Anda di halaman 1dari 33

Laporan Praktikum Ekosistem Perairan Pesisir

PENGAMATAN TUTUPAN KARANG MENGGGUNAKAN


METODE LIT (LINE INTERCEPT TRANSECT)

Oleh:
Apryani Susanti
190302029
IV/ A

LABORATORIUM EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR


PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Praktikum : Pengamatan Tutupan Karang Menggunakan Metode


LIT (Line Intercept Transect)
Tanggal Praktikum : 22 Maret 2021
Nama : Apryani Susanti
NIM : 190302029
Kelompok / Grup : IV / A
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Diperiksa oleh
Asisten Korektor

Christoper Eben Ezer Sihombing


NIM. 170302037

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan
yang berjudul “Pengamatan Tutupan Karang Menggunakan Metode LIT (Line
Intercept Transeck)” Laporan ini sebagai salah satu syarat masuk mengikuti
Praktikum Ekosistem Perairan Pesisir.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen penanggung jawab mata
kuliah Ekosistem Ekologi Pesisir yaitu ibu Amanatul Fadhilah, S.Pi, M.Si , bapak
Zulham Apandy Harahap, S.Kel, M.Si dan ibu Khairunnisa, S.Pi, M.Si serta para
asisten laboratorium yang telah membantu dan membimbing penulis dalam
penulisan laporan ini.
Penulis menyadari dalam penulisan laporan ini masih terdapat kekurangan
maupun kesalahan dan jauh dari kata sempurna pada laporan ini. Penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dari laporan
ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan berharap laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Medan, Maret 2021


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan Penulisan ........................................................................... 3
Manfaat Penulisan .......................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang ............................................................................. 4
Jenis-jenis Terumbu Karang.. ......................................................... 6
Metode LIT (Line Intercept Transect) ............................................ 8

METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat Praktikum......................................................... 10
Alat dan Bahan Praktikum .............................................................. 10
Prosedur Praktikum ......................................................................... 10

