PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
NUR ASNI PUSPITA SARI
1214511032
PROPOSAL SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Kelautan
Oleh
Bukit Jimbaran,
Pembimbing II Pembimbing I
Mengetahui,
Fakultas Kelautan dan Perikanan Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Ketua
Tanggal Pengesahan :
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL .. v
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang . 1
1.2.Rumusan Masalah 2
1.3.Tujuan Penelitian . 2
1.4.Manfaat Penelitian 3
1.5.Batasan Penelitian. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pariwisata dan Wisata Bahari 15
2.1.1. Pariwisata 15
2.1.2. Wisata Bahari 18
2.2.Ekowisata Terumbu Karang 24
2.3.Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan
Karang .. 25
2.3.1. Cahaya . 25
2.3.2. Suhu 26
2.3.3. Salinitas 27
2.3.4. Sedimentasi .. 27
2.3.5. pH . 28
2.3.6. DO 29
2.4.Komunitas Ikan Karang .. 29
III. METODE PENELITIAN
3.1.Waktu dan Lokasi . 32
3.2.Alat dan Bahan .. 32
3.3.Teknik Pengumpulan Data . 33
3.3.1. Presentase Tutupan Karang .. 33
3.3.2. Kelimpahan Ikan Karang . 34
3.3.3. Kualiatas Perairan .. 35
3.4.Analisa Data .. 36
3.4.1. Presentase Tutupan Terumbu Karang. 36
3.4.2. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang 36
3.4.3. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Snorkeling 37
3.4.4. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Selam 39
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian 32
2. Ilustrasi teknik pengambilan data Line Intercept Transect 34
(English et al. 1997) dan Fish Visual Census (Halford dan
Thompson 1994)
3. Ilustrasi teknik pengambilan data ikan karang dengan 35
underwater visual census (Reef resources assestment tools,
2002)
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kegiatan wisata bahari yang dapat dikembangkan 21
2. Bentuk pertumbuhan terumbu karang menurut versi AIMS 33
3. Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang 35
digunakan
4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling 38
5. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam 40
v
I PENDAHULUAN
1
mengatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang untuk
kegiatan wisata bahari harus adanya keseimbangan antara konservasi dan
ekonomi, sehingga tidak terjadi konflik yang mengakibatkan kerusakan sumber
daya terumbu karang. Data dan informasi yang dibutuhkan yakni data dan
informasi tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang ada sangat penting.
Untuk itu penelitian mengenai kesesuaian ekosistem terumbu karang Perairan
Tulamben untuk pengembangan ekowisata selam dan snorkeling penting untuk
dilakukan.
2
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai kondisi dan kesesuaian ekosistem
terumbu karang di Perairan Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali
2. Merupakan bahan acuan dan pertimbangan bagi berbagai pihak terkait
sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan wisata
selam dan snorkeling secara berkelanjutan.
3
II TINJAUAN PUSTAKA
15
e. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaannya dapat
memberikan konstribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang
dikunjungi, karena uang yang dibelanjakan dibawa dari tempat asal.
Berdasarkan organisasi pariwisata dunia yaitu WTO (1995) dalam Pitana
dan Gayatri (2005) meskipun ada variasi batasan mengenai pariwisata, ada
beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati di dalam batasan
mengenai pariwisata, yaitu :
a. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih
lokalitas.
b. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan
merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya
bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan,
atau penghidupan di tempat tujuan.
c. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu
malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi.
Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan wisata (Pitana dan
Gayatri, 2005). Menurut Leiper (1995) dalam Pitana dan Gayatri (2005)
menjelaskan bahwa wisatawan dapat didefinisikan sesuatu yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia yang melakukan perjalanan dari tempat tinggal
sehari-hari dalam selang waktu tertentu minimal satu malam, keluar dari
kebiasaannya untuk mencari pengalaman baru dengan cara berinteraksi dengan
ciri-ciri atau karakteristik dari tempat yang dipilih untuk dikunjungi.
