Disusun Oleh:
Lukas Aldo Daryono
26040118140192
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
I. PENDAHULUAN
1
karang terlebih yang disebabkan oleh manusia. Menurut Mulyono et. al (2018),
total kekayaan jenis karang keras (ordo Scleractinia) di Indonesia diperkitakan
mencapai 67% dari total spesies karang yang tersebar di dunia. Namun, pada saat
ini kekayaan jenis karang kurang diperhatikan. Misalnya saja di kabupaten Jepara
yang memiliki berberapa lokasi gugusan terumbu karang. Menurut Suryono et. al
(2018), beberapa lokasi di wilayah pesisir di kabupaten Jepara telah berkembang
menjadi destinasi wisata kuliner dan wisata pantai pada 5 tahun terakir. Adanya
segala bentuk pembangunan di sekitar wilayah pesisir memiliki dampak bagi
ekosistem terumbu karang, teruatma berkaitan dengan tutupan akibat sedimen serta
gleening (kerusakan karang akibat kontak fisik dengan manusia). Pernyataan ini
diperkuat oleh Yusuf (2013), yang mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang
di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia dalam
pemanfaatan sumber daya laut.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
maksimum yang telah tercatat 740.000 tahun yang lalu. Selama abad ke-20,
penaikan konsentrasi CO2 menyebabkan kenaikan temperatur laut secara global
sebesar 0,74 °C dan juga kenaikan permukaan air laut sebesar 17 cm. Diperkirakan
25% gas CO2 yang dihasilkan dari seluruh aktivitas manusia (seperti efek rumah
kaca) benar-benar masuk ke lautan, yang menyebabkan reaksi terbentuknya asam
karbonat. Asam karbonat ini nantinya akan menjadi ion bikarbonat yang nantinya
akan menurunkan konsentrasi ion karbonat yang menyebabkan turunnya kalsifikasi
biota laut seperti karang dan dalam jangka panjang menyebabkan pengikisan.
Sensitivitas karang dengan endosimbiosis dinoflagelatta terhadap adanya
kenaikan suhu air laut telah diamati secara intens. Simbiodinium menangkap energi
matahari serta nutrisi. Hal ini kemudian diolah dan menyediakan lebih dari 95%
kebutuhan metabolisme yang dibutuhkan oleh karang. Di sisi lain secara beriringan
mampu mempertahankan kalsifikasi yang tinggi. Pada saat suhu air laut melebihi
rata-rata musim panas sebesar 1 °C hingga 2 °C selama 3 hingga 4 minggu,
endosimbiosis ini akan hancur dengan ditunjukan telepasnya simbion dan
terjadinya pemutihan karang / coral bleaching. Pemutihan / bleaching akan
semakin parah ketika perubahan suhu meningkat dan berlangsung dalam durasi
yang lama. Karang berkemungkinan bertahan dan memulihkan endosimbion
dinoflagelattanya setelah stress ringan terkait perubahan suhu yang terjadi, tetapi
biasanya pemulihan ini memiliki efek samping seperti penurunan pertumbuhan,
kalsifikasi, dan kesuburan serta karang berkemungkinan mengalami penyakit yang
luar biasa (Hoegh-Guldberg et. al, 2007)
Ekosistem terumbu karang kian menerima tekanan sebagai efek dari
aktivitas antropogenik secara tidak langsung maupun langsung. Beberapa aktivitas
tersebut diantaranya penggunaan bom serta racun sianida (potas) untuk menagkap
ikan, penggunaan alat tangkap muroami, serta penambangan batu karang.
Sedangkan beberapa contoh dari aktivitas antropogenik yang secara tidak langsung
merusak ekosistem terumbu karang adalah sedimentasi yang berasal dari aliran
lumpur daratan akibat kegiatan pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida
berlebih, serta sampah plastik. Ancaman bagi ekosistem terumbu karang yang
disebabkan oleh faktor alam antara lain angin topan, badai tsunami, gempa bumi,
4
serta pemangsaan oleh COTs (Crown of Thorns Starfish). Aktivitas antropogenik
serta alam dituangkan oleh Sukrama et al. (2001) pada tabel di bawah.
