Anda di halaman 1dari 13

MODUL PERKULIAHAN

Perancangan
Sistem Kerja dan
Ergonomi
Biomekanika Kerja

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

04
Teknik Teknik Industri 190541004 Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M

Abstract Kompetensi
Modul 4 ini menjelaskan tentang Mahasiswa diharapkan dapat
konsep biomekanika kerja, menerangkan sistem otot dan rangka,
bagaimana sistem otot dan rangka konsep biomekanika kerja serta
dan bagaimana pengukuran beban konsep pengukuran beban dan postur
dan postur saat bekerja kerja
Pengertian Biomekanika Kerja

Menurut Chaffin dkk (1999), biomekanika kerja (occupational biomechanics), yaitu


keilmuan yang mempelajari interaksi fisik antara pekerja dengan peralatan, mesin, dan
material sehingga tercapai performansi pekerja yang optimal dan meminimalisasi risiko
terjadinya gangguan muskuloskeletal. Pendekatan biomekanika melihat tubuh sebagai suatu
sistem yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan dan terhubung satu sama lain
melalui sendi-sendi dan jaringan otot yang ada.

1. Sistem Otot dan Rangka


Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang terdiri dari jaringan lunak dan tulang pada tubuh
manusia. Fungsi utama sistem ini adalah mendukung dan melindungi organ tubuh lain serta
menyediakan kemampuan tubuh untuk bergerak. Jaringan penghubung terdiri dari tulang,
ligamen, tendon, dan kartilago. Elemen-elemen sistem muskuloskeletal dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1 Elemen-elemen sistem muskuloskeletal


No Nama Elemen Fungsi
1 Tulang Menyangga tubuh agar tetap tegak
2 Ligamen Jaringan penghubung antar tulang
3 Tendon Jaringan penghubung tulang dengan otot
4 Kartilago Jaringan yang menyangga dan mengurangi gesekan antar tulang
5 Otot Melakukan pergerakan
6 Saraf Sistem penghubung otot, tendon, dan jaringan lain dengan otak
Pembuluh
7 Saluran yang mengedarkan nutrisi makanan ke seluruh tubuh
darah

Menurut Chaffin dan Anderson tubuh manusia terdiri dari enam link, yaitu:
1. Link lengan bawah yang dibatasi oleh joint telapak tangan dan siku.
2. Link lengan atas yang dibatasi oleh joint siku dan bahu.
3. Link punggung yang dibatasi oleh joint bahu dan pinggul.
4. Link paha yang dibatasi oleh joint pinggul dan lutut.

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


2 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
5. Link betis yang dibatasi oleh joint lutut dan mata kaki.
6. Link kaki yang dibatasi oleh joint mata kaki dan telapak kaki.

Gambar 1. Tubuh sebagai sistem enam link dan joint (Chaffin, 1991)

Seperti yang disebutkan di atas bahwa manusia dapat disamakan dengan segmen benda jamak
maka panjang setiap link dapat diukur berdasarkan persentase tertentu dari tinggi badan,
sedangkan beratnya berdasarkan persentase dari berat badan. Penentuan letak pusat massa
tiap link didasarkan pada persentase standar yang ada. Panjang setiap link tiap segmen
berotasi di sekitar sambungan dan mekanika terjadi mengikuti hukum newton.
Prinsip-prinsip ini digunakan untuk menyatakan gaya mekanik pada tubuh dan gaya otot yang
diperlukan untuk mengimbangi gaya-gaya yang terjadi. Secara umum pokok bahasan dari
biomekanika adalah untuk mempelajari interaksi fisik antara pekerja dengan mesin, material
dan peralatan dengan tujuan untuk meminimumkan keluhan pada sistem kerangka otot agar
produktivitas kerja dapat meningkat. Menghindari keluhan pada sistem kerangka otot dapat
ditanggulangi dengan perancangan sistem kerja seperti alat kerja atau postur kerja yang
ergonomis seperti yang telah disebutkan di atas atau melakukan pengendalian administratif
(pemilihan personel yang tepat, pelatihan tentang teknik-teknik penanganan material).
Misalnya pada gerakan jalan yang terpenting adalah keseimbangan. Gerakan ini akan
memperlihatkan bagaimana kedua kaki saling menyeimbangkan berat tubuh dalam

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


3 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
pergerakan berpindah. Untuk pengguna alat bantu pada kaki gerak terlihat bagaimana alat
bantu tersebut menyeimbangkan pasien dalam berjalan sehingga alat tersebut nyaman
dipakai.

