karakteristik kedua ini berimplikasi bahwa guru (tentunya
juga melibatkan pihak lembaga PAUD) perlu menghadirkan ruang
gerak bagi anak yang bebas dari segala risiko. Pertama, keamanan
mereka harus terjamin. Tidak ada semacam kekhawatiran seperti anak
mengalami kecelakaan karena tertabrak kendaraan umum. Tidak ada
anak yang terancam bahaya karena mainan ayunan di sekolah
berkualitas buruk. Tidak ada ketakutan anak akan dimakan binatang
buas, dan lain sebagainya. Kedua, pemilihan sarana bermain anak.
Berkenaan dengan hal ini, telah banyak saran yang masuk kepada para
guru (dari berbagai media maupun dari mulut ke mulut) agar cermat
dalam memilih sarana itu, terlebih sarana yang bersentuhan langsung
dengan anak. Sudah bukan waktunya lagi guru mengutamakan
kuantitas, karena ada yang lebih harus diutamakan, yaitu kualitas.
Tidak heran apabila ada semacam keharusan bagi para produsen alat
permainan PAUD untuk menyesuaikan produknya dengan apa yang
distandarkan oleh pemerintah.
c. Lingkungan masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang secara relatif
mandiri, hidup bersama- sama dalam waktu yang cukup lama,
mendiami suatu tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan

melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut


(Horton, 1999:44). Jadi lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan
tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup
bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan
sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat pun
memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam upaya
pembentukan karakter anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud

dengan masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “ tidak
dekat “, “ tidak dikenal “ “ tidak memiliki ikatan famili “ dengan anak
tetapi saat itu ada di lingkungan sang anak atau melihat tingkah laku si