5
administratif termasuk Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah. Luas kawasan Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa adalah 111.625
ha, terdiri atas daratan (berupa pulau-pulau sebanyak 27 buah) seluas 7.033 ha,
dan perairan laut di sekitarnya seluas 104.592 ha. Kawasan ini dibagi ke dalam
berbagai zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras
dan serasi. Zona inti pada Taman Nasional Karimunjawa meliputi Pulau Geleang
dan Pulau Burung yang merupakan upaya pelestarian sumber genetik dan
perlindungan proses ekologi dan zona ini tertutup untuk segala bentuk kunjungan,
kecuali untuk penelitian ilmiah. Zona perlindungan/rimba pada Taman Nasional
Karimunjawa meliputi pulau-pulau Krakal Besar, Krakal Kecil, Menyawakan,
Cemara Besar, Cemara Kecil, Bengkoang, dan sebagian Pulau Karimunjawa dan
Pulau Kemujan yang diperuntukan hampir sama dengan zona inti namun dapat
dilakukan kegiatan wisata terbatas. Zona pemanfaatan pada TNKJ meliputi pulau-
pulau Menjangan Besar, Menjangan Kecil, Kumbang, Kembar, Karang Katang,
Karang Besi, dan sebagian Pulau Parang, Karimunjawa, serta Kemujan. Zona
penyangga pada TNKJ merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam secara
tradisional oleh masyarakat setempat
2.3.1. Pulau Cilik
Gustiana et al. (2018) menyebutkan bahwa Pulau Cilik adalah salah satu
dari 27 pulau yang berada di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Pulau yang
tidak berpenghuni ini memiliki kondisi terumbu karang yang masih baik dan
menjadikan Pulau Cilik sebagai salah satu objek wisata. Adanya kegiatan
pariwisata dikhawatirkan dapat mengganggu kondisi ekosistem terumbu karang.
Hal ini juga didukung oleh Biondi et al. (2014), yang menyatakan bahwa kondisi
rata-rata terumbu karang di Pulau Cilik termasuk dalam golongan sedang hingga
baik Sebagai salah satu pulau dengan objek wisata, bentuk kerusakan yang kerap
ditimbulkan dapat berasal dari kegiatan wisata seperti snorkeling (berupa rubble
sebagai dampak dari kibasan fins terhadap karang keras), serta kapal wisata yang
melakukan pembuangan jangkar tanpa prosedur yang sesuai.
2.4. Monitoring Terumbu Karang
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah diterima secara luas sebagai
suatu perangkat yang andal untuk menghadapi ancaman pada terumbu karang dan
6
melindungi keanekaragaman hayati, habitat, dan jasa-jasa lingkungan sekaligus
sebagai perangkat pengelolaan perikanan. KKP merupakan salah satu strategi kunci
bagi konservasi dan perikanan berkelanjutan. Pemantauan terumbu karang dapat
digabungkan dengan penilaian faktor-faktor lain dalam KKP, seperti tata kelola,
kemajuan penerapan rencana zonasi dan pengelolaan, dan pemantauan sosial dan
ekonomi; untuk mengetahui efektivitas keseluruhan dari pengelolaan KKP
(Ahmadia et al., 2013)
Beragamnya metode yang digunakan dalam menilai kondisi ekosistem
terumbu karang tidak terlepas dari adanya kelemahan yang dikandung oleh suatu
metode sehingga perlu digunakan metode lainnya yang dianggap mampu menutupi
kelemahan metode tersebut. Kelemahan tersebut bisa dari segi teknis pelaksanaan
di lapangan, kemampuan sumberdaya manusia, maupun besarnya anggaran biaya
yang diperlukan untuk melakukan metode tersebut. Kemampuan pengamat
(kemampuan tingkat dasar, menengah dan ahli) dalam melakukan pengambilan
data menjadi pertimbangan tersendiri dalam pemilihan metode yang digunakan
(Giyanto et al., 2014).
7
III. MATERI DAN METODE
8
3.3. Metode
Pengamatan dengan metode Manta Tow ini dilakukan dalam tim yang
terdiri atas 1 pengemudi perahu motor, 1 pengamat kondisi terumbu karang, 1
pencatat koordinat, 1 pencataan waktu, dan 1 penunjuk arah posisi perahu supaya
tetap berada pada kawasan terumbu karang secara berulang. Pengulangan pada
praktikum kali ini adalah sebanyak 5 kali dengan tarikan (towing) tiap observer
sebanyak 2 x 1 menit.
