Anda di halaman 1dari 22

Laporan Praktikum Hari/Tanggal : Selasa, 8 Juni 2021

Ekologi Perairan Waktu : 11.00 – 13.50 WIB


Dosen : Dr. Wiyoto, S.Pi., M.Sc.
PJP : Andri Hendriana, S.Pi., M.Si.
Asisten : Dian Surya Prathiwi, S.Pi.
Nabilla Putri E., A.Md.
Rizky Mulyadi N., A.Md.

KARAKTERISTIK EKOSISTEM PERAIRAN TELUK


BINTUNI

Disusun oleh:
Kelompok 4/P1
1. Aprilia Tri Lestari J0308201003
2. Surya Fauzanul Mutaqin J0308201005
3. Agiet Algamar J0308201011
4. Raudhatus Shafa J0308201019
5. Sarah Anjani J0308201049
6. Aisyah Indika Desta Rahmadany J0308201053
7. M. Reza Pratama J0308201062

TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN


PERIKANAN BUDIDAYA
SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
DAFTAR ISI

1
BAB 1. PENDAHULUAN...............................................................................................2
1.1. Latar Belakang....................................................................................................2
1.2. Tujuan.................................................................................................................3
BAB 2. KEADAAN UMUM...........................................................................................3
2.1. Sejarah................................................................................................................3
2.2. Keadaan Lokasi...................................................................................................3
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................4
3.1. Ekosistem Perairan Mangrove............................................................................4
3.2. Parameter Fisika.................................................................................................5
3.3. Parameter Kimia.................................................................................................6
3.4. Parameter Biologi...............................................................................................6
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................8
4.1. Parameter Fisika.................................................................................................8
4.2. Parameter Kimia.................................................................................................9
4.3. Parameter Biologi...............................................................................................9
4.4. Pengukuran Mangrove........................................................................................9
BAB 5. PENUTUP.........................................................................................................18
5.1. Kesimpulan.......................................................................................................18
5.2. Saran.................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19
20
20
21

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ekosistem khas laut tropis umumnya terdiri atas ekosistem mangrove, lamun,
dan terumbu karang (Widowati, 2004). Ekosistem ini secara bersama-sama
membuat wilayah laut tropis menjadi daerah yang relatif sangat subur dan
produktif. Suatu perairan laut dapat dikatakan kaya akan sumber daya perairan
jika perairan tersebut memiliki kesuburan yang tinggi. Parameter laut tropis yang
optimum bagi sebagian mikroorganisme fotosintetik menyebabkan tingginya
kesuburan tipe perairan ini. Kesuburan suatu perairan dapat dilihat dari
produktifitas primernya, di mana produktivitas primer ini sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor; baik fisika, kimia, maupun biologi suatu perairan (Fitriya et al.,
2011).
Ekosistem mangrove mempunyai nilai penting dalam aspek ekologis,
ekonomis, dan sosial. Secara ekologis mangrove menjadi daerah asuhan (nursery),
tempat berlindung, mencari makan (feeding), dan tempat memijah (spawning)
beberapa jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan biota lainnya. Selain itu,
ekosistem ini merupakan habitat alami beberapa jenis burung, mamalia, reptilia,
insekta, dan moluska serta merupakan sumber ke-anekaragaman hayati
(biodiversity) dan gudang plasma nutfah (genetic pool) (Salim, 1991 dan Bengen,
2001).
Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar
pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa
seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut
mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata,
yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan
konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar, dan sebagainya (Dahuri, 2002).
Kegiatan silvofishery adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk konservasi
dan memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove serta perairannya (Fitzgerald,
1997). Kegiatan ini diharapkan dapat menjaga peran hutan mangrove yang sangat
penting dan mencegah kerusakan hutan mangrove yang disebabkan karena
konversi menjadi tambak. Kegiatan silvofishery harus didukung oleh produktivitas
perairan yang tinggi. Salah satu parameter untuk mengetahui produktivitas
perairan mangrove adalah dengan melihat struktur komunitasnya yang diwakili
oleh kelimpahan dan keanekaragaman plankton. Pengukuran parameter fisika dan
kimia hanya dapat menggambarkan kualitas lingkungan pada waktu tertentu.
Indikator biologi dapat memantau secara kontinu dan merupakan petunjuk yang
mudah untuk memantau terjadinya pencemaran (Fitzgerald, 1997).
Lingkungan dikatakan tercemar apabila sudah tidak sesuai lagi dengan
peruntukannya, lingkungan tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi sebagai
tempat untuk hidup dan berkembang biak oleh makhluk hidup atau lainnya.

2
Keberadaan organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator terhadap
pencemaran air selain indikator kimia dan fisika. Menurut Nybakken (1992) dan
Nontji (2005) organisme perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran
karena habitat, mobilitas dan umurnya yang relatif lama mendiami suatu wilayah
perairan.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan pengambilan sampel air ini bertujuan untuk mengetahui:
(1) Komponen parameter fisika, kimia dan biologi yang terdapat pada perairan
Teluk Bintuni;
(2) Ekosistem perairan pada air mengalir khususnya pada perairan mangrove
Teluk Bintuni;
(3) Parameter jenis apa yang ada pada perairan Teluk Bintuni; dan
(4) Mengetahui kepadatan dan kelimpahan plankton, perifiton, benthos, nekton
dan neuston di Teluk Bintuni.

BAB 2
KEADAAN UMUM

2.1. Sejarah
Kabupaten Teluk Bintuni atau kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Manokwari di wilayah Papua Barat secara formal berdiri berdasarkan Undang-
Undang nomor 26 tahun 2002 bersama dengan sejumlah kabupaten lainnya di
Papua, yakni Kabupaten Sarmi, Kerom, Pegunungan Bintang, Tolikara, Waropen,
Boven Digul, Yahukimo, Mappi dan Kabupaten Asmat, Kabupaten Sorong
Selatan, Raja Ampat, Kaimana, dan Teluk Wondama, di Papua Barat. Teluk
Bintuni resmi berdiri pada bulan Juni 2003.
Teluk Bintuni awalnya adalah salah satu daerah tertinggal. Teluk Bintuni
termasuk jauh dari pusat pemerintahan dan kualitas pelayanan publiknya rendah.
Hal ini menyebabkan masyarakat kurang menikmati dan belum merasakan
pembangunan yang merata. Meskipun demikian, wilayah Teluk Bintuni kaya akan
hasil tambang, laut, dan hutan. Kawasan Teluk Bintuni mampu menyumbang
minyak bumi, hasil hutan berupa kayu, hasil perikanan berupa udang; ikan; dan
kepiting.
Teluk Bintuni termasuk perairan estuari, dicirikan oleh adanya beberapa
sungai yang bermuara ke teluk seperti Sungai Wasian, Muturi, Bokor, Tirasai,
Sumber, Kodai, Rarjoi, Kamisayo, Tatawori, Sorobaba, Yakati, Yensei,
Sobrawara, Naramasa, Manggosa, dan Saengga.
2.2. Keadaan Lokasi
Kawasan Teluk Bintuni merupakan salah Kabupaten pemekaran baru di
Provinsi Papua Barat yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 12 November 2002. Terletak antara pantai
selatan Kepala Burung dan Pantai Semenanjung Onin, menghadap ke arah Laut