anak. Orang- orang inilah yang dapat memberikan contoh, mengajak,


atau melarang anak dalam melakukan suatau perbuatan.
Menurut penulis adapun Contoh-contoh perilaku yang dapat
diterapkan oleh masyarakat :
1) Membiasakan gotong royong, misalnya : membersihkan
halaman rumah masing - masing, membersihkan saluran air,
menanami pekarangan rumah.
2) Membiasakan anak tidak membuang sampah dan
meludah di jalan, merusak atau mencoret-coret fasilitas umum.
3) Menegur anak yang melakukan perbuatan yang tidak
baik.
4) Membantu perbaikan sekolah PAUD yang ada
dilingkungannya (misalnya: memperbaiki atap paud yang
bocor).
Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar
terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk
pembentukan karakter. Situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai
yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat
secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas
pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini
dan di sini pula. Peran serta Masyarakat dalam pendidikan memang
sangat erat sekali berkait dengan pengubahan cara pandang
masyarakat terhadap pendidikan. Ini tentu saja bukan hal yang ,mudah
untuk dilakukan. Akan tetapi apabila tidak dimulai dan dilakukan
dari sekarang, kapan rasa memiliki, kepedulian, keterlibatan, dan
peranserta aktif masyarakat dengan tingkatan maksimal dapat
diperolah dunia pendidikan.(Mutmainnah, 2019).
2. Jati diri atau identitas.
Jati diri atau yang juga disebut sebagai identitas nasional merupakan
ciri atau keunikan suatu bangsa. Referensi lainnya menyebutkan jati diri
sebagai penilaian dan pemahaman individu dalam mengenali dirinya
sebagai pribadi maupun kelompok tertentu. Anak sebagai bagian kelompok
akan mengetahui dan mengenali suku, agama, budaya, dan tempatnya
berasal (Helista et al., 2021). Secara teoritis, identitas nasional Indonesia
dirumuskan dalam 3 bagian utama, yaitu identitas fundamental,
instrumental dan alamiah. Identitas fundamental merujuk kepada pancasila
sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa. Identitas instrumental
meliputi UUD 1945 sebagai konstitusi negara, bahasa persatuan yakni
bahasa Indonesia, lambang negara yaitu Garuda Pancasila, bendera negara
yaitu bendera Merah Putih, semboyan negara ialah Bhineka Tunggal Ika, dan
lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya. Adapun identitas alamiah
ditunjukkan dengan Indonesia sebagai negara dengan suku, budaya, dan
kepercayaan yang beragam (Afifah, 2018). Menurut Aulia, dkk (2021) identitas
nasional sebagai jati diri bangsa meupakan alat pemersatu bangsa, ciri khas,
dan landasan sebuah negara. Istilah serupa juga diungkapkan oleh
Sebayang, identitas nasional menjadi ciri khas suatu bangsa yang akan
membedakan dengan bangsa lainnya. Hal ini dibedakan dengan berbagai
keunikan, sifat, dan karakter masing-masing bangsa (Sebayang, 2019).
Pembentukan konsep “Jati Diri” yang positif pada anak dapat
menumbuhkan keberhargaan dan kepercayaan diri, bangga menjadi bagian
kelompok tertentu, dan menghargai keberagaman. Selain itu, dapat
membantu anak mengenali, memahami, dan menghargai kebutuhan diri anak
maupun kelompoknya (Helista et al., 2021). Penanaman akan rasa kebanggaan
dan cinta kepada bangsa dan negara merupakan bentuk pengenalan jati diri
bangsa yang perlu diterapkan sejak dini sehingga anak dapat mengenal
negara dan bangsa serta memiliki semangat untuk menjaganya.
Pengenalan konsep “Jati Diri” ini juga dapat dilakukan dengan kegiatan
yang menyenangkan bagi anak, seperti kegiatan bermain.
Konsep “Jati Diri” biasanya juga sering diimplementasikan melalui
pendidikan multikultural bagi anak usia dini. Pendidikan multikultural
menjadi pondasi dalam pengembangan masyarakat Indonesia yang
beragam. Oleh sebab itu, sejak dini anak dapat diberikan pengenalan dan
pembiasaan dalam memahami pluralitas kelompok, budaya, agama dan
berbagai keberagaman lainnya (Hasanah, 2018). Hal penting dalam
pendidikan multikultural yakni pemahaman akan filosofi pluralisme budaya
dengan prinsip persamaan (equality), saling menghormati dan menerima
serta memahami perbedaan (Rohman & Ningsih, 2018). Di antara manfaat
dari pendidikan multikultural yaitu mengajarkan anak akan nasionalisme
yang meliputi nilai demokrasi, nilai kesetaraan, nilai toleransi dan nilai
keadilan (Kusuma, 2013). Jati Diri juga terjadi melalui proses interaksi anak
dengan lingkungannya (Helista et al., 2021). Oleh sebab itu, kebudayaan
masyarakat setempat turut mewarnai dan melekat dalam diri anak serta
akan mempengaruhi perkembangannya.(Aghnaita et al., 2022).
3. Pengembangan harga diri anak.
Harga diri anak terbentuk seiring dengan pengalaman dan
