Anda di halaman 1dari 77

LAPORAN PENELコ「IAN

Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi


Pemanfaahn Sumber Qaya Perairan Void Reklamasi
TambanglEks Penamhangan Batubara
PD. Baramarta Kabupaten Baniar
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Oleb

lr.II F2ka lri■ den“,M.Si.

Dibiayai oleh
PD; Baramarta Kabupaten Banjar

FttULTAS PE重塑KANAN
IJNIVESITAS LA■ ttBUNG
ⅣLttNGKUttT
2010
LAPORAN FENELΠ「IAN

財瓢彎
躍鍮R │:`i■ ■

\Q-- rr-tnb 鯵絶

Kajian Strategi Pengelolaan dan Revitalisasi
Femanfaatan Sumber Daya Perairan Void Reklamasi
TambanglEks Penambangan Batubara
PD. Baramarta KabuPaten Baniar
Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Oleh

lr.II Eka lriadenta,卜 1,Si.

Dibiayai oleh

PD. Baramarta Kabupaten Banjar

FAKULTAS PER11(ミ NAN


UNRttS「 AS LApIBUNG ⅣIANGKURAT
2010
IIALAPLヽ N PENGESAⅡ AN

l. Judul Penerapan Ipteks Kajian Strctegi Pengelolaan Can Revitalisasi


Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Void
Reklamasi TambanglEks Penambangan Batuba{a
PD. Baramarta Kabupaten Banjar Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Penerapan Ipteks Kualitas Air/ Ilmu Pertanian
Ketua Pelaksana
a. ).fama Lengkap k. H. Eka hiadenta, MSi
b. Jenis Kelamin Laki-Laki
c. NIP 19682308 199303 1 003
d. Pangkat/Golongan IVa
^ T^L^+-- I ^la^- 1/^^^l^
r!!L,(,1 l\ePdr.r
f. Fakultas/Jurusan Perikanan/ Manajemen Sumberdaya Perairan
Jumlah Tim Peneliti

2 (dua) orang
. ・

Lokasi Kegiatan Kabupaten Banjar


Waktu Program 5 (lima) buian


Bia.ya Rn ls0 000 000 - (Seratrrs I.ima PLrluh .TLrta


Rupiah)

Banjarbaru, 12 Desember. 2010

lvlengetahui
Peneliti,

Drs, E. Sofyan Asli Ir. ka Iriadenta, MSi


STIP 19680823 199303 1 003

Bandung, M.S.
223 1980031002
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................ 4
1.3. Sasaran .................................................................................................................... 4
1.4. Indikator Kinerja ........................................................................................................ 5
1.4.1. Manfaat .......................................................................................................... 5
1.4.2. Keluaran ......................................................................................................... 6
1.4.3. Dampak .......................................................................................................... 6
BAB II LINGKUP KAJIAN KEGIATAN ........................................................................................ 7
2.1. Lingkup Kajian Studi ................................................................................................. 7
2.2. Cakupan Materi Dan Metode ..................................................................................... 7
BAB III HASIL KEGIATAN ....................................................................................................... 19
3.1. Hasil Pengamatan Lapangan.................................................................................. 19
3.1.1. Kualitas Air........................................................................................................... 19
3.1.2. Kualitas Lahan.............................................................................................. 31
3.1.3. Neraca Air .................................................................................................... 34
3.1.4. Interaksi Antar Parameter Terhadap Lingkungan Void ................................. 34
3.1.5. Pengamatan Terhadap Kehidupan Biota Akuatik ................................ 38
3.2. Hasil Perlakuan Lapangan ...................................................................................... 42
3.2.1. Introduksi Ikan ..................................................................................................... 42
3.2.2. Introduksi Tanaman Air ................................................................................ 43
3.2. Substansi/Resume Hasil Pengamatan.................................................................... 42
BAB IV KAJIAN ALTERNATIF .................................................................................................. 47
4.1. Pengelolaan ........................................................................................................... 48
4.1.1. Pertimbangan-Pertimbangan Faktual Bagi Pengelolaan Void ............................. 48
4.1.2. Rehabilitasi Kualitas Air Void........................................................................ 50
4.1.3. Rehabilitasi Kualitas Lahan Sekitar Void ...................................................... 55
4.2. Pemanfaatan .......................................................................................................... 57
4.2.1. Pemanfaatan Void bagi Kehidupan/Budidaya Ikan ...................................... 58
4.2.2. Pemanfaatan Void Bagi Sumberdaya Air ..................................................... 59
4.2.3. Pemanfaatan Void Bagi Pengendali Bencana .............................................. 60
4.2.4.. Pemanfaatan Void BagiKegiatan Wisata/Ekowisata ................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 65
LAMPIRAN ................................................................................................................................ 67
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

3.1. Kondisi Parameter Kualitas Air Pada Studi Pendahuluan ………… 13


3.2. Pengamatan Kualitas Air Periode 1 (bulan Juli 2010) ………………20
3.3. Pengamatan Kualitas Air Periode 2 (bulan Oktober 2010) ………...22
3.4. Volume Void PD. Baramarta ………………………………………… 34
3.5. Hasil Pengamatan Plankton …………………………………………..38
3.6. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Indeks Keanekaragaman .....41
3.7. Kandungan logam berat pada beberapa ikan uji ……………………44
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

2.1. Peta Lokasi Studi dan Lingkungan Sekitarnya ……………………. 13


2.2. Peta Lokasi Studi Void ………………………………………........... 14
3.1 Sampling Site Kualitas Air ............................................................. 21
3.2. Erosi Lahan di Sekitar Kawasan Void .......................................... 33
3.3. Kondisi lahan di sekitar kawasan void yang masih relatif
terbuka sangat rentan terhadap erosi ............................................ 34
3.4. Volume Air dan Elevasi Kawasan Void ......................................... 37
3.5. Daun eceng gondok sebagian layu dan menguning ..................... 44
4.1. Peta Rencana Penataan Inlet dan Outlet Void ………………….. 51
4.2. Model Desain Penataan Lingkungan Void ……………………….. 61
4.3. Model Desain Rencana Pemanfaatan Badan Air Void …………. 62
Bab 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan

pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan sektor penyumbang devisa

negara yang signifikan. Batubara merupakan energi alternatif yang sangat dibutuhkan

pada masa sekarang dan akan datang. Selaras kebutuhan energi bagi pembangunan,

aktivitas eksploitasi batubara juga meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun demikian kegiatan pertambangan yang tidak dilaksanakan secara tepat dapat

menimbulkan dampak negatif, antara lain berpotensi menyebabkan degradasi lahan dan

perairan di sekitarnya serta peluang konflik sosial.

Tanah yang dibongkar saat penambangan kemudian akan dipindahkan ke areal

tertentu, untuk kemudian di kemudian hari diharapkan dapat dikembalikan lagi ke tempat

asalnya. Sering terjadi lahan yang sebelumnya bukit setelah tanahnya dibongkar berubah

menjadi lembah, atau lahan yang sebelumnya lembah lalu ditimbun menjadi bukit. Hal ini

menyebabkan stabilitas lingkungan berubah dan tanah mudah longsor. Cara ini

berpotensi menimbulkan kerusakan lahan, antara lain terjadinya perubahan sifat tanah,

munculnya lapisan bahan induk yang produktivitasnya rendah, timbulnya lahan masam

dan garam-garam yang dapat meracuni tanaman, rusaknya bentang alam, serta

terjadinya erosi dan sedimentasi maupun dampak turunan terhadap ekosistem perairan

sekitar. Pada tanah timbunan yang dibiarkan terbuka sering terjadi erosi yang hebat

karena air yang jatuh akan cepat mengalir di permukaan tanah. Erosi selanjutnya

menimbulkan masalah sedimentasi maupun cemaran di badan-badan air penerima. Di

sisi lain, limbah cair pertambangan batu bara selain berpotensi bersifat asam, juga

berpeluang mengandung senyawa yang dikategorikan bahan beracun berbahaya (B3),

termasuk kemungkinan logam-logam beracun dan bersifat karsinogenik seperti arsenic,

merkuri, kromium, boron, selenium dan nikel. Dari aspek teknologi, hal ini mungkin dapat
dikelola untuk meminimalkan dampaknya. Namun, penambangan batu bara secara

terbuka juga akan memunculkan lubang-lubang galian yang relatif dalam dan luas.

Salah satu hasil sekaligus potensi masalah dari akhir penambangan adalah risiko

terbentuknya sisa lubang galian yang tidak dapat tereklamasi seperti kondisi rona awal

akibat defisit overburden. Secara logis, hal ini sebenarnya memang sangat berpeluang

terjadi berdasarkan stripping ratio yang diaplikasikan, karena sebagian batuan (dalam hal

ini adalah endapan batubara) telah diambil. Upaya pengambilan batuan atau tanah urug

dari kawasan lain juga tentu akan menimbulkan masalah baru.

Sisa lubang bekas galian tambang tersebut pada akhirnya akan menjadi kawasan

tampungan air larian maupun air hujan karena biasanya posisi kondisi topografi menjadi

cenderung lebih rendah dan struktur tanah memadat dan atau sulit diresapi air. Dalam

perkembangannya, lahan ini akan tergenang air dan makin berkembang mengalami

perubahan menjadi perairan baru di kawasan tersebut. Dengan demikian, cepat ataupun

lambat, akan terjadi tahapan perubahan lahan dari terestrial bekas tambang menjadi

perairan semacam danau buatan dan akhirnya seiring waktu akan mengalami suksesi

ekologis bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Mencermati fakta yang terjadi, diperlukan kajian yang mendalam terhadap lahan

eks tambang yang berubah menjadi sumber daya perairan, khususnya kajian ekologis

menyangkut kehadiran dan dampaknya terhadap ekosistem sekitarnya. Dalam hal ini,

suksesi void yang akan berkembang menjadi ekosistem perairan tergenang masih

menyimpan berbagai pertanyaan menyangkut keberadaannya yang sangat mungkin

belum pernah ada sebelumnya di kawasan tersebut, bagaimana kondisi dan atau proses

serta senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya termasuk efeknya terhadap

kehidupan di dalam dan di sekitarnya. Pada sisi lain, keberadaan void diperkirakan juga

berpeluang akan memberikan kontribusi positif solusi alternatif upaya pengelolaan

reklamasi tambang secara logis/rasional, serta berpeluang dapat mendukung siklus

hidrologis kawasan, keberhasilan revegetasi lahan dan suksesi kawasan.

2
Substansi penting dari urgensi kajian ini adalah bukan merupakan dalih perusahaan

pertambangan yang melakukan eksploitasi/penambangan batubara untuk meninggalkan

lubang-lubang tambang sehingga seolah-olah meninggalkan tanggung jawab atas

kebijakan reklamasi tambang, namun yang sangat penting adalah diperlukannya tindakan

logis dan rasional atas risiko aktivitas penambangan sebagaimana juga telah dikaji dalam

AMDAL yang telah disetujui sebelumnya. Salah satu risiko tersebut adalah adanya risiko

defisit overburden akibat aplikasi stripping ratio yang diimplementasikan meskipun

tindakan reklamasi telah optimal dilakukan. Akibatnya, akan terbentuk sisa lubang galian

yang jika tetap diupayakan untuk ditutup/direklamasi akan menimbulkan dampak penting

lain dari sumber-sumber pengambilan material urug dari kawasan lain, yang memang

relatif besar diperlukan.

Mencermati bahwa solusi alternatif atas kendala penting tersebut adalah tindakan

identifikasi dan inventarisasi yang perlu dilakukan, bagaimana mengelola eks lubang

tambang tersebut (void) yang jika nantinya akan menjadi sumberdaya perairan,

diharapkan memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tidak merugikan baik bagi

masyarakat sekitar maupun bagi ekosistem kawasan secara komprehensif, dengan tetap

berpegang pada kewaspadaan atas risiko keamanan dan kesehatan masyarakat.

Harapan lain dari kajian void ini adalah kontribusi perusahaan bagi masyarakat

sekitar kawasan untuk mendapatkan sumber daya air yang memiliki nilai ekonomis,

sekaligus nilai ekologis bagi keberlangsungan siklus hidrologis dalam kaitan dengan

penyediaan air untuk berbagai fungsi/peruntukan bagi masyarakat, serta peluang

pemanfaatan pengendalian banjir.

Berdasarkan pertimbangan dan harapan itulah, maka sangat diperlukan kajian yang

mendalam terhadap void, terlebih pada kawasan yang telah mengalami suksesi, guna

mendapatkan kepastian layak atau tidaknya secara ilmiah pemanfaatan sumber daya

perairan buatan yang terbentuk tersebut, dan tindakan pengelolaan yang dibutuhkan.

3
Pengelolaan dan pengembangan sumber daya perairan memerlukan konsepsi,

perencanaan, dan operasi fasilitas – fasilitas untuk mengkaji risiko pemanfaatannya

ataupun pengoptimalan pemanfaatannya. Sumber daya perairan memiliki berbagai

potensi dan karakteristik yang beragam. Perencanaan yang didasarkan pada pemahaman

atas potensi, peluang, risiko dan kendala yang seksama merupakan hal penting untuk

mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya perairan yang aman maupun optimal nilai

gunanya, yang mungkin akan sangat dibutuhkan di masa sekarang dan mendatang.

1.2. Tujuan

1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi jenis, karakteristik dan sifat perairan yang

terbentuk dari void/lubang eks tambang yang menjadi perairan.

2. Peluang dan risiko void saat menjadi sumber daya perairan potensial dan aktual untuk

berbagai peruntukan/fungsi, khususnya bagi masyarakat sekitar kawasan dalam

relevansinya dengan pola peluang pengembangan ekonomi masyarakat.

3. Mengidentifikasi permasalahan/kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber

daya perairan tersebut berdasarkan identifikasi, inventarisasi dan evaluasi sumber

daya perairan.

4. Merumuskan model pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

perairan sesuai dengan jenis, karakteristik dan potensinya.

5. Melakukan kajian peluang usaha pemanfaatan sumberdaya air, yang dapat dikelola

menjadi sumber pendapatan daerah secara ekonomis, efektif dan efisien berpeluang

untuk dikembangkan lebih lanjut secara bijak dan lestari sebagai sumber unggulan,

khususnya berkonsep pemberdayaan masyarakat berbudidaya perikanan (culture

based fisheries).

1.3. Sasaran

Informasi tersebut diperlukan dan akan menjadi fakta aktual dalam menyusun

program pasca tambang, menyangkut keberadaan dan langkah pengelolaan perairan void

4
dan atau sumber daya perairan yang berkelanjutan, yang berlandaskan kewaspadaan

keamanan dan risiko kesehatan yang tinggi, serta norma ekologis dan konservasi untuk

kesinambungan pemanfaatannya melalui pendekatan yang komprehensif.

Keuntungan lainnya, revitalisasi potensi perairan berpeluang menjadikan Kabupaten

Banjar mengembangkan produksi perikanan unggulan melalui konsep culture based

fisheries.

1.4. Indikator Kinerja

1.4.1. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah diketahuinya secara jelas, valid dan

realistis peluang dan risiko pemanfaatan void eks tambang (risiko dampak faktual

penambangan) sebagai sumber daya perairan dan sumberdaya perikanan, baik yang

aktual maupun potensial untuk dipertahankan dan dikembangkan sekaligus sebagai pilot

project pemanfaatan void pada kegiatan pertambangan yang merupakan implementasi

dari Rencana Penutupan Tambang (RPT).

