Anda di halaman 1dari 19

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM


DIURETIK

Disusun oleh :

Nama : Novia Herawati Labudu


Stambuk : 15020150043
Kelas : C2
Kelompok :5
Asisten : Lacemmang, S.Farm

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016
EFEK ANTIDIURETIC DARIOBAT SPRINOLAKTON TERHADAP
HEWAN COBA TIKUS (Rattus novergicus).
Novia Herawati Labudu.1, Lacemmang, S.Farm.2
1
Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI
2
Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI

Email : noviaherawati10@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih


(diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang
menstimulasi diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak
termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung
(digoksin, teofilin), memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi
sekresi hormon antidiuretik ADH (air, alkohol).
Tujuan Praktikum : Praktikum ini dilakukan untuk menentukan efek
antidiuretic dari obat spironolakton terhadap hewan coba tikus (Rattus
novergicus).
Metode : Praktikum ini dilakukan untuk menentukan efek antidiuretic dari obat
spironolakton terhadap hewan coba tikus (Rattus novergicus).
Hasil : Hasil praktikum menunjukan bahwa efek obat ini tidak menyebabkan
terbuangnya potasium (kalium) dari tubuh. Karena itu, obat ini juga bisa
mengatasi kadar potassium rendah.
Kesimpulan : Spironolaktonkelompok antagonis aldosterone diuretic dengan di
berikan obat ini efeknya dapat mencegah penimbunan cairan dalam tubuh dengan
meningkatkan jumlah urine yang diproduksi oleh ginjal
Kata Kunci : diuretik, sprinolaktan
PENDAHULUAN
A. Pengertian Hipertensi dan Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim.


Prevalensinya bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak
variable lain. Hipertensi yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh-
pembuluh darah di dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat
mengakibatkan peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal
jantung dan stroke (Ganiswarna, 2002).
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi (Brunner&Suddarth, 2002).
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan
rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner&Suddarth, 2002).
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut
meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan
dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
A. Klasifikasi hipertensi menurut tinggi darah
Diagnosis dan klasifikasi hipertensi tidak boleh ditegakkan
berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolic (TDD)
> 120 mmHg dan atau TD sistolik (TDS) > 210 mmHg. Pengukuran
pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya 2 kali kunjungan lagi dalam
waktu 1 sampai beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah
tersebut) (Ernst Mutschler, 2000).
Berikut klasifikasi tekanan darah (TD) (Ganiswarna, S, 2002):
Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)
Normal < 85 < 130
Normal tinggi 85 – 89 130 – 139
Hipertensi
Tingkat 1 (ringan) 90 – 99 140 – 159
Tingkat 2 (sedang) 100 – 109 160 – 179
Tingkat 3 (berat) 110 – 119 180 – 209
Tingkat 4 (Sangat berat) > 120 1 > 210
Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat
rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan
kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai
keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung
biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR,
sehingga tidak meninbulkan hipertensi (Astawan,2002).
B. Klasifikasi hipertensi menurut etiologi (Hayens, 2003):
a. Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer, yaitu hipertensi yang tidak
jelas etiologinya dimana penyebab hipertensi ini yaitu multifaktor,
terdiri dari genetic dan lingkungan.
b. Hipertensi Sekunder, yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit
ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat
dan lain-lain.
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi
apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat
gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam
yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun
penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan
garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan
peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume
sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan
dengan peningkatan tekanan sistolik (Amir, 2002).
Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi
pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada
peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara
lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar,
untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit
(Hayens, 2003).
Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya
berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan
afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami
hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan
oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa
darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada
hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang
normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan
volume sekuncup (Hayens, 2003).
 RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosteron-System)
Ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah
volume darah .B aroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan
tekanan darah dengan cara mengeluarkan enzim renin .Peptidase ini
akan mengubah angitensin menjadi angiotensin I yang selanjutnya
dikonversi menjadi angiotensin II oleh pengorvensi angiotensin
(ACE) .Angiotensin II adalah vasokontriktor yang sangat paten dalam
sirkulasi. Menyebabkan peningkatan tekanan darah ,lebih lanjut
angiotensin II ini memacu sekresi aldosteron ,sehingga reabsorbsi Na
ginjal dan volume darah meningkat,yang seterusnya akan meningkatkan
tekanan darah.
c. Penggolongan obat dan mekanisme
 Diuretik (Mycek, 2006)
Mekenisme kerjanya yaitu penurunan Na+ di otot polos
menyebabkan penurunan sekunder pada Ca2+ intraseluler sehingga otot
menjadi kurang responsif. Mekanisme kerja dari diuretik ini sama
dengan golongan obat-obat diuretik.

