Anda di halaman 1dari 21

STRUKTUR KOMUNITAS KARANG KERAS

(BANGSA SCLERACNTINIA) YANG BERADA DI


PULAU BIRA BESAR DAN BIRA KECIL,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

Skripsi

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar


Sarjana Sains

Almubariq Ali Revonaldi


3425161534

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Struktur Komunitas Karang Keras (Bangsa Sclerectinia)


Yang Berada Di Pulau Bira Besar dan Bira Kecil,
Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama Mahasiswa : Almubariq Ali Revonaldi
No Reg : 3425161534
Program Studi : Biologi

Disetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Ratna Komala, M.Si.


NIP.196408151989032002 NIP.

Koordinator Program Studi Biologi Dekan FMIPA UNJ

Dr. Reni Indrayanti, M.Si. Prof. Dr. Suyono, M.Si.


NIP.196210221998032001 NIP.196712181993031005

Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang
telah memberi rahmat dan hidayah-Nya maka karya ilmiah ini berhasil diselesaikan
oleh penulis. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian sains yang berjudul
“Struktur Komunitas Karang Keras (Bangsa Sclerentina) Yang Berada Di Pulau
Bira Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta ”.

Jakarta, 2 Mei 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ......................................... i


KATA PENGANTAR ................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………. 2
1.3 Tujuan ....................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Biologi Terumbu Karang........................... 3
2.2 Ekologi Terumbu Karang.......................... 3
2.3 Faktor-faktor Pembatas Terumbu Karang.. 4
2.3.1 Salinitas ..................................... 4
2.3.2 Cahaya ....................................... 4
2.3.3 Suhu ........................................... 4
2.3.4 Kejernihan Air ........................... 5
2.3.5 Arus ........................................... 6
2.3.6 Substrat ...................................... 6
2.4 Tipe Pertumbuhan Karang......................... 6
2.5.Fungsi Terumbu Karang ........................... 7
2.6.Kondisi Terumbu Karang ......................... 8

BAB III METODOLOGI


3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan ............... 9
3.2 Metode Penelitian ..................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ................................................. 14


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Struktur komunitas merupakan ilmu mempelajari tentang sususan atau komposisi
spesies dan kelimpahannya dalam suatu ekosistem (Schowalter, 1996). Struktur komunitas,
mempunyai beberapa indeks ekologi yang meliputi indeks keanekaragaman, indeks
kemerataan dan dominansi. Ketiga indeks ini saling berkaitan saling dan mempengaruhi
(Latuconsina, 2016). Pada suatu komunitas, dengan keanekaragaman jenis yang tinggi akan
terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energi atau jaring makanan, predasi dan
kompetisi, sehingga terjadi kestabilan ekosistem karena kemerataan jenis yang juga tinggi.
Sebaliknya, dengan dominansi yang tinggi, maka terjadi ketidakstabilan ekosistem karena
transfer energi melalui jaring makanan lebih didominansi oleh spesies tertentu saja. Salah
satu komunitas yang terdapat di lautan yaitu komunitas karang (Latuconsina, 2016).
Terumbu Karang adalah suatu ekositem yang bersimbiosis dengan kelompok hewan
anggota filum Cnidaria yang dapat menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat.
Karang dapat berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan
koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau
kolarit dalam kerangka yang massif (Prasetya, 2003). Terumbu karang dikenal sebagai
ekosistem yang sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman biota tinggi seperti
moluska, crustacea dan ikan karang. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu
kesatuan komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trofik,
dimana masing-masing komponen dalam komunitasterumbu karangini mempunyai
ketergantungan yang erat satu sama lain. Terumbu karang dikenal sebagai suatu komponen
yang memiliki fungsi pentingdalam ekosistemnya. Terumbu karang tidak terlepas dari
peranan ekologisnya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan
(nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran (rearing
ground)bagi biota ekonomis penting.
Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga dapat mendukung karang keras untuk hidup,
salah satu penyebaran karang keras yaitu di pantai utara Jawa yaitu Kepulauan Seribu
(Suharsono, 2008). Peruntukan Kepulauan Seribu mengalami perubahan, yang awalnya
untuk pemukiman, perikanan dan pertambangan, berubah menjadi kawasan konservasi dan
pariwisata (Yusri et al, 2009).
1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat perbedaan kondisi tutupan karang keras (bangsa Sclerectinia), di


Pulau Bira Besar dan Pulau Bira Kecil Kepulauan Seribu ?
2. Apakah terdapat perbedaan karakteristik komunitas karang keras (bangsa
Sclerectinia), di Pulau Bira Besar dan Pulau Bira Kecil Kepulauan Seribu ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui struktur komunitas karang keras (bangsa Sclerectinia) meliputi


persentase tutupan, keanekaragaman, keseragaman, dominansi karang keras
(bangsa Sclerectinia), di Pulau Bira Besar dan Pulau Bira Kecil Kepulauan Seribu.
2. Mengetahui karakteristik komunitas karang keras (bangsa Sclerectinia), di Pulau
Bira Besar dan Pulau Bira Kecil Kepulauan Seribu.
3. Mengetahui kondisi fisik dan kimia lingkungan perairan di Pulau Bira Besar dan
Pulau Bira Kecil Kepulauan Seribu.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi kepada para pengelola Pulau Bira Besar dan Bira kecil
mengenai struktur komunitas karang keras yang berada di pulau tersebut untuk
pengelolaan sumber daya karang keras yang berkelanjutan.
2. Memberikan data untuk penelitian selanjutnya yang relavan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Terumbu Karang


Terumbu karang adalah suatu ekosistem di perairan tropis yang dibangun oleh
biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-
sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya seperti jeni-jenis Moluska, Krustase,
Echindermata, Polychaeta, Porifera dan Tunikata serta biota lain yang hidup bebas di
perairan sekitarnya termasuk jenisjenis plankton dan jenis-jenis ikan (Sukarno, 1995).
Biota karang merupakan penyusun utama dari terumbu karang. Berdasarkan
pertumbuhannya, karang terdiri dari dua kelompok yang berbeda, yaitu karang hermatipik
dan karang ahermatipik. Karang hermatipik bersimbiosis dengan zooxanthella dan dapat
menghasilkan terumbu. Sedangkan karang ahermatipik tidak bersimbiosis dengan
zooxanthella dan tidak menghasilkan terumbu. Karang ahermatipik tersebar di seluruh
dunia, sedangkan hermatipik hanya ada di daerah tropik (Nybakken, 1992).
Peran zooxanthella dalam jaringan karang adalah mensintesis beberapa senyawa
hasil sekresi polip karang seperti gas karbondioksida (CO2), Nitrogen (terutama dalam
bentuk amoniak) dan fosfat dalam proses pengendapan kapur oleh polip karang,
menyebabkan karang hermatipik mampu membentuk terumbu akibat proses tersebut.
Proses respirasi (penyerapan oksigen untuk pernafasan) karang hermatipik lebih efektif
dengan adanya zooxanthella. Proses fotosintesa alga tersebut menjamin tersedianya gas
oksigen (O2) untuk kebutuhan metabolisme dan pernafasan hewan karang.
Dalam siklus hidupnya, karang berkembang biak dengan seksual (generatif) dan
aseksual (vegetative) (Nybakken, 1992). Pada perkembangbiakan secara seksual,
pembuahan terjadi setelah sel kelamin jantan (sperma)telah mencapai sel kelamin betina
(ovum) di dalam ruang gastrovaskur. Proses pembuahan akan membentuk planula (larva)
yang berukuran 1.20 mikron, yang berenang bebas. Planula hidup dalam jangka waktu
tertentu temporal. Planula mula-mula berbentuk masif, seluruh tubuhnya mengandung
silia, kemudian terbentuk mulut disalah satu ujungnya, untuk selanjutnya terbentuk pula
rongga tubuhnya. Pada saat menemukan susbtrat yang cocok, hewan ini akan melekatkan
diri dengan bagian mulut berada di sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya
mengeluarkan zat untuk memperkuat kedudukannya. Selanjutnya akan mengalami proses
metamorfosa (perubahan bentuk), membentuk kerangka kapur dengan bersekat-sekat
(Nybakken, 1992).
2.2 Ekologi Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang unik, yang hanya terdapat pada
perairan tropik dan umumnya ditandai dengan menonjolnya kekayaan jenis biota yang
hidup di dalamnya. Johannes (1972) mengemukakan bahwa terumbu karang adalah
komunitas yang memiliki keanekaragaman jenis biota yang besar dan memiliki panorama
yang indah.
Kelangsungan hidup terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan.
Nontji (1993) mengelompokkaan faktor pembatas tersebut kedalam enam faktor, yaitu
cahaya, suhu, salinitas, kejernihan air, arus dan substrat. Sedangkan Nybakken (1992)
membaginya dalam lima faktor, yaitu suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, dan faktor
pengendapan.
Berdasarkan kedalaman, ekosistem terumbu karang akan mudah tumbuh dengan
baik pada perairan dengan kedalaman 25 meter atau kurang, akan tetepi tidak dapat hidup
pada kedalaman 50-70 m. Penyebaran goegrafis terumbu karang dipengaruhi oleh suhu dan
hampir semuanya hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan isoterm
200c. Perkembangan terumbu karang yang optimal terjadi diperairan yang rata-rata suhu
tahunannya 230c-250c. Namun terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai 360c-
400c. Terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau
lebih rendah dari salinitas normal (30-350/00) (Nybakken, 1992). Menurut Sukarno (1995),
terumbu karang dapat hidup dalam batas salinitas yang berkisar 25-400/00.
Pengendapan mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan karang yaitu
mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesa oleh zooxanthella dalam jaringan
karang. Akibatnya, perkembangan terumbu karang berkurang. Pengendapan juga
menyumbat dan mengganggu cara makan hewan karang, sehingga memaksa karang untuk
memproduksi kelenjar lendir lebih banyak untuk menyingkirkan partikel yang menempel
pada tubuh karang (Nybakken, 1992).

2.3 Faktor-faktor Persyaratan Hidup Terumbu Karang

2.3.1 Salinitas
Hewan karang batu mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas dengan kisaran
anatara 27-40 per mil (Nontji, 1993). Adanya aliran air tawar akan menyebabkan kematian
dan membatasi penyebaran karang batu secara lokal. Karang batu dapat hidup dalam batas-
batas salinitas tertentu. Di depan muara sungai yang besar biasanya pertumbuhan karang
tidak subur, diduga karena rendahnya salinitas disamping kekeruhan. Hujan yang sangat
lebat menyebabkan permukaan laut mendadak turun salinitasnya

2.3.2 Cahaya
Cahaya matahari terutamma diperlukan bagia fotosintesis alga simbiotik yaitu
Zooxanthellae. Kedalaman pnetrasi sinar matahari mempengaruhi pertumbuhan karang
hematripik. Nontji (1993), mengemukakan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat
antara polip karang pembentuk terumbu dengan Zooxanthellae, terutama keberhasilan
dalam proses fotosintesis dan pertumbuhannya. Pada kedalaman lebih dari 40 m polip
karang biasanya sudah tidak bisa hidup lagi karena Zooxanthellae dalam jaringannya sudak
tidak dapat menyumbang makanan dan oksigen dari proses fotosintesis karena intensitas
cahaya yang masuk sudah sangat kecil. Semakin besar kedalaman suatu perairan, makin
kecil pula makanan berupa produk hasil fotosintesis yang dapat disumbangkan kepada
polip inangnya. Nontji (1993), menyatakan bahwa kedalaman maksimum untuk karang
pembentuk terumbu karang adalah 40 m, dan lebih dari itu cahaya sudah terlampau lemah
untuk memungkinkan Zooxanthellae menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang batu.

2.3.3 Suhu
Suhu merupakan pembatas utama sebaran secara geografik. Suhu perairanyang
memungkinkan untuk dapat hidupnya terumbu adalah berkisar antara 25-28oC (Nontji,
1993). Lebih lanjut Nybakken (1993), menyatakan bahwa terumbu karang mempunyai
toleransi suhu sampai 40oC. Karang batu masih dapat hidup pada toleransi suhu ±15oC.
Suhu ekstrim dapat mempengaruhi binatang karang, seperti reproduksi, metabolisme, dan
pengapuran (kalsifikasi). Karang batu pembentuk terumbu karang memerlukan suhu air
yang agak lebih tinggi yaitu ±20oC. Suhu diatas 30oC adalah suhu diatas optimumnya,
karenanya terumbu karang tidak ditemukan pada daerah temperata apalagi daerah dingin
Disamping itu perairan yang digunakan sebagai pembuangan air panas, menyebabkan
kematian bagi hewan karang. Nontji (1993), menyebutkan bahwa kisaran suhu perairan
Indonesia berkisar antara 27-28oC, dan kirsaran ini cocok untuk tumbuhnya hewan karang
seperti yang banyak ditemukan di perairan Indonesia.

2.3.4 Kejernihan Air


Untuk kehidupannya, terumbu karang membutuhkan air laut yang bersih dari
kotoran-kotoran karena benda-benda yang terdapat dalam air dapat menghalangi masuknya
cahaya matahari yang diperlukan Zooxanthellae. Endapan kumpur atau pasir yang
terjakandung dalam air maupun yang terdapat di atas karang mempunyai pengaruh negatif
terhadap karang serta dapat mengakibatkan kematian hewan karang. Kebanyakan karang
hermatipik tidak dapat bertahan dengan adanya endapat berat yang menutupi dan
menumbat struktur saluran makanannya. Akibat pengaruh negatif tersebut perkembangan
terumbu karang menjadi lambat atau berkurang bahkan menghilang dari daerah-daerah
yang pengendapannya besar. Jika endapat ini diangkut oleh sungai-sungai atau aliran air
maka gabungan dari berkurangnya salinitas dan ndapan yang berlebihan menyebabkan
terumbu karang menjadi tidak tumbuh (Nybakken, 1993). Apabila air keruh mengandung
banyak lumpur atau pasir maka hewan karang mengalami kesulitan untuk membersihkan
dirinya. Nontji (1993), menyatakan pertumbuhan karang yang baik hanya pada perairan
yang jernih dan bersih.

2.3.5 Arus
Pergerakan air atau arus serta gelombang besar diperlukan untuk tersedianya suplai
makanan jasad renik dan oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan
(Nybakken, 1993). Pada umumya terumbu karang berkembang di daerah-daerah yang
memilki gelombang besar.

2.3.6 Substrat
Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk perlekatan (settling)
planula yang akan membentuk koloni baru. Substrat keras dapat berupa benda padat yang
ada di dasar laut misalnya batu, cangkang-cangkang moluska, potongan kayu besi yang
terbenam bahkan kapal tenggelam (Nontji, 1993).

2.4 Tipe Pertumbuhan Karang


Individu hewan karang (polip) berasal dari kelas Anthozoa, memiliki bentuk
sederhana seperti tabung, terletak didalam koralit (corallite) di permukaan kerangka kapur
dengan ukuran yang bervariasi. Polip memiliki tentakel serta struktur otot yang tipis dengan
susunan jaringan berupa ektoderm, mesoglea dan endoderm, mampu membentuk rangka
luar dari kapur yang struktur morfologinya beraneka ragam (Suharsono, 1984). Umumnya
hewan karang hidup berkoloni, akan tetapi ada yang soliter.
Karang mempunyai variasi bentuk pertumbuhan individu maupun koloninya yang
berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari matahari pada masing-masing lokasi.
Beberapa contoh bentuk pertumbuhan karang serta karakteristik dari masing-masing
genera (Dahl, 1981) yaitu:
1. Tipe bercabang (Branching)
Banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada
bagian yang terlindungi atau setengah terbuka. Biasanya bentuk ini menjadi tempat
berlindung bagi karang. Cabang-cabang yang terbentuk memiliki ukuran yang
lebih panjang dari diameternya.
2. Tipe Masif (Padat)
Karang ini berbentuk seperti bola, ukurannya dapat mencapai beberapa meter.
Banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan di atas lereng terumbu yang dewasa
dan belum terganggu atau rusak. Jika beberapa bagian dari karang tersebut mati
maka karang ini akan berkembang menjadi tonjolan, sedangkan bila berada di
daerah dangkal bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan karang
tersebut halus dan padat.
3. Tipe Kerak (Encrusting)
Pertumbuhan karang seperti kerak biasanya menutupi permukaan dasar terumbu
dan sangat tahan terhadap pukulan ombak. Permukaannya kasar dan berlubang-
lubang denganukuran kecil.
4. Tipe Meja (Tabulate)
Karang ini menyerupai bentuk meja dengan permukaan yang lebar dan datar.
Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpuh pada satu
sisi membentuk sudut atau datar.
5. Tipe Daun (Filiose)
Karang ini banyak ditemukan pada daerah lereng terumbu dan tempatnya
terlindung. Bentuk permukaannya seperti lembaran daun yang melingkar atau
melipat. Memiliki ukuran yang relatif kecil, tetapi dapat membentuk koloni sangat
luas. Karang daun ini juga sebagai tempat berlindung ikan dan biota lain.
6. Tipe Jamur (Mushroom)
Karang ini pada umumnya berbentuk lingkaran atau oval, pipih dan terlihat dengan
sekat-sekat yang beralur serentak dari sisi-sisinya dan bertemu pada bagian
tengahnya di satu titik atau membentuk berkas yang kuat membagi sisi yang satu
dengan yang lain menjadi dua bagian yang sama. Permukaannya rata, cembung
atau cekung dengan ukuran yang bervariasi.
2.5 Fungsi Terumbu Karang
Menurut Dahlan, (1998), terumbu karang memiliki arti penting dalam melindungi
hewan-hewan yang lebih besar yang berasosiasi dengan terumbu karang. Kemudian
Sukarnoet al.(1981); Nontji (1993); dan Suharsono, (1996) menambahkan bahwa fungsi
alami terumbu karang adalah (a) sebagai lingkungan hidup karena merupakan tempat
tinggal dan tempat berlindung, tempat mencari makan serta berkembang biak bagi biota
yang hidup di terumbu karang, (b) sebagai pelindung fisik terhadap pantai dari pengaruh
arus dan gelombang karena terumbu karang sebagai pemecah ombak dan penahan arus, (c)
sebagai sumberdaya hayati karena menghasilkan beberpa produk yang memiliki nilai
ekonomis penting seperti barbagai jenis ikan karang, alga, teripang, dan kerang mutiara,
dan (d) sebagai sumber keindahan karena menampilkan pemandangan yang sangat indah
dan jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain.
Terumbu karang juga sebagai benteng pelindung dari hempasan ombak, arus dan
pasang surut bagi pulau-pulau dan berbagai ekosistem pantai lainnya seperti padang
lamun dan mangrove (Suharsono,1996).

2.6 Kondisi Terumbu Karang


Menurut Clark (1992) bahwa terumbu karang daerah tropis telah mengalami
degradasi atau penurunan kualitas maupun kuantitas. Dari 109 negara dengan komunitas
karang yang berbeda, 93 diantaranya mengalami degradasi yang hebat dan lebih dari 50
negara terumbu karangnya tertutupi oleh partikel pasir atau lumpur.
Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan LIPI (P3O-LIPI) diperoleh gambaran bahwa hampir 43% terumbu karang
di Indonesia sudah rusak berat atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan,
sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 6,5% (Moosa dan Suharsono, 1995)
Kehilangan terumbu karang juga dapat terjadi secara alami misalnya oleh badai
dan pemangsaan predator. Menurut Nybakken (1988), sumber terbesar dalam kematian
terumbu adalah pengrusakan mekanik oleh badai tropis yang hebat. Topan atau angin
puyuh yang kuat ketika melalui daerah terumbu akan merusak daerah yang sangat luas.
Bila terumbu terletak di daerah yang dilalui oleh angin topan atau angin puyuh maka
seluruh atau sebagian dari terumbu akan rusak. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa sumber
lain penyebab kerusakan itu adalah ledakan populasi bintang laut Acanthaster planci.
Namun beberapa ilmuwan berpendapat bahwa terumbu karang merupakan suatu ekosistem
yang dinamis, sehingga dapat memperbaiki diri jika mengalami kerusakan secara alami.
Akan tetapi, aktivitas manusia yang terus meningkat dapat merubah kondisi lingkungan
secara drastis sehingga mempercepat kerusakan terumbu karang di berbagai tempat.
Menurut Moosa dan Suharsono (1995) kegiatan-kegiatan yang merusak terumbu
karang adalah pengembangan wilayah pesisir, penambangan karang batu, penangkapan
lebih (over exploitation), penangkapan merusak, dan pemanfaatan rekreasi intensif.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Pulau Bira Besar dan Bira Kecil, Kepulauan
Seribu, Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada Februari – Agustus 2020. Identifikasi foto
karang keras dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Inodonesia (LIPI) Oseanografi,
Ancol, Jakarta Utara.
3.2 Metode Penelitian
1. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adala peralatan selam Self-Contained Underwater
Breathing Apparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS) untuk menentukan
posisi koordinat stasiun penelitian, kamera, pita berukuran (roll meter) dengan panjang
30m sebagai garis acuan transek, kompas, frame (besi atau paralon) berukuran 58x44 cm,
underwater paper dengan papan dan alat tulis, thermometer, secci disk, Ph meter,
turbidimeter, DO meter, salinometer, harddisk eksternal, laptop, perangkat lunak Coral
point count with excel extensions (CPCe) (kohler dan Gill, 2006 ; Giyanto, 2012a,2012b)
2. Prosedur Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan desain survey
untuk mendapatkan gambaran lokasi penelitian, pengambilan data dilakukan dengan
metode Underwater Photo Transect (UPT) yang telah dimodifikasi (Giyanto, 2014).
3. Metode pengambilan Data
a. Tutupan Terumbu Karang dan Kondisi Terumbu Karang
Untuk mengetahui tutupan dasar terumbu karang dan kondisi terumbu karang digunakan
Metode Transak Garis (Line Intercept Transect/LIT) (English et al., 1997). Pemasangan
transek dipasang sejajar dengan garis pantai dan mengikuti kontur. Metode ini mempunyai
beberapa kelebihan antara lain, akurasi data dapat diperoleh dengan baik, kualitas data lebih
baik dan lebih banyak, penyajian struktur komunitas seperti perentase penutupan karang
hidup ataupun karang mati, ukuran koloni dan keanekaragaman jenis dapat disajikan secara
lebih menyeluruh serta dapat menyajikan secara baik data struktur komunitas biota yang
bersimbiosis dengan terumbu karang.Pengambilan data dilakukan disepanjang transek dan
pencatatan dilakukan berdasarkan bentuk hidup. Nilai penutupan dasar yang didata adalah
nilai akhir pada garis transek yang merupakan akhir dari suatu kriteria yang ditinjau dari
transek 0-100 m. Biota atau karang yang berkoloni dianggap sabagai satu individu, bila
satu koloni dipisahkan oleh suatu kriteria benda atau binatang maka koloni tersebut didata
secara terpisah yang dianggap sebagai dua individu. Penentuan titik atau posisi transek
dilakukan secara langsung pada saat penelitian berlangsung.

Perentase penutupan karang mati, karang hidup dan jenis lifeform lainnya dihitung dengan
rumus, (English et al., 1997) :
C = a/A x 100%

Keterangan :
C = Perentase penutupan lifeform i
a = Panjang transek lifeform i
A = panjang total transek

b. Kepadatan dan Indeks Ekologi Karang Batu


Untuk mengetahui kepadatan dan keragaman suatu terumbu karang digunakan metode
Transek Kuadrant yang diletakkan disepanjang Transek dengan jarak (interval) tiap transek
kuadrant yang dipasang yaitu 10 m dengan menggunakan transek 100m. Transek kuadrant
yang digunakan yaitu 2x2 m dengan 10 kali ulangan disetiap transek yang
dipasang.Pengambilan datakepadatan dan keragaman karang dilakukan sejalan dengan
pengamatan karang.Jenis karang diindentifikasi dengan buku panduanberdasarkan
petunjukVeron (2000).
Untuk mengetahui indeks keragaman, keseragaman dan dominansi karang batu maka
dilakukan perhitungan dengan menggunakan indeks ekologi karang batu sehingga dapat
menggambarkan keadaan populasi jumlah individu masing-masing dari jenis karang, mulai
dari keragaman, keseragaman dan dominansi pada setiap stasiun.

c. Pengukuran Parameter Oseanografi Fisika-Kimia


Untuk mengetahui kondisi oseanografi perairan disekitar Pulau Bira Besar dan Bira Kecil
dilakukan pengukuran beberapa parameter secara langsung di lapangan yaitu suhu,
salinitas, kecerahan, kecepatan arus, kekeruhan, nitrat, fosfat dan sedimentasi. Setiap
parameter diukur pada setiap lokasi pengambilan data yang menggunakan alat yang
berbeda sesuai dengan parameter yang akan di ukur.

4. Analisis Data
a. Parameter Fisika-Kimia Perairan
Hasil pengukuran oseanografi fisika-kimia dilapangan seperti suhu, salinitas, kecerahan,
kecepatan arus, kekeruhan, nitrat, phosfat dan sedimentasi disajikan menurut kedalaman
setiap stasiun dan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel atau grafik.

b. Tutupan Dasar dan Kondisi Terumbu Karang


Darihasil peresentase tutupan lifeform yang diperolehdisajikan menurut kedalaman setiap
stasiun dan dianalisis secara deskriptifdengantabel atau grafik sehingga dapat ditentukan
kualitas karang di daerah tersebut (Gomes dan Yap, 1988) dengan melihat tabel kriteria
tutupan karang hidup dibawah ini:

c. Kepadatan dan Indeks Ekologi Karang Batu


1. Kepadatan
Untukmenghitung kepadatan karang batu dihitung dengan menggunakan rumus
(Broweret al., 1990) :

Keterangan :
Di = Kepadatan dan jenis (ind/m2)
Ni = Jumlah individu yang ditemukan dalam transek
A = Luas transek (2x2 m)
Dari hasil analisis kepadatan yang diperoleh berdasarkan kedalaman pada masing-masing
stasiun disajikan secara deskriptif.

2. IndeksEkologi Karang Batu


a. Indeks Keragaman Karang Batu
Indeks keragaman (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme jumlah individu
masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Rumus indeks keragaman menurut Shanoon-
Wiener dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut :

Keterangan :
H’ = indeks keragaman Shanon-Wiener
Pi = proporsi bentuk hidup ke-i terhadap jumlah total penutupan biota
S = jumlah jenis
Nilai indeks keragaman (H’) berkisar antara 0 – tak terbatas biota menurut Shanon-Wiener
dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:
H’< 1 = keragaman kecil
1 ’ < 3 = keragaman sedang
H’ > 3 = keragaman tinggi
b. Indeks Keseragaman Karang Batu
Perbandingan antara keragaman dengan keragaman maksimum dinyatakan sebagai
keseragaman populasi (E). Rumus indeks keseragaman (Krebs, 1972) adalah sebagai
berikut:

E = Jumlah jenis
H’ = Indek Shannon
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Ln = Logaritma natural
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dimana :
E < 0.4 = keseragaman kecil

Dalam artian penyebaran individu setiap jenis tidak sama dan kecenderungan satu jenis
dominan. Sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang dominan.
c. Indeks Dominasi Karang Batu
Untuk melihat dominansi suatu jenis digunakan indeks dominansi menurut Simpson dalam
Krebs (1972) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
C = indeks dominansi
Pi = proporsi jenis ke-i terhadap jumlah total penutupan biota
Kreteria indeks dominansi adalah sebagai berikut :
Indeks ekologi yang diperoleh selanjutnya disajikan menurut kedalaman pada masing-
masing stasiun dan dianalisis secara deskiptif dan tabel.
Untuk melihat perbedaan kepadatan karang batu antara stasiun dan kedalaman digunakan
analisis ANOVA one-way (Steel dan Torrie, 1993)
DAFTAR PUSTAKA
Brower.JE., H. Zar. CN. Von Ende., 1990. Field and Laboratory Methods for General
Ecology.Thind Edition.Wm. C. Brown Publisers.Us of Amerika.

Clarke, K.R., Warwick, R.M. 2001.Change in marine communities: an approach to


statistical analysis and interpretation, 2nd edition. PRIMER-E: Plymouth

Dahl, A.L. 1981. Coral Reef Monitoring Handbook South Pasific Commision Noumea,
New Coledonia. 22pp

Dahlan, S., 1998. Kajian Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Pendekatan
Pengelolaan Dengan Sistem Zonasi Di Perairan Pulau Barrang Lompo. Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan.Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

English, S.; C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. Second Edition.Australia Institute of Marine Science. Townsville: 390 p.

Giyanto, Picasouw, J. 2008. Monitoring Terumbu Karang Batam.LIPI Press. Jakarta:


x+70hal

Giyanto.2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada
penggunaan metode transek foto bawah air.Oseanologi dan Limnologi Indonesia 38(1) :
1-18.

Giyanto.2012b. Penilaian kondisi Terumbu Karang dengan metode transek foto bawah
air. Oseanologi dan Limnologi Indonesia 38(3) : 377-390

Gomes, E. D. dan H. T. Yap, 1988. Monitoring Reef Conditions. In : Kenchington, R. A


and B. E. T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook.UNESCO Regional Office
for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. h. 187 – 196

Kohler KE dan Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excell Extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using
random point count methodology. Computer & Geoscience : 1259 –1269

Krebs, C. J., 1972. Ecology, The Experimental Analisys of Distribution and Abundance.
Haper and Row Publication. New York

Latuconsina, H. 2016. Ekologi Perairan Tropis. Gajah Mada University Press . Jogjakarta

Moosa, M. K, dan Suharsono, 1995. Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang:


Suatu Usaha Menuju ke Arah Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang Secara
Lestari. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu karang. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan Kedua.Jakarta: Djambatan.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Pendekatan Ekologis. (Terj). M. Erdeman,


Koesoebino, D. G..
Prasetya.I.N.D..2003. Kajian Jenis Dan Kelimpahan Rekrutmen Karang DiPesisir Desa
Kalibukbuk, Singaraja, Bali.Universitas Pendidikan Ganesha,Singaraja: Bali

Schowalter, T.D., 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press, New
York

Suharsono. 1994. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Proc.
Fourth LIPI-JSPS Seminar on Marine Science; Jakarta, 15-18 November 1994. Jakarta:
33-41

Sukarno. 1995. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang. Oseanologi di


Indonesia.

Veron JEN. 2000. Coral of The World. Vol 1, 2, 3 (Ed. M. StarrordSmith).Townsville


Australia Institute of Marine Science

Yusri, S & S. Timotius. 2009. Kajian Struktur Komunitas Karang Keras Kepulauan
Seribu Tahun 2005 dan 2007. Dalam: Estradivari, Muh. Syahrir, dan Idris. Terumbu
karang Jakarta: Pengamatan jangka panjangterumbukarang Kepulauan Seribu (2003-
2007), Yayasan TERANGI, Jakarta: 112+viii hal.

Anda mungkin juga menyukai