2. Kelelahan Kerja
Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan
lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya
menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara
kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh
(Suma’mur,1996).
Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot
merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot, sedangkan kelelahan umum
ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni
(pekerjaan yang monoton), intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, kondisi
mental dan psikologis, status kesehatan, dan gizi. Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi
di dalam tubuh manusia dan menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang
berhenti bekerja (beraktivitas). Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk
menyegarkan tubuh. Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipaksa untuk terus
bekerja, maka kelelahan akan semakin parah dan dapat mengurangi produktivitas pekerja.

2.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Kelelahan Otot


Penyebab mendasar terjadinya kelelahan otot hingga saat ini belumlah jelas. Mekanisme
timbulnya muscle fatique merupakan suatu fenomena yang kompleks dimana melibatkan
banyak faktor. Faktor-faktor yang diperkirakan terutama berperan yaitu:
a) Habisnya energi ATP
ATP digunakan otot untuk berkontraksi. Adanya kontraksi menyebabkan seseorang
dapat bergerak. Pada keadaan kontraksi, ATP yang tersedia di dalam otot akan habis
terpakai dalam waktu kurang dari 1 detik. ATP yang dihasilkan dari glikolisis jumlahnya
terbatas, maka kerja otot hanya mampu berlangsung dalam waktu yang singkat, dan
selanjutnya terjadi kelelahan otot.
b) Penimbunan asam laktat
Penimbunan asam laktat yang dihasilkan bersamaan dengan ATP yang terbentuk, juga
akan menghambat proses glikolisis. Proses glikolisis terhambat, maka ATP yang
dihasilkan pun akan berkurang, dan secara langsung akan menyebabkan kelelahan otot.
‘20 Perancangan Sistem Kerja dan
4 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
Penimbunan asam laktat juga dapat menyebabkan nyeri otot saat beraktifitas. Secara
fisik, otot yang lelah terasa lebih kaku dan keras. Jika dipegang tidak terasa elastis dan
tidak rileks. Otot yang tidak rileks akan mengganggu alat-alat tubuh, misalnya pembuluh
darah. Bisa jadi pembuluh darah tertekan atau saraf-saraf terjepit. Akibatnya, peredaran
darah menjadi kurang lancar dan saraf menjadi kurang sensitif.

Adanya postur tubuh canggung saat bekerja, dapat mengakibatkan cepatnya terjadi kelelahan
otot. Bekerja dengan postur canggung meningkatkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk
bekerja, karena kekuatan otot menjadi berkurang, padahal otot diharuskan untuk
menghasilkan kekuatan yang sama dengan postur netral (posisi dimana otot paling kuat). Hal
tersebut menyebabkan otot bekerja lebih keras dan membutuhkan lebih banyak energi,
sehingga kelelahan otot terjadi lebih cepat. Sikap kerja yang salah (canggung) juga akan
menambah risiko cidera pada bagian muskuloskeletal (Bridger, 1995).

