Oleh:
Apryani Susanti
190302029
IV/ A
Diperiksa oleh
Asisten Korektor
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
yang berjudul “Pengamatan Tutupan Karang Menggunakan Metode LIT (Line
Intercept Transeck)” Laporan ini sebagai salah satu syarat masuk mengikuti
Praktikum Ekosistem Perairan Pesisir.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen penanggung jawab mata
kuliah Ekosistem Ekologi Pesisir yaitu ibu Amanatul Fadhilah, S.Pi, M.Si , bapak
Zulham Apandy Harahap, S.Kel, M.Si dan ibu Khairunnisa, S.Pi, M.Si serta para
asisten laboratorium yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
penulisan laporan ini.
Penulis menyadari dalam penulisan laporan ini masih terdapat kekurangan
maupun kesalahan dan jauh dari kata sempurna pada laporan ini. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dari laporan
ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan berharap laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.
Halaman
METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat Praktikum......................................................... 10
Alat dan Bahan Praktikum .............................................................. 10
Prosedur Praktikum ......................................................................... 10
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut sebesar 70% dari
keseluruhan negara. Indonesia merupakan habitat yang cocok untuk karang
tumbuh, dikarenakan Indonesia memiliki iklim tropis. Luas ekosistem terumbu
karang yang ada di Indonesia, yaitu sebesar 60.000 km2 . Sebaran karang di
Indonesia merata dari bagian barat hingga timur Indonesia, namun pertumbuhan
karang terbaik berada di perairan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB),
Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sorong. Kondisi terumbu karang di Indonesia
terbagi menjadi empat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, dan rusak,
sedangkan persentase kondisi terumbu karang di Indonesia 6,39% dalam kondisi
sangat baik, 23,40% dalm kondisi baik, 35,06% dalam kondisi sedang, dan 35,15
dalam kondisi rusak (Wahid dan Luthfi, 2018).
Ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitat beragam, kawasan ini dikenal sebagai perairan yang
memiliki potensi sumberdaya hayati yang sangat besar. Kondisi lingkungan yang
kaya akan potensi perikanan ini dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton
khususnya dari kelas diatom (Bacillariophyta) yang berperan sebagai produsen
dalam tingkatan rantai makanan. airan yang kaya akan nutrien maupun unsur-
unsur hara dipengaruhi oleh adanya masukan bahan-bahan organik dan anorganik
dari daratan yang terbawa bersma aliran sungai serta dipengaruhi oleh kandungan
nitrat dan posfat yang menjadi faktor penting kehidupan diatom
(Roito et al., 2014).
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di bumi yang paling
produktif dan paling kaya dari keanekaragaman hayati. Terumbu karang
menghadapi sederet panjang ancaman yang semakin hebat, termasuk
penangkapan berlebihan, pembangunan pesisir, limpasan dari pertanian, dan
pelayaran. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan
berkembang sangat penting artinya dari ekosistem terumbu karang yang sangat
produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu
karang dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan
dapat dimanfaatkan dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi
bagi masyarakat, untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Kondisi tutupan karang dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena adanya
faktor yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan seperti faktor alami dari
salinitas, pemanasan global, meningkatnya suhu air laut, dan bertambahnya
volume air laut. Selain faktor alami, faktor yang menjadi penyebab penurunan
tutupan karang adalah faktor manusia yang tidak menjaga dan melestarikan
lingkungan seperti membuang sampah sembarangan ke laut dan menginjak karang
(Yuliani et al., 2016).
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang krusial di
perairan laut dangkal terutama wilayah pesisir karena memiliki potensi berbagai
jenis sumberdaya yang penting untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu menjadi
penting untuk memastikan bahwa ekosistem pesisir ini terbebas atau sesedikit
mungkin mengalami pengaruh dari daratan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Ekosistem terumbu karang memerlukan kualitas perairan alami dan sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
dan eutrofikasi (Salam et al., 2013).
Kondisi tutupan karang substrat seperti rubble, silt, sand, dan rock yang
tinggi pada suatu area terumbu karang merupakan hal buruk bagi biota karang.
Rubble diidentifikasikan sebagai patahan karang atau kerusakan fisik pada karang.