3
Seram di lepas pantai barat Papua. Berdekatan dengan leher pegunungan sempit
yang menghubungkan Kepala Burung dengan wilayah lainnya di Provinsi Papua.
Secara geografis wilayah Kabupaten Teluk Bintuni berada antara 1°57’50”LS-
3°11’26”LS dan 1.9.32°44’59”-134°14’49”BT serta terletak antara pantai selatan
kepala burung dan pantai semenanjung Onin yang menghadap ke arah laut
Seramdi lepas pantai barat Papua. Secara administratif, kawasan Teluk Bintuni
berbatasan dengan:
(1) Sebelah utara berbatasan dengan Distrik Aifat Timur Kabupaten Sorong
Selatan, wilayahadministrasi Distrik Kebar, Distrik Testega, Distrik
Mayambow, dan Distrik SurureyKabupaten Manokwari;
(2) Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Distrik Kokoda dan Distrik Aifat
Timur Kabupaten Sorong Selatan;
(3) Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Distrik Kaimana dan Distrik
Teluk Arguni Kabupaten Kaimana, wilayah Distrik Kokas Kabupaten Fakfak;
(4) Sebelah timur dengan wilayah Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari,
wilayah Distrik Wamesa, Distrik Windesi, dan Distrik Wasior Kabupaten
Teluk Wondama.
Gambaran Umum dan Kondisi Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni memiliki
luas wilayah 18.637 km². Distrik Babo merupakan distrik yang memiliki luas
daerah terbesar di Kabupaten Teluk Bintuni yaitu 23,32% atau sebesar 4.328 km².
Distrik Aranday memiliki luas kedua terbesar setelah Distrik Babo yaitu sebesar
2.431 km² atau sebesar 13,04%. Sementara itu distrik yang memiliki luas terkecil
adalah Distrik Bintuni memiliki luas sebesar 1.318 km² atau hanya sebesar 7,11%
dari total luas Kabupaten Teluk Bintuni. Iklim dalam wilayah Teluk Bintuni
termasuk dalam iklim tropis monson yang dicirikan oleh kondisi suhu dan
kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun atau tropik basah. Monson barat
laut atau musim penghujan, umumnya terjadinya selama bulan Desember hingga
Maret, sedangkan monson tenggara atau musim kemarau terjadi selama bulan Mei
hingga bulan Oktober. Perubahan monson tersebut dicirikan oleh beberapa
mekanisme perubahan fisikatmosfer yang menghasilkan angin musiman yang
bertiup kencang yang membedakan antara mesim penghujan dan musim kemarau.
Data tahunan menunjukkan bahwa kecepatan angin berkisar dari lambat ke sedang
(8m/detik) dengan frekuensi kejadian kurang dari 2%.

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Ekosistem Perairan Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan suatu interaksi yang terjadi antara tanaman-
tanaman mangrove dengan faktor lingkungan perairan mangrove sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kesuburan perairan dan sebagai tempat mencari
makanalamibagi biota-biota perairan. Suatu ekositem mangrove terbentuk antara

4
perpaduan ekosistem lautan dan daratan dan berkembang di daerah tropika dan
subtropika yaitu pada pantai-pantai yang landai, muara sungai dan teluk yang
terlindug dari hempasan gelombang air laut (Harahab, 2010). Ekosistem
mangrove juga memiliki fungsi diantaranya ialah fungsi ekologis, sebagai
penampung dan pengolah limbah alami yang berguna untuk menanggulangi
pencemaran lingkungan (Kordi, 2012). Mangrove juga sangat berguna untuk
keberlangsungan hidup biota-biota akuatik, diantaranya ekosistem mangrove
berguna untuk daerah pemijahan (spawning ground), tempat asuhan (nursery
ground) dan tempat mencari makan (feeding ground), ekosistem laut hanya
menampung 10% luas laut akan tetapi menampung 90 % kehidupan air laut
(Suryoatmodjo, 1996).
Kesuburan suatu ekosistem mangrove sangat didukung oleh adannya faktor-
faktor nutrien yang ada di perairan yang biasa disebut dengan status trofik
perairan. Status trofik perairan ialah suatu indikator yang digunakan untuk
mengukur unsur hara (nutrien) dan tingkat kecerahan serta aktvitas biologi yang
terjadi di perairan (Shaw et al., 2004; Leitao, 2012). Penggolongan status trofik
antara lain hipertrofik, eutorofik, mesotrofik dan oligorofik (Welcomme, 2001,
Wetzel, 2001, Jorgensen, 1980). Adapun pengertian dari masing –masing status
trofik (PerMenLH No 28 tahun 2009), yaitu oligotrofik, mesotrofik, eutrofik dan
hipertorfik.
3.2. Parameter Fisika
3.2.1. Warna Perairan
Warna, warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan
tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta
tumbuh-tumbuhan (Ambarwati et al., 2012).
3.2.2. Kecerahan
Kecerahan air penting artinya bagi kehidupan organisme perairan. Kecerahan
merupakan ukuran untuk mengetahui daya penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan cm, nilai ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan cuaca waktu pengukuran, kekeruhan, padatan
tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran (Irawan, 2013).
3.2.3. Suhu
Suhu berperan dalam proses metabolisme organisme yang berpengaruh pada
pertumbuhan, reproduksi dan aktifitas mencari makan. Ikan di perairan dapat
mendeteksi suhu yang berubah dengan mengendalikan tingkah lakunya untuk
mencari ruang dengan suhu yang sesuai (Wootton, 1992).
3.2.4. Kedalaman
Luas dan kedalaman perairan dapat mempengaruhi jumlah jenis dalam suatu
habitat sehingga indeks keanekaragaman tinggi. Area yang lebih luas sering
memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang lebih

5
sempit, sehingga semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula
jumlah ikan yang menempatinya (Nurudin et al., 2013).
3.2.5. Tipe Substrat
Substrat perairan merupakan dasar perairan dimana alga laut dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) jenis-jenis
substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan
karang. Substrat dasar perairan memliki peranan sebagai penyimpan unsur hara
(bahan anorganik) yang berasal dari laut dan yang berasal dari daratan melalui
berbagai proses. Bahan anorganik yang berada di substrat dimanfaatkan oleh
mikrofauna sebagai pengurai menjadi bahan organik yang kemudian digunakan
sebagai bahan makanan bagi organisme lain. Makanan ikan demersal berupa
bentos, moluska maupun biota kecil lainnya yang berada pada substrat dasar
perairan (Pujiyati, 2008).
3.3. Parameter Kimia
3.3.1. pH
Salah satu parameter kualitas perairan yang diukur adalah nilai pH. Nilai pH
merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+) yang mencirikan keseimbangan
asam dan basa. Nilai pH pada suatu perairan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap organisme perairan sehingga seringkali dijadikan petunjuk untuk
menyatakan baik buruknya suatu perairan (Odum, 1971). dimana masingmasing
organisme memiliki batas toleransi kadar minimum dan maksimum pH, selain itu
kecepatan reaksi serta tipe reaksi dalam perairan juga dapat dipengaruhi oleh
kadar pH.
3.3.2. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk
respirasi dan penguraian zat-zat organik oleh mikro-organisme. Sumber utama
oksigen dalam air laut adalah udara melalui proses difusi dan dari proses
fotosintesis fitoplanktom. Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama
kehidupan dilaut dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut
semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di
perairan. Hal ini disebabkan oksigen yang ada, dibutuhkan oleh bakteri untuk
menguraikan zat organik menjadi zat anorganik (Simanjuntak, 2012).
3.4. Parameter Biologi
3.4.1. Plankton
Menurut Schwoerbel (1987), plankton merupakan organisma air yang hidup-
nya melayang-layang dalam air dan pergerakannya terutama dipargaruhi oleh
pergerakan air. Plankton merupakan organisme perairan yang keberadaannya
dapat menjadi indikator perubahan kualitas biologi perairan estuari. Plankton
memegang peran penting dalam mempengaruhi produktivitas primer perairan
sungai. Rosenberg dalam Ardi (2002) menyebutkan bahwa beberapa organisme
plankton bersifat toleran dan mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan

6
kualitas perairan. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan
menggunakan indeks saprobik, dimana indeks ini digunakan untuk mengetahui
tingkat ketergantungan atau hubungan suatu organisme dengan senyawa yang
menjadi sumber nutrisinya, sehingga dapat diketahui hubungan kelimpahan
plankton dengan tingkat pencemaran suatu perairan (Dahuri, 1995).
Plankton mempunyai peranan yang sangat penting di dalam ekosistem bahari,
dapat dikatakan sebagai pembuka kehidupan di planet bumi ini, karena dengan
sifatnya yang autotrof mampu merubah hara anorganik menjadi bahan organik
dan penghasil oksigen yang sangat mutlak diperlukan bagi kehidupan makhluk
yang lebih tinggi tingkatannya (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
3.4.2. Perifiton
Perifiton merupakan aufwuchs yaitu sekelompok organisme (umumnya
mikroskopis) yang hidup menempel pada benda atau pada permukaan tumbuhan
air yang terendam; tidak menembus subtrat; diam atau bergerak. dipermukaan
subtrat tersebut. Sementaraitu Weitzel (1979) menyatakan bahwa istilah aufwuchs
dipergunakan secara umum untuk seluruh organisme yang berasosiasi dengan
permukaan padat tetapi tidak sampai menembus subtrat tersebut. Komunitas
perifiton umumnya terdiri dari alga mikroskopis yang menempel, baik satu sel
maupun alga benangterutama dari jenis diatom, jenis alga Conjugales,
Cyanophyceae, Euglena-phyceae, Xanthophyceae dan Chryssophyceae.
Keberadaan perifiton dalam satu perairan dengan perairan lainnya tidaklah
sama. Beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan perifiton dalam suatu
perairan adalah kondisi fisik, kimiawi, dan biologi perairan. Perifiton pun
memiliki batasan toleransi tertentu terhadap beberapa parameter lingkungan
perairan. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan
dan kolonisasi perifiton (Arfiati, 1989). Beberapa perifiton diantaranya ada yang
berbentuk koloni, yang memiliki kemampuan melekat pada permukaan substrat
lebih baik daripada mikroalga lainnya (Saptasari et al, 2007). Diatom perifiton
merupakan indikator biologi yang baik untuk mengetahui tingkat pencemaranyang
terjadi pada suatu badan air (Odum, 1971). Perubahan kandungan senyawa kimia
yang masuk ke dalam suatu perairan merupakan faktor penting dalam
mempelajari perkembangan komunitas diatom perifiton (Chalnoky 1986, dalam
Afrizal, 1992). Peran penting diatom perifiton dapat dilihat dalam ekosistem
perairan, hal ini berhubungan dengan fungsi diatom perifiton sebagai produsen
dalam rantai makanan yakni penghasil bahan organik dan oksigen (Yoshitake dan
Fukushima, 1985 dalam Mahanal, 1998).
3.4.3. Bentos
Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di bagian dalam maupun
permukaan perairan (substrat), meliputi organisme yang sesil maupun yang
bergerak (Goldman dan Horne, 1983). Peran organisme tersebut di dalam
ekosistem akuatik adalah melakukan proses mineralisasi dan daur ulang bahan

7
organik, sebagai bagian dalam rantai makanan detritus dalam sumber daya
perikanan, dan sebagai bioindikator perubahan lingkungan. Bentos memiliki sifat
kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah
ditangkap, dan memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran
benthos di dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator
kondisi ekonomi terkini pada kawasan tertentu. (Petrus dan Andi,2006).
Menurut Widodo (1997), faktor utama yang mempengaruhi jumlah bentos,
keragaman jenis, dan dominasi antara lain adanya kerusakan habitat alami,
pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim. Lavina (1982) dalam Petrus dan Andi
(2006), menyatakan bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi distribusi,
morfologi fungsional, dan tingkah laku bentos. Perbedaan tipe substrat yang
dicirikan oleh ukuran partikel merupakan faktor utama yang menentukan adaptasi
dan distribusi bentos.
3.4.4. Nekton
Nekton merupakan organisme yang dapat berenang dan bergerak aktif,
misalnya ikan dan udang, termasuk amfibi dan serangga air besar (Welch, 1954;
Odum, 1996). Ikan merupakan contoh nekton yang paling utama di perairan,
khususnya sungai (Muhtadi et al. 2017).
Odum (1996), menjelaskan bahwa pemangsaan dalam ekosistem laut pada
dasarnya semua nekton dewasa adalah karnivora yang memangsa plankton yang
lebih kecil atau nekton lainnya. Proses pemangsaan oleh nekton yang berukuran
besar menjadi predator bagi nekton lainnya. Salah satu sifat yang paling konsisten
dari cara makan ikan nektonik yaitu tidak selektif dalam memangsa sebab semua
ukuran makanan yang tersedia di perairan menjadi makanannya.
3.4.5. Neuston
Neuston, adalah biota plankton yang tinggal pada lapisan permukaan dari
kedalaman sampai dengan 10 mm. (Pratiwi dan Lanskap, n.d.). Sedangkan dalam
buku Konsep Dasar Ekologi Tumbuhan menjelaskan bahwa neuston merupakan
organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air, selain itu neuston
merupakan organisme yang hidup pada permukaan air, misalnya serangga air.

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Fisika


Secara umum kualitas air Teluk Bintuni dikatakan baik dan menunjang untuk
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan, khususnya fitoplankton.
Suhu perairan mangrove di lokasi penelitian berkisar antara 27 sampai 30,5 oC
(Andrianto et al., 2015). Suhu berperan penting dalam metabolisme organisme
perairan. Menurut Hutabarat & Evans (1986), jika suhu air berkisar antara 24-32
o
C maka plankton dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

8
Tipe substat dasar di sekitar perairan Teluk Bintuni menunjukkan bahwa
kondisi substrat pada daerah ini umumnya terdiri dari pasir, pasir berbatu, patahan
karang dan batu karang. Tetapi di beberapa titik lain didapati juga substrat yang
berlumpur (Massora, 2007). Substrat berlumpur merupakan habitat yang cocok
bagi kebanyakan hewan bentik dan substrat berpasir adalah habitat yang cocok
bagi kelompok Bivalvia (Zulkifli dan Setiawan, 2011).
Kondisi fisik yang terdapat pada area pengamatan, kondisi warna air
berwarna cokelat keruh dan tingkat kecerahannya rata-ratanya mencapai 2,5
meter. Tingkat kekeruhan ini secara langsung memengaruhi proses fotosintesis
fitoplankton di perairan.
Kedalaman Teluk Bintuni bervariasi antara satu sampai 20 m pada bagian tepi
dan sekitar 70 m pada bagian tengah teluk (Sulistiono et al., 2007).
4.2. Parameter Kimia
Tabel 1. Hasil Pengukuran dan Pengamatan Parameter Kimia di Teluk Bintuni
Lokasi Sampling pH DO
Hulu 7,44 6,42
Tengah 7,09 6,22
Hilir 7,6 6,1
Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh derajat keasaman (pH) yang
berbeda-beda untuk tiap daerah. Dimana untuk daerah hulu rata-rata pHnya adalah
7,44, daerah tengah diperoleh rata-rata pHnya adalah 7,09, dan daerah hilir 7,6.
Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain salinitas, aktivitas
fotosintesis, aktivitas biologi, suhu kandungan oksigen dan adanya kation serta
anion dalam perairan (Handayani, 2004). pH air normal berkisar antara 6,5 - 7,5
yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan. pH bersifat asam jika nilainya di
bawah pH normal, sedangkan jika nilai pH di atas normal maka bersifat basa.
Adapun kadar oksigen terlarut dalam air tergantung pada beberapa proses
diantaranya pergerakan massa air, percampuran, aktivitas fotosintesis dan
respirasi serta masukan limbah ke badan air (Effendi, 2003). Hasil penelitian dan
uji laboratorium pada perairan Teluk Bintuni dapat diketahui bahwa konsentrasi
DO berkisar antara 6,1 mg/l sampai dengan 6,42. Oksigen terlarut (DO) untuk
biota budidaya adalah ± 5 mg/L. Apabila kurang akan menyebabkan stres pada
ikan, kerentanan terhadap serangan parasit dan penyakit, bahkan kematian
(Stickney, 1979). Adapun kadar oksigen terlarut dalam air tergantung pada
beberapa proses diantaranya pergerakan massa air, percampuran, aktivitas
fotosintesis dan respirasi serta masukan limbah ke badan air (Effendi, 2003).
4.3. Parameter Biologi
4.3.1. Plankton
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada perairan mangrove Teluk
Bintuni ditemukan plankton sebanyak 22 jenis dan di perairan terbuka (non
mangrove) ditemukan 12 jenis. Jenis fitoplankton yang mempunyai kelimpahan

