Anda di halaman 1dari 113

INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

UNTUK WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM)


DI PULAU KERA, PULAU LUTUNG DAN PULAU BURUNG
DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
UNTUK WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM)
DI PULAU KERA, PULAU LUTUNG DAN PULAU BURUNG
DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG

ALDINO AKBAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK

ALDINO AKBAR. Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk


Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan
Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh
Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda.

Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa
Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi
ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas.
Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu
penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut.
Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan
untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk
menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk
selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode
visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode
sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan
kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang
dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks
kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996).
Tipe terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan P.
Burung merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi ekosistem
terumbu karang di ketiga pulau tersebut termasuk kategori sedang. Rata - rata
penutupan karang hidup dari yang tertinggi sampai terendah terdapat di Pulau
Burung, P. Lutung dan P. Kera. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P.
Lutung cukup beragam, namun di P. Burung ditemukan paling beragam. Daerah
tujuan utama untuk dikunjungi dan dikembangkan menjadi objek wisata bahari
terdapat di Utara Pulau Kera, Barat dan Selatan Pulau Lutung dan Barat dan
Selatan Pulau Burung. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari untuk P. Kera, P.
Lutung dan P. Burung secara berurutan adalah 660, 660 dan 692 yang berarti
ketiga pulau tersebut cukup sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari.
Namun, dari 12 stasiun yang diamati hanya terdapat 2 titik yang bisa dilakukan
kegiatan selam yaitu di Barat P. Lutung dan Barat P. Burung dan lainnya hanya
bisa dilakukan kegiatan snorkeling karena dibatasi oleh kedalaman perairan.
Judul Skripsi : Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang
Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di
Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di
Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.

Nama Mahasiswa : Aldino Akbar


NIM : C24102061

Diketahui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Unggul Aktani Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc


NIP. 131956707 NIP. 131788596

Mengetahui :
Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi


NIP. 130 805 031

Tanggal Lulus : 12 Desember 2006


PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK


WISATA BAHARI (SNORKELING DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU
LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN
BELITUNG

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, Desember 2006

ALDINO AKBAR
C24102061
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua karunia
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata
Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau
Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
hingga penyelesaian skripsi.
2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran
serta arahannya dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1
dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi.
4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat
dan bimbingannya.
5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini.
6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal
Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat
penelitian.
7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk
penyelesaian penulisan skripsi.
8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan.
9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis, dan
10. Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
Bogor, Januari 2007

Aldino Akbar
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xii

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
1.4. Manfaat ........................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Ekosistem Terumbu Karang.......................................................... 4
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi
Kehidupan Karang ........................................................................ 5
2.3. Komunitas Ikan Karang ................................................................ 10
2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang........................................ 13
2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ................ 13
2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ........ 14
2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata .......................................... 14
2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata................................... 15
2.5. Pariwisata Bahari ......................................................................... 17
2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme............................................................. 19
2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata......... 21

III. METODE PENELITIAN


3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 23
3.2. Metode Pengambilan Sampel........................................................ 23
3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan............................................. 23
3.2.2. Pengambilan Data Karang .................................................... 23
3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ............................................ 26
3.2.4. Data Pendukung .................................................................... 28
3.3. Analisa Data .................................................................................. 29
3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ...... 29
3.3.2. Komunitas Ikan Karang ........................................................ 30
3.3.3. Analisis Data Kualitas Air .................................................... 31
3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ...................... 31

IV. PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................. 33

vii
4.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah ..................... 33
4.1.2. Topografi.............................................................................. 34
4.1.3. Kondisi Iklim dan Curah Hujan ........................................... 34
4.1.4. Sungai................................................................................... 35
4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ............................................... 35
4.1.5.1. Penduduk..................................................................... 35
4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan................................... 37
4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi........................... 38
4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ........................................... 39
4.2.1. Persen Penutupan dan IMK.................................................. 39
4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera............................ 39
4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ........................ 43
4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung........................ 45
4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang .............................. 49
4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang
di P. Kera..................................................................... 49
4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang
di P. Lutung................................................................. 49
4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang
di P. Burung ................................................................ 50
4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang........................................... 51
4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera.................. 51
4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung.............. 52
4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ............. 53
4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan........................................... 54
4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera...................... 54
4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung.................. 55
4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ................. 55
4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ..... 56
4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari .............. 56
4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari........... 58
4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari .......... 59
4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari .............................................. 60
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera .................... 60
4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ................ 61
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ................ 61
4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 63
4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga........................... 63
4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait
dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 64
4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Belitung ....................................................................... 64
4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ................................. 64
4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten
Belitung ....................................................................... 64
4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ......................................................... 65
4.6.2.5. Pemerintahan Desa Tanjung Binga............................. 65

viii
4.7. Manajemen Pengelolaan Pulau .................................................... 66
4.7.1. Pengelolaan P. Kera ............................................................. 66
4.7.2. Pengelolaan P. Lutung ......................................................... 68
4.7.3. Pengelolaan P. Burung ......................................................... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan ................................................................................... 72
5.2. Saran.............................................................................................. 72

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 73


LAMPIRAN............................................................................................... 77
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... 99

ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya
(English et al 1994)...................................................................... 25
Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang........ 27
Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur...................................... 29
Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang
berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)......... 29
Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling
dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996)......................... 32
Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan
Maret 2006 ................................................................................... 36
Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja ....................................... 36
Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan..................................................... 38
Tabel 9. Sarana perhubungan.................................................................... 38
Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks
Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ........................................... 40

Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks


Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung ....................................... 43

Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks


Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung....................................... 46

Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan


Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies
ikan karang yang teramati di P. Kera ......................................... . 51
Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan
Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies
ikan karang yang teramati di P. Lutung ..................................... 52
Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan
Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies
ikan karang yang teramati di P. Burung..................................... 53
Tabel 16. Nilai kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung
untuk wisata bahari……………………………………...…….… 56

x
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Sumber : BAPPEDA Kab.


Belitung 2005)........................................................................... 24

Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode


pencacahan langsung (Sumber : English et al 1994) ................ 27

Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga (Sumber:


Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah).......................... 35

Gambar 4. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Kera ................... 41

Gambar 5. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P.Lutung ................ 44

Gambar 6. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Burung ............... 47

Gambar 7. Peta titik-titik aktivitas wisata bahari di P. Kera,


P. Lutung dan P. Burung ......................................................... 62

xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan
(Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005)............................ 77

Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar ..................................... 78

Lampiran 3. Kuisioner Untuk Instansi Pemerintahan Terkait .................... 79

Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup


No. 51 Tahun 2004.................................................................. 80
Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari.......................... 80
Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut ............................... 81

Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang................................ 84


Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Kera............................................................................. 84
Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Lutung......................................................................... 84
Lampiran 5.1 Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Burung ........................................................................ 85

Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang................................ 86


Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Kera.............................................................................. 86
Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Lutung.......................................................................... 87
Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Burung ......................................................................... 88

Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan ..................................... 91


Lampiran 7.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Kera.................................................................................. 91
Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Lutung .............................................................................. 91
Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Burung ............................................................................. 92

Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari......................................... 93


Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Kera......................... 93
Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Kera Secara Umum ....................................................... 93
Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
Kera ................................................................................... 93
Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
P. Kera............................................................................... 93

xii
Lampiran 8.1.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara
P. Kera............................................................................... 93
Lampiran 8.1.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan
P. Kera............................................................................... 94
Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Lutung ..................... 94
Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Lutung Secara Umum ................................................... 94
Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
P. Lutung ........................................................................... 94
Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
P. Lutung ........................................................................... 94
Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara
P. Lutung ........................................................................... 95
Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan
P. Lutung ........................................................................... 95
Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Burung..................... 95
Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Burung Secara Umum................................................... 95
Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
P. Burung .......................................................................... 95
Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
P. Burung .......................................................................... 96
Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara
P. Burung .......................................................................... 96
Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan
P. Burung .......................................................................... 96

Lampiran 9. Foto Pulau-pulau..................................................................... 97


Lampiran 9.1. Foto P. Kera......................................................................... 97
Lampiran 9.2. Foto P. Lutung ..................................................................... 97
Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung......................................... 98

xiii
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pulau Belitung merupakan bagian dari wilayah Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang memiliki luas
wilayah daratan 4.800 km2, luas laut 29.606 km2, luas wilayah pesisir 1.900 km2,
panjang garis pantai 195 km dan jumlah pulau kecil sebanyak 189 buah
(BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
Setelah mengalami pemekaran, Pulau Belitung dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu
Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung secara
administratif memiliki luas wilayah 2.293,69 km2 yang terdiri dari 98 buah pulau
dan terbagi menjadi 5 kecamatan yang memiliki wilayah daratan utama dan pulau-
pulau kecil di wilayah lautnya.
Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang secara geografis
dikelilingi oleh laut dan selat dengan kondisi daerah pesisir berupa hamparan pasir
putih, bebatuan granit dengan mozaik nan indah dan deburan air laut yang jernih
dengan terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Maka dari itu, objek wisata yang
telah ada dan dikembangkan lebih mengarah ke objek wisata pantai seperti pantai
Tanjung Tinggi, pantai Tanjung Kelayang, Tanjung Pendam dan sebagainya.
Batuan granit dapat ditemukan di perairan dangkal dan di pematang pantai yang
tersusun secara alami. Pematang pantai lama dan sekarang dengan lebar 100 – 300
meter dapat dimanfaatkan untuk pembangunan hotel dan pondok peristirahatan
serta restoran. Di perairan laut Kabupaten Belitung ditemukan 76 jenis ikan hias
yang mewakili 18 suku. Bagi turis yang menyenangi olahraga selam, disarankan
untuk melihat taman laut di Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang dan Pulau
Kembung. Kedua hal diatas merupakan potensi yang sangat menarik bagi turis
yang senang menikmati pemandangan bawah laut (PPRTKIM 1995).
Kecamatan Sijuk merupakan salah satu bagian yang termasuk ke dalam
wilayah administratif Kabupaten Belitung yang memiliki 23 pulau yang
dipisahkan oleh wilayah lautnya dari daratan utama. Kondisi pesisir Kecamatan
Sijuk berupa hamparan pasir putih di sepanjang pantai diselingi bebatuan granit
yang tersusun indah dan pemandangan matahari terbenam (sunset) di sore hari.
2

Pantai-pantai di Kecamatan Sijuk sudah sejak lama menjadi daerah tujuan wisata
bagi wisatawan domestik yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Belitung.
Jarak antara pulau-pulau yang terdapat di perairan Kecamatan Sijuk tersebut
tidaklah berjauhan dari tempat wisata lainnya yang sudah umum seperti Tanjung
Kelayang, Tanjung Tinggi dan Bukit Berahu, tetapi pulau-pulau tersebut dan
perairannya belum dikembangkan menjadi objek wisata secara serius. Sampai saat
ini objek wisata yang dikembangkan di Kecamatan Sijuk hanya sebatas wisata
pantai saja dan belum ada pihak baik swasta maupun pemerintah yang tertarik
untuk mengembangkan objek wisata bahari. Belum dikembangkannya objek
wisata bahari di Kecamatan Sijuk antara lain disebabkan belum tersedianya data
mengenai potensi terumbu karang dan ikan karang serta kondisi perairan di suatu
wilayah yang spesifik untuk menjadi dasar penentuan bentuk wisata bahari yang
akan dikembangkan. Peta master plan tentang etalase perikanan dan kelautan
dalam BAPPEDA Kabupaten Belitung (2005) (Lampiran 1) memuat bahwa
terdapat potensi terumbu karang di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung
yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk tersebut. Namun, belum
diketahui jelas potensi terumbu karang yang dimaksud.
Pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau
tersebut saat ini hanya sebatas tempat untuk mencari ikan bagi nelayan setempat.
Potensi tersebut mungkin bisa lebih dimanfatkan semisal menjadi objek wisata
bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Sehingga dirasakan perlu
adanya suatu penelitian untuk mengungkap potensi bahari di P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung tersebut khususnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang,
sehingga bisa diketahui kondisi ekosistem terumbu karang berupa persen
penutupan karang hidup, jenis karang, jenis dan kelimpahan ikan karang yang
terdapat di ketiga pulau tersebut untuk kemudian dianalisis keseuaiannya untuk
dijadikan suatu objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan
selam. Dengan adanya data tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang
terdapat di ketiga pulau tersebut, maka diharapkan akan dapat memberikan
informasi dan masukan sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan
pengembangan dan pengelolaan kawasan tersebut.
3

1.2. Rumusan Masalah


Ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan di P. Kera, P. Lutung dan
P. Burung, yaitu :
1. Belum diketahui potensi dan kondisi ekosistem terumbu karang yang berupa
persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya,
serta jenis ikan karang dan kelimpahannya yang terdapat di P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung.
2. Belum diketahui seberapa besar kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung
untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam).

1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui potensi di ekosistem terumbu karang yang berupa persen
penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis
dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan
P. Burung.
2. Menganalisis kesesuaian potensi ekosistem terumbu karang P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung untuk pemanfaatan wisata bahari khususnya untuk snorkeling
dan selam.

1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini yaitu dapat diketahui persen penutupan terumbu karang,
jenis terumbu karang dan bentuk pertumbuhannya serta jenis dan kelimpahan ikan
karang yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan Sijuk
sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk pembuatan
perencanaan pengembangan wilayah tersebut khususnya untuk pengembangan
wisata bahari untuk snorkeling dan selam.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

Inventarisasi menurut P3B Depdikbud (1989) yaitu pencatatan atau


pendaftaran barang-barang milik atau pengumpulan data. Potensi yaitu kekuatan,
kemampuan, kesanggupan, kekuasaan, kemampuan yang mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual.
Menurut Nybakken (1988), terumbu karang adalah endapan - endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan
kalsium karbonat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inventarisasi potensi
ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari yaitu mencatat atau
mengumpulkan data berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jumlah
bentuk pertumbuhan, jenis dan kelimpahan ikan karang serta kondisi perairan
yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang yang bisa menjadi dasar untuk
mengetahui seberapa besar kesesuaian dan kemungkinan suatu wilayah untuk
dikembangkan menjadi objek wisata bahari.

2.1. Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di dunia.
Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan
sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem
terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang
memegang fungsi penting di negara - negara berkembang, khususnya di negara-
negara kepulauan berkembang (Westamacott et al. 2000). Tomascik et al. (1997)
menyatakan bahwa salah satu fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai
penyedia kesempatan atau peluang untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu
karang yang berkelanjutan yaitu sebagai wisata bahari yaitu wisata yang
berorientasi cahaya matahari, laut dan pasir, snorkeling dan selam SCUBA
merupakan daya tarik utama di banyak pulau di daerah tropis. Ironisnya,
ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun sangat penting untuk makanan
dan penerimaan devisa dari pariwisata dan perikanan lepas pantai yang berasosiasi
dengan karang, tidak dikelola dengan baik, sehingga hasilnya adalah terjadi
5

degradasi secara cepat. Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa daya tarik wilayah
pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti
misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan
sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan,
burung dan hewan-hewan lain. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa andalan
utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah
aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat
dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang
sangat tinggi.

