Anda di halaman 1dari 3

Setelah terpilihnya Alī sebagai khalifah pengganti Uṡman bin Affān yang terbunuh,

Muawiyah sebagai gubernur Syām ketika itu, meminta kepada Alī untuk menangkap dan
menghukum pembunuh Alī, jika Alī tidak melakukannya maka Muawiyah tidak akan
berbaiat kepada Alī. Adapun Alī ketika itu berpendapat bahwa yang paling penting dilakukan
sekarang adalah menstabilkan kondisi yang begitu kacau, barulah kemudian memproses para
pelaku pembunuhan Uṡmān. Terlebih lagi orang-orang yang telah bersekongkol pada
pembunuhan Uṡman bukan jumlah yang sedikit, bahkan memiliki kekuatan yang begitu
besar, jika saja mereka diproses sekrang maka yang akan terjadi adalah fitnah yang begitu
besar.
Lebih dari itu proses pencarian, siapakah pembunuh sebenarnya dari Utsman
membutuhkan waktu yang cukup lama, sebelum diputuskan hukum syariat atasnya, akan
tetapi Muawiyah tidak bisa sabar menunggu semuanya. Maka sebagai hasil dari ketidak
sepakatan ini, terjadilah perang yang di kenal dengan perang ṣiffin, dimana. Muawiyah
sebagai panglima pasukan dari Syam sementara Ali sebagai panglima pasukan dari Irāq. Pada
saat pertempuran begitu sengitnya, dan mampak kelemahan dari pihak Muawiyah, beliau
bermusyawarah dengan Amr bi Al Ash apa yang harus mereka lakukan, maka mereka
bersepakat untuk mengangkat al Quran di setiap ujung tombak mereka, sekitar 500
melakukan hal tersebut, dan meminta kepada pihak Alī untuk melakukan Tahkim, sebagai
jalan keluar akan permasalahan yang mereka hadapi ,maka Ali dan pasukannya pun sepakat
menerima usulan Muawiyah. Maka keluarlah dari jamaah Aīi kelompok yang tidak
menyetujui tahkim, yang kemudian hari menjadi cikal bakal Khawārij sebagai sebuah
jamaah.

Sejarah Qadariah
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-
Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen.
Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Qodariah
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa
Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang
mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang
bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak
sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang
diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup
mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit
dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput
yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta
keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab
tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga
menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.

Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi dalam islam yang dapat


dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, dalam sejarah Muta’zilah timbul
berkaitan dengan peristiwa washil bin atha (80-131) dan temannya, Amr Bin’Ubaid
dan Hasan Al-Basri di masjid basrah, suatu hari salah seorang dari pengikut kuliah
(kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa
besar (Murtakib Al-Kabair), mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir,
sedangkan murji’ah mengatakan mukmin. Ketika Al-Hasan sedang berpikir, tiba-tiba
washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya(Al-
ManzilahBaina Al-Manzilataini). Setelah itu berdiri dan meninggalkan Al-Hasan
karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas
peristiwa ini Al-Hasan berkat, “ I’ tazalna” (washil menjauhkan dari kita), dan dari
sinilah nama Mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
1. Aliran Mu’tazilah.
Mu’tazilah berprinsip, bahwa tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan
memaksakan kehendak kepada hamba-hambaNya dan mengharuskan hamba
hambaNya menanggung akibat dari perbuatannya. Keadilan tuhan menurut konsep
mu’tazilah merupakan titik tolak dari pemikirannya tentang kehendak mutlak tuhan.
Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya sudah tidak mutlak
lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang
diberikan tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam yang menurut al-
Qur’an tidak pernah berubah. Sandaran kaum mu’tazilah:
a. Al anbiya 21:47
b. Yasin 36:54
c. Al nisa 4:40
d. Al kahfi 18:49
e. Al ahzab :62

2. Al asy’ari
kemutlakan dan kekuasaan tuhan, al-Asy’ari menulis dalam al Ibanah bahwa
tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas tuhan tidak ada suatu zat apapun yang
bisa membuat hukum mengenai apa yang harus diperbuat tuhan dan apa yang tidak
boleh diperbuat tuhan. Al-Asy’ari mengartikan keadilan dengan menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Mereka percaya pada kemutlakan kekuasaan tuhan.
Tuhan berbuat sesuatu sematamata adalah kekuasaan dan kehendak mutlakNya,
bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Sandaran kaum Asy’ari:
a. QS. Al-Buruj 85:16
b. QS. Al-Buruj :16
c. QS. Yunus 10 : 99
d. QS. Al-Sajadah 32 :13
e. QS. Al-An’am 6: 112
f. QS. Al baqarah 2 :253

a. Aliran Maturidiyah Samarkand. Kehendak mutlak tuhan menurut aliran ini dibatasi oleh
keadilan tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik
dan Ia mampu untuk berbuat baik, serta melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada
manusia
b. Aliran Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa kekuasaan
tuhan bersiafat mutlak dan hanya dimiliki oleh tuhan. Tuhan berbuat apa yang
dikehendakinya, dan tuhan tidak berbuat apa yang tidak dikehendakinya serta
menentukan segalagalanya. Tuhan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap manusia,
dan tidak ada zat apapun yang dapat menentang atau melarang tuhan untuk berbuat
sesuatu. Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janjiNya, memberi pahala kepada orang
yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat.

Anda mungkin juga menyukai