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil ............................................................................................... 11
Pembahasan .................................................................................... 11
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan...................................................................................... 13
Saran................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim dengan luas laut sebesar 70% dari
keseluruhan negara. Indonesia merupakan habitat yang cocok untuk karang
tumbuh, dikarenakan Indonesia memiliki iklim tropis. Luas ekosistem terumbu
karang yang ada di Indonesia, yaitu sebesar 60.000 km2 . Sebaran karang di
Indonesia merata dari bagian barat hingga timur Indonesia, namun pertumbuhan
karang terbaik berada di perairan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB),
Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sorong. Kondisi terumbu karang di Indonesia
terbagi menjadi empat kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, dan rusak,
sedangkan persentase kondisi terumbu karang di Indonesia 6,39% dalam kondisi
sangat baik, 23,40% dalm kondisi baik, 35,06% dalam kondisi sedang, dan 35,15
dalam kondisi rusak (Wahid dan Luthfi, 2018).
Ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitat beragam, kawasan ini dikenal sebagai perairan yang
memiliki potensi sumberdaya hayati yang sangat besar. Kondisi lingkungan yang
kaya akan potensi perikanan ini dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton
khususnya dari kelas diatom (Bacillariophyta) yang berperan sebagai produsen
dalam tingkatan rantai makanan. airan yang kaya akan nutrien maupun unsur-
unsur hara dipengaruhi oleh adanya masukan bahan-bahan organik dan anorganik
dari daratan yang terbawa bersma aliran sungai serta dipengaruhi oleh kandungan
nitrat dan posfat yang menjadi faktor penting kehidupan diatom
(Roito et al., 2014).
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di bumi yang paling
produktif dan paling kaya dari keanekaragaman hayati. Terumbu karang
menghadapi sederet panjang ancaman yang semakin hebat, termasuk
penangkapan berlebihan, pembangunan pesisir, limpasan dari pertanian, dan
pelayaran. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan
berkembang sangat penting artinya dari ekosistem terumbu karang yang sangat
produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu
karang dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan
dapat dimanfaatkan dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi
bagi masyarakat, untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Kondisi tutupan karang dari tahun ke tahun mengalami penurunan karena adanya
faktor yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan seperti faktor alami dari
salinitas, pemanasan global, meningkatnya suhu air laut, dan bertambahnya
volume air laut. Selain faktor alami, faktor yang menjadi penyebab penurunan
tutupan karang adalah faktor manusia yang tidak menjaga dan melestarikan
lingkungan seperti membuang sampah sembarangan ke laut dan menginjak karang
(Yuliani et al., 2016).
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang krusial di
perairan laut dangkal terutama wilayah pesisir karena memiliki potensi berbagai
jenis sumberdaya yang penting untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu menjadi
penting untuk memastikan bahwa ekosistem pesisir ini terbebas atau sesedikit
mungkin mengalami pengaruh dari daratan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Ekosistem terumbu karang memerlukan kualitas perairan alami dan sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
dan eutrofikasi (Salam et al., 2013).
Kondisi tutupan karang substrat seperti rubble, silt, sand, dan rock yang
tinggi pada suatu area terumbu karang merupakan hal buruk bagi biota karang.
Rubble diidentifikasikan sebagai patahan karang atau kerusakan fisik pada karang.
Bentuk patahan atau rubble yang tersebar disetiap stasiun umumnya disebabkan
berasal dari karang jenis Acropora yang mati. Patahan karang juga disebabkan
oleh ulah manusia yang menginjak dan berjalan di atas karang dan pelepasan
jangkar oleh nelayan diatas karang. Hal ini dapat memperburuk jumlah persentase
patahan karang yang mengakibatkan kerusakan pada karang semakin meningkat
(Yuliani et al., 2016).
Substrat merupakan susunan dasar perairan yang disusun oleh dua
komponen utama, yaitu komponen biotik dan abiotik. Substrat dasar perairan
dibagi menjadi dua kategori, yaitu living dan non-living. Living merupakan
substrat yang tersusun dari komponen biotik, contoh dari substrat kategori living,
yaitu karang keras, karang lunak, dan alga. Non-living merupakan substrat yang
tersusun dari komponen abiotik, contoh dari substrat kategori non-living, yaitu
pasir, lumpur, dan pecahan karang. Terumbu karang suatu ekosistem yang berada
didasar laut dan penyusun utamanya adalah karang keras (scleractinian). Terumbu
karang memiliki peranan penting yang dapat dinilai dari dua aspek, yaitu aspek
ekologis dan aspek ekonomis. Peran ekologis terumbu karang diantaranya,
sebagai tempat mencari makan, tempat tinggal, dan tempat berkembang biak biota
lain. Peran ekonomis terumbu karang, yaitu sebagai objek wisata karena memiliki
keindahan dan memuat banyak biota (Wahid dan Luthfi, 2018).
Pengamatan kondisi substrat dapat dilakukan dengan berbagai macam
metode, diantaranya metode Line Intercept Transect (LIT), Point Intercept
Transect (PIT), dan Quadrant Transect (QT). Line Intercept Transect (LIT)
merupakan metode yang digunakan dalam survei terumbu karang. Metode LIT
dikembangkan oleh Australian Institute of Marine Science (AIMS) dan The Great
Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA). Point Intercept Transect (PIT)
merupakan metode yang digunakan untuk melakukan survei terumbu karang.
Metode PIT digunakan untuk memperkirakan kondisi terumbu karang disuatu
lokasi berdasarkan persen tutupan karang hidup. Quadran Transect (QT)
merupakan metode yang digunakan untuk memantau komunitas makrobentos.
Pada survei terumbu karang dengan menggunakan metode QT biasanya meliputi
kondisi biologi, pertumbuhan, tingkat kematian, dan rekruitmen karang baru
(Wahibaa dan Luthfi, 2019).

Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode line intercept transect (LIT).
2. Untuk mengetahui hasil pengukuran dan pengamatan tutupan terumbu
karang menggunakan metode line intercept transect (LIT).