Gambar 1. Ilustrasi pendataan dengan metode Manta Tow (Herdiana et al., 2011)
3.3.1. Pengemudi Kapal Motor
Pelaksanaan monitoring terumbu karang dengan metode Manta Tow
dibantu dengan adanya kapal motor yang berfungsi sebagai penggerak dari
pengamat supaya didapatkan hasil pendataan dengan waktu yang singkat serta
cakupan area yang luas. Sukrama et al. (2001) menyatakan bahwa pengemudi kapal
motor bertugas untuk mempertahankan kecepatan kapal sebesar 5 km / jam, supaya
tidak terlalu cepat maupun lambat ketika dilakukan pengamatan
3.3.2. Pengamat Kondisi Terumbu Karang
Pengamat / observer dari kondisi terumbu karang berada di belakang perahu
motor, dengan berpegangan pada Manta Board yang telah diikat dari ujung
belakang kapal. Tugas dari observer ini adalah mengambil foto di titik awal
pengamatan, dilanjutkan dengan mengamati kondisi terumbu karang seperti kondisi
terumbu karang (baik, sedang, rusak), tingkat kemiringan lereng (slope), komposisi
karang (Hard Coral Life, Hard Coral Dead, Soft Coral, Makroalgae), komposisi
substrat (Sand, Rubble, Rock) dan biota lain (Others). Sukrama et al. (2001)
9
mengimbuhkan bahwa observer juga dapat mengatur pergerakan arah pengamatan
(kanan, kiri, ataupun menyelam) dengan menggerakan Manta Board.
10
3.3.3. Pencatat Koordinat dan Waktu
Data berupa titik koordinat setiap pengulangan pada Manta Tow diperlukan
sebagai arsip. Anggota yang bertugas sebagai pencatat koordinat serta timer
sekaligus notulen bekerja secara berdampingam. Pencatat koordinat bertugas
menyampaikan letak WGS serta titik koordinat kepada notulen pada titik awal
pengamatan. Timer bertugas untuk mengatur waktu selama 1 menit yang nantinya
apabila waktu tersebut sudah habis, akan dikirimkan sinyal kepada observer untuk
mulai mencatat hasil pengamatan selama 1 menit yang lalu. Sukrama et al. (2001)
juga menyatakan hal serupa, jam / stop watch digunakan untuk menentukan
lamanya waktu pengamatan, umumnya lama pengamatan adalah 2 menit untuk
setiap tarikannya. Sementara GPS (Global Positioning System) digunakan untuk
penentuan posisi.
3.3.4. Penunjuk Arah Kapal
Penunjuk arah kapal bertugas untuk memberi sinyal kepada pengemudi
kapal kearah mana kapal akan digerakan. Melihat hal ini, posisi anggota yang
bertugas sebagai penunjuk arah kapal berada di bagian depan kapal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sukrama et al. (2001), bahwa selain bertugas mengarahkan
perahu agar tetap pada rataan terumbu dan tepi tubir, penunjuk arah kapal harus
memperhatikan adanya batu-batu karang yang menonjol ke permukaan laut
sehingga dapat dihindari perihal keamaanan mesin kapal serta pengamat
3.3.5. Pengolahan Data
Kondisi terumbu karang dapat diketahui bersumber pada presentase tutupan
karang hidup (akumulasi antar karang keras dan lunak). Sukrama et al. (2001)
menunjukan kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi terumbu karang
sebagai berikut,
Tabel 4. Kriteria Kondisi Terumbu Karang
11
Data tutupan karang mati akan menunjukan informasi terakit faktor
penyebab kematian karang tersebut. Sukrama et al. (2001) menyatakan, apabila
ditemukan banyak patahan karang yang berserakan di lokasi pengamatan maka
kerusakan tersebut dapat diduga disebabkan oleh faktor alam seperti badai ataupun
penangkapan ikan yang menggunakan bom ataupun jaring dasar. Apabila
ditemukan karang mati yang memiliki struktur kokoh, maka dapat diduga hal
tersebut diakibatkan oleh karena adanya pemanasan global yang merujuk ke coral
bleaching.