Bentuk patahan atau rubble yang tersebar disetiap stasiun umumnya disebabkan
berasal dari karang jenis Acropora yang mati. Patahan karang juga disebabkan
oleh ulah manusia yang menginjak dan berjalan di atas karang dan pelepasan
jangkar oleh nelayan diatas karang. Hal ini dapat memperburuk jumlah persentase
patahan karang yang mengakibatkan kerusakan pada karang semakin meningkat
(Yuliani et al., 2016).
Substrat merupakan susunan dasar perairan yang disusun oleh dua
komponen utama, yaitu komponen biotik dan abiotik. Substrat dasar perairan
dibagi menjadi dua kategori, yaitu living dan non-living. Living merupakan
substrat yang tersusun dari komponen biotik, contoh dari substrat kategori living,
yaitu karang keras, karang lunak, dan alga. Non-living merupakan substrat yang
tersusun dari komponen abiotik, contoh dari substrat kategori non-living, yaitu
pasir, lumpur, dan pecahan karang. Terumbu karang suatu ekosistem yang berada
didasar laut dan penyusun utamanya adalah karang keras (scleractinian). Terumbu
karang memiliki peranan penting yang dapat dinilai dari dua aspek, yaitu aspek
ekologis dan aspek ekonomis. Peran ekologis terumbu karang diantaranya,
sebagai tempat mencari makan, tempat tinggal, dan tempat berkembang biak biota
lain. Peran ekonomis terumbu karang, yaitu sebagai objek wisata karena memiliki
keindahan dan memuat banyak biota (Wahid dan Luthfi, 2018).
Pengamatan kondisi substrat dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode, diantaranya metode Line Intercept Transect (LIT), Point Intercept
Transect (PIT), dan Quadrant Transect (QT). Line Intercept Transect (LIT)
merupakan metode yang digunakan dalam survei terumbu karang. Metode LIT
dikembangkan oleh Australian Institute of Marine Science (AIMS) dan The Great
Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA). Point Intercept Transect (PIT)
merupakan metode yang digunakan untuk melakukan survei terumbu karang.
Metode PIT digunakan untuk memperkirakan kondisi terumbu karang disuatu
lokasi berdasarkan persen tutupan karang hidup. Quadran Transect (QT)
merupakan metode yang digunakan untuk memantau komunitas makrobentos.
Pada survei terumbu karang dengan menggunakan metode QT biasanya meliputi
kondisi biologi, pertumbuhan, tingkat kematian, dan rekruitmen karang baru
(Wahibaa dan Luthfi, 2019).
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode line intercept transect (LIT).
2. Untuk mengetahui hasil pengukuran dan pengamatan tutupan terumbu
karang menggunakan metode line intercept transect (LIT).
Manfaat Praktikum
Manfaat dari pelaksanaan praktikum ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai metode line intercept transect (LIT), serta sebagai salah satu syarat
untuk memasuki Laboratorium Ekosistem Perairan Pesisir selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang
termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel.
Terumbu karang secara umum dapat dinisbatkan kepada struktur fisik kapur
beserta ekosistem yang menyertainya yang secara aktif membentuk sedimen
kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah
permukaan laut (Salam et al., 2013).
Keragaman terumbu karang di Indonesia cukup tinggi, terdapat lebih dari
480 jenis karang batu telah teridentifikasi dan 60% dari jenis karang telah
dideskripsikan itupun baru di bagian Timur Indonesia. Sebagai salah satu
ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang memiliki nilai ekologis dan
ekonomis yang tinggi. Secara ekologis, terumbu karang berperan dalam
melindungi pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga
berfungsi sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan serta
pemijahan bagi biota laut. Secara ekonomis, terumbu karang memiliki fungsi
sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut, ikan hias, bahan baku
farmasi serta pilihan daerah wisata yang menarik. Hasil perhitungan valuasi
ekonomi dari kegiatan perikanan, perlindungan pantai serta pariwisata di
Indonesia diperkirakan menghasilkan nilai sekitar 1,6 miliyar dollar AS
(Arini, 2013).
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat
penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di
perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang
sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface
circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi
oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera.
Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan
banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik
diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran
terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di
wilayah tersebut. Sebaran terumbu karang di Indonesia lebih banyak terdapat di
sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai timur
Sumatera, sepanjang Pantai Utara Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan yang dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembang baik
di wilayah Sulawesi khususnya Sulawesi Utara oleh karena adanya arus lintas
Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut Pasifik dan Laut Hindia
(Arino, 2013).