Manfaat Praktikum
Manfaat dari pelaksanaan praktikum ini adalah untuk menambah wawasan
mengenai metode line intercept transect (LIT), serta sebagai salah satu syarat
untuk memasuki Laboratorium Ekosistem Perairan Pesisir selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae. Terumbu karang
termasuk dalam jenis filum Cnidaria kelas Anthozoa yang memiliki tentakel.
Terumbu karang secara umum dapat dinisbatkan kepada struktur fisik kapur
beserta ekosistem yang menyertainya yang secara aktif membentuk sedimen
kalsium karbonat akibat aktivitas biologi (biogenik) yang berlangsung di bawah
permukaan laut (Salam et al., 2013).
Keragaman terumbu karang di Indonesia cukup tinggi, terdapat lebih dari
480 jenis karang batu telah teridentifikasi dan 60% dari jenis karang telah
dideskripsikan itupun baru di bagian Timur Indonesia. Sebagai salah satu
ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang memiliki nilai ekologis dan
ekonomis yang tinggi. Secara ekologis, terumbu karang berperan dalam
melindungi pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga
berfungsi sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan serta
pemijahan bagi biota laut. Secara ekonomis, terumbu karang memiliki fungsi
sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut, ikan hias, bahan baku
farmasi serta pilihan daerah wisata yang menarik. Hasil perhitungan valuasi
ekonomi dari kegiatan perikanan, perlindungan pantai serta pariwisata di
Indonesia diperkirakan menghasilkan nilai sekitar 1,6 miliyar dollar AS
(Arini, 2013).
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat
penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di
perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang
sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface
circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi
oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera.
Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan
banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik
diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran
terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di
wilayah tersebut. Sebaran terumbu karang di Indonesia lebih banyak terdapat di
sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai timur
Sumatera, sepanjang Pantai Utara Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Selatan yang dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembang baik
di wilayah Sulawesi khususnya Sulawesi Utara oleh karena adanya arus lintas
Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut Pasifik dan Laut Hindia
(Arino, 2013).
Zooxanthella adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis
pada hewan, seperti karang, anemon, moluska, dan lainnya. Sebagian besar
zooxanthellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae
padakarang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang
mengatakanantara 1–5 juta sel/cm . Meski dapat hidup tidak terikat induk,
sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis dalam asosiasi ini, karang
mendapatkan sejumlah keuntungan berupa hasil fotosintesis, seperti gula, asam
amino dan oksigen, mempercepat proses kalsifikasi melalui skema: fotosintesis
akan menaikkan pH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak kemudian
dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah
menyingkirkan inhibitor klasifikasi. Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat
yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis
(Andri et al., 2017).
Kelangsungan hidup terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor
lingkungan. Faktor pembatas tersebut ke dalam enam faktor, yaitu cahaya, suhu,
salinitas, kejernihan air, arus dan substrat. Sedangkan Nybakken (1992)
membaginya dalam lima faktor, yaitu suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, dan
faktor pengendapan (Hardiansyah, 2018).
Terumbu karang berfungsi sebagai tempat hidup berbagai jenis biota
laut, keberadaannya pun sangat peka terhadap perubahan. Kerusakan pada
terumbu karang akan menimbulkan dampak pada kehidupan bawah laut karena
adanya saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Kerusakan terumbu
karang terdeteksi di 93 negara dari 109 negera yang memiliki kekayaan terumbu
karang termasuk di Indonesia. Kerusakan yang terjadi sebagian besar diakibatkan
oleh aktivitas manusia seperti kegiatan wisata yang melebihi daya dukung
kawasan, adanya penggunaan racun ikan, polusi dan sedimentasi bahkan
pemanenan terumbu karang secara besar-besaran. Untuk mencegah semakin
berlanjutnya kerusakan yang terjadi, diperlukan sebuah kegiatan pengelolaan
terumbu karang. Pengelolaan pada hakekatnya dilakukan dalam bentuk
pengontrolan terhadap tindakan manusia untuk memanfaatkan terumbu karang
secara bijaksana. Konsep Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan salah satu
usaha untuk melindungi terumbu karang dalam konteks struktur, fungsi dan
integritas ekosistem serta mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua
tingkatan trofik dalam ekosistem (Arini, 2013)