3. MUSCULOSKELETAL DISORDERS
Musculoskeletal Disorders atau disingkat MSDs adalah cidera atau gangguan pada jaringan
lunak (seperti otot, tendon, ligamen, sendi, dan tulang rawan) dan sistem saraf dimana cidera
atau gangguan ini dapat mempengaruhi hampir semua jaringan termasuk dan sarung tendon
(OSHA, 2000). Terdapat perbedaan istilah MSDs pada beberapa negara. MSDs di Amerika
lebih dikenal Cumulative Trauma Disorders (CTD), di Inggris dan Australia disebut
Repetitive Strain Injry (RSI), dan di Jepang dikenal dengan Occupational Cervicobrachial
Disorders (OCD).
Penyakit MSDs ini diterjemahkan sebagai kerusakan trauma kumulatif. Penyakit ini terjadi
akbat proses penumpukan cidera atau kerusakan kecil pada sistem muskuloskeletal akibat
trauma berulang yang setiap kalinya tidak dapat sembuh sempurna, sehingga membentuk
kerusakan cukup besar untuk menimbulkan rasa sakit (Humantech, 1995). Gangguan pada
sistem muskuloskeletal ini hampir tidak pernah terjadi langsung, tetapi lebih merupakan suatu
akumulasi dari benturan-benturan kecil maupun besar, terjadi terus menerus dan dalam waktu
yang relatif lama, dapat dalam hitungan hari, bulan atau tahun, tergantung dari berat
ringannya trauma, sehingga akan terbentuk cidera yang cukup besar yang diekspresikan
sebagai rasa sakit atau kesemutan, nyeri tekan, pembengkakan dan gerakan yang terhambat
atau kelemahan pada jaringan anggota tubuh yang terkena trauma.

3.1 Penyebab Musculoskeletal Disorders


‘20 Perancangan Sistem Kerja dan
5 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
Terdapat beberapa faktor penyebab Musculoskeletal Disorders:
A. Faktor risiko fisik, adalah faktor yang terkait risiko kerja termasuk lingkungan dan
faktor risiko biomekanika. Contoh dari risiko ini adalah:
- Gerakan yang berulang (repetitive motion): gerakan lengan dan tangan yang
dilakukan secara berulang-ulang terutama pada saat bekerja mempunyai risiko bahaya
yang tinggi terhadap timbulnya gangguan muskuloskeletal.
- Sikap kerja canggung: Sikap kerja yang canggung akan meningkatkan tekanan pada
otot, tendon dan saraf, sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan
muskuloskeletal.
- Pengangkatan secara manual: pekerjaan yang memerlukan penggunaan tenaga yang
besar oleh manusia seperti mengangkat, mendorong, menarik, melempar, dan
membawa.
- Getaran atau vibrasi: Respon tubuh manusia terhadap getaran sangat bergantung
pada bagian atau anggota-anggota tubuh yang terpapar. Semakin kecil bentuk anggota
tubuh maka akan semakin cepat gerakan atau getaran yang ditimbulkan dan semakin
tinggi frekuensi resonansinya.
- Paparan suhu dingin maupun panas yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehinga gerakan pekerja menjadi lamban,
sulit bergerak, dan kekuatan otot menurun.
- Peralatan yang tidak sesuai: penggunaan alat-alat yang menekan telapak tangan dan
menimbulkan iritasi pada tendon bisa menyebabkan terjadinya gangguan
muskuloskeletal.
B. Faktor psikososial: faktor risiko non mekanika terkait dengan pekerjaan. Hal tersebut
dilihat dari rasa subjektif pekerja terhadap organisasi. Misalnya kecepatan kerja,
pekerjaan yang monoton, siklus istirahat, tuntutan tugas, sosialisasi dan rekan kerja dan
manajemen.
C. Faktor individu: faktor risiko pribadi atau individu dapat berdampak pada kemungkinan
untuk terjadinya gangguan muskuloskeletal. Contohnya adalah umur dan jenis kelamin.
Pada umumnya keluhan gangguan muskuloskeletal mulai dirasakan pada umur 30 tahun
dan semakin meningkat pada umur 40 tahun ke atas. Hal ini disebabkan secara alamiah
pada usia paruh baya kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko
terjadinya keluhan pada otot meningkat. Wanita mempunyai tingkat risiko terkena CTDs
lebih tinggi, karena otot-otot wanita mempunyai ukuran yang lebih kecil dan

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


6 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
kekuatannya hanya dua pertiga (60 persen) daripada otot-otot pria terutama otot lengan,
punggung, dan kaki.