9
relatif tinggi (≥ 5%) di perairan mangrove adalah Navicula oblonga, Oscillatoria
sp., Cylindrocystis sp., Nitzschia sp., Rhizosolenia sp., Gyrosigma sp., Peridinium
sp., dan Ceratium sp. Jenis zooplankton yang tergolong melimpah adalah
Cyclopsis sp. Pada perairan terbuka, jenis fitoplankton yang mempunyai kelimpah
relatif tinggi adalah Oscillatoria sp., Chrysophyta unident, dan Gyrosigma sp.
Jenis zooplankton yang melimpah adalah Cyclopsis sp., Bosmia sp., Diaptomus
sp., Canthocampus sp., dan Cypris sp.
Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton tersebut diduga tergantung pada
ketersediaan nutrien dan temperatur perairan. Nybakken (1992) mengatakan
bahwa ada dua faktor yang dapat membatasi produktivitas fitoplankton yaitu
cahaya dan zat-zat hara. Selain itu, aktivitas grazing dari zooplankton diduga juga
mempengaruhi kelimpahan fitoplankton (Nybakken, 1992). Di perairan mangrove
zat-zat hara akan disuplai oleh adanya guguran serasah dari mangrove tersebut.
Kelimpahan plankton di perairan mangrove lebih tinggi yaitu berkisar antara 828-
1.548 individu/liter, sedangkan di perairan terbuka berkisar antara 882-972
individu/liter.
Nilai kelimpahan ini ternyata lebih besar dari kelimpahan fitoplankton yang
terdapat di perairan mangrove Teluk Bintuni yakni rata-rata 1.432 individu/liter
(Sediadi dan Wenno, 1995). Halidah et al. (2006) melaporkan bahwa guguran
serasah dari Rhyzophora mucronata di lokasi penelitian dapat mencapai 128,38
gram/m2 per bulan atau 15,40 ton/ha per tahun. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
tingginya kelimpahan plankton di perairan mangrove dapat disebabkan karena
adanya hara yang tersedia dari guguran serasah tegakan mangrove.
Mann (1982) mengatakan bahwa untuk pertumbuhan fitoplankton dibutuhkan
tidak kurang dari 18 mineral dan berbagai organik. Hal yang sama diungkapkan
oleh Marsono et al. (1995) bahwa jumlah plankton yang ditemui di pantai Cilacap
yang direhabilitasi cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur
tanaman. Serasah-serasah ini kemudian diurai menjadi bahan anorganik. Selain
itu, aktivitas grazing zooplankton di perairan mangrove yang rendah juga
menyebabkan kelimpahan fitoplankton menjadi relatif lebih tinggi. Jenis-jenis
plankton yang mempunyai kelimpahan relatif tinggi merupakan jenis-jenis yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya lebih efisien daripada jenis lain dalam
tingkat trofik yang sama.
Hal ini berarti jenis-jenis tersebut mempunyai peranan yang penting bagi
komunitas plankton di perairan tersebut. Di perairan mangrove, kelimpahan jenis
Navicula oblonga disebabkan karena jenis ini mempunyai kemampuan
beradaptasi dengan berbagai habitat termasuk habitat yang kurang
menguntungkan. Hal ini sesuai dengan Gell et al. (1999) yang menyatakan bahwa
Navicula sp. dan Asterionella sp. memiliki kemampuan untuk hidup di tempat
yang kurang menguntungkan.
4.3.2. Bentos

10
Ditemukan tiga jenis bentos, yaitu Chaetoceros lorenzianum, Coscinodiscus
granii, dan Thallasionema nitzschioides (Soemodihardjo, 1995). Komposisi jenis
bentos di tiga daerah pengamatan nampaknya mengalami perubahan dominasi, di
pesisir utara C. Lorenzianum dijumpai tertinggi persentasenya, yaitu sehesar 14
%. Di tengah-tengah perairan terjadi perubahan komposisi. C. granii mendominasi
sebesar 19 %. Sedangkan di pesisir selatan jenis R. intracellularis, mengalami
peningkatan mencapai 34 % dari jumlah sel yang ada pada masing-masing lokasi
(Soemodihardjo, 1995).
Perbedaan struktur komunitas bentos dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan suplai nutrien (Kotta et al., 2000). Suplai nutriendari hasil dekomposisi
serasah mangrove menentukan jenis dan kelimpahan nutrien yang tersedia bagi
tambak. Variasi nutrien ini mempengaruhi kesuburan perairan dan produktivitas
primer oleh plankton (Karlson et al., 2007). Dalam rantai makanan, plankton
merupakan sumber pakan bagi organisme pada strata trofik lebih tinggi, salah
satunya yaitu bentos. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya variasi komposisi
jenis bentos.
4.3.3. Nekton
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak et al. (2011) Pengambilan
contoh berlangsung di beberapa perairan di wilayah Distrik Babo (Dusun Irarutu
III, RKI-Wimro, Tanah Merah-Saengga, dan Onar), Distrik Bomberay (Dusun
Otoweri), Distrik Aranday (Dusun Weriagar-Mogotira, Mangarina dan Taroy) dan
Distrik Bintuni (Dusun Bintuni Timur). Seluruh jenis nekton jenis ikan yang
ditemukan selama dua kali pengamatan berjumlah 106 spesies yang termasuk
dalam 75 genera, 46 famili, dan 12 ordo. Hasil keseluruhan penelitian mengenai
perbandingan jumlah nekton di Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Gambar 1.
Tabel 2. Indeks pola penyebaran nekton di Teluk Bintuni

No Ordo Famili Spesies Nama dalam Bahasa KBE


. Inggris
1 Carcharhiniformes Hemigaleidae Hemigaleus Sicklefin weasel shark Ma
microstoma
2 Anguilliformes Anguillidae Anguilla marmorata Giant mottled eel Co
Chlopsidae Boehlkenchelys Long-toothed false Mo
longidentata moray
Muraenesocidae Muraenesox bagio Common pike conger ME
3 Clupeiformes Clupeidae Anodontostoma Chacunda gizzard ME
chacunda shad
Anodontostoma Indonesian gizzard ME
selangkat shad
Escualosa thoracata White sardine ME
Herklotsichthys Bluestripe herring ME
quadrimaculatus

11
Engraulidae Encrasicholina Shorthead anchovy Ma
heteroloba
Encrasicholina Devis’ anchovy Ma
devisi
Setipinna Dusky-hairfin ME
melanochir anchovy
Setipinna tenuifilis Common hairfin Ma
anchovy
Stolephorus Andhra anchovy Mo
andhraensis
Stolephorus Commerson's ME
commersonii anchovy
Stolephorus waitei Spotty-face anchovy ME
Thryssa baelama Baelama anchovy ME
Thryssa vitrirostris Orangemouth ME
anchovy
Thryssa setirostris Longjaw thryssa ME
Thryssa hamiltonii Hamilton's thryssa ME
Thryssa False baelama ME
encrasicholoides anchovy
Pristigasteridae Pellona ditchela Indian pellona ME
4 Siluriformes Ariidae Arius (Cochlefelis) Daniel's catfish ME
danielsi
Arius (Nemapteryx) Threadfin catfish ME
armiger
Arius (Cinetodus) Comb-spined catfish ME
carinatus
Arius (Neoarius) Lesser salmon catfish ME
graeffei
Plicofollis Longsnouted catfish ME
argyropleuron
Arius leptaspis Boofhead catfish ME
Plotosidae Paraplotosus Whitelipped eel ME
albilabris catfish
Plotosus lineatus Striped eel catfish ME
5 Aulopiformes Synodontidae Harpadon nehereus Bombay-duck ME
Harpadon Glassy Bombay duck ME
translucens
Saurida argentea Shortfin saury ME
Saurida tumbil Greater lizardfish ME
6 Mugiliformes Mugilidae Liza subviridis Greenback mullet Em
Valamugil engeli Kanda mullet Em
Mugil cephalus Flathead mullet ME
7 Beloniformes Belonidae Strongylura Spottail needlefish ME
strongylura
Hemirhamphida Hyporhamphus Black-tipped garfish ME
e neglectissimus

