Anda di halaman 1dari 3

KAIDAH DAN KHAZANAH TAFSIR AL-QUR`AN

MENURUT QURAISH SHIHAB DAN ISLAH GUSMIAN

Fuad Abdussalam Dardiri (22202259)


ULUMUL QUR`AN SEMESTER II – IIQ AN-NUR YOGYAKARTA
fuadabdussalam@gmail.com

Kaidah merupakan rumusan asas-asas yang menjadi tatanan, susunan, atau


aturan yang telah disepakati. Sedangkan khazanah berarti kumpulan barang memiliki
hak milik. Adapun pengertian tafsir menurut Ahmad Ibnu Faris, berasal dari kata fasaro
yang bermakna keterbukaan dan kejelasan. Maka, dapat dikatakan dari tiga hal
tersebut bahwa kaidah dan khazanah tafsir Al-Qur`an adalah kumpulan ketetapan
yang dapat membantu Mufassir untuk mengambil penjelasan atau makna lebih lanjut
dari nash Al-Qur`an.

Al-Qur`an terkenal dengan gaya bahasanya yang unik, sulit ditebak, dan berbeda
dengan kaidah syi`ir terdahulu, dan konon ini menjadi pesaing berat bagi para penyair.
Mereka bahkan sampai dibuat tidak berkutik, ketika disuruh untuk membuat karya
yang bahasanya sama dengan Al-Qur`an. Padahal mereka adalah orang arab asli
bukan ajam (non-arab), sekaligus pakar ahli bahasa di masa tersebut. Maka, tidak
heran jika dibutuhkan penafsiran Al-Qur`an sebagai jalan penghubung untuk para
pembacanya.

Seorang Mufassir harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat yang dijadikan


patokan sebelum menjelaskan ayat Al-Qur`an. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam
bukunya Al-Itqon menyebutkan kurang lebih lima belas syarat, yaitu; menguasai ilmu
bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Isytiqaq (akar kata), Al-Ma`ani, Al-Bayan, Al-Badi`, Al-
Qiro`at, Ushuluddin, Ushul Fiqh, Asbabun Nuzul, Nasakh Mansukh, Fiqh, Hadits, dan
Al-Mauhibah. Ilmu Al-Mauhibah yaitu sesuatu yang dianugerahkan Allah kepada
seseorang sehingga berpotensi untuk menjadi seorang Mufassir, seperti halnya
penghafal Al-Qur`an. Hal ini berawal dari usaha membersihkan hati, meluruskan
akidah, atau diistilahkan ulama dengan Shihhat Al-Aqidah yang berarti orang tersebut
memiliki akidah yang lurus.
Ulama-ulama terdahulu menaggapi permasalahan tersebut dengan mengeluarkan
beberapa kaidah, metode, maupun aturan dalam memahami Al-Qur`an, seperti;
terjemah, takwil, tafsir, dan sejenisnya. Dalam ilmu tafsir, ada rangkaian atau tata cara
yang ditetapkan oleh para Mufassir, seperti tafsir bir-riwayah yang berlandaskan
penafsiran nabi atau bid-diroyah yang berdasarkan pemikiran individu yang telah
mumpuni dalam bidang tersebut. Hal ini terjadi karena nabi belum menjelaskan semua
nash dalam al-Qur`an, dan sedikit dari kalangan sahabat yang mampu memahaminya,
melainkan hanya menghafalkannya saja, seperti dalam kasus pemahaman hadits.

Penjelasan nabi terhadap Al-Qur`an bermacam-macam bentuknya, seperti;

Ta`rif, berupa pengertian atau penegasan, dalam QS. Al-Baqoroh 2:187 tentang
arti kalimat Al-Khaith Al-Abyadh min Al-Khaith Al-Aswad yang bermakna tali hitam dari
tali putih, kemudian ditafsirkan cahaya siang/fajar dan kegelapan malam.

Tafshil, berupa rincian hukum, dalam Q.S Al-Baqoroh 2:196 tentang arti kata
Nusuk yang ditafsirkan dengan opsi berpuasa 3 hari, memberi makan 6 orang miskin
(setengah sha` per-orang), atau menyembelih seekor kambing.

Tathabuq, berupa kesamaan atau kesesuaian, penyesuaian kondisi dalam kasus


shalat dhuhur saat perang Ahzab dalam Q.S Al-Baqoroh 2:238 atau tentang bulan
yang diharamkan berperang dalam Q.S At-Taubah 9:36.

Talazum, berupa hubungan keharusan, nabi pernah bersabda bahwa “Doa adalah
intisari ibadah”, lalu beliau membaca Q.S Ghafir 40:60. Hubungan dan konsekuensi
ibadah yaitu harus selalu ada doa, pun sebaliknya bahwa doa itu adalah ibadah.

Tadhommun, berupa cakupan, dalam Q.S Ibrahim 14:27 tentang kehidupan


akhirat. Nabi menjelaskan bahwa hal itu tejadi setelah seseorang dikuburkan dan
ditanyai malaikat, lalu dia menjawab dengan baik dan benar.

Takhshish, berupa pengecualian, dalam Q.S Al-Baqoroh 2:173 dan Al-Maidah 5:3
tentang pengharaman bangkai. Kemudian beliau bersabda “dihalalkan untuk kita dua
bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang.”

Tamtsil, berupa contoh identitas, dalam Q.S Al-fatihah 1:7 tentang siapa yang
dimurkai dan siapa yang tersesat. Mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani.
Secara keseluruhan penafsiran nabi tidak perlu diragukan lagi kebenarannya
karena merupakan perintah dari Allah dalam Q.S An-Nahl 16:64

‫وما أنزلنا اليك الكتاب اال لتبين لهم الذي اختلفوا فيه وهدى ورحمة لقوم يوقنون‬

Artinya: “Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur`an) ini kepadamu (Muhammad),


kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan
serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”

Akan tetapi ada juga penafsiran selain nabi yaitu dengan cara akal pemahaman
manusia. Konsep ijtihad ini terbagi menjadi dua; pertama, konsep normal yang bisa
diterima di kalangan ulama disebut dengan tafsir bir-ra`yi. Kedua, konsep ekstrim yang
hampir semua ulama menentangnya disebut dengan tafsir bil-isyari atau bisa
dikatakan tafsir sufi.

Menurut Ibnu Jarir At-Thobari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa nabi pernah
bersabda “Barang siapa yang menafsirkan dengan nalarnya (yakni tanpa
memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya benar, maka dia
tetap dinilai salah.” Pernyataan ini sekilas melarang kita untuk menafsirkan Al-Qur`an,
namun para ulama memiliki landasan pada firman Allah Q.S Muhammad 47:24 yang
berisi tentang himbauan untuk mempelajarinya.

Pada akhirnya para ulama mulai membuat tafsirnya masing-masing dengan cara
mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai mengenalkan beberapa
metode unik dalam tafsirnya, walaupun setiap metode memliliki kelebihan dan
kekurangan. Seperti metode Tahlily yang mengandalkan sistem analisis, atau metode
Ijmaly yang mengandalkan pemahaman secara global/menyeluruh, atau metode
Muqorin yang mengandalkan sistem komperatif/perbandingan, atau metode maudhu`i
yang mengandalkan sismtem tematik berdasarkan pembahasan yang lebih spesifik.

Refrensi:

- Kaidah Tafsir, M. Quraish Shihab, Lentera Hati


- Khazanah Tafsir Indonesia, Islah Gusmian, LKiS

Anda mungkin juga menyukai