perkembangan yang diperoleh anak dari interaksinya dengan lingkungan.
Setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, akan mempengaruhi tingkat
harga diri anak. Memiliki harga diri yang tinggi merupakan salah satu tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh anak, apabila anak mengalami
kejadian yang menyenangkan, maka dapat berdampak pada peningkatan
harga diri, tetapi jika terjadi hal yang kurang menyenangkan atau anak
mengalami masalah maka biasanya akan terjadi penurunan harga
diri.(Hastuti, 2016)
Pada masa golden age anak yakni 0-8 tahun, anak-anak belum
memahami benar siapa diri mereka. Mereka baru memasuki ranah mengenal
nama sebagai identitas diri mereka untuk membedakan diri mereka dari
anak-anak lain yang seumur. Amaryllia Puspasari, seorang psikolog anak
mengatakan bahwa konsep diri anak adalah persepsi yang dimunculkan
melalui pengalaman pribadi yang dialami individu dan salah satu langkah
pertama ketika seorang anak mempelajari konsep dirinya adalah kesadaran
anak terhadap dirinya sendiri (Puspasari, 2007:43). Pengalaman pribadi yang
dialami anak pada usia ini adalah bermain ketika mereka berada di
lingkungan sekolah. Bermain sambil belajar adalah metode pendekatan
antara pendidik dengan peserta didiknya yang bertujuan agar anak-anak
belajar mandiri dan merangsang kreativitas mereka. Seperti telah
diungkapkan sebelumnya bahwa pendidik seharusnya tidak hanya berperan
sebagai guru saja namun sekaligus menjadi teman bagi mereka, karena pada usia
ini anak- anak memerlukan adaptasi lingkungan sekolah yang sebelumnya
hanya terbiasa di lingkungan keluarga.(Putri, 2012).
Tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan self-esteem yang
harus dimiliki oleh individu pada masa perkembangan anak-anak usia Early
childhood: Ages 0-6 sebagaimana dikemukakan oleh Coopersmith, yang
didasarkan kepada empat konsep inti harga diri yaitu, saya sebagai pribadi (I
am a person), saya sebagai pemimpi (I am a dreamer), saya sebagai
pemenang (I am a champion), dan saya sebagai teman (I am a friend). Tugas-
tugas perkembangan tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Pribadi : mengenal dimensi-dimensi fisik dari diri yang mampu
diamati secara objektif. Perbedaan diri dengan orang lain. Dimulai
dari opini tentang diri. Mengenal apakah diri penting atau berharga
bagi orang tua.
b. Pemimpi : bekerja untuk meraih tujuan sederhana (membangun
menara dengan balok-balok, membuat gambar atau lukisan).
Mengembangkan imajinasi atau kemampuan untuk melihat
kemungkinan-kemungkinan. Mengembangkan sikap positif atau
negatif terhadap sesuatu yang umum dan masa depan yang tidak
spesifik misalnya mangatakan pada ibunya, “ kalau nanti aku besar
aku ingin jadi yang terbaik dimata allah dan bunda…..”.
c. Pemenang : Merasa bangga membuat sesuatu daripada produk
yang sudah jadi (menyukai menggambar, membangun daripada hasil
akhirnya). Mengunkap kemampuan yang dimiliki oleh tubuh.
Menekuni tugas yang cukup sulit secara moderat. Bertahan melawan
serangan fisik dari teman sebaya; melindungi apa yang dimiliki,
seperti mainan. Terkadang melawan tuntutan orang tua.
d. Teman : mempelajari keterampilan interaksi sosial dengan
teman sebaya. Memberikan dan menerima afeksi fisik dari orang tua.
Mulai membentuk hati nurani. Memberikan respon dengan sikap
yang positif terhadap kesedihan orang lain. Menunjukkan kelembutan
terhadap hewan peliharaan, memperlihatkan tanggung jawab dan
pemeliharaannya terlihat ketika masa peka terhadap perkembangan
yang lebih lanjut istilahnya sudah mengenal teman sebaya.
Menurut Branden terdapat dua aspek yang dapat menghambat
perkembangan harga diri, yaitu perasaan takut dan perasaan bersalah.
Perasaan takut muncul ketika anak tidak mampu menghadapi fakta-fakta
kehidupan dengan penuh keberanian. Fakta-fakta tersebut merupakan
tanggapan negatif terhadap diri yang menjadikan anak hidup dalam
ketakutan. Aspek kedua yang menghambat harga diri adalah perasaan
bersalah yang mencakup perasaaan bersalah karena melanggar nilai-nilai
moral. Anak menghayati kesalahan sebagai suatu pelanggaran terhadap nilai
kehidupan yang telah ditanamkan dalam diri oleh orang yang
menguasainya, yaitu seseorang yang dianggap berharga atau ditakuti.
Perasaan bersalah dimiliki oleh anak yang mempunyai pegangan
hidup berdasarkan kesadaran dan keyakinan diri dimana anak telah
menentukan kriteria yang baik dan yang buruk. Perasaan bersalah kedua
adalah merasa bersalah terhadap ketakutan, seperti terhadap orang tua.
Jika terus menerus akan terjadi akumulasi perasaan bersalah yang muncul
dalam bentuk kecemasan (anxiety) sehingga menghambat perkembangan
self- esteem anak.(Hastuti, 2016).

C. Mengenalkan konsep anak dalam berkerjasama.


Satu bagian penting dari pengembangan sosial emosional adalah
kemampuan kerjasama (Abidah & Dewi, 2019). Banyak penelitian yang
menyatakan bahwa hal yang berperan penting dalam membentuk hubungan
pertemanan yang baik pada anak usia dini adalah kemampuan kerjasama. Hal ini
tentunya akan berpengaruh pada psikologis anak dimasa yang akan datang.
Kemampuan kerjasama juga harus diarahkan agar dapat digunakan dengan baik
sehingga anak mampu menyesuaikan diri dalam hal akademik maupun bidang
lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Hurlock menjelaskan bahwa
kerjasama adalah pola perilaku dalam situasi sosial masa kanak-kanak. Anak usia
prasekolah sudah mulai menunjukkan perilaku sosial yang mengarah pada
kegiatan bekerjasama. Hal ini terlihat dari cara anak berkomunikasi dan
perkembangan tahapan dari bermain ke bermain kelompok. Anak-anak usia
prasekolah tampaknya mulai berkomunikasi satu sama lain, memilih teman untuk
bermain dan mengurangi perilaku agresif (Gunawan & Nurmawan, 2010).
Kemampuan kerjasama memiliki keunggulan dalam menyelesaikan kegiatan lebih
cepat dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Prabandari & Fidesrinur, 2021).
Kemampuan kerjasama juga sangat penting untuk diterapkan dalam pendidikan
anak usia dini. Menurut Nur Asma dalam buku Model Pembelajaran Kooperatif,
kemampuan kerjasama pada masa kanakkanak dapat menumbuhkan rasa
persatuan, melatih anak untuk terbiasa berkomunikasi secara kelompok
(Farhurohman, 2017). Piaget juga mengatakan bahwa anak yang bekerjasama akan
memicu konflik sosial yang menciptakan ketidakseimbangan kognitif yang nantinya
akan memicu pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif mereka. Dalam
kegiatan kerjasama ini anak-anak secara tidak langsung terlibat dalam diskusi dan
kemudian konflik kognitif yang muncul diselesaikan bersama, sehingga
memungkinkan kemampuan kognitif anak akan berkembang lebih baik di masa
yang akan datang (Mafra, 2015).(Nur Shofiah & Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri
Purwokerto, 2023)
Umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar melakukan hubungan sosial dan bergaul
dengan orang-orang di luar rumah, terutama dengan anak yang umurnya sebaya.
(Nasution, 2010: 32). Kemampuan bekerjasama yaitu, anak mau bekerjasama
dengan kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang
kemampuan bekerjasamanya, mereka masih kuat dalam sikap self centered nya.
Pada usia enam atau tujuh tahun, kemampuan bekerjasama ini sudah berkembang
dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan teman-
temannya. (Nasution, 2010: 31). Bekerjasama menurut Yusuf (2004: 125) adalah
kemampuan mau bekerjasama dengan kelompok. Kemampuan mau bekerjasama
artinya dapat diajak dalam menyelesaikan sesuatu (kegiatan) secara bersama dalam
suatu kelompok. Hurlock (1978: 268), menuliskan bahwa bekerjasama merupakan
kemampuan bekerja bersama menyelesaikan suatu tugas dengan orang lain. Dalam
proses bekerjasama, anak dilatih untuk dapat menekan kepribadian individual dan
mengutamakan kepentingan kelompok. Dari satu sisi anak memiliki sikap dalam
melakukan kegiatan bersama dengan teman sebayanya, adanya sikap seperti itu
anak mempunyai semangat bermain secara berkelompok. Ciri-ciri seorang anak
dapat bekerjasama menurut Sears, dkk (1985: 118) adalah ketika anak tersebut:
dapat bergabung dalam permainan kelompok; dapat terlibat aktif dalam
permainan kelompok; bersedia berbagi dengan teman-temannya; mendorong anak
lain untuk membantu orang lain; dan merespon dengan baik bila ada yang
menawarkan bantuan.(Prabandari & Fidesrinur, 2021)
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
A. Konsep kebudayaan pada anak usia dini.
1. Anak usia dini mampu menyerap dan memahami konsep kebudayaan
dengan cepat.
2. Peran orang tua, guru dan lingkungan dalam membentuk konsep
kebudayaan anak usia dini.
3. Dalam masyarakat anak-anak harus diajarkan untuk menghargai dan
menghormati kebudayaan yang berbeda.
B. Konsep identitas dan perkembangan perilaku pada anak.
1. Identitas individu anak berkembang seiring bertambahnya usia. Anak-
anak mengalami perkembangan identitas yang mencakup pemahaman
tentang siapa mereka, apa yang mereka sukai dan bagaimana mereka
berinteraksi dengan dunia sekitarnya.
2. Pemahaman diri yang kuat dapat membantu anak mengembangkan
perilaku yang konsisten dengan nilai dan keyakinan mereka.
3. Pentingnya dukungan dan bimbingan orang tua dan pengasuh dalam
membantu anak mengembangkan identitas yang positif dan perilaku yang
baik.
C. Mengenalkan konsep anak dalam berkerjasama.
1. Pentingnya mengenalkan anak pada konsep kerjasama sejak dini agar
mereka dapat mengembangkan keterampilan ini.
2. Dalam kerjasama, anak dapat belajar mengenai pemahaman, empati
dan komunikasi yang efektif. Betapa pentingnya membantu anak memahami
pentingnya mendengarkan dan bekerja sama dengan orang lain.
3. Dukungan dari guru, orang tua dan lingkungan yang mendukung
kerjasama menjadi kunci dalam mengenalkan konsep ini pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

(Putri, 2012)Aghnaita, A., Norhikmah, N., Aida, N., & Rabi’ah, R. (2022).
Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini Melalui Konsep “Jati
Diri.” Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(4), 3253–3266.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v6i4.2071
Hastuti, D. (2016). Strategi Pengembangan Harga Diri Anak Usia Dini. JURNAL
JPSD (Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar), 2(2), 38.
https://doi.org/10.26555/jpsd.v2i2.a5486

Kusmaryani, R. E. (2011). Membangun Karakter Keberagaman pada Anak-


Anak.
Seminar Nasional Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: UNY.

Mutmainnah, M. (2019). Lingkungan Dan Perkembangan Anak Usia Dini Dilihat


Dari Perspektif Psikologi. Gender Equality: International Journal of Child and
Gender Studies, 5(2), 15. https://doi.org/10.22373/equality.v5i2.5586

Nur Shofiah, A., & Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto, N. (2023).
Pengembangan Kemampuan Kerjasama Anak Usia Dini Melalui Fun
Games Circle.
Jurnal Ilmiah Potensia, 8(1), 207–218. https://doi.org/10.33369/jip.8.1.

Pendidikan, K., Kebudayaan, D. A. N., Paud, P. P., Dikmas, D. A. N., &


Barat, J. (2019).
Penanaman nilai menghargai kebhinekaan pada anak usia dini.

Prabandari, I. R., & Fidesrinur, F. (2021). Meningkatkan Kemampuan


Bekerjasama Anak Usia 5-6 Tahun Melalui Metode Bermain Kooperatif. Jurnal
Anak Usia Dini Holistik Integratif (AUDHI), 1(2), 96.
https://doi.org/10.36722/jaudhi.v1i2.572

Putri, D. M. (2012). Formation of Self-Concept of Early Childhood at One Earth


School Bali. Journal CommuniCation Spectrum, 2(1), 100–117.
http://jurnal.bakrie.ac.id/index.php/Journal_Communication_spectrum/
article/v iew/41
Tabi’in, A. (2020). Pengenalan Keanekaragaman Suku Agama Ras dan Antar
Golongan (SARA) untuk Menumbuhkan Sikap Toleransi Pada Anak Usia
Dini. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 8(2), 137.
https://doi.org/10.21043/thufula.v8i2.7246

Furqan. 2023. Mengenalkan Keberagaman Budaya di Rumah Bersama Anak.


https://paudpedia.kemdikbud.go.id/galeri-ceria/ruang-artikel/mengenalkan-
keberagaman-budaya-di-rumah-bersama anak.(diakses pada tanggal 18 oktober
2023)

Anda mungkin juga menyukai