12
8 Gasterosteiformes Syngnathidae Trachyrhamphus Double-ended ME
bicoarctatus pipefish
9 Scorpaeniformes Platycephalidae Cociella punctata Spotted flathead ME
Scorpaenidae Centropogon Fortesque Es
australis
10 Perciformes Centropomidae Psammoperca Waigieu seaperch ME
vaigiensis
Ambassidae Ambassis interrupta Long-spined glass Es
perchlet
Ambassis nalua Scalloped perchlet Es
Ambassis buruensis Buru glass perchlet Es
Sillaginidae Sillago sihama Silver sillago Em
Carangidae Carangoides Malabar trevally Mo
malabaricus
Caranx para Razorbelly scad Mo
Leiognathidae Eubleekeria Splendid ponyfish ME
splendens
Secutor megalolepis Bigscaled ponyfish ME
Secutor ruconius Deep pugnose ME
ponyfish
Photopectoralis Orangefin ponyfish ME
bindus
Leiognathus equulus Common ponyfish ME
Lutjanidae Lutjanus johnii John’s snapper ME
Lutjanus fuscescens Freshwater snapper Ec
Lutjanus lemniscatus Yellowstreaked Mo
snapper
Haemulidae Pomadasys kaakan Javelin grunter Em
Pomadasys Silver grunt Em
argenteus
Sparidae Acanthopagrus Picnic seabream Em
berda
Lethrinidae Lethrinus harak Thumbprint emperor ME
Polynemidae Eleutheronema Fourfinger threadfin Em
tetradactylum
Sciaenidae Atrobucca (Nibea) Longfin kob Mo
nibe
Johnieops sina Sin croaker Es
Johnius borneensis Sharpnose hammer ME
croaker
Johnius australis Bottlenose jewfish ME
Johnius macropterus Largefin croaker ME
Johnius Bearded croaker ME
amblycephalus
Johnius belangerii Belanger's croaker ME
Nibea soldado Soldier croaker ME

13
Otolithoides Bronze croaker ME
biauritus
Otolithes ruber Tigertooth croaker ME
Mullidae Mulloidichthys Yellowstripe goatfish ME
flavolineatus
Mulloidichthys Yellowfin goatfish ME
vanicolensis
Toxotidae Toxotes jaculatrix Banded archerfish ME
Drepanidae Drepane punctata Spotted sicklefish ME
Monodactylidae Monodactylus Silver moony Es
argenteus
Terapontidae Terapon theraps Largescaled therapon ME
Terapon puta Smallscaled terapon ME
Cepolidae Acanthocepola Blackspot bandfish ME
limbata
Eleotridae Ophiocara Snakehead gudgeon Ec
porocephala
Butis amboinensis Olive flathead- Ec
gudgeon
Butis butis Duckbill sleeper Ec
Gobiidae Oxuderces dentatus crocodile-face goby Es
Periophthalmus Pearse's mudskipper Es
novemradiatus
Pseudogobiopsis sp Goby Es
Kraemeriidae Kraemeria Samoan sand dart Es
samoensis
Kurtus gulliveri
Kurtidae Scatophagus argus Nurseryfish Es
Scatophagidae Siganus Spotted scat Es
canaliculatus
Siganidae Lepturacanthus White-spotted Mo
savala spinefoot
Trichiuridae Trichiurus lepturus Savalani hairtail ME
Rastrelliger Largehead hairtail ME
brachysoma
Scombridae Scomberomorus Short mackerel Mo
commerson
Pseudorhombus Narrowbarred
Mo
arsius Spanish mackerel
11 Pleuronectiformes Paralichthyidae Aseraggodes Largetooth flounder ME
klunzingeri
Soleidae Paraplagusia Tailed sole ME
bilineata
Cynoglossidae Cynoglossus Doublelined Es
bilineatus tonguesole
Cynoglossus Fourlined tonguesole ME
puncticeps

14
Trixiphichthys Speckled tonguesole ME
weberi
12 Tetraodontiformes Triacanthidae Chelonodon patoca Blacktip tripodfish ME
Tetraodontidae Arothron reticularis Milkspotted puffer ME
Tetraodon Reticulated pufferfish ME
erythrotaenia
Tetractenos glaber Red-striped toadfish ME
Lagocephalus Smooth toadfish ME
inermis
Lagocephalus Smooth blaasop ME
lunaris
Lagocephalus Green rough-backed ME
sceleratus puffer
Silver-cheeked ME
toadfish
Sumber : Simanjuntak et al. (2011) dalam Jurnal Iktiologi Indonesia.
Keterangan:
Co : spesies air tawar kadangkala di estuari (continental species, occasional in
estuaries);
Ec : spesies estuari asal air tawar (estuarine species from continental origin);
Es : spesies estuari asli (strictly estuarine species);
Em : spesies estuari asal laut (estuarine species from marine origin);
ME : spesies laut estuari (marine-estuarine species);
Ma : spesies laut tambahan di estuari (marine species accessory in estuaries);
Mo : spesies laut kadangkala di estuari (marine species occasional in estuaries).

Gambar 1. Sebaran jumlah famili dalam setiap ordo nekton di Teluk Bintuni
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Simanjuntak et al. (2011),
famili yang memiliki jumlah spesies ikan terbanyak adalah Engraulidae (12
spesies), Sciaenidae (10 spesies), Tetraodontidae (7 spesies), dan Ariidae (6
spesies). Spesies dari kelompok Engraulidae, Sciaenidae, Tetraodontidae dan
Ariidae yang tertangkap umumnya merupakan anggota komunitas ikan estuari.