Contoh :
- Bumetamid
- Hidroklortiazid
- spironolakton
- Furosemid
- Triamteren
 Penyekat β Andrenoreseptor (Mycek, 2006)
Mekanisme kerjanya yaitu penyekat β yaitu menurunkan tekanan
darah terutama mengurangi isi sekuncup jantung. Obat ini juga
menurunkan aliran simpatik dan SSP dan menghambat pelepasan
rennin dari ginjal, karena itu mengurangi pembentukan angiotensin II
dan sekresi aldosteron.
Contoh :
- Atenolol
- Labetalol
- Metaprolol
- Nadolol
- Propanolol
- Timolol
 Inhibitor ACE (Mycek, 2006)
Mekanisme kerjanya yaitu ACE inhibitor menurunkan tekanan darah
dengan mengurangi resistensi vaskuler perifer tanpa meningkatkan
curah jantung, kecepatan, ataupun kontraktilitas. Obat-obat ini
menghambat enzim pengkonversi angiotensin yang mengubah
angiotensin I membentuk vasokontriksi poten angiotensin II
Contoh :
- Benazepril
- Kaptopril
- Enalapril
 Penyekat kanal kalsium
Mekanisme kerja obat golongan penyekat kanal kalsium yaitu
menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat gerrakan
pemasukan kalsium dengan terikat pada kanal kalsium di jantung dan
otot polos koroner dan vaskular perifer. Ini menyebabkan otot polos
vaskular beristirahat dan mendilatasi terutama arteriol (Mycek,2001).
 Penyekat alfa adrenergic
Mekanisme kerja obat golongan α-adrenergik yaitu
menurunkan tekanan darah dengan cara menyebabkan relaksasi pada
otot polos arteri dan vena (Mycek, 2001).
A. Pengertian diuretik
Diuretik adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin
yang lebih banyak. Jika pada peningkatan ekskresi air, terjadi juga
peningkatan ekskresi garam- garam. Dan walaupun kerjanya pada ginjal
“obat ginjal”, artinya senywa ini tidak dapat memperbaiki atau
menyembuhkan penyakit ginjal (Mutschler, 2000).
Diuretik dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Dimana
istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan
jumlah pengeluaran ( kehilangan ) zat- zat terlarut dan air. Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel
kembali menjadi normal (Sunaryo, 2000).
Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya
untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan
akibat penggunaan suatu diuretik. Secara umum diuretik dibagi menjadi
dua golongan besar, yaitu (sunaryo, 2000) :

