Skripsi
Disetujui,
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang
telah memberi rahmat dan hidayah-Nya maka karya ilmiah ini berhasil diselesaikan
oleh penulis. Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian sains yang berjudul
“Struktur Komunitas Karang Keras (Bangsa Sclerentina) Yang Berada Di Pulau
Bira Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta ”.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………. 2
1.3 Tujuan ....................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................... 2
PENDAHULUAN
1. Memberikan informasi kepada para pengelola Pulau Bira Besar dan Bira kecil
mengenai struktur komunitas karang keras yang berada di pulau tersebut untuk
pengelolaan sumber daya karang keras yang berkelanjutan.
2. Memberikan data untuk penelitian selanjutnya yang relavan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3.1 Salinitas
Hewan karang batu mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas dengan kisaran
anatara 27-40 per mil (Nontji, 1993). Adanya aliran air tawar akan menyebabkan kematian
dan membatasi penyebaran karang batu secara lokal. Karang batu dapat hidup dalam batas-
batas salinitas tertentu. Di depan muara sungai yang besar biasanya pertumbuhan karang
tidak subur, diduga karena rendahnya salinitas disamping kekeruhan. Hujan yang sangat
lebat menyebabkan permukaan laut mendadak turun salinitasnya
2.3.2 Cahaya
Cahaya matahari terutamma diperlukan bagia fotosintesis alga simbiotik yaitu
Zooxanthellae. Kedalaman pnetrasi sinar matahari mempengaruhi pertumbuhan karang
hematripik. Nontji (1993), mengemukakan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat
antara polip karang pembentuk terumbu dengan Zooxanthellae, terutama keberhasilan
dalam proses fotosintesis dan pertumbuhannya. Pada kedalaman lebih dari 40 m polip
karang biasanya sudah tidak bisa hidup lagi karena Zooxanthellae dalam jaringannya sudak
tidak dapat menyumbang makanan dan oksigen dari proses fotosintesis karena intensitas
cahaya yang masuk sudah sangat kecil. Semakin besar kedalaman suatu perairan, makin
kecil pula makanan berupa produk hasil fotosintesis yang dapat disumbangkan kepada
polip inangnya. Nontji (1993), menyatakan bahwa kedalaman maksimum untuk karang
pembentuk terumbu karang adalah 40 m, dan lebih dari itu cahaya sudah terlampau lemah
untuk memungkinkan Zooxanthellae menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang batu.
2.3.3 Suhu
Suhu merupakan pembatas utama sebaran secara geografik. Suhu perairanyang
memungkinkan untuk dapat hidupnya terumbu adalah berkisar antara 25-28oC (Nontji,
1993). Lebih lanjut Nybakken (1993), menyatakan bahwa terumbu karang mempunyai
toleransi suhu sampai 40oC. Karang batu masih dapat hidup pada toleransi suhu ±15oC.
Suhu ekstrim dapat mempengaruhi binatang karang, seperti reproduksi, metabolisme, dan
pengapuran (kalsifikasi). Karang batu pembentuk terumbu karang memerlukan suhu air
yang agak lebih tinggi yaitu ±20oC. Suhu diatas 30oC adalah suhu diatas optimumnya,
karenanya terumbu karang tidak ditemukan pada daerah temperata apalagi daerah dingin
Disamping itu perairan yang digunakan sebagai pembuangan air panas, menyebabkan
kematian bagi hewan karang. Nontji (1993), menyebutkan bahwa kisaran suhu perairan
Indonesia berkisar antara 27-28oC, dan kirsaran ini cocok untuk tumbuhnya hewan karang
seperti yang banyak ditemukan di perairan Indonesia.
2.3.5 Arus
Pergerakan air atau arus serta gelombang besar diperlukan untuk tersedianya suplai
makanan jasad renik dan oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan
(Nybakken, 1993). Pada umumya terumbu karang berkembang di daerah-daerah yang
memilki gelombang besar.
2.3.6 Substrat
Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk perlekatan (settling)
planula yang akan membentuk koloni baru. Substrat keras dapat berupa benda padat yang
ada di dasar laut misalnya batu, cangkang-cangkang moluska, potongan kayu besi yang
terbenam bahkan kapal tenggelam (Nontji, 1993).
Perentase penutupan karang mati, karang hidup dan jenis lifeform lainnya dihitung dengan
rumus, (English et al., 1997) :
C = a/A x 100%
Keterangan :
C = Perentase penutupan lifeform i
a = Panjang transek lifeform i
A = panjang total transek
4. Analisis Data
a. Parameter Fisika-Kimia Perairan
Hasil pengukuran oseanografi fisika-kimia dilapangan seperti suhu, salinitas, kecerahan,
kecepatan arus, kekeruhan, nitrat, phosfat dan sedimentasi disajikan menurut kedalaman
setiap stasiun dan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel atau grafik.
Keterangan :
Di = Kepadatan dan jenis (ind/m2)
Ni = Jumlah individu yang ditemukan dalam transek
A = Luas transek (2x2 m)
Dari hasil analisis kepadatan yang diperoleh berdasarkan kedalaman pada masing-masing
stasiun disajikan secara deskriptif.
Keterangan :
H’ = indeks keragaman Shanon-Wiener
Pi = proporsi bentuk hidup ke-i terhadap jumlah total penutupan biota
S = jumlah jenis
Nilai indeks keragaman (H’) berkisar antara 0 – tak terbatas biota menurut Shanon-Wiener
dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut:
H’< 1 = keragaman kecil
1 ’ < 3 = keragaman sedang
H’ > 3 = keragaman tinggi
b. Indeks Keseragaman Karang Batu
Perbandingan antara keragaman dengan keragaman maksimum dinyatakan sebagai
keseragaman populasi (E). Rumus indeks keseragaman (Krebs, 1972) adalah sebagai
berikut:
E = Jumlah jenis
H’ = Indek Shannon
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Ln = Logaritma natural
Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dimana :
E < 0.4 = keseragaman kecil
Dalam artian penyebaran individu setiap jenis tidak sama dan kecenderungan satu jenis
dominan. Sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang dominan.
c. Indeks Dominasi Karang Batu
Untuk melihat dominansi suatu jenis digunakan indeks dominansi menurut Simpson dalam
Krebs (1972) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
C = indeks dominansi
Pi = proporsi jenis ke-i terhadap jumlah total penutupan biota
Kreteria indeks dominansi adalah sebagai berikut :
Indeks ekologi yang diperoleh selanjutnya disajikan menurut kedalaman pada masing-
masing stasiun dan dianalisis secara deskiptif dan tabel.
Untuk melihat perbedaan kepadatan karang batu antara stasiun dan kedalaman digunakan
analisis ANOVA one-way (Steel dan Torrie, 1993)
DAFTAR PUSTAKA
Brower.JE., H. Zar. CN. Von Ende., 1990. Field and Laboratory Methods for General
Ecology.Thind Edition.Wm. C. Brown Publisers.Us of Amerika.
Dahl, A.L. 1981. Coral Reef Monitoring Handbook South Pasific Commision Noumea,
New Coledonia. 22pp
Dahlan, S., 1998. Kajian Ekologi Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Pendekatan
Pengelolaan Dengan Sistem Zonasi Di Perairan Pulau Barrang Lompo. Fakultas Ilmu
Kelautan Dan Perikanan.Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
English, S.; C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. Second Edition.Australia Institute of Marine Science. Townsville: 390 p.
Giyanto.2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada
penggunaan metode transek foto bawah air.Oseanologi dan Limnologi Indonesia 38(1) :
1-18.
Giyanto.2012b. Penilaian kondisi Terumbu Karang dengan metode transek foto bawah
air. Oseanologi dan Limnologi Indonesia 38(3) : 377-390
Kohler KE dan Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excell Extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage using
random point count methodology. Computer & Geoscience : 1259 –1269
Krebs, C. J., 1972. Ecology, The Experimental Analisys of Distribution and Abundance.
Haper and Row Publication. New York
Latuconsina, H. 2016. Ekologi Perairan Tropis. Gajah Mada University Press . Jogjakarta
Schowalter, T.D., 1996. Insect Ecology an Ecosystem Approach. Academic Press, New
York
Suharsono. 1994. Coral and coral reefs of Pari Island complex and their uses. Proc.
Fourth LIPI-JSPS Seminar on Marine Science; Jakarta, 15-18 November 1994. Jakarta:
33-41
Yusri, S & S. Timotius. 2009. Kajian Struktur Komunitas Karang Keras Kepulauan
Seribu Tahun 2005 dan 2007. Dalam: Estradivari, Muh. Syahrir, dan Idris. Terumbu
karang Jakarta: Pengamatan jangka panjangterumbukarang Kepulauan Seribu (2003-
2007), Yayasan TERANGI, Jakarta: 112+viii hal.