Anda di halaman 1dari 2

Santri Merdeka #1

Sekitar dua tahun lalu, pernah tersimak percakapan beberapa santri yang sedang menumpahkan keluh
kesahnya sembari mandi. Salah satunya sampai nyeletuk, “Iya, terjajah terus la kita di sini!”

Mendengar itu, spontan kuping ini menjadi panas, dada bergemuruh, tangan dan kaki bergemetar.
“Mereka perlu dikasih pelajaran!” Terbersit niat dalam hati.

Namun, niat itu harus diurungkan. Kepala dingin adalah kebututan primer dari setiap permasalahan.
Kudengarkan obrolan mereka sempai selesai. Rupanya mereka jengkel karena harus senantiasa terjerat
dalam arutan yang ketat, yang dijalankan oleh sang ustaz wali asrama.

Besoknya di sela-sela jam mengajar, saya sharing-sharing-kan hal itu ke seorang ustaz bernama Ustaz
Tirta. Ustaz muda yang tengah merampungkan S-3 itu pun berkomentar, “Siapa coba yang senang sama
polisi? Nah, antum kan polisi asrama.”

Memang, salah satu tugas wali asrama adalah mengontrol dan menangkap santri yang melanggar
nizham (peraturan). Sebab, wali asrama merupakan bagian dari ri’ayah (pengasuhan) di pesantren,
sehingga berwenang memberi teguran bahkan hukuman kepada santri yang melakukan kesalahan.

Pesantren bisa dibilang bagaikan negara. Nizham ibarat undang-undangnya, sedangkan santri laksana
rakyatnya. Ada pun bidang ri’ayah -lengkap dengan seluruh jajarannya- umpama pejabat negara.

Makanya, wajar jika ada santri yang kesal pada wali asrama. Padahal wali asrama hanya menjalankan
tugas berdasarkan nizham yang sudah ditetapkan dan disosialisikan kepada seluruh santri yang ada.

Sempat Merdeka

Terjajah karena aturan manusia

Merdeka karena aturan Allah

Sempat Medeka #1

Jika membahas kata merdeka, ingatan ini langsung tertuju pada keluh kesah dunia santri. Suatu malam
sekitar dua tahun yang lalu, sengaja kutelengkan telinga guna menguping bisik-bisik santri sebelum
merebahkan diri. Salah satu di antaranya berceletuk, “Kita terjajah terus la di sini!”

Spontan kuping ini panas mendengarnya. Namun, kepala dingin adalah kebututan primer dari setiap
masalah yang ada. Kusimak sampai khatam semua percakapannya. Rupanya mereka merasa teraniyaya.
Memang kehidupan santri dibatasi oleh berbagai aturan yang ketat. Belajar, salat, makan, tidur,
olahraga, dan aktivitas lainnya harus dilakukan dengan jadwal yang mengikat. Waktu mandi pun dijatah
oleh sang ustadz.

Pastilah mereka akrab dengan kalimat semisal “Fil hammam… wahid…!” yang berarti ‘(Wahai) yang di
kamar mandi… satu…!’ Kalimat itu biasa digunakan sebagai warning bagi santri yang masih berada di
kamar mandi, padahal seharunya sudah bersegera pergi, ke masjid atau madrasah. Jika sampai hitungan
kesepuluh sang santri masih di hammam, ia akan tahu akibatnya.

Ya, di pesantren para santri harus hidup berdasarkan nizham (peraturan) yang ditetapkan. Berbicara pun
harus sesuai nizham. Tak boleh santri memakai bahasa Indonesia, apa lagi bahasa daerah. Jika
melanggar nizham, santri diberi sanksi. Wajar memang, jika santri merasa teraniaya bahkan terjajah.

Walau demikian, nizham pastinya dibuat bukan untuk menganiaya santri, melainkan untuk memberikan
ri’ayah (pengasuhan) kepada mereka. Asrama (di pesantren) bukan berfungsi sebagai hotel atau
penginapan, tetapi sebagai unsur pendidikan. Beragam pelajaran yang santri peroleh di madrasah
(sekolah), semisal kewajiban salat, haruslah benar-benar diamalkan dalam kehidupan. Karenanya,
praktik dari pelajaran di madrasah itulah yang dibimbing, diawasi, sekaligus “dipaksakan” di maskan
(asrama). Itu semua merupakan upaya untuk mempersandingkan ajaran dengan amalan, sehingga
terlahirlah kebiasan.

Nah, disebabkan ketatnya nizham itulah, santri-baru bisanya merasa galau di awal-awal masuk
pesantren. Mereka homesick sekaligus merasa kehilangan kemerdekaan hidupnya. Setelah galau
berkepanjangan, tak jarang ada santri yang angkat tangan.

To be continued…

Selain itu, terlihat pula bahwa santri-lama akan kegirangan ketika masa ruju’ (berpulangan) tiba. Di libur
semester yang satu-dua minggu saja, mereka pun akan pulang dengan semangat ’45. Mungkin karena
pada masa libur di rumah itulah mereka jadi sempat merdeka.

Lalu, ketika jadwal masuk tiba, ada santri yang mendadak mengalami sakit. Entah kanapa. Barangkali
karena takut memasuki masa-masa “imperialisme” kembali. Alhasil, kehadiran santri terkadang diwakili
sementara oleh surat keterangan dokter.

Anda mungkin juga menyukai