Smith (1977) dalam Pitana dan Gayatri (2005) melakukan klasifikasi
terhadap wisatawan, dengan membedakan wisatawan atas 7 kelompok, yaitu :
a. Explorer, yaitu wisatawan yang mencari perjalanan baru dan berinteraksi
secara intensif dengan masyarakat lokal dan bersedia menerima fasilitas
seadanya, serta menghargai norma dan nilai-nilai lokal.
b. Elite, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata yang belum
dikenal, tetapi dengan pengaturan lebih dahulu, dan berpergian dengan
jumlah yang kecil.
c. Off-beat, yaitu wisatawan yang mencari atraksi sendiri, tidak mau ikut ke
tempat-tempat yang sudah ramai dikunjungi.
16
d. Unusual, yaitu wisatawan yang dalam perjalanannya sekali waktu juga
mengambil aktivitas tambahan, untuk mengunjungi tempat-tempat yang baru,
atau melakukan aktivitas yang agak berisiko.
e. Incipient mass, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan secara individual
atau kelompok kecil, dan mencari daerah tujuan wisata yang mempunyai
fasilitas standar tetapi masih menawarkan keaslian (authenticity)
f. Mass, yaitu wisatawan berkunjung ke daerah tujuan wisata dengan fasilitas
yang sama seperti di daerahnya, atau berpergian ke daerah tujuan wisata
dengan environmental bubble yang sama.
g. Charter, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata dengan
lingkungan yang mirip dengan daerah asalnya, biasanya untuk
bersantai/bersenang-senang
Motivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata dapat
dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu (Mcintosh dan Murphy, 1985 dalam
Pitana dan Gayatri, 2005) :
a. Physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat fisik atau
fisiologis), antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya
b. Cultural motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan untuk mengetahui
budaya,madat, tradisi dan kesenian daerah lain.
c. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi yang bersifat
sosial), seperti mengunjungi teman dan keluarga (VFR, Visiting Friend and
Relatives), menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi (nilai prestise), melakukan ziarah, pelarian dari situasi
yang membosankan, dan seterusnya.
d. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya fantasi bahwa di
daerah lain seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang
menjemukan, dan ego-enhacement yang memberikan kepuasan psikologis
Daya tarik wisata di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Bab I
Pasal 4, menyebutkan :
a. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berwujud
keadaan alam serta flora dan fauna
17
b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang bewujud museum,
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata
buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Menurut Mackinnon et al (1990), faktor-faktor yang membuat suatu
kawasan menarik bagi pengunjung adalah (a) Letaknya dekat, cukup dekat atau
jauh terhadap bandar udara internasional atau pusat wisata. (b) Perjalanan ke
kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya. (c)
Kawasan tersebut memilki atraksi yang menonjol, misalnya satwa liar yang
menarik atau khas untuk tempat tertentu. (d) Kemudahan untuk melihat atraksi
atau satwa terjamin. (e) Memiliki beberapa keistimewaan berbeda. (f) Memiliki
tambahan budaya yang menarik. (g) Unik dalam penampilannya. (h) Mempunyai
obyek rekreasi pantai, pantai, danau, air terjun, kolam renang atau tempat rekreasi
lainnya. (i) Cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga
dapat menjadi bagian kegiatan wisatawan. (j) Sekitar kawasan itu memiliki
pemandangan yang indah. (k) Keadaan makanan dan akomodasi tersedia.
18
1. Obyek dan daya tarik wisata
Obyek wisata adalah sumber daya alam, buatan dan budaya yang berpotensi
dan berdaya tarik bagi wisatawan, yang pada umumnya daya tarik wisata
dipengaruhi oleh :
a) Adanya sumber atau obyek yang dapat menimbulkan rasa senang, nyaman
dan bersih.
b) Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjungi.
c) Adanya ciri khusus yang bersifat langka.
d) Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang
hadir.
e) Obyek wisata alam mempunyai daya tarik yang tinggi karena keindahannya,
seperti keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, hutan dan sebagainya.
f) Obyek wisata budaya mempunyai daya tarik yang tinggi karena mempunyai
nilai khusus dalam atraksi kesenian, upacara adat, nilai luhur yang terkandung
dalam suatu karya manusia.