4. Recommended Weight Limit (RWL)


NIOSH (National Institute of Occupational Safety and Health) mengeluarkan suatu panduan
mengenai batas maksimum beban yang boleh diangkat oleh pekerja untuk berbagai
kondisi pengangkatan
Syarat RWL:
• Tidak mengangkat dengan satu tangan.
• Pengangkatan tidak lebih dari 8 jam.
• Posisi pengangkatan tidak berlutut atau jongkok.
• Tidak di tempat yang sempit.
• Objek yang diangkat harus stabil.
• Kondisi pengangkatan tidak sambil membawa, mendorong atau menarik.
• Tidak menggunakan kereta dorong atau sekop.
• Tidak dalam kecepatan tinggi (± 30 inchi/detik).
• Kondisi lantai tidak licin.

RUMUS RWL

RWL = LC x HM x VM x DM x AM x FM x CM

1) RWL : Batas Beban yang Direkomendasikan


2) LC : Konstanta pembebanan (load constant) = 23 kilogram
3) HM : Faktor pengali Horizontal (Horizontal Multiplier) = 25/ H
4) VM : Faktor pengali Vertikal (Vertical Multiplier) =
VM = 1- (0,003 |V - 75|) ;
untuk pekerja Indonesia VM = 1 – (0,003|V - 69|)
5) DM : Faktor pengali Perpindahan (Distance Multiplier) = 0,82 + 4,5/D
6) AM : Faktor pengali asimetrik (Asymmetric Multiplier) = 1 – 0,0032 A
7) FM : Faktor pengali frekuensi (Frequency Multiplier)
8) CM : Faktor pengali pegangan (Coupling Multiplier)

4.1 Enam faktor yang menentukan besaran RWL:

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


7 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
1. Horizontal Distance (H) = Jarak antara titik tengah kedua mata kaki bagian dalam
sampai dengan titik yang diproyeksikan dari titik pusat beban saat pengangkatan.
2. Starting Height (V) = Jarak dari lantai terhadap posisi kedua tangan saat
pengangkatan, biasanya diasumsikan tinggi tengah benda yang dibawa.
3. Vertical Distance of lifting (D) = Jarak perpindahan ketinggian secara vertikal
antara posisi awal dan akhir dari pengangkatan.
4. Frequency of Lifting or time between lifts (F)= Frekuensi rata-rata pengangkatan
per menit
5. Angle of the load in relation to the body (A)=Perubahan perputaran tubuh
6. Quality of grasp (C) = Kondisi pegangan (handle) benda yang diangkat

Gambar 2. Simulasi Rumus RWL

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


8 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
Gambar 3. Simulasi Rumus RWL (untuk factor pengali asimetrik)

Frequency Multiplier (FM)


Tabel 3. Frequency Multiplier

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


9 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
Work Duration
Frek.
! 1 jam 1 - 2 jam 2 – 8 jam
Lift min
V<75 V"75 V<75 V"75 V<75 V"75
0.2 1.00 1.00 0.95 0.95 0.85 0.85
0.5 0.97 0.97 0.92 0.92 0.81 0.81
1 0.94 0.94 0.88 0.88 0.75 0.75
2 0.91 0.91 0.84 0.84 0.65 0.65
3 0.88 0.88 0.79 0.79 0.55 0.55
4 0.84 0.84 0.72 0.72 0.45 0.45
5 0.80 0.80 0.60 0.60 0.35 0.35
6 0.75 0.75 0.50 0.50 0.27 0.27
7 0.70 0.70 0.42 0.42 0.22 0.22
8 0.60 0.60 0.35 0.35 0.18 0.18
9 0.52 0.52 0.30 0.30 0.00 0.15
10 0.45 0.45 0.26 0.26 0.00 0.13
11 0.41 0.41 0.00 0.23 0.00 0.00
12 0.37 0.37 0.00 0.21 0.00 0.00
13 0.00 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00
14 0.00 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00
15 0.00 0.28 0.00 0.00 0.00 0.00
>15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Coupling Multiplier (CM)


Kondisi coupling yang baik adalah adanya handle yang nyaman dipegang oleh tangan.
Kondisi coupling yang buruk berarti tidak terdapat handle sama sekali pada benda yang akan
diangkat (contohnya karung beras atau tepung). Kondisi coupling dinilai cukup jika berada di
antara baik dan buruk, contohnya terdapat pegangan tangan, namun tidak nyaman digunakan
atau tidak sesuai dengan antropometri tangan.
Tabel 3 Coupling Multiplier

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


10 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
Rekomendasi Hasil dilihat dari RWL
RWL = 23 Kg x HM x VM x DM x AM x FM x CM
 Jika hasil RWL ≥ berat objek yang diangkat ⇒ pekerjaan aman
 Jika hasil RWL < berat objek yang diangkat ⇒ pekerjaan tidak aman, pekerjaan
harus didesain ulang

LIFTING INDEX
Penilaian aman atau tidaknya suatu aktivitas pengangkatan didasarkan atas Lifting Index (Li)
Rumus :
LI = BOBOT BEBAN AKTUAL/ min (RWL awal, RWL akhir)

Penilaian yang diberikan:


 Jika LI < 1 atau LI = 1 ⇒ pekerjaan aman
 Jika LI > 1 atau LI =3 ⇒ pekerjaan mungkin beresiko
 Jika LI > 3 ⇒ pekerjaan beresiko

Contoh Soal
Problem Statement: Analyze the following work task. A worker lifts 15 kg boxes from the
conveyor to the cart, five times an minute for two-hours. Fair coupling

Diketahui:
H = 30cm
V1 = 35cm (Kondisi jarak awal V sebelum barang dipindahkan)
V2= 75cm (Kondisi jarak akkhir V setelah barang dipindahkan)

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


11 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
D = 40 cm
A = 0 (karena tidak ada perubahan putaran tubuh)
F = Lihat pada table (baris 5x/menit, kolom V>75cm = 0.60)
C = Lihat di table baris fair = 0.95

Penyelesaian:
RWL AWAL
RWL = 23 Kg  HM  VM  DM  AM  FM  CM
HM = 25/30 = 0,83
VM = (1-0,003 ) = 0,88

DM = 0,82 + 4,5/40 = 0,93


AM = (1-0,0032 A) = 1
FM = 0,60
CM = fair = 0,95

RWL =23 kg x 0,83 x 0,88 x 0,93 x 1 x 0,6 x 0,95 = 8,905 Kg

RWL AKHIR
RWL = 23 Kg  HM  VM  DM  AM  FM  CM
HM = 25/30 = 0,83
VM = (1-0,003 )=1

DM= 0,82 + 4,5/40 = 0,93


AM = (1-0,0032 A) = 1
FM = 0,6
CM = fair = 1
RWL =23 kg x 0,83 x 1 x 0,93 x 1 x 0,6 x 1 = 10,65 Kg

maka:
LI = BOBOT BEBAN AKTUAL/ min (RWL awal, RWL akhir)
LI = 15 / min (8,905; 10,65)
LI = 15 / 8,905

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


12 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.
= 1,68
Maka hasil Lifting Index menyatakan bahwa :
Jika LI > 1 atau LI =3 ⇒ pekerjaan mungkin beresiko

REFERENSI

Bridger, R. (1995). Introduction to Ergonomics. NW : CRC Press.

Buckup, K. (2008). Clinical Test for the Musculoskeletal System. Clinical Sciences.

Chaffin, D.W., Andersson, G.B., Martin, B.J. (1999). Occupational Biomechanics, Canada;
John Wiley & Sons.
Iridiastadi, H. dan Yassierli. 2014. Ergonomi Suatu Pengantar. Penerbit Rosda.

Sutalaksana, Iftikar. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Penerbit Institut Teknologi
Bandung

Sutalaksana, I. Z., Anggawisastra, R., Tjakraatmadja, J. H. (2006). Teknik Tata Cara Kerja,
Jurusan Teknik Industri ITB, Bandung.

Yanto dan Ngaliman, B. (2017). ERGONOMI- Dasar-dasar Studi Waktu & Gerakan untuk
Analisis & Perbaikan Sistem Kerja. Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Yassierli. Pratama, G. B., Pujiarti, D.A., Yamin, P. A. R. (2020). Ergonomi Industri. Penerbit
PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

‘20 Perancangan Sistem Kerja dan


13 Ergonomi Biro Akademik dan Pembelajaran
http://www.widyatama.ac.id
Annisa Maharani Suyono, S.T., M.M.

Anda mungkin juga menyukai