1. Diuretik osmotic
2. Penghambat mekanisme transport elektrolit
Dan secara khusus, obat diuretik yang dapat menghambat
transport elektrolit di tubuli ginjal terdiri atas (Sunaryo, 2000) :
1. Penghambat karbonik anhidrase
2. Benzotiadiazid
3. Diuretik hemat kalium
4. Diuretik kuat
Sebagian besar diuretika bekerja pada segmen anatomis tunggal
dari nefron ginjal. Karena segmen ini punya fungsi- fungsi transport yang
khusus. Kerja dari setiap diuretik paling dapat dimengerti dengan baik
dalam hubungan antara titik tangkap kerjanya pada nefron dan fisiologi
normal dari segmen tersebut (Katzung, 2001).
Mekanisme Transpor Tubulus ginjal (Mycek, 2000):
1. Tubulus Proksimal
Dalam tubulus proksimal yang berada dalam korteks ginjal,
hampir semua glukosa, bikarbonat, asam amino dan metabolit lain
direabsorbsi. Sekitar dua pertiga jumalah Na + juga direabsorbsi di
tubulus proksimal, klorida dan air mengikuti dengan pasif untuk
mempertahankan keseimbangan elektrik dan osmolaritas. Bila tidak
untuk reabsorbsi ekstensif air dan zat- zat yang terlarut di dalamnya
pada tubulus proksimal, maka mamalia akan segera mengalami
dehidrasi dan kehilangan osmolaritas normalnya.
2. Ansa Henle Pars Desendens.
Sisa filtrate yang isotonis, memasuki ansa Henle pars
desendens dan terus ke dalam medulla ginjal. Osmolaritas meningkat
sepanjang bagian desendens dari ansa henle karena mekanisme arus
balik. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi garam tiga kali
lipat dalam cairan tubulus.
3. Ansa Henle Pars asendens.
Sel- sel epitel tubulus asendens unik Karena impermeable
untuk air. Reabsorbsi aktif ion- ion Na+, K+, dan CI- dibantu oleh suatu
kotransporter Na+/K+/CI-/, Mg++ dan Ca++. Jadi, pars asendens
merupakan bagian pengencer dari nefron.
4. Tubulus Distal
Sel- sel tubulus distal juga impermeable untuk air. Sekitar 10
% dari natrium klorida yang disaring direabsorbsi melalui suatu
transporter Na+/CI-, yang sensitive terhadap diuretik tiazid. Selain itu,
ekskresi Ca++ diatur oleh hormone paratiroid pada bagian tubulus ini.
5. Tubulus dan duktus renalis rektus.
Sel- sel utama dan sel- sel interkalasi dari tubulus renalis
rektus bertanggung jawab untuk pertukaran Na +, K+ dan untuk sekresi
H+ dan reabsorbsi K+.Stimulasi reseptor aldosteron pada sel- sel utama
menyebabkan reabsorbsi Na+ dan sekresi K+.
Pada umumnya diuretika dibagi dalam beberapa kelompok, yakni (Tjay ;
2002):
a. Diuretik lengkungan : Furosemid, bumetanida dan etakrinat.
Obat- obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat. Banyak
digunakan pada keadaan akut, misalnya pada edema otak dan paru-
paru.
b. Diuretik Tiazid : HCT, klortalidon, mefrusida, indapamida.
Efeknya lebih lemah dan lambat, juga lebih lama dan terutama
digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung.
c. Diuretik penghemat kalium : Antagonis aldosteron, spironolakton,
amilorida dan triamteren.
Efek obat- obat ini hanya lemah dan khusus digunakan terkombinasi
dengan diuretik lainnya guna menghemat ekskresi kalium.
d. Diuretik osmotik : Mannitol dan sorbitol
Obat- obat ini hanya direabsorbsi sedikit oleh tubuli sehingga
reabsorbsi air juga terbatas. Efeknya adalah diuresis osmotis dengan
ekskresi air tinggi dan relatif sedikit ekskresi Na+.
e. Penghambat anhidrasi karbonat : asetazolamid
Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli proksimal sehingga
disamping karbonat, juga Na dan K diekskresi lebih banyak,
bersamaan dengan air.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan yang digunakan
Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu kanula, lap halus, lap kasar,
spoit 3 mL dan stopwatch.
Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu air dan spironolakton.
Prosedur Kerja
Pemilihan dan Penyiapan Hewan Uji
Praktikum ini digunakan seekor tikus sebagai hewan coba. Hewan coba
yang dipilih yaitu tikus yang bersih, sehat dan bulu yang berwarna putih. Range
berat badan yaitu 100-200 gram.
Perlakuan terhadap hewan coba
Hewan coba dipuasakan selama 1 hari dan selanjutnya ditimbang berat
badannya dan dihitung volume pemberian tikus yang digunakan.
Probandus diberikan secara oral terlebih dahulu air sebanyak 3 ml. setelah
itu diinduksikan obat spironolakton sebanyak 2 ml secara oral. Kemudian hitung
volume urin pada menit ke 30, 60 dan 90.
HASIL PENELITIAN
Tabel Pengamatan
Dibawah ini merupakan hasil pengamatan terhadap efek
farmakodinamik setelah pemberian obat spironolakton secara oral sebagai anti
diuretik
Volume urin
Obat BB VP
30 60 90
Spironolakton 240 gr 5 ml 0 ml 0,3 ml 1,2 ml

PEMBAHASAN
Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis
dengan mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi
ini, misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin, teofilin),
memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon
antidiuretik ADH (air, alkohol).
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan
mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana
semuanya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan
volume total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah
ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di
plasma darah.
Pengeluaran urin atau diuresis dapat diartikan sebagai penambahan produksi
volume urin yang dikeluarkan dan pengeluaran jumlah zat zat terlarut dalam
air.Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine
disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang
menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam jumlah
lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang
mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic.
Perubahan osmotik dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena Natrium
lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus ginjal.
Dan produksi urine menjadi lebih banyak. Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion
didalam urine dan darah.
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum diuretik dapat dibagi menjadi
dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekerja dengan cara menarik
air ke urin, tanpa mengganggu sekresi atau absorbsi ion dalam ginjal dan
penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli ginjal, seperti diuretik
tiazid (menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada ansa Henle pars
ascendens), Loop diuretik (lebih poten daripada tiazid dan dapat menyebabkan
hipokalemia), diuretik hemat kalium (meningkatkan ekskresi natrium sambil
menahan kalium).
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke
dalam glomeruli (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex).
Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif
dapat dilintasi air, garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi dan
mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang mengelilingi
setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian disalurkan ke
pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan komponen
yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam antara lain ion
Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang mengelilingi
tubuli.sisanya yang tak berguna seperti ”sampah” perombakan metabolisme-
protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali. Akhirnya filtrat dari
semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul (ductus coligens), di mana
terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat akhir disalurkan ke kandung
kemih dan ditimbun sebagai urin.
Diuretik adalah suatu obat yang dapat meningkatkan jumlah urine (diuresis)
dengan jalan menghambat reabsorpsi air dan natrium serta mineral lain pada
tubulus ginjal. Dengan demikian bermanfaat untuk menghilangkan udema dan
mengurangi free load. Kegunaan diuretik terbanyak adalah untuk antihipertensi
dan gagal jantung. Pada gagal jantung, diuretik akan mengurangi atau bahkan
menghilangkan cairan yang terakumulasi di jaringan dan paru paru . di samping
ituh berkurang nya volume darah akan mengurangi kerja jantung.
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik.
1) Pertama, tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada
daerah yang reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek yang
lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada
daerah yang reabsorbsi natrium banyak.
2) Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis
hati, gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon
yang berbeda terhadap diuretik.
3) Interaksi antara obat dengan reseptor .Kebanyakan bekerja dengan
mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga pengeluarannya lewat
kemih dan juga air diperbanyak.
Mekanisme kerja diuretika
Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium,
sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air-diperbanyak.
Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini
direabsorpsi secera aktif untuk 70%, antara lain ion Na + dan air, begitu
pula glukosa dan ureum. Karena reabsopsi belangsung secara
proporsional, maka susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis
terhap plama. Diuretik osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan
merintangi rabsorpsi air dan natrium.
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl - yang telah difiltrasi
direabsorpsi secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na + dan
K+, tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika
lengkungan bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl -
begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+diperbanyak.
3. Tubuli distal.
Dibagian pertamanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga
filtrat menjadi lebi cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan
klortalidon bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksresi Na +
dan Cl- sebesar 5-10%. Pada bagian keduanya, ion Na + ditukarkan
dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak
ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium
bekerja di sini dengan mengekskresi Na+ dan retensi K+ .
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan
mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.