Jenis-jenis Terumbu Karang


Berdasarkan jenisnya, terumbu karang dibedakan menjadi dua macam
yaitu Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) dan Terumbu
karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips). Terumbu karang keras
merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang.
Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Walaupun
terlihat sangat kuat dan kokoh, karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur
dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Terumbu karang lunak tidak
membentuk karang (Arini, 2013).
Terdapat dua kelompok karang yang berbeda, yang satu dinamakan
ahermatipik dan yang lainnya hermatipik. Karang ahermatipik ditemukan di
seluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropis
dan karang bentuk inilah yang membentuk terumbu. Penyusun utama ekosistem
ini adalah hewan karang dari golongan Coelenterata, yang merupakan struktur di
dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut. Pertumbuhan karang
dipengaruhi oleh factor abiotik dan biotik. Faktor abiotik dapat berupa intensitas
cahaya, lama penyinaran, suhu, nutrisi, dan sedimentasi. karang dapat beradaptasi
dalam perairan yang miskin nutrient namun tidak dapat beradaptasi terhadap
kenaikan jumlah nutrient yang terjadi secara mendadak. Faktor biotik meliputi
predasi, kompetisi, agresi karang lain, dan lainnya (Ginoga et al., 2016).
Karang keras (scleractinian) merupakan salah satu organisme terpenting
dalam ekosistem terumbu karang, kerena akan sebagai pembentuk struktur utama
terumbu karang dan juga menyediakan substrat serta tempat tinggal bagi berbagai
biota/ organisme laut. Kerusakan terhadap karang keras dimungkinkan akan
berdampak kepada menurunnya atau bahkan kemusnahan terhadap biota/
organisme yang tinggal dan berasosiasi dengan karang (Luthfi et al., 2018).
Hard Coral disebut sebagai hermatypic coral. Hermatypic coral
merupakan jenis coral yang mensekresi kalsium karbonat menjadi skeleton
memiliki berbagai macam bentuk. Dalam jangka waktu tertentu membentuk
karang (Coral reefs). Coral ini memperoleh makanan dari organel sel yaitu
Zooxanthella yang merupakan organisme bersel satu yang berfotosintesis. Terjadi
simbiosis mutualisme antara coral dengan Zooxanthella, coral mendapatkan
sumber makanan sedangkan Zooxanthella mendapatkan perlindungan dari
predatornya (Wicaksono, 2019).
Karang lunak merupakan invertebrata yang termasuk ke dalam filum
Coelenterata. Anggota Octocorallia disebut karang lunak karena tidak memiliki
kerangka keras untuk menyokong jaringan tubuh. Polip Octocorallia memiliki
delapan tentakel yang bagian tepinya dikelilingi oleh pinnula yang tersusun dalam
beberapa deret. Keberadaannya diketahui berlimpah di Samudra Hindia mulai dari
Laut Merah sampai ke bagian tengah Samudra Pasifik Barat. Dari hasil penemuan
terakhir, diketahui bahwa perairan dangkal di Kepulauan Indonesia-Filipina-
Papua Nugini merupakan perairan yang memiliki karang lunak dengan jumlah
spesies terbesar. Perairan ini disebut sebagai pusat keanekaragaman spesies
karang lunak di dunia (Manuputty, 2016).
Jenis-jenis karang batu dari marga Acropora sp. mempunyai polip sangat
kecil dan sulit untuk membersihkan dirinya dari partikel-partikel yang melekat,
sehingga jenis ini membutuhkan arus dan ombak yang cukup kuat. karang batu
tidak dapat berkembang pada perairan yang kedalamannya lebih dari 50 – 70 m.
Karang batu merupakan salah satu komponen yang sangat dominan dan
merupakan pembentuk ekosistem terumbu karang yang mempunyai peranan dan
fungsi sangat besar bagi perairan pantai maupun biota yang berasosiasi dengannya
antara lain sebagai tempat pemijahan, tempat mencari makan dan membesarkan
anakan (Souhoka, 2010).
Karang lunak Sarcophyton trocheliophorum merupakan salah satu anggota
penyusun komunitas karang yang penyebaran larvanya tergantung oleh arus.
Walaupun tubuh karang ini lunak, organisme ini memiliki penyokong berukuran
kecil yang terbuat dari kalsium karbonat (spikula atau sklerit) yang tersusun di
seluruh tubuh, sehingga tubuh karang ini lentur dan tidak mudah putus. Secara
umum, koloni karang lunak berbentuk seperti jamur dan lobus. Distribusi genus
Sarcophyton ini terbatas pada daerah kedalaman 1 hingga 35 m di seluruh perairan
Indo-Pasifik. Karang lunak berkembang biak dengan cara gonochoric. Larva
Sarcophyton sp. yang dihasilkan dari reproduksi gonochoric mampu bertahan 14
hari dalam kolom air. Perkembangbiakan aseksualnya berlangsung secara
fragmentasi (Kusuma et al., 2016).

Metode Line Intercept Transect (LIT)


Angka tutupan karang hidup tersebut dihitung menggunakan metode line
intercept transect (LIT). LIT telah digunakan Loya dan Slobodkin (1971) yang
menggunakan panjang transek 10 m, kemudian Loya (1972) menggunakan transek
garis 10 m dengan ulangan 84 kali juga untuk melihat kelimpahan karang di Laut
Merah. Kelemahan metode ini adalah hanya mengambil sampel terumbu karang
yang persis dibawah transek sehingga, kurang mencerminkan kondisi ekosistem
terumbu karang secara menyeluruh. Ada pendekatan lain untuk menilai tutupan
karang hidup pada suatu wilayah yaitu, transek kuadrat. Transek kuadrat secara
jelas mengkuantifikasikan luasan karang keras pada suatu wilayah dengan hasil
lebih bagus dibandingkan dengan line transect, karena menggambarkan luasan
sampel karang pada suatu wilayah. Transek kuadrat telah dipakai sejak tahun 1969
di Maladewa dengan ukuran 3x3 m (Luthfi et al., 2018).
Spesifikasi karang yang dicatat adalah berupa bentuk pertumbuhan karang
(life form) dan genus karang. Pengamatan ikan karang menggunakan metode
Underwater Visual Census. Saat melakukan pengamatan, pengamat menunggu
selama 5 sampai 10 menit sebelum memulai pengamatan sepanjang transek untuk
memungkinkan ikan melanjutkan aktivitas normal mereka. Pengamat mencatat
setiap spesies ikan yang terdapat atau melewati pada jarak pandang 2,5 m disetiap
sisi kiri dan kanan serta 5 m diatas transek (Munandar et al., 2019).
Bentuk pertumbuhan (life form) dapat memberikan informasi tersembunyi
(hidden information) terhadap kondisi lingkungan perairan suatu wilayah, tiga
klasifikasi terhadap hubungan bentuk pertumbuhan karang dengan lingkungan
perairan sekitarnya yakni: pertama ruderals (r) yaitu karangkarang yang mudah
beradaptasi dengan lingkungan atau cepat melakukan adaptasi terhadap
kerusakan, contohnya adalah karang Acropora, dimana hampir semua Acropora
memiliki pertumbuhan cepat namun gampang sekali patah. Kedua competitor (K),
karang non Acropora berbentuk foliose dan branching yang mendominasi suatu
perairan dan memiliki pertumbuhan cepat walaupun kurang cepat dibandingkan
dengan Acropora. Ketiga adalah karang yang memiliki kemampuan menangkal
stress (stress tolerator) (S) yakni semua karang massive dan submassive yang
memiliki kemampuan bertahan terhadap sedimentasi dan eutrifikasi perairan
(Luthfi et al., 2018).
Faktor pembatas pertumbuhan karang pada keseluruhan stasiun
dipengaruhi oleh substrat lumpur (silt), secara umum pasir halus atau substrat
halus yang bergerak serta dasar perairan berlumpur tidak menjadi substrat target
bagi planula karang dalam penempelan dikarenakan dalam fase hidup karang
hanya bebas bergerak dalam jumlah waktu terbatas terutama pada saat larva
planula. Fase berikutnya memerlukan substrat keras dan kasar untuk tempat
menempel dan melekat secara permanen selama hidupnya. Hewan karang
membutuhkan substrat yang keras dan kompak setelah terjadinya penempelan
larva planula karang dan membentuk koloni. Substrat keras tersebut dapat berupa
benda yang padat yang terdapat di dasar perairan seperti batu, cangkang moluska,
potongan kayu bahkan besi yang terbenam. Hasil beberapa penelitian melaporkan
bahwa terumbu karang dalam kondisi rusak disebabkan sebagian besar ditutupi
oleh lumpur (Zewanto et al., 2017).
Metode transek garis (Line Intercept Transect) merupakan metode yang
digunakan dalam mengamati kondisi terumbnu karang di Pulau Kumbang. Teknik
ini pertama kalinya diterapkan pada ekologi terumbu karang. Keuntungan dari
metode ini adalah selain memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam
penerapannya, metode ini juga merupakan metode sampling untuk menghitung
persentase tutupan biota yang sangat efisien dan dapat dipercaya serta
mempermudah peneliti atau orang dengan kemampuan terbatas untuk identifikasi
terumbu karang Salah satu kelebihan teknik ini adalah memugkinkan seseorang
mengoleksi data penting meskipun kurang berpengalaman dalam hal identifikasi
komunitas benthic terumbu karang. Transek garis merupakan teknik yang akurat
dan efisien untuk mendapatkan data kuantitatif tentang tutupan karang
(Sarbini et al., 2016).
Prosedur kerja untuk LIT adalah sebagai berikut yaitu pengamat terdiri
atas minimal dua orang; satu orang bertugas untuk membuat transek sedangkan
yang lainnya bertugas untuk mencatat kategori lifeform karang yang dijumpai.
Transek dibuat pada dua kedalaman (3 dan 10 meter) panjang transek adalah 100
meter. Garis transek dibuat dengan membentangkan roll meter yang memiliki
skala sentimeter (cm). Pengamat harus menguasai dan mengenal tipe-tipe bentuk
pertumbuhan karang, baik karang hidup maupun biota lainnya. Pengamat
berenang dari titik nol hingga titik 100 meter mengikuti garis transek yang telah
dibuat dan mencatat semua lifeform karang pada area yang dilalui oleh garis
transek. Setiap life form harus dicatat lebarnya (hingga skala sentimeter). Bila
memungkinkan, pengamat juga dapat mengidentifikasi jenis karang yang diamati
minimal hingga taksa genus.Kategori lifeform dapat mengacu pada AIMS atau
COREMAP (Wijayanto, 2011).
Analisis data karang meliputi persen penutupan karang (coral percent
cover). Persentase tutupan karang dapat digunakan untuk menduga kondisi
terumbu karang pada suatu lingkungan perairan. Persen penutupan karang hidup
menurut Wilson dan Green (2009) dapat dihitung dengan rumus total panjang
setiap kategori (cm) dibagi panjang transek garis (cm) dikali 100%. Berdasarkan
Surat Keputusan dari Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-04/MENLH/02/2001
tentang kriteria baku kerusakan terumbu karang dapat dibagi menjadi 4 katagori.
Kriteria baku kondisi terumbu karang Kategori tutupan karang hidup Persentase
tutupan karang hidup Buruk 0% - 24,9% Sedang 25% - 49,9% ,Baik 50% - 74,9%
dan Sangat baik 75% - 100% (Munandar et al., 2019).
METODE PRAKTIKUM

Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum dilakukan pada hari Senin 20 Maret 2021, pukul 15.00 WIB
sampai dengan selesai, bertempat di jalan Mongonsidi II, Kel Anggrung No. 31
Medan Polonia, Kota Medan.

Alat dan Bahan Praktikum


Alat yang digunakan pada saat praktikum ini adalah alat tulis seperti
pulpen, penggaris dana buku.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah print gambar karang
hard coral dan soft coral sebanyak 10 gambar.

Prosedur Praktikum
Prosedur dari praktikum yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditarik rol lurus sepanjang karang yang ada di gambar

3. Disusun gambar secara acak dan diberi jarak

4. Diukur jarak antar gambar sebagai transisi


5. Dicatat hasil pengukuran dalam tabel kemudian hitung persentase tutupan
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Hasil dari praktikum yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Line Intercept Transect (LIT)
No Bentuk Jenis Karang Transisi Panjang
Pertumbuhan Koloni
1 SC Gorgonia ventralina 16 16
2 NC Sand 26 10
3 SC Sinularia flexibilis 46 20
4 NC Sand 53 7
5 HC Acropoda microphatala 75 22
6 NC Rock 84 9
7 SC Annella mollis 111 26
8 NC Sand 119 8
9 HC Montipora aquituberculata 145 26
10 NC Sand 150 5
11 HC Favia speciosa 177 27
12 NC Rock 191 14
13 SC Sarchopyton elegans 217 26
14 NC Sand 229 12
15 SC Sinularia giberosa 250 21
16 NC Rock 252 2
17 HC Dendrogyra cylindrus 274 22
18 NC Rock 287 `13
19 HC Lobophytum compactum 304 17

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
Presentasi Penutupan Lifeform = × 100%
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘
304 cm
= × 100%
5000 𝑐𝑚
= 6, 08 %
Tabel 2. Presentasi Tutupan Karang

No Bentuk Pertumbuhan Presentasi

1 Hard Coral (HC) 47,36 %

2 Soft Coral (SC) 38,85 %

3 Non Coral (NC) 26,31 %

Lifeform Hard Coral


%Ci = (pi/P) x 100 %
= (114/304) x 100%
= 47,36 %
Keterangan :
Ci = persen tutupan hard coral
pi = panjang total hard coral
p = panjang transek

Lifeform Soft Coral


%Ci = (pi/P) x 100 %
= (109/304) x 100%
= 38,85 %
Ci = persen tutupan soft coral
pi = panjang total softcoral
p = panjang transek