12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel 5. Hasil Pengamatan Kondisi Terumbu Karang
No. Tgl Lokasi Slope K HCL HCD SC MA RB RO SA OT Total
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1. 60° 2 20 10 20 10 10 10 10 10 100
2. 30° 2 30 10 10 10 10 10 5 15 100
3. 15° 2 20 10 20 10 10 10 10 10 100
4. 15° 2 20 15 20 10 10 5 10 10 100
17/
5. P. 15° 2 40 0 0 10 20 10 10 10 100
11/
6. Cilik 15° 2 30 10 0 10 20 10 10 10 100
2021
7. 15° 2 50 5 5 5 5 10 15 5 100
8. 15° 2 45 5 5 5 15 10 10 5 100
9. 15° 2 40 10 10 10 10 5 5 10 100
10. 15° 2 10 10 30 10 20 5 10 5 100
Keterangan :
• Tgl : Tanggal
• K : Kerusakan
• HCL : Hard Coral Life (Karang Keras Hidup)
• HCD : Hard Coral Dead (Karang Keras Mati)
• SC : Soft Coral (Karang Lunak)
• MA : Macroalgae (Makroalga)
• RB : Rubble (Pecahan Karang)
• RO : Rock (Batuan)
• SA : Sand (Pasir)
• OT : Others (Lainnya / Biota bentik)
4.2. Pembahasan
Berdasarkan data pengamatan kondisi terumbu karang di Pulau Cilik,
didapatkan tutupan karang hidup (akumulasi antar karang keras dan karang lunak)
sebesar 40% - 55%, yang menunjukan bahwa kondisi terumbu karang di perairan
Pulau Cilik berada dalam kriteria sedang – tinggi (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan
13
penyataan BTNKJ (2018), yang menggolongkan Pulau Cilik sebagai pulau yang
berada pada Zona Pemanfaatan Wisata Bahari. Kondisi terumbu karang semacam
ini dirasa telah sesuai dengan status Pulau Cilik sebagai salah satu objek wisata.
Walaupun Pulau Cilik memiliki kondisi terumbu karang berada dalam taraf sedang
- tinggi, dari hasil pengamatan penelitian, Pulau Cilik kurang sesuai apabila
dijadikan sebagai Daerah Pemanfaatan Laut (DPL). Hal ini juga diperkuat oleh
Sukrama et al. (2001), bahwa DPL harus memenuhi beberapa pertimbangan seperti,
kondisi tutupan karang hidup >50%, serta bukan merupakan wilayah bagi
masyarakat sekitar menggantungkan mata pencahariannya.
Setelah meninjau tutupan karang hidup dan mengetahui kondisi di Pulau
Cilik, selanjutnya dilakukan analisis terhadap tutupan karang mati beserta
kemungkinan ancaman mengapa tutupan karang mati dapat ditemukan di perairan
Pulau Cilik. Berdasarkan data, tutupan karang mati (HCD) yang di temukan di
perairan Pulau Cilik berada dalam rentang 0% – 15% beserta komposisi rubble
dalam rentang 5% - 20%. Data tersebut menunjukan bahwa kondisi kerusakan
karang di Pulau Cilik tergolong rendah. Hal ini menunjukan bahwa kerusakan
karang yang terjadi di Pulau Cilik lebih disebabkan oleh faktor antropogenik secara
langsung, seperti snorkeling dan penurunan jangkar kapal wisata tanpa prosedur.
Sesuai dengan perkataan Sukrama et al. (2001), banyak patahan karang (rubble)
yang berserakan di lokasi pengamatan maka kerusakan tersebut dapat diduga
disebabkan oleh faktor alam seperti badai ataupun penangkapan ikan yang
menggunakan bom ataupun jaring dasar.
14
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Pengamatan dengan metode Manta Tow ini dilakukan dalam tim yang
terdiri atas 1 pengemudi perahu motor, 1 pengamat kondisi terumbu karang,
1 pencatat koordinat, 1 pencataan waktu, dan 1 penunjuk arah posisi perahu
supaya tetap berada pada kawasan terumbu karang secara berulang.
Pengulangan pada praktikum kali ini adalah sebanyak 5 kali dengan tarikan
(towing) tiap observer sebanyak 2 x 1 menit.