15
Spesies dari famili lainnya yang tertangkap juga merupakan kelompok ikan
estuari yang berasal dari laut dan ikan penetap di daerah estuari. Komunitas ikan
di Teluk Bintuni dimasukkan ke dalam tujuh kelompok berdasarkan kategori
bioekologi (bioecological) yakni keterpautan ikan terhadap gradien salinitas di
daerah estuari. Sebagian besar ikan yang ditemukan merupakan kelompok ikan
laut-estuari (marineestuarine spesies), kelompok ikan penghuni estuari dan ikan
laut yang memasuki estuari pada saat-saat tertentu. Komunitas ikan ini
memanfaatkan perairan Teluk Bintuni yang bervegetasi mangrove sebagai daerah
asuhan, daerah mencari makan, dan berlindung (Simanjuntak et al., 2011).
Keberagaman nekton yang ditemukan di perairan Pantai Muara Kecil
menunjukkan kondisi dan fungsi perairan hutan mangrove sebagai media bagi
biota untuk melakukan siklus hidupnya. Menurut Senoaji dan Hidayat (2016),
ekosistem mangrove berperan penting dalam pengembangan perikanan pantai
karena merupakan tempat berkembang biak, memijah, dan membesarkan anak
bagi beberapa jenis biota baik vertebrata maupun avertebrata, seperti ikan, kerang,
kepiting, dan udang. Selain itu, jenis plankton di perairan mangrove lebih banyak
dibandingkan di perairan terbuka (Qiptiyah et al., 2008).
Pentingnya ekosistem mangrove ini sebagai media siklus hidup biota akuatik
disebabkan oleh tingkat kesuburannya dalam mendukung kebutuhan hidup
organisme yang hidup di dalamnya. Kesuburan suatu perairan dapat dilihat dari
produktifitas primernya, produktivitas primer ini sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor; baik fisika, kimia, maupun biologi suatu perairan (Fitriya et al., 2011).
Perairan mangrove memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dibandingkan dengan
perairan lainnya, ini dibuktikan dengan tingginya produktivitas primer yang
terdapat pada perairan mangrove. Produktivitas perairan mangrove mempunyai
nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa perairan lain, yaitu 20 kali
lebih tinggi dari produktivitas primer laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari
nilai produktifitas perairan pantai (Muhammad et al., 2017).
Keanekaragaman nekton di Teluk Bintuni dapat dipengaruhi oleh luasan
perairan tersebut. Luas dan kedalaman perairan dapat mempengaruhi jumlah jenis
dalam suatu habitat sehingga indeks keanekaragaman tinggi. Area yang lebih luas
sering memiliki variasi habitat yang lebih besar dibandingkan dengan area yang
lebih sempit, sehingga semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak
pula jumlah ikan yang menempatinya (Nurudin et al., 2013). Pernyataan tersebut
relevan dengan area luas dan panjang Sungai Musi baik di musim kemarau
maupun hujan. Menurut Simanjuntak et al. (2011), Teluk ini dikelilingi hutan
mangrove yang tersebar di sebelah utara, timur dan selatan dengan luas 435.168
ha. Selain itu, Teluk ini termasuk perairan estuari dicirikan oleh adanya beberapa
sungai yang bermuara ke teluk.
4.3.4. Neuston
Neuston merupakan organisme akuatik yang hidup, berenang, dan istirahat di
bawah atau di atas lapisan tipis permukaan air (Sharma dan Sharma, 2010).

16
Organisme ini sangat beragam jenisnya serta melimpah jumlahnya pada berbagai
lingkungan perairan (Bouchard, 2004). Tidak diketahui secara pasti perkiraan
kuantitas neuston di Teluk Bintuni. Meskipun demikian diketahui bahwa sebagian
besar wilayah Teluk Bintuni adalah daerah hutan rawa yang merupakan habitat
neuston. Menurut Wibowo et al. (2020), sebesar 76,56 %. Wilayah Teluk Bintuni
lebih didominasi oleh ekosistem rawa dan mangrove (Gambar 2). Berdasarkan
hasil penelitian Kumolontang et al. (2017), perakaran dan pembusukan tanaman
rawa merupakan tempat berkembang biak beberapa neuston berjenis serangga air.
Salah satu satwa endemik pemakan neuston serangga air di Teluk Bintuni
adalah jenis burung Egretta garzetta. Jenis burung ini memakan serangga yang
hidup di permukaan air. Egretta garzetta merupakan spesies yang memiliki
ketergantungan pada habitat berair. Pakan burung ini ialah berbagai jenis ikan,
katak, crustacea (udang-udangan), serangga air, dan juga belalang (MacKinnon et
al., 2010 dalam Budiman dan Christian, 2018). Di samping itu, terdapat pula jenis
ikan pemakan serangga air di Teluk Bintuni, yakni Toxotes jaculatrix yang hidup
di perairan mangrove dan memanfaatkan alga, detritus, dan serangga air sebagai
makanannya (Simanjuntak et al., 2011). Dengan demikian, keberagaman neuston
di Teluk Bintuni terbukti berdasarkan predator alaminya yang masih bertahan dan
habitatnya yang mendukung.

Gambar 2. Mangrove di Teluk Bintuni


Komunitas biologi suatu perairan seperti neuston dapat menggambarkan
kondisi lingkungan dalam satu periode karena organisme tersebut terpapar secara
terus menerus oleh polusi yang terdapat di perairan tersebut, sehingga dapat
menjadi indikator yang baik untuk mengukur kualitas air (Goncalves dan
Menezes, 2011). Perairan terbuka seperti danau, estuaria, dan sungai besar
mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia seperti menyuplai
kebutuhan air, mulai dari untuk keperluan minum, rumah tangga, pertanian,
hingga pengembangan industri (Chrismadha et al., 2011). Oleh karena itu, perlu
dilakukan studi mengenai neuston di wilayah perairan terutama Teluk Bintuni
yang memiliki wilayah mangrove dan perairan terbuka yang luas dan berperan
sebagai feeding, spawning dan nursery ground bagi berbagai jenis organisme
akuatik (Kusmana, 2009).