Lifeform Non Coral


Ci = (pi/P) x 100 %
= (80/304) x 100%
= 26,31%
Ci = persen tutupan non coral
pi = panjang total non coral
p = panjang transek
Pembahasan
Berdasaran hasil praktikum presentasi penutupan life form di dapatkan
hasil perhitungan sebesar 6, 08 % dan termasuk dalam kategori buruk. Hal ini
sesuai dengan Munandar et al., (2019) berdasarkan Surat Keputusan dari
Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-04/MENLH/02/2001 tentang kriteria baku
kerusakan terumbu karang dapat dibagi menjadi 4 katagori. Kriteria baku
kondisi terumbu karang Kategori tutupan karang hidup Persentase tutupan
karang hidup Buruk 0% - 24,9% Sedang 25% - 49,9% ,Baik 50% - 74,9% dan
Sangat baik 75% - 100%.
Berdasarkan hasil praktikum perhitungan tutupan karang dengan cara
menghitung panjang dan lebar life form melalui beberapa foto dari hard coral
dan soft coral menggunakan meteran dengan sala sentimeter, dengan total
panjang transek 50-100 m. Hal ini sesuai dengan Wijayanto (2011) yang
menyatakan bahwa pengamat harus menguasai dan mengenal tipe-tipe bentuk
pertumbuhan karang, baik karang hidup maupun biota lainnya. Pengamat
berenang dari titik nol hingga titik 100 meter mengikuti garis transek yang telah
dibuat dan mencatat semua lifeform karang pada area yang dilalui oleh garis
transek. Setiap life form harus dicatat lebarnya (hingga skala sentimeter). Bila
memungkinkan, pengamat juga dapat mengidentifikasi jenis karang yang
diamati minimal hingga taksa genus. Kategori lifeform dapat mengacu pada
AIMS atau COREMAP.
Berdasarkan hasil praktikum perhitungan persentase tutupan life form
dihitung dengan cara panjang transek di bagi panjang total transek. Hal ini sesuai
dengan Munandar et al., (2019) yang menyatakan bahwa Analisis data karang
meliputi persen penutupan karang (coral percent cover). Persentase tutupan
karang dapat digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang pada suatu
lingkungan perairan. Persen penutupan karang hidup menurut Wilson dan Green
(2009) dapat dihitung dengan rumus total panjang setiap kategori (cm) dibagi
panjang transek garis (cm) dikali 100%.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Line Intercept Transect (LIT) adalah metode yang digunakan untuk
menghitung luas suatu tutupan terumbu karang yang berada di perairan laut.
Metode LIT digunakan, karena merupakan metode yang memiliki kelebihan
akurasi data dapat diperoleh dengan baik, penyajian struktur komunitas
berupa persentase tutupan karang hidup dan mati, bentuk substrat, dan
keberadaan biota lain.
2. Hasil pengukuran dan pengamatan tutupan terumbu karang menggunakan
metode line intercept transect (LIT) yaitu 6, 08 % dan termasuk dalam
kategori buruk.

Saran
Saran dari penulisan laporan ini adalah agar praktikan lebih memahami
mengenai materi Line Intercept Transect (LIT) sehingga praktikum yang akan
datang dapat berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