2. Kondisi ekologi karang yang dimiliki oleh perairan Pulau Cilik berada pada
rentang sedang – tinggi (40% -55% tutupan karang hidup). Adapun faktor
utama yang menjadi ancaman dari kerusakan karang di Pulau Cilik adalah
kegiatan wisata yang kurang sesuai dengan prosedur
5.2. Saran
1. Sebelum praktikum dilakukan sebaiknya diberikan pelatihan secara lebih
menyeluruh agar saat pelaksanaan dapat berjalan lebih lancar
2. Sebaiknya diberikan video / foto terkait persamaan persepsi ketika hendak
menilai tutupan karang hidup, sebelum dilakukan pengamatan secara
langsung
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadia, G.N., Wilson J.R. & Green A.L. 2013. Protokol Pemantauan Terumbu
Karang Untuk Menilai Kawasan Konservasi Perairan. Terj. 2013. Coral
Reef Monitoring Protocol for Assessing Marine Protected Areas version
2.0. Coral Triangle Support Partnership : Jakarta.78 hlm.
Bellwood D.R., T.P. Hughes, S.R. Connolly and J. Tanner. 2005. Environmental
and geometric constraints on Indo-Pacific coral reef biodiversity. Ecol.
Lett. 8, 643–651. (DOI:10.1111/j.1461- 0248.2005.00763.x)
Biondi, I., Munasik, dan Koesoemadji. 2014. Kondisi Terumbu Karang pada Lokasi
Wisata Snorkeling di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Journal Of
Marine Research., 1(1): 182-201.
Boaden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie &
Sons Ltd., Glasgow.
Giyanto, A. E. W. Manuputty, Mu. Abrar, R. M. Siringoringo, S. R. Suharti, K.
Wibowo, I. N. Edrus, U. Y. Arbi, H. A.W. Cappenberg, H. F. Sihaloho,
Y. Tuti, dan D. Zulfianita. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang. 4 CRITC COREMAP CTI LIPI : Jakarta. 92 hlm.
Gustilah, L., A. Solichin, dan P. W. Purnomo. 2018. Hubungan Tutupan Bentuk
Karang dengan Kelimpahan Ikan Karang di Perairan Pulau Cilik Taman
Nasional Karimunjawa. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES)., 7(3): 246-252
Herdiana, Y., I. Yulianto, S. Tasidjawa, F. Setiawan, H. A. Susanto. 2011.
Monitoring Protocol : Community Based MPA Management
Effectiveness in North Sulawesi, Indonesia. Wildlife Conservation
Society : Bogor. 31 p.
Hoegh-Guldberg 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the
world's coral reefs. Marine and Freshwater Research.
Hoegh-Guldberg 2007. Coral Reefs Under Rapid Climate Change and Ocean
Acidification. Science AAAS
Latuconsina, H. 2016. Ekologi Perairan Tropis. Gajah Mada University Press .
Jogjakarta
Mulyono, M., R. Firdaus, C. M. N. Alka, Handani. 2018. Sumberdaya Hayati Laut
Indonesia: Sebuah Pengantar Sumber daya hayati laut Indonesia. STP
Press, Jakarta
Negri, A. P, and M. O. Hoogenboom 2011. Water Contamination Reduces the
Tolerance of Coral Larvae to Thermal Stress. PLoS One., 6(5): 1-9.
(doi:10.1371/ journal.pone.0019703)
Sukmara, A., A. J. Siahainenia, dan C. Rotinsulu. 2001 Panduan Pemantauan
Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metoda Manta Tow.
CRMP Indonesia : Jakarta Selatan. 56 hlm.
16
Supriatna, J. 2014. Berwisata Alam di Taman Nasional. Pustaka Obor Indonesia :
Jakarta : 500 hlm
Suryono, E. W., R. Ario, N. Taufik S. P. J., R. A. T. Nuraini. 2018. Kondisi
Terumbu Karang Di Perairan Pantai Empu Rancak, Mlonggo, Kabupaten
Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1)
Yusuf, M. 2013. Kondisi Terumbu Karang dan Potensi Ikan di Perairan Taman
Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Bul. Oseano. Mar. 2:54-60.
Wilkinson, C. 2008. Status of Coral Reefs of the World. Global Coral Reef
Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Center.
Townsville, Australia. 296p.
17