2. Prasarana wisata
Prasarana adalah kelengkapan awal sebelum (pra) sarana wisata dapat
disediakan atau dikembangkan. Oleh karena itu prasarana wisata dapat dikatakan
sebagai sumber daya alam atau buatan yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan
dalam perjalanannya menuju daerah wisata, seperti jalan, jembatan, listrik air,
telekomunikasi, terminal dan lain sebagainya. Dalam pembangunan prasarana
pariwisata pemerintah diharapkan lebih dominan karena pemerintah ndaerah dapat
mengambil manfaat ganda dari pembangunan tersebut, seperti meningkatkan arus
informasi, arus lalu lintas, ekonomi dan mobilitas penduduk yang tentu saja dapat
meningkatkan kesempatan berusaha bagi masyarakat di daerah tersebut.
3. Sarana wisata
Sarana wisata merupakan kelengkapan pendukung yang diperlukan untuk
melayani wisatawan dalam menikmati kunjungan wisatanya. Berbagai sarana
wisata yang harus disediakan di daerah tujuan wisata adalah hotel, biro perjalanan,
alat transportasi, rumah makan dan sebagainya. Tentu saja semakin lengkap
19
sarana wisata/fasilitas yang dapat diberikan oleh daerah tujuan wisata akan
meningkatkan daya tarik obyek wisata.
4. Tata laksana/infrastruktur
Infrastruktur adalah situasi perangkat lunak dan keras yang mendukung
sarana dan prasarana wisata, baik berupa sistem pengaturan maupun utilitas yang
berada di atas tanah maupun dibawah tanah seperti :
a) Sistem pengairan, distribusi air bersih, sistem pembuangan air limbah yang
membantu sarana perhotelan dan restoran.
b) Sumber listrik dan energi serta jaringan distribusinya yang merupakan bagian
vital bagi terselenggaranya sarana wisata yang memadai.
c) Sistem transpotasi yang memadai demi kemudahan wisatawan untuk
mengunjungi obyek wisata.
d) Sistem telekomunikasi yang memudahkan wisatawan untuk mendapatkan
maupun mengirimkan informasi.
e) Sistem keamanan
20
Tabel 1. Kegiatan wisata bahari yang dapat dikembangkan
Wisata Pantai Wisata Bahari
1. Rekreasi pantai 1. Rekreasi pantai dan laut
2. Panorama 2. Resort/peristirahatan
3. Resort/peristirahatan 3. Wisata selam dan wisata
4. Berenang/berjemur 4. Snorkeling
5. Olahraga pantai (voli pantai, 5. Selancar, jet ski, banana boat,
jalan pantai, lempar cakram, perahu kaca, kapal selam.
dll) 6. Wisata ekosistem lamun, wisata
6. Berperahu pulau, wisata nelayan, wisata
7. Memancing pendidikan, wisata pancing
8. Wisata Mangrove
Sumber : Yulianda (2007)
21
dibutuhkan untuk kegiatan ini. Selain itu penempatan kegiatan wisata bahari
sedapat mungkin dihindari dari lokasi-lokasi yang sudah intensif/padat tingkat
industrialisasinya. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan pariwisata itu sendiri dan
kegiatan lain yang dibuang ke dalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak
melebihi kapasitas asimilasi-kemampuan suatu sistem lingkungan dalam
menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa
tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi
kemampuan pulih sumberdaya tesebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993
dalam Yudasmara, 2004).
Pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut
secara terpadu, yang didasarkan pada 4 alasan :
a. Terdapatnya keterkaitan ekologis baik antara ekosistem di dalam kawasan
pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
b. Terdapatnya lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan
yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
c. Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan,
keahlian, kesenangan dan bidang pekerjaan secara berbeda.
d. Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur sangat rentan
terhadap pertumbuhan internal dan eksternal yang menjurus kegagalan usaha.
Pengelolaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan
aktivitas dari dua atau lebih sektor. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi
antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi
pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan
(Dahuri et al, 2000).
Hal yang paling penting dalam keberhasilan pembangunan wilayah pesisir
untuk pariwisata bahari secara berkelanjutan adalah jika pola intensitas (tingkat)
pembangunannya sesuai dengan daya dukung lingkungan yang ada dan adanya
kemampuan untuk mengkonversi sumberdaya alam pesisir. Kondisi baru
terlaksana bila ada perhatian dan pengertian yang kuat terhadap pelestarian
lingkungan.
22
Menurut Lawrence (1998) dalam Yudasmara (2004) pengelolaan wilayah
pesisir secara berkelanjutan bergantung pada perhatian kepada masalah
pengelolaan dan perencanaan yaitu :
a. Pengakuan terhadap pentingnya aspek ekonomis dan sosial dari wilayah
pesisir.
b. Kemampuan mengambil keputusan untuk merencanakan dan mengelola
pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
c. Integrasi pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir yang beragam ke dalam
struktur sosial, budaya, hukum, dan administratif dari wilayah.
d. Pemeliharaan komponen keutuhan fungsional dari wilayah pesisir serta
ekosistem komponennya
Pemanfaatan atau pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
dihadapkan pada hambatan dan tantangan. Hambatan tersebut meliputi (1)
kesadaran masyarakat yang masih rendah, (2) keterbatasan jumlah orang terlatih ,
(3) diperlukan modal besar untuk mengembangkan pemahaman nilai strategis
wilayah pesisir. Sedangkan tantangan meliputi (1) laju pertumbuhan penduduk,
(2) kemiskinanm (3) peningkatan permukaan laut, (4) pengelolaan sumberdaya
yang tidak baik, (5) pemanfaatan sumberdaya yang berlebih.
Menurut Moscarda dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), menyatakan
bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan (1) peningkatan
kesejahteraan masyarakat, (2) mempertahankan keadilan antara generasi dan
intragenerasi (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem
ekologi, (4) menjamin integritas budaya.
Berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap berbagai sektor
lainnya, seperti sektor pertanian, peternakan, industri kerajinan rakyat, dan
kegiatan lainnya yang bersifat temporer (Spillane, 1994 dalam Yudasmara, 2004).
Melihat begitu banyaknya unsur yang berinteraksi dalam satu kegiatan pariwisata,
maka dalam pengembangan pariwisata diperlukan campur tangan (kebijakan)
pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya berbagai dampak negatif dari
mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan
dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang
23
bermukim di wilayah pesisir. Selain campur tangan pemerintah, keikutsertaan
masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan perlu diperhatikan.
24
2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang
Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir,
seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk
dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. antalan utama kegiatan wisata
bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang banyak dimanfaatkan untuk objek
wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono,
2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh
kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia
yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu:
2.3.1. Cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang.
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis oleh Zooxanthellae akan berkurang,
dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu
(CaC03) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang
dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat
berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona
kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar
15-20 % dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron, 1995 dalam
Akbar, 2006). Keadaan awal di suatu tempat mempengaruhi pencahayaan pada
waktu siang hari, kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan
Goreau 1959 dalam Supriharyono, 2000).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam,
sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam
(Supriharyono, 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman
dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan
25
perairan, temperature, pertumbuhan musiman dari mikroalga, cahaya spesifik
yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap
cahaya. Karng umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30
m dan kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang
cocok (Veron, 1995 dalam Akbar, 2006). Menurut Kinsman (1964) dalam
Supriharyono (2000), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang
dari 20 m.
2.3.2. Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22-29oC. batas maksimum dan
minimum suhu berkisar antara 16-17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman, 1964 dalam
Supriharyono, 2000). Veron (1995) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa
temperature minimal untuk karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode
waktu yang berlarut-larut telah diketahui sebagai temperature minimum
permukaan laut dimana fungsional karang-karang secara normal terekspos. Sangat
sedikit karang ber-Zooxanthellae yang diketahui dapat mentoleransi suhu dibawah
11 oC. Jokiel dan Coles (1977), Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam
Akbar (2006) menyatakan bahwa nilai pembatas dari temperature tinggi dari
pentingnya ekologi adalah mencapai maksimal 30-34oC. Nilai maksimum ini
bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC
lebih tinggi di daerah-daerah tropis daripada di daerah temperate (Coles et al,
1997, Coles and Jokiel, 1977 dalam Akbar, 2006). Perkembangan mengenai
pengaruh suhu terhadap binatang karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang
mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu maksimum atau
minimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak
dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker
(1981) dalam Supriharyono (2000), perubahan secara mendadak sektar 4-6 oC di
bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikan.
26
2.3.3. Salinitas
Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36o/oo (Kinsman,
1964 dalam Supriharyono, 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan
binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat
dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran
salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 o/oo (Vaughan, 1919, Wells, 1932 dalam
Supriharyono, 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas
maksimum tersebuty karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai
Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nil permil (0 o/oo) untuk beberapa jam
pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono,
2000).
2.3.4. Sedimentasi
Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978)
dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung
mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup
besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari
sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk
fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang
karang untuk untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam
Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki
keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah.
Loya (1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto
Rico yang sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0
mg/cm2/hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah
dibandingkan dengan di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000)
menyatakan bahwa sedimentasi dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah
pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan,
pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat
27
membebaskan sediment ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju
sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya
dan kontinuitas aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak
menerima limpahan sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju
sedimentasinya cenderung rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang
terbentuknya sediment, seperti pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya.
Namun apabila perairan karang tersebut lokasinya berdekatan dengan muara
sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya
tinggi, terutama di musim penghujan.
Pomeroy et al.(1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di
daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara
tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur,
dan kondisi ini sering menimbulkan dampakterhadap ekosistem terumbu karang.
Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa
adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang
Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca
dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang
di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat
pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulate
seperti yang terjadi di Pantai BandenganJepara. Makro alga tersebut mulai tumbuh
pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sediment yang
cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini umumnya
menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti Acropora sp dan
Montipora digitata.
2.3.5. pH
Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas
fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme
akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi
oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA
Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut
28
relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 8,4. Perairan yang produktif
dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5
8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 8,5 (KLH 2004).
29
perairan tropis. Menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat
dengan tiba-tiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang
sangat menarik (Wilson dan James, 1985 dalam Akbar, 2006). Supriharyono
(2000) menambahkan bahwa ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang
sangat indah, selain itu bentuknya sering unik, memberikan kesan tersendiri
kepada wisatawan.
Nybakken (1988) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa ikan karang
merupakan organisme yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang.
Keberadaan mereka telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai
ekosistem yang paling banyak dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi
dengan terumbu pada habitat yang disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan
makanan. Ikan-ikan karang ini memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang
untuk mempertahankan diri. Keberadaan ikan karang di perairan sangat
tergantung pada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase penutupan
karang hidup. Hal ini dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan
bentuk dan jenis terumbu sebagai tempat tinggal, perlindungan dan tempat
mencari makan. Ikan karang secara relatif menetap hampir di seluruh hidup
mereka. Sale (1978b) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa ikan karang kecil
(panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda dalam tingkat pergerakan, merupakan
hal yang benar bahwa ikan-ikan karang lebih menetap dibandingkan dengan
vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang mendukung hal tersebut adalah ikan
karang hidup di lingkungan yang sangat berstruktur yang dibuat oleh
arsitekturyang kompleks dari karang-karang, dan lingkungan yang berbeda-beda
dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam skala meter.
Sale (1991) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa Struktur karang yang
kompleks menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi
banyak ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak
spesies ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang,
tumpukan patahan karang dan turfalga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan
karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies
ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk
30
interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara
struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil.
Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan
biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan
pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan
karang.
Goldman dan Talbot (1976) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa secara
keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier Reef) biomasa
ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor tersebut juga
biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3. Biomasa di bagian
leeward slopeterdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam jumlah yang sama, di
laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata dasar dan grazer, dan
di windward slopedan transisi ke dasar yang tidak berkarang biomasa yang utama
adalah piscivores. Picivoresini akan tetapi, termasuk banyak spesies karnivor
yang beristirahat di sana siang hari tetapi pergi mencari makan pada malam hari,
sehingga tidak ada contoh yang akurat dari jumlah ikan yang tersedia disokong
oleh zona-zona tersebut.
31
III METODE PENELITIAN
32
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian survei
dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
lapangan melalui pengukuran dan pengamatan yang secara garis besar meliputi
persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan parameter kualitas
lingkungan perairan.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap
laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi
terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti
laporan hasil survei dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia.
33
Transek garis berupa roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar
dengan garis pantai. Panjang setiap lifeform dan substrat yang bersinggungan
dengan transek garis di sepanjang 50 meter dicatat menggunakan alat tulis bawah
air. Pengambilan data panjang lifeform terumbu karang dilakukan pada kedalaman
5 meter untuk kategori snorkeling dan 10 meter untuk kategori selam sebanyak
satu kali pada setiap stasiun pengamatan.
Gambar 2 Ilustrasi teknik pengambilan data Line Intercept Transect (English et al. 1997) dan Fish
Visual Census (Halford dan Thompson 1994)
34
Gambar 3 Ilustrasi teknik pengambilan data ikan karang dengan underwater visual census (Reef
resources assestment tools, 2002)
35
3.4. Analisis Data
3.4.1. Persentase Penutupan Karang
Persen penutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentase tutupan
karang hidup (lifeform). Semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka
kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik dan semakin penting pula untuk
dilindungi. Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan
metode Line Intersect Transect (LIT) dihitung berdasarkan persamaan dari
English et al. (1997) :
= 100%
dimana :
: Persentase penutupan karang (%)
: Panjang lifeform jenis kategori ke-i (m)
: Panjang transek (m)
Keterangan :
Xi : kelimpahan ikan karang (ind/m2)
Ni : total individu ikan karang pada stasiun pengamatan ke-i (ind)
A : luas bidang pengamatan (m2)
36
Sedangkan keanekaragaman ikan karang dihitung dengan menggunakan Indeks
Shannon-Wiener (Yusniar, 2010).
=
=1
Keterangan :
: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S : jumlah spesies ikan karang atau jumlah lifeform biota habitat
dasar
: proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke i (ni/N)
Ni : jumlah individu tiap jenis
N : jumlah total
37
Tabel 4 Matriks kesesuaian Wisata Bahari kategori wisata snorkeling
Standar N
No. Parameter Bobot Skor
Parameter Bobot x Skor)
1. Kecerahan 5 100 3
perairan (%) 80 - < 100 2
20 - < 80 1
< 20 0
2. Tutupan 5 > 75 3
komunitas >50 75 2
karang (%) 25 - 50 1
< 20 0
3. Jenis life 3 > 12 3
form karang <7 12 2
4- 7 1
<4 0
4. Jenis ikan 3 > 50 3
karang 30 50 2
10 - > 30 1
< 10 0
5. Kecepatan 1 0 15 3
arus >15 30 2
(cm/det) >30 50 1
>50 0
6. Kedalaman 1 13 3
terumbu >3 6 2
karang (m) >6 10 1
>10 - < 1 0
7. Lebar 1 > 500 3
hamparan > 100 500 2
datar karang 20 100 1
(m) < 20 0
N =
Nmaks = 57
IKW =
Sumber : Yulianda (2007)
Keterangan :
: indeks kesesuaian wisata snorkeling
: nilai parameter ke-i (bobot x skor)
: nilai maksimum dari suatu kategori wisata = 57
38
Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata snorkeling adalah sebagai
berikut (modifikasi Yulianda, 2007) :
S1 : sangat sesuai, dengan IKW 83 - 100 %
S2 : sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
N : tidak sesuai, dengan IKW < 50%
= [ ] 100%
=1
Keterangan :
: Indeks Kesesuaian Wisata (%)
: Nilai parameter ke-i (Bobot x skor)
: Nilai maksimum (selam = 54)
39
Tabel 5 Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam
Standar N
No. Parameter Bobot Skor
Parameter Bobot x Skor)
80 3
Kecerahan 50 80 2
1. 5
perairan (%) 20 - < 50 1
< 20 0
> 75 3
Tutupan
>50 75 2
2. komunitas 5
25 - 50 1
karang (%)
< 25 0
> 12 3
Jenis life <7 12 2
3. 3
form karang 4- 7 1
<4 0
> 100 3
Jenis ikan 50 100 2
4. 3
karang 20 - < 50 1
< 20 0
0 15 3
Kecepatan
>15 30 2
5. arus 1
>30 50 1
(cm/det)
>50 0
Kedalaman 6 15 3
terumbu 3-<6 & >15-20 2
6. 1
karang >20 30 1
(m) < 3 & >30 0
N =
Nmaks
= 54
IKW =
Sumber : Yulianda (2007)
40
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kondisi Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Tulamben
Tutupan karang hidup merupakan salah satu aspek penting dalam kegiatan
wisata selam dan snorkeling. Tutupan karang hidup juga menggambarkan kondisi
kesehatan terumbu karang di suatu kawasan perairan. Gambar 4 menunjukkan
kondisi tutupan karang hidup di tiga stasiun pengamatan di Tulamben.
60
52.48
50
42.24
37.96
Persentase (%)
40
29.58
30 25.64
20 16.26
10
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
Keanekaragaman jenis biota dan substrat menjadi salah satu parameter dan
daya tarik dalam pengembangan wisata selam dan snorkeling. Semakin beragam
lifeform terumbu karang, semakin beragam atraksi yang dapat dilihat oleh
penyelam. Hal tersebut berdampak baik bagi pengembangan kawasan wisata
41
selam dan snorkeling di Perairan Tulamben. Gambar 5 menunjukkan persentase
jenis biota dan substrat yang terdapat di setiap stasiun pengamatan di Perairan
Tulamben.
60
50
Persentase Tutupan (%)
40 Stasiun 1
30 Stasiun 2
Stasiun 3
20
Stasiun 4
10 Stasiun 5
Stasiun 6
0
TA
OT
WA
CE
CF
CMR
CS
S
RCK
CM
DCA
ACB
ACE
ACT
SP
SC
ACS
ACD
Selain terumbu karang, keberadaan ikan karang juga menjadi daya tarik
dalam pengembangan kegiatan wisata selam dan snorkeling. Semakin banyak
jenis ikan karang yang ditemukan maka semakin baik untuk pengembangan
42
kegiatan wisata. Gambar 6 menunjukkan jumlah spesies ikan karang dalam setiap
famili.
16
14
Jumlah Spesies
12
10
8 Stasiun 1
6 Stasiun2
4
Stasiun 3
2
0 Stasiun 4
Mullidae
Sphyraenidae
Fistulariidae
Ostraciidae
Labridae
Congridae
Scaridae
Tetraodontidae
Zanclidae
Aulostomidae
Haemulidae
Lethrinidae
Lutjanidae
Balistidae
Pinguipedidae
Serranidae
Pomacanthidae
Acanthuridae
Caesionidae
Kyphosidae
Monacanthidae
Apogonidae
Nemipteridae
Pomacentridae
Chaetodontidae
Stasiun 5
Stasiun 6
Famili
43
1% 2% 2%
3% Acanthuridae
3%
3% 1% Apogonidae
Balistidae
6% 1%
1% Chaetodontidae
Labridae
Lutjanidae
Nemipteridae
75% Pomacanthidae
Pomacentridae
Zanclidae
2.5 2.396
2.108
Kepadatan (Ind/m2)
1.5
1.04
1 0.792 0.844
0.5 0.268
0
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan
44
Stasiun 3 Coral Garden kedalaman 5 meter merupakan stasiun pengamatan
dengan kepadatan individu ikan karang terbesar, yaitu sebesar 2,40 individu/m 2.
Kepadatan individu ikan karang terkecil berada di Stasiun 2 Shipwreck kedalaman
10 meter yaitu sebesar 0,27 individu/m2.
Tutupan Kedalam
Kecepatan Jenis
Kecerahan Komunitas Jenis -an
Stasiun Arus Ikan
(%) Karang lifeform Karang
(cm/dt) Karang
(%) (m)
1 88 13 16,26 6 16 5
2 43.5 14 29,58 11 11 10
3 90 13 52,48 14 44 5
4 57.5 13 42,24 15 39 10
5 87 15 25,64 11 32 5
6 52 14 37,96 11 28 10
45
Indeks Kesesuaian Wisata merupakan analisis yang digunakan untuk
menentukan kelayakan suatu kawasan untuk dijadikan daerah wisata. Indeks
Kesesuaian Wisata (IKW) kategori selam dan snorkeling dihitung berdasarkan
parameter-parameter biologi dan fisika perairan di Perairan Tulamben. Tabel 6
dan 7 menunjukkan kategori IKW snorkeling dan selam dari setiap stasiun
pengamatan di Perairan Tulamben.
Tabel 7. Indeks kesesuaian wisata snorkeling pada setiap stasiun pengamatan di
Perairan Tulamben
Indeks
Kesesuaian
Stasiun Latitude Longitude Keterangan
Wisata
(IKW)
Shipwreck 38,89 Tidak Sesuai (N)
Coral Garden 74,07 Sesuai (S2)
Drop Off 59,26 Sesuai (S2)
46
DAFTAR PUSTAKA
47
Purnamasari Q. 2004. Kajian pengembangan produk wisata alam berbasis ekologi
di wilayah wana wisata Curug Cilember, Kabupaten Kuningan
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta:
Djambatan.
[KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu
Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut. KLH RI.
[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah
Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan P2O-
LIPPI Tanjungpandan. 2005. Laporan Akhir : Studi Potensi
Sumberdaya Ikan dan Lingkungan Kelautan Kabupaten Belitung.
BAPPEDA Kabupaten Belitung.
Ketjulan R. 2011. Daya dukung perairan Pulau Hari sebagai obyek ekowisata
bahari. Jurnal Aqua Hayati, 7(3):183-188.
Latupapua YT. 2008. Studi potensi kawasan dan pengembangan ekowisata di
Tual Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Ichsan Gorontalo,
3(1):1360-1375.
Tomboelu N, Bengen DG, Nikijuluw VPH, Idris I. 2000. Analisis kebijakan
pengelolaan sumberdaya terumbu karang di kawasan Bunaken dan
sekitarnya. Jurnal Pesisir dan Lautan, 3(1):51-67.
48
Lampiran 1 Persen tutupan lifeform pada setiap stasiun pengamatan Perairan
Tulamben
49
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan
50
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan
(lanjutan)
51
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan
(lanjutan)
52
Lampiran 3 Data kecerahan perairan di Perairan Tulamben
Stasiun
Kecerahan Perairan
Kedalaman d1 (cm) d2 (cm) N (cm)
Lokasi (%)
(cm)
Shipwreck 500 450 430 440 88
1000 440 430 435 43.5
Coral 500 450 450 450 90
Garden 1000 580 570 575 57.5
Drop off 500 440 430 435 87
1000 520 520 520 52
53
Lampiran 5 Matriks analisis kesesuaian lahan untuk wisata bahari kategori
wisata snorkeling
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 1 (Shipwreck)
54
Lampiran 6 Matriks analisis kesesuaian lahan untuk wisata bahari kategori
wisata selam
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 1 (Shipwreck)
55