Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM SELAM KEAHLIAN

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU


CILIK, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
DENGAN METODE MANTA TOW

Koordinator Mata Kuliah Selam Keahlian:


Dr. Ir. Munasik, M.Sc.

Disusun Oleh:
Lukas Aldo Daryono
26040118140192

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii


DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2. Tujuan Praktikum .................................................................................. 2
1.3. Manfaat Praktikum ................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
2.1. Terumbu Karang .................................................................................... 3
2.2. Ancaman Kerusakan Terumbu Karang ................................................... 3
2.3. Taman Nasional Karimunjawa ............................................................... 5
2.3.1. Pulau Cilik...................................................................................... 6
2.4. Monitoring Terumbu Karang ................................................................. 6
III. MATERI DAN METODE ........................................................................... 8
3.1. Waktu dan Tempat................................................................................. 8
3.2. Materi .................................................................................................... 8
3.2.1. Alat dan Bahan ............................................................................... 8
3.3. Metode .................................................................................................. 9
3.3.1. Pengemudi Kapal Motor ................................................................. 9
3.3.2. Pengamat Kondisi Terumbu Karang ............................................... 9
3.3.3. Pencatat Koordinat dan Waktu ...................................................... 11
3.3.4. Penunjuk Arah Kapal .................................................................... 11
3.3.5. Pengolahan Data ........................................................................... 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 13
4.1. Hasil .................................................................................................... 13
4.2. Pembahasan ......................................................................................... 13
V. PENUTUP ................................................................................................... 15
5.1. Kesimpulan.......................................................................................... 15
5.2. Saran ................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 16

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ancaman terhadap terumbu karang dan akibatnya ................................. 5


Tabel 2. Alat Pendataan....................................................................................... 8
Tabel 3. Bahan Pendataan ................................................................................... 8
Tabel 4. Kriteria Kondisi Terumbu Karang........................................................ 11
Tabel 5. Hasil Pengamatan Kondisi Terumbu Karang ........................................ 13

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ilustrasi pendataan dengan metode Manta Tow ................................. 9


Gambar 2. Tanda komunikasi antara pengamat dengan pengemudi kapal ......... 10
Gambar 3. Kategori dan persentase tutupan karang ........................................... 10

iv
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang paling beragam
dalam segi biologis dan penting dalam segi ekonomis di dunia ini. Dalam segi
biologis, Bellwood et. al (2005) mengatakan, terumbu karang sampai 650 karang
dan 1000 spesies ikan dalam satu lokasi di dalamnya. Dalam kata lain, terumbu
karang berperan sebagai tempat tinggal sekaligus perlindungan bagi beberapa biota
laut. Fasilitas yang ditawarkan dari ekosistem terumbu karang juga terlihat dalam
bentuk perlindungan pantai dari abrasi, adanya senyawa biokimia baru, dan dalam
segi ekonomis terumbu karang juga berperan sebagai salah satu objek wisata bahari.
Indonesia yang merupakan negara dengan iklim tropis membuat berbagai jenis
karang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kusuma et al. (2017)
menyatakna bahwa sejak tahun 2007 - 2016, suhu permukaan laut di Indonesia
berkisar antara 27,91 °C - 30,46 °C. Hal ini seiring dengan pernyataan Negri dan
Hoogenboom (2011), bahwa larva karang dapat bertahan pada temperatur air
sekitar 28 °C.
Karang merupakan hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi tempat
tinggalnya. Salah satu sifat karang tersebut juga dinyatakan oleh Latuconsina
(2016) bahwa suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi karang untuk
bertahan hidup pada suatu tempat. Menurut Hoegh-Guldberg et. al (2007), dalam
10 tahun terakhir sejak Tahun Internasional Terumbu Karang yang pertama pada
tahun 1997, menyatakan terumbu karang yang terus memburuk diakibatkan oleh
campur tangan manusia selain dampak dari climate change. Wilkinson (2008)
menambahkan, berdasarkan data yang dipublikasi oleh Global Coral Reef
Monitoring Network (GCMRN), kurang lebih 54 % terumbu karang dunia berada
dalam kondisi terancam secara global. Ancaman ini diperkuat oleh Hoegh-
Guldberg (1999), peningkatan suhu dapat mengakibatkan terjadinya fenomena
coral bleaching jika terjadi perubahan suhu permukaan air laut 1 °C – 2 °C di atas
rata-rata pada saat musim panas
Kelestarian terumbu karang wajib dilakukan mengingat tingginya tingkat
keanekaragaman karang yang terdapat di Indonesia supaya tidak terjadi kerusakan