Andri, Karlina, I., dan Jaya, Y. V. 2017. Persentase Tutupan Karang Hidup Di
Pulau Abang Batam Provinsi Kepulauan Riau. Jurusan Ilmu Kelautan.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
Anwar, V. H., I. H. Zakaria., dan Afrizal S. 2014. Komposisi dan Struktur
Komunitas Karang (Scleractinia) di Ekosistem Terumbu Karang di
Perairan Pantai Nirwana Padang. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J.
Bio. UA.) 3(1) :20-26.
Arini, D. I. D. 2013. Potensi Terumbu Karang Indonesia“Tantangan dan Upaya
Konservasinya. Info BPK Manado (3)2.
Bibin, Muhammad, dan Zulhamsyah, I. 2018 Kesesuaian Perairan Pantai
Labombo di Kota Palopo Untuk Aktivitas Wisata Bahari." Journal of
Tropical Fisheries Management 2.1: 61-73.
Dhiecha., Kiki P., Dian R. 2013. Perencanaan Artificial Reef sebagai Restorasi
Terumbu Karang dan Pengaman Pantaidi Pulau Lemukutan Kabupaten
Bengkayang. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 3 (1).
Fauzan A., Taman. B., Apri. A. 2018. Profil Terumbu Karang Pulau Kangean,
Kabupaten Sumenep, Indonesia. JIPK. (10) 2 :2528-0759.
Hardiansyah, N. 2018. Tutupan Habitat dan Kondisi Terumbu Karang Pasca
Peristiwa Bleaching 2016 di Perairan Pulau Liukangloe Kabupaten
Bulukumba. [SKRIPSI].
Isman, Muh., Chair R., Abdul H, and Ahmad Faizal. 2019.Sebaran dan Kondisi
Ekosistem Perairan di Pulau Panampeang Polewali Mandar. Jurnal Ilmu
Kelautan SPERMONDE 5(1).
Kusuma, A. B., Bengen, D. G. dan Madduppa, H. 2016. Keanekaragaman
Genetik Karang Lunak Sarcophyton trocheliophorum pada Populasi
Laut Jawa. Nusa Tenggara dan Sulawesi. Jurnal Enggano. 1(1):89-96.
ISSN 2527-5186.
Luthfi, O. M.,V. L. Rahmadita, dan D. Setyohadi. 2018. Melihat Kondisi
Kesetimbangan Ekologi Terumbu Karang di Pulau Sempu, Malang
Menggunakan Pendekatan Luasan Koloni Karang Keras (Scleractinia).
Jurnal Ilmu Lingkungan (16)1: 1-8.
Manuputty, A. E. W. 2016. Karang Lunak (Octocorallia: Alcyonacea) di
Perairan Biak Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di I
ndonesia 2016 1(2): 47–59.
Munandar, N. M et al.,.2014. Kondisi Terumbu Karang dan Komposisi Ikan
Karang di Pulau Rubiah dan Perairan Iboih. Jurnal Ilmu Kelautan (1) 2.
Rosi, F., Insafitri., dan M. Effendy. 2016. Persentase Tutupan dan Tipe Life
Form Terumbu Karang di Pulau Mandangin Kabupaten Sampang.
Sarbini, R., H. Kuslani dan Y. Nugraha. 2016. Teknik Pengamatan Tutupan
Terumbu Karang Dengan Menggunakan Transek Garis (Line Intercept
Transect) di Pulau Kumbang Kepulauan Karimun Jawa.
Buletinteknikli tkayasa (14)1.
Salam, A., D. Sahputra dan V. Arman. 2013. Kerusakan Karang di Perairan
Pantai Molotabu Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. (1)1.
Shouka. J. 2010. Kondisi dan Keanekaragaman Jenis Karang Batu di Pulau
Nusalaut, Maluku Tengah. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) 11 (1): 54-65.
Sofyani, H., dan Suwandi S. 2020. Pusat Restorasi Ekosistem: Pengembalian
Alam." Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur
(Stupa) 1.2: 1221-1230.
Suryono, et al., 2018. Kondisi Terumbu Karang Di Perairan Pantai Empu
Rancak, Mlonggo, Kabupaten Jepara. Jurnal Kelautan Tropis. 21(1):49–
54
Sutono, H. S., Robert,P., dan Mustasim M. 2020. The Coral Reef Ecosystem of
Raja Ampat Island Arborek, West Papua." Jurnal Airaha 9(1): 063-070.
Wahiba, N. K dan O. M. Luthfia. 2018. Kajian Efektivitas Penggunaan Metode
Lit, Pit, dan Qt Untuk Monitoring Tutupan Substrat. Journal of Fisheries
and Marine Research (3) 4: 331-336

Wicoksono, A. Y. 2019. Keanekaragaman Coral Intertidal Kawasan Wisata


Pantai di Kecamatan Tanjungsari Gunung Kidul [SKRIPSI].

Wiyanto, D. B. 2011. Prosentase Tutupan Terumbu Karang di Perairan Pantai


Binor Paiton-Probolinggo. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas
Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana

Yuliani, W., M. Ali S, M. Saputri. 2016. Pengelolaan Ekosistem Terumbu


Karang oleh Masyarakat di Kawasan Lhokseudu Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Biologi,
(1)1: 1-9

Zewanto, I., M. Nasir dan V. Kurnianda. 2017. Persentase Tutupan Karang di


Pantai Ulee Kareung Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten
Bireuen. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah (2)
2: 302-309

Anda mungkin juga menyukai