2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang


Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir,
seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk
dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata
bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek
wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono
2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh
kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia
yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu :
¾ Cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang.
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang, dan bersamaan
dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan
berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada
kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat
tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu
kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 - 20 % dari
intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron 1995). Keadaan awan di suatu
tempat mempengaruhi pencahayaan pada waktu siang hari, kondisi ini
6

mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan Goreau 1959 dalam


Supriharyono 2000).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam,
sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam
(Supriharyono 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman
dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan
perairan, temperatur, pertumbuhan musiman dari makroalga, cahaya spesifik yang
dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap cahaya.
Karang umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30 m dan
kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang cocok
(Veron 1995). Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000), secara
umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m.
¾ Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22 - 29 oC. Batas maksimum dan
minimum suhu berkisar antara 16 - 17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman 1964 dalam
Supriharyono 2000). Veron 1995 menyatakan bahwa temperatur minimal untuk
karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode waktu yang berlarut - larut
telah diketahui sebagai temperatur minimum permukaan laut dimana fungsional
karang-karang secara normal terekspos. Sangat sedikit karang berZooxanthellae
yang diketahui dapat mentoleransi suhu di bawah 11 oC. Jokiel dan Coles (1977),
Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam Veron (1995) menyatakan
bahwa nilai pembatas dari temperatur tinggi dari pentingnya ekologi adalah
mencapai maksimal 30 - 34 oC. Nilai maksimun ini bervariasi secara geografi dan
waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC lebih tinggi di daerah-daerah
tropis dari pada di daerah temperate (Coles et al. 1976, Coles dan Jokiel 1977
dalam Veron 1995). Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang
karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang
bukan suhu yang ekstrem, yaitu suhu maksimum atau minimum saja, namun lebih
7

karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient
level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam
Supriharyono (2000), perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 – 6 oC di bawah
atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikan.
Suhu di perairan Kabupaten Belitung, pada bulan oktober 2005 secara
keseluruhan berkisar antara 28,93 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,12 oC. Nilai
suhu pada lapisan permukaan (0 m), 5 m, dan 10 m masing-masing berkisar antara
28,97 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,15 ºC; 28,97 - 29,25 ºC dengan rata-rata
29,13 ºC dan 28,93 - 29,18 ºC dengan rata-rata 29,06 ºC. Nilai rata-rata suhu di
perairan Kabupaten Belitung yaitu 29,12 ºC (BAPPEDA Provinsi Bangka-
Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
¾ Salinitas
Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ‰ (Kinsman
1964 dalam Supriharyono 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan
binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat
dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran
salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 ‰ (Vaughan 1919, Wells 1932 dalam
Supriharyono 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas
maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai
Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nol permil (0 ‰) untuk beberapa jam
pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono
2000).
Salinitas di perairan Belitung Barat pada Oktober 2005 berkisar antara 32,62
– 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,04 ‰. Nilai salinitas yang terendah (32,62 ‰)
diperoleh di Stasiun 1 pada lapisan permukaan (0 m) dan tertinggi (33,32 ‰) di
Stasiun 4 pada kedalaman 10 m. Nilai salinitas di perairan Belitung Barat pada
lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 32,62 –
33,26 ‰ dengan rata-rata 33,01 ‰; 32,62 – 33,29 ‰ dengan rata-rata 33,02 ‰
dan 33,00 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,11 ‰. Nilai rata-rata salinitas yaitu
33,04 ‰ lebih tinggi bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan
Juni 2005 (31,37 ‰) (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI
8

Tanjungpandan 2005). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mengatakan


bahwa daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai
contoh, Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 ‰ hanya bertahan beberpa jam
di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan sampai salinitas 48 ‰.
¾ Sedimentasi
Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978)
dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung
mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup
besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari
sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk
fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang
karang untuk untuk menghalau sediment tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam
Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki
keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah. Loya
(1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto Rico yang
sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0 mg/cm2/hari,
keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah dibandingkan dengan
di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimentasi
dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas
manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak,
pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat membebaskan sediment ke
perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju sedimentasi biasanya
bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas
aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan
sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung
rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sediment, seperti
pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya. Namun apabila perairan karang
tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di
atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama di musim penghujan.
Pomeroy et al. (1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di
daerah tropis ada kecenderungan bahwa sediment mengadopsi unsur-unsur hara
9

tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur,
dan kondisi ini sering menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa
adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang
Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca
dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang
di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat
pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulata
seperti yang terjadi di Pantai Bandengan Jepara. Makro alga tersebut mulai
tumbuh pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima
sediment yang cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini
umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti
Acropora sp dan Montipora digitata.
Kadar zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat) di perairan
Belitung secara umum relatif tinggi, hal ini sangat dipengaruhi sumbangan limbah
organik dari daratan serta proses pasang surut dengan terjadinya pengadukan masa
air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke
permukaan. Bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu
indikator kesuburan, maka perairan kabupaten Belitung masih baik untuk
budidaya perikanan (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI
Tanjungpandan 2005).
¾ pH
Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas
fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme
akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi
oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA
Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut
relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4. Perairan yang produktif
dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5 –
8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 – 8,5 (KLH 2004). Secara
keseluruhan nilai pH di perairan Belitung, Oktober 2005 berkisar antara 8,02 –
8,24 dengan rata-rata 8,11. Nilai pH di perairan Belitung pada lapisan permukaan
10

(0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 8,02 – 8,17 dengan rata-rata


8,08; 8,04 – 8,21 dengan rata-rata 8,11 dan 8,08 – 8,24 dengan rata-rata 8,15.
Nilai rata-rata pH tersebut (8,11 ‰) lebih rendah bila dibandingkan dengan di
perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (8,17) (BAPPEDA Propinsi Bangka-
Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
¾ Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan
penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana
konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal
dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut
lepas bisa mencapai 7 ml/l sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan
semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh
temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah.
Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh terjadinya
perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang kaya akan
karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut
di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut KLH no. 51 tahun
2004 adalah sebesar >5 mg/l. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di
perairan Belitung, bulan Oktober 2005 berkisar antara 3,91 – 4,65 ml/l dengan
rata-rata 4,18 ml/l. Kadar oksigen terlarut di perairan Belitung pada lapisan
permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 4,01 – 4,65 ml/l
dengan rata-rata 4,33 ml/l; 4,06 – 4,48 ml/l dengan rata-rata 4,19 ml/l dan 3,91 –
4,19 ml/l dengan rata-rata 4,02 ml/l (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan
P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).

2.3. Komunitas Ikan Karang


Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan
sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan
celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk
bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari
ikan-ikan. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan
semakin kompleksnya habitat (Lowe-McConnel 1987). Warna ikan adalah yang
11

dilihat pertama dan yang paling diingat oleh penyelam-penyelam baru. Jika ikan-
ikan karang tidak memiliki tanda corak dan pola yang sangat luar biasa cemerlang
dan variasinya, hal tersebut tidak mungkin terjadi bahwa perjalanan pertama
dengan masker dan snorkel di atas karang akan menjadi pengalaman yang tak
terlupakan, satu ingatan yang menarik kita lagi dan lagi ke perairan tropis.
menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat dengan tiba-
tiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang sangat menarik
(Wilson dan James 1985). Supriharyono (2000) menambahkan bahwa ikan-ikan
karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, selain itu bentuknya sering
unik, memberikan kesan tersendiri kepada wisatawan.
Komunitas ikan di P. Burung dan P. Kelayang dalam kondisi baik, terlihat
dati tingginya nilai E (indeks keseragaman) dan rendahnya C (indeks dominansi).
Ditemukan 11 genus ikan di pulau Kelayang, nilai H’ (indeks keanekaragaman)
untuk masing-masing pulau tergolong sedang. Diperkirakan bahwa lebih
banyaknya genus ikan yang ditemukan di Pulau Kelayang disebabkan oleh
kondisi habitat dasar atau penutupan karang yang lebih luas, karena meliputi 2
strata kedalaman (3 dan 6 m). Genus ikan yang paling umum dijumpai di setiap
perairan Kecamatan Sijuk adalah Amblyglyphidodon, Amphiprion dan
Pomacentrus. Ketiga genus tersebut merupakan kelompok ikan mayor utama yang
berasal dari satu famili yaitu Pomacentridae (betok laut). Hanya tiga genus ikan
yang termasuk kelompok target, satu genus (Chaetodon) termasuk kelompok ikan
indikator dan sisanya adalah ikan mayor utama (Tim Expedisi Zooxanthellae VII
FDC-IPB 2002).
Nybakken (1988) menyatakan bahwa ikan karang merupakan organisme
yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang. Keberadaan mereka telah
menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang paling banyak
dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang
disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan makanan. Ikan-ikan karang ini
memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang untuk mempertahankan diri.
Keberadaan ikan karang di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu
yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Hal ini dimungkinkan
karena ikan karang hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu sebagai
12

tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makan. Ikan karang secara
relatif menetap hampir di seluruh hidup mereka. Sale (1978b) dalam Sale (1991)
menyatakan bahwa ikan karang kecil (panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda
dalam tingkat pergerakan, merupakan hal yang benar bahwa ikan-ikan karang
lebih menetap dibandingkan dengan vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang
mendukung hal tersebut adalah ikan karang hidup di lingkungan yang sangat
berstruktur yang dibuat oleh arsitektur yang kompleks dari karang-karang, dan
lingkungan yang berbeda-beda dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang
lain dalam skala meter.
Sale (1991) menyatakan bahwa Struktur karang yang kompleks
menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi banyak
ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak spesies
ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang, tumpukan
patahan karang dan turf alga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan
karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies
ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk
interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara
struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil.
Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan
biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan
pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan
karang.
Goldman dan Talbot (1976) dalam Wilson dan James (1985) menyatakan
bahwa secara keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier
Reef) biomasa ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor
tersebut juga biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3.
biomasa di bagian leeward slope terdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam
jumlah yang sama, di laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata
dasar dan grazer, dan di windward slope dan transisi ke dasar yang tidak
berkarang biomasa yang utama adalah piscivores. Picivores ini akan tetapi,
termasuk banyak spesies karnivor yang beristirahat di sana siang hari tetapi pergi
13

mencari makan pada malam hari, sehingga tidak ada contoh yang akurat dari
jumlah ikan yang tersedia disokong oleh zona-zona tersebut.

2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang


2.4.1. Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam
Diantara pergantian abad dan tahun 1962, 200 angin topan dan lebih dari
200 bencana besar badai tropis melanda Carribean, atau sekitar enam setengah
badai setahun. Kenyataannya, habitat yang lebih dangkal yang paling terkena
dampak, kemiringan yang dalam, terutama sekali sekitar dibawah 16 kaki adalah
lingkungan yang paling stabil. Meskipun tidak ada badai yang memukul setiap
karang, aksi gelombang yang keras merobohkan karang dan melukai ikan-ikan.
Mungkin dampak merusak yang lebih serius daripada kerasnya badai secara
langsung adalah perubahan yang lama dari suhu perairan dan tingkat salinitas.
Suhu perairan di beberapa wilayah karang di Pasifik meningkat menjadi setinggi
31 oC, diatas tingkat toleransi karang, menjadikan penurunan yang cepat dari
beberapa karang selama musim panas tahun 1983 (Wilson dan James 1985).
Peledakan populasi dari bintang laut mahkota duri pemakan karang yang tidak
dapat dijelaskan, setiapnya mampu melahap sekitar 2 kaki2 karang per hari
berbaris sepanjang hamparan karang, memperingatkan peneliti laut di mana-mana.
Tidak seperti badai, yang hanya merusak daerah yang lebih dangkal, bintang laut
mahkota duri bisa mencapai area yang dalam dan merusak pada banyak
kedalaman. Para peneliti tidak yakin mengapa penjangkitan bermula atau
mengapa itu berakhir, tetapi banyak yang berpikir bahwa itu bukan merupakan
penyakit yang parah yang paling ditakuti (Wilson dan James 1985). Memperparah
dampak badai, karang di beberapa tempat kadang-kadang rusak karena surut yang
tidak biasa yang mengekspos karang ke udara dan mengeringkan mereka. Di
Teluk Elat, Laut Merah, surut yang tidak diharapkan pada tahun 1970 membunuh
sekitar 80 sampai 90 persen terumbu karang di daerah yang datar.
14

2.4.2. Kerusakan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia


2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata
Ancaman terhadap terumbu karang dari wisata bahari tidak hanya
berhubungan dengan campur tangan manusia dengan biota yang sensitif, tetapi
termasuk aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konstruksi-konstruksi dan
pembangunan di daratan. Wisata telah melibatkan degradasi dari banyak daerah
terumbu karang, terutama di Asia Tenggara. Pengembangan pariwisata pada coral
cays dan dampaknya terhadap terumbu karang sekitar menjadi masalah yang
serius. Hal tersebut perlu diketahui bahwa coral cays yang terbuat dari bahan-
bahan yang berasal dari karang itu sendiri adalah fitur morfologi yang sangat
dinamis yang berubah setiap pasang surut. Untuk mencegah proses erosi,
pengembang membuat pelindung garis pantai dengan cara menghancurkan
memindahkan terumbu karang yang mengelilingi pulau. Kegiatan ini tidak hanya
menghancurkan terumbu karang itu sendiri, yang merupakan daya tarik
wisatawan, tetapi juga mempercepat proses erosi pantai (Tomascik et al. 1997).
Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata terhadap
ekosistem terumbu karang menurut (Tomascik et al. 1997) yaitu :
• Kerusakan fisik secara langsung terhadap terumbu karang dan perbatasan garis
pantai karena kegiatan konstruksi dan pengumpulan karang untuk konstruksi
tersebut.
• Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan di daratan.
• Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan-kegiatan di laut.
• Peningkatan pemasukkan aliran permukaan air tawar, nutrien-nutrien dan
polutan-polutan yang lain dari pembersihan daratan, lapangan parkir, lapangan
golf, jalan-jalan, bandara, dll.
• Pemasukan bahan kimia beracun.
• Peningkatan masukan nutrien dari pembuangan limbah cair.
• Pemasukan polutan-polutan seperti gas, minyak, knalpot perahu, bahan-bahan
antifouling, pestisida, dll.
• Pemasukan minyak-minyak dan minyak dari aktivitas mandi (minyak untuk
berjemur dan losion pelembab) di daerah yang memiliki pola sirkulasi
terbatas.
15

• Perubahan pola sirkulasi karena pekerjaan pembangunan pantai


(penghancuran karang, pengeboran, tempat berlabuh kapal/dok, pemecah
gelombang, dll)
• Pengambilan karang dan kerang untuk souvenir.
• Perusakan fisik secara langsung karena aktivitas rekreasi seperti berjalan di
atas karang dan pembangunan galangan kapal.

2.4.2.2 Karena kegiatan non-pariwisata


Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang
berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang yaitu:
• Polusi minyak karena penambangan lepas pantai dan kapal minyak,
menyebabkan degradasi terhadap karang dan organisme yang hidup di
terumbu karang. Selain itu, petroleum hydrocarbon (PHC) mengganggu
pertumbuhan karang, reproduksi, kemampuan mengkolonisasi, makan dan
respon tingkah laku.
• Sedimentasi dari penggalian, penambalan dan kegiatan konstruksi di pantai.
Sediment yang terlalu banyak mungkin berdampak merugikan fungsi dan
struktur komunitas terumbu karang melalui perubahan proses fisika, kimia dan
biologi. Sediment meningkatkan kekeruhan pada kolom perairan yang
mengurangi penetrasi cahaya dan fotosintesis Zooxanthellae, hal tersebut
secara langsung berdampak pada produktivitas bersih dari karang. Sedimentasi
juga menyebabkan penutupan terhadap karang dan organisme bentik lainnya.
Sedimentasi yang tinggi berhubungan dengan penutupan karang hidup yang
rendah, mengurangi recruitment karang baru dan pertumbuhan karang yang
rendah. Sedimentasi juga mengurangi pertumbuhan dan reproduksi karang.
• Sedimentasi yang dihasilkan oleh tambang (tailing) dari kegiatan
penambangan di pantai memproduksi efek toksik secara langsung,
menyebabkan peningkatan kekeruhan dan mengurangi fotosintesisi
Zooxanthellae dan penutupan biota-biota bentik secara langsung.
• Erosi tanah dari daratan seperti perkebunan, penebangan hutan, jalan-jalan,
pembangunan industri dan pemukiman menghasilkan peningkatan kekeruhan
16

dan sedimentasi, pemasukkan pestisida dan biosida yang lain, pemasukkan


nutrien-nutiren.
• Pembuangan dari limbah industri, termasuk bahan-bahan dari desalinasi
tanaman menyebabkan degradasi biologi secara umum melalui pemasukan
biosida dan zat beracun yang lain serta perubahan kondisi alami lingkungan.
• Pembuangan limbah cair menyebabkan eutropikasi melalui kelebihan
pemasukan nutrien. Interfensi dan perubahan proses ekologi alam pada
terumbu karang. Limbah cair yang mengandung klorin mungkin menyebabkan
biota laut terekspos ringan sampai bahkan kronis akut. Klorin dalam limbah
cair mungkin memproduksi keracunan kronis dan akut.
• Pembuangan dari proses perikanan dan pertanian meningkatkan eutropikasi,
pemasukan sediment dan biosida, pemasukan hama dan organisme penyebab
penyakit.
• Kegiatan perikanan yang merusak seperti menggunakan dinamit, trawl di atas
karang, muroami, penggunaan bahan kimia/racun dan over-fishing
menyebabkan perusakan habitat secara umum, deplesi stok dan spesies.
• pengumpulan ikan-ikan untuk akuarium menggunakan racun dan teknik lain
yang tidak sesuai menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan dalam
keseimbangan ekosistem.
• Kegiatan konstruksi di karang menyebabkan kerusakan habitat.
• Pelepasan bahan kimia beracun dari daratan dan kapal menyebabkan
kerusakan habitat.
• Resuspensi sedimen laut oleh kendaraan laut dengan daya muat yang dalam
menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologi.
• Pembuangan sampah padat (becak, tas plastik dll) menyebabkan kerusakan
habitat dan perubahan keseimbangan ekologis.
• Penambangan karang dan pengumpulan pasir menyebabkan perusakan habitat,
perubahan keseimbangan ekologi, deplesi stok dan spesies.
• Pembuangan air tawar menyebabkan perusakan habitat dan kematian
organisme karang atau tekanan fisiologi yang berat.
• Pembuangan air ballast menyebabkan efek toksik secara langsung dan
pemasukan organisme hama.
17

Yosephine dan Suharsono (1995) dalam Tomascik dkk. (1997), menyatakan


bahwa keragaman karang dan penutupan karang di Pulau Kotok Besar telah
menurun secara drastis sejak tahun 1985, sementara bahan-bahan dari pantai yang
terapung-apung dan sampah dari daratan utama Jawa juga masyarakat setempat
telah meningkat 10 kali.

2.5. Pariwisata Bahari


Agenda 21 (1992) dalam Aryanto (2003) mengartikan pariwisata sebagai
seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat
di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun
untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain. Pariwisata di Indonesia
menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya.
Dalam usaha pengembangannya, Indonesia wajib memperhatikan dampak-
dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah
sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995)
dalam Aryanto (2003) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial
dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para
pelakunya. Lindberg dan Hawkins (1993) menyatakan bahwa ekowisata adalah
suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan,
ekonomi dan sosial yang menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap
alam dan suatu rasa tanggungjawab sosial untuk menciptakan dan memuaskan
keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi
dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,
kebudayaan dan keindahan. Nugroho (2004) mendefinisikan ekoturisme adalah
kegiatan perjalan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat
unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan
warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Aryanto (2003) mengemukakan wisata pesisir dan bahari adalah bagian dari
wisata lingkungan (ekoturisme). Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Negara
Lingkungan hidup dan mantan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan dalam
18

Aryanto (2003) berpendapat; selain sebagai bagian dari ekowisata, wisata pesisir
dan bahari merupakan industri yang menjanjikan. Lebih lanjut wisata bahari ini
merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan
dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya
tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta
peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya
lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung,
upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya
masyarakat pesisir dan bahari. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) merupakan
kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari
wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar,
berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam
SCUBA). Agar dapat dinikmati, wisata bahari ini harus mempunyai tiga unsur
pendukung, yaitu: objek, paket dan sarana wisata. Objek adalah tempat atau lokasi
dimana keindahan alam dapat dinikmati. Paket wisata yaitu aktivitas-aktivitas
seperti memancing, snorkeling, selam, parasailing. Sedangkan sarana yaitu kapal
dll. Dibandingkan dengan wisata lain, wisata bahari mempunyai sifat spesifik,
karena untuk dapat menikmatinya para wisatawan harus mempunyai persiapan
khusus sebelumnya. Persiapan tersebut misalnya, untuk dapat melakukan selam
SCUBA maka wisatawan harus mengikuti kursus atau pelatihan terlebih dahulu
Menurut Spriharyono (2000), Daerah pantai yang mempunyai ekosistem
terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih
secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas
wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah
tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah
konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya
terlalu mementingkan keuntungan daripada harapan konservasi, yaitu pelestarian
sumberdaya alam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka pelestarian
sumberdaya alam laut, maka saat ini banyak dikembangkan konsep “Jumlah
rendah tapi nilai tinggi”. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak
akan tetapi kualitas wisatawan yang berkunjung diharapkan tinggi baik dari segi
19

keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep


kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata
massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang
kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan
masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi
pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga.
Agenda 21 (1992) dalam Nugroho (2004) menyatakan pengembangan
program-program wisata di masa yang akan datang dipandu oleh prinsip-prinsip
sebagai berikut :
a. Alam, sejarah, budaya dan sumberdaya lain untuk wisata dilestarikan untuk
penggunaan yang berkelanjutan di masa yang akan datang, walaupun masih
mendatangkan keuntungan untuk komunitas sekarang ini.
b. Pengembangan wisata direncanakan dan diatur sehingga tidak menimbulkan
masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya yang serius di daerah wisata.
c. Kualitas lingkungan di daerah wisata dijaga dan diperbaiki sesuai kebutuhan.
d. Kepuasan turis pada tingkatan yang tinggi dijaga sehingga tempat tujuan
wisata dapat mempertahankan kemampuan pasar dan kepopuleran.
e. Keuntungan dari wisata disebar luaskan kepada masyarakat.

2.6. Aspek Sosial Ekoturisme


Nugroho (2004) menjelaskan bahwa aspek sosial menyajikan peran yang
penting dalam mendukung kinerja sektor ekoturisme. Aspek sosial bukan hanya
mengidentifikasikan pemangku kepentingan tetapi juga mengorganisasikannya
sehingga menghasilkan manfaat (dan insentif ekonomi) yang optimal bagi
masing-masing pemangku kepentingan. Stakeholder dalam ekoturisme meliputi
siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekoturisme. Mereka
adalah penduduk lokal, pemerintah, kelompok masyarakat nirlaba (LSM atau
yang sejenis), sektor swasta dan wisatawan. Sektor ekoturisme mempertemukan
dua atau lebih kultur yang berbeda. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga
dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memainkan proses edukasi perihal
lingkungan spesifik lokal dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus
dapat dipelihara dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi
20

beroperasinya sektor swasta dan bantuan dari kelompok nirlaba. Dalam jangka
panjang, pariwisata bergantung pada kualitas dari lingkungan. Tentu saja, kualitas
dari lingkungan tersebut atau beberapa bagian dari lingkungan adalah seringkali
merupakan daya tarik utama dari wisatawan. Sekarang ini, semua jenis wisatawan
menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi atau
terdegradasi pada tujuan perjalanan mereka. Hal tersebut terjadi di beberapa
tempat, jumlah wisatawan menurun karena masalah lingkungan. Penurunan dalam
pariwisata tidaklah selalu disebabkan oleh wisata itu sendiri. Agaknya, itu adalah
pola dari pertumbuhan industri, eksploitasi sumberdaya alam dan konsumsi,
secara singkat, pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mencirikan
masyarakat zaman sekarang yang harus disalahkan (Ceballos-Lascurian 1996).
Masyarakat yang tinggal sekitar atau di dekat daerah perlindungan
seringkali dilupakan dalam pariwisata, pembangunan dan manajemen. Kadang-
kadang hal ini karena mereka tersebar dan terisolasi membuat komunikasi
menjadi sulit. Dalam waktu yang lain pengembang yang menghindari meluangkan
waktu dan usaha untuk menginformasikan kepada masyarakat lokal akan rencana
pengembangan pariwisata tertentu, atau mencoba untuk mengesampingkan
mereka untuk menghilangkan mereka dari keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Akan tetapi, kebutuhan akan masyarakat lokal harus diperhitungkan secra penuh,
terutama sekali sejak mereka sering tergantung pada sumberdaya alam yang
menarik perhatian turis pada daerah tersebut. Proses perencanaan harus
memprakarsai pembangunan dari mekanisme yang menjamin bahwa masyarakat
lokal harus menerima pembagian keuntungan dari pengembangan pariwisata.
Tetapi yang paling utama, masyarakat lokal dirundingkan dalam hal tingkat dari
pengembangan pariwisata yang mereka pikirkan adalah tepat dalam lingkungan
mereka sekarang ini dan di daerah tersebut secara keseluruhan. Jika keterlibatan
mereka tidak diminta, tentu saja ekoturisme akan mustahil (Ceballos-Lascurian
1996).
Nugroho (2004) menguraikan peran masing-masing pemangku kepentingan
di dalam ekoturisme sebagai berikut :
1. Pemerintah. Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan
sektor ekoturisme dan penunjangnya. Output dapat berupa kebijakan fiskal
21

meliputi perpajakan (dan tarif), infestasi dalam prasarana infrastruktur,


dukungan aspek keamanan atau peningkatan profesional aparat pemerintah.
2. Sektor swasta. Sektor swasta adalah pemangku kepentingan yang
mengoperasikan usaha ekoturisme. Sektor swasta menyediakan berbagai
fasilitas dan akomodasi, informasi, produk wisata, tujuan wisata dan kualitas
pelayanan, dengan tujuan agar menarik wisatawan dan memberikan kepuasan
dan pengalaman yang berharga.
3. Pengunjung atau wisatawan. Pengunjung merupakan indikator terpenting
keberhasilan pembangunan ekoturisme. Pengunjung dari luar daerah dapat
menginjeksi aliran ekonomi lokal dan diharapkan dapat memberikan insentif
bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
4. Penduduk lokal. Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam
pengembangan ekoturisme. Mereka perlu diberikan kesempatan aktif
mengolah dan menjual produk wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Juga
tidak ada salahnya, kerangka berfikir penduduk lokal digunakan untuk saran
kebijakan.
5. Lembaga masyarakat. Lembaga domestik maupun internasional khususnya
yang profesional, sama-sama berfungsi dalam memfasilitasi semua
kepentingan pemangku kepentingan seperti memberikan fungsi politis untuk
mengangkat isyu-isyu kemiskinan, ketidakadilan dan dampak kerusakan
lingkungan agar diperbaiki keadannya.

2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata


Wisatawan mungkin bereaksi dengan banyak cara terhadap pemutihan dan
terumbu karang yang rusak. Jika mereka menyadari pemutihan (dari media, mulut
ke mulut, atau sumber informasi lain), mereka mungkin memilih untuk tidak
mengunjungi daerah yang terpengaruh, hal mana yang menyebabkan penderitaan
industri pariwisata di semua tingkat. Beberapa akan mengunjungi sekali dan tidak
akan pernah datang lagi seperti yang sebelumnya. Mereka yang awam dengan
olaraga selam dan snorkeling mungkin tidak menyadari permasalahan tersebut.
Orang-orang ini dan yang tidak tertarik pada kegiatan yang berhubungan langsung
dengan terumbu karang, mungkin tetap mengunjungi daerah yang rusak tersebut.
22

Kemungkinan lainnya adalah wisatawan tetap mengunjungi daerah tersebut tetapi


mereka tidak mengunjungi terumbu karang, sehingga dalam kasus ini industri
selam dan snorkeling akan menderita. Kurang dari 5 % dari penyelam dan
snorkeller di Zanzibar dan Mombasa yang diwawancarai berkata bahwa mereka
tidak mau menyelam ataupun snorkeling karena pemutihan. Di Maldiva, 48 %
turis yang diwawancarai berkata bahwa hal yang paling mengecewakan dari
liburan mereka adalah karang yang mati. Akan tetapi, kedatangan turis naik
berkesinambungan sebesar 8 % selama 1998 dan 1999, dengan 7 % selama 1996
dan 1997. kedatangan wisatawan yang terus meningkat ini sebagiannya adalah
jenis wisatawan lain pengganti penyelam (Westamacott et al. 2000).
23

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Lokasi Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung,
Provinsi Bangka-Belitung. Wilayah yang diteliti mencakup P. Lutung, P. Kera
dan P. Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga (Gambar 1). Pelaksanaan
penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, pengambilan data
primer dan sekunder serta analisa data. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada
bulan Maret 2006 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan
mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan data. Pengambilan data ke
lapangan dilaksanakan pada bulan April 2006.

3.2. Metode Pengambilan Sampel


3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan
Terdapat empat lokasi pengambilan data (stasiun) pada setiap pulau yang
ditentukan berdasarkan empat arah mata angin (utara, selatan, barat dan timur)
dengan bantuan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui arah dan
memplotkan masing-masing titik stasiun pengamatan. Maka, akan terdapat 12
stasiun pengamatan dari ketiga pulau yang diteliti dan diharapkan dapat mewakili
kondisi ekosistem terumbu karang di ketiga pulau tersebut.

3.2.2. Pengambilan Data Karang


Data karang diamati pada kedalaman 10 dan 3 meter atau sesuai dengan
kondisi perairan di lapangan, kedalaman 10 m dianggap mewakili daerah yang
dalam dan kedalaman 3 m dapat mewakili daerah yang dangkal. Pengambilan data
dengan menggunakan alat SCUBA dengan menggunakan metode visual transek
kuadrat, yaitu transek garis dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar garis pantai
pada kedalaman 10 dan 3 m, kemudian diletakkan transek kuadrat berukuran 1 x 1
m diatas koloni-koloni karang yang dilewati oleh meteran tersebut dari titik 0
(nol) dengan interval 5 m sehingga didapatkan 9 transek kuadrat di setiap titik
pengamatan. Kemudian persen penutupan karang berdasarkan bentuk
pertumbuhannya (lifeform) diestimasi tiap transek serta dicatat jenis-
24
25

karang yang termasuk ke dalam transek tersebut. Pengamatan biota pengisi habitat
dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (Tabel 1) untuk mengetahui jenis dan
jumlah bentuk pertumbuhan karang di daerah tersebut sesuai dengan parameter
yang dibutuhkan pada matriks analisis kesesuaian untuk wisata bahari (snorkeling
dan selam). Selain dari pada itu, pengamatan juga dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah genus yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut. Pencatatan
jenis dan jumlah genus ini untuk mengetahui jenis-jenis dan jumlah genus karang
yang terdapat di perairan ketiga pulau tersebut agar bisa memberikan informasi
yang lebih banyak tentang daerah penelitian.

Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya (English et al. 1994)


Kategori Kode Keterangan
Karang Batu:
Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih sampai putih kotor
Dead Coral with Algae DCA Karang mati yang masih tampak bentuknya tapi
sudah ditumbuhi alga
Acropora Branching ACB Sedikitnya 2 cabang. Cth: Acropora palmata,
A. formosa
Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk
Encrusting ACE
Acropora
yang belum dewasa
Submassive ACS Kokoh berbentuk bonggol/baji
Digitate ACD Percabangan tidak sampai 20. Cth: A. humilis,
A. digitifera, A. gemmifera
Tabular ACT Pelat datar seperti meja
Non-Acropora Branching CB Percabangan ± 20
Sebagian besar menempel pada substrat
Encrusting CE
sebagai
pelat laminar
Foliose CF Karang menempel pada satu atau lebih titik,
bentuk menyerupai daun
Massive CM Berbentuk bola atau batu besar/tanggul
Submassive CS Membentuk kolom kecil, baji atau bonggol
Mushroom CMR Soliter
Millepora CME Karang api
Heliopora CHL Karang biru, soliter
Tubipora CTU
Fauna lain
Soft Coral SC Karang lunak
Sponges SP
Zoanthids ZO
Others OT Ascidians, anemon, gorgonia, kima raksasa,
timun laut, bulu babi, dll
Algae:
Bersambung...
26

Tabel 1. Lanjutan
Kategori Kode Keterangan
Algae Algal
AA Terdiri lebih dari satu spesies
Assemblage
Coraline
Algae CA
Halimeda HA
Macroalgae MA Warna merah, coklat, dll
Turf Algae TA Algae filamen yang lembut, sering ditemukan
dalam wilayah damselfish
Abiotik:
Sand S Pasir
Rubble R Pecahan karang tak beraturan
Silt SI Lumpur
Water WA Celah lebih dari 50 cm
Rock RCK Tapakan karang termasuk kapur, batuan

3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang


Pengamatan ikan karang menggunakan metode pencacahan langsung
(visual census) pada transek garis yang sama untuk peletakan transek kuadrat pada
pengamatan biota karang, yaitu transek garis yang dibentangkan sepanjang 50 m
sejajar garis pantai dan menggunakan peralatan SCUBA. Setelah transek garis
dibentangkan, stasiun pengamatan dibiarkan kembali sampai kondisi perairan
menjadi seperti semula dan semua ikan-ikan karang yang lari dan bersembunyi
pada saat pemasangan transek keluar dari tempat persembunyiannya. Pencatat
data ikan karang berenang di atas transek garis sepanjang 50 m sambil mencatat
seluruh spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan
kanan transek (Gambar 2). Sensus dilakukan pada interval waktu antara jam 08:30
dampai 17:00 agar data ikan yang diambil merupakan ikan karang yang bersifat
diurnal, karena waktu pelaksanaan sensus sangat berpengaruh terhadap jenis ikan.
Identifikasi ikan karang berdasarkan Allen (1999), Lieske dan Myers (2001) dan
Kuiter (1992).
27

Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung


(English et al. 1994)

Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang
Pengambilan data Alat Metode
Karang - Satu set alat scuba Visual transek kuadrat
- Roll meter
- Transek kuadrat 1 x 1 m
- Sabak + Pensil
- GPS
Ikan karang - Satu set alat scuba Sensus Visual
- Roll meter
- Sabak + Pensil
- GPS
28

3.2.4. Data Pendukung


Data pendukung dalam penelitian didapatkan dengan cara observasi
langsung ke lapangan, wawancara dan studi literatur.
™ Parameter-parameter Fisika dan Kimia Perairan.
Kegiatan ini meliputi pengumpulan data primer dengan cara mengamati
dan melakukan pengukuran insitu pada parameter-parameter lingkungan yang
diperlukan dalam penelitian ini. parameter lingkungan yang dimaksudkan yaitu :
kecerahan, suhu, kecepatan arus, kedalaman perairan dan salinitas air laut.
™ Wawancara.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang
kawasan penelitian. Pencatatan data dilakukan melalui kuisioner dan wawancara
langsung kepada masyarakat sekitar dan instansi-instansi terkait dengan
pengembangan dan pengambil kebijakan di wilayah penelitian.
Teknik yang digunakan dalam pengambilan data adalah metode judgment
sampling, dimana sampel yang diambil diharapkan mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner ( Lampiran 2 dan 3). Iinstansi lain yang
terkait diwawancarai sesuai dengan jumlah dan jenis informasi yang dibutuhkan.
Responden dari wawancara ini adalah masyarakat yang menetap di Desa
Tanjung Binga di sekitar kawasan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung, Masyarakat
diharapkan mampu memenuhi kriteria dan point - point dalam kuisioner, karena
melihat dan mengetahui kondisi di ketiga pulau tersebut secara langsung.
Pemerintah dan instansi terkait diharapakan mampu menjadi komponen yang
dapat melengkapi data- data yang diperlukan dalam penelitian ini.
™ Studi pustaka.
Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder yang
dibutuhkan dalam kegiatan penelitian ini yaitu dengan cara mempelajari buku-
buku penunjang, buku- buku laporan, penelitian - penelitian sebelumnya serta
bentuk- bentuk artikel dan jurnal lainnya. Data yang akan dikumpulkan melaui
studi pustaka ini meliputi peta lokasi, jumlah penduduk, kualitas perairan,
ketersediaan air tawar, aksesibilitas, curah hujan, sistem pembuangan, musim,
gelombang, industri, kegiatan perikanan dan proses-proses yang pernah terjadi.
29

Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur


Parameter Satuan Alat
Kecerahan perairan meter (m) Secchi disc
Salinitas permil (‰) Refraktrometer
Kecepatan arus meter/detik (m/s) Papan silang
Kedalaman perairan meter (m) Meteran/Tali berskala
0
Suhu C Thermometer raksa
-
pH pH stick

3.3. Analisis Data


3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang
Biota habitat dasar yang termasuk ke dalam transek kuadrat
dikelompokkan menurut bentuk pertumbuhannya. Setelah itu data diolah dengan
menggunakan program “ImageJ” untuk mendapatkan persen penutupan karang.

Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan


persentase penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)

Persentase Penutupan Kriteria Penilaian


0 – 24,9 Buruk
25 – 49,9 Sedang
50 – 74,9 Baik
75 - 100 Memuaskan

Selain itu juga dilakukan perhitungan rasio kematian karang batu yang
memperlihatkan besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati. Rasio
tersebut dihitung dengan rumus Indeks Mortalitas Karang (IMK) yang
dikembangkan oleh Gomez dan Yap (1988):

penutupan karang mati


Index Mortalitas =
penutupan karang mati + karang hidup
30

3.3.2. Komunitas Ikan Karang


Untuk melihat kondisi hubungan antar kelompok spesies ikan karang dan
untuk mengetahui kestabilan ekosistem digunakan analisa indeks-Indeks
keanekaragaman, keseragaman dan dominansi. Indeks keanekaragaman (H’)
digunakan untuk mengetahui keanekaragaman populasi organisme secara
matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu
masing-masing spesies ikan dalam suatu komunitas (Odum 1971). Indeks
keanekaragaman yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Weaver
(Odum 1971) dengan rumus:
s
H ' = − ∑ pi ln pi
i =1

Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman


s = jumlah spesies ikan karang
pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan
Logaritma natural (ln) digunakan untuk komunitas ikan karena ikan
merupakan biota yang mobile (aktif bergerak), memiliki kelimpahan relatif tinggi
dan preferensi habitat tertentu.
Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar
spesies dalam suatu komunitas ikan. Semakin merata penyebaran individu antar
spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Rumus yang
digunakan adalah (Odum 1971):
H'
E=
H ' max

Keterangan: H’max = indeks keanekaragaman maksimum = ln s.


Nilai indeks keseragaman dan nilai indeks keanekaragaman yang kecil
biasanya menandakan adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies
lain. Dominansi suatu spesies yang cukup besar akan mengarah pada kondisi
ekosistem atau komunitas yang labil atau tertekan, rumusnya (Odum 1971):
s
C = ∑ (pi)2
i =1
31

3.3.3. Analisis Data Kualitas Air


Data kualitas perairan di sekitar ketiga pulau yang didapat secara primer
maupun sekunder tersebut dibandingkan dengan keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup no.51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata
bahari dan biota laut (Lampiran 4), untuk mengetahui apakah kondisi perairan di
ketiga pulau tersebut sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari.

3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari


Matriks kesesuaian disusun untuk melihat kesesuaian kawasan bagi
pariwisata bahari. Masing-masing parameter dalam matriks kesesuaian ini
memiliki skor dan bobot yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan terhadap
pariwisata bahari. Kemudian kondisi di lapangan dihitung kelas kesesuaiannya
menurut Bakosurtanal (1996). Kelas kesesuaian dibagi dalam empat kelas, yaitu:
Kelas S1: Sangat sesuai (Highly suitable)
Daerah ini tidak mempunyai batas yang serius untuk menerapkan
perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang
tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap
penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukkan/tingkatan
perlakuan yang diberikan.
Kelas S2: Cukup sesuai (Moderately suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan.
Pembatas ini akan meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan
yang diperlukan.
Kelas S3: Sesuai Marginal (Marginally suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan.
Pembatas akan lebih meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan
yang diberikan.
Kelas N: Tidak sesuai (Not suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas permanent, sehingga mencegah
segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
32

Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam)


Parameter Bobot S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor
Kecerahan
Perairan 10 80-100 20 60-79 18 30-59 16 <30 2
(%)
Tutupan
Komunitas
8 >75 16 50-75 14 25-50 12 <25 4
Terumbu
Karang (%)
Lifeform
8 11-13 16 8-10 14 5-7 12 <5 4
Karang
Jenis Ikan
Karang 8 >166-100 16 70-100 14 >40-70 12 ≤40 4
(spesies)
Kecepatan
6 0-5 14 5-10 12 10-12 10 >12 2
Arus (m/detik)
Kedalaman
6 10-25 12 5-10 12 2-5 12 <2 2
Perairan (m)
Jumlah ∑S1 94 ∑S2 84 ∑S3 74 ∑N 18
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996)

Keterangan:
S1 = Sangat sesuai, dengan nilai >700-740
S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai >620-700
S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai >360-620
N = Tidak sesuai, dengan nilai ≤360
33

IV. PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian


4.1.1. Kondisi Geografis dan Administrasi Wilayah
Pulau Belitung secara geografis terletak pada 107o 08’ BT – 107o 58’ BT
dan 02o 30’LS – 03o 15’ LS. Pada peta dunia, Pulau Belitung dikenal dengan
nama BILLITON yang bergaris tengah timur – barat ± 79 km dan garis tengah
utara – selatan ± 77 km dengan batas wilayah sebagai berikut (BAPPEDA KAB.
Belitung dan BPS Tanjungpandan 2004) :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung timur
- Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Jawa, dan
- Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar.
Batas-batas Kecamatan Sijuk secara administrasi adalah Laut Cina Selatan
di bagian barat dan utara, Kecamatan Kelapa Kampit di bagian timur dan
Kecamatan Tanjungpandan dan Kecamatan Badau di bagian selatan. Luas wilayah
Kecamatan Sijuk adalah 452 km2 yang terdiri dari 8 desa yaitu Desa Batu Itam,
Desa Terong, Desa Air Seruk, Desa Air Selumar, Desa Tanjung Binga, Desa
Keciput, Desa Sijuk, dan Desa Sungai Padang. P. Burung, P. Kera dan P. Lutung
terletak di Desa Tanjung Binga dengan luas 21, 80 km2 (Kecamatan Sijuk Dalam
Angka 2003). Pulau Burung memiliki luas 0,80 ha, Pulau Kera 0,60 ha dan Pulau
Lutung 0,50 ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung 1994).
Letak wilayah Kabupaten Belitung bila dilihat dari keterkaitan dengan
tersedianya sinar dan panas matahari, menurut kriteria yang dikeluarkan oleh
Deparpostel tahun 1999, sangat sesuai (skor 5, dengan rentang 1 – 5, dan 5
merupakan nilai tertinggi) untuk pengembangan wisata bahari karena terletak
pada 0 – 10 oLS yang berarti selalu mendapat sinar dan panas matahari yang
hampir konstan sepanjang tahun (Bakosurtanal 1996).
34

4.1.2. Topografi
Daerah tertinggi di Kabupaten Belitung hanya 500 m dari permukaan laut
yaitu di daerah Gunung Tajam. Sedangkan di daerah hilir terdapat beberapa
Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yakni :
- Sebelah Utara oleh DAS Buding
- Sebelah Selatan oleh DAS Pala dan Kembiri, dan
- Sebelah Barat oleh DAS Brang dan Cerucuk.
Keadaan tanah di Kabupaten Belitung pada umumnya didominasi oleh
kwarsa dan pasir, batuan alluvial dan batuan granit. Menurut letaknya, batuan
kwarsa dan pasir tersebar secara merata di seluruh wilayah kecamatan dengan luas
total mencapai 266.865 ha atau 56,98 % dari luas Kabupaten Belitung. Batuan
alluvial dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah kecamatan, dengan luas total
seluruhnya mencapai 94.714 ha atau 20,22 % dari luas Kabupaten Belitung
(BAPPEDA Kabupaten Belitung 2004).

4.1.3. Kondisi Iklim dan Curah Hujan


Kondisi iklim dan curah hujan di Pulau Belitung sangat dipengaruhi oleh
iklim benua Asia dan Australia karena terletak antara kedua benua tersebut. Selain
itu, iklim tropis basah yang dikombinasi dengan bentuk kepulauan dari Kabupaten
Belitung menyebabkan banyak terbentuk awan dan uap air laut. Dengan
banyaknya terbentuk awan dan uap air laut, maka akan mempengaruhi tingginya
curah hujan di tempat tersebut. (DKP Prop. Kep. Bangka Belitung 2005).
Kabupaten Belitung mempunyai iklim tropis dan basah dengan variasi curah
hujan bulanan pada tahun 2004 antara 0 mm sampai 867,5 mm dengan jumlah
hari hujan antara 0 sampai 27 hari setiap bulannya. Curah hujan tertinggi terjadi
pada bulan Desember yang mencapai 867,5 mm. Temperatur rata-rata di
Kabupaten Belitung bervariasi antara 21,5 oC sampai 32,9 oC, dengan kelembaban
udara bervariasi antara 77 % sampai 93 % dan tekanan udara antara 1.009,4 mb
sampai dengan 1.011,5 mb (BAPPEDA Kabupaten Belitung 2004).
Temperatur rata-rata di Kabupaten Belitung yang bervariasi menyebabkan
daerah tersebut memiliki skor 3 sampai 5 (dengan rentang 1 – 5, dan 5 merupakan
35

nilai tertinggi) atau dapat dikatakan sesuai untuk dikembangkan menjadi kawasan
wisata bahari (Bakosurtanal 1996).

4.1.4. Sungai
Kondisi topografi Pulau Belitung pada umumnya bergelombang dan
berbukit-bukit telah membentuk pola aliran sungai di daerah ini menjadi pola
sentrifugal, yaitu sungai - sungai yang ada berhulu di daerah pegunungan dan
mengalir ke daerah pantai. Sedangkan daerah aliran sungai mempunyai pola aliran
sungainya berbentuk seperti pohon.

4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya


4.1.5.1. Penduduk
Penduduk Kecamatan Sijuk berdasarkan laporan perkembangan penduduk
pada bulan Maret 2006, Desa Tanjung Binga merupakan desa yang memiliki
jumlah penduduk terbanyak dari 8 desa yang terdapat di Kecamatan Sijuk.

Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga


Bulan Maret 2006

100%

80%

60%

40%

20%

0%
Total Pddk
>61 136
51 sd 60 203
40 sd 50 679
26 sd 39 1079
18 sd 25 737
10 sd 17 758
<9 1143

Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah

Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga


36

Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006


Luas
Bulan/Tahun ∑ KK ∑ RT Laki-laki Perempuan Jumlah
(Km2)
Maret/2006 218 1.106 18 2.472 2.263 4.735
Sumber : Laporan Kependudukan Kecamatan Sijuk Bulan Maret 2006

Sebanyak 59,85 % dari total seluruh penduduk di Desa Tanjung Binga


berusia ≥ 18 tahun (gambar 3) yang sudah termasuk ke dalam angkatan kerja.
Potensi tenaga kerja tersebut merupakan suatu kekuatan yang dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan di Desa Tanjung Binga. Proporsi antara Laki-laki dan
Perempuan yang terdapat di Desa Tanjung Binga hampir seimbang (Tabel 6). Hal
ini mengindikasikan bahwa Desa Tanjung Binga bisa menyediakan jumlah tenaga
kerja yang hampir sebanding antara pria dan wanita yang merupakan salah satu
modal yang dimiliki daerah tersebut dalam pembangunan.
Tingkat pendidikan masyarakat Tanjung Binga yang sebagian besar masih
rendah yaitu 83,33 % hanya sampai bangku sekolah dasar (data kuisioner),
menyebabkan bila daerah tersebut dikembangkan menjadi kawasan wisata maka
dikhawatirkan sebagian besar penduduknya menempati pekerjaan di tingkat
bawah atau sebagai tenaga kerja kasar dan buruh dengan upah yang paling rendah
diantara pekerjaan yang lainnya.

Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja


Pekerjaan Jumlah (Org)
Nelayan 2225
Buruh Harian 318
Lain-lain 167
Pedagang 64
Pegawai Negeri 59
Pegawai Swasta 38
Petani 32
Pertukangan 28
TNI/Polri 1
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005
37

Desa Tanjung Binga terletak langsung berhadapan dengan laut dan


mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Walaupun begitu, ada juga
penduduk yang berprofesi di berbagai bidang pekerjaan seperti yang terdapat pada
Tabel 7. Sarana perekonomian masyarakat yang terdapat di Desa Tanjung Binga
yaitu 64 kios/warung dan 4 rumah makan/kedai (Koordinator Statistik dan Kantor
Camat Sijuk 2003). Kios dan rumah makan tersebut murni dikelola oleh
masyarakat setempat dan diharapkan bila nantinya P. Kera, P. Lutung dan P.
Burung yang terdapat di Desa Tanjung Binga tersebut berkembang menjadi objek
wisata bahari yang banyak didatangi pengunjung, maka kios dan rumah makan
tersebut akan berkembang baik dari segi kualitas pelayanan ataupun kuantitasnya
dalam rangka memberikan kemudahan kepada pengunjung dalam mendapatkan
makanan dan kebutuhan lainnya. Dengan berkembangnya sarana perekonomian
masyarakat yang berupa kedai dan warung tersebut, diharapkan akan
meningkatkan dan membangkitkan kebudayaan masyarakat yang berupa
masakan-masakan, jajanan dan kerajinan tangan asli dari daerah setempat karena
telah tersedia banyak sarana untuk memasarkannya. Pengunjung dengan tingkat
keuangan yang lebih bisa menginap atau makan di cottage-cottage yang terdapat
di Desa Sijuk, karena letaknya yang tidak begitu jauh dari Desa Tanjung Binga
sehingga bisa dicapai dalam waktu yang relatif singkat. Sampai saat ini terdapat
beberapa perusahaan akomodasi di Kecamatan Sijuk, dua diantaranya adalah
Kelayang Indah Cottages dan Restaurant, Cottages, Swimming Pool ”Bukit
Berahu (Koordinator Statistik dan Kantor Camat Sijuk 2003).

4.1.5.2 Agama dan tempat peribadatan


Penduduk Desa Tanjung Binga mayoritas beragama islam, hal ini bisa
diketahui dari jumlah tempat peribadatan yang terdapat di desa tersebut yaitu 3
mesjid dan 1 surau dan tidak terdapat tempat peribadatan agama lain selain islam.
Selain daripada itu, hanya terdapat satu lokal pekuburan orang islam (Pemkab
Belitung Kecamatan Sijuk 2003).
38

4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi


Sarana dan prasarana perhubungan di Desa Tanjung Binga untuk
memperlancar mobilitas agar dapat menunjang kegiatan perekonomian
masyarakat tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan


Sarana/Prasarana Jumlah
Jalan Aspal Kabupaten/Provinsi 15 km
Jalan Desa 5 km
Jembatan Desa 1 bh
Jembatan Kabupaten/Provinsi 1 bh
Darmaga 2 bh
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga (2005)

Sarana Perhubungan untuk mencapai Desa Tanjung Binga dari ibu kota
kabupaten cukup memadai untuk mendukung pengembangan kegiatan pariwisata
di daerah tersebut seperti yang tertera pada Tabel 9. Berdasarkan hasil survey,
hanya diperlukan ± 20 menit untuk mencapai lokasi tersebut dengan lancar tanpa
ada hambatan yang berarti seperti macet dll. Hanya saja sampai saat penelitian
dilaksanakan, jalan yang melintasi pemukiman penduduk di sepanjang pesisir
masih kurang lebar dan kondisinya tidak begitu bagus.

Tabel 9. Sarana perhubungan


Sarana Jumlah (unit)
Mobil 51
Motor 576
Sepeda 902
Truk 3
Perahu Motor/Bagan 288
Kapal Motor 9
TV 823
Bersambung...
39

Tabel 9. Lanjutan
Sarana Jumlah (unit)
Radio 25
Parabola 235
HT/SSB 53
Telefon 17
Wartel 1
Sumber : Monografi Desa Tanjung Binga 2005

Jumlah kendaraan bermotor bila dibandingkan dengan jumlah penduduk


yang berusia ≥18 tahun, maka terdapat sekitar 22,23 % penduduk yang memiliki
kendaraan bermotor. Tetapi bila dibandingkan dengan jumlah keluarga, maka
terdapat lebih dari separuh (56,96 %) keluarga di Desa Tanjung Binga memiliki
kendaraan bermotor untuk transportasi darat. Hal tersebut menunjukkan bahwa
cukup banyak kendaraaan bermotor yang tersedia di Desa Tanjung Binga untuk
mempermudah mobilitas penduduk untuk menunjang aktivitas mereka.

4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang


4.2.1 Persen Penutupan dan IMK
4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera
Tipe terumbu karang di Pulau Kera dapat dikategorikan sebagai terumbu
karang tepi (fringing reef). Menurut konsep Darwin tentang perkembangan
karang, terumbu karang tepi secara relatif merupakan penempelan muda/awal ke
daratan utama atau pulau-pulau tinggi dan merupakan bentuk dasar dari
perkembangan terumbu penghalang dan atoll pada dasar yang surut (Hopley 1982
dalam Tomascik dkk. 1997). Terumbu karang tepi secara umum seperti
panggung-panggung sempit yang berada pada jarak yang dekat dari pantai dan
tidak terdapat laguna yang besar (Lieske dan Myers 2001).
Ekosistem terumbu karang di P. Kera secara keseluruhan dapat dikatakan
dalam kondisi sedang, yaitu dengan rata-rata penutupan karang hidup dari
keempat stasiun yang diamati sebesar 25,04 %. Akan tetapi, nilai tersebut hampir
mendekati kondisi buruk (< 24,9 %). Walaupun demikian, kondisi tersebut harus
40

mendapat perhatian yang serius, karena bila kita lihat dari penutupan karang mati
yang hampir sama dengan penutupan karang hidup (Tabel 10). Kondisi tersebut
bisa menjadi lebih parah bila terus dibiarkan, karena masyarakat setempat
menyatakan bahwa setiap hari tempat tersebut selalu didatangi oleh nelayan untuk
memancing cumi-cumi dan ikan, yang berarti pula bahwa setiap hari akan ada
karang-karang yang rusak karena terkena jangkar perahu nelayan atau terinjak-
injak pada saat pemasangan jaring.

Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan


Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera
Jenis
Rata-Rata
Tutupan
Karang Batu 25,04 ± 5,86
Karang Lunak 0,03 ± 0,05
Karang Mati 23,36 ± 5,90
Algae 5,38 ± 9,58
Biota Lain 0,55 ± 0,55
Abiotik 45,64 ± 17,84
IMK 0,48 ± 0,08

Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan P. Kera berkisar dalam


kondisi buruk sampai sedang (Gambar 4). Kondisi yang buruk terdapat di bagian
barat dan di bagian selatan. Sedangkan ekosistem terumbu karang yang masih
dalam kondisi sedang terdapat di sebelah timur dan di sebelah utara. Kerusakan
ekosistem terumbu karang di P. Kera juga terlihat dari besarnya penutupan karang
mati yang melebihi penutupan karang hidup kecuali pada bagian utara pulau.
Keadaan ini juga makin diperjelas dengan penutupan abiotik yang lebih besar dari
penutupan karang hidup kecuali di bagian timur. Rendahnya persen penutupan
karang hidup di P. Kera penyebab utamanya adalah karena aktivitas manusia
(anthrophogenic factor). Hal ini terlihat dari banyaknya karang mati yang
ditumbuhi alga (DCA) yang sebagian besar pada karang masif dari genus Porites.
Penduduk setempat menerangkan bahwa, dulunya banyak nelayan-nelayan
yang menangkap ikan dengan menggunakan potassium yang dapat menyebabkan
kematian pada karang, walaupun sekarang sudah tidak ditemukan lagi. Selain itu,-
41
42

tidak diketemukannya bintang laut mahkota duri yang dapat memakan hewan
karang dengan cepat dalam waktu yang singkat di stasiun pengamatan
menandakan bahwa rendahnya penutupan karang hidup utamanya bukan
disebabkan oleh organisme biotik penghuni ekosistem terumbu karang lainnya.
Hal lain yang mungkin menyebabkan rendahnya penutupan karang hidup yaitu
substrat perairan di tempat tersebut adalah pasir putih halus, yang menyebabkan
kurang tersedianya substrat yang cocok untuk penempelan larva karang. Fakta
tersebut juga diperkuat dengan ditemukan penutupan makro alga dalam persentase
yang relatif kecil, yang bisa menjadi kompetitor hewan karang dalam
memperebutkan ruang dan cahaya.
Nilai IMK dari empat stasiun yang diamati di P. Kera berkisar antara 0,37
– 0,52 dengan nilai rata-rata dari keempat stasiun tersebut sebesar 0,48. Tingginya
nilai indeks kematian karang tersebut disebabkan oleh besarnya penutupan karang
yang mati. Berdasarkan keterangan dari masyarakat setempat, besarnya penutupan
karang mati tersebut lebih disebabkan oleh faktor antropogenik baik secara
sengaja ataupun tidak sengaja. Kematian karang akibat kegiatan manusia yang
disengaja yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan cara yang
tidak ramah lingkungan, sehingga bisa menyebabkan kerusakan dan kematian
karang. Dari nilai rata-rata IMK tersebut dapat dikatakan bahwa hampir separuh
dari terumbu karang yang terdapat di perairan P. Kera telah menjadi karang mati
sampai saat pengamatan dilakukan.
Persen penutupan karang hidup di P. Kera menurut kriteria yang
dikeluarkan oleh Bakosurtanal tentang kesesuaian untuk wisata bahari, termasuk
dalam kelas S3. sedangkan menurut kriteria yang dikeluarkan oleh Deparpostel
tahun 1990, persen penutupan karang hidup di P. Kera hanya memiliki skor 2,
dengan skor tertinggi adalah 5. Dari kedua kriteria tersebut dapat dikatakan bahwa
ekosistem terumbu karang di P. Kera sesuai marginal untuk dijadikan objek
wisata bahari berdasarkan penutupan karang hidup di tempat tersebut. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di perairan P.
Kera sudah berada pada kondisi yang hampir tidak sesuai untuk dijadikan objek
wisata bahari sehingga diperlukan usaha serius untuk memperbaiki dan
meningkatkan kondisinya agar menjadi sesuai untuk dikembangkan.
43

4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung


Tipe terumbu karang di P. Lutung sama seperti terumbu karang di P. Kera,
juga termasuk ke dalam tipe terumbu tepi. Ekosistem terumbu karang di P. Lutung
dapat dikatakan dalam kondisi sedang (Tabel 11), hal ini dapat dilihat dari rata-
rata persen penutupan terumbu karang dari keempat stasiun yang sebesar 32,79 %.
Walaupun begitu, nilai indeks kematian karang rata-rata di P. Lutung yang
sebesar 0,28 yang berarti dari seluruh penutupan karang batu 28 % berubah
menjadi karang mati.

Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan


Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung
Jenis Tutupan Rata-Rata
Karang Batu 32,79 ± 19,11
Karang Lunak 0,71 ± 1,17
Karang Mati 9,63 ± 5,73
Algae 14,76 ± 27,45
Biota Lain 0,88 ± 0,57
Abiotik 41,22 ± 15,71
IMK 0,28 ± 0,28

Kondisi ekosistem terumbu karang di P. Lutung bervariasi, mulai dari


kondisi buruk di bagian timur, sedang di bagian barat dan bagian utara, serta
kondisi baik di bagian selatan (Gambar 5). Sama seperti di perairan P. Kera,
perairan P. Lutung pun juga merupakan tempat mencari ikan bagi nelayan -
nelayan dari penduduk di desa terdekat. Maka dari itu, kerusakan terumbu karang
yang terdapat di tempat tersebut juga disebabkan oleh faktor yang sama dengan
yang terjadi di P. Kera yaitu akibat kegiatan manusia. Masih terdapatnya terumbu
karang dalam kondisi yang baik mungkin dikarenakan kerusakan yang terjadi di
tempat tersebut tidak separah di tempat-tempat yang lain, sehingga sekarang ini
kondisinya sudah membaik. Kemungkinan yang lain yaitu intensitas aktivitas
penangkapan ikan di tempat tersebut lebih kecil bila dibandingkan tempat yang
lain, sehingga kurang berdampak pada kerusakan terumbu karang. Kondisi
terparah terdapat di wilayah timur, yaitu dengan persen penutupan karang batu
sebesar 4,16 % dan persen penutupan makro alga yang paling tinggi diantara
stasiun lainnya yaitu sebesar 63,40 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa-
44
45

pertumbuhan karang batu kalah bersaing dengan laju pertumbuhan makro alga di
tempat tersebut. Substrat dasar perairan yang berupa pasir putih halus juga
menyebabkan kurang tersedianya substrat untuk penempelan larva karang untuk
tumbuh di daerah tersebut.
Terdapat dua stasiun dari empat stasiun yang diamati yang memiliki IMK
yang tergolong tinggi, yaitu di bagian utara sebesar 0,41 dan di bagian timur
sebesar 0,65 (Gambar 5). Nilai IMK yang besar menunjukkan bahwa di kedua
lokasi ini memiliki penutupan karang mati yang besar pula bila dibandingkan
dengan penutupan karang hidup, bahkan di bagian timur, penutupan karang mati
lebih besar dibandingkan penutupan karang hidup. Selain dari pada itu, di kedua
lokasi ini penutupan abiotik lebih besar daripada penutupan karang hidup dan
besarnya penutupan makro alga yang menjadi kompetitor bagi karang untuk
mendapatkan ruang dan cahaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi
ekosistem terumbu karang di sebelah timur dan utara P. Lutung lebih buruk
dibanding di bagian barat dan selatan.
Rata-rata penutupan karang hidup di perairan P. Lutung berkategori S3
dengan keterangan sesuai marginal. Sedangkan berdasarkan kriteria yang
dikeluarkan oleh Deparpostel (1990), kondisi terumbu karang tersebut hanya
memiliki skor 2 dengan rentang skor 1 – 5 dan yang terbaik adalah 5. Berdasarkan
kedua kriteria tersebut, dapat dikatakan bahwa secara umum ekosistem terumbu
karang di P. Lutung kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila dilihat
dari persen penutupan karang hidupnya saja. Tetapi, terdapat satu stasiun yang
memiliki persen penutupan karang hidup dengan status S2 atau cukup sesuai dan
skor 3, yaitu di sebelah selatan P. Lutung (Gambar 5) yang memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam.

4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung


Seperti halnya terumbu karang di P. Kera dan P. Lutung, terumbu karang
di P. Burung juga bertipe terumbu karang tepi. Kondisi ekosistem terumbu karang
di P. Burung dapat dikatakan dalam keadaan sedang yaitu dengan rata-rata
penutupan karang hidup sebesar 45,49 % dengan penutupan karang mati hanya
2,77 % (Tabel 12). Bila dilihat dari penutupan karang hidup dan karang mati,
46

dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di P. Burung lebih baik
dari pada P. Kera dan P. Lutung. Hal ini dapat dilihat dari penutupan karang hidup
yang paling tinggi dan penutupan karang mati yang paling rendah dibandingkan
kedua pulau lainnya.
Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan
Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung
Jenis Tutupan Rata-Rata
Karang Batu 45,49 ± 14,61
Karang Lunak 0,02 ± 0,04
Karang Mati 2,77 ± 3,91
Algae 3,15 ± 6,91
Biota Lain 0,76 ± 0,58
Abiotik 47,80 ± 8,68
IMK 0,07 ± 0,11

Persen penutupan karang batu di Pulau Burung berada dalam kisaran


sedang sampai baik (Gambar 6). Daerah yang kondisi ekosistem terumbu
karangnya dalam keadaan sedang yaitu di utara pulau pada kedalaman 3 m,
bagian timur dan di bagian barat pada kedalaman 7 m. Di selatan dan barat pada
kedalaman 3 m kondisi terumbu karangnya dalam keadaan baik. Bila
dibandingkan dengan P. Kera dan P. Lutung, maka dapat dikatakan kondisi
ekosistem terumbu karang di P. Burung lebih baik. Hal tersebut bisa diketahui
dengan tidak adanya stasiun pengamatan yang terdapat penutupan karang hidup
dengan kriteria buruk. Selain dari pada itu, hanya 2 titik pengamatan yang
terdapat penutupan karang mati, yaitu di bagian barat (7 m) dan utara (3 m).
Penutupan karang mati terdapat di kedua tempat tersebut diduga karena
adanya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan potassium pada masa
lampau. Kegiatan penangkapan tersebut hanya dilakukan di bagian barat dan utara
karena daerah tersebut kurang mendapat pengawasan dari masyarakat setempat.
Walaupun P. Burung sering dikunjungi oleh wisatawan, kapal-kapal mereka
berlabuh di sebelah selatan dan timur pulau. Selain dari pada itu, pada saat musim
angin kencang dan gelombang besar yaitu pada musim tare/utara dan musim
barat, kapal-kapal nelayan berteduh atau berlindung di bagian timur dan selatan
pulau, sehingga bagian barat dan utara tidak mendapatkan pengawasan dan
memberikan kesempatan kepada nelayan-nelayan yang kurang bertanggung-
47
48

jawab untuk menangkap ikan dengan menggunakan bahan, peralatan dan cara
yang dapat merusak ekosistem terumbu karang.
Nilai rata-rata IMK di P. Burung bila kita bandingkan dengan kedua pulau
lainnya, maka nilai tersebut merupakan yang paling kecil diantara ketiganya yaitu
hanya sebesar 0,07. Hal ini dikarenakan hanya terdapat dua titik dari empat
stasiun yang diamati yang memiliki penutupan karang mati yaitu di bagian barat
pulau pada kedalaman 7 m dan di bagian utara pulau dengan kedalaman 3 m yang
menyebabkan nilai rata-rata IMK di pulau tersebut menjadi kecil. Walaupun
demikian, di perairan P. Burung ditemukan bintang laut mahkota duri
(Acanthaster planci), tepatnya di bagian timur. Meskipun hanya ditemukan satu
ekor, tetapi hal tersebut merupakan pertanda bahwa terdapat predator karang yang
dapat mengancaman ekosistem terumbu karang di tempat tersebut. Ancaman
tersebut mungkin saja membesar, karena tidak ditemukannya predator utama
Acanthaster planci tersebut yaitu sejenis gastropoda yang sering disebut “triton
trumpet” (Charonia tritonis) waktu pengamatan dilakukan. Selain daripada itu,
menurut keterangan penduduk setempat pada waktu musim angin kencang
(musim barat) banyak nelayan dari luar (khususnya P. Raas) yang berlindung di
tempat tersebut sampai berbulan-bulan, dan untuk makan mereka biasanya
mengambil keong-keong yang ada di tempat tersebut untuk dijadikan lauk pauk,
mungkin salah satunya triton trumpet tersebut.
Persen penutupan karang hidup di P. Burung secara umum lebih baik
daripada P. Kera dan P. Lutung, tetapi berdasarkan kriteria Bakosurtanal tahun
1996, rata-rata penutupan karang hidup di tempat tersebut termasuk dalam kriteria
S3 atau sesuai marginal dan menurut kriteria Deparpostel tahun 1990, memiliki
skor 3. Sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan persen penutupan karang
hidupnya, ekosistem terumbu karang di P. Burung kurang sesuai untuk dijadikan
objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam, walaupun terdapat satu stasiun
yang memiliki persen penutupan karang hidup yang termasuk ke dalam kelas S2
atau sesuai dan skor 3 yaitu di bagian selatan dan barat P. Burung yang memiliki
potensi untuk dijadikan objek wisata bahari untuk snorkeling dan selam.
49

4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang


4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera
Ekosistem Terumbu Karang di P. Kera terdiri dari 15 genus karang dan 7
tipe pertumbuhan di bagian barat, 9 genus dan 5 tipe pertumbuhan di bagian
timur, 15 genus dan 8 tipe pertumbuhan di bagian utara, dan 14 genus dan 6 tipe
pertumbuhan di bagian selatan pulau. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
terdapat 22 genus karang dengan 8 tipe pertumbuhan di P. Kera (Lampiran 5.1).
Jumlah genus dan bentuk pertumbuhan ditemukan paling sedikit di sebelah timur
(Gambar 4). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh faktor kedalaman, walaupun
kedalaman perairan saat dilakukan pengamatan di P. Kera yang terdapat terumbu
karang bisa dikatakan dangkal yaitu hanya sampai kedalaman 3 meter, kedalaman
perairan yang paling dangkal saat melakukan pengamatan yaitu di sebelah timur.
Mungkin hal ini yang mempengaruhi kurang beragamnya jenis dan bentuk
pertumbuhan terumbu karang di tempat tersebut walaupun persen penutupan
karang hidupnya tergolong sedang.
Jumlah tipe pertumbuhan karang yang terdapat di perairan P. Kera dapat
dikatakan beragam dan termasuk ke dalam kelas S2 atau cukup sesuai. bila
ditinjau dari jumlah tipe pertumbuhan karangnya saja, maka dapat dikatakan
ekosistem terumbu karang di tempat tersebut memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi objek wisata bahari. Hanya saja, dengan kondisi perairan
yang dangkal dan persen penutupan karang yang bisa dibilang rendah, aktivitas
wisata yang dapat dilakukan lebih cocok untuk snorkeling. Selain daripada itu,
bisa juga untuk tujuan pendidikan bagi siswa-siswa sekolah untuk belajar
mengenai biota-biota yang terdapat di terumbu karang.

4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung


Ekosistem terumbu karang di P. Lutung ditemukan 23 genus dan 9 tipe
pertumbuhan (Lampiran 5.2). Genus karang paling banyak ditemukan di bagian
barat P. Lutung (Gambar 5), hal ini dikarenakan pengamatan dilakukan pada 2
titik dengan kedalaman berbeda yaitu 4 meter dan 2 meter, sehingga
memungkinkan ditemukan lebih banyak jenis karang dan bentuk
pertumbuhannya. Di bagian timur ditemukan jumlah genus dan bentuk
50

pertumbuhan yang paling sedikit dari keempat stasiun yang diamati, walaupun
pengamatan dilakukan pada kedalaman 3 meter. Hal ini dikarenakan tingginya
penutupan makro alga di tempat tersebut, sehingga membatasi tempat dan ruang
untuk pertumbuhan terumbu karang serta substrat dasar yang berupa pasir putih
halus kurang sesuai sebagai tempat penempelan larva karang dan tumbuhnya
karang baru. Akibatnya, persen penutupan karang menjadi kecil dan jenis karang
yang dapat tumbuh hanya sedikit serta bentuk pertumbuhannya pun kurang
bervariasi.
Jumlah bentuk pertumbuhan karang di perairan P. Lutung lebih banyak
dibandingkan di P. Kera, tetapi jumlah tersebut juga masih termasuk dalam kelas
S2 atau cukup sesuai. Hal tersebut juga berarti bahwa bila ditinjau dari jumlah
bentuk pertumbuhan karangnya saja, perairan P. Lutung bisa dikatakan sesuai atau
memiliki potensi untuk dijadikan objek wisata bahari. Tetapi, sama seperti kondisi
di P. Kera, dengan kedalaman perairan yang dangkal dan persen penutupan
karang hidup yang tergolong rendah, maka di lokasi tersebut lebih cocok untuk
aktivitas snorkeling dan tujuan pendidikan.

4.2.2.3. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Burung


Genus dan bentuk pertumbuhan karang paling banyak ditemukan di bagian
barat P. Burung yaitu sebanyak 25 genus dengan 9 bentuk pertumbuhan (Gambar
6). Hal ini dikarenakan pengamatan di tempat tersebut dilakukan pada reef slope
dengan dua kedalaman yaitu pada kedalaman 7 meter dan 3 meter sehingga
memungkinkan untuk ditemukan lebih banyak jenis karang dan bentuk
pertumbuhannya karena pengamatan dilakukan pada dua kedalaman. Menurut
Tomascik et al. 1997, secara umum reef slope dianggap sebagai zona yang paling
beragam dari karang dalam hal keragaman spesies dan bentuk pertumbuhan.
Sedangkan daerah yang paling sedikit ditemukan jumlah genus dan bentuk
pertumbuhan yaitu di bagian timur pulau dengan jumlah genus dan bentuk
pertumbuhan sebanyak 11 genus dan 7 bentuk pertumbuhan (Lampiran 5.3).
Bentuk pertumbuhan karang hidup di perairan P. Burung terdapat 11 tipe
dan termasuk ke dalam kelas S1 atau sangat sesuai, ditambah dengan penutupan
karang hidup yang lebih baik dari P. Kera dan P. Lutung serta terdapatnya
51

terumbu karang dari kedalaman 2 sampai 7 meter dengan kondisi yang sedang
sampai baik, sehingga perairan P. Burung dapat dikatakan cukup sesuai untuk
dijadikan objek wisata bahari untuk kegiatan snorkeling, dan selam serta tujuan
pendidikan.

4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang


4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera
Komunitas ikan karang di perairan P. Kera terdiri dari 456 individu ikan
dari 14 famili dan 53 spesies. Adapun famili-famili ikan yang ditemukan adalah
Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, Haemulidae, Serranidae, Chaetodontidae,
Pomacanthidae, Lutjanidae, Bleniidae, Nemipteridae, Monacanthidae, Scaridae,
Siganidae dan Mullidae. Secara lengkap jenis-jenis ikan karang beserta
kelimpahannya yang terdapat di P. Kera disajikan di Lampiran 6.1.

Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)
serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di
P. Kera
∑ ∑ ∑
Lokasi Kedalaman H' E C
Famili Species Individu
Barat 3m 7 22 100 2,34 0,77 0,19
Timur 1,5m 12 26 119 2,82 0,87 0,08
Utara 3m 11 33 137 2,72 0,78 0,11
Selatan 2m 12 30 100 3,02 0,89 0,07

Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) paling tinggi serta
indeks dominansi (C) paling rendah terdapat di Selatan P. Kera dibandingkan
dengan dengan stasiun pengamatan yang lain. Hal ini berarti terdapat jenis ikan
lebih beragam dengan jumlah nilai kepentingan untuk tiap spesies/ni (jumlah
individu, biomas, produksi dsb) yang hampir merata untuk tiap spesies ikan
sehingga menyebabkan rendahnya nilai C dan tidak ada satu atau beberapa spesies
yang mendominansi di komunitas ikan karang di daerah tersebut (Tabel 13).
Jumlah spesies ikan karang di perairan P. Kera termasuk dalam kelas S3
atau sesuai marginal menurut kriteria Bakosurtanal 1996, memiliki skor 3
berdasar kriteria Deparpostel 1990 dan dapat dikatakan keragamannya sedang.
52

Sehingga bisa disimpulkan perairan P. Kera kurang sesuai untuk dijadikan objek
wisata bahari bila dilihat dari jumlah spesies ikan yang ditemukan saja.

4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung


Kondisi komunitas ikan karang di perairan P. Lutung ditemukan 626
individu ikan yang terdiri dari 69 spesies dan 16 famili. Adapun famili-famili ikan
yang ditemukan adalah Labridae, Pomacentridae, Chaetodontidae,
Pomacanthidae, Serranidae, Nemipteridae, Apogonidae, Haemulidae, Lutjanidae,
Siganidae, Bleniidae, Caesionidae, Kyphosidae, Mullidae, Scaridae dan
Lethrinidae. Secara lengkap jenis-jenis ikan karang yang terdapat di perairan
Pulau Lutung beserta kelimpahannya disajikan di Lampiran 6.2.
Nilai H’ terendah dan C tertinggi terdapat di sebelah timur P. Lutung.
Selain dari pada itu di tempat tersebut ditemukan jumlah famili, spesies dan
individu paling rendah dari keempat stasiun yang diamati (Tabel 14). Hal tersebut
dikarenakan habitat di tempat tersebut di dominasi oleh oleh makro alga dengan
penutupan karang batu yang sangat kecil (Gambar 5). Kondisi tersebut
mengakibatkan sedikitnya jenis dan jumlah ikan karang yang menempati habitat
tersebut karena kurang tersedianya tempat untuk berlindung bagi ikan-ikan karang
dan hanya menyediakan jenis makanan yang melimpah bagi ikan-ikan herbivor,
sehingga menyebabkan jenis-jenis ikan tersebut saja yang menempati daerah
tersebut yang berakibat kurang beragamnya jenis ikan karang di tempat tersebut.

Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)
serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di
P. Lutung
∑ ∑ ∑
Lokasi Kedalaman H' E C
Famili Species Individu
Barat 4m 8 31 115 2,84 0,83 0,09
2m 8 34 103 3,14 0,89 0,06
Timur 3m 7 15 48 2,23 0,82 0,15
Utara 3m 10 33 139 2,98 0,60 0,08
Selatan 2m 12 40 221 3,24 0,88 0,05

Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan P. Lutung


walaupun lebih banyak dibanding P. Kera, tetapi juga termasuk ke dalam kelas S3
atau sesuai marginal menurut kriteria Bakosurtanal (1996) dan memiliki skor 3
53

sesuai kriteria Deparpostel (1990). Berdasarkan dua kriteria di atas, maka dapat
dikatakan bahwa perairan P. Lutung kurang sesuai untuk dijadikan objek wisata
bahari bila hanya dilihat jumlah spesies ikan karang yang ditemukan.

4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung


Komunitas ikan karang di P. Burung terdiri dari 1461 individu ikan dari 19
famili dan 85 spesies. Adapun famili-famili ikan yang ditemukan adalah Labridae,
Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Serranidae, Nemipteridae,
Apogonidae, Haemulidae, Lutjanidae, Siganidae, Bleniidae, Caesionidae,
Scaridae, Sphyraenidae, Monacanthidae (Lampiran 6.3).
Indeks keseragaman terendah terdapat di barat P. Burung pada kedalaman
3 m, hal ini dikarenakan adanya beberapa jenis ikan memiliki jumlah individu
yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang lain, sehingga menurunkan
nilai keseragaman. Dari nilai indeks dominansi (C) terlihat bahwa dibandingkan
dengan stasiun pengamatan yang lain, bagian barat pulau memiliki nilai yang
paling tinggi yaitu sebesar 0,28 yang berarti di tempat tersebut terdapat dominansi
lebih besar dibanding stasiun yang lain (Tabel 15).

Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)
serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di
P. Burung
∑ ∑ ∑
Lokasi Kedalaman H' E C
Famili Species Individu
Barat 3m 10 28 188 2,37 0,71 0,20
7m 19 39 665 2,01 0,55 0,28
Timur 3m 8 26 139 2,30 0,71 0,18
Utara 3m 12 40 150 3,15 0,85 0,07
Selatan 2m 11 42 315 3,02 0,81 0,08

Perairan P. Burung bila dilihat dari jumlah spesies ikan karang yang
ditemukan termasuk ke dalam kelas S2 atau cukup sesuai (Bakosurtanal 1996)
dan skor 3 (Deparpostel 1990 dalam Bakosurtanal 1996) atau dapat dikatakan
lebih sesuai untuk dijadikan objek wisata bahari bila hanya ditinjau dari jumlah
spesies ikan karang yang ditemukan dibandingkan P. Kera dan P. Lutung. Hal
tersebut menunjukkan bahwa di perairan P. Burung terdapat potensi untuk
54

dikembangkan menjadi suatu objek wisata bahari baik untuk snorkeling, selam
dan kegiatan lainnya.

4.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan


Data beberapa parameter fisika dan kimia perairan merupakan hasil olahan
data primer berdasarkan hasil pengukuran langsung dilapangan. Data primer fisika
dan kimia perairan hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada lampiran 6
untuk masing-masing pulau. Adapun parameter fisika yang diukur yaitu
kecerahan, kecepatan arus, suhu dan kekeruhan (turbidity), sedangkan parameter
kimia perairan yang diukur yaitu oksigen terlarut (DO), pH dan salinitas. Data
hasil pengukuran tersebut akan dibandingkan dengan “Baku Mutu Air Laut Untuk
Wisata Bahari dan Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut” berdasarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004 untuk mengetahui
kesesuaian perairan tersebut menjadi objek wisata bahari dan sebagai tempat
hidup biota laut secara umum.

4.3.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Kera


Parameter fisika dan kimia perairan di P. Kera (Lampiran 7.1) berdasarkan
baku mutu air laut untuk wisata bahari menurut KepMen LH no.51 tahun 2004,
dapat dikatakan memenuhi kriteria tersebut. Tetapi bila kita bandingkan dengan
baku mutu air laut untuk biota laut, maka terdapat satu parameter kimia yang tidak
memenuhi kriteria tersebut, yaitu salinitas. Salinitas rata-rata di perairan P. Kera
yaitu 32 ‰, adapun menurut baku mutu air laut untuk karang yaitu 33 - 34 ‰,
akan tetapi diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5 % salinitas rata-
rata musiman. Kondisi salinitas tersebut mungkin turut menyebabkan rendahnya
perentase penutupan karang hidup di perairan P. Kera tersebut. Menurut Kinsman
(1964) dalam Supriharyono (2000) binatang karang hidup subur pada kisaran
salinitas 34 - 36 ‰. Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang
karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau
pengaruh alam seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai
17,5 – 52,5 ‰ (Vaughan 1919 dan Wells 1932 dalam Supriharyono 2000).
55

4.4.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Lutung


Perairan di P. Lutung dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika dan
kimia yang di lapangan (Lampiran 7.2) dapat dikatakan memenuhi kriteria untuk
menjadi kawasan wisata bahari berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004.
Hanya saja, seperti kondisi perairan di P. Kera, salinitas di periaran P. Lutung
yang nilainya 31,6 ‰, lebih rendah dari persyaratan baku mutu air laut untuk
biota laut. Berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 untuk karang yaitu 33 – 34
‰. Namun Menurut Dahuri 2003, umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik
di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30 – 35 ‰, yang berarti perairan P.
Lutung dapat dikatakan memenuhi kriteria sebagai tempat hidup biota laut secara
umum.

4.4.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Burung


Parameter fisika dan kimia perairan P. Burung dari hasil pengukuran di
lapangan (Lampiran 7.3) bila dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk
wisata bahari dan biota laut berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004, sama
seperti kedua pulau lainnya, salinitasnya lebih rendah (31,4 ‰) dari standar yang
ditentukan. Namun kondisi tersebut masih memenuhi persyaratan untuk hidupnya
terumbu karang yaitu 30 – 35 ‰ (Dahuri 2003). Selain daripada itu, parameter
lain yang tidak memenuhi standar baku mutu tersebut adalah kekeruhan perairan.
Berdasarkan baku mutu, seharusnya kekeruhan < 5 ntu. Namun dari hasil
pengukuran di lapangan, rata-rata kekeruhan di perairan P. Burung adalah 8,2 ntu.
Bila kita perhatikan, terdapat perbedaan rata-rata salinitas antara tiga pulau yang
diamati. Urutan salinitas dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah yaitu
perairan P. Lutung, P. Kera dan P. Burung. Salinitas yang lebih rendah dari baku
mutu air laut dan berbeda dari tiap pulau ini disebabkan oleh bermuaranya sebuah
sungai di daerah pesisir Tanjung Binga. Bila diurut letak pulau tersebut
berdasarkan jaraknya dari daratan utama, maka pulau yang paling dekat dengan
daratan utama yaitu P. Burung, yang ke-2 P. Kera dan yang paling jauh adalah P.
Lutung. Oleh karena itu salinitas di perairan P. Burung paling rendah karena
letaknya yang paling dekat dengan daratan utama karena mendapat pengaruh
paling besar dari masukan air tawar dari sungai yang bermuara tersebut yang
56

dapat menurunkan salinitas air laut disekitarnya. P. Burung memiliki kekeruhan


yang paling besar diantara ketiga pulau tersebut, karena aliran sungai yang
bermuara di pantai Tanjung Binga tersebut turut membawa partikel-partikel yang
terlarut dan tersuspensi yang terbawa selama perjalanannya dari hulu ke muara.
Akibatnya partikel-partikel yang terbawa tersebut dapat meningkatkan kekeruhan
perairan di muara sungai dan menurunkan tingkat kecerahan perairan tersebut. P.
Kera dan P. Lutung juga mendapat pengaruh dari sungai tersebut, tetapi tidak
sebesar pengaruh yang terjadi di perairan P. Burung.

4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari


Parameter-parameter yang dikaji untuk menentukan kesesuaian suatu
kawasan menjadi kawasan wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996) yaitu
kecerahan perairan, tutupan terumbu karang, jumlah bentuk pertumbuhan karang,
jumlah spesies ikan karang, kedalaman dasar laut, kecepatan arus perairan
tersebut (Tabel 16). Aktivitas pariwisata bahari yang dimaksud yaitu selam dan
snorkeling. Bobot dan skor diberikan pada masing-masing parameter berdasarkan
tingkat kepentingan atau pengaruhnya terhadap kegiatan pariwisata bahari
tersebut.

