Anda di halaman 1dari 3

AIR MATA UNTUK AYAH

Ayam berkokok di pagi hari menandakan fajar telah menyingsing. Kuterbangun dalam
kedinginan subuh yang mencekam. Kuhempaskan sarung yang menutupi tubuhku dengan jengkel.
Awal yang sulit untuk akhir yang sulit,pikirku. Sungguh kaki ini tak kuat berjalan di keheningan dan
kegelapan subuh menuju sumur tua di ladang sana,hanya untuk mandi beberapa ember air. Mau
tak mau harus kulakukan itu jika tak mau mendapati lalat bertebaran disekitar tubuhku akibat bau
yang tidak sedap yang sudah menjalar di tubuhku. Apalagi tadi malam tak kusempatkan mandi
berhubung kantuk sudah menyerbu duluan. Kantuk yang tak dapat kutoleransi.

Tepat pukul 06.30 pagi,kusampai dirumah setelah memastikan tubuh ini bebas dan bersih
dari bau. Kuintip tudung nasi yang transparan dari balik kamarku lalu mendengus sejadi jadinya, ”
Ayah tak masak” dengan kesal Aku menuju kamar Ayah “ AYAH ” kuberteriak dengan suara
menggelegar. Bisa kudapati kamar Ayah sudah kosong. Ayah sudah pergi kesudut pusat kota sana.
Menyapu dan memungut daun yang jatuh. “ Dia bahkan tak menyimpankanku uang
sepeserpun,dasar Ayah tak berguna. Kau bahkan tak pantas disebut Ayah “ ujarku dalam hati.

Sejak Ayah terkena PHK dari perusahaan lumayan besar itu, hidup kami berubah bagaikan nasi
mentah,sungguh tak enak sekali untuk dimakan. Sebenarrnya hidup kami tak akan sekrisis ini ini
jika Ayah tak terlilit hutang lagi. Tapi nasib ya nasib. Aku adalah anak tunggal dan Ibuku sudah
tutup usia sejak sebelum aku belum tahu pakai celana sendiri. Jadi tinggalah kami berdua, berjuang
untuk hidup yang ku benci ini. Bahkan rumah kami tak layak disebut rumah,gudang lebih tepatnya.
Ayah bahkan melarangku mandi di wc kecil itu “ jangan buang buang air,air mahal nak. Mandi di
sumur diladang sana saja,ya” mau tak mau Aku harus ikut dengan aturan menyebalkan Ayah itu.

Disekolah, temanku bisa dihitung jari. Itupun mereka bersikap “sok” akrab jika ada maunya. Alias
nyontek. Aku tak tahu mengapa mereka membenciku. Karena keadaankkukah?. Pulang sekolah aku
tak langsung ketempat Ayah seperti biasanya,membantunya memungut daun daun kering yang
berserakan itu. Aku malah pulang dan langsung tidur.

Dipertengahan malam,Aku terjaga dari tidurku yang pulas. Sebenarnya ini adalah kali pertama aku
tertidur sepulas ini. Bagaimana tidak,akukan tak membantu Ayah. Seharusnya saat ini adalah jam
pulangku “ Rina,Rina” dapat kudengar teriakan Ayah dibalik pintu kamar redup ini. Dengan
setengah hati aku berjalan menuju pintu kamarku lalu membukakan pintu untuk Ayah. Dan dari
situ dapat kulihat wajah marah Ayah “ kenapa kamu tak datang mebantu Ayah tadi?” tanyanya
dengan marah tapi tertutupi dengan wajah lelahnya. “ Rina capek” hanya itu yang kukatakan
sebelum membanting pintu didepan wajah Ayah. Dapat kudengar suara gedoran Ayah lagi, dengan
jengkel Aku membukanya lagi” Ayah kenapa sih” Aku mendesis. Dapat kulihat Ayah menarik nafas.
Sudah kupastikan Ayah akan mengeluarkan ceramah yang membosankannya lagi. “ Rina sayang,
Ayah tahu perasaan kamu, tapi ini juga demi kamu. Seandainya daritadi kamu datang membantu
Ayah, pekerjaan Ayah akan cepat selesai dan tip Ayah akan bertambah hari ini. Dan itu bisa
membantu pembayaran spp kamu disekolah” dengan sabar Ayah mnjelaskan. “ Rina tak usah
sekolah lagi. Ayah tidak usah bayar uang spp lagi. Rina tidak mau nyapu dijalan,Rina malu dilihat
teman teman. Rina tidak mau membantu Ayah lagi”. Dengan marah kukeluarkan semuanya.
Sebelum kututup pintu kamarku lagi dan dapat kulihat sekilas air mata telah menggempul dimata
teduh yang sudah menguning itu.

Keesikan harinya, apa yang kuucapkan semalam kubutikan. Aku tak kesekolah. Tanpa
mengindahkan suara kokokan ayam yang biasa menjadi alarm bangunku,Aku malah masuk
meringkuk di sarung yang sudah kuanggap selimut itu.

Ugh, suara itu lagi. Ayah menggedor pintuku lagi. “Rina,Rina” dengan kasar kuhempaskan sarunku
lalu bangkit menghadap Ayahku, “Rina tidak sekolah lagi. Sekolah juga buat apa?ujungnya Rina juga
akan ikut Ayah jadi tukang sapu jalan” kusambar Ayah denga kata kata pedas. Lalu kembali masuk
kamar dan berbaring kembali ditempat tidur kecilku. Dapat kurasakan Ayah juga ikut masuk dan
duduk ditepi tempat tidurku. Tanpa kuduga Ayah mengelus kepalaku.

“Kamu tahu tidak,Ayah menyuruhmu sekolah supaya kelak nasib kamu tak sama dengan Ayah.
Kamu harus belajar dengan baik. Kalau kamu kerja keras pasti kamu akan bernasib jauh lebih baik
dari Ayah. Ayah minta maaf karena tidak bisa seperti Ayah yang kamu dambakan. Ayah yang tidak
bisa menjemputmu dengan mobil Ayah yang tak bisa memberimu uang lebih dari 3000. Ayah
sangat minta maaf akan hal itu. Sekarang kamu sekolah ya, jangan lakukan itu untuk Ayah lakukan
itu untuk diri kamu sendiri. Untuk masa depanmu yang lebih baik dari tukang sapu jalan”.
Meskipun kepala ini kututupi bantal,tetap Aku bisa mendengar petuah Ayah. Aku hanya diam
membisu mendengar lontaran kalimat Ayah. Saat itu Aku terpaku, bagaikan tersihir oleh kalimat
kalimat Ayah barusan, Aku bangun dan bergegas kesekolah walau kutahu Aku sudah terlambat.
Pulang sekolah,kulangsung ketempat Ayah. Jalan raya. Tempat Ayah mengumpulkan daun demi
daun. Dari kejauhan dapat kulihat Ayah memungut dedaunan lalu memasukkannya kekarung
sampah. Aku berhenti diseberang jalan,tanpa sadar kuperhatikan Ayahku. Baru kusadari wajah
Ayah sudah agak berkeriput,jejeran rambut putih sudah terlihat, badannya kurus, kulitnya hitam
dimakan matahari. Ia seperti lelaki tua yang tak terawatt, seperti gelandangan. Tiba- tiba memoriku
berputar beberapa tahun yang lalu ketika Ayah masih bersetelan baju kantor,ia menciumku dengan
kasih sayang seorang Ayah. Dadaku sesak mengingat semua itu. Kuperhatikan Ayah lagi dari
kejauhan sana bertepatan ia melihat kearahku. Ia lalu tersenyum dibalik wajah peluh dan lusuhnya.
Ia pasti senang karena Aku membatalkan niat tak sekolahku. Ia berjalan menghampiriku dengan
senyum masih melekat diwajahnya. Baru beberapa langkah tanpa menoleh kekiri dan
kekanan,dapat kulihat mobil pick up melaju kencan kearah Ayah seakan figure Ayahku transparan.
Sebelum Aku sempat bereaksi,Ayah sudah terpental dengan kasar beberapa meter jauhnya. Darah
sudah berserakan dimana mana.

Kurasakan setetes air mata jatuh dipipiku diikuti setetes lainnya hingga menjadi tangis yang tak
terkendali. Aku berlari kearah Ayah diiringi doa setidaknya Aku masih bisa mendapat anggukan
maafku dari Ayah. Tapi sebelum itu terjadi tanpa kusadari mobil dari arah lain juga ikut melaju
kencan kearahku seakan diriku transparan juga. Sebelum Aku sempat berbuat apa-apa,kurasakan
benturan dahsyat dikepalaku.

“Ayah maafkan aku”. Aku sempat membatin diiringi tetesan air mata,air mata terakhirku sebelum
semuanya menjadi hitam dan gelap.

Anda mungkin juga menyukai