17
4.4. Pengukuran Mangrove
Mangrove yang tumbuh di tiga distrik Teluk Bintuni merupakan hutan
mangrove yang masih terbentuk secara alami (Sunarni et al., 2019). Vegetasi
mangrove yang ditemukan pada saat sampling terbagi dalam tiga kriteria yaitu
pohon, anakan dan semai berdasarkan ukuran diameter batangnya. Menurut
Bengen (2004), yang termasuk dalam kriteria pohon memiliki diameter > 4 cm,
anakan memiliki diameter < 4 cm tinggi 1 m dan semai memiliki tinggi < 1 m. Di
Teluk Bintuni diperoleh 7 spesies mangrove, yaitu: Avicennia alba, A.
eucalyptifolia, Aegialitis annulata, Aegiceras floridum, Bruguiera cylindrica,
Acanthus ilicifolius dan Sonneratia alba di mana pada bagian depan didominasi
oleh jenis Avicennia sp.
Adapun nilai kerapatan jenis tertinggi dari genus Avicennia, yakni sebesar
0,128 ind/m² pada zona I, sedangkan pada zona II sebesar 0,11 ind/m². Jenis
mangrove yang memiliki kerapatan jenis terendah pada zona I diperoleh dari
genus Acanthus sebesar 0,03 ind/m², begitu pula pada zona II kerapatan yang
paling rendah diperoleh dari Acanthus sebesar 0,018 ind/m² (Sunarni et al., 2019).
Nilai frekuensi jenis dan frekuensi relatif mangrove tertinggi diperoleh dari
genus Avicennia. Nilai frekuensi jenis genus Avicennia sebesar 0,87 pada Zona I
dengan frekuensi relatif 42,62%. Pada Zona II sebesar 1 dengan frekuensi relatif
jenis dari genus ini sebesar 40,54% (Sunarni et al., 2019. Tingginya frekuensi
genus Avicennia pada kedua stasiun ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
merupakan lokasi yang berhadapan langsung dengan laut terbuka.
Nilai dominansi genus menunjukkan vegetasi mangrove pada Teluk Bintuni
didominansi oleh genus Avicennia dengan nilai masing-masing stasiun 0,602 dan
0,468 berturut-turut (Sunarni et al., 2019. ini berdasarkan kriteria Samsumarlin et
al., (2015) yang menunjukkan adanya dominansi dari genus tersebut. Berdasarkan
kriteria tersebut, nilai indeks dominansi mendekati 1 yang menunjukkan kondisi
komunitas vegetasi mangrove pada kedua stasiun masuk dalam kondisi labil.

BAB 5
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari karakteristik ekosistem di wilayah perairan
mangrove Teluk Bintuni, yaitu didapatkan bahwa nilai parameter fisika dan
parameter kimia perairan Teluk Bintuni relatif normal dan masih dapat digunakan
untuk aktivitas manusia. Meskipun demikian, kelestarian Teluk Bintuni terancam
akibat pembangunan dan manajemen limbah yang kurang menjadi perhatian.
Sedangkan pada parameter biologi terdapat keragaman plankton, benthos, nekton
dan neuston. Hal ini menunjukkan bahwa Teluk Bintuni masih dapat menunjang
siklus kehidupan biota yang hidup di dalamnya.
5.2. Saran

18
Praktikum ini harus dilakukan secara hati – hati dan teliti dengan
menggunkan standar operasional prosedur agar tidak terjadi kecelakaan kerja.
Pengambilan sampel dan penelitiannya juga dilakukan secara teliti, cermat, dan
mengutamakan keselamatan diri

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, I., Sugiyanta, G. I. dan Miswar, D. 2012. Kualitas Air Sungai Musi
Di Kelurahan 1 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang tahun
2012. Universitas Lampung.
Anggara, A. 2016. Studi biodiversitas dan distribusi nekton berdasarkan kondisi
fisik dan kimia kawasan daerah aliran Sungai Ogan serta pengajarannya di
SMAN 1 Rambutan. Dalam Prosiding Interdiciplinary Postgraduate Student
Conference 2nd Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (pp. 43-51).
Aryawati, R., Ulqodry, T. Z., dan Surbakti, H. 2021. Fitoplankton sebagai
bioindikator pencemaran organik di perairan Sungai Musi bagian hilir
Sumatra Selatan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 13(1): 163-171.
Bouchard RW. 2004. Guide to Aquatic Macroinvertebrates of the Upper Midwest.
Minnesota (US): Water Resources Center, University of Minnesota.
Chrismada, T., Haryani, G.S., Fakhrudin, M. dan Hehanussa, P.E. 2011. Aplikasi
ekohidrologi dalam pengelolaan situ. Simposium Nasional Ekohidrologi;
2011 Mar 24; Jakarta, Indonesia. Jakarta: LIPI.
Constanza, R., et al. 1997. The value of the world’s ecosystem services and
natural capital. Nature. 387: 253-260.
Dwirastina, M. 2016. Teknik pengambilan makrozoobentos di daerah Pulau
Payung, Sungai Musi, Sumatera Selatan. Buletin Teknik Litkayasa Sumber
Daya dan Penangkapan. 7(2): 39-41.
Goncalves, F.B. dan Menezes, M.S. 2011. A comparative analysis of biotic
indices that use macroinvertebrates to assess water quality in a coastal river of
Parana state, southern Brazil. Biota Neotrop. 11(4): 27-36.
Kumolontang, G., Tulung, M., dan Salaki, C. L. 2017. Jenis-jenis serangga yang
berasosiasi pada eceng gondok di Danau Tondano. Agri-Sosioekonomi.
13(3A): 133-142.
Nurudin, F.A. 2013. Keanekaragaman Jenis Ikan di Sungai Sekonyer Taman
Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah (Doctoral dissertation,
Universitas Negeri Semarang).
Sharma, S. dan Sharma, P. 2010. Biomentoring of aquatic ecosystem with concept
and procedures particular reference to aquatic macro invertebrates. J of Am
Sci. 6(12): 1246-1255.
Sugeng, S. 2010. Dampak pelayaran kapal laut di alur Sungai Musi. Gema
Teknologi. 16(1): 49-56.

19
Utomo, A.D. dan Asyari. 1999. Peranan ekosistem hutan rawa air tawar bagi
kelestarian sumber daya perikanan di Sungai Kapuas, Kalimantan Barat.
Jurnal Panelitian Perikanan lndonesia. 5(3): 1-13.
Wibowo, A. dan Sunarno, M.T.D. 2017. Karakteristik habitat ikan belida
(Notoptera chitala). BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap. 1(1): 19-24. 
Zulkifli, H. dan Setiawan, D. 2011. Struktur komunitas makrozoobentos di
perairan sungai musi kawasan Pulokerto sebagai instrumen biomonitoring. Jurnal
Natur Indonesia Wacana Sains Indonesia. 14(1): 95-99.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Denah Lokasi Pengamatan

Gambar 3. Titik pengambilan sampel di Teluk Bintuni

Lampiran 2. Keterangan Pengerjaan Laporan

20
21

Anda mungkin juga menyukai