Essay Kaidah Dan Khazanah Tafsir Al-Qur'an
Essay Kaidah Dan Khazanah Tafsir Al-Qur'an
Al-Qur`an terkenal dengan gaya bahasanya yang unik, sulit ditebak, dan berbeda
dengan kaidah syi`ir terdahulu, dan konon ini menjadi pesaing berat bagi para penyair.
Mereka bahkan sampai dibuat tidak berkutik, ketika disuruh untuk membuat karya
yang bahasanya sama dengan Al-Qur`an. Padahal mereka adalah orang arab asli
bukan ajam (non-arab), sekaligus pakar ahli bahasa di masa tersebut. Maka, tidak
heran jika dibutuhkan penafsiran Al-Qur`an sebagai jalan penghubung untuk para
pembacanya.
Ta`rif, berupa pengertian atau penegasan, dalam QS. Al-Baqoroh 2:187 tentang
arti kalimat Al-Khaith Al-Abyadh min Al-Khaith Al-Aswad yang bermakna tali hitam dari
tali putih, kemudian ditafsirkan cahaya siang/fajar dan kegelapan malam.
Tafshil, berupa rincian hukum, dalam Q.S Al-Baqoroh 2:196 tentang arti kata
Nusuk yang ditafsirkan dengan opsi berpuasa 3 hari, memberi makan 6 orang miskin
(setengah sha` per-orang), atau menyembelih seekor kambing.
Talazum, berupa hubungan keharusan, nabi pernah bersabda bahwa “Doa adalah
intisari ibadah”, lalu beliau membaca Q.S Ghafir 40:60. Hubungan dan konsekuensi
ibadah yaitu harus selalu ada doa, pun sebaliknya bahwa doa itu adalah ibadah.
Takhshish, berupa pengecualian, dalam Q.S Al-Baqoroh 2:173 dan Al-Maidah 5:3
tentang pengharaman bangkai. Kemudian beliau bersabda “dihalalkan untuk kita dua
bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang.”
Tamtsil, berupa contoh identitas, dalam Q.S Al-fatihah 1:7 tentang siapa yang
dimurkai dan siapa yang tersesat. Mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Secara keseluruhan penafsiran nabi tidak perlu diragukan lagi kebenarannya
karena merupakan perintah dari Allah dalam Q.S An-Nahl 16:64
وما أنزلنا اليك الكتاب اال لتبين لهم الذي اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يوقنون
Akan tetapi ada juga penafsiran selain nabi yaitu dengan cara akal pemahaman
manusia. Konsep ijtihad ini terbagi menjadi dua; pertama, konsep normal yang bisa
diterima di kalangan ulama disebut dengan tafsir bir-ra`yi. Kedua, konsep ekstrim yang
hampir semua ulama menentangnya disebut dengan tafsir bil-isyari atau bisa
dikatakan tafsir sufi.
Menurut Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa nabi pernah
bersabda “Barang siapa yang menafsirkan dengan nalarnya (yakni tanpa
memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya benar, maka dia
tetap dinilai salah.” Pernyataan ini sekilas melarang kita untuk menafsirkan Al-Qur`an,
namun para ulama memiliki landasan pada firman Allah Q.S Muhammad 47:24 yang
berisi tentang himbauan untuk mempelajarinya.
Pada akhirnya para ulama mulai membuat tafsirnya masing-masing dengan cara
mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengenalkan beberapa
metode unik dalam tafsirnya, walaupun setiap metode memliliki kelebihan dan
kekurangan. Seperti metode Tahlily yang mengandalkan sistem analisis, atau metode
Ijmaly yang mengandalkan pemahaman secara global/menyeluruh, atau metode
Muqorin yang mengandalkan sistem komperatif/perbandingan, atau metode maudhu`i
yang mengandalkan sismtem tematik berdasarkan pembahasan yang lebih spesifik.
Refrensi: