Void Reklamasi
Void Reklamasi
Oleb
Dibiayai oleh
PD; Baramarta Kabupaten Banjar
FttULTAS PE重塑KANAN
IJNIVESITAS LA■ ttBUNG
ⅣLttNGKUttT
2010
LAPORAN FENELΠ「IAN
財瓢彎
躍鍮R │:`i■ ■
\Q-- rr-tnb 鯵絶
ト
Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi
Femanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi
TambanglEks Penambangan Batubara
PD. Baramarta KabuPaten Baniar
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
Oleh
Dibiayai oleh
儡
PD. Baramarta Kabupaten Banjar
2 (dua) orang
. ・
ヽ
lvlengetahui
Peneliti,
Bandung, M.S.
223 1980031002
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................ 4
1.3. Sasaran .................................................................................................................... 4
1.4. Indikator Kinerja ........................................................................................................ 5
1.4.1. Manfaat .......................................................................................................... 5
1.4.2. Keluaran ......................................................................................................... 6
1.4.3. Dampak .......................................................................................................... 6
BAB II LINGKUP KAJIAN KEGIATAN ........................................................................................ 7
2.1. Lingkup Kajian Studi ................................................................................................. 7
2.2. Cakupan Materi Dan Metode ..................................................................................... 7
BAB III HASIL KEGIATAN ....................................................................................................... 19
3.1. Hasil Pengamatan Lapangan.................................................................................. 19
3.1.1. Kualitas Air........................................................................................................... 19
3.1.2. Kualitas Lahan.............................................................................................. 31
3.1.3. Neraca Air .................................................................................................... 34
3.1.4. Interaksi Antar Parameter Terhadap Lingkungan Void ................................. 34
3.1.5. Pengamatan Terhadap Kehidupan Biota Akuatik ................................ 38
3.2. Hasil Perlakuan Lapangan ...................................................................................... 42
3.2.1. Introduksi Ikan ..................................................................................................... 42
3.2.2. Introduksi Tanaman Air ................................................................................ 43
3.2. Substansi/Resume Hasil Pengamatan.................................................................... 42
BAB IV KAJIAN ALTERNATIF .................................................................................................. 47
4.1. Pengelolaan ........................................................................................................... 48
4.1.1. Pertimbangan-Pertimbangan Faktual Bagi Pengelolaan Void ............................. 48
4.1.2. Rehabilitasi Kualitas Air Void........................................................................ 50
4.1.3. Rehabilitasi Kualitas Lahan Sekitar Void ...................................................... 55
4.2. Pemanfaatan .......................................................................................................... 57
4.2.1. Pemanfaatan Void bagi Kehidupan/Budidaya Ikan ...................................... 58
4.2.2. Pemanfaatan Void Bagi Sumberdaya Air ..................................................... 59
4.2.3. Pemanfaatan Void Bagi Pengendali Bencana .............................................. 60
4.2.4.. Pemanfaatan Void BagiKegiatan Wisata/Ekowisata ................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 65
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 67
DAFTAR TABEL
pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan sektor penyumbang devisa
negara yang signifikan. Batubara merupakan energi alternatif yang sangat dibutuhkan
pada masa sekarang dan akan datang. Selaras kebutuhan energi bagi pembangunan,
Namun demikian kegiatan pertambangan yang tidak dilaksanakan secara tepat dapat
menimbulkan dampak negatif, antara lain berpotensi menyebabkan degradasi lahan dan
tertentu, untuk kemudian di kemudian hari diharapkan dapat dikembalikan lagi ke tempat
asalnya. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit setelah tanahnya dibongkar berubah
menjadi lembah, atau lahan yang sebelumnya lembah lalu ditimbun menjadi bukit. Hal ini
menyebabkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah mudah longsor. Cara ini
berpotensi menimbulkan kerusakan lahan, antara lain terjadinya perubahan sifat tanah,
munculnya lapisan bahan induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan masam
dan garam-garam yang dapat meracuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta
terjadinya erosi dan sedimentasi maupun dampak turunan terhadap ekosistem perairan
sekitar. Pada tanah timbunan yang dibiarkan terbuka sering terjadi erosi yang hebat
karena air yang jatuh akan cepat mengalir di permukaan tanah. Erosi selanjutnya
sisi lain, limbah cair pertambangan batu bara selain berpotensi bersifat asam, juga
merkuri, kromium, boron, selenium dan nikel. Dari aspek teknologi, hal ini mungkin dapat
dikelola untuk meminimalkan dampaknya. Namun, penambangan batu bara secara
terbuka juga akan memunculkan lubang-lubang galian yang relatif dalam dan luas.
Salah satu hasil sekaligus potensi masalah dari akhir penambangan adalah risiko
terbentuknya sisa lubang galian yang tidak dapat tereklamasi seperti kondisi rona awal
akibat defisit overburden. Secara logis, hal ini sebenarnya memang sangat berpeluang
terjadi berdasarkan stripping ratio yang diaplikasikan, karena sebagian batuan (dalam hal
ini adalah endapan batubara) telah diambil. Upaya pengambilan batuan atau tanah urug
Sisa lubang bekas galian tambang tersebut pada akhirnya akan menjadi kawasan
tampungan air larian maupun air hujan karena biasanya posisi kondisi topografi menjadi
cenderung lebih rendah dan struktur tanah memadat dan atau sulit diresapi air. Dalam
perkembangannya, lahan ini akan tergenang air dan makin berkembang mengalami
perubahan menjadi perairan baru di kawasan tersebut. Dengan demikian, cepat ataupun
lambat, akan terjadi tahapan perubahan lahan dari terestrial bekas tambang menjadi
perairan semacam danau buatan dan akhirnya seiring waktu akan mengalami suksesi
Mencermati fakta yang terjadi, diperlukan kajian yang mendalam terhadap lahan
eks tambang yang berubah menjadi sumber daya perairan, khususnya kajian ekologis
menyangkut kehadiran dan dampaknya terhadap ekosistem sekitarnya. Dalam hal ini,
suksesi void yang akan berkembang menjadi ekosistem perairan tergenang masih
belum pernah ada sebelumnya di kawasan tersebut, bagaimana kondisi dan atau proses
kehidupan di dalam dan di sekitarnya. Pada sisi lain, keberadaan void diperkirakan juga
2
Substansi penting dari urgensi kajian ini adalah bukan merupakan dalih perusahaan
kebijakan reklamasi tambang, namun yang sangat penting adalah diperlukannya tindakan
logis dan rasional atas risiko aktivitas penambangan sebagaimana juga telah dikaji dalam
AMDAL yang telah disetujui sebelumnya. Salah satu risiko tersebut adalah adanya risiko
tindakan reklamasi telah optimal dilakukan. Akibatnya, akan terbentuk sisa lubang galian
yang jika tetap diupayakan untuk ditutup/direklamasi akan menimbulkan dampak penting
lain dari sumber-sumber pengambilan material urug dari kawasan lain, yang memang
Mencermati bahwa solusi alternatif atas kendala penting tersebut adalah tindakan
identifikasi dan inventarisasi yang perlu dilakukan, bagaimana mengelola eks lubang
tambang tersebut (void) yang jika nantinya akan menjadi sumberdaya perairan,
diharapkan memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tidak merugikan baik bagi
masyarakat sekitar maupun bagi ekosistem kawasan secara komprehensif, dengan tetap
Harapan lain dari kajian void ini adalah kontribusi perusahaan bagi masyarakat
sekitar kawasan untuk mendapatkan sumber daya air yang memiliki nilai ekonomis,
sekaligus nilai ekologis bagi keberlangsungan siklus hidrologis dalam kaitan dengan
Berdasarkan pertimbangan dan harapan itulah, maka sangat diperlukan kajian yang
mendalam terhadap void, terlebih pada kawasan yang telah mengalami suksesi, guna
mendapatkan kepastian layak atau tidaknya secara ilmiah pemanfaatan sumber daya
perairan buatan yang terbentuk tersebut, dan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan.
3
Pengelolaan dan pengembangan sumber daya perairan memerlukan konsepsi,
potensi dan karakteristik yang beragam. Perencanaan yang didasarkan pada pemahaman
atas potensi, peluang, risiko dan kendala yang seksama merupakan hal penting untuk
mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya perairan yang aman maupun optimal nilai
gunanya, yang mungkin akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan mendatang.
1.2. Tujuan
1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi jenis, karakteristik dan sifat perairan yang
2. Peluang dan risiko void saat menjadi sumber daya perairan potensial dan aktual untuk
daya perairan.
5. Melakukan kajian peluang usaha pemanfaatan sumberdaya air, yang dapat dikelola
menjadi sumber pendapatan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien berpeluang
untuk dikembangkan lebih lanjut secara bijak dan lestari sebagai sumber unggulan,
based fisheries).
1.3. Sasaran
Informasi tersebut diperlukan dan akan menjadi fakta aktual dalam menyusun
program pasca tambang, menyangkut keberadaan dan langkah pengelolaan perairan void
4
dan atau sumber daya perairan yang berkelanjutan, yang berlandaskan kewaspadaan
keamanan dan risiko kesehatan yang tinggi, serta norma ekologis dan konservasi untuk
fisheries.
1.4.1. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah diketahuinya secara jelas, valid dan
realistis peluang dan risiko pemanfaatan void eks tambang (risiko dampak faktual
penambangan) sebagai sumber daya perairan dan sumberdaya perikanan, baik yang
aktual maupun potensial untuk dipertahankan dan dikembangkan sekaligus sebagai pilot
1.4.2. Keluaran
1. Pengelolaan void sebagai bahan pertimbangan kebijakan pasca tambang yang logis
dan realistis menjadi alternatif sumberdaya perairan dan perikanan, dengan upaya
strategis yang ekonomis bagi masyarakat di satu sisi, dan memberikan manfat ekologis
5
1.4.3. Dampak
penambangan.
6
Bab 2 LINGKUP KAJIAN KEGIATAN
1. Kondisi kualitas air void (salah satu void eks penambangan batubara PD. Baramarta,
sebagai hasil reklamasi pasca tambang lebih dari 5 tahun yang lalu) yang terletak
pada koordinat:
I:
304064,27 mT
9645029,41 mS
II:
304073,66 mT
9644971,14 mS
III:
304770,55 mT
9645039,20 mS
IV:
304699,52 mT
9645096,29 mS
Cakupan materi dan metode kegiatan ditetapkan berdasarkan informasi awal sebagai
berikut.
1. Kawasan void masih dipengaruhi oleh dampak aktivitas dari luar, termasuk limpasan
air yang diperkirakan dari run-off kawasan reklamasi sekitar yang masih belum optimal
direhabilitasi, yang secara visual memiliki kekeruhan relatif tinggi (khususnya saat
Hal ini ditunjang oleh posisi kawasan yang diperkirakan merupakan area dengan
Kondisi kualitas air permukaan perairan diperkirakan terdapat dua kondisi berupa
perairan dengan kondisi keasaman yang tinggi, dan di sisi lain terdapat kemungkinan
kondisi perairan dengan kondisi alkalis. Hal ini biasa ditandai dengan tingkat
kesadahan yang tinggi (kondisi air tidak berbusa dengan proses penyabunan),
Di sisi lain, kapasitas void mungkin saja tidak mampu menampung lagi limpasan air di
sekitarnya, terutama di musim hujan sehingga terjadi overflow ke luar kawasan, dan
Dalam hal ini topografi/kontur kawasan serta posisi kawasan terhadap aktivitas
efek yang berbeda atas pengaruh dari luar, yang tentunya akan berpengaruh pula
2
2. Perairan void memiliki kedalaman yang relatif dalam jika ditelusuri dari riwayat
pembatasan penetrasi cahaya dan beda suhu, serta konsekuensi ekologis ekosistem
overturn antar massa air dan material yang akan terbawa pada pelapisan air yang
terjadi.
3. Selain itu secara horizontal diperkirakan kondisi kualitas airnya juga akan berbeda,
dipandang perlu untuk diamati sebaran kondisi kualitas air secara horizontal.
4. Keanekaragaman flora dan fauna bisa saja cukup beragam, namun masih
yang memerlukan curahan waktu, tenaga, biaya serta kualifikasi tenaga ahli spesifik untuk
Tahap I
batubara, maka parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada KepMen LH No. 113
Tahun 2003
3
Parameter utama limbah tambang batubara
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
FISIKA
oC deviasi deviasi Deviasi temperatur dari
Tempelatur deviasi 3 deviasi 5
3 3 keadaan almiahnya
Residu
mg/ L 1000 1000 1000 2000
Terlarut
Bagi pengolahan air
minum secara
Residu
mg/L 50 50 400 400 konvesional, residu
Tersuspensi
tersuspensi 5000 mg/
L
KIMIA ANORGANIK
Apabila secara alamiah
di luar rentang tersebut,
pH 6-9 6-9 6-9 5-9 maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
BOD mg/L 2 3 6 12
COD mg/L 10 25 50 100
DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum
Total Fosfat
mg/L 0,2 0,2 1 5
sbg P
NO 3 sebagai
mg/L 10 10 20 20
N
Bagi perikanan,
kandungan amonia
NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) bebas untuk ikan yang
peka 0,02 mg/L
sebagai NH3
Arsen mg/L 0,05 1 1 1
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium mg/L 1 (-) (-) (-)
Boron mg/L 1 1 1 1
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01
4
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
Bagi pengolahan air
minum secara
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2
konvensional, Cu 1
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)
konvensional, Fe 5
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1
konvensional, Pb 0,1
mg/L
Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005
Bagi pengolahan air
minum secara
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2
konvensional, Zn
mg/L
Khlorida Mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)
Bagi pengolahan air
Nitrit sebagai minum secara
mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)
N konvensional, NO2_N
1 mg/L
Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)
Bagi ABAM tidak
Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-)
dipersyaratkan
Bagi pengolahan air
Belereng minum secara
mg/L 0,002 0,002 0,002 (-)
sebagai H2S konvensional, S
sebagai H2S <0,1 mg/L
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, fecal
-Total coliform 2000 jml /
jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 100 ml dan total
coliform
coliform 10000
jml/100 ml
-RADIOAKTIVITAS
- Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1
- Gross-B Bq /L 1 1 1 1
KIMIA ORGANIK
Minyak dan
ug /L 1000 1000 1000 (-)
Lemak
Detergen
sebagai ug /L 200 200 200 (-)
MBAS
5
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
Senyawa
ug /L 1 1 1 (-)
Fenol
sebagai
Fenol
BHC ug /L 210 210 210 (-)
Aldrin /
ug /L 17 (-) (-) (-)
Dieldrin
Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-)
DDT ug /L 2 2 2 2
Heptachlor
ug /L 18 (-) (-) (-)
dan
heptachlor
epoxide
Lindane ug /L 56 (-) (-) (-)
Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-)
Endrin ug /L 1 4 4 (-)
Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-)
6
Lokasi Studi
7
Lokasi Studi
8
3. Mempertimbangkan adanya kehidupan biota akuatik dan habitat ekosistem perairan
serta kemungkinan pemanfaatan atau dampak terhadap biota akuatik tersebut maka
a. Plankton
b. Benthos
c. Pisces/ikan
pengaruh eksternal yang berbeda serta stratifikasi perairan yang terjadi, maka sampling
site ditetapkan:
2. Secara vertikal, perairan berpeluang terjadi stratifikasi, paling tidak terbagi atas zona
3. KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan
4. Sampel air diambil secara komposit menggunakan ketentuan SNI dengan nomor
kelompok 13.060.10.
Penanganan dan pengawetan sampel dilakukan sesuai prosedur standar untuk parameter
9
e. Analisis Sampel (Sample Analysis)
Analisis sampel dilakukan dengan metode standar sesuai parameter kualitas air yang
bersangkutan.
Antara lain: KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air
Interpretasi hasil analisis dilakukan secara cermat secara deskriptif/naratif maupun grafis
PP 82 Tahun 2001
Kesehatan Masyarakat.
Beberapa kajian alternatif dapat dilakukan sebagai kajian pendukung untuk mencapai
10
Tahap II (Rencana Kegiatan Lanjutan)
Secara umum, orientasi kegiatan pada tahap II tidak akan terlepas dari hasil yang
diperoleh pada pelaksanaan kegiatan tahap sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis dan
interpretasi data kegiatan tahap awal akan diperoleh gambaran kondisi riil perairan dan
Secara umum, dari hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap I dan II akan
diperoleh implementasi model pengelolaan void dan hasil uji coba lapangan terhadap
biota air.
penambangan yang antara lain diprediksikan akan menghasilkan lubang tambang, maka
salah satu instansi teknis yang dilibatkan adalah Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Banjar. Dalam hal ini, hasil pengamatan menjadi bahan pertimbangan teknis
berorientasi budidaya perairan, jika pada akhir tambang masih ditemukan lubang
Tim teknis pendamping melibatkan langsung staf dari PD. Baramarta, guna melihat
11
Jadwal kegiatan disusun secara tentatif diselaraskan dengan tahapan dan tujuan
kegiatan.
- Persiapan survei lapangan; (a) penyusunan dan pembagian tugas tim kerja, (b)
desain survei, (c) kelengkapan administrasi, (d) inventarisasi dan penentuan skala
prioritas.
- Survei lapangan
- Drafting Laporan Akhir; Penyusunan hasil dan Rekomendasi serta Pembuatan Peta.
12
Bab 3 HASIL KEGIATAN
Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai tahapan, selaras dengan tujuan yang akan
dicapai. Pada tahap awal dilakukan pengamatan pendahuluan kualitas air void sesaat
Keterangan
No Parameter Satuan Hasil Pengukuran Baku Mutu* Keterangan**
Lain
Mn, SO4, Hg) terukur tidak memenuhi ketentuan baku mutu. Kondisi ini disebabkan oleh:
mineral batuan yang sebelumnya tersimpan di dalam tanah dalam menjadi terpapar
langsung dengan udara dan air yang berisiko menyebabkan terjadinya oksidasi
senyawa mineral yang dapat menurunkan kualitas air. Potensi ini lebih didorong lagi
oleh sisa deposit mineral tambang yang tidak terangkut sebelum tergenang.
2. Input perairan void terutama berasal dari curah hujan dan cathment area sekitar dan
ditambah lagi zat-zat yang merupakan resultan dari aliran air yang masuk, serta tidak
terdapat outlet sehingga perairan relatif tergenang . Kondisi ini menyebabkan proses
1
pencucian lahan oleh badan air menjadi terhambat dan mempengaruhi kualitas badan
air void .
2
2
1
3
3
Tabel 3.3. Pengamatan Kualitas Air Periode 2 (bulan Oktober 2010)
Parameter Hasil Pengukuran Satu- Kelas
1A 1B 2A 2B 3A 3B an I II III IV
oC
Temperatur 31,2 31,2 29,6 29,6 31 29,1 deviasi devias deviasi deviasi
3 i3 3 5
Kecerahan 320 320 390 390 240 240 cm
Kedalaman 15,1 15,1 30,9 30,9 24,4 24,4 m
TDS 103,6 168,7 98,3 137,8 68,9 130,5 mg/l 1000 1000 1000 2000
TSS 18 22 13 18 35 55 mg/l 50 50 400 400
pH 6,08 6,16 5,91 5,73 5,87 5,48 6-9 6-9 6-9 5-9
BOD 6,1 10,6 6,4 11,6 6,5 12,6 mg/l 2 3 6 12
COD 19,69 21,20 19,31 23,48 22,72 28,78 mg/l 10 25 50 100
DO 5,6 3,5 6,1 3,8 6,3 4,0 mg/l 6 4 3 0
Total Fosfat 0,003 0,002 0,002 0,001 0,003 0,001 mg/l 0,2 0,2 1 5
sbg P
NO3 1,8 0,7 1,4 0,3 1,5 0,2 mg/l 10 10 20 20
sebagai N
NH3-N 0,12 0,52 0,14 0,67 0,13 0,61 mg/l 0,5 (-) (-) (-)
Arsen 0,001 0,007 0,002 0,005 0,001 0,007 mg/l 0,05 1 1 1
Kobalt Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 (-) (-) (-)
Boron Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 1 1 1
Selenium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium 0,00001 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) 0,00005 0,00009 0,00004 0,00007 0,00002 0,00006 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01
Tembaga 0,034 0,055 0,042 0,061 0,013 0,036 mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2
Besi 0,057 0,092 0,062 0,082 0,049 0,063 mg/l 0,3 (-) (-) (-)
Timbal 0,0011 0,0032 0,0024 0,0012 0,0031 0,0027 mg/l 0,03 0,03 0,03 1
Mangan 0,00013 0,00029 0,00014 0,00027 0,00012 0,00026 mg/l 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa 0,00001 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005
Seng 0,0125 0,0212 0,0152 0,0232 0,0131 0,0243 mg/l 0,05 0,05 0,05 2
Khlorida 3,68 8,41 4,21 10,12 3,12 7,24 mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida 0 0 0 0 0 0 mg/l 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,5 1,5 1,5 (-)
Nitrit 0,002 0,14 0,004 0,21 0,001 0,11 mg/l 0,06 0,06 0,06 (-)
sebagai N
Sulfat 21 98 36 159 24 137 mg/l 400 (-) (-) (-)
Khlorin 0,001 0,004 0,001 0,002 0,002 0,004 mg/l 0,03 0,03 0,03 (-)
bebas
H2S 0,0002 0,0010 0,0003 0,0013 0,0001 0,0011 mg/l 0,002 0,002 0,002 (-)
Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air
Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan meskipun status air di lingkungan void
kesehatan manusia, namun masih dapat di toleransi untuk kelayakan kehidupan biota
akuatik. Hanya saja efek senyawa/unsur beracun (toksik) tersebut masih perlu dikaji lebih
dan/atau terhadap organ ikan maupun kelayakannya jika dikonsumsi oleh manusia.
menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya
atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga
4
dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan void
sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di
perairan tersebut.
Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk
memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan
kebijakan pengelolaan perairan. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang
keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003).
Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, posisi lintang (latitude) ketinggian
dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara penutupan awan, dan
aliran serta startifikasi kedalaman suatu perairan. Perubahan suhu membawa dampak
nyata terhadap proses fisika, kima dan biologi perairan. Peningkatan suhu berakibat
peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan
suhu air berakibat penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4.
Organisme akuatik memiliki rentang suhu (batas toleransi) tertentu (batas atas dan batas
organisme air, misalnya gas O2, CO2, H2,CH4, dan sebagainya (Effendi, 2003). Selain itu,
akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat, disertai dengan penurunan kadar O2 terlarut sehingga
enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan
memacu enzim mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan
5
menyebabkan degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis (Folkowski and Raven,
1997).
Berdasarkan hasil dari analisis dilapangan, suhu perairan studi berkisar antara
29,1 oC – 31,2 oC, Penurunan suhu secara vertikal dari permukaan sampai pada
kedalaman 12-15 m terlihat relatif kecil yaitu berkisar 10C vertikal. Kondisi ini menunjukan
bahwa sampai pada kedalaman 12-15 m perairan tersebut mengalami stratifikasi, tetapi
tidak terjadi termoklin. Secara keseluruhan suhu perairan masih cukup layak untuk
menunjang kehidupan biota air dan masih dalam keadaan normal dan masih dalam
Deviasi 3 (deviasi temperatur dari keadaan alamiah) sesuai dengan Baku Mutu Air
Klasifikasi Kelas tiga, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut
Kecerahan
cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan
berperan penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis dan produktifitas
perairan. Sebagian besar ikan yang dalam menentukan arah renang dan mencari makan
Kecerahan air tergantung dari warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran
transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk.
Nilai ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca, padatan tersuspensi, waktu pengukuran dan
ketelitian.
berbeda-beda pada tiap titik sampling hal ini disebabkan pengaruh dari faktor lumpur
yang beasal dari erosi dan run off, ketika waktu pengamatan terjadi densitas hujan
sedang sehingga pada stasiun 1 dan 3 ada aliran air dari samping dan dinding void yang
6
membawa sedikit lumpur, sedangkan pada stasiun stasiun 2 terletak di tengah perairan
void yang tidak terdapat pengaruh dari peristiwa tersebut. Kondisi ini menunjukan bahwa
pada umumnya tiap kedalaman yang berbeda nilai produktivitas juga berbeda,
disebabkan adanya pengaruh intensitas sinar matahari yang diterima perairan. Besar
intesitas sinar matahari akan menurun dengan bertambahnya kedalaman yang akan
perairan juga akan menurun. Dengan demikian produktivitas pada lapisan permukaan
akan lebih besar daripada lapisan dibawahnya akan tetapi, menurut Welch dan Lindell
(1980), Wetzel (1983) dan Odum (1993), intensitas sinar matahari yang besar dapat
terjadi pada permukaan perairan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan laju
fotosintesis fitoplankton. Apabila terjadi, maka nilai produktivitas pada lapisan permukaan
Kedalaman
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 3.2 dan 3.3 kedalaman perairan pada
perairan pada lokasi studi berbeda-beda pada tiap stasiun/kontur tanah dasar tidak rata
atau bergelombang. Kedalaman perairan yang paling dalam terletak pada stasiun 2 yaitu
30,9 m dan yang paling kecil/ surut adalah pada stasiun 1 yaitu 15,1 m. Perbedaan
kedalaman yang memiliki sifat disfotik karena mengandalkan reaksi oleh bakteri anaerob.
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan
tersuspensi (diameter > 1 mikro meter) yang tertahan pada saringan milipore dengan
diameter pori 0,45 mikro meter. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan
air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air.
7
primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan
rantai makanan.
Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua
cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air,
sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya.
Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara
langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring
oleh insang. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air,
sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga
semakin meningkat dan peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat
Untuk keperluan perikanan, Pemerintah menetapkan kriteria baku mutu air dari
kandungan padatan terlarut tidak lebih dari 1500 mg/l, serta 1000 mg/l bagi peruntukan
golongan B. BBAT Dirjen Perikanan (1988) menyebutkan kriteria air yang baik untuk
ikan mempunyai muatan suspensi antara 25-400 ppm, sedangkan Alabaster and Lloyd
(1980) di dalam Abel (1989) menjelaskan bahwa perairan yang mengandung padatan
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel diatas, padatan tersuspensi total (TSS)
dari 13 mg/l – 55 mg/l dengan demikian untuk semua stasiun tidak melebihi batas baku
Kadar asam atau basa yang ada dalam larutan ditunjukkan dengan pH, melalui
konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen (H+). Ketersediaan ion H+ selalu dalam keadaan
dinamis dengan air (H2O) yang membentuk suasana bagi kelangsungan semua reaksi
kimia yang bersangkutan dengan masalah pencemaran air dan kehidupan makhluk air
(Alaerts dan Santika, 1984). Nilai pH berkisar antara 0 - 14. Perairan yang netral memiliki
pH 7, sementara perairan di bawah pH 7 bersifat asam dan di atas 7 bersifat basa. Kadar
8
senyawa - senyawa seperti CO2, N, P dapat dikendalikan oleh pH (Goldman and Horne,
1983). Hampir semua jenis ikan pada pH di bawah 4 dan di atas 9 menurut Brown (1987)
tidak mampu bertahan hidup. Jenis-jenis ikan yang lebih peka, tidak mampu bertahan
hidup pada pH di bawah 5 dan di atas 8. Pescod (1973) mengungkapkan bahwa toleransi
antaranya kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan berbagai anion atau kation serta
jenis dan stadia organisme. Boyd (1988) memberikan kisaran 6,5 – 9 untuk kondisi yang
baik bagi produksi ikan, > 9 tingkat alkalis yang mematikan, < 6 menyebabkan
wilayah studi antara 5,73 – 6,28. Pada pH tersebut ikan masih bisa bertahan hidup,
sesuai dengan pendapat Boyd (1988) yang menyatakan kebanyakan perairan alami
tabel 3.2 dan 3.3 diatas, DO pada stasiun 1A untuk air permukaan adalah 5,6 mg/l dan
1B untuk air dasar adalah 3,5 mg/l. DO pada stasiun 2A untuk air permukaan adalah 6,10
mg/l dan 2B untuk air dasar adalah 3,8 mg/l. DO pada stasiun 3A untuk air permukaan
adalah 6,3 mg/l dan 3B untuk air dasar adalah 4,0 mg/l.
Dari hasil pengamatan di atas terlihat perbedaan antara stasiun A (air permukaan)
dan B (air dasar) terlihat perbedaan yang cukup signifikan, hal ini karena dipengaruhi oleh
berkisar antara 3,5 mg/l – 6,3 mg/l merupakan kandungan aman untuk pelaksanaan
keperluan perikanan dan pertanian (Kelas III) berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 dan
Pergub Nomor 5 Tahun 2007, karena DO hasil pengamatan diatas 3 mg/l. Sedangkan
batas baku mutu minimal untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) adalah
9
minimal 3 mg/l. Menurut indikator status kualitas air Lee et al. (1978), kandungan oksigen
terlarut pada lingkungan perairan void berada dalam status tercemar ringan hingga
sedang.
air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu,
oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat
mengkonsumsi oksigen. Sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen
Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme
ikan dan organisme lainnya yang dihasilkan dari proses fotosintesa fitoplankton dan
makrofita. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologis perairan.
oksigen terlarut yang pada gilirannya memberikan dampak negatif terhadap organisme air
(Wardoyo, 1981).
stasiun (tabel 3.2 dan 3.3). Untuk stasiun A (air permukaan ) nilai COD berkisar antara
19,31 mg/l – 22,72 mg/l dan untuk stasiun B (air dasar) COD berkisar antara 21,20 mg/l –
28,78 mg/l. Nilai COD Dari semua stasiun pengamatan menunjukkan tidak melebihi
batas minimum baku mutu air untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) PP
Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007 , yaitu nilai COD tidak melebihi
50 mg/l. Jadi Void Baramarta bisa digunakan untuk kegiatan perikanan dan peternakan di
Menurut Effendi (2003), perairan yang memiliki nilai COD tinggi sangat tidak
diinginkan bagi kepentingan pertanian dan perikanan. Nilai COD pada perairan yang
tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan pada perairan yang tercemar
10
dapat lebih dari 200 mg/l. Pengamatan terhadap COD ini menunjukkan bahwa rata – rata
nilai COD pada perairan pengamatan lebih dari 20 mg/l yang berarti perairannya tercemar
dan semakin kedasar perairan nilai COD semakin menurun fenomena ini menunjukkan
bahwa masih banyak senyawa anorganik yang belum di reduce oleh mekanisme sistem
alamiah void karena terbatasnya unsur oksigen dan cahaya. Hal ini dipastikan karena
perairan pengamatan merupakan lahan bekas kegiatan tambang batubara. Tetapi nilai
COD pada perairan void ini masih bisa digunakan untuk kegiatan Perikanan dan
Peternakan.
Nilai COD menunjukkan ukuran pencemaran air oleh zat organik secara alamiah
oksigen yang terlarut dalam air. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan konsentrasi
bahan organik dalam air dan meningkatnya BOD5. Makin tinggi nilai BOD5 dan COD
suatu perairan maka semakin besar pula kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan dalam
proses biologis dan kimiawi sehingga akan mengurangi ketersediaan oksigen terlarut.
Pencemaran perairan void berasal dari point source (internal) yang merupakan acid
mine drainage (AMD) bekas galian tambang batubara (floor) yang mengandung PAF
(Pembentuk Asam Potensial)/NAF (Pembentuk Non Asam) yang berdasarkan berat jenis
partikulatnya telah mengendap di dasar perairan akibat terisi debit air yang terus menerus
sehingga lebih dominan debit air yang berasal dari presipitasi. Berikutnya pencemaran
void berasal dari non point source (eksternal) yang berasal dari run off dan erosi
tersebut turut mengkontribusi dan menyusun struktur kualitas air di lingkungan void.
Unsur logam, termasuk logam berat ditemukan pula dalam batubara. Namun kandungan
logam sulfida yang jika berada dalam air akan teroksidasi. Akibatnya terjadi penurunan
pH air, munculnya sulfationik dan pelarutan logam ionik dalam air penerima. Dalam
11
sedimen akan terbentuk endapan Fe, proses yang kompleks terjadi oksidasi FeS2
Fe2+, kemudian oleh bakteri Ocidopholic dan Thiobacillus ferrooxidans diubah menjadi
Fe3+ dan dalam keadaan oksigen mencukupi terbentuknya endapan Fe(OH)3 dalam
sedimen. Sedimen yang tinggi pada suatu perairan akan merupakan salah satu faktor
yang mengurangi produktivitas perairan. Dalam padatan terkandung berbagai logam berat
yang dapat larut dan terikat dalam sedimen sehingga berbahaya bagi makhluk hidup.
Sedimen dan padatan terlarut dalam air mempengaruhi warna air, sifat transparansi yang
Pemicu timbulnya senyawa logam-logam berat tersebut berasal dari acid mine
drainage (AMD) berupa cairan yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida,
terutama pirit (FeS2) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999). Dengan
tingkat kemasamannya yang tinggi, AMD dapat melarutkan mineral-mineral lain dan
melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Apabila terbawa ke
sumber air, AMD dapat mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Pada
kondisi parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan-penggunaan yang
Berdasarkan data pengamatan kualitas air void (tabel 3.2 dan 3.3) terlihat jelas
unsur-unsur logam tersebut terdeteksi baik di periode Juli 2010 maupun Oktober 2010,
nampak tidak terjadi penurunan yang signifikan (0,0001 pada parameter timbal dan Hg
tidak berubah) dalam rentang waktu tersebut dimana unsur logam dibawah air terukur
lebih tinggi daripada dipermukaan. Artinya dengan tetap membiarkan void dalam kondisi
saat ini (alamiah) diperlukan waktu yang sangat lama untuk merecovery kondisi void
oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran air dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan
dan limbah organik. Proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara
yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan
12
(2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem
perairan void terutama saat presipitasi, sedangkan mekanisme ke-1 masih belum
berlangsung.
diklasifikasikan oligotrofik dicirikan dengan dengan kadar hara rendah (miskin unsur
hara), biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar
dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam ekosistem void semakin tidak
subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya
tinggi. Indikator lain untuk menentukan trofik (kesuburan) suatu perairan dapat dinyatakan
berdasarkan kandungan total fosfat (TP) yang terlihat pada ke-2 periode bernilai < 5 mg/l.
Berdasarkan mekanisme alamiah dari kondisi void di zona perairan dasar lebih
banyak terjadi proses anoksik sehingga denitrifikasi yaitu reduksi nitrat berjalan optimal
pada kondisi anerob (tak ada oksigen). Kondisi anaerob di sedimen membuat proses
denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l-1 hari-1. Kadar nitrogen yang
tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali
(blooming) di lokasi void yang airnya berwarna kehijauan. Fenomena peningkatan unsur
nitrat nampak jelas apabila dibandingkan dengan unsur P terutama yang berada di dasar.
Secara umum keadaan lahan sekitar kawasan void yang diamati di wilayah
agak curam yaitu sekitar 15-25%, dan sebagian relatif agak datar yaitu 3-5%. Melihat
13
agak curam sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan sangat berpengaruh terhadap
penurunan produktivitas tanah. Tetapi sebagian lahan sudah ditutupi oleh seresah atau
tersebut dapat melidungi tanah permukaan dari daya timpa butir-butir hujan, dan
melindungi tanah permukaan tersebut dari daya kikis aliran air permukaan yang dapat
Meskipun demikian kenyataannya masih terlihat ada terjadinya erosi yaitu erosi
cm. Hal ini menunjukan bahwa masih ada lahan yang perlu pengelolaan lebih serius. Di
lahan-lahan tersebut terlihat lereng yang agak curam dan masih sedikitnya tanaman
masih adanya aliran air permukaan yang dapat menghanyutkan tanah tersebut. Keadaan
demikian harus cepat ditanggulangi karena dikhawatirkan akan berakibat lebih meluasnya
diperhatikan beberapa faktor seperti iklim, tanah, kemiringan, vegetasi penutup dan
kegiatan manusia. Dari faktor-faktor tersebut dapat ditentukan usaha pengendalian erosi
rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil
dan memperbesar kapasitas infiltrasi sehingga lajunya aliran permukaan dapat dikurangi.
(mencapai >30m), yang dapat berakibat terjadinya stratifikasi suhu perairan beserta
implikasinya dalam sistem akuatik, dan maka teori yang masih terjadi di sekitar
14
Gambar. 3.2. Erosi lahan di sekitar kawasan void
15
Gambar. 3.3. Kondisi lahan di sekitar kawasan void yang masih relatif terbuka
sangat rentan terhadap erosi
Perhitungan volume void PD. Baramarta dari berbagai elevasi terukur ditunjukkan
Berdasarkan perhitungan curah hujan rerata kawasan studi, potensi volume aliran
masuk rerata maksimal dari catchment area seluas sekitar 729.505,93 m2 diperhitungkan
sebesar 1.864.355,07 m3/tahun atau sekitar 5.178,76 m3/hari (Gambar 3.4). Namun di
tahun 2010 volume ini diperhitungkan meningkat sekitar 5-10% akibat peningkatan
16
Kondisi saat pengamatan adalah di elevasi -18,068 m dpl, saat dimana air relatif
surut meski tidak dalam kondisi surut terendah. Perhitungan terhadap kondisi surut
kecenderungan kemarau basah, dimana frekuensi hujan masih relatif tinggi ketika
Kedalaman perairan saat pengamatan pada kisaran 0-31 meter, yang diprakirakan
alamiah yang menyertai void oligotrofik berupa overturn dan blooming algae yang
membawa dampak bagi lingkungan perairan void. Adanya stratifikasi kedalaman yang
membawa implikasi pada perubahan suhu yang ekstrim berada di dasar perairan
membawa sirkulasi masa air dari dasar sampai ke permukaan (pembalikan massa air)
akibat perbedaaan kerapatan suhu massa air yang sering terjadi di musim penghujan,
fenomena ini berdampak buruk bagi biota perairan yang tidak mampu bertahan terhadap
bentuk adaptasi terhadap ekosistem lingkungan yang marginal dan memiliki stratifikasi
pengganggu atau dominasi oleh ledakan populasi (kelimpahan sel > 5.000 sel/mL), alga
atau lebih tepat dinamakan Cyanobacteria umumnya tidak dapat atau sulit dicerna ikan,
fitoplankton ini membawa dampak pada rendahnya kesuburan perairan sehingga unsur-
unsur Nitrogen dan Fosfor yang membangun dan unsur protein yang berasal dari
senyawa Carbon.
seperti penurunan kualitas air, kematian ikan secara massal dan sebagainya. Mekanisme
kematian ikan massal karena adanya blooming algae. Pada kondisi blooming alga,
17
tingkat kecerahan perairan menjadi rendah dan kandungan oksigen menjadi tinggi yang
diperoleh melalui proses fotosintesis. Proses selanjutnya terjadi penyusutan alga dan
pengendapan alga yang sudah mati. Pada fase ini kecerahan perairan meningkat
kembali. Alga yang mati mengalami pembusukan, jumlah bakteri meningkat dan terjadi
penurunan oksigen karena dimanfaatkan bakteri pada proses dekomposisi alga tersebut.
Adanya proses pengadukan kolom perairan oleh angin, maka oksigen yang rendah pada
kolom dalam perairan naik keatas dan menyebabkan kematian ikan secara masal.
Distribusi secara vertikal perairan void menunjukkan adanya nilai yang meningkat
pada kolom yang lebih dalam dan dasar perairan. Kondisi ini dapat dipahami karena
mineral dan material anorganik cenderung terakumulasi pada kolom perairan yang lebih
dalam dan dasar perairan. Distribusi kecerahan di void menunjukkan tingginya kecerahan
pada kolom atas perairan yakni pada permukaan perairan sampai kedalaman 3 m, yang
permukaan yang diperoleh dari proses fotosintesis fitoplankton yang melimpah pada
18
Gambar 3.4. Volume Air dan Elevasi Kawasan Void
19
3.1.4. Pengamatan Terhadap Kehidupan Biota Akuatik
a. Umum
Pengamatan secara visual terhadap kehidupan biota akuatik di dalam perairan wilayah
studi menunjukkan rendahnya biota yang teridentifikasi. Biota yang terlihat secara visual
Hasil pengamatan sampel plankton dan benthos ditunjukkan pada tabel 3.5. berikut.
Phytoplankton
No Phyllum Genera St- I St-II St-III
Phytoplankton
1 Cyanophyta Oscillatoria - - 250
3 Chrysophyta
Melosira - - 60
Nitzchia sp - 70 -
Streptotheca 40 30 20
Synedra - 70 -
Kelimpahan (sel/liter) 210 760 420
Indeks Keanekaragaman 0,8642 1,1888 1,0619
Indeks Keseragaman 0,7866 0,7387 0,7660
Indeks Dominansi 0,5011 0,4030 0,4229
Jumlah Takson 3 5 4
Zooplankton
No Phyllum Genera St - I St - II St – III
Zooplankton
1 Protozoa Cryptomonadida 70 160 140
Oikomonas 60 - -
Favella - - 50
3 Crustacea Nauplius 20 - 30
Kelimpahan (sel/liter) 230 160 350
Indeks Keanekaragaman 1,4233 0,0000 1,2229
Indeks Keseragaman 0,8844 0,0000 0,8822
Indeks Dominansi 0,2628 1,0000 0,3257
Jumlah Takson 5 1 4
No Phyllum Genera St - I St - II St – III
Benthos
1 Insecta Chironomus - 44 -
Kelimpahan (sel/liter) 0 44 0
Indeks Keanekaragaman 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Keseragaman 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Dominansi 0,0000 1,0000 0,0000
Jumlah Takson 0 1 0
Terra (1971) dan Suess (1982) menyatakan fitoplankton dapat digunakan sebagai
indikator kualitas air. Indikator air bersih antara lain Melosira islandia, sedang indikator air
tercemar menurut Wasitodi (1985) antara lain adalah Microcystis deruginosa. Kolkwitz
(1967) juga menemukan genera Oscillatoria, Euglena dan Protococcus pada perairan
tercemar.
Bioindikator menurut Kovacs (1992) di dalam Tandjung (1995) adalah organisme atau
kondisi lingkungan. Untuk itu bioindikator harus terdapat dalam jumlah cukup/melimpah
dan menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan. Suatu organisme dapat digunakan
sebagai indikator apabila mempunyai sifat predominan dan karakteristik atau predominan
dan eksklusif. Kendeigh (1980) memberikan beberapa sifat dasar spesies indikator,
meliputi:
2. karakteristik; banyak ditemukan pada suatu komunitas tetapi sedikit ditemukan pada
21
sedangkan dari kelompok zooplankton dari jenis Cryptomonadida, Oikomonas, Favella,
jenis genera Oscillatoria pada perairan void tersebut memberikan indikasi bahwa perairan
Kelimpahan fitoplankton hasil pengamatan berkisar antara 210 – 760 sel/liter, sedangkan
fisik dan kimiawi perairan seperti stabilitas kolom air dan keseimbangan nutrien (HARRIS
1986). REYNOLDS dalam HARRIS (1986) memberikan contoh suatu matrik kelompok
jenis-jenis fitoplankton sebagai suatu fungsi dari nutrien (unsur hara) dan pengadukan
kolom air.
(Index of Diversity) menurut Suess (1982) merupakan nilai numerik dari jumlah individu
spesies yang berlainan dalam suatu komunitas terhadap jumlah total populasi semua
spesies yang diperoleh. Populasi dan variasi jenis spesies dipengaruhi intensitas limbah
22
c) diversitas maksimum tercapai bila sejumlah besar spesies terdapat dalam jumlah
komunitas lain.
Menurut Odum (1993) fungsi Shanon-Wiener atau indeks H merupakan satu indeks
yang terbaik untuk membuat pembandingan dimana seseorang tidak berminat untuk
pada besarnya contoh, yang berarti sedikit contoh diperlukan untuk memperoleh
perairan akan mengurangi spesies yang ada dan meningkatkan populasi jenis yang tahan
terhadap kondisi perairan yang tercemar tersebut. Di samping itu, hilangnya organisme
23
yang mempunyai toleransi rendah dapat mengurangi persaingan ruang dan makanan.
1,1888 dan zooplankton sebesar 0,0000 – 1,4233. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
perairan void tersebut dalam kategori setengah tercemar hingga tercemar berat.
yang toksik, karena sifatnya yang sangat sensitif terhadap toksik dibanding bakteria.
Mikroorganisme ini sangat baik sebagai indikator dari lingkungan anaerob (beberapa
protozoa masih mampu bertahan hidup tanpa ada oksigen selama 12 jam).
Ikan
keberlangsungan hidup biota air yang hidup dalam lingkungan perairan tersebut. Hasil
penebaran ikan nila ke dalam lingkungan perairan void menunjukkan tidak ditemukan ikan
yang mati setelah ditebar di dalam badan air void. Ikan ini memiliki toleransi yang relatif
tinggi terhadap kondisi kualitas air void, yang ditunjukkan dengan kemampuannya tetap
bertahan hidup dengan tingkat survival tinggi. Meskipun demikian, kondisi ini tidak dapat
1. Ikan nila dikenal memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan tercemar.
2. Meskipun ikan ini bertahan hidup, namun belum dilakukan pengamatan terhadap
memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat pertumbuhan ikan).
Dengan demikian belum dapat disimpulkan apakah ikan nila yang hidup di dalam
senyawa beracun dalam tubuh ikan yang diintroduksi, untuk menetapkan kelayakan
24
konsumsinya (karena memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat
akumulasi senyawa beracun dalam tubuh ikan, setidaknya hingga ukuran konsumsi).
(eichornia crassipes mart solms) ke dalam perairan void, karena jenis ini telah dikenal
Hasil pengamatan terhadap uji coba introduksi tanaman air jenis eceng gondok
hasil bahwa tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik serta daun cenderung menguning
setelah 2 minggu ditebar di badan air void. Pada periode pengamatan berikutnya (1 bulan
kemudian), tumbuhan air tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini diakibatkan oleh:
1. Komunitas eceng gondok secara aktif menyerap senyawa beracun dalam air.
2. Pada batas yang tidak dapat ditoleransi oleh vegetasi tersebut, senyawa beracun
4. Jika dibiarkan terus, maka tanaman air ini lambat laun akan mati, dan tenggelam di
5. Senyawa beracun tersebut akan terikat menjadi sedimen di dasar perairan bersama
25
Gambar 3.5. Daun eceng gondok sebagian layu dan menguning
c. Pengukuran
Pengukuran logam berat dalam tubuh ikan dilakukan terhadap ikan nila yang telah
tubuh ikan melalui analisis ekstraksi dan pengukuran logam berat menggunakan AAS,
dari ikan yang hidup selama rentang waktu tertentu dalam perairan void eks tambang
26
Terdeteksinya logam berat pada tubuh ikan merupakan proses akumulasi dan
biomagnifikasi logam berat terutama metilmerkuri pada no sampel 3,5 dan 7 yang aktif
Logam berat dapat menimbulkan degradasi fisiologis organ tubuh ikan dalam
paparan tinggi dan lama (Lc). Dalam kegiatan ini tidak dilakukan analisis anatomi atau
fisiologis pada biota pengamatan, namun sebagai gambaran contoh, tingkat kerusakan
insang ikan mas (Cyprinus carpio L.) dipengaruhi oleh konsentrasi merkuri dan lamanya
Berdasarkan uraian di atas, maka hal-hal substansial yang perlu dicermati menyangkut
1. Dalam proses penggenangan selama 5 tahun lebih, void telah berkembang menjadi
2. Proses terbentuknya perairan di dalam lingkungan void masih belum diikuti dengan
perkembangan kondisi kualitas air yang optimal bagi manusia dan biota akuatik.
3. Perkembangan kualitas air void menuju kondisi yang lebih optimal terkendala oleh
4. Fenomena interaksi antar parameter kualitas air dan biota air di void memerlukan
oksigen dalam jumlah besar sementara kondisi void yang inklusif sehingga diperlukan
teknologi aerasi.
5. Introduksi varitas ikan yang bernilai ekonomis dan mampu bertahan pada kadar
oksigen rendah, fenomena lingkungan void serta logam berat yang relatif tinggi.
void dan Typha angustifolia pada bagian aliran run off serta penambahan tanaman
27
7. Membiarkan erosi yang diharapkan (acceptable erosion) sebagai fenomena erosi
lahan untuk mempercepat masuknya unsur hara ke dalam perairan selain untuk
28
Bab 4 KAJIAN ALTERNATIF
yang efektif. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti
sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati dalam dokumen rencana
Kebijakan pemanfaatan lahan eks tambang akan menetapkan aspirasi dan arahan
tingkat tinggi yang diperlukan perusahaan untuk penutupan tambang. Kebijakan ini
bagian dari perencanaan tambang, identifikasi risiko dan peluang untuk perencanaan
biaya dan keuangan yang dapat diandalkan, serta menentukan tujuan dan prinsip-prinsip
kepentingan. Kesemua faktor ini menunjukkan perlunya rehabilitasi yang progresif dan
Sering terjadi kebijakan pada akhir penambangan kondisi lahan pasca tambang
harus dikembalikan seperti keadaan pada rona awal, dengan logika yang seolah-olah
mengabaikan hal-hal teknis yang pada kenyataannya akan sangat berpengaruh terhadap
kondisi lahan di masa pasca penambangan. Sebagai contoh, pada lahan tambang
dengan letak deposit yang relatif dalam, lapisan batubara yang tebal serta stripping ratio
yang besar maka sudah semestinya dapat diprediksikan kondisi lahan tersebut nantinya
dan perlu disepakati kebijakan yang perlu diterapkan pada proses penambangan yang
menghasilkan defisit overburden yang diakibatkan oleh volume batubara yang hilang dari
lapisan tanah pada lahan tersebut. Bukan hal yang mudah jika harus meratakan gunung
atau bukit-bukit di sekitar void tersebut agar lubang tersebut dapat tertutup kembali
secara sempurna. Void dapat didekati sebagai dampak rasional yang terjadi akibat
penambangan, jika disadari bahwa overburden yang digali di masa penambangan tidak
akan cukup untuk menutup void secara keseluruhan atau mengembalikan lahan seperti
Meskipun demikian, perlu upaya atau langkah kongkrit yang efektif di dalam
melaksanakan pengelolaan void dan lahan di sekitarnya, agar dampak yang telah terjadi
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap salah satu void hasil penambangan PD.
Baramarta sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya, maka arah pengelolaan void
4.1. Pengelolaan
Laju penggantian massa air void berlangsung lambat atau bahkan tidak terjadi
Suplai oksigen yang terbatas akibat perairan tidak mengalir (difusi oksigen dari udara
berlangsung lambat karena hanya didominasi oleh difusi dari angin ke permukaan air),
Proses pencucian bahan-bahan beracun dari badan air void berlangsung lambat atau
Tidak adanya proses recovery kualitas air (self purification) dari luar badan air yang
2
dapat membantu proses recovery kualitas air (self purification) dari badan air,
mengalami blooming algae yang dapat membawa dampak mortalitas ikan meningkat
Kedalaman perairan yang relatif dalam (hingga > 30 m) memberikan peluang risiko:
air.
Terjadinya fenomena overturn, jika terjadi perbedaan suhu ekstrim terutama musim
penghujan yang memicu fenomena tersebut. Akibat proses ini maka sedimen yang
lambat
Proses pengadukan dasar perairan dengan bantuan alat berat tidak bisa dilakukan
secara maksimal.
Meningkatnya unsur senyawa logam berat yang bersifat toxic sebagai akumulasi
senyawa yang memiliki massa jenis atom yang lebih tinggi yang sangat nyaman
Adanya alga yang bersifat toxic terhadap lingkungan void akibat bioakumulasi dan
kondisi anaerob.
3
3. Erosi lahan
Proses erosi yang terjadi di sekitar kawasan void memberikan berbagai kondisi:
Kontribusi sedimen hasil erosi yang masuk ke badan void akan mengakibatkan
menambah bahan-bahan beracun dari luar masuk ke badan air, yang dapat
menurunkan kesuburan perairan (kualitas air), tetapi di sisi lain juga dapat diharapkan,
Proses pendangkalan ini di satu sisi tidak diharapkan tetapi di sisi lain juga dapat
diharapkan.
Lapisan batubara yang telah tersingkap oleh penambangan mudah terpapar dan
batubara masih tertinggal dan terendam dalam perairan void, maka kontribusi hasil
oksidasi ini akan terus berlangsung dan memicu reaksi yang menghasilkan senyawa
asam, yang nantinya dapat meningkatkan reaksi bahan-bahan beracun yang lain dan
Sesuai dengan hasil kajian lapangan, beberapa alternatif tindakan pengelolaan kualitas
Ibarat menguras air kolam secara bertahap, membangun outlet bagi lingkungan
perairan void merupakan upaya agar terjadi sirkulasi dan pergantian massa air void, yang
bertujuan untuk terlaksananya pencucian lahan oleh massa air, untuk mempercepat
Outlet dan Inlet dapat dibangun pada lingkungan void dengan desain berikut.
4
Gambar 4.1. Peta Rencana Penataan Inlet dan Outlet Void
b. Introduksi tanaman air
Introduksi tanaman air ke dalam lingkungan void dapat berfungsi untuk menyerap
senyawa-senyawa beracun terlarut dalam air ataupun yang mengendap sebagai sedimen,
oleh sistem perakaran tanaman air, juga dapat menambah pasokan oksigen terlarut dari
bahan/senyawa terlarut dalam air, maka akan terjadi kecenderungan kondisi tanaman air
bahan/senyawa beracun.
Berdasarkan hasil percobaan, Eceng Gondok memiliki kemampuan biosorpsi logam berat
yang dapat menurunkan kadar Zn hingga 43,31%, Pb 100%, Mn 92,98% dan Fe 16,75%,
namun kurang efektif mengabsorbsi Cu. Masuknya massa air di sisi inlet yang berasal
dari run off dapat dilakukan penanaman Typha angustifolia untuk memfilter AMD karena
jenis ini mampu meningkatkan pH dari 3,7 menjadi pH > 6 dan menurunkan kadar Mn,
Perlakuan dalam rehabilitasi kualitas air melalui penebaran tanaman air harus
memperhatikan:
beracun/logam berat terlarut dalam air diindikasikan oleh perubahan fisik tanaman air,
misalnya daun Eceng Gondok menjadi menguning, kering dan akhirnya mati.
- Tanaman air yang mati dan tenggelam akan menjadikan senyawa beracun yang
terkandung dalam organ tanaman yang mati tersebut ikut tenggelam menjadi
sedimen.
Oleh karena itu, perlakuan penebaran tanaman air pada void perlu memperhatikan
Tanaman air eceng gondok yang mulai menguning harus segera diambil karena
Tumbuhan air akan mulai menunjukkan pertumbuhan normal jika kualitas habitat air
perkembangannya.
c. Intoduksi ikan tertentu yang tahan terhadap kualitas perairan yang buruk dan
Jenis-jenis ikan yang direkomendasikan misalnya ikan catfish karena jenis ini mampu
mengambil udara secara difusi dari permukaan air. Selain itu dapat pula dikembangkan
perairan seperti ikan sapu-sapu. Perlu diperhatikan untuk introduksi ikan bukan
merupakan tipikal predator terhadap ikan lainnya agar tidak kontraproduktif dengan
d. Dua teknologi peningkatan kualitas air kolong, yaitu in-situ treatment dan
passive treatment.
In-situ treatment adalah cara paling sederhana, yakni dengan mencemplungkan kapur
langsung ke Void. Kapur ini bisa mengurangi kadar logam-logam berat di Void
tersebut. Kapur bisa meningkatkan pH air dan menghambat proses oksidasi besi dan
pelepasan logam ke air (metal leaching). Bahan kapur yang digunakan Ca, Ca-Mg
oksida, hidroksida, karbonat, silikat, CaO, Ca(OH)2, kalsit, dolomit, marl, slag dengan
kualitas kapur yang mengandung unsur CaO dan MgO, atau total karbonat.
Penggunaan bahan kapur pada surface placement, deep placement, formulasi kering,
suspensi dengan air dan waktu/ frekuensi pengapuran disesuaikan dengan debit air
dan pH air. Penggunaan tawas lebih efektif dapat pula menurunkan koagulan selain
Poly Aluminium Chloride (PAC) dan Nalcolyte 8100 (Praswasti dkk, 2008)
yaitu settling pond atau kolam penampungan sedimentasi, kolam anoxic limestone
7
Kedua cara itu telah diuji di laboratorium. Untuk cara in-situ, kapur dicemplungkan ke air
dan ditambah media kimia, seperti bentonit atau kompos, untuk meningkatkan efisiensi
kapur. Dalam sepekan, pH air meningkat dari 3 menjadi 7. Kandungan Fe pun menurun
sampai 95%.
Adapun cara passive, tim peneliti membuat beberapa bak kecil yang berfungsi sebagai
bak sedimentasi, bak ALD, rawa buatan dalam skala kecil, serta penampung hasil akhir.
sekitar kawasan void. Aerasi dapat mempertahankan kandungan oksigen pada tingkat
optimum. Sirkulasi air secara efisien mencegah stratifikasi dan mengurangi akumulasi
mempertahankan suspensi partikel organik dalam air serta membentuk kumpulan bakteri
organik terlarut.
Intensitas sinar matahari menyebabkan panas air di permukaan lebih cepat dibanding
badan air yang lebih dalam. Densitas air turun dengan adanya kenaikan suhu sehingga
permukaan air dan air yang lebih dalam tidak dapat tercampur dengan sempurna. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya stratifikasi suhu (themal stratification) dalam badan air,
dimana akan terbentuk tiga lapisan air yaitu : epilimnion, hypolimnion dan thermocline.
Epilimnion adalah lapisan atas yang suhunya tinggi. Hypolimnion ialah lapisan bawah
yang suhunya rendah. Sedangkan thermocline adalah lapisan yang berada di antara
epilimnion dan hypolimnion yang suhunya turun secara drastis. Kondisi ini dapat diatasi
dengan pengadukan air oleh aerator atau kincir (paddle wheel). Terjadinya transfer panas
dari lapisan atas ke lapisan bawah tergantung dari kekuatan pengadukan air (angin,
kincir, dan sebagainya). Sehingga recovery perairan void dapat lebih cepat dengan
penambahan aerasi yang menghentikan proses anaerob dan toxic yang dapat naik
8
f. Erosi Alamiah
Erosi alamiah yang diharapkan (acceptable erosion) sebagai fenomena erosi lahan untuk
sedimentasi sehingga stratifikasi kedalaman void tidak ekstrim. Erosi ini justru
tanah kalau tidak maka tanah akan cepat terkuras kesuburannya, berkurangnya lapisan
g. Detoxsifikasi perairan
Mengubah senyawa menjadi bentuk lain yang kurang toksik, misalkan penggunaan
bakteri yang berasal dari lingkungan void. Metode detoksifikasi secara biologi
menggunakan bakteri yang resisten terhadap Hg sebagai detoksifikan HgS yang mampu
memecah senyawa Hg menjadi Hg0 dari HgS dapat melarutkan sekaligus menguapkan,
ditampilkan contoh bakteri dan jamur yang dapat mengakumulasikan logam berat.
Kedalaman void yang sebagian masih relatif dalam dengan segala potensi
9
membantu mendangkalkan perairan void tersebut pada kedalaman yang
direncakanan.
Pada kedalaman rencana, tingkat erosi harus lebih dikendalikan hingga memberikan
kondisi yang ideal bagi pengembangan manfaat void, khususnya jika void
pembuangan. Hal ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya peluapan air hujan yang
2. Pembuatan teras-teras agar aliran air dapat terhambat sehingga daya angkut atau
daya pengikisannya berkurang dan bahkan tidak menimbulkan erosi serta dapat
menjadikan infiltrasi air ke dalam tanah meningkat. Hal ini merupakan cara yang
terbaik dalam mengatur aliran air di daerah-daerah yang lahannya miring dan
mengurangi panjangnya lereng. Pada lahan yang berlereng panjang akan berakibat
pengikisan tanah yang lebih besar sehingga apabila tanpa dilakukan penterasan pada
lereng-lereng demikian akan menjadikan erosi lebih cepat dan lebih besar.
ini agar dapat mengurangi laju erosi yang nantinya akan masuk ke void.
laju erosi dan sebagai penyimpan air. Vegetasi pohon yang direkomendasikan adalah
akasia, karena jenis pohon ini dapat tumbuh cepat, dapat tumbuh di lingkungan yang
mengurangi erosi dimana batang, ranting dan daun-daunnya baik yang masih hidup
10
melindungi terhadap daya kikis air serta sebagai menambah bahan organik tanah
yang akan untuk memperbaiki porositas, stabilitas agregat dan sifat kimia tanah.
tanaman pengganggu, cepat tumbuh dan tidak sebagai inang bagi hama penyakit
reboisasi. Larikan-larikan tersebut harus dibuat searah dengan garis kontur yang
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang, pemberian tanah pucuk dan bahan
organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam
merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan
biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah
berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity.
Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur.
Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya
mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis
pohon, dan pemanfaatan mikroriza. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat
beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan
pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang
cepat tumbuh.
4.2. Pemanfaatan
Model desain penataan lingkungan void dan rencana pemanfaatan badan air void
11
4.2.1. Pemanfaatan Void bagi Kehidupan/Budidaya Ikan
Void eks pertambangan batubara secara fisik memberikan peluang potensi sebagai
habitat biota air. Perairan void bagi habitat biota air seperti ikan/pisces baik sengaja
maupun tidak disengaja perlu memperhatikan kondisi kualitas perairan tersebut, apalagi
jika pemanfaatan tersebut dilakukan secara sengaja sebagai bagian lahan budidaya
perikanan. Tidak jarang, kualitas air void masih mendukung kehidupan biota air, dalam
arti bahwa biota air pada kenyataannya masih mampu hidup dalam habitat perairan void.
Meskipun demikian, perlu dicermati apakah biota air tersebut tumbuh normal atau apakah
jika biota tersebut merupakan komoditas bahan pangan (budidaya untuk konsumsi),
Pengamatan terhadap tingkat pertumbuhan ikan yang dibudidayakan dalam perairan void
tidak dilakukan pada kegiatan ini, mengingat hal tersebut memerlukan waktu pengamatan
yang relatif cukup lama. Meskipun demikian, pada kesempatan lain masih dipandang
perlu untuk melakukan pengamatan tingkat pertumbuhan ikan yang dibudidayakan dalam
lingkungan lahan eks tambang, khususnya di dalam perairan void, untuk memberikan
fakta ilmiah yang diperlukan bagi kajian lebih mendalam proses recovery kualitas perairan
Mempertimbangkan jangka waktu studi yang tersedia, langkah rasional yang dapat
mungkin terkadung dalam tubuh ikan sebagai akibat dari proses bioakumulasi yang
terjadi, dan membandingkannya dengan standar kelayakan konsumsi biota tersebut bagi
Biota air memiliki potensi bioakumulasi senyawa beracun dalam tubuhnya, dalam proses
rantai makanan, sehingga membawa risiko bagi kesehatan tubuh jika dikonsumsi oleh
manusia.
Jika terdapat fenomena overturn, perlu dibatasi masa budidayanya, agar tidak terjadi
12
kematian massal ikan yang dibudidayakan.
Jenis ikan yang dibudidayakan diupayakan adalah ikan lokal, yang telah teruji
kemampuannya untuk dapat hidup dan tahan terhadap kondisi perairan di lahan
Perlu memperhatikan kepadatan ikan yang ditebarkan dalam karamba jaring apung,
untuk meningkatkan efisiensi jumlah pakan, tingkat pergerakan ikan dan menghindari
proses kanibalisme ikan dalam karamba serta untuk menghindari terjadinya kematian
Perlu memperhatikan kondisi perairan setempat, dalam hal ini kondisi kualitas
perairan yang layak untuk kehidupan ikan dan lingkungan sekitar yang dapat
Dalam kaitannya dengan pengembangan manfaat void sebagai lahan alternatif bagi
budidaya perikanan, maka perlu dikaji lebih lanjut daya dukung lingkungan void dan/atau
Jika diasumsikan bahwa void tersebut merupakan (atau disetarakan) ekosistem waduk
Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban
yang optimal jika diterapkan suatu bentuk atau pola pengelolaan perikanan yang rasional
1993).
Void tambang yang tergenang air akan berkembang fungsi menjadi semacam
tampungan air hujan (catchment area), apalagi bagian dasar void sebagian merupakan
struktur tanah dan batuan yang rendah tingkat porositas dan infiltrasinya (proses
masuknya massa air ke pori-pori tanah). Genangan air pada lahan yang relatif luas akan
menjadi sejenis danau buatan. Perkembangan genangan air ini dalam volume besar
13
memiliki potensi menjadi tampungan air yang memberikan persediaan sumberdaya air,
Meskipun demikian, peluang pemanfaatan sumberdaya air void perlu dikaji lebih
lanjut, khususnya menyangkut kelayakan konsumsi dan pemanfaatan air tersebut bagi
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk saat ini kualitas air void masih belum
memenuhi. Alternatif lain perairan void dapat digunakan untuk penyiraman air bagi
Lubang bekas tambang (void) di satu sisi dapat dianggap sebagai dampak negatif
penambangan karena selain menimbulkan genangan air yang berpotensi menjadi sarang
vektor penyakit, misalnya nyamuk yang membawa penyakit malaria dan penyakit
degenaratif lainnya.
Meskipun demikian, jika void ini dapat ditata dengan seksama dalam perencanaan
penambangan, sehingga dapat mencapai bagian topografi terendah dari cachtment area
kawasan tambang tersebut, maka run off dari hujan dapat diarahkan untuk
menuju/mengisi void tersebut, sehingga dapat menjadi tampungan air larian. Situasi ini
akan mengurangi volume limpasan air yang mengalir dan mengkontribusi debit air sungai
terdekat. Dengan demikian, teknik ini sekaligus dapat menjadi salah satu strategi
kawasan wisata, terlebih lagi telah restoking ikan di lokasi yang membawa minat bagi
14
Gambar 4.2. Model Desain Penataan Lingkungan Void
Gambar 4.3. Model Desain Rencana Pemanfaatan Badan Air Void
16
Matrik 4.1. Model Alternatif Rehabilitasi, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Void
17
Matrik 4.2. Model Alternatif Rencana Pemanfaatan Lingkungan Void, Pemantauan Lingkungan dan Instansi Pengelola
18
LAMPIRAN
Lampiran 01
Karamba Jaring Apung : Tempat pemeliharaan ikan yang berbentuk desain kotak dengan
bahan utama berupa jaring, yang dilengkapi dengan rangka dan pelampung yang
memungkinkan alat ini terapung di permukaan air.
Demplot Pengembangan:
Pembuatan keramba jaring apung (KJA) diawali dengan membuat dengan kerangka dari
bahan kayu dan pelampung (styrofoam atau pelampung lainnya).
KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang jaring berbentuk kurungan
berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang
dipelihara yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci.
KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey. Benih ikan dapat terdiri atas 4 ukuran yang
berbeda yaitu:
K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm);
K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm);
B-1: ± 10,00 gr (8-10 cm) dan
B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm).
Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor yang dibagi dalam 6 petak sehingga
kepadatan per petak adalah 1.000 ekor.
Kelompok ukuran K-2 sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak
Kelompok ukuran B-1 dan B-2 masing-masing ditebar dalam satu petak dengan
kepadatan 600 dan 300 ekor.
Pada saat awal penebaran dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat bibit ikan
biasanya sangat sensitive dan mudah stress dibanding dengan ikan dewasa.
Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai dengan ukuran ikan yang dipelihara,
diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan sampai
kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan.
Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari diketahui dengan cara menimbang sisa pakan
yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat efektivitas pakan terhadap
pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang dan bobot
tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan
setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan.
Pengamatan dan perlakuan dapat dilakukan terhadap ikan yang menunjukkan gejala tidak
sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan mata) dan disimpan
sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa di
laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.
TIPE IKLIM
POS HUJAN Lintang Bujur THN Curah Hujan (milimeter) BB BK Q SCHMIDT FERGOSUN
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des
STASIUN
Pegaron 1998 234 173 135 120 78 158 218 202 127 91 444 390 10 -
2001 383 148 313 419 59 50 419 152 97 209 227 319 9 2
3'17"46 115'05"33,2 2002 363 177 276 397 163 109 353 151 103 252 95 312 11 - 16,66% B
2003 223 194 317 376 220 169 288 151 185 286 33 305 11 1
2004 445 252 238 354 14 391 274 151 36 320 298 9 3
2006 285 286 320 311 265 293 142 4 124 72 135 237 10 1
2007 205 324 300 290 390 516 24 58 168 227 299 255 10 2
Rata-rata 325 203 276 313 145 204 189 120 105 191 183 302
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited, Chichester, United
Kingdom. 231 p.
Alaerts, G. dan Santika, S.S.,1984, Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality In Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn
University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. 359 p.
Brown, A.L. 1987. Freshwater Ecology. Heinemann Educational Books, London. 163 p.
Effendi H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius Yogyakarta.
Folkowski, P.G. dan A. J. Raven. 1997. Aquatic Photosynthesis. New York: Blacwell
Science-USA.
Gadd G.M. 1992. Heavy Metal Pollutans: Environmental and Biotechnological Aspects.
Academic Press.Inc.
Greenfield, P.F., P.R.F. Bell and D.F. Gohschlich. 2002. Estimating the generation and
treatment requirment of acid drainage product in coal storage heaps. Paper on
Seminar on Water Treatment and Recovery Technology. IPB Bogor 35 pg.
Hansen C.L and D.K. Stevens. 1995. Biological and Physio-chemical Remediation of
Mercury Contaminated Haarous Waste.
Nybakken, J,W. 1992. Biologi Laut Satu Pendekatan Ekologis. Terjemahan oleh H.M
Eidman. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
Parson, T., Takashi, M., and Hargrave, B. 1984. Biological Ocenographic Process.
Third edition. Pergamon Press, New York. 330 p.
Pescod. 1973.
Praswasti Wulan, Misri Gozan, Hardi Putra. 2008. Peningkatan Efisiensi Penggunaan
Koagulan Pada Unit Pengolahan Air Limbah Batubara. Proseding Departemen
Teknik Kimia Fakultas Teknik UI: Depok.
Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver, and
G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland. In
1999 Proceedings of American Society for Surface Mining
Odum, E.P. 1993., Dasar-dasar Ekologi: Alih Bahasa Samingan, T. Edisi ketiga.
Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta
Widdowson, J.P. 1990. The impacts of surface mining activities on soil and water. In T.
F. Rijnberg (Ed.). Proceedings of the Joint Seminar on Environmental Impacts
of Mining in Watersheed Management. Bogor and Tanjung Enim, November 5-
14th., 1990. hal: 34-58
Welch,E. B and T. Lindell. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge Univ.
Press.
Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. IPB. Bogor. 40-
43.