Anda di halaman 1dari 2

Healing Ala Rasulullah: Menilik Kembali Peristiwa di Balik Isra Mikraj

Momentum Isra Mikraj diperingati setiap tahun oleh umat Islam, tahun ini bertepatan
dengan tanggal 18 Februari 2023 M/ 27 Rajab 1444 H. Peristiwa Isra Mikraj menjadi hal
menarik untuk diperbincangkan, pasalnya pada momen inilah umat Islam mendapat perintah
kewajiban salat lima waktu. Maka, menjadi hal yang wajar jika peristiwa ini menjadi salah satu
peristiwa besar diantara perjalanan kerasulan nabi Muhammad saw.

Isra Mikraj dipahami dengan dua peristiwa, yakni Isra yang menunjukkan perjalanan
Rasulullah saw. dari masjid al-Aqsa menuju masjid al-Haram, dan Mikraj yakni perjalanan
Rasulullah yang dinaikkan ke langit hingga Sidratul Muntaha.

Dari Peristiwa ini, menarik untuk ditilik kembali, peristiwa apa yang terjadi dibalik Isra
Mikraj. Perjalanan penting ini terjadi tepat setelah beberapa hal yang menimpa nabi Muhammad
saw. diantaranya, meninggalnya paman tercinta disusul oleh istri beliau Khadijah ra., hingga
tahun itu disebut dengan Amul Huzni yakni tahun duka cita atau tahun kesedihan bagi Rasulullah
saw.

Sebab musibah yang bertubi-tubi ini lah, Allah swt, menghadiahkan Perjalanan Isra
Mikraj sebagai healing Rasulullah saw.. Dikutip dari tempo.co, healing dalam psikologi
diartikan sebagai pemulihan emosional untuk memperkuat diri. Healing yang dilakukan
Rasulullah ini adalah menuju puncak kenikmatan spiritual yakni Rasulullah dipanggil
menghadap ke Sidratul Muntaha dan bertemu langsung di hadapan Allah swt.

Dalam hal ini, patut menjadi sebuah refleksi bagaimana cara Allah menawarkan healing
bagi Rasulullah saw. Ternyata healing terbaik yang dilakukan Rasulullah adalah kembali kepada
Tuhannya, menghadap langsung dengan kekasih-Nya. Maka, duka apa yang akan dirasakan lagi
jika kekasih-Nya sendiri yang menghibur hati. Sehingga, menjadi hal yang wajar, tatkala Rasul
ditimpa kesedihan dan keletihan yang bertindih-tindih beliau berseru, 'Wahai Bilal, Istirahatkan
kami dengan salat' (HR. Ahmad, no. 23088)

Salat menjadi momen mikraj kembali dan healingnya Rasulullah saw. Umat Islam yang
dewasa ini mengeluhkan berbagai persoalan hidup, bertumpuknya masalah hingga berbagai
problem yang akhirnya menyebabkan stress, mental disorder, anxiety, dan sebagainya bisa
menjadikan peristiwa ini sebagai ibrah. Umat Islam sangat beruntung telah mendapatkan
penawaran healing terbaik jika ingin menikmati sebagaimana yang Rasulullah saw. alami. Salat
sebagai hadiah Isra Mikraj tersebut selayaknya menjadi healing terbaik dan utama sebelum
mencari alternatif lainnya.

Maka, momen Isra Mikraj ini bukan hanya mengingatkan akan pentingnya salat sebagai
kewajiban semata, namun apa yang bisa kita dapatkan dari ibadah salat tersebut. Sudah menjadi
tabi'at manusia jika melakukan sesuatu sangat bersenang hati jika mendapat imbalan dari yang
dikerjakannya. Selain dari gembar-gembor pahala yang tak kasat mata, maka salat menawarkan
pula solusi masalah. Bukankah permasalahan yang bertumpuk itu akan memberatkan dan
menggusarkan hati? Maka, salat menjadi penawar sebagai penenang hati.

Barangkali solusi tidak kita dapati saat itu juga, namun setidaknya hati kitalah yang
dikondisikan terlebih dahulu, 'ketenangan'' menjadikan masalah yang menimpa tidak terasa
begitu berat adanya. Sebab sebenarnya, saat kita kembali menghadap-Nya dalam salat kita,
sesungguhnya masalah itu telah kita serahkan pada pemilik semesta, maka tersisalah ringan di
kita.

Namun, salat di sini perlu untuk benar-benar dihayati pula sebab yang sekedar saja bisa
jadi kita hanya akan menyalahkan salatnya yang tak mampu memberikan ketenangan pada kita.
Sebab salat utamanya untuk mengingat Allah, menghadap pada-Nya dengan memperhatikan
persiapan dari fisik terlebih ruhani. Yang utama adalah bagaimana kita mampu menghadirkan
Allah, sadar apa yang sedang kita lakukan dan pada siapa kita menghadap, hingga kita mampu
merendahkan diri dan hati di hadapan-Nya.

Seseorang yang datang dengan keadaan demikian sungguh lebih mungkin akan
menyerahkan dan memasrahkan segala keadaan dan kondisinya kepada pencipta-Nya,
menceritakan dan mencurahkan isi hatinya yang membebaninya sehingga ia mampu
mendapatkan dan merasakan ketenangan, setidaknya bebannya telah tertumpahkan dengan
mengadukannya kepada pemiliknya. Maka, bukan sesuatu yang tidak mungkin jika setelahnya
beban itu seketika diangkat oleh-Nya. Kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan yang Maha
Segalanya menjadi fondasi utama sebab Allah juga berdasarkan prasangka hamba-Nya.

Sebagai akhir, penulis merasa penting untuk menyampaikan bahwa patut kita ingat pula,
setelah proses mengecas kembali ruhaninya, Rasulullah saw. tidak serta merta larut dalam
kenikmatan tersebut, beliau memilih untuk turun kembali ke dunia untuk menuntaskan misi
kerasulannya, bermua'amalah dengan manusia. Hal ini menjadi penanda bahwa Nabi Muhammad
saw. tetap mendahulukan kepentingan umatnya, misi kemanusiaan dibanding hanya larut dalam
puncak spiritualnya sendiri. Maka, hal ini menjadi underline bagi kita, bahwa kenikmatan ibadah
personal tidak menjadikan kita mengesampingkan mu'malah dengan manusia lainnya. Hubungan
vertikal selayaknya harus diintegrasikan pula dengan hubungan horizontal. Karena tujuan untuk
mengecas ruhani adalah bagaimana setelahnya diri bisa diberdayakan di tengah manusia.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

Anda mungkin juga menyukai