Pada pengujian diuretik ini dilakukan dengan melihat volume urin dari
hewan coba tikus (Rattus novergicus) setelah pemberian obat spironolakton secara
oral dengan pengamatan pada menit ke 30, 60 dan 90
Pada saat percobaan pertama-tama tikus diberi perlakuan dengan cara
dielus-elus bagian kepala sampai bagian belakang tubuhnya. Hal ni bertujuan agar
tikus tidak stress sehingga tikus tenang dan mudah dipegang. Secara ilmiah tikus
cenderung menggigit bila mendapat sedikit perlakuan kasar. Tikus diambil dengan
memegang ekornya. Kulit belakang kepala tikus dicubit dengan menggunakan
tangan kanan dan dijepit ekornya diantara jari kelingking dan jari manis.
Selanjutnya menct diberi perlakuan yakni dengan pemberian obat spironolakton
secara oral. Sebelum diinduksi dengan spironolakton diberikan minum terlebih
dahulu sebanyak 3 ml.
Pada saat percobaan pertama-tama tikus diberi perlakuan dengan cara
dielus-elus bagian kepala sampai bagian belakang tubuhnya. Hal ni bertujuan agar
tikus tidak stress sehingga tikus tenang dan mudah dipegang. Secara ilmiah tikus
cenderung menggigit bila mendapat sedikit perlakuan kasar. Tikus diambil dengan
memegang ekornya. Kulit belakang kepala tikus dicubit dengan menggunakan
tangan kanan dan dijepit ekornya diantara jari kelingking dan jari manis.
Selanjutnya menct diberi perlakuan yakni dengan pemberian obat spironolakton
secara oral. Sebelum diinduksi dengan spironolakton diberikan minum terlebih
dahulu sebanyak 3 ml.
Pemberian spironolakton terhadap tikus menyebabkan terjadinya diuresis
pada menit ke-60 dan 90 dengan volume urin pada menit ke 60 sebanyak 0,3 ml
dan pada menit ke 90 sebanyak 1,2 ml . Efek diuresis yang ditimbulkan berkaitan
dengan mekanisme kerja spironolakton, yaitu merupakan penghambatan
kompetitif terhadap aldosteron. Obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron
baik endogen maupun eksogen. Pemberian obat ini menyebabkan reabsorpsi Na +
di hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi.
pengamatan yang dilakukan di perolah bahwa pemberian obat
spironolakton sesuai dengan literatur karena spironolakton adalah kompetitif
antagonis aldosterone meski menghambat aldosteron-stimulasi Na+
reabsorbsi dan ekskresi K+ dan H+ di distal tubulus dan duktus collecting.
Spironolaktone juga mengurangi aldosteron-stimulasi ammonia genesis melalaui
nefron.
Spironolakton merupakan steroid sintesis yang mengantagonis aldosterone
pada lokasi reseptor sitoplasmik intraselular. Kompleks reseptor-spironolakton
tidak aktif. Obat ini mencegah translokasi kompleks reseptor menjadi nukleus
pada sel target. Dengan demikian, kompleks ini tidak bisa berikatan dengan DNA.
Hal ini mengakibatkan kegagalan produksi protein yang normalnya disintesis
sebagai respons terhadap aldosteron. Protein mediator ini secara normal
merangsang situs pertukaran natrium atau kalium yang ada pada tubulus koligens.
Oleh sebab itu, kekurangan protein mediator mencegah reabsorbsi Na + sehingga
terjadi sekresi K+ dan H+ (Harvey dan Champe, 2009).
Pada sebagian besar status edamatosa, kadar aldosterone dalam darah
menjadi tinggi, yang bermakna dalam menahan Na +, ketika spironolakton
diberikan kepada pasien yang mengalami peningkatan kadar aldosteron, obat
tersebut mengantagonis aktivitas hormon tersebut, mengakibatkan retensi K + dan
ekskresi Na+. Pada pasien yang tidak memiliki kadar aldosterone yang bersirkulasi
yang bermakna, seperti penyakit addison (insufisiensi adrenal primer), tidak ada
efek diuretik obat yang terjadi. Serupa dengan tiazid dan loop diuretik, efek
spironolakton bergantung kepada sintesis prostaglandin ginjal. Eplerenone