1.4.2. Keluaran

1. Pengelolaan void sebagai bahan pertimbangan kebijakan pasca tambang yang logis

dan realistis menjadi alternatif sumberdaya perairan dan perikanan, dengan upaya

strategis yang ekonomis bagi masyarakat di satu sisi, dan memberikan manfat ekologis

di sisi pelestarian lingkungan.

2. Rekomendasi sebagai tindak lanjut pengelolaan terbentuknya void sebagai dampak

penambangan menjadi salah satu sumberdaya perairan.

3. Pilot project model reklamasi pada kegiatan pertambangan utamanya bagi

pemanfaatan dan pengembangan void sebagai sumberdaya perairan.

4. Implementasi dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) yang dapat di aplikasikan

di masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya air void.

5
1.4.3. Dampak

Kegiatan ini diprediksikan akan memberikan dampak positif bagi :

1. Efektivitas pengelolaan void di lingkungan kawasan pertambangan, pada tahap pasca

penambangan.

2. Terselenggaranya tindak lanjut kegiatan pengelolaan dan penataan lahan pasca

penambangan, khususnya terkait potensi keberadaan sumber daya perairan dan

peluang usaha perikanan secara terencana dan efektif.

3. Penularan teknologi dalam pemanfaatan void sebagai sumberdaya perairan

6
Bab 2 LINGKUP KAJIAN KEGIATAN

2.1. Lingkup Kajian Studi

Lingkup kegiatan studi dibatasi pada prioritas kajian:

1. Kondisi kualitas air void (salah satu void eks penambangan batubara PD. Baramarta,

sebagai hasil reklamasi pasca tambang lebih dari 5 tahun yang lalu) yang terletak

pada koordinat:

I:

 304064,27 mT

 9645029,41 mS

II:

 304073,66 mT

 9644971,14 mS

III:

 304770,55 mT

 9645039,20 mS

IV:

 304699,52 mT

 9645096,29 mS

2. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan kehidupan biota akuatik

3. Kelayakan kualitas air void bagi peruntukan budidaya akuatik/perikanan

4. Rekomendasi pengelolaan kualitas air void

2.2. Cakupan Materi dan Metode

Cakupan materi dan metode kegiatan ditetapkan berdasarkan informasi awal sebagai

berikut.

- Luas void yang menjadi perairan


- Berbatasan dengan kegiatan aktivitas tambang, jalan, reklamasi tambang, kebun, dan

lahan terganggu lainnya.

- Kondisi air limpasan

- Topografi setempat dan kawasan sekitar.

Berdasarkan pengalaman pengamatan lapangan terhadap kondisi void, dapat diperoleh

prediksi deskripsi awal lokasi sebagai berikut

1. Kawasan void masih dipengaruhi oleh dampak aktivitas dari luar, termasuk limpasan

air yang diperkirakan dari run-off kawasan reklamasi sekitar yang masih belum optimal

direhabilitasi, yang secara visual memiliki kekeruhan relatif tinggi (khususnya saat

hujan), yang dapat menyebabkan terus berlangsungnya proses sedimentasi terhadap

lingkungan perairan void, sehingga dapat secara dinamis memberikan kontribusi

pendangkalan dan peluang suksesi danau di masa depan.

Hal ini ditunjang oleh posisi kawasan yang diperkirakan merupakan area dengan

kontur terendah pada kawasan tersebut, sehingga menjadi arah limpasan/tampungan

air bersama muatan material di dalamnya dari kawasan sekitar.

Kondisi kualitas air permukaan perairan diperkirakan terdapat dua kondisi berupa

perairan dengan kondisi keasaman yang tinggi, dan di sisi lain terdapat kemungkinan

kondisi perairan dengan kondisi alkalis. Hal ini biasa ditandai dengan tingkat

kesadahan yang tinggi (kondisi air tidak berbusa dengan proses penyabunan),

sehingga perlu pengujian kualitas air secara representative untuk memastikannya.

Di sisi lain, kapasitas void mungkin saja tidak mampu menampung lagi limpasan air di

sekitarnya, terutama di musim hujan sehingga terjadi overflow ke luar kawasan, dan

dapat menjadi salah satu sumber aliran cemaran.

Dalam hal ini topografi/kontur kawasan serta posisi kawasan terhadap aktivitas

sekitarnya perlu diperhatikan. Diprediksikan pada bentangan perairan akan menerima

efek yang berbeda atas pengaruh dari luar, yang tentunya akan berpengaruh pula

terhadap proses-proses di dalam badan air termasuk proses sedimentasi di dalamnya.

2
2. Perairan void memiliki kedalaman yang relatif dalam jika ditelusuri dari riwayat

penambangan, yang berarti dapat menimbulkan stratifikasi perairan akibat

pembatasan penetrasi cahaya dan beda suhu, serta konsekuensi ekologis ekosistem

di dalamnya. Stratifikasi suhu menimbulkan risiko kemungkinan terjadinya fenomena

overturn antar massa air dan material yang akan terbawa pada pelapisan air yang

terjadi.

3. Selain itu secara horizontal diperkirakan kondisi kualitas airnya juga akan berbeda,

atau dapat terjadi kecenderungan zonasi perairan secara horizontal, sehingga

dipandang perlu untuk diamati sebaran kondisi kualitas air secara horizontal.

4. Keanekaragaman flora dan fauna bisa saja cukup beragam, namun masih

memerlukan kajian lebih lanjut.

Kegiatan di atas memerlukan pengumpulan data/informasi primer, berupa

penetapan sampel dan/atau penelusuran sampel di lapangan dan analisis laboratorium,

serta pengumpulan data/informasi sekunder dari beberapa sumber; seperti laporan

penelitian/pemantauan terdahulu, laporan instansi/lembaga yang relevan, serta kajian

komprehensif maupun spesifik.

Keseluruhan rancangan kegiatan di atas merupakan langkah-langkah strategis

dalam upaya revitalisasi sumberdaya perairan, yang tentunya merupakan kajian-kajian

yang memerlukan curahan waktu, tenaga, biaya serta kualifikasi tenaga ahli spesifik untuk

mencapai tujuan kegiatan.

Tahap I

a. Penetapan Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air kajian adalah:

1. Memperhatikan asal usul perairan yang merupakan limbah cair penambangan

batubara, maka parameter kualitas air ditetapkan mengacu pada KepMen LH No. 113

Tahun 2003

3
Parameter utama limbah tambang batubara

Parameter Satuan Kadar Maksimum


pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4

2. Mempertimbangkan rencana peruntukan sumberdaya air, parameter kualitas air

ditetapkan mengacu pada PP 82 Tahun 2001 (ada pengurangan beberapa parameter)

KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
FISIKA
oC deviasi deviasi Deviasi temperatur dari
Tempelatur deviasi 3 deviasi 5
3 3 keadaan almiahnya
Residu
mg/ L 1000 1000 1000 2000
Terlarut
Bagi pengolahan air
minum secara
Residu
mg/L 50 50 400 400 konvesional, residu
Tersuspensi
tersuspensi  5000 mg/
L
KIMIA ANORGANIK
Apabila secara alamiah
di luar rentang tersebut,
pH 6-9 6-9 6-9 5-9 maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
BOD mg/L 2 3 6 12
COD mg/L 10 25 50 100
DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum
Total Fosfat
mg/L 0,2 0,2 1 5
sbg P
NO 3 sebagai
mg/L 10 10 20 20
N
Bagi perikanan,
kandungan amonia
NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) bebas untuk ikan yang
peka  0,02 mg/L
sebagai NH3
Arsen mg/L 0,05 1 1 1
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium mg/L 1 (-) (-) (-)
Boron mg/L 1 1 1 1
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01

4
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
Bagi pengolahan air
minum secara
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2
konvensional, Cu  1
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)
konvensional, Fe  5
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1
konvensional, Pb  0,1
mg/L
Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005
Bagi pengolahan air
minum secara
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2
konvensional, Zn  
mg/L
Khlorida Mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)
Bagi pengolahan air
Nitrit sebagai minum secara
mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)
N konvensional, NO2_N 
1 mg/L
Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)
Bagi ABAM tidak
Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-)
dipersyaratkan
Bagi pengolahan air
Belereng minum secara
mg/L 0,002 0,002 0,002 (-)
sebagai H2S konvensional, S
sebagai H2S <0,1 mg/L
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, fecal
-Total coliform  2000 jml /
jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 100 ml dan total
coliform
coliform  10000
jml/100 ml
-RADIOAKTIVITAS
- Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1
- Gross-B Bq /L 1 1 1 1
KIMIA ORGANIK
Minyak dan
ug /L 1000 1000 1000 (-)
Lemak
Detergen
sebagai ug /L 200 200 200 (-)
MBAS

5
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
Senyawa
ug /L 1 1 1 (-)
Fenol
sebagai
Fenol
BHC ug /L 210 210 210 (-)
Aldrin /
ug /L 17 (-) (-) (-)
Dieldrin
Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-)
DDT ug /L 2 2 2 2
Heptachlor
ug /L 18 (-) (-) (-)
dan
heptachlor
epoxide
Lindane ug /L 56 (-) (-) (-)
Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-)
Endrin ug /L 1 4 4 (-)
Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-)

6
Lokasi Studi

Gambar 2.1. Peta Lokasi Studi dan Lingkungan Sekitarnya

7
Lokasi Studi

Gambar. 2.2. Peta Lokasi Studi Void

8
3. Mempertimbangkan adanya kehidupan biota akuatik dan habitat ekosistem perairan

serta kemungkinan pemanfaatan atau dampak terhadap biota akuatik tersebut maka

parameter biologi ditetapkan sebagai berikut

a. Plankton

b. Benthos

c. Pisces/ikan

b. Lokasi Pengambilan Sampel (Sampling Site)

Mencermati luasan dan kedalaman perairan, dengan memperhatikan kemungkinan

pengaruh eksternal yang berbeda serta stratifikasi perairan yang terjadi, maka sampling

site ditetapkan:

1. Secara horisontal, perairan terbagi dalam beberapa zonasi atas pertimbangan

pengaruh lingkungan eksternal

2. Secara vertikal, perairan berpeluang terjadi stratifikasi, paling tidak terbagi atas zona

penetrasi cahaya (fotik), zona nir-penetrasi cahaya (disfotik).

c. Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (Sampling Collection)

Pengukuran dan atau Pengambilan sampel (air dan biota akuatik):

1. Pengukuran sampel di lapangan dilakukan untuk parameter in situ, sedangkan

pengambilan sampel dilakukan atas parameter non-in situ

2. Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan sesuai standar pengambilan sampel

3. KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan

Pengambilan Contoh Air Permukaan

4. Sampel air diambil secara komposit menggunakan ketentuan SNI dengan nomor

kelompok 13.060.10.

d. Penanganan dan Pengawetan Sampel (Handling and Preservation)

Penanganan dan pengawetan sampel dilakukan sesuai prosedur standar untuk parameter

kualitas air yang bersangkutan.

9
e. Analisis Sampel (Sample Analysis)

Analisis sampel dilakukan dengan metode standar sesuai parameter kualitas air yang

bersangkutan.

Antara lain: KepMenLH No. 37 Tahun 2003 tentang Metoda Analisis Kualitas Air

Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan

f. Interpretasi Hasil Analisis (Interpretation)

Interpretasi hasil analisis dilakukan secara cermat secara deskriptif/naratif maupun grafis

bernarasi sesuai capaian tujuan kegiatan.

Referensi dalam interpretasi hasil analisis antara lain adalah:

 KepMen LH No. 113 Tahun 2003

 PP 82 Tahun 2001

 Peraturan Menteri Kesehatan No. 173/MENKES/PER/VIII/77 tentang

Pengendalian Pencemaran Air untuk Penggunaan yang Berhubungan dengan

Kesehatan Masyarakat.

 Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kuali-

tas Air Minum

 Peraturan Gubernur dan Bupati setempat

f. Kebutuhan alternatif kajian sesuai kondisi wilayah studi

Beberapa kajian alternatif dapat dilakukan sebagai kajian pendukung untuk mencapai

tujuan studi ini, antara lain:

1. Perlakuan introduksi biota akuatik terhadap perairan void.

2. Pengaruh kualitas air void terhadap biota akuatik introduksi.

3. Peluang perairan void bagi kegiatan budidaya perairan.

10
Tahap II (Rencana Kegiatan Lanjutan)

Secara umum, orientasi kegiatan pada tahap II tidak akan terlepas dari hasil yang

diperoleh pada pelaksanaan kegiatan tahap sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis dan

interpretasi data kegiatan tahap awal akan diperoleh gambaran kondisi riil perairan dan

kelayakan fungsi peruntukannya.

Tahap III (Rencana Kegiatan Lanjutan)

Secara umum, dari hasil analisis dan interpretasi data kegiatan tahap I dan II akan

diperoleh implementasi model pengelolaan void dan hasil uji coba lapangan terhadap

biota air.

2.3. Tahap Pelaksanaan / Steps Of Implementation

Kegiatan ini dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan / Prepairing

a. Pembentukan Tim Independen Pelaksana Kegiatan yang terdiri dari instansi/lembaga

yang dianggap relevan dan memiliki kompetensi terhadap tujuan kegiatan.

Dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya air, sebagai hasil/dampak

penambangan yang antara lain diprediksikan akan menghasilkan lubang tambang, maka

salah satu instansi teknis yang dilibatkan adalah Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Banjar. Dalam hal ini, hasil pengamatan menjadi bahan pertimbangan teknis

bagi instansi yang bersangkutan guna pengembangan pemanfaatan sumberdaya air

berorientasi budidaya perairan, jika pada akhir tambang masih ditemukan lubang

tambang yang tidak tereklamasi.

b. Persiapan/Penunjukan Tim Teknis Pendamping

Tim teknis pendamping melibatkan langsung staf dari PD. Baramarta, guna melihat

langsung kegiatan pengamatan di lapangan.

c. Penyusunan Jadwal Pelaksanaan dan Pembagian Kerja Tim.

11
Jadwal kegiatan disusun secara tentatif diselaraskan dengan tahapan dan tujuan

kegiatan.

2. Tahap Pelaksanaan / Implementations

- Persiapan survei lapangan; (a) penyusunan dan pembagian tugas tim kerja, (b)

desain survei, (c) kelengkapan administrasi, (d) inventarisasi dan penentuan skala

prioritas.

- Penelusuran data sekunder yang relevan.

- Penetapan kawasan sampling

- Survei lapangan

- Analisis hasil survei dan penelusuran data sekunder, kompilasi data.

- Pengolahan dan analisis data

- Drafting Laporan Akhir; Penyusunan hasil dan Rekomendasi serta Pembuatan Peta.

- Diskusi/Presentasi dan penyempurnaan Laporan Akhir.

- Penyelesaian Laporan Akhir.

12
Bab 3 HASIL KEGIATAN

3.1. Hasil Pengamatan Lapangan

3.1.1. Kualitas Air

Kegiatan ini dilakukan dalam berbagai tahapan, selaras dengan tujuan yang akan

dicapai. Pada tahap awal dilakukan pengamatan pendahuluan kualitas air void sesaat

yang menjadi target pengamatan, yang diperoleh hasilnya sebagai berikut.

Tabel. 3.1. Kondisi Parameter Kualitas Air Pada Studi Pendahuluan

Keterangan
No Parameter Satuan Hasil Pengukuran Baku Mutu* Keterangan**
Lain

1 TSS mg/l 55 200 M Kondisi


perairan relatif
2 pH 5,1 6-9 TM surut, waktu
3 COD mg/l 29,12 100 M sampling pukul
4 Mn mg/l 4,80 2-4 TM 13.47

5 SO4 mg/l 630,88 -


6 Fe mg/l 0,113 5-7 M
7 Hg mg/l 0,043 0,002 TM
* ) Baku Mutu Limbah Cair (Pergub No. 036/2008)
**) M = memenuhi baku mutu; TM = tidak memenuhi baku mutu
Sumber: Sampling lapangan, Mei 2010

Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan beberapa parameter kualitas air (pH,

Mn, SO4, Hg) terukur tidak memenuhi ketentuan baku mutu. Kondisi ini disebabkan oleh:

1. Perairan void tersebut merupakan perairan tertutup (relatif tergenang) bekas

penambangan batubara, dimana lapisan tanah telah terdedah sehingga mineral-

mineral batuan yang sebelumnya tersimpan di dalam tanah dalam menjadi terpapar

langsung dengan udara dan air yang berisiko menyebabkan terjadinya oksidasi

senyawa mineral yang dapat menurunkan kualitas air. Potensi ini lebih didorong lagi

oleh sisa deposit mineral tambang yang tidak terangkut sebelum tergenang.

2. Input perairan void terutama berasal dari curah hujan dan cathment area sekitar dan

ditambah lagi zat-zat yang merupakan resultan dari aliran air yang masuk, serta tidak

terdapat outlet sehingga perairan relatif tergenang . Kondisi ini menyebabkan proses

1
pencucian lahan oleh badan air menjadi terhambat dan mempengaruhi kualitas badan

air void .

Pengamatan kualitas air selanjutnya dilakukan secara periodik selama kegiatan

berlangsung. Hasil pengamatan/pengukuran sampel air disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.2. Pengamatan Kualitas Air Periode 1 (bulan Juli 2010)


Parameter Hasil Pengukuran Satu- Kelas
1A 1B 2A 2B 3A 3B an I II III IV
oC
Temperatur 31,0 31,0 29,4 29,5 30,5 29,6 deviasi deviasi deviasi deviasi
3 3 3 5
Kecerahan 323 326 398 398 250 250 cm
Kedalaman 15,1 15,1 30,9 30,9 24,4 24,4 m
TDS 105,3 169,8 99,5 139,2 69,1 135,4 mg/l 1000 1000 1000 2000
TSS 16 20 11 14 30 52 mg/l 50 50 400 400
pH 5,96 5,25 5,62 5,52 5,61 5,24 6-9 6-9 6-9 5-9
BOD 6,5 10,8 6,7 11,9 7,1 13,2 mg/l 2 3 6 12
COD 20,12 25,11 20,12 25,23 23,15 29,35 mg/l 10 25 50 100
DO 5,4 3,4 6,0 3,8 6,0 4,0 mg/l 6 4 3 0
Total Fosfat 0,004 0,003 0,004 0,002 0,005 0,001 mg/l 0,2 0,2 1 5
sbg P
NO3 2,0 0,8 1,5 0,4 1,7 0,3 mg/l 10 10 20 20
sebagai N
NH3-N 0,15 0,59 0,18 0,70 0,16 0,71 mg/l 0,5 (-) (-) (-)
Arsen 0,002 0,008 0,003 0,005 0,002 0,006 mg/l 0,05 1 1 1
Kobalt Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 (-) (-) (-)
Boron Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 1 1 1
Selenium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium 0,00001 0,00003 0,00003 0,00004 0,00001 0,00002 mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) 0,00006 0,00010 0,00005 0,00008 0,00003 0,00006 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01
Tembaga 0,038 0,057 0,046 0,068 0,019 0,038 mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2
Besi 0,059 0,094 0,064 0,085 0,051 0,065 mg/l 0,3 (-) (-) (-)
Timbal 0,0012 0,0035 0,0025 0,0017 0,0035 0,0029 mg/l 0,03 0,03 0,03 1
Mangan 0,00013 0,00031 0,00015 0,00031 0,00013 0,00028 mg/l 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa 0,00001 0,00002 0,00002 0,00003 0,00002 0,00003 mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005
Seng 0,0127 0,0215 0,0155 0,0239 0,0134 0,0251 mg/l 0,05 0,05 0,05 2
Khlorida 3,71 8,46 4,27 10,15 3,16 7,26 Mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,5 1,5 1,5 (-)
Nitrit 0,002 0,17 0,005 0,25 0,002 0,18 mg/l 0,06 0,06 0,06 (-)
sebagai N
Sulfat 56 100 39 168 28 139 mg/l 400 (-) (-) (-)
Khlorin 0,001 0,003 0,001 0,002 0,003 0,004 mg/l 0,03 0,03 0,03 (-)
bebas
H2S 0,0003 0,0012 0,0004 0,0016 0,0002 0,0013 mg/l 0,002 0,002 0,002 (-)
Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air

2
2
1
3

Gambar. 3.1. Sampling Site Kualitas Air

3
Tabel 3.3. Pengamatan Kualitas Air Periode 2 (bulan Oktober 2010)
Parameter Hasil Pengukuran Satu- Kelas
1A 1B 2A 2B 3A 3B an I II III IV
oC
Temperatur 31,2 31,2 29,6 29,6 31 29,1 deviasi devias deviasi deviasi
3 i3 3 5
Kecerahan 320 320 390 390 240 240 cm
Kedalaman 15,1 15,1 30,9 30,9 24,4 24,4 m
TDS 103,6 168,7 98,3 137,8 68,9 130,5 mg/l 1000 1000 1000 2000
TSS 18 22 13 18 35 55 mg/l 50 50 400 400
pH 6,08 6,16 5,91 5,73 5,87 5,48 6-9 6-9 6-9 5-9
BOD 6,1 10,6 6,4 11,6 6,5 12,6 mg/l 2 3 6 12
COD 19,69 21,20 19,31 23,48 22,72 28,78 mg/l 10 25 50 100
DO 5,6 3,5 6,1 3,8 6,3 4,0 mg/l 6 4 3 0
Total Fosfat 0,003 0,002 0,002 0,001 0,003 0,001 mg/l 0,2 0,2 1 5
sbg P
NO3 1,8 0,7 1,4 0,3 1,5 0,2 mg/l 10 10 20 20
sebagai N
NH3-N 0,12 0,52 0,14 0,67 0,13 0,61 mg/l 0,5 (-) (-) (-)
Arsen 0,001 0,007 0,002 0,005 0,001 0,007 mg/l 0,05 1 1 1
Kobalt Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 (-) (-) (-)
Boron Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 1 1 1 1
Selenium Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium 0,00001 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 mg/l 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) 0,00005 0,00009 0,00004 0,00007 0,00002 0,00006 mg/l 0,05 0,05 0,05 0,01
Tembaga 0,034 0,055 0,042 0,061 0,013 0,036 mg/l 0,02 0,02 0,02 0,2
Besi 0,057 0,092 0,062 0,082 0,049 0,063 mg/l 0,3 (-) (-) (-)
Timbal 0,0011 0,0032 0,0024 0,0012 0,0031 0,0027 mg/l 0,03 0,03 0,03 1
Mangan 0,00013 0,00029 0,00014 0,00027 0,00012 0,00026 mg/l 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa 0,00001 0,00002 0,00002 0,00003 0,00001 0,00003 mg/l 0,001 0,002 0,002 0,005
Seng 0,0125 0,0212 0,0152 0,0232 0,0131 0,0243 mg/l 0,05 0,05 0,05 2
Khlorida 3,68 8,41 4,21 10,12 3,12 7,24 mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida 0 0 0 0 0 0 mg/l 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd Ttd mg/l 0,5 1,5 1,5 (-)
Nitrit 0,002 0,14 0,004 0,21 0,001 0,11 mg/l 0,06 0,06 0,06 (-)
sebagai N
Sulfat 21 98 36 159 24 137 mg/l 400 (-) (-) (-)
Khlorin 0,001 0,004 0,001 0,002 0,002 0,004 mg/l 0,03 0,03 0,03 (-)
bebas
H2S 0,0002 0,0010 0,0003 0,0013 0,0001 0,0011 mg/l 0,002 0,002 0,002 (-)
Keterangan: Stasiun 1A,2A,3A = permukaan air, Stasiun 1B,2B,3B = bawah air

Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan meskipun status air di lingkungan void

masih mengandung beberapa senyawa/unsur yang dapat membahayakan bagi

kesehatan manusia, namun masih dapat di toleransi untuk kelayakan kehidupan biota

akuatik. Hanya saja efek senyawa/unsur beracun (toksik) tersebut masih perlu dikaji lebih

mendalam terkait dengan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan,

dan/atau terhadap organ ikan maupun kelayakannya jika dikonsumsi oleh manusia.

Indikator Parameter Pencemaran Perairan

Pengelolaan lingkungan perairan void diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk

menilai perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya

atau tidak. Mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga

4
dalam hal kualitas harus baik. Dalam usaha pengendalian pencemaran perairan void

sangat diperlukan informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di

perairan tersebut.

Indeks mutu lingkungan perairan (IMLP) secara umum dapat digunakan untuk

memonitor status kualitas air secara menyeluruh sebagai dasar dalam pengambilan

kebijakan pengelolaan perairan. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang

disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai

keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003).

Suhu

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, posisi lintang (latitude) ketinggian

dari permukaan air laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara penutupan awan, dan

aliran serta startifikasi kedalaman suatu perairan. Perubahan suhu membawa dampak

nyata terhadap proses fisika, kima dan biologi perairan. Peningkatan suhu berakibat

peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan

suhu air berakibat penurunan kelarutan gas dalam air seperti O2, CO2, N2, dan CH4.

Organisme akuatik memiliki rentang suhu (batas toleransi) tertentu (batas atas dan batas

bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya.

Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi

organisme air, misalnya gas O2, CO2, H2,CH4, dan sebagainya (Effendi, 2003). Selain itu,

peningkatan suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi

organisme air, yang mengakibatkan peningkatan konsumsi O2,. Peningkatan suhu

perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi O2 oleh organisme

akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat, disertai dengan penurunan kadar O2 terlarut sehingga

keberadaan O2 tidak memenuhi kebutuhan O2 bagi organisme akuatik untuk melakukan

proses metabolisme dan respirasi. Proses fotosintesis berjalan melalui mekanisme

enzimatis, sehingga berlangsung pada rentang suhu tertentu. Kenaikan suhu akan

memacu enzim mengkatalis proses fotosintesis, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan

5
menyebabkan degradasi enzim dan penghambatan fotosintesis (Folkowski and Raven,

1997).

Berdasarkan hasil dari analisis dilapangan, suhu perairan studi berkisar antara

29,1 oC – 31,2 oC, Penurunan suhu secara vertikal dari permukaan sampai pada

kedalaman 12-15 m terlihat relatif kecil yaitu berkisar 10C vertikal. Kondisi ini menunjukan

bahwa sampai pada kedalaman 12-15 m perairan tersebut mengalami stratifikasi, tetapi

tidak terjadi termoklin. Secara keseluruhan suhu perairan masih cukup layak untuk

menunjang kehidupan biota air dan masih dalam keadaan normal dan masih dalam

Deviasi 3 (deviasi temperatur dari keadaan alamiah) sesuai dengan Baku Mutu Air

Klasifikasi Kelas tiga, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk

pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau

peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut

(Pergub Kalsel Nomor 5 Tahun 2007 dan PP Nomor 82 Tahun 2001).

Kecerahan

Kecerahan perairan menurut Parson et al. (1963) menunjukkan kemampuan

cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan

berperan penting karena erat kaitannya dengan aktivitas fotosintesis dan produktifitas

perairan. Sebagian besar ikan yang dalam menentukan arah renang dan mencari makan

menggunakan mata memerlukan kondisi kecerahan tertentu pula.

Kecerahan air tergantung dari warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran

transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk.

Nilai ini dipengaruhi oleh keadaan cuaca, padatan tersuspensi, waktu pengukuran dan

ketelitian.

Berdasarkan hasil dari analisis di lapangan, kecerahan di wilayah perairan studi

berbeda-beda pada tiap titik sampling hal ini disebabkan pengaruh dari faktor lumpur

yang beasal dari erosi dan run off, ketika waktu pengamatan terjadi densitas hujan

sedang sehingga pada stasiun 1 dan 3 ada aliran air dari samping dan dinding void yang

6
membawa sedikit lumpur, sedangkan pada stasiun stasiun 2 terletak di tengah perairan

void yang tidak terdapat pengaruh dari peristiwa tersebut. Kondisi ini menunjukan bahwa

pada umumnya tiap kedalaman yang berbeda nilai produktivitas juga berbeda,

disebabkan adanya pengaruh intensitas sinar matahari yang diterima perairan. Besar

intesitas sinar matahari akan menurun dengan bertambahnya kedalaman yang akan

menurunkan pula aktivitas fotosintesis tanaman berklorofil, sehingga nilai produktivitas

perairan juga akan menurun. Dengan demikian produktivitas pada lapisan permukaan

akan lebih besar daripada lapisan dibawahnya akan tetapi, menurut Welch dan Lindell

(1980), Wetzel (1983) dan Odum (1993), intensitas sinar matahari yang besar dapat

terjadi pada permukaan perairan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan laju

fotosintesis fitoplankton. Apabila terjadi, maka nilai produktivitas pada lapisan permukaan

di perairan void lebih kecil daripada lapisan di bawahnya.

Kedalaman

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 3.2 dan 3.3 kedalaman perairan pada

stasiun pengamatan di wilayah studi berkisar antara 15,1 m – 30,9 m. Kedalaman

perairan pada lokasi studi berbeda-beda pada tiap stasiun/kontur tanah dasar tidak rata

atau bergelombang. Kedalaman perairan yang paling dalam terletak pada stasiun 2 yaitu

30,9 m dan yang paling kecil/ surut adalah pada stasiun 1 yaitu 15,1 m. Perbedaan

stratifikasi membawa lambatnya proses biodegradasi unsur logam terutama pada

kedalaman yang memiliki sifat disfotik karena mengandalkan reaksi oleh bakteri anaerob.

Total Suspended Solid (TSS)

Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan

tersuspensi (diameter > 1 mikro meter) yang tertahan pada saringan milipore dengan

diameter pori 0,45 mikro meter. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad

renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan

air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air.

Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas

7
primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan

rantai makanan.

Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua

cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air,

sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya.

Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara

langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring

oleh insang. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air,

sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga

semakin meningkat dan peningkatan kandungan padatan tersuspensi dalam air dapat

mengakibatkan penurunan kedalaman eufotik, sehingga kedalaman perairan produktif

menjadi turun (Nybakken,1992).

Untuk keperluan perikanan, Pemerintah menetapkan kriteria baku mutu air dari

kandungan padatan terlarut tidak lebih dari 1500 mg/l, serta 1000 mg/l bagi peruntukan

golongan B. BBAT Dirjen Perikanan (1988) menyebutkan kriteria air yang baik untuk

ikan mempunyai muatan suspensi antara 25-400 ppm, sedangkan Alabaster and Lloyd

(1980) di dalam Abel (1989) menjelaskan bahwa perairan yang mengandung padatan

tersuspensi lebih dari 80 mg/l tidak mendukung bagi keperluan perikanan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel diatas, padatan tersuspensi total (TSS)

dari 13 mg/l – 55 mg/l dengan demikian untuk semua stasiun tidak melebihi batas baku

mutu air untuk perikanan, dan mendukung untuk kegiatan perikanan.

Derajat Keasaman (pH)

Kadar asam atau basa yang ada dalam larutan ditunjukkan dengan pH, melalui

konsentrasi atau aktivitas ion hidrogen (H+). Ketersediaan ion H+ selalu dalam keadaan

dinamis dengan air (H2O) yang membentuk suasana bagi kelangsungan semua reaksi

kimia yang bersangkutan dengan masalah pencemaran air dan kehidupan makhluk air

(Alaerts dan Santika, 1984). Nilai pH berkisar antara 0 - 14. Perairan yang netral memiliki

pH 7, sementara perairan di bawah pH 7 bersifat asam dan di atas 7 bersifat basa. Kadar

8
senyawa - senyawa seperti CO2, N, P dapat dikendalikan oleh pH (Goldman and Horne,

1983). Hampir semua jenis ikan pada pH di bawah 4 dan di atas 9 menurut Brown (1987)

tidak mampu bertahan hidup. Jenis-jenis ikan yang lebih peka, tidak mampu bertahan

hidup pada pH di bawah 5 dan di atas 8. Pescod (1973) mengungkapkan bahwa toleransi

organisme perairan terhadap pH sangat bervariasi, tergantung faktor-faktor lain di

antaranya kandungan oksigen terlarut, alkalinitas dan berbagai anion atau kation serta

jenis dan stadia organisme. Boyd (1988) memberikan kisaran 6,5 – 9 untuk kondisi yang

baik bagi produksi ikan, > 9 tingkat alkalis yang mematikan, < 6 menyebabkan

pertumbuhan lambat. pH 5 merupakan tingkat keasaman yang mengakibatkan tidak ada

reproduksi. Air yang mempunyai keasaman pada pH 4 dan kebasaan pada pH 11

merupakan titik kematian bagi ikan.

Berdasarkan hasil pengukuran pH pada tabel xx diatas kisaran pH pada perairan

wilayah studi antara 5,73 – 6,28. Pada pH tersebut ikan masih bisa bertahan hidup,

sesuai dengan pendapat Boyd (1988) yang menyatakan kebanyakan perairan alami

memiliki pH antara 5 – 10 dengan frekwensi terbesar antara 6,5 – 9,0

Oksigen Terkarut (DO atau Dissolved Oxygen)

Berdasarkan pengamatan terhadap masing-masing stasiun didapatkan data seperti

tabel 3.2 dan 3.3 diatas, DO pada stasiun 1A untuk air permukaan adalah 5,6 mg/l dan

1B untuk air dasar adalah 3,5 mg/l. DO pada stasiun 2A untuk air permukaan adalah 6,10

mg/l dan 2B untuk air dasar adalah 3,8 mg/l. DO pada stasiun 3A untuk air permukaan

adalah 6,3 mg/l dan 3B untuk air dasar adalah 4,0 mg/l.

Dari hasil pengamatan di atas terlihat perbedaan antara stasiun A (air permukaan)

dan B (air dasar) terlihat perbedaan yang cukup signifikan, hal ini karena dipengaruhi oleh

faktor startifikasi kedalaman. Kandungan DO rata-rata pada ke enam titik sampling

berkisar antara 3,5 mg/l – 6,3 mg/l merupakan kandungan aman untuk pelaksanaan

keperluan perikanan dan pertanian (Kelas III) berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 dan

Pergub Nomor 5 Tahun 2007, karena DO hasil pengamatan diatas 3 mg/l. Sedangkan

batas baku mutu minimal untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) adalah

9
minimal 3 mg/l. Menurut indikator status kualitas air Lee et al. (1978), kandungan oksigen

terlarut pada lingkungan perairan void berada dalam status tercemar ringan hingga

sedang.

Keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, turbulensi

air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu,

kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer, penyebab utama berkurangnya kadar

oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat

mengkonsumsi oksigen. Sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen

terlarut berkurang adalah limbah organik.

Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme

ikan dan organisme lainnya yang dihasilkan dari proses fotosintesa fitoplankton dan

makrofita. Kelarutan di dalam air dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan biologis perairan.

Dengan demikian perubahan pada faktor-faktor tersebut menyebabkan perubahan

oksigen terlarut yang pada gilirannya memberikan dampak negatif terhadap organisme air

(Wardoyo, 1981).

Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand atau COD)

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter kimia air pada masing-masing

stasiun (tabel 3.2 dan 3.3). Untuk stasiun A (air permukaan ) nilai COD berkisar antara

19,31 mg/l – 22,72 mg/l dan untuk stasiun B (air dasar) COD berkisar antara 21,20 mg/l –

28,78 mg/l. Nilai COD Dari semua stasiun pengamatan menunjukkan tidak melebihi

batas minimum baku mutu air untuk kegiatan Perikanan dan Peternakan (Kelas III) PP

Nomor 82 Tahun 2001 dan Pergub Nomor 5 Tahun 2007 , yaitu nilai COD tidak melebihi

50 mg/l. Jadi Void Baramarta bisa digunakan untuk kegiatan perikanan dan peternakan di

tinjau dari nilai COD perairannya.

Menurut Effendi (2003), perairan yang memiliki nilai COD tinggi sangat tidak

diinginkan bagi kepentingan pertanian dan perikanan. Nilai COD pada perairan yang

tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan pada perairan yang tercemar

10
dapat lebih dari 200 mg/l. Pengamatan terhadap COD ini menunjukkan bahwa rata – rata

nilai COD pada perairan pengamatan lebih dari 20 mg/l yang berarti perairannya tercemar

dan semakin kedasar perairan nilai COD semakin menurun fenomena ini menunjukkan

bahwa masih banyak senyawa anorganik yang belum di reduce oleh mekanisme sistem

alamiah void karena terbatasnya unsur oksigen dan cahaya. Hal ini dipastikan karena

perairan pengamatan merupakan lahan bekas kegiatan tambang batubara. Tetapi nilai

COD pada perairan void ini masih bisa digunakan untuk kegiatan Perikanan dan

Peternakan.

Nilai COD menunjukkan ukuran pencemaran air oleh zat organik secara alamiah

dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan mengakibatkan berkurangnya

oksigen yang terlarut dalam air. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan konsentrasi

bahan organik dalam air dan meningkatnya BOD5. Makin tinggi nilai BOD5 dan COD

suatu perairan maka semakin besar pula kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan dalam

proses biologis dan kimiawi sehingga akan mengurangi ketersediaan oksigen terlarut.

Logam Berat dalam Perairan

Pencemaran perairan void berasal dari point source (internal) yang merupakan acid

mine drainage (AMD) bekas galian tambang batubara (floor) yang mengandung PAF

(Pembentuk Asam Potensial)/NAF (Pembentuk Non Asam) yang berdasarkan berat jenis

partikulatnya telah mengendap di dasar perairan akibat terisi debit air yang terus menerus

sehingga lebih dominan debit air yang berasal dari presipitasi. Berikutnya pencemaran

void berasal dari non point source (eksternal) yang berasal dari run off dan erosi

permukaan karena lingkungan merupakan zonasi tambang batubara, ke-2 sumber

tersebut turut mengkontribusi dan menyusun struktur kualitas air di lingkungan void.

Unsur logam, termasuk logam berat ditemukan pula dalam batubara. Namun kandungan

logam sangat bervariasi tergantung kepada lokasi tambang batubara.

Greenfield, Bell dan Gohschlich (2002) dikemukakan bahwa batubara mengandung

logam sulfida yang jika berada dalam air akan teroksidasi. Akibatnya terjadi penurunan

pH air, munculnya sulfationik dan pelarutan logam ionik dalam air penerima. Dalam

11
sedimen akan terbentuk endapan Fe, proses yang kompleks terjadi oksidasi FeS2

Fe2+, kemudian oleh bakteri Ocidopholic dan Thiobacillus ferrooxidans diubah menjadi

Fe3+ dan dalam keadaan oksigen mencukupi terbentuknya endapan Fe(OH)3 dalam

sedimen. Sedimen yang tinggi pada suatu perairan akan merupakan salah satu faktor

yang mengurangi produktivitas perairan. Dalam padatan terkandung berbagai logam berat

yang dapat larut dan terikat dalam sedimen sehingga berbahaya bagi makhluk hidup.

Sedimen dan padatan terlarut dalam air mempengaruhi warna air, sifat transparansi yang

berpengaruh pada produktivitas dan juga berhubungan dengan kualitas air.

Pemicu timbulnya senyawa logam-logam berat tersebut berasal dari acid mine

drainage (AMD) berupa cairan yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida,

terutama pirit (FeS2) yang menghasilkan asam sulfat (Sexstone et al., 1999). Dengan

tingkat kemasamannya yang tinggi, AMD dapat melarutkan mineral-mineral lain dan

melepaskan kation-kation, seperi Fe, Mn, Al, Cu, Zn, Cd, Ni, dan Hg. Apabila terbawa ke

sumber air, AMD dapat mendegradasi produktivitas biologis sistem akuatik tersebut. Pada

kondisi parah, maka air menjadi tidak aman konsumsi dan penggunaan-penggunaan yang

lain, seperti irigasi, industri, dan rekreasi (Widdowson, 1990).

Berdasarkan data pengamatan kualitas air void (tabel 3.2 dan 3.3) terlihat jelas

unsur-unsur logam tersebut terdeteksi baik di periode Juli 2010 maupun Oktober 2010,

nampak tidak terjadi penurunan yang signifikan (0,0001 pada parameter timbal dan Hg

tidak berubah) dalam rentang waktu tersebut dimana unsur logam dibawah air terukur

lebih tinggi daripada dipermukaan. Artinya dengan tetap membiarkan void dalam kondisi

saat ini (alamiah) diperlukan waktu yang sangat lama untuk merecovery kondisi void

untuk berbagai kepentingan pemanfaatan sumberdaya perairan void.

Kesuburan Perairan Void

Kesuburan perairan mekanisme alamiah secara umum disebabkan pengkayaan

oleh unsur hara yang dibawa oleh aliran air dari hasil pencucian lapisan tanah permukaan

dan limbah organik. Proses masuknya hara ke badan perairan dapat melalui dua cara

yaitu: (1) penapisan air drainase lewat pelepasan hara tanaman terlarut dari tanah; dan

12
(2) lewat erosi permukaan tanah atau gerakan dari partikel tanah halus masuk ke sistem

drainase. Berdasarkan hasil pengamatan mekanisme alamiah ke-2 telah berlangsung di

perairan void terutama saat presipitasi, sedangkan mekanisme ke-1 masih belum

berlangsung.

Berdasarkan trofik level (tingkat kesuburan) void di lokasi studi dapat

diklasifikasikan oligotrofik dicirikan dengan dengan kadar hara rendah (miskin unsur

hara), biasanya memiliki perairan yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar

dibandingkan dengan bagian epilimnion. Semakin dalam ekosistem void semakin tidak

subur, tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya

tinggi. Indikator lain untuk menentukan trofik (kesuburan) suatu perairan dapat dinyatakan

berdasarkan kandungan total fosfat (TP) yang terlihat pada ke-2 periode bernilai < 5 mg/l.

Berdasarkan mekanisme alamiah dari kondisi void di zona perairan dasar lebih

banyak terjadi proses anoksik sehingga denitrifikasi yaitu reduksi nitrat berjalan optimal

pada kondisi anerob (tak ada oksigen). Kondisi anaerob di sedimen membuat proses

denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-rata 1 mg l-1 hari-1. Kadar nitrogen yang

tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara tak terkendali

(blooming) di lokasi void yang airnya berwarna kehijauan. Fenomena peningkatan unsur

nitrat nampak jelas apabila dibandingkan dengan unsur P terutama yang berada di dasar.

3.1.2. Kualitas Lahan

Secara umum keadaan lahan sekitar kawasan void yang diamati di wilayah

pengamatan pertambangan PD. Baramarta memperlihatkan tingkat kemiringan yang

agak curam yaitu sekitar  15-25%, dan sebagian relatif agak datar yaitu  3-5%. Melihat

keadaan demikian bahwa sebagian wilayah pengamatan mempunyai kemiringan yang

13
agak curam sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan sangat berpengaruh terhadap

penurunan produktivitas tanah. Tetapi sebagian lahan sudah ditutupi oleh seresah atau

sisa-sisa tanaman serta tanaman penutup sehingga bermanfaat mencegah

dan/menurunkan risiko erosi, dikarenakan seresah-seresah dan tanaman penutup lainnya

tersebut dapat melidungi tanah permukaan dari daya timpa butir-butir hujan, dan

melindungi tanah permukaan tersebut dari daya kikis aliran air permukaan yang dapat

berakibat terjadinya erosi alur yang akhirnya terjadi erosi parit.

Meskipun demikian kenyataannya masih terlihat ada terjadinya erosi yaitu erosi

parit di sebagian wilayah pengamatan dengan kedalaman  20 cm dan lebar  20 cm,

dengan kedalaman  80 cm dan lebar  60 cm serta kedalaman  15 cm dan lebar  20

cm. Hal ini menunjukan bahwa masih ada lahan yang perlu pengelolaan lebih serius. Di

lahan-lahan tersebut terlihat lereng yang agak curam dan masih sedikitnya tanaman

penutup permukaan tanah sehingga menjadikan terkikisnya tanah permukaan akibat

masih adanya aliran air permukaan yang dapat menghanyutkan tanah tersebut. Keadaan

demikian harus cepat ditanggulangi karena dikhawatirkan akan berakibat lebih meluasnya

erosi akibat terkikisnya tanah terbawa oleh aliran air.

Dalam usaha untuk mencegah atau mengendalikan erosi ini, hendaknya

diperhatikan beberapa faktor seperti iklim, tanah, kemiringan, vegetasi penutup dan

kegiatan manusia. Dari faktor-faktor tersebut dapat ditentukan usaha pengendalian erosi

dengan berdasarkan prinsip-prinsip, yaitu memperbesar resistensi tanah sehingga daya

rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil

dan memperbesar kapasitas infiltrasi sehingga lajunya aliran permukaan dapat dikurangi.

Meskipun demikian, mengingat sebagian kedalaman void masih relatif dalam

(mencapai >30m), yang dapat berakibat terjadinya stratifikasi suhu perairan beserta

implikasinya dalam sistem akuatik, dan maka teori yang masih terjadi di sekitar

lingkungan void dapat dipertimbangkan menjadi:

- erosi yang diharapkan

- erosi yang tidak diharapkan

14
Gambar. 3.2. Erosi lahan di sekitar kawasan void

15
Gambar. 3.3. Kondisi lahan di sekitar kawasan void yang masih relatif terbuka
sangat rentan terhadap erosi

3.1.3. Neraca Air

Perhitungan volume void PD. Baramarta dari berbagai elevasi terukur ditunjukkan

pada tabel 3.4 berikut.

No Elevasi (m dpl) Luas (m2) Volume (m3)


1 -18,068 21.498,99 40.990.418,51
2 0 68.854,06 81.013.162,67
3 18,377 112.006,66 120.883.876,60
4 36,599 173.029,05 159.539.541,98
5 46,438 272.260,99 179.809.529,54

Berdasarkan perhitungan curah hujan rerata kawasan studi, potensi volume aliran

masuk rerata maksimal dari catchment area seluas sekitar 729.505,93 m2 diperhitungkan

sebesar 1.864.355,07 m3/tahun atau sekitar 5.178,76 m3/hari (Gambar 3.4). Namun di

tahun 2010 volume ini diperhitungkan meningkat sekitar 5-10% akibat peningkatan

fekuensi hujan oleh fenomena kemarau basah.

16
Kondisi saat pengamatan adalah di elevasi -18,068 m dpl, saat dimana air relatif

surut meski tidak dalam kondisi surut terendah. Perhitungan terhadap kondisi surut

terendah tidak dapat dilakukan karena perubahan iklim yang menunjukkan

kecenderungan kemarau basah, dimana frekuensi hujan masih relatif tinggi ketika

dilakukan pengamatan pada bulan musim kemarau.

Kedalaman perairan saat pengamatan pada kisaran 0-31 meter, yang diprakirakan

akan semakin dalam pada bulan-bulan musim hujan

3.1.4. Interaksi Antar Parameter Terhadap Lingkungan Void

Interaksi antar parameter lingkungan perairan membentuk suatu fenomena sistem

alamiah yang menyertai void oligotrofik berupa overturn dan blooming algae yang

membawa dampak bagi lingkungan perairan void. Adanya stratifikasi kedalaman yang

membawa implikasi pada perubahan suhu yang ekstrim berada di dasar perairan

membawa sirkulasi masa air dari dasar sampai ke permukaan (pembalikan massa air)

akibat perbedaaan kerapatan suhu massa air yang sering terjadi di musim penghujan,

fenomena ini berdampak buruk bagi biota perairan yang tidak mampu bertahan terhadap

unfortunetly conditions tersebut. Mekanisme ini terjadi di lingkungan perairan sebagai

bentuk adaptasi terhadap ekosistem lingkungan yang marginal dan memiliki stratifikasi

kedalaman yang tinggi.

Warna perairan void kehijau-hijauan merupakan fenomena blooming alga

pengganggu atau dominasi oleh ledakan populasi (kelimpahan sel > 5.000 sel/mL), alga

atau lebih tepat dinamakan Cyanobacteria umumnya tidak dapat atau sulit dicerna ikan,

beberapa di antaranya menghasilkan toxic (racun) bagi organisme lainnya. Dominasi

fitoplankton ini membawa dampak pada rendahnya kesuburan perairan sehingga unsur-

unsur Nitrogen dan Fosfor yang membangun dan unsur protein yang berasal dari

senyawa Carbon.

Adanya blooming algae akan berdampak terhadap gangguan ekosistem perairan

seperti penurunan kualitas air, kematian ikan secara massal dan sebagainya. Mekanisme

kematian ikan massal karena adanya blooming algae. Pada kondisi blooming alga,

17
tingkat kecerahan perairan menjadi rendah dan kandungan oksigen menjadi tinggi yang

diperoleh melalui proses fotosintesis. Proses selanjutnya terjadi penyusutan alga dan

pengendapan alga yang sudah mati. Pada fase ini kecerahan perairan meningkat

kembali. Alga yang mati mengalami pembusukan, jumlah bakteri meningkat dan terjadi

penurunan oksigen karena dimanfaatkan bakteri pada proses dekomposisi alga tersebut.

Adanya proses pengadukan kolom perairan oleh angin, maka oksigen yang rendah pada

kolom dalam perairan naik keatas dan menyebabkan kematian ikan secara masal.

Distribusi secara vertikal perairan void menunjukkan adanya nilai yang meningkat

pada kolom yang lebih dalam dan dasar perairan. Kondisi ini dapat dipahami karena

mineral dan material anorganik cenderung terakumulasi pada kolom perairan yang lebih

dalam dan dasar perairan. Distribusi kecerahan di void menunjukkan tingginya kecerahan

pada kolom atas perairan yakni pada permukaan perairan sampai kedalaman 3 m, yang

disebabkan oleh tingginya kelimpahan fitoplankton di kolom tersebut. Demikian juga

distribusi vertikal kandungan DO menunjukkan tingginya kandungan oksigen pada kolom

permukaan yang diperoleh dari proses fotosintesis fitoplankton yang melimpah pada

kolom tersebut dan penurunan yang sangat tajam pada kedalaman.

18
Gambar 3.4. Volume Air dan Elevasi Kawasan Void

19
3.1.4. Pengamatan Terhadap Kehidupan Biota Akuatik

a. Umum

Pengamatan secara visual terhadap kehidupan biota akuatik di dalam perairan wilayah

studi menunjukkan rendahnya biota yang teridentifikasi. Biota yang terlihat secara visual

hanya jenis-jenis serangga air.

b. Plankton dan Benthos

Hasil pengamatan sampel plankton dan benthos ditunjukkan pada tabel 3.5. berikut.

Phytoplankton
No Phyllum Genera St- I St-II St-III
Phytoplankton
1 Cyanophyta Oscillatoria - - 250

2 Chlorophyta Gonatozygon 140 140 90


Zygnema 30 450 -

3 Chrysophyta
Melosira - - 60
Nitzchia sp - 70 -
Streptotheca 40 30 20
Synedra - 70 -
Kelimpahan (sel/liter) 210 760 420
Indeks Keanekaragaman 0,8642 1,1888 1,0619
Indeks Keseragaman 0,7866 0,7387 0,7660
Indeks Dominansi 0,5011 0,4030 0,4229
Jumlah Takson 3 5 4

Zooplankton
No Phyllum Genera St - I St - II St – III
Zooplankton
1 Protozoa Cryptomonadida 70 160 140
Oikomonas 60 - -
Favella - - 50

2 Aschelminthes Notholca 70 - 130


Brachionus 10 - -

3 Crustacea Nauplius 20 - 30
Kelimpahan (sel/liter) 230 160 350
Indeks Keanekaragaman 1,4233 0,0000 1,2229
Indeks Keseragaman 0,8844 0,0000 0,8822
Indeks Dominansi 0,2628 1,0000 0,3257
Jumlah Takson 5 1 4
No Phyllum Genera St - I St - II St – III
Benthos
1 Insecta Chironomus - 44 -

Kelimpahan (sel/liter) 0 44 0
Indeks Keanekaragaman 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Keseragaman 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Dominansi 0,0000 1,0000 0,0000
Jumlah Takson 0 1 0

Terra (1971) dan Suess (1982) menyatakan fitoplankton dapat digunakan sebagai

indikator kualitas air. Indikator air bersih antara lain Melosira islandia, sedang indikator air

tercemar menurut Wasitodi (1985) antara lain adalah Microcystis deruginosa. Kolkwitz

(1967) juga menemukan genera Oscillatoria, Euglena dan Protococcus pada perairan

tercemar.

Beberapa jenis organisme akuatik tertentu dapat dimanfaatkan sebagai indikator

tingkat pencemaran suatu lingkungan perairan (bioindikator), berdasarkan perilaku atau

karakteristik tertentu yang dimilikinya maupun responnya pada keadaan tertentu.

Bioindikator menurut Kovacs (1992) di dalam Tandjung (1995) adalah organisme atau

populasi yang keberadaannya, vitalitasnya dan responnya berubah di bawah dampak

kondisi lingkungan. Untuk itu bioindikator harus terdapat dalam jumlah cukup/melimpah

dan menunjukkan reaksi spesifik terhadap lingkungan. Suatu organisme dapat digunakan

sebagai indikator apabila mempunyai sifat predominan dan karakteristik atau predominan

dan eksklusif. Kendeigh (1980) memberikan beberapa sifat dasar spesies indikator,

meliputi:

1. sifat predominan; jumlah spesies tersebut mencapai 10% dari komunitas.

2. karakteristik; banyak ditemukan pada suatu komunitas tetapi sedikit ditemukan pada

tempat lain, dengan perbandingan 1,9 : 1

3. eksklusif; spesies tersebut hanya terdapat pada suatu komunitas.

Fitoplankton yang ditemukan pada beberapa stasiun pengamatan adalah jenis

Oscillatoria, Gonatozygon, Zygnema, Melosira, Nitzchia sp, Streptotheca, Synedra,

21
sedangkan dari kelompok zooplankton dari jenis Cryptomonadida, Oikomonas, Favella,

Notholca, Brachionus, Nauplius untuk jenis Benthos adalah Chironomus. Ditemukannya

jenis genera Oscillatoria pada perairan void tersebut memberikan indikasi bahwa perairan

tersebut dikategorikan perairan tercemar (Kolkwitz, 1967).

Berdasarkan kelimpahan fitoplankton, Lund di dalam Hisbi (1987) membagi tingkat

kesuburan perairan atas 3 kategori utama:

1. kelimpahan > 40 X 106/m3 termasuk perairan subur.

2. kelimpahan 0,1 X 106 - 40 X 106/m3 termasuk kasuburan sedang.

3. kelimpahan < 0,1 X 106/m3 termasuk perairan kurang subur.

Kelimpahan fitoplankton hasil pengamatan berkisar antara 210 – 760 sel/liter, sedangkan

kelimpahan zooplankton berkisar 160 – 350 sel/liter. Perairan dengan kelimpahan

demikian mempunyai kesuburan sedang.

Melimpahnya kehadiran fitoplankton dapat dikaitkan oleh adanya perubahan faktor

fisik dan kimiawi perairan seperti stabilitas kolom air dan keseimbangan nutrien (HARRIS

1986). REYNOLDS dalam HARRIS (1986) memberikan contoh suatu matrik kelompok

jenis-jenis fitoplankton sebagai suatu fungsi dari nutrien (unsur hara) dan pengadukan

kolom air.

Teori informasi Indeks Keanekaragaman dalam ekologi perairan diperlukan untuk

mengukur tingkat keteraturan/ketidak teraturan dalam sistem. Indeks Keanekaragaman

(Index of Diversity) menurut Suess (1982) merupakan nilai numerik dari jumlah individu

spesies yang berlainan dalam suatu komunitas terhadap jumlah total populasi semua

spesies yang diperoleh. Populasi dan variasi jenis spesies dipengaruhi intensitas limbah

pencemar. Indeks Keanekaragaman menurut Tandjung (1995) digunakan untuk

mengukur stress di dalam lingkungan, dimana:

1) Lingkungan yang tidak tercemar

a) ditandai sejumlah besar spesies

b) tanpa satu spesies mayoritas pada komunitas

22
c) diversitas maksimum tercapai bila sejumlah besar spesies terdapat dalam jumlah

relatif rendah dalam komunitas.

2) Lingkungan yang terkena stress

a) ditandai tereliminasinya spesies sensitif sehingga kekayaan komunitas tereduksi

b) spesies-spesies tertentu yang bertahan berpeluang untuk berkembang akibat

reduksi kompetisi dan predasi, sehingga jadi melimpah dibanding anggota

komunitas lain.

Menurut Odum (1993) fungsi Shanon-Wiener atau indeks H merupakan satu indeks

yang terbaik untuk membuat pembandingan dimana seseorang tidak berminat untuk

memisahkan komponen-komponen keanekaragaman karena hal ini tidak tergantung

pada besarnya contoh, yang berarti sedikit contoh diperlukan untuk memperoleh

indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan.

Klasifikasi kondisi perairan menurut Indeks Keanekaragaman dapat ditunjukkan

dalam Tabel berikut :

Tabel 3.6. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Nilai Indeks Keanekaragaman

NO INDEKS KRITERIA KUALITAS AIR PUSTAKA


KEANEKARAGAMAN
1 > 3 Air Bersih
1 - 3 Setengah Tercemar Wilhm dan Dorris (1966)
< 1 Tercemar Berat
2 3,0 - 4,5 Pencemaran Sangat Ringan
Pencemaran Ringan Staub et al. (dalam
2,0 - 3,0 Setengah Tercemar Wilhm, 1975)
1,0 - 2,0 Tercemar Berat
0,0 - 1,0
3 >2 Belum Tercemar
2,0 - 1,6 Tercemar Ringan Lee et al. Di dalam Tim
< 1,6 - 1,0 Tercemar Sedang KLH (1986)
<1 Tercemar Berat

Dominansi suatu jenis organisme terhadap organisme lainnya disebabkan

organisme bersangkutan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di

lingkungannya. Hawkes (1979) menyebutkan banyaknya bahan pencemar dalam

perairan akan mengurangi spesies yang ada dan meningkatkan populasi jenis yang tahan

terhadap kondisi perairan yang tercemar tersebut. Di samping itu, hilangnya organisme

23
yang mempunyai toleransi rendah dapat mengurangi persaingan ruang dan makanan.

Keadaan ini memacu blooming populasi yang masih bertahan.

Hasil perhitungan terhadap indeks keanekaragaman fitoplankton sebesar 0,8642 –

1,1888 dan zooplankton sebesar 0,0000 – 1,4233. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

perairan void tersebut dalam kategori setengah tercemar hingga tercemar berat.

Ditemukannya zooplankton dari filum protozoa mengindikasikan kondisi lingkungan

yang toksik, karena sifatnya yang sangat sensitif terhadap toksik dibanding bakteria.

Mikroorganisme ini sangat baik sebagai indikator dari lingkungan anaerob (beberapa

protozoa masih mampu bertahan hidup tanpa ada oksigen selama 12 jam).

3.2. Hasil Perlakuan Lapangan

3.2.1. Introduksi Ikan

Ikan

Penebaran ikan nila dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan dan

keberlangsungan hidup biota air yang hidup dalam lingkungan perairan tersebut. Hasil

penebaran ikan nila ke dalam lingkungan perairan void menunjukkan tidak ditemukan ikan

yang mati setelah ditebar di dalam badan air void. Ikan ini memiliki toleransi yang relatif

tinggi terhadap kondisi kualitas air void, yang ditunjukkan dengan kemampuannya tetap

bertahan hidup dengan tingkat survival tinggi. Meskipun demikian, kondisi ini tidak dapat

digeneralisasikan begitu saja bagi semua jenis ikan, karena:

1. Ikan nila dikenal memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan tercemar.

2. Meskipun ikan ini bertahan hidup, namun belum dilakukan pengamatan terhadap

tingkat/laju pertumbuhannya selama hidup di dalam lingkungan perairan void (karena

memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat pertumbuhan ikan).

Dengan demikian belum dapat disimpulkan apakah ikan nila yang hidup di dalam

lingkungan perairan void tersebut dapat mencapai pertumbuhan normal.

3. Belum dilakukan pengamatan secara lebih detil terhadap proses bioakumulasi

senyawa beracun dalam tubuh ikan yang diintroduksi, untuk menetapkan kelayakan

24
konsumsinya (karena memerlukan waktu yang relatif lama untuk mengamati tingkat

akumulasi senyawa beracun dalam tubuh ikan, setidaknya hingga ukuran konsumsi).

Belum dapat disimpulkan/direkomendasikan kelayakan konsumsi ikan nila yang hidup

di dalam lingkungan perairan void tersebut.

3.2.2. Introduksi Tanaman Air

Introduksi tanaman air dilakukan dengan menempatkan jenis eceng gondok

(eichornia crassipes mart solms) ke dalam perairan void, karena jenis ini telah dikenal

memiliki kemampuan menyerap senyawa beracun pada badan air.

Hasil pengamatan terhadap uji coba introduksi tanaman air jenis eceng gondok

(eichornia crassipes mart solms) dengan densitas sekitar 20 individu/m2 menunjukkan

hasil bahwa tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik serta daun cenderung menguning

setelah 2 minggu ditebar di badan air void. Pada periode pengamatan berikutnya (1 bulan

kemudian), tumbuhan air tersebut tidak ditemukan lagi. Hal ini diakibatkan oleh:

1. Komunitas eceng gondok secara aktif menyerap senyawa beracun dalam air.

2. Pada batas yang tidak dapat ditoleransi oleh vegetasi tersebut, senyawa beracun

akan memberikan efek fisiologis pada sistem

3. Timbulnya kematian pada tumbuhan air mengindikasikan kapasitas optimal daya

biosorpsi vegetasi tersebut terhadap senyawa beracun telah terlampaui.

4. Jika dibiarkan terus, maka tanaman air ini lambat laun akan mati, dan tenggelam di

dasar perairan bersama bahan/senyawa beracun yang dikandungnya.

5. Senyawa beracun tersebut akan terikat menjadi sedimen di dasar perairan bersama

ikatannya di dalam bagian vegetasi yang tenggelam di dasar.

25
Gambar 3.5. Daun eceng gondok sebagian layu dan menguning

c. Pengukuran

Kadar Logam Berat pada Tubuh Ikan Terpajan

Pengukuran logam berat dalam tubuh ikan dilakukan terhadap ikan nila yang telah

dilepaskan ke badan air void. Hasil pengamatan terhadap unsur-unsur/senyawa dalam

tubuh ikan melalui analisis ekstraksi dan pengukuran logam berat menggunakan AAS,

dari ikan yang hidup selama rentang waktu tertentu dalam perairan void eks tambang

batubara disajikan sebagai berikut.

Tabel . 3.7. Kandungan logam berat pada beberapa ikan uji

Kandungan logam berat (mg/kg)


No. Sampel dan berat sampel
Hg Cd Cu Cr
1 (105 gram) Ttd Ttd 0,000012 Ttd
2 (94 gram) Ttd Ttd 0,000005 0,000002
3 (127 gram) 0,000020 Ttd 0,000008 0,000013
4 (89 gram) TTd 0,000013 0,000001 0,000001
5 (116 gram) 0,000015 Ttd 0,000014 Ttd
6 (92 gram) Ttd 0,000011 Ttd Ttd
7 (121 gram) 0,000011 Ttd Ttd 0,000018
8 Kontrol (116 gram) Ttd Ttd Ttd Ttd
Batas Maksimum dalam makanan (mg/kg)
Dirjen POM * 0,5 --- 20,0 2,0
SNI ** 0,5 0,1 --- 0,4
Baku Mutu Limbah Cair 0,02 0,05 2 0,5
Keterangan: Ttd = tidak terdeteksi
* = Sesuai dengan SK Dirjen POM No.03725/B/SK/VII/89 tanggal 10 Juli 1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan
** = Sesuai dengan SNI 01-2729.1-2006

26
Terdeteksinya logam berat pada tubuh ikan merupakan proses akumulasi dan

biomagnifikasi logam berat terutama metilmerkuri pada no sampel 3,5 dan 7 yang aktif

terhadap ikatan protein dalam tubuh ikan.

Logam berat dapat menimbulkan degradasi fisiologis organ tubuh ikan dalam

paparan tinggi dan lama (Lc). Dalam kegiatan ini tidak dilakukan analisis anatomi atau

fisiologis pada biota pengamatan, namun sebagai gambaran contoh, tingkat kerusakan

insang ikan mas (Cyprinus carpio L.) dipengaruhi oleh konsentrasi merkuri dan lamanya

waktu paparan logam berat terhadap ikan tersebut.

3.2. Substansi/Resume Hasil Pengamatan

Berdasarkan uraian di atas, maka hal-hal substansial yang perlu dicermati menyangkut

kondisi void secara umum dapat dibutiri sebagai berikut.

1. Dalam proses penggenangan selama 5 tahun lebih, void telah berkembang menjadi

ekosistem sumberdaya perairan.

2. Proses terbentuknya perairan di dalam lingkungan void masih belum diikuti dengan

perkembangan kondisi kualitas air yang optimal bagi manusia dan biota akuatik.

3. Perkembangan kualitas air void menuju kondisi yang lebih optimal terkendala oleh

lingkungan void yang tidak memiliki outlet

4. Fenomena interaksi antar parameter kualitas air dan biota air di void memerlukan

oksigen dalam jumlah besar sementara kondisi void yang inklusif sehingga diperlukan

teknologi untuk mempercepat proses recovery dengan model mengaplikasikan

teknologi aerasi.

5. Introduksi varitas ikan yang bernilai ekonomis dan mampu bertahan pada kadar

oksigen rendah, fenomena lingkungan void serta logam berat yang relatif tinggi.

6. Perbanyakan penebaran eceng gondok (echornia crassipers mart solms) di bagian

void dan Typha angustifolia pada bagian aliran run off serta penambahan tanaman

yang berfungsi sebagai cover crop.

27
7. Membiarkan erosi yang diharapkan (acceptable erosion) sebagai fenomena erosi

lahan untuk mempercepat masuknya unsur hara ke dalam perairan selain untuk

membentuk sedimentasi sehingga stratifikasi kedalaman void tidak ekstrim.

28
Bab 4 KAJIAN ALTERNATIF

Etika penambangan memberikan arah kebijakan bahwa pada prinsipnya kawasan

atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan pertambangan harus

dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif melalui langkah-langkah rehabilitasi

yang efektif. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk mencapai kondisi seperti

sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah disepakati dalam dokumen rencana

penutupan tambang (RPT) yang selaras dengan rencana tata ruang

Provinisi/Kabupaten/Kota. Kegiatan rehabilitasi dilakukan merupakan kegiatan yang terus

menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai pasca tambang.

Kebijakan pemanfaatan lahan eks tambang akan menetapkan aspirasi dan arahan

tingkat tinggi yang diperlukan perusahaan untuk penutupan tambang. Kebijakan ini

memuat komitmen tentang proses penutupan, keterlibatan pemangku kepentingan,

minimalisasi risiko terhadap lingkungan, memenuhi persyaratan peraturan, aspirasi sosial

dan masyarakat, serta upaya penyempurnaan yang berkesinambungan. Implementasi

kebijakan ini memungkinkan untuk mengantisipasi beberapa aspek turunan dari

penutupan tambang sejak awal pembentukan tambang, termasuk: penutupan sebagai

bagian dari perencanaan tambang, identifikasi risiko dan peluang untuk perencanaan

biaya dan keuangan yang dapat diandalkan, serta menentukan tujuan dan prinsip-prinsip

penggunaan lahan sesuai konsultasi dengan masyarakat maupun pemangku

kepentingan. Kesemua faktor ini menunjukkan perlunya rehabilitasi yang progresif dan

pertimbangan atas kebutuhan masyarakat yang terkena pengaruh penutupan tambang.

Sering terjadi kebijakan pada akhir penambangan kondisi lahan pasca tambang

harus dikembalikan seperti keadaan pada rona awal, dengan logika yang seolah-olah

mengabaikan hal-hal teknis yang pada kenyataannya akan sangat berpengaruh terhadap

kondisi lahan di masa pasca penambangan. Sebagai contoh, pada lahan tambang

dengan letak deposit yang relatif dalam, lapisan batubara yang tebal serta stripping ratio
yang besar maka sudah semestinya dapat diprediksikan kondisi lahan tersebut nantinya

dan perlu disepakati kebijakan yang perlu diterapkan pada proses penambangan yang

menghasilkan defisit overburden yang diakibatkan oleh volume batubara yang hilang dari

lapisan tanah pada lahan tersebut. Bukan hal yang mudah jika harus meratakan gunung

atau bukit-bukit di sekitar void tersebut agar lubang tersebut dapat tertutup kembali

secara sempurna. Void dapat didekati sebagai dampak rasional yang terjadi akibat

penambangan, jika disadari bahwa overburden yang digali di masa penambangan tidak

akan cukup untuk menutup void secara keseluruhan atau mengembalikan lahan seperti

kondisi semula pada rona awal.

Meskipun demikian, perlu upaya atau langkah kongkrit yang efektif di dalam

melaksanakan pengelolaan void dan lahan di sekitarnya, agar dampak yang telah terjadi

bagi lingkungan hidup tersebut dapat terkompensasi secara optimal.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap salah satu void hasil penambangan PD.

Baramarta sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya, maka arah pengelolaan void

yang perlu dilakukan secara efektif dapat dijelaskan sebagai berikut.

4.1. Pengelolaan

4.1.1. Pertimbangan-Pertimbangan Faktual Bagi Pengelolaan Void

1. Perairan yang Relatif Tergenang (Lentic Water)

Perairan void yang relatif tergenang memberikan risiko proses swapentahiran/proses

recovery/pemulihan kualitas air (self purification) yang berlangsung lambat, karena:

 Laju penggantian massa air void berlangsung lambat atau bahkan tidak terjadi

pergantian jika air tidak melimpas keluar void.

 Suplai oksigen yang terbatas akibat perairan tidak mengalir (difusi oksigen dari udara

berlangsung lambat karena hanya didominasi oleh difusi dari angin ke permukaan air),

 Proses pencucian bahan-bahan beracun dari badan air void berlangsung lambat atau

bahkan tidak dapat berlangsung, karena pergantian massa air terhambat,

 Tidak adanya proses recovery kualitas air (self purification) dari luar badan air yang

2
dapat membantu proses recovery kualitas air (self purification) dari badan air,

misalnya dengan penambahan zat kapur untuk menaikan pH perairan, penambahan

tanaman air yang dapat mengikat senyawa-senyawa yang berbahaya.

 Rendahnya unsur autochtonous yang menyebabkan rendahnya biomassa fitoplankton

di lingkungan void sehingga perairan mengalami anoxia, bahkan cenderung

mengalami blooming algae yang dapat membawa dampak mortalitas ikan meningkat

apabila di budidayakan spesies tersebut secara dominan dan kuantitas banyak.

2. Kedalaman Perairan yang Relatif Dalam

Kedalaman perairan yang relatif dalam (hingga > 30 m) memberikan peluang risiko:

 Potensi stratifikasi suhu perairan antar lapisan badan air.

 Setiap penurunan kedalaman 10 meter akan menimbulkan perubahan tekanan pada

air.

 Terjadinya fenomena overturn, jika terjadi perbedaan suhu ekstrim terutama musim

penghujan yang memicu fenomena tersebut. Akibat proses ini maka sedimen yang

mengandung bahan-bahan beracun dapat terangkat ke lapisan air di atasnya.

 Proses swapentahiran/proses recovery kualitas air (self purification) akan berlangsung

lambat

 Proses pengadukan dasar perairan dengan bantuan alat berat tidak bisa dilakukan

secara maksimal.

 Terbatasnya mekanisme fotosintesis sehingga perairan tergolong oligotrofik sehingga

miskin unsur hara.

 Meningkatnya unsur senyawa logam berat yang bersifat toxic sebagai akumulasi

senyawa yang memiliki massa jenis atom yang lebih tinggi yang sangat nyaman

berinteraksi dengan kondisi anaerob di dasar perairan.

 Adanya alga yang bersifat toxic terhadap lingkungan void akibat bioakumulasi dan

kondisi anaerob.

3
3. Erosi lahan

Proses erosi yang terjadi di sekitar kawasan void memberikan berbagai kondisi:

 Kontribusi sedimen hasil erosi yang masuk ke badan void akan mengakibatkan

terjadinya pendangkalan perairan. Proses pendangkalan ini di satu sisi tidak

diharapkan, karena dapat mengakibatkan terjadinya pendangkalan perairan dan dapat

menambah bahan-bahan beracun dari luar masuk ke badan air, yang dapat

menurunkan kesuburan perairan (kualitas air), tetapi di sisi lain juga dapat diharapkan,

apabila bahan-bahan yang masuk tersebut menganduk pupuk yang dapat

menyuburkan perairan (unsur hara).

 Proses pendangkalan ini di satu sisi tidak diharapkan tetapi di sisi lain juga dapat

diharapkan.

4. Sisa Deposit Batubara yang Tidak Ditambang

 Lapisan batubara yang telah tersingkap oleh penambangan mudah terpapar dan

teroksidasi sehingga membentuk senyawa asam. Karena sebagian kecil lapisan

batubara masih tertinggal dan terendam dalam perairan void, maka kontribusi hasil

oksidasi ini akan terus berlangsung dan memicu reaksi yang menghasilkan senyawa

asam, yang nantinya dapat meningkatkan reaksi bahan-bahan beracun yang lain dan

secara umum dapat menurunkan kualitas perairan void.

4.1.2. Rehabilitasi Kualitas Air Void

Sesuai dengan hasil kajian lapangan, beberapa alternatif tindakan pengelolaan kualitas

air void ditampilkan gambar 4.1 dan diuraikan berikut ini.

a. Membangun outlet bagi lingkungan perairan void

Ibarat menguras air kolam secara bertahap, membangun outlet bagi lingkungan

perairan void merupakan upaya agar terjadi sirkulasi dan pergantian massa air void, yang

bertujuan untuk terlaksananya pencucian lahan oleh massa air, untuk mempercepat

upaya peningkatan kualitas massa air void.

Outlet dan Inlet dapat dibangun pada lingkungan void dengan desain berikut.

4
Gambar 4.1. Peta Rencana Penataan Inlet dan Outlet Void
b. Introduksi tanaman air

Introduksi tanaman air ke dalam lingkungan void dapat berfungsi untuk menyerap

senyawa-senyawa beracun terlarut dalam air ataupun yang mengendap sebagai sedimen,

oleh sistem perakaran tanaman air, juga dapat menambah pasokan oksigen terlarut dari

proses fotosintesis. Mencermati sifat tanaman air yang cenderung mengabsorbsi

bahan/senyawa terlarut dalam air, maka akan terjadi kecenderungan kondisi tanaman air

yang menguning karena gangguan fisiologis sebagai akibat mengabsorbsi

bahan/senyawa beracun.

Direkomendasikan untuk melakukan introduksi tanaman air jenis Eceng Gondok.

Berdasarkan hasil percobaan, Eceng Gondok memiliki kemampuan biosorpsi logam berat

yang dapat menurunkan kadar Zn hingga 43,31%, Pb 100%, Mn 92,98% dan Fe 16,75%,

namun kurang efektif mengabsorbsi Cu. Masuknya massa air di sisi inlet yang berasal

dari run off dapat dilakukan penanaman Typha angustifolia untuk memfilter AMD karena

jenis ini mampu meningkatkan pH dari 3,7 menjadi pH > 6 dan menurunkan kadar Mn,

jenis ini mampu mendominasi (Ali Munawar, 2007).

Perlakuan dalam rehabilitasi kualitas air melalui penebaran tanaman air harus

memperhatikan:

- batas maksimal kemampuan biosorpsi tumbuhan air tersebut terhadap senyawa

beracun/logam berat terlarut dalam air diindikasikan oleh perubahan fisik tanaman air,

misalnya daun Eceng Gondok menjadi menguning, kering dan akhirnya mati.

- Tanaman air yang mati dan tenggelam akan menjadikan senyawa beracun yang

terkandung dalam organ tanaman yang mati tersebut ikut tenggelam menjadi

sedimen.

Oleh karena itu, perlakuan penebaran tanaman air pada void perlu memperhatikan

mekanisme penyulaman tebaran, yaitu :

 Tanaman air eceng gondok yang mulai menguning harus segera diambil karena

memberikan indikasi sudah mencapai kondisi optimal sebagai perannya menyerap

senyawa beracun di dalam air.


 Dilakukan penyulaman/pergantian tanaman air dengan tanaman air yang baru.

 Tumbuhan air akan mulai menunjukkan pertumbuhan normal jika kualitas habitat air

memiliki kelayakan daya dukung yang optimal bagi pertumbuhan dan

perkembangannya.

c. Intoduksi ikan tertentu yang tahan terhadap kualitas perairan yang buruk dan

memiliki nilai ekonomis.

Jenis-jenis ikan yang direkomendasikan misalnya ikan catfish karena jenis ini mampu

mengambil udara secara difusi dari permukaan air. Selain itu dapat pula dikembangkan

tipikal ikan yang dapat menyerap/memakan sedimen-sedimen yang berada di dasar

perairan seperti ikan sapu-sapu. Perlu diperhatikan untuk introduksi ikan bukan

merupakan tipikal predator terhadap ikan lainnya agar tidak kontraproduktif dengan

varitas-varitas lainnya yang akan di introduksi/di budidayakan.

d. Dua teknologi peningkatan kualitas air kolong, yaitu in-situ treatment dan

passive treatment.

 In-situ treatment adalah cara paling sederhana, yakni dengan mencemplungkan kapur

langsung ke Void. Kapur ini bisa mengurangi kadar logam-logam berat di Void

tersebut. Kapur bisa meningkatkan pH air dan menghambat proses oksidasi besi dan

pelepasan logam ke air (metal leaching). Bahan kapur yang digunakan Ca, Ca-Mg

oksida, hidroksida, karbonat, silikat, CaO, Ca(OH)2, kalsit, dolomit, marl, slag dengan

kualitas kapur yang mengandung unsur CaO dan MgO, atau total karbonat.

Penggunaan bahan kapur pada surface placement, deep placement, formulasi kering,

suspensi dengan air dan waktu/ frekuensi pengapuran disesuaikan dengan debit air

dan pH air. Penggunaan tawas lebih efektif dapat pula menurunkan koagulan selain

Poly Aluminium Chloride (PAC) dan Nalcolyte 8100 (Praswasti dkk, 2008)

 Passive treatment adalah pengolahan air dengan menggunakan beberapa kolam,

yaitu settling pond atau kolam penampungan sedimentasi, kolam anoxic limestone

drain (ALD), kolam rawa buatan, dan kolam penampungan terakhir.

7
Kedua cara itu telah diuji di laboratorium. Untuk cara in-situ, kapur dicemplungkan ke air

dan ditambah media kimia, seperti bentonit atau kompos, untuk meningkatkan efisiensi

kapur. Dalam sepekan, pH air meningkat dari 3 menjadi 7. Kandungan Fe pun menurun

sampai 95%.

Adapun cara passive, tim peneliti membuat beberapa bak kecil yang berfungsi sebagai

bak sedimentasi, bak ALD, rawa buatan dalam skala kecil, serta penampung hasil akhir.

Melalui cara ini, pH air ternyata meningkat dari 3 menjadi 6.

e. Aerasi untuk Kegiatan Budidaya Perairan

Pengaerasian air void dilakukan secara sederhana dengan memanfaatkan angin di

sekitar kawasan void. Aerasi dapat mempertahankan kandungan oksigen pada tingkat

optimum. Sirkulasi air secara efisien mencegah stratifikasi dan mengurangi akumulasi

senyawa-senyawa nitrogen pada tempat-tempat dimana lumpur terkumpul. Aerasi juga

mempertahankan suspensi partikel organik dalam air serta membentuk kumpulan bakteri

heterotropik yang menjernihkan air dan membentuk proses mineralisasi bahan-bahan

organik terlarut.

Intensitas sinar matahari menyebabkan panas air di permukaan lebih cepat dibanding

badan air yang lebih dalam. Densitas air turun dengan adanya kenaikan suhu sehingga

permukaan air dan air yang lebih dalam tidak dapat tercampur dengan sempurna. Hal ini

akan menyebabkan terjadinya stratifikasi suhu (themal stratification) dalam badan air,

dimana akan terbentuk tiga lapisan air yaitu : epilimnion, hypolimnion dan thermocline.

Epilimnion adalah lapisan atas yang suhunya tinggi. Hypolimnion ialah lapisan bawah

yang suhunya rendah. Sedangkan thermocline adalah lapisan yang berada di antara

epilimnion dan hypolimnion yang suhunya turun secara drastis. Kondisi ini dapat diatasi

dengan pengadukan air oleh aerator atau kincir (paddle wheel). Terjadinya transfer panas

dari lapisan atas ke lapisan bawah tergantung dari kekuatan pengadukan air (angin,

kincir, dan sebagainya). Sehingga recovery perairan void dapat lebih cepat dengan

penambahan aerasi yang menghentikan proses anaerob dan toxic yang dapat naik

kebagian permukaan dengan fenomena overturn.

8
f. Erosi Alamiah

Erosi alamiah yang diharapkan (acceptable erosion) sebagai fenomena erosi lahan untuk

mempercepat masuknya unsur hara ke dalam perairan selain untuk membentuk

sedimentasi sehingga stratifikasi kedalaman void tidak ekstrim. Erosi ini justru

menguntungkan bagi kesuburan tanah sehingga terjadi pembaharuan dan pemudaan

tanah kalau tidak maka tanah akan cepat terkuras kesuburannya, berkurangnya lapisan

tanah setaraf dengan laju pembentukan tanah dan bahan induknya.

g. Detoxsifikasi perairan

Mengubah senyawa menjadi bentuk lain yang kurang toksik, misalkan penggunaan

bakteri yang berasal dari lingkungan void. Metode detoksifikasi secara biologi

menggunakan bakteri yang resisten terhadap Hg sebagai detoksifikan HgS yang mampu

memecah senyawa Hg menjadi Hg0 dari HgS dapat melarutkan sekaligus menguapkan,

prosentase efesiensi reduksi mencapai 99,5% untuk konsentrasi Hg 0,010 mg/l

sedangkan konsentrasi 19 mg/l sebesar 6,8% (Hansen and Stevens,1995). Berikut

ditampilkan contoh bakteri dan jamur yang dapat mengakumulasikan logam berat.

Organisme Elemen Akumulasi (% berat kering)


Thiobacillus ferrooxidans Perak 25
Bacillus cereus Cadmium 4-9
Oogloea Nikel 13
Citrobacter sp Plumbum 34-40
Cadmium 170
Rhizophus arrhizus Cadmium 3
Plumbum 10
Merkuri 6
Sumber : Gadd, G.M (1992)

4.1.2. Rehabilitasi Kualitas Lahan Sekitar Void

Upaya untuk mengendalikan erosi lahan di sekitar lingkungan void perlu

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan berikut.

 Kedalaman void yang sebagian masih relatif dalam dengan segala potensi

permasalahan dapat menjadi pertimbangan bahwa erosi masih dibutuhkan untuk

9
membantu mendangkalkan perairan void tersebut pada kedalaman yang

direncakanan.

 Pada kedalaman rencana, tingkat erosi harus lebih dikendalikan hingga memberikan

kondisi yang ideal bagi pengembangan manfaat void, khususnya jika void

dialokasikan manfaatnya bagi pengembangan budidaya perairan/perikanan.

Melihat prinsip-prinsip tersebut maka pengendalian erosi dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu :

1. Pembuatan jalur-jalur bagi pengaliran air dari tempat-tempat tertentu ketempat-tempat

pembuangan. Hal ini bermanfaat untuk mencegah terjadinya peluapan air hujan yang

jatuh pada wilayah tersebut dan akan meneruskan ke jalur-jalur pembuangan.

2. Pembuatan teras-teras agar aliran air dapat terhambat sehingga daya angkut atau

daya pengikisannya berkurang dan bahkan tidak menimbulkan erosi serta dapat

menjadikan infiltrasi air ke dalam tanah meningkat. Hal ini merupakan cara yang

terbaik dalam mengatur aliran air di daerah-daerah yang lahannya miring dan

mengurangi panjangnya lereng. Pada lahan yang berlereng panjang akan berakibat

pengikisan tanah yang lebih besar sehingga apabila tanpa dilakukan penterasan pada

lereng-lereng demikian akan menjadikan erosi lebih cepat dan lebih besar.

3. Membuat lahan tanah secara berundak-undak/bertingkat-tingkat di sekitar void. Hal

ini agar dapat mengurangi laju erosi yang nantinya akan masuk ke void.

4. Melakukan penghijauan/penanaman vegetasi pohon di sekitar void, untuk mengurangi

laju erosi dan sebagai penyimpan air. Vegetasi pohon yang direkomendasikan adalah

akasia, karena jenis pohon ini dapat tumbuh cepat, dapat tumbuh di lingkungan yang

kurang baik dan dapat menyerap banyak air.

5. Peningkatan penanaman tanaman reboisasi/revegetasi. Hal ini dapat berperan untuk

mengurangi erosi dimana batang, ranting dan daun-daunnya baik yang masih hidup

maupun yang jatuh ke tanah bermanfaat menghalangi tumbukan langsung butir-butir

hujan pada permukaan tanah, memperlambat kecepatan aliran permukaan,

10
melindungi terhadap daya kikis air serta sebagai menambah bahan organik tanah

yang akan untuk memperbaiki porositas, stabilitas agregat dan sifat kimia tanah.

6. Penanaman tanaman penutup permukaan tanah yang rendah, bukan sebagai

tanaman pengganggu, cepat tumbuh dan tidak sebagai inang bagi hama penyakit

(colopogonium atau jenis tanaman penutup lainnya) dengan maksud penanamannya

dilakukan secara menyeluruh menutupi lahan yang ditentukan pada larikan-larikan di

antara tanaman-tanaman pokok yang merupakan tanaman tinggi sebagai tanaman

reboisasi. Larikan-larikan tersebut harus dibuat searah dengan garis kontur yang

sangat berguna untuk memperlambat lajunya aliran permukaan.

Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang, pemberian tanah pucuk dan bahan

organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam

merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan

biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah

berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity.

Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur.

Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya

mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis

pohon, dan pemanfaatan mikroriza. Secara ekologi, spesies tanaman lokal dapat

beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan

pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang

cepat tumbuh.

4.2. Pemanfaatan

Berkaitan dengan rencana pemanfaatan lahan void pasca tambang, diperlukan

langkah-langkah koordinatif dan/atau keterlibatan pemangku kepentingan untuk

menentukan potensi-potensi pemanfaatan.

Model desain penataan lingkungan void dan rencana pemanfaatan badan air void

dan ditampilkan pada gambar 4.2 dan 4.3.

11
4.2.1. Pemanfaatan Void bagi Kehidupan/Budidaya Ikan

Void eks pertambangan batubara secara fisik memberikan peluang potensi sebagai

habitat biota air. Perairan void bagi habitat biota air seperti ikan/pisces baik sengaja

maupun tidak disengaja perlu memperhatikan kondisi kualitas perairan tersebut, apalagi

jika pemanfaatan tersebut dilakukan secara sengaja sebagai bagian lahan budidaya

perikanan. Tidak jarang, kualitas air void masih mendukung kehidupan biota air, dalam

arti bahwa biota air pada kenyataannya masih mampu hidup dalam habitat perairan void.

Meskipun demikian, perlu dicermati apakah biota air tersebut tumbuh normal atau apakah

jika biota tersebut merupakan komoditas bahan pangan (budidaya untuk konsumsi),

masih memenuhi kelayakan untuk dikonsumsi oleh manusia.

Pengamatan terhadap tingkat pertumbuhan ikan yang dibudidayakan dalam perairan void

tidak dilakukan pada kegiatan ini, mengingat hal tersebut memerlukan waktu pengamatan

yang relatif cukup lama. Meskipun demikian, pada kesempatan lain masih dipandang

perlu untuk melakukan pengamatan tingkat pertumbuhan ikan yang dibudidayakan dalam

lingkungan lahan eks tambang, khususnya di dalam perairan void, untuk memberikan

fakta ilmiah yang diperlukan bagi kajian lebih mendalam proses recovery kualitas perairan

eks tambang terhadap tingkat pertumbuhan biota yang hidup/dibudidayakan di dalamnya.

Mempertimbangkan jangka waktu studi yang tersedia, langkah rasional yang dapat

dilakukan adalah mengamati kandungan unsur-unsur/senyawa-senyawa berbahaya yang

mungkin terkadung dalam tubuh ikan sebagai akibat dari proses bioakumulasi yang

terjadi, dan membandingkannya dengan standar kelayakan konsumsi biota tersebut bagi

risiko kesehatan kehidupan manusia.

Biota air memiliki potensi bioakumulasi senyawa beracun dalam tubuhnya, dalam proses

rantai makanan, sehingga membawa risiko bagi kesehatan tubuh jika dikonsumsi oleh

manusia.

Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung

 Perlu memperhatikan kondisi perairan setempat

 Jika terdapat fenomena overturn, perlu dibatasi masa budidayanya, agar tidak terjadi

12
kematian massal ikan yang dibudidayakan.

 Jenis ikan yang dibudidayakan diupayakan adalah ikan lokal, yang telah teruji

kemampuannya untuk dapat hidup dan tahan terhadap kondisi perairan di lahan

bekas tambang (void) serta dapat dikomsumsi secara sehat

 Perlu memperhatikan kepadatan ikan yang ditebarkan dalam karamba jaring apung,

untuk meningkatkan efisiensi jumlah pakan, tingkat pergerakan ikan dan menghindari

proses kanibalisme ikan dalam karamba serta untuk menghindari terjadinya kematian

massal ikan yang dibudidayakan jika terdapat fenomena overturn.

 Perlu memperhatikan kondisi perairan setempat, dalam hal ini kondisi kualitas

perairan yang layak untuk kehidupan ikan dan lingkungan sekitar yang dapat

mempengaruhi perairan void.

Dalam kaitannya dengan pengembangan manfaat void sebagai lahan alternatif bagi

budidaya perikanan, maka perlu dikaji lebih lanjut daya dukung lingkungan void dan/atau

daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk.

Jika diasumsikan bahwa void tersebut merupakan (atau disetarakan) ekosistem waduk

atau danau, maka kebijakan pengembangannya perlu memperhatikan Peraturan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 tentang Daya Tampung Beban

Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk, sebagai acuan perbandingan.

Pengembangan perikanan di lingkungan ekosistem void dapat memberikan kontribusi

yang optimal jika diterapkan suatu bentuk atau pola pengelolaan perikanan yang rasional

dan terpadu dalam memberikan kontribusi pada pendapatan daerah (Kartamihardja,

1993).

4.2.2. Pemanfaatan Void bagi Sumberdaya Air

Void tambang yang tergenang air akan berkembang fungsi menjadi semacam

tampungan air hujan (catchment area), apalagi bagian dasar void sebagian merupakan

struktur tanah dan batuan yang rendah tingkat porositas dan infiltrasinya (proses

masuknya massa air ke pori-pori tanah). Genangan air pada lahan yang relatif luas akan

menjadi sejenis danau buatan. Perkembangan genangan air ini dalam volume besar

13
memiliki potensi menjadi tampungan air yang memberikan persediaan sumberdaya air,

khususnya di musim kemarau.

Meskipun demikian, peluang pemanfaatan sumberdaya air void perlu dikaji lebih

lanjut, khususnya menyangkut kelayakan konsumsi dan pemanfaatan air tersebut bagi

manusia dan ternak.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk saat ini kualitas air void masih belum

memenuhi. Alternatif lain perairan void dapat digunakan untuk penyiraman air bagi

tumbuhan hasil reklamasi tambang PD Baramarta.

4.2.3. Pemanfaatan Void bagi Pengendali Bencana

Lubang bekas tambang (void) di satu sisi dapat dianggap sebagai dampak negatif

penambangan karena selain menimbulkan genangan air yang berpotensi menjadi sarang

vektor penyakit, misalnya nyamuk yang membawa penyakit malaria dan penyakit

degenaratif lainnya.

Meskipun demikian, jika void ini dapat ditata dengan seksama dalam perencanaan

penambangan, sehingga dapat mencapai bagian topografi terendah dari cachtment area

kawasan tambang tersebut, maka run off dari hujan dapat diarahkan untuk

menuju/mengisi void tersebut, sehingga dapat menjadi tampungan air larian. Situasi ini

akan mengurangi volume limpasan air yang mengalir dan mengkontribusi debit air sungai

terdekat. Dengan demikian, teknik ini sekaligus dapat menjadi salah satu strategi

menekan risiko bencana banjir.

4.2.4. Pemanfaatan void bagi kegiatan wisata/ekowisata

Pengelolan void apabila di desain dengan memperlihatkan secara estetis dengan

perbaikan infrastruktur tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan sebagai

kawasan wisata, terlebih lagi telah restoking ikan di lokasi yang membawa minat bagi

para pemancing untuk mencoba di areal void.

14
Gambar 4.2. Model Desain Penataan Lingkungan Void
Gambar 4.3. Model Desain Rencana Pemanfaatan Badan Air Void
16
Matrik 4.1. Model Alternatif Rehabilitasi, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Void

Teknik Pengelolaan Prinsip Kegiatan Pengelola Pemantauan Parameter Tolak Ukur


Lingkungan
Membuat Outlet Pembuatan outlet air agar proses PD Baramarta pH, DO, Turbidity, Logam PP 82/2001
recovery void lebih cepat berat (Fe, Hg, Mn dan Pb)
(tersirkulasi) tidak secara alami
Introduksi tanaman Pemanfaatan tanaman air terutama PD Baramarta Laju pertumbuhan Diversity Index,
air dari jenis Eichornia crassipers untuk Keseragaman
mereduksi logam berat di perairan
Intoduksi ikan Introduksi jenis catfish PD Baramarta Survival rate dan Tingkat survival rate
tertentu yang tahan pertumbuhan terhadap
terhadap kualitas biota ikan introdusir
perairan yang buruk
dan memiliki nilai
ekonomis
In-situ treatment dan Penebaran senyawa CaCO3 dan PD Baramarta pH, DO, Turbidity, Logam PP 82/2001
passive treatment pembuatan settling ponds untuk berat (Fe, Hg, Mn dan Pb)
treatment air
Aerasi Pemanfaatan paddle whell untuk PD Baramarta dan pH, DO, Turbidity, Logam PP 82/2001
tetap mempertahankan kondisi DO Masyarakat berat (Fe, Hg, Mn dan Pb)
(Dissolved Oxygen) di perairan void
Erosi Membiarkan proses erosi alamiah PD Baramarta Nitrat, nitrit dan fosfat PP 82/2001
terjadi karena mengandung senyawa
organik dari hasil reklamasi vegetasi
Detoxifikasi Pemanfaatan isolat-isolat lokal untuk PD Baramarta dan Perbaikan pH, DO, PP 82/2001
mempercepat proses degradasi Peneliti Turbidity, terutama Logam
kualitas air berat (Fe, Hg, Mn dan Pb)

17
Matrik 4.2. Model Alternatif Rencana Pemanfaatan Lingkungan Void, Pemantauan Lingkungan dan Instansi Pengelola

Rencana Kegiatan Pengelola Pendamping Pemantauan Tolak Ukur


Pemanfaatan Parameter
Lingkungan
Budidaya Ikan Budidaya ikan sistem Kelompok Dinas Perikanan dan pH, DO, Turbidity, PP 82/2001
keramba jaring apung Masyarakat Kelautan Kabupaten Logam berat (Fe, Hg,
Banjar dan PD Mn dan Pb)
Baramarta
Restocking ikan Dinas Perikanan dan PD Baramarta pH, DO, Turbidity, PP 82/2001
Kelautan Kabupaten Logam berat (Fe, Hg,
Banjar Mn dan Pb)
Sumberdaya Air Tampungan air dan PD Baramarta Dinas Kehutanan dan pH, DO, Turbidity, PP 82/2001
penyiraman vegetasi Perkebunan Kab. TSS, Logam berat
kegiatan reklamasi Banjar (Fe, Hg, Mn dan Pb)
Pengendali Tampungan air larian PD Baramarta Dinas Pekerjaan pH, DO, Turbidity PP 82/2001
Banjir/Mitigasi dari presipitasi Umum Kab. Banjar
Bencana Banjir
Ekowisata Rekreasi/wisata Kelompok Dinas Perikanan dan pH, DO, Turbidity, PP 82/2001
pemancingan Masyarakat Kelautan Kabupaten Logam berat (Fe, Hg,
Banjar dan Dinas Mn dan Pb)
Pariwisata

18
LAMPIRAN

Lampiran 01

Pedoman Teknis Sederhana Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung

Karamba Jaring Apung : Tempat pemeliharaan ikan yang berbentuk desain kotak dengan
bahan utama berupa jaring, yang dilengkapi dengan rangka dan pelampung yang
memungkinkan alat ini terapung di permukaan air.
Demplot Pengembangan:
Pembuatan keramba jaring apung (KJA) diawali dengan membuat dengan kerangka dari
bahan kayu dan pelampung (styrofoam atau pelampung lainnya).
KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang jaring berbentuk kurungan
berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang
dipelihara yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci.
KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey. Benih ikan dapat terdiri atas 4 ukuran yang
berbeda yaitu:
K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm);
K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm);
B-1: ± 10,00 gr (8-10 cm) dan
B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm).
Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor yang dibagi dalam 6 petak sehingga
kepadatan per petak adalah 1.000 ekor.
Kelompok ukuran K-2 sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak
Kelompok ukuran B-1 dan B-2 masing-masing ditebar dalam satu petak dengan
kepadatan 600 dan 300 ekor.
Pada saat awal penebaran dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat bibit ikan
biasanya sangat sensitive dan mudah stress dibanding dengan ikan dewasa.
Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai dengan ukuran ikan yang dipelihara,
diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan sampai
kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan.
Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari diketahui dengan cara menimbang sisa pakan
yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat efektivitas pakan terhadap
pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang dan bobot
tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan
setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan.
Pengamatan dan perlakuan dapat dilakukan terhadap ikan yang menunjukkan gejala tidak
sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan mata) dan disimpan
sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa di
laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.

Pemanenan dan Pengangkutan Ikan


Ikan yang dipelihara di karamba jaring apung umumnya dipanen pada ukuran 3-5 ekor/kg.
Ukuran ini merupakan ukuran yang banyak diminati oleh konsumen. Untuk mencapai
ukuran panen tersebut, benih ikan yang berukuran 10-15 gram per ekor umumnya
memerlukan masa pemeliharaan sekitar 3-4 bulan.
Pemanenan ikan di KJA pada dasarnya diarahkan untuk mendapatkan ikan hasil panen
dalam keadaar hidup dengan tingkat kerusakan fisik sesedikit mungkin. sehubungan
dengan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu menetapkan saat panen yang
tepat, mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan, cara melaksanakan
pemanenan panen yang baik.
Pertumbuhan ikan pada satu tempat bisa berbeda dengan tempat lain bergantung pada
kualitas benih dan pakan serta lingkungannya. Oleh karena itu saat panen yang tepat,
sebaiknya ditetapkan setelah diketahui ukuran yang dikehendaki tercapai. Untuk itu
sebelum panen perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan ikan dengan melakukan
pengecekan ukuran/beratnya. Caranya adalah pada saat mendekati waktu panen,
sejumlah ikan tertentu, misalnya 20 ekor, ditangkap dengan menggunakan serokan, di
beberapa tempat. Kemudian ditimbang dan dihitung berat rata-ratanya. Jika berat rata-
ratanya sudah sesuai dengan ukuran yang diinginkan maka pemanenan sudah bisa
dilaksanakan, tetapi jika tidak maka masa pemeliharaan harus ditambah.
Waktu pelaksanaan panen ikan yang tepat adalah pagi atau sore hari di kala suhu air di
dalam tambak rendah sehingga ikan tidak stress. Sebelum ikan dipanen ikan dalam KJA
dipuasakan terlebih dahulu selama satu hari agar dalam pengangkutan nantinya ikan
tidak banyak mengeluarkan kotoran. Sesaat menjelang pemanenan peralatan yang
diperlukan selama pemanenan dan selama penanganan hasil juga disiapkan. Peralatan
tersebut mencakup peralatan untuk menangkap ikan, menampung sementara dan
menimbang ikan .
Pemanenan ikan dilakukan secara serentak. Dalam pemanenan ada dua kegiatan, yaitu
mengumpulkan ikan pada daerah di salah satu tepi/sisi petakan dan melakukan
penangkapan ikan. Untuk mengumpulkan ikan digunakan alat bantu bambu. Bambu
tersebut diselipkan dibawah kantung jaring dan digerakan mengarah ke salah satu sisi
petakan. Akhirnya ikan akan terkumpul di daerah sisi ini.
Setelah ikan terkumpul ikan ditangkap dan ditimbang. Penangkapan ikan perlu hati-hati,
karena penangkapan yang kasar menyebabkan kerusakan fisik yang akan mengganggu
kesehatan dan penampilan ikan, seperti sisik terlepas, sirip terkikis, luka pada bagian
kepala dan mulut. Jika ikan terluka maka biasanya ikan tidak tahan diangkut dalam waktu
relatif lama. Setelah mencapai ukuran sekitar 3-5 ekor/kg, maka pembudidaya ikan harus
sudah mempersiapkan segalanya untuk melakukan pemanenan. Keberhasilan
pemanenan ikan dipengaruhi oleh waktu panen, alat panen yang digunakan serta cara
melakukan pemanenan.
Lampiran 02

DATA CURAH HUJAN BULANAN DAERAH PENGARON 2000 - 2009

TIPE IKLIM
POS HUJAN Lintang Bujur THN Curah Hujan (milimeter) BB BK Q SCHMIDT FERGOSUN

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nop Des
STASIUN
Pegaron 1998 234 173 135 120 78 158 218 202 127 91 444 390 10 -

1999 349 89 290 97 101 78 38 54 37 191 147 235 6 3

2000 403 118 290 440 19 87 201 92 177 179 376 8 2

2001 383 148 313 419 59 50 419 152 97 209 227 319 9 2

3'17"46 115'05"33,2 2002 363 177 276 397 163 109 353 151 103 252 95 312 11 - 16,66% B
2003 223 194 317 376 220 169 288 151 185 286 33 305 11 1

2004 445 252 238 354 14 391 274 151 36 320 298 9 3

2005 365 269 279 333 140 71 51 76 80 83 88 291 6 1

2006 285 286 320 311 265 293 142 4 124 72 135 237 10 1

2007 205 324 300 290 390 516 24 58 168 227 299 255 10 2
Rata-rata 325 203 276 313 145 204 189 120 105 191 183 302
DAFTAR PUSTAKA

Ali Munawar. 2007. Pemanfaatan Sumberdaya Biologis Lokal Untuk Pengendalian


Pasif Air Asam Tambang: Lahan Basah Buatan. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan Vol. 7 No.1 (2007) p: 31-42

Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited, Chichester, United
Kingdom. 231 p.

Alaerts, G. dan Santika, S.S.,1984, Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya.

Balai Budidaya Air Tawar. 1988.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality In Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn
University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. 359 p.

Brown, A.L. 1987. Freshwater Ecology. Heinemann Educational Books, London. 163 p.

Effendi H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius Yogyakarta.

Folkowski, P.G. dan A. J. Raven. 1997. Aquatic Photosynthesis. New York: Blacwell
Science-USA.

Gadd G.M. 1992. Heavy Metal Pollutans: Environmental and Biotechnological Aspects.
Academic Press.Inc.

Greenfield, P.F., P.R.F. Bell and D.F. Gohschlich. 2002. Estimating the generation and
treatment requirment of acid drainage product in coal storage heaps. Paper on
Seminar on Water Treatment and Recovery Technology. IPB Bogor 35 pg.

Goldman and Horne, 1983.

Hansen C.L and D.K. Stevens. 1995. Biological and Physio-chemical Remediation of
Mercury Contaminated Haarous Waste.

Harris, G.P. 1986. Phytoplankton Ecology Structure, Function and Fluctuation.


Chapman and Hall. London. New York: 384 pp.

Kartamihardja, E.S. 1993. Perencanaan Pengelolaan Perikanan Terpadu di Waduk


Kedungumbo, Jawa Tengah. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I
Tanggal 25 – 27 Agustus 1993. Jakarta.

Kolkwitz, 1967. Ecology of Plant Saprobia. Biology of Water Pollution.U.S.


Departement of Interior. Cincinati. Ohio. 67-68.
Kendeigh, S.C., 1980. Ecology with Special Reference to Animals and Man. Prentice
Hall of India. New Delhi. 89.

Nybakken, J,W. 1992. Biologi Laut Satu Pendekatan Ekologis. Terjemahan oleh H.M
Eidman. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.

Parson, T., Takashi, M., and Hargrave, B. 1984. Biological Ocenographic Process.
Third edition. Pergamon Press, New York. 330 p.

Pescod. 1973.

Praswasti Wulan, Misri Gozan, Hardi Putra. 2008. Peningkatan Efisiensi Penggunaan
Koagulan Pada Unit Pengolahan Air Limbah Batubara. Proseding Departemen
Teknik Kimia Fakultas Teknik UI: Depok.

Sexstone, J., J.G. Skousen, J. Calabrese, D.K. Bhumbla, J. Cliff, J.C. Sencindiver, and
G.K. Bissonnette. 1999. Iron removal from acid mine drainage by wetland. In
1999 Proceedings of American Society for Surface Mining

Odum, E.P. 1993., Dasar-dasar Ekologi: Alih Bahasa Samingan, T. Edisi ketiga.
Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Widdowson, J.P. 1990. The impacts of surface mining activities on soil and water. In T.
F. Rijnberg (Ed.). Proceedings of the Joint Seminar on Environmental Impacts
of Mining in Watersheed Management. Bogor and Tanjung Enim, November 5-
14th., 1990. hal: 34-58

Welch,E. B and T. Lindell. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge Univ.
Press.

Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Sounders College Publishing Philadelphia.

Wardoyo, S.T.H. 1982. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan. IPB. Bogor. 40-
43.

Anda mungkin juga menyukai