1
karang terlebih yang disebabkan oleh manusia. Menurut Mulyono et. al (2018),
total kekayaan jenis karang keras (ordo Scleractinia) di Indonesia diperkitakan
mencapai 67% dari total spesies karang yang tersebar di dunia. Namun, pada saat
ini kekayaan jenis karang kurang diperhatikan. Misalnya saja di kabupaten Jepara
yang memiliki berberapa lokasi gugusan terumbu karang. Menurut Suryono et. al
(2018), beberapa lokasi di wilayah pesisir di kabupaten Jepara telah berkembang
menjadi destinasi wisata kuliner dan wisata pantai pada 5 tahun terakir. Adanya
segala bentuk pembangunan di sekitar wilayah pesisir memiliki dampak bagi
ekosistem terumbu karang, teruatma berkaitan dengan tutupan akibat sedimen serta
gleening (kerusakan karang akibat kontak fisik dengan manusia). Pernyataan ini
diperkuat oleh Yusuf (2013), yang mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang
di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh berbagai kegiatan manusia dalam
pemanfaatan sumber daya laut.

1.2. Tujuan Praktikum


1. Mengetahui metode pengamatan terumbu karang di Pulau Cilik,
Karimunjawa dengan Manta Tow
2. Mengetahui ekologi terumbu karang dan berbagai hal yang menjadi
ancaman bagi terumbu karang di Pulau Cilik

1.3. Manfaat Praktikum


1. Mahasiswa paham dan mampu menggunakan metode pengamatan terumbu
karang di Pulau Cilik, Karimunjawa dengan Manta Tow
2. Mahasiswa memahami terkait ekologi terumbu karang dan berbagai hal
yang menjadi ancaman bagi terumbu karang di Pulau Cilik

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang


Terumbu karang terdiri dari dua kata, yaitu terumbu yang merujuk ke
struktur kalsium karbonat (CaCO3) dan karang yang menggambarkan sekumpulan
binatang. Jika dilihat dari morfologinya, terdapat dua macam karang yaitu karang
keras dan karang lunak. Karang keras juga baisa disebut sebagai karang batu karena
kerangkanya tersusun dari kalsium karbonat dan memiliki morfologi seperti batuan.
Karang keras hidup bersimbiosis dengan alga (zooxanthellae). Karang keras hidup
di perairan dangkal dimana sinar matahari masih dapat menembus permukaan laut.
Sinar matahari ini digunakan oleh zooxanthellae sebagai sumber energi untuk
melakukan fotosintesis. Sementara karang lunak memiliki morfologi seperti
tanaman dan tidak bersimbiosis dengan alga. Tidak adanya hubungan simbiosis
dengan alga mengartikan karang lunak dapat hidup baik di perairan yang dangkal
maupun yang lebih dalam (Mulyono et. al, 2018).
Karang merupakan istilah yang identik dengan keanekaragaman biota dari
filum Cnidaria. Adapun klasifikasi Karang Keras (Scleractinia) berdasarkan
Boaden and Seed (1985), sebagai berikut:
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub-kelas : Hexacorallia
Ordo : Scleractinia
Hewan karang terdiri dari polip dan skeleton. Polip merupakan bagian yang
lunak, sedangkan skeleton merupakan bagian yang keras. Pada bagian polip
terdapat tentakel untuk menangkap plankton sebagai sumber makanannya. Setiap
polip karang menyekresikan kalsium karbonat (CaCO3) yang membentuk kerangka
skeleton karang. Pada umumnya, karang hidup membentuk koloni, namun ada pula
sebagian kecil karang yang hidup soliter dan tidak membentuk koloni (Mulyono et.
al, 2018).
2.2. Ancaman Kerusakan Terumbu Karang
Menurut Hoegh-Guldberg (1999) konsentrasi CO2 di bumi saat ini
melampaui 380 ppm, dimana angka tersebut melebihi 80 ppm dibandingkan nilai

3
maksimum yang telah tercatat 740.000 tahun yang lalu. Selama abad ke-20,
penaikan konsentrasi CO2 menyebabkan kenaikan temperatur laut secara global
sebesar 0,74 °C dan juga kenaikan permukaan air laut sebesar 17 cm. Diperkirakan
25% gas CO2 yang dihasilkan dari seluruh aktivitas manusia (seperti efek rumah
kaca) benar-benar masuk ke lautan, yang menyebabkan reaksi terbentuknya asam
karbonat. Asam karbonat ini nantinya akan menjadi ion bikarbonat yang nantinya
akan menurunkan konsentrasi ion karbonat yang menyebabkan turunnya kalsifikasi
biota laut seperti karang dan dalam jangka panjang menyebabkan pengikisan.
Sensitivitas karang dengan endosimbiosis dinoflagelatta terhadap adanya
kenaikan suhu air laut telah diamati secara intens. Simbiodinium menangkap energi
matahari serta nutrisi. Hal ini kemudian diolah dan menyediakan lebih dari 95%
kebutuhan metabolisme yang dibutuhkan oleh karang. Di sisi lain secara beriringan
mampu mempertahankan kalsifikasi yang tinggi. Pada saat suhu air laut melebihi
rata-rata musim panas sebesar 1 °C hingga 2 °C selama 3 hingga 4 minggu,
endosimbiosis ini akan hancur dengan ditunjukan telepasnya simbion dan
terjadinya pemutihan karang / coral bleaching. Pemutihan / bleaching akan
semakin parah ketika perubahan suhu meningkat dan berlangsung dalam durasi
yang lama. Karang berkemungkinan bertahan dan memulihkan endosimbion
dinoflagelattanya setelah stress ringan terkait perubahan suhu yang terjadi, tetapi
biasanya pemulihan ini memiliki efek samping seperti penurunan pertumbuhan,
kalsifikasi, dan kesuburan serta karang berkemungkinan mengalami penyakit yang
luar biasa (Hoegh-Guldberg et. al, 2007)
Ekosistem terumbu karang kian menerima tekanan sebagai efek dari
aktivitas antropogenik secara tidak langsung maupun langsung. Beberapa aktivitas
tersebut diantaranya penggunaan bom serta racun sianida (potas) untuk menagkap
ikan, penggunaan alat tangkap muroami, serta penambangan batu karang.
Sedangkan beberapa contoh dari aktivitas antropogenik yang secara tidak langsung
merusak ekosistem terumbu karang adalah sedimentasi yang berasal dari aliran
lumpur daratan akibat kegiatan pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida
berlebih, serta sampah plastik. Ancaman bagi ekosistem terumbu karang yang
disebabkan oleh faktor alam antara lain angin topan, badai tsunami, gempa bumi,

4
serta pemangsaan oleh COTs (Crown of Thorns Starfish). Aktivitas antropogenik
serta alam dituangkan oleh Sukrama et al. (2001) pada tabel di bawah.

Tabel 1. Ancaman terhadap terumbu karang dan akibatnya

Ancaman Akibat yang ditimbulkan


Faktor Antropogenik
Bom Karang mati, terbongkar dan patah-patah
Racun/Potas Karang mati dan berubah menjadi putih
Trawl Karang mati, terbongkar dan patah-patah
Jaring Dasar Karang stress dan patah-patah
Bubu Karang mati, terbongkar dan patah-patah
Jangkar Karang hancur, patah dan terbongka
Berjalan di atas karang Karang hancur, patah-patah
Penambangan batu karang Penurunan pondasi terumbu
Kapal di perairan dangkal Karang patah
Alat pendorong perahu Karang patah
Cinderamata Karang-karang yang indah hilang
Sedimentasi karang Karang mati akibat tertutupnya permukaan
oleh lumpur
Polusi Karang mati dan berubah menjadi putih
Faktor Alam
Bintang Laut Berduri (COTs) Kematian karang dalam skala yang luas
Pemanasan Global (Coral Kematian karang – kehilangan keindahan
Bleaching) untuk snorkeling dan menyelam
Tsunami/Topan/Gunumg Api Kerusakan fisik karang dan atau struktur
Terumbu) bawah laut

2.3. Taman Nasional Karimunjawa


Supriatna (2014) menyatakan bahwa Taman Nasional Karimunjawa
merupakan kawasan yang terdiri dari 27 gugusan pulau, yang terletak antra 5°40’-
5°71’ Lintang Selatan dan 110°04’-110°41’ Bujur Timur. Kawasan ini berada di
Laut Jawa, yaitu di utara Jawa Tengah yang berjarak sekitar 70 mil. Secara

5
administratif termasuk Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa
Tengah. Luas kawasan Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa adalah 111.625
ha, terdiri atas daratan (berupa pulau-pulau sebanyak 27 buah) seluas 7.033 ha,
dan perairan laut di sekitarnya seluas 104.592 ha. Kawasan ini dibagi ke dalam
berbagai zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras
dan serasi. Zona inti pada Taman Nasional Karimunjawa meliputi Pulau Geleang
dan Pulau Burung yang merupakan upaya pelestarian sumber genetik dan
perlindungan proses ekologi dan zona ini tertutup untuk segala bentuk kunjungan,
kecuali untuk penelitian ilmiah. Zona perlindungan/rimba pada Taman Nasional
Karimunjawa meliputi pulau-pulau Krakal Besar, Krakal Kecil, Menyawakan,
Cemara Besar, Cemara Kecil, Bengkoang, dan sebagian Pulau Karimunjawa dan
Pulau Kemujan yang diperuntukan hampir sama dengan zona inti namun dapat
dilakukan kegiatan wisata terbatas. Zona pemanfaatan pada TNKJ meliputi pulau-
pulau Menjangan Besar, Menjangan Kecil, Kumbang, Kembar, Karang Katang,
Karang Besi, dan sebagian Pulau Parang, Karimunjawa, serta Kemujan. Zona
penyangga pada TNKJ merupakan daerah pemanfaatan sumber daya alam secara
tradisional oleh masyarakat setempat
2.3.1. Pulau Cilik
Gustiana et al. (2018) menyebutkan bahwa Pulau Cilik adalah salah satu
dari 27 pulau yang berada di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Pulau yang
tidak berpenghuni ini memiliki kondisi terumbu karang yang masih baik dan
menjadikan Pulau Cilik sebagai salah satu objek wisata. Adanya kegiatan
pariwisata dikhawatirkan dapat mengganggu kondisi ekosistem terumbu karang.
Hal ini juga didukung oleh Biondi et al. (2014), yang menyatakan bahwa kondisi
rata-rata terumbu karang di Pulau Cilik termasuk dalam golongan sedang hingga
baik Sebagai salah satu pulau dengan objek wisata, bentuk kerusakan yang kerap
ditimbulkan dapat berasal dari kegiatan wisata seperti snorkeling (berupa rubble
sebagai dampak dari kibasan fins terhadap karang keras), serta kapal wisata yang
melakukan pembuangan jangkar tanpa prosedur yang sesuai.
2.4. Monitoring Terumbu Karang
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah diterima secara luas sebagai
suatu perangkat yang andal untuk menghadapi ancaman pada terumbu karang dan

6
melindungi keanekaragaman hayati, habitat, dan jasa-jasa lingkungan sekaligus
sebagai perangkat pengelolaan perikanan. KKP merupakan salah satu strategi kunci
bagi konservasi dan perikanan berkelanjutan. Pemantauan terumbu karang dapat
digabungkan dengan penilaian faktor-faktor lain dalam KKP, seperti tata kelola,
kemajuan penerapan rencana zonasi dan pengelolaan, dan pemantauan sosial dan
ekonomi; untuk mengetahui efektivitas keseluruhan dari pengelolaan KKP
(Ahmadia et al., 2013)
Beragamnya metode yang digunakan dalam menilai kondisi ekosistem
terumbu karang tidak terlepas dari adanya kelemahan yang dikandung oleh suatu
metode sehingga perlu digunakan metode lainnya yang dianggap mampu menutupi
kelemahan metode tersebut. Kelemahan tersebut bisa dari segi teknis pelaksanaan
di lapangan, kemampuan sumberdaya manusia, maupun besarnya anggaran biaya
yang diperlukan untuk melakukan metode tersebut. Kemampuan pengamat
(kemampuan tingkat dasar, menengah dan ahli) dalam melakukan pengambilan
data menjadi pertimbangan tersendiri dalam pemilihan metode yang digunakan
(Giyanto et al., 2014).

7
III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Selam Keahlian ini dilaksanakan pada :
Tanggal : 15 – 17 November 2021
Nama Instansi : Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ)
Alamat Instansi : Balai Taman Karimunjawa Nasional Jl. Sinar Waluyo Raya
No. 248, Kedungmundu, Kec. Tembalang, Kota Semarang,
Jawa Tengah 50273.
Lokasi Penelitian : Perairan Pulau Tengah dan Pulau Cilik, Taman Nasional
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
3.2. Materi
Penelitian mengenai monitoring Terumbu Karang dengan Metode Manta
Tow di Pulau Tengah dan Pulau Cilik dilaksanakan selama 3 hari, mulai tanggal 15
hingga 17 November 2021
3.2.1. Alat dan Bahan
Tabel 2. Alat Pendataan
No. Alat Fungsi
1 Tali Tambang Plastik Menarik Manta Board
2 Manta Board Tumpuan saat pendataan
3 Skin Dive Perlengkapan pendataan
4 GPS Garmin 64s Penanda koordinat
5 Kamera Underwater Alat dokumentasi
6 Stopwatch Pencatat durasi pengamatan
7 Kapal Motor Penggerak saat pengamatan
8 Tali Rafia Pengikat alat tulis pada Manta Board

Tabel 3. Bahan Pendataan


No. Bahan Fungsi
1 Kertas Newtop Penulisan data saat di lapangan
2 Lakban Hitam Perekat Kertas Newtop pada Manta Board
3 Alat Tulis Pencatat data

8
3.3. Metode
Pengamatan dengan metode Manta Tow ini dilakukan dalam tim yang
terdiri atas 1 pengemudi perahu motor, 1 pengamat kondisi terumbu karang, 1
pencatat koordinat, 1 pencataan waktu, dan 1 penunjuk arah posisi perahu supaya
tetap berada pada kawasan terumbu karang secara berulang. Pengulangan pada
praktikum kali ini adalah sebanyak 5 kali dengan tarikan (towing) tiap observer
sebanyak 2 x 1 menit.

Gambar 1. Ilustrasi pendataan dengan metode Manta Tow (Herdiana et al., 2011)
3.3.1. Pengemudi Kapal Motor
Pelaksanaan monitoring terumbu karang dengan metode Manta Tow
dibantu dengan adanya kapal motor yang berfungsi sebagai penggerak dari
pengamat supaya didapatkan hasil pendataan dengan waktu yang singkat serta
cakupan area yang luas. Sukrama et al. (2001) menyatakan bahwa pengemudi kapal
motor bertugas untuk mempertahankan kecepatan kapal sebesar 5 km / jam, supaya
tidak terlalu cepat maupun lambat ketika dilakukan pengamatan
3.3.2. Pengamat Kondisi Terumbu Karang
Pengamat / observer dari kondisi terumbu karang berada di belakang perahu
motor, dengan berpegangan pada Manta Board yang telah diikat dari ujung
belakang kapal. Tugas dari observer ini adalah mengambil foto di titik awal
pengamatan, dilanjutkan dengan mengamati kondisi terumbu karang seperti kondisi
terumbu karang (baik, sedang, rusak), tingkat kemiringan lereng (slope), komposisi
karang (Hard Coral Life, Hard Coral Dead, Soft Coral, Makroalgae), komposisi
substrat (Sand, Rubble, Rock) dan biota lain (Others). Sukrama et al. (2001)

9
mengimbuhkan bahwa observer juga dapat mengatur pergerakan arah pengamatan
(kanan, kiri, ataupun menyelam) dengan menggerakan Manta Board.

Gambar 2. Tanda komunikasi antara pengamat dengan pengemudi kapal (Sukrama


et al., 2001)
Setelah 1 menit berjalan, observer akan mencatat kondisi terumbu karang
pada worksheet yang menempel di Manta Board berupa persenan. Hal ini diperkuat
oleh Sukrama et al. (2001), bahwa pengamat harus memperhatikan total persen dari
akumulasi tutupan karang, substrat, dan biota lain jangan sampai melebihi 100%.
Biasanya sebelum dilakukan pengamatan lapangan, dalam satu tim diberikan video
persamaan persepsi terkait tutupan terumbu karang dengan tujuan menghindari data
yang bias.

Gambar 3. Kategori dan persentase tutupan karang (Sukrama et al., 2001)

10
3.3.3. Pencatat Koordinat dan Waktu
Data berupa titik koordinat setiap pengulangan pada Manta Tow diperlukan
sebagai arsip. Anggota yang bertugas sebagai pencatat koordinat serta timer
sekaligus notulen bekerja secara berdampingam. Pencatat koordinat bertugas
menyampaikan letak WGS serta titik koordinat kepada notulen pada titik awal
pengamatan. Timer bertugas untuk mengatur waktu selama 1 menit yang nantinya
apabila waktu tersebut sudah habis, akan dikirimkan sinyal kepada observer untuk
mulai mencatat hasil pengamatan selama 1 menit yang lalu. Sukrama et al. (2001)
juga menyatakan hal serupa, jam / stop watch digunakan untuk menentukan
lamanya waktu pengamatan, umumnya lama pengamatan adalah 2 menit untuk
setiap tarikannya. Sementara GPS (Global Positioning System) digunakan untuk
penentuan posisi.
3.3.4. Penunjuk Arah Kapal
Penunjuk arah kapal bertugas untuk memberi sinyal kepada pengemudi
kapal kearah mana kapal akan digerakan. Melihat hal ini, posisi anggota yang
bertugas sebagai penunjuk arah kapal berada di bagian depan kapal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sukrama et al. (2001), bahwa selain bertugas mengarahkan
perahu agar tetap pada rataan terumbu dan tepi tubir, penunjuk arah kapal harus
memperhatikan adanya batu-batu karang yang menonjol ke permukaan laut
sehingga dapat dihindari perihal keamaanan mesin kapal serta pengamat
3.3.5. Pengolahan Data
Kondisi terumbu karang dapat diketahui bersumber pada presentase tutupan
karang hidup (akumulasi antar karang keras dan lunak). Sukrama et al. (2001)
menunjukan kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi terumbu karang
sebagai berikut,
Tabel 4. Kriteria Kondisi Terumbu Karang

Kategori Tutupan Karang Hidup Kriteria


1 0% - 10% Sangat Rendah
2 11% - 30% Rendah
3 31% - 50% Sedang
4 51% - 75% Tinggi
5 76% - 100% Sangat Tinggi

11
Data tutupan karang mati akan menunjukan informasi terakit faktor
penyebab kematian karang tersebut. Sukrama et al. (2001) menyatakan, apabila
ditemukan banyak patahan karang yang berserakan di lokasi pengamatan maka
kerusakan tersebut dapat diduga disebabkan oleh faktor alam seperti badai ataupun
penangkapan ikan yang menggunakan bom ataupun jaring dasar. Apabila
ditemukan karang mati yang memiliki struktur kokoh, maka dapat diduga hal
tersebut diakibatkan oleh karena adanya pemanasan global yang merujuk ke coral
bleaching.

12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Tabel 5. Hasil Pengamatan Kondisi Terumbu Karang
No. Tgl Lokasi Slope K HCL HCD SC MA RB RO SA OT Total
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1. 60° 2 20 10 20 10 10 10 10 10 100
2. 30° 2 30 10 10 10 10 10 5 15 100
3. 15° 2 20 10 20 10 10 10 10 10 100
4. 15° 2 20 15 20 10 10 5 10 10 100
17/
5. P. 15° 2 40 0 0 10 20 10 10 10 100
11/
6. Cilik 15° 2 30 10 0 10 20 10 10 10 100
2021
7. 15° 2 50 5 5 5 5 10 15 5 100
8. 15° 2 45 5 5 5 15 10 10 5 100
9. 15° 2 40 10 10 10 10 5 5 10 100
10. 15° 2 10 10 30 10 20 5 10 5 100
Keterangan :
• Tgl : Tanggal
• K : Kerusakan
• HCL : Hard Coral Life (Karang Keras Hidup)
• HCD : Hard Coral Dead (Karang Keras Mati)
• SC : Soft Coral (Karang Lunak)
• MA : Macroalgae (Makroalga)
• RB : Rubble (Pecahan Karang)
• RO : Rock (Batuan)
• SA : Sand (Pasir)
• OT : Others (Lainnya / Biota bentik)
4.2. Pembahasan
Berdasarkan data pengamatan kondisi terumbu karang di Pulau Cilik,
didapatkan tutupan karang hidup (akumulasi antar karang keras dan karang lunak)
sebesar 40% - 55%, yang menunjukan bahwa kondisi terumbu karang di perairan
Pulau Cilik berada dalam kriteria sedang – tinggi (Tabel 4). Hal ini sesuai dengan

13
penyataan BTNKJ (2018), yang menggolongkan Pulau Cilik sebagai pulau yang
berada pada Zona Pemanfaatan Wisata Bahari. Kondisi terumbu karang semacam
ini dirasa telah sesuai dengan status Pulau Cilik sebagai salah satu objek wisata.
Walaupun Pulau Cilik memiliki kondisi terumbu karang berada dalam taraf sedang
- tinggi, dari hasil pengamatan penelitian, Pulau Cilik kurang sesuai apabila
dijadikan sebagai Daerah Pemanfaatan Laut (DPL). Hal ini juga diperkuat oleh
Sukrama et al. (2001), bahwa DPL harus memenuhi beberapa pertimbangan seperti,
kondisi tutupan karang hidup >50%, serta bukan merupakan wilayah bagi
masyarakat sekitar menggantungkan mata pencahariannya.
Setelah meninjau tutupan karang hidup dan mengetahui kondisi di Pulau
Cilik, selanjutnya dilakukan analisis terhadap tutupan karang mati beserta
kemungkinan ancaman mengapa tutupan karang mati dapat ditemukan di perairan
Pulau Cilik. Berdasarkan data, tutupan karang mati (HCD) yang di temukan di
perairan Pulau Cilik berada dalam rentang 0% – 15% beserta komposisi rubble
dalam rentang 5% - 20%. Data tersebut menunjukan bahwa kondisi kerusakan
karang di Pulau Cilik tergolong rendah. Hal ini menunjukan bahwa kerusakan
karang yang terjadi di Pulau Cilik lebih disebabkan oleh faktor antropogenik secara
langsung, seperti snorkeling dan penurunan jangkar kapal wisata tanpa prosedur.
Sesuai dengan perkataan Sukrama et al. (2001), banyak patahan karang (rubble)
yang berserakan di lokasi pengamatan maka kerusakan tersebut dapat diduga
disebabkan oleh faktor alam seperti badai ataupun penangkapan ikan yang
menggunakan bom ataupun jaring dasar.

14
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Pengamatan dengan metode Manta Tow ini dilakukan dalam tim yang
terdiri atas 1 pengemudi perahu motor, 1 pengamat kondisi terumbu karang,
1 pencatat koordinat, 1 pencataan waktu, dan 1 penunjuk arah posisi perahu
supaya tetap berada pada kawasan terumbu karang secara berulang.
Pengulangan pada praktikum kali ini adalah sebanyak 5 kali dengan tarikan
(towing) tiap observer sebanyak 2 x 1 menit.
2. Kondisi ekologi karang yang dimiliki oleh perairan Pulau Cilik berada pada
rentang sedang – tinggi (40% -55% tutupan karang hidup). Adapun faktor
utama yang menjadi ancaman dari kerusakan karang di Pulau Cilik adalah
kegiatan wisata yang kurang sesuai dengan prosedur
5.2. Saran
1. Sebelum praktikum dilakukan sebaiknya diberikan pelatihan secara lebih
menyeluruh agar saat pelaksanaan dapat berjalan lebih lancar
2. Sebaiknya diberikan video / foto terkait persamaan persepsi ketika hendak
menilai tutupan karang hidup, sebelum dilakukan pengamatan secara
langsung

15
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadia, G.N., Wilson J.R. & Green A.L. 2013. Protokol Pemantauan Terumbu
Karang Untuk Menilai Kawasan Konservasi Perairan. Terj. 2013. Coral
Reef Monitoring Protocol for Assessing Marine Protected Areas version
2.0. Coral Triangle Support Partnership : Jakarta.78 hlm.
Bellwood D.R., T.P. Hughes, S.R. Connolly and J. Tanner. 2005. Environmental
and geometric constraints on Indo-Pacific coral reef biodiversity. Ecol.
Lett. 8, 643–651. (DOI:10.1111/j.1461- 0248.2005.00763.x)
Biondi, I., Munasik, dan Koesoemadji. 2014. Kondisi Terumbu Karang pada Lokasi
Wisata Snorkeling di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. Journal Of
Marine Research., 1(1): 182-201.
Boaden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to Coastal Ecology. Blackie &
Sons Ltd., Glasgow.
Giyanto, A. E. W. Manuputty, Mu. Abrar, R. M. Siringoringo, S. R. Suharti, K.
Wibowo, I. N. Edrus, U. Y. Arbi, H. A.W. Cappenberg, H. F. Sihaloho,
Y. Tuti, dan D. Zulfianita. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan
Terumbu Karang. 4 CRITC COREMAP CTI LIPI : Jakarta. 92 hlm.
Gustilah, L., A. Solichin, dan P. W. Purnomo. 2018. Hubungan Tutupan Bentuk
Karang dengan Kelimpahan Ikan Karang di Perairan Pulau Cilik Taman
Nasional Karimunjawa. Management of Aquatic Resources Journal
(MAQUARES)., 7(3): 246-252
Herdiana, Y., I. Yulianto, S. Tasidjawa, F. Setiawan, H. A. Susanto. 2011.
Monitoring Protocol : Community Based MPA Management
Effectiveness in North Sulawesi, Indonesia. Wildlife Conservation
Society : Bogor. 31 p.
Hoegh-Guldberg 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the
world's coral reefs. Marine and Freshwater Research.
Hoegh-Guldberg 2007. Coral Reefs Under Rapid Climate Change and Ocean
Acidification. Science AAAS
Latuconsina, H. 2016. Ekologi Perairan Tropis. Gajah Mada University Press .
Jogjakarta
Mulyono, M., R. Firdaus, C. M. N. Alka, Handani. 2018. Sumberdaya Hayati Laut
Indonesia: Sebuah Pengantar Sumber daya hayati laut Indonesia. STP
Press, Jakarta
Negri, A. P, and M. O. Hoogenboom 2011. Water Contamination Reduces the
Tolerance of Coral Larvae to Thermal Stress. PLoS One., 6(5): 1-9.
(doi:10.1371/ journal.pone.0019703)
Sukmara, A., A. J. Siahainenia, dan C. Rotinsulu. 2001 Panduan Pemantauan
Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan Metoda Manta Tow.
CRMP Indonesia : Jakarta Selatan. 56 hlm.

16
Supriatna, J. 2014. Berwisata Alam di Taman Nasional. Pustaka Obor Indonesia :
Jakarta : 500 hlm
Suryono, E. W., R. Ario, N. Taufik S. P. J., R. A. T. Nuraini. 2018. Kondisi
Terumbu Karang Di Perairan Pantai Empu Rancak, Mlonggo, Kabupaten
Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1)
Yusuf, M. 2013. Kondisi Terumbu Karang dan Potensi Ikan di Perairan Taman
Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Bul. Oseano. Mar. 2:54-60.
Wilkinson, C. 2008. Status of Coral Reefs of the World. Global Coral Reef
Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Center.
Townsville, Australia. 296p.

17

Anda mungkin juga menyukai