merupakan antagonis reseptor aldosteron baru dengan kerja yang sebanding
dengan spironolakton, eplerone memiliki efek endokrin yang lebih kecil
dibandingkan spironolakton (Harvey dan Champe, 2009).
Meskipun spironolaton memiliki manfaat yang rendah dalam memobilisasi
Na+ dari tubuh dibandingkan obat-obat lain, obat ini memiliki sifat yang berguna
karena menyebabkan retensi K+. Karena kerja tersebut, spironolakton sering
diberikan bersama dengan tiazid atau loop diuretik untuk mencegah ekskresi K +,
yang sebaliknya akan terjadi akibat obat ini. Obat ini merupakan diuretik terpilih
pada pasien dengan sirosis hepatik (Harvey dan Champe, 2009).
Spironolakton merupakan satu-satunya diuretik hemat-kalium yang
digunakan secara rutin untuk menginduksi keseimbangan garam negatif bersih.
Obat ini terutama efektif dalam situasi klinis akibat hiperaldosteronisme sekunder.
Spironolakton mencegah remodelling yang terjadi sebagai kompensasi gagal
jantung yang progresif (Harvey dan Champe, 2009).
Spironolakton diabsorbsi secara lengkap per oral dan berikatan kuat dengan
protein. Obat ini dikonversi secara cepat menjadi metabolit aktif. Kerja
spironolakton sebagian besar disebabkan efek canrenone, yang memiliki aktivitas
pengambatan-mineralokortikoid. Spironolakton menginduksi sitokrom P450
Hepatik (Harvey dan Champe, 2009).
Spironolaktone sering menyebabkan gangguan lambung dan dapat
menyebabkan ulkus peptikum. Karena secara kimiawi, obat ini menyerupai
beberapa steroid seks, spironolactone dapat bekerja pada reseptor di organ lain
untuk menginduksi ginekomastia pada laki-laki dan ketidakteraturan menstruasi
pada perempuan. Oleh sebab itu, obat ini tidak boleh diberikan dalam dosis tinggi
untuk penggunaan kronis. Obat ini paling efektif digunakan pada status
edematosa, diberikan selama beberapa hari setiap kalinya. Dalam dosis rendah,
spironolakton dapat digunakan secara kronis dengan beberapa efek samping.
Hiperkalemia, mual, letargi, dan kebingungan mental dapat terjadi.
Efek samping yang ditimbulkan dari obat golongan diuretik adalah
meningkatnya jumlah air seni sehingga akan menyebabkan sering buar air kecil,
menyebabkan kekurangan kalium sehingga harus digunakan bersama diuretik
hemat kalium.
KESIMPULAN
Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
1. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
2. Spironolakton merupakan obat antidiuretic termasuk dalam golongan
diuretic distal.
SARAN
Sebaiknya asisten pendamping dalam laboratorium ditambah agar
membantu dalam proses pembelajaran dan asisten pendamping selalu berada di
kelompok masing-masing untuk melakukan diskusi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. “Keperawatan Medikal Bedah”. EGC : Jakarta.

Gunawan, Lany. 2001. “Hipertensi Tekanan Darah Tinggi”. KANISIUS :


Yogyakarta.

Jasin. 1991. “Klasifikasi Hewan Coba Dalam Buku Zoologi Vertebrata”.


Sriwijaya : Surabaya.

Katzung, G, B. 2002. “Buku Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika :


Jakarta.

Malole, M.B, M dan Pramono. C.S.U. 1989). “Penggunaan Hewan-Hewan


Percobaan di Laboratorium”. Pusat antar Universitas Bioteknologi, IPB :
Bogor.

Mutschler, E. 2000. “Dalam Buku Dinamika Obat”. Penerbit ITB : Bandung.

Mycek. J Mary. 2001. “Farmakologi Ulasan Bergambar”. Widya Medika :


Jakarta.

Sulistia, G. 1995. “Farmakologi dan Terapi”. Bagian Farmakologi Fakultas


Kedokteran : Jakarta.

Sunaryo, 2000. Istilah Diuresis. “Dalam Buku Farmakologi dan Terapi”. UI-
Press : Jakarta.

Tan Hoan Tjay. 2000. “Obat-Obat Penting”. PT Elex Media Komputindo :


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai