Anda di halaman 1dari 49

KAJIAN KESESUAIAN WISATA SELAM DAN SNORKELING

DI PERAIRAN TULAMBEN, KARANGASEM, BALI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana


Ilmu Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan

Oleh :
NUR ASNI PUSPITA SARI
1214511032

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG
2016
LEMBAR PENGESAHAN

KAJIAN KESESUAIAN WISATA SELAM DAN SNORKELING DI


PERAIRAN TULAMBEN, KARANGASEM, BALI

PROPOSAL SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Kelautan

Oleh

NUR ASNI PUSPITA SARI


1214511032

Bukit Jimbaran,
Pembimbing II Pembimbing I

Dr.Eng.I Dewa Nyoman Nurweda Dwi Budi Wiyanto., S.Kel.,M.P


Putra.,S.Si M.Si NIP.19830715 201012 1 009
NIP. 19830614 201012 1 006

Mengetahui,
Fakultas Kelautan dan Perikanan Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Ketua

Prof.Ir. I Wayan Arthana MS.,Ph.D Dwi Budi Wiyanto., S.Kel.,M.P


NIP. 19600728 198609 1 001 NIP. 19830715 201012 1 009

Tanggal Pengesahan :
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL .. v
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang . 1
1.2.Rumusan Masalah 2
1.3.Tujuan Penelitian . 2
1.4.Manfaat Penelitian 3
1.5.Batasan Penelitian. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Pariwisata dan Wisata Bahari 15
2.1.1. Pariwisata 15
2.1.2. Wisata Bahari 18
2.2.Ekowisata Terumbu Karang 24
2.3.Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan
Karang .. 25
2.3.1. Cahaya . 25
2.3.2. Suhu 26
2.3.3. Salinitas 27
2.3.4. Sedimentasi .. 27
2.3.5. pH . 28
2.3.6. DO 29
2.4.Komunitas Ikan Karang .. 29
III. METODE PENELITIAN
3.1.Waktu dan Lokasi . 32
3.2.Alat dan Bahan .. 32
3.3.Teknik Pengumpulan Data . 33
3.3.1. Presentase Tutupan Karang .. 33
3.3.2. Kelimpahan Ikan Karang . 34
3.3.3. Kualiatas Perairan .. 35
3.4.Analisa Data .. 36
3.4.1. Presentase Tutupan Terumbu Karang. 36
3.4.2. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang 36
3.4.3. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Snorkeling 37
3.4.4. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Selam 39
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian 32
2. Ilustrasi teknik pengambilan data Line Intercept Transect 34
(English et al. 1997) dan Fish Visual Census (Halford dan
Thompson 1994)
3. Ilustrasi teknik pengambilan data ikan karang dengan 35
underwater visual census (Reef resources assestment tools,
2002)

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Kegiatan wisata bahari yang dapat dikembangkan 21
2. Bentuk pertumbuhan terumbu karang menurut versi AIMS 33
3. Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang 35
digunakan
4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling 38
5. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam 40

v
I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tulamben merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Kubu,
Kabupaten Karangasem, Bali yang memiliki ekosistem terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang yang ada di Perairan Tulamben saat ini telah
dimanfaatkan sebagai obyek wisata bahari khususnya wisata selam dan
snorkeling. Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Bali, rata-rata jumlah wisatawan yang datang ke Tulamben pada tahun 2012-2014
mencapai 94.253. Kondisi ini menjadikan pariwisata yang telah berkembang
menjadi penunjang utama perekonomian masyarakat lokal di Desa Tulamben
Peningkatan jumlah wisatawan dan aktivitas wisata selam dan snorkeling
yang tidak bersifat konservatif dan tidak dikelola secara tepat akan menyebabkan
terjadinya degradasi lingkungan yang menjadi obyek wisata tersebut. Untuk itu
perlu adanya suatu bentuk wisata yang berbasis pada kelestarian lingkungan dan
sosial budaya masyarakat atau dikenal dengan ekowisata bahari dalam hal ini
selam dan snorkeling (Adi, 2013)
Ekowisata bahari merupakan bentuk pengelolaan sumber daya pesisir dan
laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi (Ketjulan, 2011). Konsep
ekowisata tidak mengedepankan faktor pertumbuhan ekonomi, melainkan
menjaga keseimbangan antara kegiatan pemanfaatan dan kelestarian sumber daya
(Yulianda, 2007). Ekowisata merupakan konsep dan istilah yang menghubungkan
pariwisata dengan konservasi, ekowisata sering dipahami sebagai pariwisata
berwawasan lingkungan, jenis wisata ini merupakan salah satu bentuk pariwisata
alternaif yang menonjolkan tanggungjawab terhadap lingkungan (Latupapua,
2008).
Kegiatan pengembangan kawasan Perairan Tulamben sebagai tujuan utama
wisata selam dan snorkeling yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Karangasem tentu saja akan membutuhkan data dan informasi dalam
pengembangannya agar kegiatan pariwisata yang dilakukan berjalan dengan baik
dan tanpa merusak lingkungan. Sesuai dengan pernyataan Tomboelu dkk. (2000)

1
mengatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang untuk
kegiatan wisata bahari harus adanya keseimbangan antara konservasi dan
ekonomi, sehingga tidak terjadi konflik yang mengakibatkan kerusakan sumber
daya terumbu karang. Data dan informasi yang dibutuhkan yakni data dan
informasi tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang ada sangat penting.
Untuk itu penelitian mengenai kesesuaian ekosistem terumbu karang Perairan
Tulamben untuk pengembangan ekowisata selam dan snorkeling penting untuk
dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang ada dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Kondisi sumberdaya terumbu karang yang semakin menurun
dikarenakan adanya tekanan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang
untuk kegiatan wisata selam dan snorkeling
2. Bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, untuk
pengembangan ekowisata selam dan snorkeling di Perairan Tulamben,
dengan pendekatan indeks kesesuaian wisata.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang sebagai sumber daya laut
dan pesisir Perairan Tulamben
2. Menganalisa kesesuaian wisata selam dan snorkeling di Perairan
Tulamben

2
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai kondisi dan kesesuaian ekosistem
terumbu karang di Perairan Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali
2. Merupakan bahan acuan dan pertimbangan bagi berbagai pihak terkait
sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan wisata
selam dan snorkeling secara berkelanjutan.

1.5. Batasan Penelitian


Penelitian ini dilakukan di perairan Desa Tulamben dengan batas panjang
area sesuai dengan batas administratif wilayah Desa Tulamben, dan kedalaman
maksimal 30 meter.

3
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Wisata Bahari


2.1.1. Pariwisata
Wisata secara harfiah adalah perjalanan dimana pelaku kegiatan akan
kembali ke tempat awalnya; perjalanan sirkuler yang dilakukan untuk tujuan
bisnis, bersenang-senang atau pendidikan, pada berbagai tempat dikunjungi dan
biasanya menggunakan jadwal perjalanan yang terencana. Pariwisata adalah
keseluruhan dari elemen-elemen terkait (wisatawan, daerah tujuan wisata,
perjalanan, industri dan lain-lain) yang merupakan akibat dari perjalanan wisata
ke daerah tujuan wisata, sepanjang perjalanan tersebut tidak permanen (Murphy,
1985 dalam Pitana dan Gayatri, 2005)
Pariwisata adalah rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari
pekerjaan rutin atau mencari suasana lain (Damanik dan Helmut, 2006). Menurut
Soekadijo (1996) dalam Akbar (2006), pariwisata adalah segala kegiatan dalam
masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Menurut Holloway dan Plant
(1989) dalam Yulianda (2007) pariwisata adalah perpindahan atau perjalanan
orang secara temporer dari tempat biasa mereka bekerja dan menetap ke tempat
luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan.
Menurut Suyitno (1999) dalam Purnamasarim (2004), untuk membedakan
kegiatan perjalanan pada umumnya, wisata mempunyai karakteristik tersendiri,
yaitu :
a. Bersifat sementara, bahwa dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan
kembali ke tempat asalnya.
b. Melibatkan beberapa komponen wisata, misalnya transportasi, akomodasi,
restoran, obyek wisata, toko cinderamata dan lain-lain.
c. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi objek dan atraksi wisata daerah
atau bahkan negara secara berkesinambungan.
d. Memiliki tujuan tertentu yang intinya untuk mendapatkan kesenangan.

15
e. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan, bahkan keberadaannya dapat
memberikan konstribusi pendapatan bagi masyarakat atau daerah yang
dikunjungi, karena uang yang dibelanjakan dibawa dari tempat asal.
Berdasarkan organisasi pariwisata dunia yaitu WTO (1995) dalam Pitana
dan Gayatri (2005) meskipun ada variasi batasan mengenai pariwisata, ada
beberapa komponen pokok yang secara umum disepakati di dalam batasan
mengenai pariwisata, yaitu :
a. Traveler, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih
lokalitas.
b. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan
merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya
bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan,
atau penghidupan di tempat tujuan.
c. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu
malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi.
Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan wisata (Pitana dan
Gayatri, 2005). Menurut Leiper (1995) dalam Pitana dan Gayatri (2005)
menjelaskan bahwa wisatawan dapat didefinisikan sesuatu yang berhubungan
dengan tingkah laku manusia yang melakukan perjalanan dari tempat tinggal
sehari-hari dalam selang waktu tertentu minimal satu malam, keluar dari
kebiasaannya untuk mencari pengalaman baru dengan cara berinteraksi dengan
ciri-ciri atau karakteristik dari tempat yang dipilih untuk dikunjungi.
Smith (1977) dalam Pitana dan Gayatri (2005) melakukan klasifikasi
terhadap wisatawan, dengan membedakan wisatawan atas 7 kelompok, yaitu :
a. Explorer, yaitu wisatawan yang mencari perjalanan baru dan berinteraksi
secara intensif dengan masyarakat lokal dan bersedia menerima fasilitas
seadanya, serta menghargai norma dan nilai-nilai lokal.
b. Elite, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata yang belum
dikenal, tetapi dengan pengaturan lebih dahulu, dan berpergian dengan
jumlah yang kecil.
c. Off-beat, yaitu wisatawan yang mencari atraksi sendiri, tidak mau ikut ke
tempat-tempat yang sudah ramai dikunjungi.

16
d. Unusual, yaitu wisatawan yang dalam perjalanannya sekali waktu juga
mengambil aktivitas tambahan, untuk mengunjungi tempat-tempat yang baru,
atau melakukan aktivitas yang agak berisiko.
e. Incipient mass, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan secara individual
atau kelompok kecil, dan mencari daerah tujuan wisata yang mempunyai
fasilitas standar tetapi masih menawarkan keaslian (authenticity)
f. Mass, yaitu wisatawan berkunjung ke daerah tujuan wisata dengan fasilitas
yang sama seperti di daerahnya, atau berpergian ke daerah tujuan wisata
dengan environmental bubble yang sama.
g. Charter, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata dengan
lingkungan yang mirip dengan daerah asalnya, biasanya untuk
bersantai/bersenang-senang
Motivasi wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata dapat
dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu (Mcintosh dan Murphy, 1985 dalam
Pitana dan Gayatri, 2005) :
a. Physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat fisik atau
fisiologis), antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya
b. Cultural motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan untuk mengetahui
budaya,madat, tradisi dan kesenian daerah lain.
c. Social motivation atau interpersonal motivation (motivasi yang bersifat
sosial), seperti mengunjungi teman dan keluarga (VFR, Visiting Friend and
Relatives), menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang dianggap
mendatangkan gengsi (nilai prestise), melakukan ziarah, pelarian dari situasi
yang membosankan, dan seterusnya.
d. Fantasy motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya fantasi bahwa di
daerah lain seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang
menjemukan, dan ego-enhacement yang memberikan kepuasan psikologis
Daya tarik wisata di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Bab I
Pasal 4, menyebutkan :
a. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, berwujud
keadaan alam serta flora dan fauna

17
b. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang bewujud museum,
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata
buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.
Menurut Mackinnon et al (1990), faktor-faktor yang membuat suatu
kawasan menarik bagi pengunjung adalah (a) Letaknya dekat, cukup dekat atau
jauh terhadap bandar udara internasional atau pusat wisata. (b) Perjalanan ke
kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya. (c)
Kawasan tersebut memilki atraksi yang menonjol, misalnya satwa liar yang
menarik atau khas untuk tempat tertentu. (d) Kemudahan untuk melihat atraksi
atau satwa terjamin. (e) Memiliki beberapa keistimewaan berbeda. (f) Memiliki
tambahan budaya yang menarik. (g) Unik dalam penampilannya. (h) Mempunyai
obyek rekreasi pantai, pantai, danau, air terjun, kolam renang atau tempat rekreasi
lainnya. (i) Cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga
dapat menjadi bagian kegiatan wisatawan. (j) Sekitar kawasan itu memiliki
pemandangan yang indah. (k) Keadaan makanan dan akomodasi tersedia.

2.1.2. Wisata Bahari


Wisata bahari adalah wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang
berkaitan dengan kelautan, baik diatas permukaan laut (marine) maupun kegiatan
yang dilakukan di bawah permukaan laut (submarine). Banyak kalangan lain
menempatkan wisata bahari sebagai bagian dari wisata lingkungan (ecotourism)
(Setiawati, 2000 dalam Prakoso, 2008). Menurut Suswantoro (2001) dalam
Deliyanto (2001) wisata bahari dapat diartikan sebagai kunjungan ke obyek
wisata, khususnya untuk menikmati keindahan lautan.
Daerah yang potensial menjadi daerah tujuan wisata dalam
pengembangannya harus memperhatikan lima unsur pengembangan pariwisata di
daerah tujuan wisata, yaitu (1) obyek dan daya tarik wisata; (2) prasarana; (3)
sarana wisata; (4) tata laksana; (5) masyarakat dan lingkungan (Suswantoro, 2001
dalam Deliyanto, 2001), seperti yang diuraikan dibawah ini :

18
1. Obyek dan daya tarik wisata
Obyek wisata adalah sumber daya alam, buatan dan budaya yang berpotensi
dan berdaya tarik bagi wisatawan, yang pada umumnya daya tarik wisata
dipengaruhi oleh :
a) Adanya sumber atau obyek yang dapat menimbulkan rasa senang, nyaman
dan bersih.
b) Adanya aksesibilitas yang tinggi untuk dapat mengunjungi.
c) Adanya ciri khusus yang bersifat langka.
d) Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang
hadir.
e) Obyek wisata alam mempunyai daya tarik yang tinggi karena keindahannya,
seperti keindahan alam pegunungan, sungai, pantai, hutan dan sebagainya.
f) Obyek wisata budaya mempunyai daya tarik yang tinggi karena mempunyai
nilai khusus dalam atraksi kesenian, upacara adat, nilai luhur yang terkandung
dalam suatu karya manusia.

2. Prasarana wisata
Prasarana adalah kelengkapan awal sebelum (pra) sarana wisata dapat
disediakan atau dikembangkan. Oleh karena itu prasarana wisata dapat dikatakan
sebagai sumber daya alam atau buatan yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan
dalam perjalanannya menuju daerah wisata, seperti jalan, jembatan, listrik air,
telekomunikasi, terminal dan lain sebagainya. Dalam pembangunan prasarana
pariwisata pemerintah diharapkan lebih dominan karena pemerintah ndaerah dapat
mengambil manfaat ganda dari pembangunan tersebut, seperti meningkatkan arus
informasi, arus lalu lintas, ekonomi dan mobilitas penduduk yang tentu saja dapat
meningkatkan kesempatan berusaha bagi masyarakat di daerah tersebut.

3. Sarana wisata
Sarana wisata merupakan kelengkapan pendukung yang diperlukan untuk
melayani wisatawan dalam menikmati kunjungan wisatanya. Berbagai sarana
wisata yang harus disediakan di daerah tujuan wisata adalah hotel, biro perjalanan,
alat transportasi, rumah makan dan sebagainya. Tentu saja semakin lengkap

19
sarana wisata/fasilitas yang dapat diberikan oleh daerah tujuan wisata akan
meningkatkan daya tarik obyek wisata.

4. Tata laksana/infrastruktur
Infrastruktur adalah situasi perangkat lunak dan keras yang mendukung
sarana dan prasarana wisata, baik berupa sistem pengaturan maupun utilitas yang
berada di atas tanah maupun dibawah tanah seperti :
a) Sistem pengairan, distribusi air bersih, sistem pembuangan air limbah yang
membantu sarana perhotelan dan restoran.
b) Sumber listrik dan energi serta jaringan distribusinya yang merupakan bagian
vital bagi terselenggaranya sarana wisata yang memadai.
c) Sistem transpotasi yang memadai demi kemudahan wisatawan untuk
mengunjungi obyek wisata.
d) Sistem telekomunikasi yang memudahkan wisatawan untuk mendapatkan
maupun mengirimkan informasi.
e) Sistem keamanan

5. Masyarakat dan lingkungan


Kesiapan masyarakat di daerah tujuan wisata sangat mendukung keberhasilan
suatu daerah sebagai daerah tujuan wisata. Dengan terbinanya masyarakat sadar
wisata akan terjadi interaksi yang saling menguntungkan antara masyarakat di
daerah tujuan wisata dan wisatawan. Sehingga obyek wisata yang berupa sumber
daya alam, buatan dan budaya dapat sama-sama dipelihara demi keberlanjutan
pembangunan pariwisata itu sendiri.
Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya
pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati
pemandangan dan iklim. Sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata
yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Yulianda,
2007).

20
Tabel 1. Kegiatan wisata bahari yang dapat dikembangkan
Wisata Pantai Wisata Bahari
1. Rekreasi pantai 1. Rekreasi pantai dan laut
2. Panorama 2. Resort/peristirahatan
3. Resort/peristirahatan 3. Wisata selam dan wisata
4. Berenang/berjemur 4. Snorkeling
5. Olahraga pantai (voli pantai, 5. Selancar, jet ski, banana boat,
jalan pantai, lempar cakram, perahu kaca, kapal selam.
dll) 6. Wisata ekosistem lamun, wisata
6. Berperahu pulau, wisata nelayan, wisata
7. Memancing pendidikan, wisata pancing
8. Wisata Mangrove
Sumber : Yulianda (2007)

Secara umum pengembangan pariwisata di Indonesia bertumpu pada dua hal


pokok. Pertama, kekhasan dan keunikan budaya dan alam. Kedua, hubungan antar
manusia yang bersinggungan dengan sektor ini. Indonesia yang memiliki
keunggulan komparatif sebagai negara maritim merupakan motor penggerak
untuk menghasilkan sumbermdevisa yang penting jika dikelola dengan baik.
Pengelolaan sumberdaya pesisir sebagaimana bentuk-bentuk pengelolaan
lainnya seperti pengembangan masyarakat tidak lepas dari kebijakan pemerintah
setempat maupun pemerintah pusat dalam konteks makro. Kebijakan pemerintah
memegang peranan penting setidaknya dalam kontribusinya sebagai pihak yang
mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan yang relevan dengan objek
pengelolaan.
Begitu pula berbicara mengenai pengelolaan wilayah pesisir khususnya
untuk pariwisata tidak terlepas dari pemanfaaatan sumberdaya alam untuk
pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan harus
memperhatikan: (1) tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, (2)
dilaksanankan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, (3) memperhitungkan
generasi yang akan dating (Reksohadiprodjo dan Brojonegoro, 1992 dalam
Yudasmara, 2004)
Dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk pariwisata bahari, kegiatan
pembangunannya akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya
dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan pariwisata harus
ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang

21
dibutuhkan untuk kegiatan ini. Selain itu penempatan kegiatan wisata bahari
sedapat mungkin dihindari dari lokasi-lokasi yang sudah intensif/padat tingkat
industrialisasinya. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan pariwisata itu sendiri dan
kegiatan lain yang dibuang ke dalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak
melebihi kapasitas asimilasi-kemampuan suatu sistem lingkungan dalam
menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa
tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi
kemampuan pulih sumberdaya tesebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993
dalam Yudasmara, 2004).
Pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut
secara terpadu, yang didasarkan pada 4 alasan :
a. Terdapatnya keterkaitan ekologis baik antara ekosistem di dalam kawasan
pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
b. Terdapatnya lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa lingkungan
yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
c. Terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan,
keahlian, kesenangan dan bidang pekerjaan secara berbeda.
d. Secara ekologis dan ekonomis, pemanfaatan secara monokultur sangat rentan
terhadap pertumbuhan internal dan eksternal yang menjurus kegagalan usaha.
Pengelolaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan
aktivitas dari dua atau lebih sektor. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi
antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi
pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan pengawasan
(Dahuri et al, 2000).
Hal yang paling penting dalam keberhasilan pembangunan wilayah pesisir
untuk pariwisata bahari secara berkelanjutan adalah jika pola intensitas (tingkat)
pembangunannya sesuai dengan daya dukung lingkungan yang ada dan adanya
kemampuan untuk mengkonversi sumberdaya alam pesisir. Kondisi baru
terlaksana bila ada perhatian dan pengertian yang kuat terhadap pelestarian
lingkungan.

22
Menurut Lawrence (1998) dalam Yudasmara (2004) pengelolaan wilayah
pesisir secara berkelanjutan bergantung pada perhatian kepada masalah
pengelolaan dan perencanaan yaitu :
a. Pengakuan terhadap pentingnya aspek ekonomis dan sosial dari wilayah
pesisir.
b. Kemampuan mengambil keputusan untuk merencanakan dan mengelola
pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
c. Integrasi pengelolaan pemanfaatan wilayah pesisir yang beragam ke dalam
struktur sosial, budaya, hukum, dan administratif dari wilayah.
d. Pemeliharaan komponen keutuhan fungsional dari wilayah pesisir serta
ekosistem komponennya
Pemanfaatan atau pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
dihadapkan pada hambatan dan tantangan. Hambatan tersebut meliputi (1)
kesadaran masyarakat yang masih rendah, (2) keterbatasan jumlah orang terlatih ,
(3) diperlukan modal besar untuk mengembangkan pemahaman nilai strategis
wilayah pesisir. Sedangkan tantangan meliputi (1) laju pertumbuhan penduduk,
(2) kemiskinanm (3) peningkatan permukaan laut, (4) pengelolaan sumberdaya
yang tidak baik, (5) pemanfaatan sumberdaya yang berlebih.
Menurut Moscarda dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), menyatakan
bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan (1) peningkatan
kesejahteraan masyarakat, (2) mempertahankan keadilan antara generasi dan
intragenerasi (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem
ekologi, (4) menjamin integritas budaya.
Berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap berbagai sektor
lainnya, seperti sektor pertanian, peternakan, industri kerajinan rakyat, dan
kegiatan lainnya yang bersifat temporer (Spillane, 1994 dalam Yudasmara, 2004).
Melihat begitu banyaknya unsur yang berinteraksi dalam satu kegiatan pariwisata,
maka dalam pengembangan pariwisata diperlukan campur tangan (kebijakan)
pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya berbagai dampak negatif dari
mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan
dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang

23
bermukim di wilayah pesisir. Selain campur tangan pemerintah, keikutsertaan
masyarakat setempat dalam setiap kegiatan kepariwisataan perlu diperhatikan.

2.2. Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di sunia.
Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan
sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem
terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu karang memegang
fungsi penting di negara-negara berkembang, khususnya di Negara-negara
kepulauan berkembang (Westamacott et al,2000 dalam Akbar, 2006).
Tomascik et al, (1997) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa salah satu
fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai penyedia kesempatan atau peluang
untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu karang yang berkelanjutan yaitu
sebagai wisata bahari yaitu wisata yang berorientasi cahaya matahari, laut dan
pasir, snorkeling dan selam SCUBA merupakan daya tarik utama di banyak pulau
di daerah tropis. Ironisnya, ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun
sangat penting untuk makanan dan penerimaan devisa dari pariwisata dan
perikanan lepas pantai yang berasosiasi dengan karang, tidak dikelola dengan
baik, sehingga hasilnya adlah terjadi degradasi secara cepat.
Dahuri et al, (2003) menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk
wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan
di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya), dan hutan-
hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan
lain. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa andalan utama kegiatan wisata
bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek
wisata bahari karena memiliki estetika yang sangat tinggi.

24
2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang
Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir,
seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk
dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. antalan utama kegiatan wisata
bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang banyak dimanfaatkan untuk objek
wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono,
2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh
kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia
yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu:

2.3.1. Cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang.
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis oleh Zooxanthellae akan berkurang,
dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu
(CaC03) akan berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang
dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat
berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona
kompensasi) yaitu kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar
15-20 % dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron, 1995 dalam
Akbar, 2006). Keadaan awal di suatu tempat mempengaruhi pencahayaan pada
waktu siang hari, kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan
Goreau 1959 dalam Supriharyono, 2000).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam,
sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam
(Supriharyono, 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman
dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan

25
perairan, temperature, pertumbuhan musiman dari mikroalga, cahaya spesifik
yang dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap
cahaya. Karng umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30
m dan kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang
cocok (Veron, 1995 dalam Akbar, 2006). Menurut Kinsman (1964) dalam
Supriharyono (2000), secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang
dari 20 m.

2.3.2. Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22-29oC. batas maksimum dan
minimum suhu berkisar antara 16-17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman, 1964 dalam
Supriharyono, 2000). Veron (1995) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa
temperature minimal untuk karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode
waktu yang berlarut-larut telah diketahui sebagai temperature minimum
permukaan laut dimana fungsional karang-karang secara normal terekspos. Sangat
sedikit karang ber-Zooxanthellae yang diketahui dapat mentoleransi suhu dibawah
11 oC. Jokiel dan Coles (1977), Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam
Akbar (2006) menyatakan bahwa nilai pembatas dari temperature tinggi dari
pentingnya ekologi adalah mencapai maksimal 30-34oC. Nilai maksimum ini
bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC
lebih tinggi di daerah-daerah tropis daripada di daerah temperate (Coles et al,
1997, Coles and Jokiel, 1977 dalam Akbar, 2006). Perkembangan mengenai
pengaruh suhu terhadap binatang karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang
mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu maksimum atau
minimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak
dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker
(1981) dalam Supriharyono (2000), perubahan secara mendadak sektar 4-6 oC di
bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikan.

26
2.3.3. Salinitas
Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36o/oo (Kinsman,
1964 dalam Supriharyono, 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan
binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat
dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran
salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 o/oo (Vaughan, 1919, Wells, 1932 dalam
Supriharyono, 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas
maksimum tersebuty karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai
Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nil permil (0 o/oo) untuk beberapa jam
pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono,
2000).

2.3.4. Sedimentasi
Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978)
dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung
mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup
besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari
sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk
fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang
karang untuk untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam
Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki
keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah.
Loya (1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto
Rico yang sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0
mg/cm2/hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah
dibandingkan dengan di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000)
menyatakan bahwa sedimentasi dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah
pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan,
pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat

27
membebaskan sediment ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju
sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya
dan kontinuitas aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak
menerima limpahan sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju
sedimentasinya cenderung rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang
terbentuknya sediment, seperti pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya.
Namun apabila perairan karang tersebut lokasinya berdekatan dengan muara
sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya
tinggi, terutama di musim penghujan.
Pomeroy et al.(1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di
daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara
tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur,
dan kondisi ini sering menimbulkan dampakterhadap ekosistem terumbu karang.
Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa
adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang
Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca
dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang
di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat
pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulate
seperti yang terjadi di Pantai BandenganJepara. Makro alga tersebut mulai tumbuh
pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sediment yang
cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini umumnya
menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti Acropora sp dan
Montipora digitata.

2.3.5. pH
Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas
fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme
akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi
oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA
Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut

28
relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 8,4. Perairan yang produktif
dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5
8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 8,5 (KLH 2004).

2.3.6. Oksigen terlarut (DO)


Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan
penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana
konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal
dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut
lepas bisa mencapai 7 ml/l sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan
semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh
temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah.
Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh
terjadinya perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang
kaya akan karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi
oksigen terlarut di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut
Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 adalah sebesar >5 mg/l.

2.4. Komunitas Ikan Karang


Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan
sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan
celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk
bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari
ikan-ikan. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan
semakin kompleksnya habitat (Lowe-McConnel, 1987 dalam Akbar, 2006).
Warna ikan adalah yang dilihat pertama dan yang paling diingat oleh penyelam-
penyelam baru. Jika ikan-ikan karang tidak memiliki tanda corak dan pola yang
sangat luar biasa cemerlangdan variasinya, hal tersebut tidak mungkin terjadi
bahwa perjalanan pertama dengan masker dan snorkeldi atas karang akan menjadi
pengalaman yang tak terlupakan, satu ingatan yang menarik kita lagi dan lagi ke

29
perairan tropis. Menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat
dengan tiba-tiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang
sangat menarik (Wilson dan James, 1985 dalam Akbar, 2006). Supriharyono
(2000) menambahkan bahwa ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang
sangat indah, selain itu bentuknya sering unik, memberikan kesan tersendiri
kepada wisatawan.
Nybakken (1988) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa ikan karang
merupakan organisme yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang.
Keberadaan mereka telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai
ekosistem yang paling banyak dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi
dengan terumbu pada habitat yang disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan
makanan. Ikan-ikan karang ini memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang
untuk mempertahankan diri. Keberadaan ikan karang di perairan sangat
tergantung pada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase penutupan
karang hidup. Hal ini dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan
bentuk dan jenis terumbu sebagai tempat tinggal, perlindungan dan tempat
mencari makan. Ikan karang secara relatif menetap hampir di seluruh hidup
mereka. Sale (1978b) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa ikan karang kecil
(panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda dalam tingkat pergerakan, merupakan
hal yang benar bahwa ikan-ikan karang lebih menetap dibandingkan dengan
vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang mendukung hal tersebut adalah ikan
karang hidup di lingkungan yang sangat berstruktur yang dibuat oleh
arsitekturyang kompleks dari karang-karang, dan lingkungan yang berbeda-beda
dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam skala meter.
Sale (1991) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa Struktur karang yang
kompleks menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi
banyak ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak
spesies ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang,
tumpukan patahan karang dan turfalga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan
karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies
ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk

30
interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara
struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil.
Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan
biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan
pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan
karang.
Goldman dan Talbot (1976) dalam Akbar (2006) menyatakan bahwa secara
keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier Reef) biomasa
ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor tersebut juga
biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3. Biomasa di bagian
leeward slopeterdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam jumlah yang sama, di
laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata dasar dan grazer, dan
di windward slopedan transisi ke dasar yang tidak berkarang biomasa yang utama
adalah piscivores. Picivoresini akan tetapi, termasuk banyak spesies karnivor
yang beristirahat di sana siang hari tetapi pergi mencari makan pada malam hari,
sehingga tidak ada contoh yang akurat dari jumlah ikan yang tersedia disokong
oleh zona-zona tersebut.

31
III METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi


Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2016, di Perairan Desa
Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali. Stasiun yang ditetapkan sebagai area
pengamatan di Tulamben terdiri atas tiga stasiun masing-masing untuk kategori
selam dan snorkeling. Gambar 1 menunjukkan peta lokasi penelitian di Perairan
Tulamben.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan selama penelitian meliputi pita berskala (roll meter),
kamera digital bawah air, alat selam SCUBA, dan alat tulis bawah air digunakan
sebagai alat bantu pengambilan data terumbu karang dan ikan karang. Secchi disk
digunakan untuk mengukur kecerahan perairan. GPS (Global Positioning System)
digunakan untuk pengambilan data titik lokasi pengamatan dan buku identifikasi
ikan karang digunakan untuk membantu dalam mengidentifikasi jenis spesies ikan
karang.

32
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian survei
dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
lapangan melalui pengukuran dan pengamatan yang secara garis besar meliputi
persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan parameter kualitas
lingkungan perairan.
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap
laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi
terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti
laporan hasil survei dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia.

3.3.1. Persentase Tutupan Terumbu Karang


Metode pengukuran tutupan terumbu karang yang digunakan adalah metode
LIT (Line Intercept Transect) mengikuti English et al. (1997), dengan beberapa
modifikasi. Pengukuran tutupan karang dengan metode LIT didasarkan pada
bentuk pertumbuhan (lifeform) terumbu karang. Penentuan lifeform pada
penelitian ini didasarkan pada data identifikasi lifeform terumbu karang menurut
versi AIMS (Australian Institute of Marine Science). Jenis-jenis lifeform karang
menurut versi AIMS disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Bentuk pertumbuhan terumbu karang menurut versi AIMS
VERSI AIMS
AA Algae Assemblage CM Coral Massive
ACB Acropora Branching CME Coral Meliopora
ACD Acropora Digitate CMR Coral Mushroom
ACE Acropora Encrusting CS Coral Submassive
ACS Acropora Submassive DC Dead Coral
ACT Acropora Tabulate DCA Dead Coral with Algae
CA Corallinealgae HA Halimeda
CB Coral Branching MA Macro Algae
CE Coral Encrusting OT Others
CF Coral Foliose R Rubble
CHL Coral Heliopora RCK Rock
S Sand TA Turf Algae
SC Soft Coral WA Water
SI Silt ZO Zoanthids
SP Sponge
Sumber : Widikurnia,2016

33
Transek garis berupa roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar
dengan garis pantai. Panjang setiap lifeform dan substrat yang bersinggungan
dengan transek garis di sepanjang 50 meter dicatat menggunakan alat tulis bawah
air. Pengambilan data panjang lifeform terumbu karang dilakukan pada kedalaman
5 meter untuk kategori snorkeling dan 10 meter untuk kategori selam sebanyak
satu kali pada setiap stasiun pengamatan.

Gambar 2 Ilustrasi teknik pengambilan data Line Intercept Transect (English et al. 1997) dan Fish
Visual Census (Halford dan Thompson 1994)

3.3.2. Kelimpahan Ikan Karang


Jenis dan jumlah ikan karang yang ada di perairan Desa Tulamben dikaji
menggunakan metode underwater visual census. Metode pengambilan data jenis
dan jumlah ikan karang dilakukan sepanjang 50 meter pada kedalaman yang sama
dengan pengambilan data tutupan terumbu karang. Jumlah dan jenis spesies ikan
karang dicatat hingga batas 2,5 meter ke kiri dan 2,5 ke kanan dari transek garis.
Pengamatan ikan karang ditunjang dengan buku identifikasi ikan karang.

34
Gambar 3 Ilustrasi teknik pengambilan data ikan karang dengan underwater visual census (Reef
resources assestment tools, 2002)

3.3.3. Parameter Kualitas Lingkungan Perairan


Data lingkungan kualitas perairan yang diperlukan dalam penelitian ini
seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Parameter kualitas perairan yang diukur serta alat yang digunakan
No. Jenis Data Alat Satuan Keterangan
1. Kecepatan arus Drift float m/det In situ
2. Kecerahan Secchi disc (%) In situ
3. Kedalaman Dive computer Meter In situ
o
4. Salinitas Refraktometer ( /oo) In situ
5. Suhu Dive computer (oC) In situ

Pengukuran arah dan kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan


layang-layang arus (drift float) yakni dengan cara menghitung selang waktu ()
yang dibutuhkan pelampung untuk menempuh suatu jarak () tertentu,
sedangkan arah arus diukur menggunakan kompas dengan mengamati arah laying-
layang arus.
Kecerahan diukur dengan menggunakan Secchidisk yang diikat dengan
menggunakan tali berskala yang telah diketahui panjangnya, selanjutnya
dimasukkan ke dalam perairan secara perlahan-lahan hingga tidak tampak secara
visual. Nilai kecerahan dihitung dengan mempresentasekan panjang tali saat
Secchidisk masih terlihat dan tidak terlihat lagi sama sekali.
Kedalaman terumbu karang diukur menggunakan Dive computer, untuk
pengukuran suhu dapat dilihat pada Dive computer yang juga dapat membaca
nilai suhu saat mengukur kedalaman pada titik pengamatan. Sedangkan salinitas
diperoleh melalui hasil ukur menggunakan refraktometer.

35
3.4. Analisis Data
3.4.1. Persentase Penutupan Karang
Persen penutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentase tutupan
karang hidup (lifeform). Semakin tinggi persen penutupan karang hidup maka
kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik dan semakin penting pula untuk
dilindungi. Data persen penutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan
metode Line Intersect Transect (LIT) dihitung berdasarkan persamaan dari
English et al. (1997) :

= 100%

dimana :
: Persentase penutupan karang (%)
: Panjang lifeform jenis kategori ke-i (m)
: Panjang transek (m)

Kategori kondisi dalam persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez


dan Yap (1988) menyatakan kriteria baku mutu untuk kondisi terumbu karang
sebagai berikut :

a. Sangat Baik antara 75 100 %


b. Baik antara 50 74.9 %
c. Sedang antara 25 49.9 %
d. Rusak antara 0 24.9 %

3.4.2. Kelimpahan dan Keanekaragaman Ikan Karang


Kelimpahan ikan didefinisikan sebagai banyaknya ikan per luas daerah
pengambilan contoh. Kelimpahan ikan dihitung dengan rumus dari Odum (1971) :

=

Keterangan :
Xi : kelimpahan ikan karang (ind/m2)
Ni : total individu ikan karang pada stasiun pengamatan ke-i (ind)
A : luas bidang pengamatan (m2)

36
Sedangkan keanekaragaman ikan karang dihitung dengan menggunakan Indeks
Shannon-Wiener (Yusniar, 2010).


=
=1

Keterangan :
: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S : jumlah spesies ikan karang atau jumlah lifeform biota habitat
dasar
: proporsi kelimpahan individu dari satu individu ke i (ni/N)
Ni : jumlah individu tiap jenis
N : jumlah total

3.4.3. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Snorkeling


Kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh parameter dengan tiga
klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling dapat dilihat pada
Tabel 4, antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life form,
jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan
datar karang (Yulianda, 2007).

37
Tabel 4 Matriks kesesuaian Wisata Bahari kategori wisata snorkeling
Standar N
No. Parameter Bobot Skor
Parameter Bobot x Skor)
1. Kecerahan 5 100 3
perairan (%) 80 - < 100 2
20 - < 80 1
< 20 0
2. Tutupan 5 > 75 3
komunitas >50 75 2
karang (%) 25 - 50 1
< 20 0
3. Jenis life 3 > 12 3
form karang <7 12 2
4- 7 1
<4 0
4. Jenis ikan 3 > 50 3
karang 30 50 2
10 - > 30 1
< 10 0
5. Kecepatan 1 0 15 3
arus >15 30 2
(cm/det) >30 50 1
>50 0
6. Kedalaman 1 13 3
terumbu >3 6 2
karang (m) >6 10 1
>10 - < 1 0
7. Lebar 1 > 500 3
hamparan > 100 500 2
datar karang 20 100 1
(m) < 20 0
N =
Nmaks = 57
IKW =
Sumber : Yulianda (2007)

Selanjutnya untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan untuk wisata


snorkeling menggunakan formula:


= [ ] 100%

=1

Keterangan :
: indeks kesesuaian wisata snorkeling
: nilai parameter ke-i (bobot x skor)
: nilai maksimum dari suatu kategori wisata = 57

38
Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata snorkeling adalah sebagai
berikut (modifikasi Yulianda, 2007) :
S1 : sangat sesuai, dengan IKW 83 - 100 %
S2 : sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
N : tidak sesuai, dengan IKW < 50%

3.4.4. Indeks Kesesuaian Wisata Kategori Selam


Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam antara lain
kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang,
kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Nilai yang didapatkan dari setiap parameter kesesuaian ekowisata selam di
Desa Tulamben kemudian dikalkulasi menggunakan rumus Indeks Kesesuaian
Wisata. Pengkajian mengenai indeks kesesuaian pemanfaatan wisata selam
menurut Yulianda (2007) di formulasikan sebagai berikut:



= [ ] 100%

=1

Keterangan :
: Indeks Kesesuaian Wisata (%)
: Nilai parameter ke-i (Bobot x skor)
: Nilai maksimum (selam = 54)

Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata selam adalah sebagai


berikut (modifikasi Yulianda, 2007):
S1 = sangat sesuai, dengan IKW 83 - 100 %
S2 = sesuai, dengan IKW 50 - < 83 %
N = tidak sesuai, dengan IKW < 50%

39
Tabel 5 Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam
Standar N
No. Parameter Bobot Skor
Parameter Bobot x Skor)
80 3
Kecerahan 50 80 2
1. 5
perairan (%) 20 - < 50 1
< 20 0
> 75 3
Tutupan
>50 75 2
2. komunitas 5
25 - 50 1
karang (%)
< 25 0
> 12 3
Jenis life <7 12 2
3. 3
form karang 4- 7 1
<4 0
> 100 3
Jenis ikan 50 100 2
4. 3
karang 20 - < 50 1
< 20 0
0 15 3
Kecepatan
>15 30 2
5. arus 1
>30 50 1
(cm/det)
>50 0
Kedalaman 6 15 3
terumbu 3-<6 & >15-20 2
6. 1
karang >20 30 1
(m) < 3 & >30 0
N =
Nmaks
= 54
IKW =
Sumber : Yulianda (2007)

40
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Kondisi Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Tulamben
Tutupan karang hidup merupakan salah satu aspek penting dalam kegiatan
wisata selam dan snorkeling. Tutupan karang hidup juga menggambarkan kondisi
kesehatan terumbu karang di suatu kawasan perairan. Gambar 4 menunjukkan
kondisi tutupan karang hidup di tiga stasiun pengamatan di Tulamben.

60
52.48
50
42.24
37.96
Persentase (%)

40
29.58
30 25.64

20 16.26

10

0
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan

Gambar 4. Persentase tutupan karang hidup di setiap stasiun pengamatan


Persentase tutupan karang hidup pada stasiun pengamatan di Perairan
Tulamben berkisar antara 16,26% sampai dengan 52,48%. Persentase tutupan
karang hidup tebesar terdapat pada stasiun 3 yang terletak di Coral Garden pada
kedalaman 5 meter dengan persentase sebesar 52,48% sedangkan persentase
tutupan karang hidup terkecil terdapat pada stasiun 1 yaitu Shipwreck kedalaman
5 meter yakni 16,26% (Lampiran 1). Berdasarkan Gomez dan Yap (1988), kriteria
baku mutu untuk kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Tulamben
termasuk dalam kriteria rusak hingga baik.

Keanekaragaman jenis biota dan substrat menjadi salah satu parameter dan
daya tarik dalam pengembangan wisata selam dan snorkeling. Semakin beragam
lifeform terumbu karang, semakin beragam atraksi yang dapat dilihat oleh
penyelam. Hal tersebut berdampak baik bagi pengembangan kawasan wisata

41
selam dan snorkeling di Perairan Tulamben. Gambar 5 menunjukkan persentase
jenis biota dan substrat yang terdapat di setiap stasiun pengamatan di Perairan
Tulamben.

60

50
Persentase Tutupan (%)

40 Stasiun 1

30 Stasiun 2
Stasiun 3
20
Stasiun 4

10 Stasiun 5
Stasiun 6
0

TA

OT
WA
CE
CF

CMR
CS

S
RCK
CM

DCA
ACB

ACE
ACT

SP

SC
ACS
ACD

Bentuk Pertumbuhan Karang

Gambar 5. Persentase tutupan setiap bentuk pertumbuhan (lifeform) karang


di setiap stasiun pengamatan

Gambar 5 menunjukkan bahwa komponen abiotik yaitu water (WA), sand


(S) dan rock (RCK) merupakan lifeform yang dominan ditemui disetiap stasiun
pengamatan dan cenderung memiliki persentase yang tinggi dibandingkan dengan
lifeform lain. Jumlah lifeform yang terdapat di Stasiun 1 Shipwreck kedalaman 5
meter adalah 6 lifeform dengan yang tertinggi adalah rock (RCK) sebesar 52,76%,
sedangkan Stasiun 2 Shipwreck kedalaman 10 meter terdapat 11 lifeform,
persentase jenis lifeform tertinggi adalah water (WA) dengan persentase 39,54%.
Pada stasiun 3 dan 4 yaitu Coral Garden pada kedalaman 5 dan 10 meter masing-
masing terdapat 14 dan 15 lifeform dengan yang tertinggi adalah sand (S) sebesar
14,48% dan 22,56%. Jumlah lifeform pada stasiun 5 dan 6 Drop Off kedalaman 5
dan 10 meter adalah 11 lifeform dengan persentase tertinggi yaitu water (WA)
masing-masing sebesar 56,86% dan 41,22%.

Selain terumbu karang, keberadaan ikan karang juga menjadi daya tarik
dalam pengembangan kegiatan wisata selam dan snorkeling. Semakin banyak
jenis ikan karang yang ditemukan maka semakin baik untuk pengembangan

42
kegiatan wisata. Gambar 6 menunjukkan jumlah spesies ikan karang dalam setiap
famili.

16
14
Jumlah Spesies

12
10
8 Stasiun 1
6 Stasiun2
4
Stasiun 3
2
0 Stasiun 4

Mullidae

Sphyraenidae
Fistulariidae

Ostraciidae
Labridae
Congridae

Scaridae

Tetraodontidae
Zanclidae
Aulostomidae

Haemulidae

Lethrinidae
Lutjanidae
Balistidae

Pinguipedidae

Serranidae
Pomacanthidae
Acanthuridae

Caesionidae

Kyphosidae

Monacanthidae
Apogonidae

Nemipteridae

Pomacentridae
Chaetodontidae

Stasiun 5
Stasiun 6

Famili

Gambar 6. Jumlah jenis spesies ikan karang pada setiap famili


Tedapat 25 famili ikan karang yang ditemukan pada enam titik stasiun
pengamatan. Jumlah spesies yang didapatkan pada Stasiun 1 Shipwreck
kedalaman 5 meter sebanyak 16 spesies, Stasiun 2 Shipwreck kedalaman 10 meter
sebanyak 11 spesies, Stasiun 3 Coral Garden kedalaman 5 meter sebanyak 44
spesies, Stasiun 4 Coral Garden kedalaman 10 meter sebanyak 39 spesies, Stasiun
5 Drop Off kedalaman 5 meter sebanyak 32 spesies dan Stasiun 6 Drop Off
kedalaman 10 meter berjumlah 28 spesies. Chromis margaritifer merupakan
spesies dari family Pomacentridae dengan jumlah individu terbanyak dan
ditemukan di seluruh stasiun pengamatan (Lampiran 2).

Persentase kelimpahan famili ikan karang yang didapatkan pada stasiun


pengamatan di Perairan Tulamben menggambarkan perbandingan jumlah individu
spesies pada setiap famili ikan karang. Gambar 7 menunjukkan persentase
kelimpahan famili ikan karang yang terdapat pada stasiun pengamatan.

43
1% 2% 2%
3% Acanthuridae
3%
3% 1% Apogonidae
Balistidae
6% 1%
1% Chaetodontidae
Labridae
Lutjanidae
Nemipteridae

75% Pomacanthidae
Pomacentridae
Zanclidae

Gambar 7. Persentase kelimpahan famili ikan yang terdapat pada stasiun


pengamatan
Famili ikan karang Pomacentridae merupakan famili ikan karang yang
memiliki persentase terbesar pada stasiun pengamatan di Perairan Tulamben
sebesar 75%. Kepadatan jenis ikan karang dihitung berdasarkan jumlah individu
ikan karang yang ditemukan di sepanjang transek pengamatan. Gambar 8
menunjukkan kepadatan ikan karang pada stasiun pengamatan di Perairan
Tulamben.

2.5 2.396
2.108
Kepadatan (Ind/m2)

1.5
1.04
1 0.792 0.844

0.5 0.268

0
1 2 3 4 5 6
Stasiun Pengamatan

Gambar 8. Kepadatan individu ikan karang di setiap stasiun pengamatan

44
Stasiun 3 Coral Garden kedalaman 5 meter merupakan stasiun pengamatan
dengan kepadatan individu ikan karang terbesar, yaitu sebesar 2,40 individu/m 2.
Kepadatan individu ikan karang terkecil berada di Stasiun 2 Shipwreck kedalaman
10 meter yaitu sebesar 0,27 individu/m2.

4.1.2. Indeks kesesuaian Wisata Kategori Snorkeling dan Selam Kawasan


Perairan Tulamben

Beberapa parameter lingkungan pada ekosistem terumbu karang dibutuhkan


untuk menganalisis kesesuaian suatu kawasan untuk wisata selam dan snorkeling.
Parameter fisika perairan seperti kecerahan perairan, kecepatan arus dan
kedalaman perairan menjadi parameter yang juga perlu diperhitungkan dalam
menetapkan kesesuaian kawasan sebagai kawasan wisata selam dan snorkeling.
Selain itu parameter biologi seperti persentase tutupan karang, lifeform dan jumlah
jenis ikan karang juga dianalisa untuk menilai kesesuaian area untuk wisata
kategori selam dan snorkeling. Tabel 6 menunjukkan parameter-parameter yang
digunakan untuk penentuan kesesuaian wilayah untuk kategori wisata selam dan
snorkeling.

Tabel 6. Parameter- parameter dalam penentuan kesesuaian wisata selam dan


snorkeling di Perairan Tulamben

Tutupan Kedalam
Kecepatan Jenis
Kecerahan Komunitas Jenis -an
Stasiun Arus Ikan
(%) Karang lifeform Karang
(cm/dt) Karang
(%) (m)
1 88 13 16,26 6 16 5
2 43.5 14 29,58 11 11 10
3 90 13 52,48 14 44 5
4 57.5 13 42,24 15 39 10
5 87 15 25,64 11 32 5
6 52 14 37,96 11 28 10

Kecerahan perairan di Perairan Tulamben berkisar antara 87%-90% pada


kedalaman 5 meter dan 43,5%-57,5% pada kedalaman 10 meter (Lampiran 3).
Jumlah lifeform karang terbanyak ditemukan di Stasiun 4 dengan jumlah 15
lifeform, sedangkan jenis lifeform karang terkecil terdapat pada Stasiun 1 dengan
6 lifeform.

45
Indeks Kesesuaian Wisata merupakan analisis yang digunakan untuk
menentukan kelayakan suatu kawasan untuk dijadikan daerah wisata. Indeks
Kesesuaian Wisata (IKW) kategori selam dan snorkeling dihitung berdasarkan
parameter-parameter biologi dan fisika perairan di Perairan Tulamben. Tabel 6
dan 7 menunjukkan kategori IKW snorkeling dan selam dari setiap stasiun
pengamatan di Perairan Tulamben.
Tabel 7. Indeks kesesuaian wisata snorkeling pada setiap stasiun pengamatan di
Perairan Tulamben
Indeks
Kesesuaian
Stasiun Latitude Longitude Keterangan
Wisata
(IKW)
Shipwreck 38,89 Tidak Sesuai (N)
Coral Garden 74,07 Sesuai (S2)
Drop Off 59,26 Sesuai (S2)

Kategori kesesuaian wisata snorkeling di Perairan Tulamben termasuk ke


dalam kategori tidak sesuai (N) hingga sesuai (S2). Persentase kategori sesuai
(S2) tertinggi pada Stasiun Coral Garden dengan IKW sebesar 74,07% sedangkan
kategori tidak sesuai (N) terdapat di stasiun Shipwreck dengan persentase 38,89%
(Lampiran 4).

Tabel 8. Indeks kesesuaian wisata selam pada setiap stasiun pengamatan di


Perairan Tulamben
Indeks
Kesesuaian
Stasiun Latitude Longitude Keterangan
Wisata
(IKW)
Shipwreck 40,74 Tidak Sesuai (N)
Coral Garden 61.12 Sesuai (S2)
Drop Off 55,56 Sesuai (S2)

Kategori kesesuaian wisata selam di Perairan Tulamben termasuk ke


dalam kategori tidak sesuai (N) hingga sesuai (S2). Persentase kategori sesuai
(S2) tertinggi pada Stasiun Coral Garden dengan IKW sebesar 61,12% sedangkan
kategori tidak sesuai (N) terdapat di stasiun Shipwreck dengan persentase 40,74%
(Lampiran 5).

46
DAFTAR PUSTAKA

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resource. Austealia: Australia Institute of Marine Science
Odum EP. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan
sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Bogor: Standar Sains
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Pitana I Gde, I Putu Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan
Rakyat (Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri). Jakarta: LISPI.
Yudasmara GA. 2004. Analisis kebijakan pengembangan wisata bahari dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan [tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Prakoso VA. 2008. Kajian sumberdaya ekowisata bahari di Pulau Sabesi, Desa
Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan [skripsi].
Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Adi AB, Mustafa A, Ketjulan R. 2013. Kajian potensi kawasan dan kesesuaian
terumbu karang di Pulau Lara untuk pengembangan ekowisata bahari.
Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 01 No.01 (49-60). Kendari: Program
Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo
Akbar A. 2006. Inventarisasi potensi ekosistem terumbu karang untuk wisata
bahari (snorkeling dan selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau
Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. [skripsi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Damanik J dan Helmut FW. 2006. Perencanaan Ekowisata Dari Teori Ke
Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi Offset.
MacKinnon J, K. Mackinnon, G. Childdan, J. Thorsell. 1990. Pengelolaan
Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. 2. H.H Amir,
penerjemah; Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari: Managing Protected Areas in Tropics.

47
Purnamasari Q. 2004. Kajian pengembangan produk wisata alam berbasis ekologi
di wilayah wana wisata Curug Cilember, Kabupaten Kuningan
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta:
Djambatan.
[KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu
Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut. KLH RI.
[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah
Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan P2O-
LIPPI Tanjungpandan. 2005. Laporan Akhir : Studi Potensi
Sumberdaya Ikan dan Lingkungan Kelautan Kabupaten Belitung.
BAPPEDA Kabupaten Belitung.
Ketjulan R. 2011. Daya dukung perairan Pulau Hari sebagai obyek ekowisata
bahari. Jurnal Aqua Hayati, 7(3):183-188.
Latupapua YT. 2008. Studi potensi kawasan dan pengembangan ekowisata di
Tual Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Ichsan Gorontalo,
3(1):1360-1375.
Tomboelu N, Bengen DG, Nikijuluw VPH, Idris I. 2000. Analisis kebijakan
pengelolaan sumberdaya terumbu karang di kawasan Bunaken dan
sekitarnya. Jurnal Pesisir dan Lautan, 3(1):51-67.

48
Lampiran 1 Persen tutupan lifeform pada setiap stasiun pengamatan Perairan
Tulamben

Persen Tutupan (%)


Lifeform Shipwreck Coral Garden Drop off
5m 10m 5m 10m 5m 10m
ACB 0 0 0.64 0.74 0 0
ACS 0 0 1.96 0 1,06 0
ACD 0 0.48 9.76 16.22 2.04 0.4
ACE 0 16.52 0 0 5.8 0
ACT 0 0 7.86 2.18 0 1.48
CE 6.06 1.52 9.6 6.58 11.78 11.16
CF 0 8.22 5.24 0.58 1.2 2.3
CM 0 2.84 12.4 13.08 2 11.94
CMR 0 0 5.02 1.4 0 0
CS 10.2 0 0 1.46 1.76 10.68
DCA 0 0 0 0.7 0 0
WA 22.1 39.54 1.62 19.2 56.86 41.22
S 8.82 1.84 14.48 22.56 0 0
RCK 52.76 9.1 9.52 8.74 11.36 5.54
TA 0 8.16 6.06 2.38 0.58 1.58
SP 0 9.38 0 3.04 1.14 8.18
OT 0.06 2.4 6.02 1.14 4.42 5.52
SC 0 0 9.82 0 0 0
Tutupan Karang 16.26 29.58 52.48 42.24 25.64 37.96
Karang Dominan RCK WA S S WA WA
Total Lifeform 6 11 14 15 11 11

49
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan

Coral Garden Drop off Shipwreck


No Nama Spesies Family
5m 10m 5m 10m 5m 10m
1 Acanthurus lineatus Acanthuridae 1 0 0 0 0 0
2 Acanthurus nigrofuscus Acanthuridae 7 2 0 4 0 3
3 Acanthurus nobilus Acanthuridae 0 1 0 0 0 0
4 Acanthurus auranticvus Acanthuridae 0 0 0 8 0 0
5 Ctenochaetus striatus Acanthuridae 5 2 4 1 0 0
Ctenochaetus
6 marginatus Acanthuridae 0 6 0 0 0 0
7 Ctenochaetus binotatus Acanthuridae 1 0 0 0 0 0
8 Acanthurus fowleri Acanthuridae 0 0 1 0 0 0
9 Zebrasoma rostratum Acanthuridae 0 0 1 0 0 0
10 Zebrasoma scopas Acanthuridae 0 0 1 3 0 0
11 Acanthurus nigricauda Acanthuridae 0 0 0 1 6 0
12 Naso coesius Acanthuridae 0 0 1 0 3 0
13 Apogon aureus Apogonidae 56 0 0 0 0 0
14 Aulostomus chinensis Aulostomidae 0 0 1 0 0 0
15 Balistapus undulatus Balistidae 1 0 2 0 0 0
16 Odonus niger Balistidae 0 25 0 0 0 0
17 Sufflamen chrysopterus Balistidae 0 1 0 1 0 0
18 Caesio cuning Caesionidae 1 0 0 0 0 0
19 Chaetodon decussatus Chaetodontidae 0 2 0 0 0 0
20 Chaetodon kleinii Chaetodontidae 6 11 0 4 4 0
21 Chaetodon speculum Chaetodontidae 3 4 0 0 0 0
22 Hemitaurichthys zoster Chaetodontidae 0 2 0 0 0 0
23 Chartodon rafflesi Chaetodontidae 2 0 0 0 0 0
Hemitaurichthys
24 polylepsis Chaetodontidae 0 0 5 0 0 0
25 Chaetodon baronessa Chaetodontidae 0 0 0 1 0 0
26 Forcipiger flavissimus Chaetodontidae 0 0 2 2 0 0
27 Chaetodon lineolatus Chaetodontidae 0 0 0 0 0 1
28 Gorgasia maculata Congridae 0 3 0 0 0 0
29 Fistularia commersoni Fistulariidae 1 2 0 1 0 0
Plectorhinchus
30 orientalis Haemulidae 0 0 0 0 6 0
31 Kyphosus cinerascens Kyphosidae 0 0 0 1 24 0
32 Coris pictoides Labridae 2 0 0 0 0 0
33 Halichoeres chrysus Labridae 0 10 0 0 0 0
34 Thalassoma lunare Labridae 0 2 17 20 27 1
35 Halichoeres prosopeion Labridae 0 3 1 0 0 1
Halichoeres
36 chloropterus Labridae 5 6 1 0 0 0
Diproctacanthus
37 xanthurus Labridae 3 0 1 0 0 0

50
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan
(lanjutan)

38 Thalassoma lutescens Labridae 2 0 0 1 0 0


39 Halichoeres melanurus Labridae 0 0 0 0 0 1
40 Lethrinus obsoletus Lethrinidae 1 0 0 0 0 0
41 Lutjanus lunulatus Lutjanidae 0 0 3 0 0 0
Lutjanus
42 argentimaculatus Lutjanidae 0 0 1 0 0 0
43 Lutjanus vitta Lutjanidae 0 0 0 0 1 0
44 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 0 0 0 0 2 0
45 Cantherhines dumerili Monacanthidae 3 1 0 1 0 1
Parupeneus
46 macronemua Mullidae 0 3 0 0 0 0
Parupeneus
47 multifasciatus Mullidae 0 1 0 0 0 0
48 Parupeneus barberinus Mullidae 0 0 0 0 1 0
49 Scolopsis bilineatus Nemipteridae 3 3 1 0 0 0
50 Scolopsis xenochroa Nemipteridae 2 1 0 0 0 0
51 Ostracion meleagris Ostraciidae 0 0 0 2 0 0
52 Parapercis sp. Pinguipedidae 4 0 0 0 0 0
53 Centropyge bicolor Pomacanthidae 2 4 4 0 0 0
54 Centropyge vroliki Pomacanthidae 2 0 1 6 0 0
55 Pygoplites diacanthus Pomacanthidae 0 0 2 0 0 0
Pomacanthus
56 imperator Pomacanthidae 0 0 5 0 0 0
57 Amphiprion polymnus Pomacentridae 5 1 0 0 0 0
58 Chromis analis Pomacentridae 0 12 0 0 0 0
59 Chromis atropectoralis Pomacentridae 0 28 0 0 0 0
60 Chromis margaritifer Pomacentridae 148 7 40 21 72 28
61 Chromis weberi Pomacentridae 47 4 0 0 0 0
Chrysiptera
62 coeruleolineata Pomacentridae 67 211 5 26 0 19
63 Dascyllus trimaculatus Pomacentridae 22 6 10 10 7 4
Hemiglyphidodon
64 plagiometopon Pomacentridae 41 8 35 32 0 0
65 Neoglyphidodon crossi Pomacentridae 0 9 0 0 0 2
66 Pomacentrus coelestis Pomacentridae 103 128 0 0 0 0
67 Amphiprion perideraion Pomacentridae 6 2 0 0 0 0
68 Amphiprion sebae Pomacentridae 2 0 0 0 0 0
Neopomacentrus
69 violascens Pomacentridae 5 0 0 0 0 0
Pomacentrus
70 taenlometopon Pomacentridae 4 0 0 0 0 0
Pomacentrus
71 bankanensis Pomacentridae 3 0 0 0 0 0
Pomacentrus
72 lepidogenys Pomacentridae 1 0 23 21 0 0
73 Amphiprion akallopisos Pomacentridae 20 0 0 0 0 0

51
Lampiran 2 Jenis dan kelimpahan ikan karang di setiap stasiun pengamatan
(lanjutan)

74 Amphiprion ocellaris Pomacentridae 3 0 0 0 0 0


Amblyglyphidodon
75 aureus Pomacentridae 0 0 18 2 0 4
76 Chrysiptera talboti Pomacentridae 0 0 1 18 0 0
77 Abudefduf vaigiensis Pomacentridae 0 0 0 0 16 0
78 Abudefduf sexfasciatus Pomacentridae 0 0 0 33 6 0
79 Dascyllus albisella Pomacentridae 0 0 0 9 10 0
Chromis
80 schotochiloptera Pomacentridae 0 0 14 0 12 0
81 Dascyllus reticulatus Pomacentridae 0 0 0 0 0 2
Pomacentrus
82 molucensis Pomacentridae 0 0 0 5 0 0
83 Chromis retrofasciata Pomacentridae 0 0 3 0 0 0
84 Chrysiptera rex Pomacentridae 0 0 0 0 0 0
85 Scarus russellii Scaridae 1 0 0 0 0 0
86 Scarus oviceps Scaridae 0 0 2 0 0 0
Anyperodon
87 leucogrammicus Serranidae 1 0 0 0 0 0
88 Cephalopolis argus Serranidae 1 0 0 0 0 0
89 Chepalopolis miniata Serranidae 1 3 0 0 0 0
90 Threadfins anthias Serranidae 0 5 0 0 0 0
91 Pseudanthias huchti Serranidae 0 4 0 0 0 0
92 Vanola louti Serranidae 1 0 0 0 0 0
Pseudanthias
93 bimaculatus Serranidae 0 0 0 5 0 0
94 Sphyraena barracuda Sphyraenidae 0 0 0 0 1 0
95 Arothron stellatus Tetraodontidae 0 1 0 0 0 0
96 Canthigaster callisterna Tetraodontidae 0 1 0 0 0 0
97 Arothron hispidus Tetraodontidae 1 0 0 0 0 0
98 Canthigaster valentini Tetraodontidae 0 0 0 1 0 0
99 Sufflamen fraenatum Tetraodontidae 0 0 1 0 0 0
100 Zanclus cornutus Zanclidae 3 2 4 20 0 0
Total Individu 599 527 211 260 198 67
Transek (m2) 250 250 250 250 250 250
Total Spesies 44 39 32 28 16 11
Total Family 17 14 12 13 9 5
Kelimpahan
(Ind/m2) 2.396 2.108 0.844 1.04 0.792 0.268
Indeks
Keanekaragaman 2.5615 2.2001 2.7112 2.8086 2.1242 1.721

52
Lampiran 3 Data kecerahan perairan di Perairan Tulamben

Stasiun
Kecerahan Perairan
Kedalaman d1 (cm) d2 (cm) N (cm)
Lokasi (%)
(cm)
Shipwreck 500 450 430 440 88
1000 440 430 435 43.5
Coral 500 450 450 450 90
Garden 1000 580 570 575 57.5
Drop off 500 440 430 435 87
1000 520 520 520 52

53
Lampiran 5 Matriks analisis kesesuaian lahan untuk wisata bahari kategori
wisata snorkeling
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 1 (Shipwreck)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 88 S2 2 10
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 16.46 TS 0 0
3 Jenis lifeform 3 6 S3 1 3
4 Jenis ikan karang 3 16 S3 1 3
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 13 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 5 S2 2 2
Ni 21
N Max 54
IKW 38.89
N
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 2 (Coral Garden)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 90 S2 2 10
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 52.48 S2 2 10
3 Jenis lifeform 3 14 S1 3 9
4 Jenis ikan karang 3 44 S2 2 6
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 13 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 5 S2 2 2
Ni 40
N Max 54
IKW 74.07
S2

Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 3 (Drop Off)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 87 S2 2 10
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 25.64 S3 1 5
3 Jenis lifeform 3 11 S2 2 6
4 Jenis ikan karang 3 32 S2 2 6
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 15 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 5 S2 2 2
Ni 32
N
Max 54
IKW 59.26
S2

54
Lampiran 6 Matriks analisis kesesuaian lahan untuk wisata bahari kategori
wisata selam
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 1 (Shipwreck)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 43.5 S3 1 5
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 29.58 S3 1 5
3 Jenis lifeform 3 11 S2 2 6
4 Jenis ikan karang 3 11 TS 0 0
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 14 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 10 S1 3 3
Ni 22
N Max 54
IKW 40.74
N

Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 2 (Coral Garden)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 57.5 S2 2 10
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 42.24 S3 1 5
3 Jenis lifeform 3 15 S1 3 9
4 Jenis ikan karang 3 39 S3 1 3
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 13 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 10 S1 3 3
Ni 33
N Max 54
IKW 61.11
S2
Matriks analisis kesesuaian lahan pada Stasiun 3 (Drop Off)

No Parameter Bobot Hasil Pengamatan Kategori Skor Nilai


1 Kecerahan perairan (%) 5 52 S2 2 10
2 Tutupan komunitas karang (%) 5 37.96 S3 1 5
3 Jenis lifeform 3 11 S2 2 6
4 Jenis ikan karang 3 28 S3 1 3
5 Kecepatan arus (cm/dt) 1 14 S1 3 3
6 Kedalaman terumbu karang (m) 1 10 S1 3 3
Ni 30
N Max 54
IKW 55.56
S2

55

Anda mungkin juga menyukai