Zooxanthella adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis
pada hewan, seperti karang, anemon, moluska, dan lainnya. Sebagian besar
zooxanthellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae
padakarang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang
mengatakanantara 1–5 juta sel/cm . Meski dapat hidup tidak terikat induk,
sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis dalam asosiasi ini, karang
mendapatkan sejumlah keuntungan berupa hasil fotosintesis, seperti gula, asam
amino dan oksigen, mempercepat proses kalsifikasi melalui skema: fotosintesis
akan menaikkan pH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak kemudian
dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah
menyingkirkan inhibitor klasifikasi. Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat
yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis
(Andri et al., 2017).
Kelangsungan hidup terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor
lingkungan. Faktor pembatas tersebut ke dalam enam faktor, yaitu cahaya, suhu,
salinitas, kejernihan air, arus dan substrat. Sedangkan Nybakken (1992)
membaginya dalam lima faktor, yaitu suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, dan
faktor pengendapan (Hardiansyah, 2018).
Terumbu karang berfungsi sebagai tempat hidup berbagai jenis biota
laut, keberadaannya pun sangat peka terhadap perubahan. Kerusakan pada
terumbu karang akan menimbulkan dampak pada kehidupan bawah laut karena
adanya saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Kerusakan terumbu
karang terdeteksi di 93 negara dari 109 negera yang memiliki kekayaan terumbu
karang termasuk di Indonesia. Kerusakan yang terjadi sebagian besar diakibatkan
oleh aktivitas manusia seperti kegiatan wisata yang melebihi daya dukung
kawasan, adanya penggunaan racun ikan, polusi dan sedimentasi bahkan
pemanenan terumbu karang secara besar-besaran. Untuk mencegah semakin
berlanjutnya kerusakan yang terjadi, diperlukan sebuah kegiatan pengelolaan
terumbu karang. Pengelolaan pada hakekatnya dilakukan dalam bentuk
pengontrolan terhadap tindakan manusia untuk memanfaatkan terumbu karang
secara bijaksana. Konsep Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan salah satu
usaha untuk melindungi terumbu karang dalam konteks struktur, fungsi dan
integritas ekosistem serta mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua
tingkatan trofik dalam ekosistem (Arini, 2013)
Prosedur Praktikum
Prosedur dari praktikum yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditarik rol lurus sepanjang karang yang ada di gambar
Hasil
Hasil dari praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Line Intercept Transect (LIT)
No Bentuk Jenis Karang Transisi Panjang
Pertumbuhan Koloni
1 SC Gorgonia ventralina 16 16
2 NC Sand 26 10
3 SC Sinularia flexibilis 46 20
4 NC Sand 53 7
5 HC Acropoda microphatala 75 22
6 NC Rock 84 9
7 SC Annella mollis 111 26
8 NC Sand 119 8
9 HC Montipora aquituberculata 145 26
10 NC Sand 150 5
11 HC Favia speciosa 177 27
12 NC Rock 191 14
13 SC Sarchopyton elegans 217 26
14 NC Sand 229 12
15 SC Sinularia giberosa 250 21
16 NC Rock 252 2
17 HC Dendrogyra cylindrus 274 22
18 NC Rock 287 `13
19 HC Lobophytum compactum 304 17
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
Presentasi Penutupan Lifeform = × 100%
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
304 cm
= × 100%
5000 𝑐𝑚
= 6, 08 %
Tabel 2. Presentasi Tutupan Karang
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Line Intercept Transect (LIT) adalah metode yang digunakan untuk
menghitung luas suatu tutupan terumbu karang yang berada di perairan laut.
Metode LIT digunakan, karena merupakan metode yang memiliki kelebihan
akurasi data dapat diperoleh dengan baik, penyajian struktur komunitas
berupa persentase tutupan karang hidup dan mati, bentuk substrat, dan
keberadaan biota lain.
2. Hasil pengukuran dan pengamatan tutupan terumbu karang menggunakan
metode line intercept transect (LIT) yaitu 6, 08 % dan termasuk dalam
kategori buruk.
Saran
Saran dari penulisan laporan ini adalah agar praktikan lebih memahami
mengenai materi Line Intercept Transect (LIT) sehingga praktikum yang akan
datang dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Andri, Karlina, I., dan Jaya, Y. V. 2017. Persentase Tutupan Karang Hidup Di
Pulau Abang Batam Provinsi Kepulauan Riau. Jurusan Ilmu Kelautan.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
Anwar, V. H., I. H. Zakaria., dan Afrizal S. 2014. Komposisi dan Struktur
Komunitas Karang (Scleractinia) di Ekosistem Terumbu Karang di
Perairan Pantai Nirwana Padang. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J.
Bio. UA.) 3(1) :20-26.
Arini, D. I. D. 2013. Potensi Terumbu Karang Indonesia“Tantangan dan Upaya
Konservasinya. Info BPK Manado (3)2.
Bibin, Muhammad, dan Zulhamsyah, I. 2018 Kesesuaian Perairan Pantai
Labombo di Kota Palopo Untuk Aktivitas Wisata Bahari." Journal of
Tropical Fisheries Management 2.1: 61-73.
Dhiecha., Kiki P., Dian R. 2013. Perencanaan Artificial Reef sebagai Restorasi
Terumbu Karang dan Pengaman Pantaidi Pulau Lemukutan Kabupaten
Bengkayang. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 3 (1).
Fauzan A., Taman. B., Apri. A. 2018. Profil Terumbu Karang Pulau Kangean,
Kabupaten Sumenep, Indonesia. JIPK. (10) 2 :2528-0759.
Hardiansyah, N. 2018. Tutupan Habitat dan Kondisi Terumbu Karang Pasca
Peristiwa Bleaching 2016 di Perairan Pulau Liukangloe Kabupaten
Bulukumba. [SKRIPSI].
Isman, Muh., Chair R., Abdul H, and Ahmad Faizal. 2019.Sebaran dan Kondisi
Ekosistem Perairan di Pulau Panampeang Polewali Mandar. Jurnal Ilmu
Kelautan SPERMONDE 5(1).
Kusuma, A. B., Bengen, D. G. dan Madduppa, H. 2016. Keanekaragaman
Genetik Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum pada Populasi
Laut Jawa. Nusa Tenggara dan Sulawesi. Jurnal Enggano. 1(1):89-96.
ISSN 2527-5186.
Luthfi, O. M.,V. L. Rahmadita, dan D. Setyohadi. 2018. Melihat Kondisi
Kesetimbangan Ekologi Terumbu Karang di Pulau Sempu, Malang
Menggunakan Pendekatan Luasan Koloni Karang Keras (Scleractinia).
Jurnal Ilmu Lingkungan (16)1: 1-8.
Manuputty, A. E. W. 2016. Karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea) di
Perairan Biak Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di I
ndonesia 2016 1(2): 47–59.
Munandar, N. M et al.,.2014. Kondisi Terumbu Karang dan Komposisi Ikan
Karang di Pulau Rubiah dan Perairan Iboih. Jurnal Ilmu Kelautan (1) 2.
Rosi, F., Insafitri., dan M. Effendy. 2016. Persentase Tutupan dan Tipe Life
Form Terumbu Karang di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang.
Sarbini, R., H. Kuslani dan Y. Nugraha. 2016. Teknik Pengamatan Tutupan
Terumbu Karang Dengan Menggunakan Transek Garis (Line Intercept
Transect) di Pulau Kumbang Kepulauan Karimun Jawa.
Buletinteknikli tkayasa (14)1.
Salam, A., D. Sahputra dan V. Arman. 2013. Kerusakan Karang di Perairan
Pantai Molotabu Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. (1)1.
Shouka. J. 2010. Kondisi dan Keanekaragaman Jenis Karang Batu di Pulau
Nusalaut, Maluku Tengah. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) 11 (1): 54-65.
Sofyani, H., dan Suwandi S. 2020. Pusat Restorasi Ekosistem: Pengembalian
Alam." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur
(Stupa) 1.2: 1221-1230.
Suryono, et al., 2018. Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Pantai Empu
Rancak, Mlonggo, Kabupaten Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1):49–
54
Sutono, H. S., Robert,P., dan Mustasim M. 2020. The Coral Reef Ecosystem of
Raja Ampat Island Arborek, West Papua." Jurnal Airaha 9(1): 063-070.
Wahiba, N. K dan O. M. Luthfia. 2018. Kajian Efektivitas Penggunaan Metode
Lit, Pit, dan Qt Untuk Monitoring Tutupan Substrat. Journal of Fisheries
and Marine Research (3) 4: 331-336