Tabel 16. Nilai kesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk wisata bahari
Nilai Kesesuaian
No Parameter
P. Kera P. Lutung P. Burung
1 Kecerahan Perairan (m) 200 200 200
2 Tutupan Terumbu Karang (%) 96 96 96
3 Lifeform Karang 112 112 128
4 Jumlah Ikan (spesies) 96 96 112
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 72 72 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 84 84 84
Jumlah 660 660 692
Kelas Kesesuaian S2 S2 S2

4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari


P. Kera dengan luas wilayah 0,60 Ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung
1994) memiliki skor total 660 yang berarti perairan P. Kera cukup sesuai untuk
menjadi kawasan wisata bahari. Terdapat 2 parameter yang termasuk ke dalam
kelas S1 atau sangat sesuai yaitu jumlah kecerahan perairan dan kecepatan arus
57

yang mendukung daerah ini untuk menjadi kawasan wisata bahari. Faktor yang
mungkin untuk diperbaiki untuk meningkatkan status perairan tersebut agar sesuai
untuk dijadikan kawasan wisata bahari adalah tutupan terumbu karang dan jumlah
spesies ikan karang yang terdapat di perairan tersebut sehingga terasa kurang
menarik bagi penyelam - penyelam yang berpengalaman dan wisatawan yang
mengerti akan keindahan alam bawah laut. P. Kera memiliki batas-batas yang
serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan bila pulau
tersebut akan dijadikan kawasan wisata bahari. Batasan permanen yang terdapat
di perairan P. Kera yaitu berhubungan dengan kedalaman perairan. Dangkalnya
perairan di pulau tersebut cocok untuk penyelam-penyelam pemula, tetapi kurang
memberi tantangan kepada penyelam-penyelam yang sudah berpengalaman.
Kegiatan wisata bahari yang mungkin dilakukan di perairan P. Kera yaitu
snorkeling, karena keterbatasan berupa kedalaman yang dangkal serta kondisi
ekosistem terumbu karang yang kurang bagus, sehingga kurang sesuai untuk
menyelam di wilayah tersebut. Kegiatan lain yang mungkin dilakukan adalah
yang berhubungan dengan pendidikan, seperti observasi lapang bagi siswa - siswi
sekolah untuk mengenal biata-biota laut secara langsung di lapangan.
Bila penilaian kesesuaian untuk wisata bahari kita lakukan di keempat titik
pengamatan, maka akan didapatkan nilai kesesuaian di sebelah barat sebesar 516,
di timur sebesar 520, di utara sebesar 596 dan di selatan sebesar 516 (Lampiran
8.1). Dari hasil penilaian di atas, dapat diketahui bahwa daerah yang memiliki
nilai kesesuaian paling tinggi yaitu di sebelah Utara P. Kera. Tingginya nilai
kesesuaian daerah Utara P. Kera tersebut dikarenakan penutupan karang batu
hidup yang paling tinggi dan penutupan karang mati lebih rendah di antara
stasiun-stasiun pengamatan yang lain. Selain daripada itu, jumlah spesies dan
kelimpahan ikan karang juga paling tinggi ditemukan di tempat tersebut.
Ditemukannya 15 Genus karang dengan bentuk pertumbuhan yang lebih banyak
dibanding stasiun pengamatan yang lain dan persen penutupan biota bentik lain
(Others/OT) di tempat tersebut merupakan penambah daya tarik bagi wisatawan
yang akan bersnorkeling di wilayah tersebut. Dari kondisi yang telah dipaparkan
di atas, wajar adanya bila wilayah utara dijadikan daerah unggulan atau tujuan
58

utama objek wisata bahari bagi wisatawan yang ingin melakukan kegiatan
snorkeling di P. Kera.

4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari


P. Lutung mempunyai luasan wilayah sebesar 0,50 Ha (BAPPEDA Kab.
Belitung 1994). Analisis kesesuaian untuk pariwisata bahari di P. Lutung
didapatkan nilai total 660 yang berarti perairan P. Lutung memiliki status cukup
sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. Dengan persen penutupan karang
dan jumlah spesies ikan karang yang memiliki kelas yang sama dengan perairan
P. Kera, maka dapat dikatakan parameter tersebut yang mungkin dirubah agar
daerah ini sesuai untuk dijadikan kawasan wisata bahari. P. Lutung memiliki
batas-batas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus
diterapkan bila pulau tersebut akan dijadikan kawasan wisata bahari. Sama seperti
P. Kera, batasan permanen yang terdapat di perairan P. Lutung yaitu kedalaman
perairan, kecuali di bagian barat pulau (4 m). Maka kegiatan wisata bahari yang
mungkin dilakukan ditempat tersebut yaitu snorkeling dan selam.
Nilai kesesuaian keempat stasiun pengamatan untuk dijadikan objek
wisata bahari di P. Lutung yaitu di sebelah barat sebesar 660, di timur sebesar
532, di utara sebesar 596 dan di selatan sebesar 612 (Lampiran 8.2). Dari
penilaian keempat stasiun di atas, terlihat bahwa kesesuain tertinggi terdapat di
sebelah Barat P. Lutung. Tingginya nilai kesesuaian di tempat tersebut antara lain
dikarenakan tutupan karang batu hidup yang tergolong sedang dan ditemukannya
jumlah spesies ikan karang yang paling banyak diantara stasiun - stasiun yang
lain. Ditemukannya persen penutupan karang lunak yang lebih tinggi, penutupan
karang mati yang paling rendah dan jumlah genus karang paling banyak
dibanding stasiun yang lain serta terdapatnya terumbu karang sampai kedalaman 4
m memungkinkann lokasi tersebut dijadikan sebagai daerah tujuan utama bagi
wisatawan yang ingin melakukan kegiatan menyelam di P. Lutung. Selain sebelah
barat, masih terdapat satu lokasi lagi yang tidak kalah menarik bila kita berwisata
bahari ke P. Lutung, yaitu di sisi selatannya. Persen penutupan karang batu hidup
yang lebih tinggi dibanding daerah barat dan tergolong dalam kondisi baik,
penutupan abiotik yang lebih rendah dan junlah bentuk pertumbuhan karang yang
59

lebih beragam dibandingkan sisi barat, sehingga sebaiknya tidak melewatkan


daerah ini bila kita berwisata bahari ke P. Lutung. Perairan yang dangkal di sisi
selatan tersebut yaitu hanya sampai 2 m menyebabkan aktivitas yang bisa
dilakukan hanya snorkeling saja. Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa sisi Barat
dan Selatan P. Lutung merupakan daerah andalan atau tujuan utama bila berwisata
ke P. Lutung.

4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari


Hasil analisis data beberapa parameter berdasarkan Bakosurtanal (1996)
untuk mengetahui kesesuaian suatu daerah untuk kegiatan pariwisata bahari, maka
didapatkan nilai 692, yang berarti perairan P. Burung sesuai untuk dijadikan
kawasan wisata bahari. Selain memiliki 3 parameter yang memiliki kriteria S1
yaitu kecerahan perairan, jumlah bentuk pertumbuhan karang dan kecepatan arus,
P. Burung juga memiliki jumlah spesies ikan karang yang termasuk dalam
kategori S2 atau sesuai. Hal ini mungkin dikarenakan perairan P. Burung
memiliki persen penutupan karang yang paling tinggi diantara ketiga pulau yang
diamati, sehingga memungkinkan lebih banyak jenis ikan karang yang berasosiasi
(Lowe-McConnel 1987). Walaupun perairan P. Burung yang memiliki luas
daratan sebesar 0,80 Ha (BAPPEDA Kabupaten Belitung 1994) tersebut memiliki
kondisi sedang dan termasuk ke dalam kriteria sesuai untuk dijadikan kawasan
wisata bahari, namun kondisi tersebut masih dapat ditingkatkan menjadi sangat
sesuai dengan memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang di tempat tersebut.
P. Burung memiliki batas-batas yang agak serius untuk dikembangkan menjadi
kawasan wisata bahari yang masih terdapatnya daerah dengan kondisi terumbu
karang yang kurang bagus dan mendekati kondisi jelek. Usaha yang diberikan
terhadap pulau tersebut akan meningkatkan kelas kesesuaian dan mengurangi
batas-batas tersebut.
Kondisi perairan P. Burung yang tidak memiliki batasan yang serius untuk
dikembangkan menjadi objek wisata bahari, memungkinkan dilakukannya
aktivitas snorkeling dan selam di tempat tersebut. Kedalaman perairan yang
terdapat terumbu karang yang bervariasi dengan kondisi ekosistem terumbu
karang yang bervariasi pula memungkinkan dilakukannya diversifikasi kegiatan
60

wisata di daerah tersebut. Semisal di bagian barat yang memiliki terumbu karang
sampai kedalaman 7 m diperuntukkan bagi penyelam yang sudah berpengalaman
saja dan di tempat yang lain diperuntukkan bagi penyelam-penyelam pemula atau
untuk kegiatan snorkeling dan berenang. Terdapatnya terumbu karang dengan
kondisi baik di bagian selatan sampai kedalaman 2 m, memungkinkan lokasi
tersebut menjadi tempat untuk observasi lapang bagi siswa-siswa sekolah untuk
mengenal langsung biota-biota laut yang hidup di terumbu karang.
Nilai kesesuaian di keempat titik pengamatan di P. Burung yaitu, di
sebelah barat sebesar 656, di timur sebesar 580, di utara sebesar 580 dan di selatan
sebesar 676 (Lampiran 8.3). Nilai kesesuaian terbesar terdapat di selatan pulau,
hal ini dikarenakan penutupan karang batu hidup yang tergolong baik, tidak
adanya penutupan karang mati dan jumlah spesies ikan karang yang cukup
beragam di antara stasiun pengamatan yang lain. Namun keterbatasan kedalaman
perairan yang hanya 2 m mengakibatkan kegiatan wisata bahari yang bisa
dilakukan di lokasi tersebut hanya snorkeling saja. Selain aktivitas snorkeling, di
perairan P. Burung juga bisa dilakukan aktivitas menyelam yaitu di bagian Barat
Pulau, karena terumbu karang di lokasi tersebut terdapat sampai kedalaman 7 m.
Selain dari pada itu, persen penutupan karang batu hidup yang tergolong baik,
ditemukannya jumlah spesies ikan karang paling banyak di antara stasiun
pengamatan yang lain menjadikan lokasi tersebut sebagai objek wisata yang
menarik untuk kegiatan menyelam. Sehingga bisa dikatakan terdapat 2 lokasi di P.
Burung yang bisa menjadi daerah tujuan utama aktivitas snorkeling, yaitu di
bagian barat dan selatan pulau. Lokasi yang paling mungkin untuk dijadikan
daerah tujuan utama untuk aktivitas selam yaitu di sebelah Barat P. Burung.

4.5. Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari


4.5.1 Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera
Kegiatan wisata bahari yang sesuai untuk dilakukan di P. Kera yaitu
snorkeling. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah keberadaan
terumbu karang yang hanya terdapat sampai kedalaman ± 3 m dan dangkalnya
perairan. Selain daripada hal tersebut, penutupan karang hidup yang termasuk
kriteria cukup sesuai, jumlah genus dan bentuk pertumbuhan karang termasuk
61

kategori cukup sesuai, jumlah jenis dan kelimpahan ikan karang yang tergolong
sesuai marginal menyebabkan hasil penilaian matriks kesesuaian wisata bahari
untuk P. Kera hanya termasuk ke dalam kriteria cukup sesuai. Kondisi perairan
baik biotik maupun abiotik di P. Kera yang hampir sama menyebabkan aktivitas
wisata bahari yang dapat di lakukan di P. Kera berdasarkan keempat titik
pengamatan (utara, selatan, barat dan timur) yaitu snorkeling (Gambar 7).

4.5.2 Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung


Kondisi perairan yang beragam bila dilihat dari faktor biotik (penutupan
karang hidup) di keempat titik pengamatan (utara, selatan, barat dan timur),
merupakan daya tarik wisatawan untuk dapat melakukan snorkeling dan selam di
perairan P. Lutung (Gambar 7). Di sebelah utara, terumbu karang ditemukan
hanya sampai kedalaman ± 3 m menyebabkan aktivitas yang mungkin di lakukan
di daerah tersebut adalah snorkeling. Di selatan pulau terdapat terumbu karang
dengan kondisi baik (50,70 %), tetapi hanya sampai kedalaman ± 2 m, sehingga
aktivitas yang mungkin di lakukan di daerah tersebut yaitu snorkeling. Di barat
pulau, terumbu karang ditemukan sampai kedalaman ± 4 m, yang memungkinkan
untuk dilakukannya snorkeling dan selam di daerah tersebut. Di timur pulau,
karang batu ditemukan sampai kedalaman ± 3 m dengan persen penutupan buruk,
terdapat makro alga dan substrat berupa pasir putih yang kurang menarik.

4.5.3. Titik-titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung


Kegiatan wisata bahari yang mungkin dilakukan di P. Burung yaitu
snorkeling dan selam. Snorkeling dapat dilakukan di utara, selatan, barat dan
timur pulau, karena di tempat tersebut terdapat terumbu karang di perairan yang
relatif dangkal. Aktivitas selam dapat dilakukan di barat pulau, karena terumbu
karang ditemukan sampai kedalaman ± 7 m.
62
63

4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-instansi Pemerintah Terkait


4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga
Hasil wawancara dan kuisioner terhadap 37 responden yang merupakan
penduduk Desa Tanjung Binga, 100 % mengatakan setuju kalau seandainya P.
Kera, P. Lutung dan P. Burung nantinya dikembangkan menjadi kawasan wisata
bahari. Dari keseluruhan masyarakat yang diwawancarai berpendapat bila
nantinya kawasan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung dikembangkan menjadi suatu
objek wisata maka akan berdampak posistif terhadap masyarakat yang tinggal di
sekitar pulau tersebut. Dampak posistif yang diharapkan oleh masyarakat tersebut
adalah adanya peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil
penyediaan jasa kepada pengunjung, selain itu akan terbuka lapangan kerja baru
bagi penduduk setempat. Dengan dibangunnya sarana dan prasarana untuk
mendukung kegiatan wisata tersebut desa mereka akan menjadi lebih bagus,
dengan banyaknya pengunjung yang datang maka desa mereka akan menjadi
ramai dan dagangan di toko/warung akan lebih laris sehingga akan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Walaupun begitu, mereka mengharapkan pengembangan
tersebut tidak mengganggu aktivitas masyarakat setempat seperti mengganggu
tempat parkir perahu nelayan, menggusur tempat penjemuran ikan (parak)
penduduk setempat. Khususnya P. Burung, biasanya selalu dikunjungi tiap
minggu, namun paling ramai pada saat libur sekolah dan saat lebaran.
Masyarakat setempat memberikan keterangaan pada kuisioner yang
diajukan bahwa sejauh ini pemanfaatan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung oleh
pengunjung yang bukan dari mayarakat setempat adalah sebagai tempat rekreasi
yaitu bersantai-santai di pulau bersama teman atau keluarga, berenang di laut dan
memancing. Sedangkan pemanfaatan oleh masyarakat setempat yaitu sebagai
tempat memancing setiap hari, mencari kerang pada saat musim angin kencang
dan gelombang besar serta mengambil daun pohon kelapa sebulan sekali untuk
membakar bagian bawah kapal mereka agar tidak ditempeli teritip.
64

4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan


Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung.
Wawancara dilakukan terhadap 5 instansi Pemerintahan yang dianggap
berkaitan dan berkepentingan untuk mengembangkan P. Kera, P. Lutung dan P.
Burung yang terdapat di Desa Tnajung Binga tersebut. Adapun instansi-instansi
yang diwawancarai adalah Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung,
BAPPEDA Kab. Belitung, Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kab. Belitung,
Kecamatan Sijuk dan Pemerintahan Desa Tanjung Binga. Adapun hasil
wawancara dari masing-masing instansi tersebut adalah sebagai berikut :

4.6.2.1. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung


Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung menyatakan bahwa
belum ada pihak yang mengelola P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk
dikembangkan. Sampai saat ini pun, Belum ada keterlibatan dari Dinas Perikanan
dan Kelautan tersebut untuk mengembangkan ketiga pulau tersebut dan
perairannya. Hal ini dikarenakan belum adanya rencana pengembangan ketiga
pulau tersebut dari instansi ini.

4.6.2.2 BAPPEDA Kabupaten Belitung


BAPPEDA Kabupaten Belitung menyatakan bahwa sampai saat ini belum
ada keterlibatan langsung maupun tidak langsung instansi tersebut untuk
mengembangkan ketiga pulau tersebut dan perairannya. Sedangkan konsep,
rencana, visi dan misi pihak BAPPEDA untuk mengembangkan P. Kera, P.
Lutung dan P. Burung adalah sesuai dengan tata ruang Kabupaten Belitung, yaitu
daerah tersebut merupakan kawasan wisata.

4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung


Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung mengatakan
bahwa kapasitas dinas tersebut hanya sebatas pembina bagi pihak pengembang
atau pengelola. Karena sampai saat ini belum ada pihak yang mau
mengembangkan dan mengelola daerah tersebut khususnya pada perairan di
ketiga pulau tersebut, maka sejauh ini dinas belum terlibat langsung untuk
65

pengembangan, tetapi hanya melakukan pendataan. Adapun konsep, rencana


pengembangan, visi dan misi dinas tersebut untuk menjadikan P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung adalah menjadi daerah wisata bahari dan masuk ke dalam kawasan
pariwisata.

4.6.2.4. Kecamatan Sijuk


Kecamatan Sijuk yang diwakili oleh Bapak Camat menyatakan bahwa
sejauh ini kurang ada keterlibatan pihak kecamatan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam pengembangan dan pengelolaan P. Kera, P. Lutung dan P.
Burung. Konsep dan rencana pengembangan kecamatan terhadap ketiga pulau
tersebut dan perairannya yaitu untuk dijadikan tempat rekreasi, penyelaman,
renang dan memancing. Harapan dari pihak kecamatan terhadap pengembangan
ketiga pulau tersebut yaitu agar dijadikan kawasan wisata bahari khususnya untuk
selam dan memancing, sehingga dengan dikembangkannya daerah tersebut
menjadi objek wisata maka akan memberikan dampak positif secara ekonomis
dan sosial kepada masyarakat sekitar.

4.6.2.5. Pemerintahan Desa Tanjung Binga


Pemerintahan Desa yang diwakili oleh Bapak Kepala Desa Tanjung Binga
menyatakan bahwa seharusnya instansi yang mengembangkan dan mengelola P.
Burung, P. Kera dan P. Lutung adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung,
sedangkan keterlibatan pemerintah desa hanya sebagai pemandu kegiatan
tersebut. Pada saat ini, ketiga pulau tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
hanya sebatas mengeksploitasi langsung sumberdaya hayati yang terdapat di
kawasan tersebut seperti ikan, kerang dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
pulau tersebut. Sedangkan sektor swasta belum mengambil bagian dalam
pemanfaatan atau pengembangan dan pengelolaan di ketiga pulau tersebut dan
perairannya. Adapun harapan dari Pemerintahan Desa Tanjung Binga yaitu agar
perairan di P. Burung, P. Kera dan P. Lutung dikembangkan menjadi kawasan
wisata bahari, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung bisa
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar pulau tersebut.
66

4.7. Manajemen Pengelolaan Pulau


Modal utama untuk menarik wisatawan agar datang berkunjung ke suatu
objek wisata alam adalah keindahan dan keaslian kondisi alam di lokasi objek
wisata tersebut. Manajemen komprehensif atau manajemen multi tujuan dari
sumberdaya laut adalah konsep baru dalam merespon untuk merubah hubungan
antara manusia dan lingkungan laut (Kenchington 1988). Bila kita berbicara
tentang wisata bahari khususnya untuk kegiatan snorkeling dan selam, maka
tantangan terbesar dalam mengelola suatu objek wisata bahari adalah bagaimana
menjaga kondisi perairan dan ekosistem terumbu karang agar tidak terdegradasi
sedangkan yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki tingkah laku dan
keinginan yang berbeda-beda. Selain daripada itu, kondisi daratan dan masyarakat
sekitar lokasi objek wisata juga harus menjadi perhatian karena segala aktivitas di
daratan dan di laut akan turut mempengaruhi kondisi perairan khususnya
ekosistem terumbu karang yang menjadi modal utama untuk menarik wisatawan.
Bila perairan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung dikembangkan menjadi daerah
tujuan wisata bahari, maka daerah tersebut akan bertambah banyak aktivitas
dengan tujuannya masing - masing di tempat tersebut, maka sebaiknya daerah
tersebut diatur dengan manajemen wilayah untuk penggunaan yang beragam.
Manajemen wilayah untuk penggunaan yang beragam bertujuan untuk produksi
air, kayu, ikan, invertebrata, kehidupan liar, padang rumput dan rekreasi di luar
rumah yang berkelanjutan dengan orientasi utama konservasi terhadap alam untuk
mendukung aktivitas ekonomi (meskipun zona spesifik mungkin juga dibuat di
dalam area tersebut untuk mencapai tujuan spesifik konservasi) (Kenchington
1988).

4.7.1. Pengelolaan P. Kera


Dangkalnya perairan P. Kera (Lampiran 9.1)menyebabkan aktivitas yang
mungkin dilakukan di keempat titik pengamatan adalah bersnorkeling. Nilai
kesesuaian di semua titik pengamatan menunjukkan pengembangan wisata bahari
di P. Kera lebih sesuai dikembangkan di utara pulau tersebut. Tetapi bila kita lihat
dari penutupan komunitas terumbu karang, penutupan tertinggi terdapat di bagian
timur, sehingga daerah tersebut bisa juga dijadikan daerah tujuan untuk
67

bersnorkeling, karena tutupan komunitas terumbu karang yang tinggi biasanya


menyajikan beragam bentuk dan warna yang indah dan merupakan pemandangan
bawah air yang menarik untuk disaksikan. Sebaiknya dilakukan perbaikan kondisi
ekosistem terumbu karang di sebelah Barat dan Selatan P. Kera, karena tutupan
komunitas terumbu karang tersebut lebih rendah dari 2 daerah pengamatan yang
lain, bahkan tutupan terumbu karang batu hidup di barat pulau kondisinya
tergolong dalam kategori buruk. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
hal tersebut adalah dengan menetapkan wilayah tersebut sebagai daerah
konservasi atau daerah perlindungan. Alan dan Angel (1988), menyatakan bahwa
rencana dari daerah perlindungan mungkin memiliki tujuan pengeluaran pengaruh
manusia untuk mengizinkan perawatan atau pembangunan kembali kondisi asli.
Langkah nyata untuk meningkatkan tutupan terumbu karang hidup di daerah
tersebut adalah dengan melakukan transplantasi terumbu karang, karena substrat
dasar yang berupa pasir putih halus kurang cocok untuk penempelan larva karang,
sehingga harus dengan bantuan dan usaha manusia. Dengan upaya tersebut
diharapkan tutupan terumbu karang akan meningkat sehingga jumlah ikan karang
yang berasosiasi pun akan semakin banyak (Sale 1991) dan pada akhirnya akan
meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat.
Perairan P. Kera merupakan tempat penduduk Desa Tanjung Binga
menangkap ikan, sehingga perlu dibuat peraturan tentang penangkapan ikan di
daerah tersebut terkait dengan dijadikannya sebagian perairan pulau sebagai
tempat rekreasi dan sebagian lagi merupakan daerah yang dikonservasi. Dengan
luas daratan pulau yang kecil, sebaiknya tidak dibangun sarana dan prasarana
pendukung kegiatan wisata bahari seperti tempat peristirahatan dan sebagainya
yang mengakibatkan pembukaan lahan dan berkurangnya jumlah vegetasi yang
yang tumbuh di pulau tersebut. Berkurangnya jumlah vegetasi di daratan akan
mengakibatkan proses erosi dari daratan akan semakin cepat yang akan
menyebabkan bertambahnya sedimentasi dan kekeruhan perairan. Kekeruhan dan
sedimentasi mengakibatkan terjadinya penutupan substrat, penutupan dan
melebihi kemampuan membersihkan beberapa hewan yang makan dengan cara
menyaring air, merubah distribusi vertikal hewan dan tumbuhan, mungkin
menyerap dan membawa polutan lain (Kenchington 1988).Selain daripada itu,
68

segala aktivitas manusia di daratan akan menghasilkan limbah padat dan cair yang
akan mencemari perairan dan pada akhirnya akan menyebabkan degradasi
lingkungan khususnya terhadap ekosistem terumbu karang yang merupakan
modal utama dari wisata bahari di P. Kera tersebut.

4.7.2. Pengelolaan P. Lutung


Kondisi perairan P. Lutung (Lampiran 9.2) yang terdapat terumbu karang
yang bervariasi mulai dari 2 m sampai 4 m menyebabkan aktivitas selam dan
snorkeling dapat dilakukan di wilayah tersebut. Berdasarkan nilai kesesuaian,
dapat dikatakan bahwa daerah barat P. Lutung paling sesuai untuk dikembangkan
menjadi objek wisata bahari. Penutupan komunitas terumbu karang yang lebih
baik di selatan pulau mengindikasikan bahwa wilayah tersebut juga potensial
untuk dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata bahari di P. Lutung. Namun
karena kedalaman perairan yang terdapat terumbu karang hanya sampai 2 m
menyebabkan lokasi tersebut lebih sesuai bila dikembangkan sebagai daerah
tujuan untuk aktivitas snorkeling. Kondisi ekosistem terumbu karang di Utara P.
Lutung tergolong sedang, namun dengan nilai IMK yang dapat dikatakan besar
pula (0,41), sebaiknya wilayah tersebut dijadikan daerah konservasi untuk
memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang di tempat tersebut dan agar
kondisi yang sekarang tidak menjadi semakin buruk.
Lokasi lain yang sebaiknya dijadikan daerah konservasi adalah bagian
timur pulau. Walaupun tutupan komunitas terumbu karang di tempat tersebut
besar, tetapi tutupan tersebut didominasi oleh makro alga dari genus Sargassum
yang menyebabkan dasar perairan terlihat berwarna coklat kehitaman, sehingga
dirasakan kurang menarik bila dijadikan objek wisata bahari. Substrat dasar yang
berupa pasir putih halus menyebabkan harus adanya campur tangan manusia
untuk meningkatkan tutupan terumbu karang batu di kedua lokasi tersebut. Upaya
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut salah satunya dengan
melakukan transplantasi terumbu karang. Dengan membaiknya kondisi ekosistem
terumbu karang di tempat tersebut diharapkan semakin banyak ikan-ikan yang
berasosiasi sehingga meningkatkan hasil tangkapan nelayan setempat. Dengan
berubahnya status P. Lutung menjadi tujuan wisata dan daerah konservasi harus
69

dibuat regulasi agar menguntungkan bagi semua pihak, khususnya nelayan


setempat yang mencari ikan di sekitar pulau tersebut. Selain daripada hal tersebut,
masyarakat setempat harus diikutsertakan agar mereka merasa menjadi bagian
dari kegiatan pariwisata dan konservasi tersebut, sebagai salah satu upaya untuk
meminimalisir potensi-potensi konflik dengan masyarakat setempat. Alan dan
Angel (1988), menyatakan bahwa manajemen terumbu karang pada dasarnya
melibatkan beragam dan mengendalikan pengaruh penggunaan terumbu karang
oleh manusia.
Karena luasan P. Lutung yang tidak jauh lebih besar dari P. Kera
sebaiknya pengelolaan yang dilakukan di daratan pulau juga sama, yaitu dengan
tidak mendirikan sarana dan prasarana pendukung untuk wisata bahari. Hal
tersebut didasari pertimbangan bahwa dengan adanya perubahan kondisi di
daratan akan mengakibatkan perubahan di perairan P. Lutung tersebut seperti
masuknya limbah padat dan cair ke perairan karena adanya aktivitas manusia di
pulau yang akan mengakibatkan tercemarnya perairan dan terdegradasinya
ekosistem terumbu karang di perairan pulau tersebut.

4.7.3. Pengelolaan P. Burung


P. Burung memiliki daratan yang lebih luas dibanding P. Kera dan P.
Lutung. Pantai dengan pasir putih terbentang dari sisi selatan ke timur dengan
kemiringan yang landai (Lampiran 9.3) dipadu dengan batu-batu granit yang
tertata secara alami bahkan terdapat batu granit yang tersusun membentuk kepala
burung yang menyebabkan pulau tersebut diberi nama P. Burung yang
memberikan keindahan tersendiri pemandangan di pantai pulau tersebut. Kondisi
pantai yang indah tersebut merupakan suatu potensi lebih yang dimiliki P.
Burung, sehingga selain wisata bahari yang dapat dikembangkan di perairannya,
juga bisa dikembangkan wisata pantai di daratannya. Nilai kesesuaian tertinggi
dari keempat titik pengamatan terdapat di barat pulau. Rata-rata penutupan
komunitas terumbu karang yang mencapai 51,16 % dan tutupan terumbu karang
hidup yang tergolong dalam kondisi baik menjanjikan pemandangan bawah air
yang menarik bagi wisatawan yang menyelam dan bersnorkeling di lokasi
tersebut. Kondisi terumbu karang yang termasuk dalam kategori baik juga
70

terdapat di selatan pulau. Namun, karena kedalaman perairan di lokasi tersebut


hanya 2 m menyebabkan aktivitas yang dapat dilakukan untuk menikmati
keindahan pemandangan bawah laut di tempat tersebut hanya dengan
bersnorkeling.
Tutupan terumbu karang hidup di Selatan dan Utara P. Burung termasuk
dalam kategori sedang, namun sebaiknya di wilayah tersebut dijadikan kawasan
konservasi untuk memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karangnya. Salah satu
aspek dari konservasi adalah adanya pemanfaatan (Yulianda 2004), untuk
melaksanakan aspek tersebut maka dapat juga dijadikan tujuan wisata untuk
kegiatan snorkeling di tempat tersebut bagi wisatawan yang ingin melihat dan
mengetahui aktivitas transplantasi dan terumbu karang yang sedang
ditrasnplantasi. Karena kedalaman perairan di lokasi tersebut hanya mencapai 3 m
maka aktivitas yang sesuai untuk dilakukan adalah snorkeling. Namun sebaiknya
yang diperbolehkan untuk melakukan snorkeling di tempat tersebut adalah
penyelam-penyelam yang sudah berpengalaman, sehingga diharapkan tidak
merusak terumbu karang yang ada di tempat tersebut. Kenchington dan Salvat
(1988), menyatakan di daerah yang sering diselami, kerusakan kecil terhadap
spesies karang dan biota karang lain yang rapuh yang disebabkan oleh penyelam
bisa menjadi kerusakan yang berarti. Dari kondisi yang sudah dipaparkan di atas,
maka dapat ditentukan bahwa untuk pengembangan wisata bahari sebaiknya
dilakukan di barat dan selatan pulau, sedangkan daerah timur dan utara sebaiknya
dijadikan kawasan konservasi.
Wisatawan yang datang berkunjung ke P. Burung dengan menggunakan
kapal biasanya berlabuh di selatan dan timur pulau, sehingga perlu dibangun
dermaga untuk mempermudah wisatawan-wisatawan tersebut mencapai daratan
dan tidak perlu terjun berbasah-basahan dari kapal. Namun, pembangunan
dermaga tersebut harus dilakukan studi sebelumnya agar tidak merusak ekosistem
terumbu karang yang sudah ada dan di masa yang akan datang tidak menyebabkan
degradasi lingkungan yang berarti di P. Burung. Pembangunan sarana atau
prasarana untuk menambah kenyamanan para wisatawan sebaiknya
memperhatikan daya dukung pulau tersebut. Alan dan Angel (1988) menyatakan
bahwa manajemen zona wisata dengan menggunakan area, diizinkan bila
71

konsisten konsisten terhadap daya dukung lingkungan area tersebut. Selain


daripada itu, pembatasan jumlah pengunjung dan penanganan limbah yang
dihasilkan akibat aktivitas pengunjung di atas pulau sebaiknya dilakukan dengan
baik agar tidak mencemari dan menyebabkan degradasi lingkungan. Saat ini
sudah terdapat kebun kelapa milik penduduk setempat dan vegetasi yang tumbuh
dengan sendirinya di daratan P Burung. Namun, penambahan jumlah vegetasi
adalah hal yang baik untuk dilakukan khususnya di selatan pulau. Penambahan
jumlah vegetasi di selatan pulau dapat dilakukan karena di tempat tersebut jumlah
vegetasinya lebih sedikit dibanding sisi-sisi pulau yang lain dan bisa dikatakan
gersang. Dengan bertambahnya jumlah vegetasi di tempat tersebut akan membuat
udara menjadi lebih sejuk karena cahaya matahari terhalang oleh dedaunan
pohon-pohon yang tumbuh di tempat tersebut, sehingga diharapkan akan
meningkatkan kenyamanan bagi wisatawan yang hendak bermain atau bersantai
di pantai.
Masyarakat setempat tidak boleh dikesampingkan untuk pengelolaan suatu
daerah agar mereka merasakan keuntungan dari usaha pengelolaan tersebut
sehingga mereka akan mendukung berjalannya kegiatan tersebut dan
meminimalisir konflik yang mungkin terjadi. Perairan P. Burung juga merupakan
tempat nelayan Desa Tanjung Binga menangkap ikan, sehingga perlu dibuat
aturan untuk mensinergikan kepentingan - kepentingan yang terkait dengan P.
Burung tersebut agar semua pihak merasa tidak dirugikan. Untuk mencapai titik
penyelaman biasanya dengan menggunakan kapal-kapal yang menggunakan
jangkar untuk menambatkannya. Jangkar-jangkar kapal tersebut dikhawatirkan
akan merusak terumbu karang di tempat pemberhentian kapal tersebut, sehingga
perlu dibangun tiang-tiang penambat atau tali berpelampung untuk menambatkan
kapal-kapal tersebut. Cara tersebut juga bisa diterapkan terhadap nelayan-nelayan
yang menangkap ikan di perairan P. Kera, Pulau Lutung dan P. Burung agar tidak
ada lagi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh jangkar kapal.
72

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
P. Kera, P. Lutung dan P. Burung memiliki tipe terumbu karang yang
tergolong terumbu tepi. Persen penutupan karang hidup di ketiga pulau tersebut
termasuk ke dalam kategori sedang. Tipe pertumbuhan karang di P. Kera dan P.
Burung tergolong sangat beragam, namun di P. Lutung hanya tergolong cukup
beragam. Jumlah spesies ikan karang di P. Kera dan P. Lutung kurang beragam,
tetapi di P. Burung tergolong cukup beragam.
Kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung untuk dijadikan kawasan
wisata bahari termasuk dalam kelas cukup sesuai, karena sebagian besar
wilayahnya memiliki batasan yang agak serius yaitu kedalaman perairan yang
dangkal. Aktivitas snorkeling bisa dilakukan di semua titik pengamatan, tetapi
aktivitas menyelam hanya bisa dilakukan di dua titik pengamatan yaitu sebelah
Barat P. Lutung dan Barat P. Burung.

5.2. Saran
Saran dari penelitian ini yaitu :
1. Sebaiknya modifikasi matriks dilakukan lebih baik lagi untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan seperti yang terdapat dalam penelitian ini atau
menggunakan kriteria kesesuaian yang diakui secara internasional.
2. Penggunaan data sekunder sebaiknya jangan yang sudah terlalu lama karena
kondisi dilapangan biasanya sudah berubah, lebih baik menggunakan data
yang terbaru atau menggunakan data primer.
3. Untuk mempersingkat waktu dan meningkatkan ketelitian hasil pengambilan
data karang dengan menggunakan metode transek kuadrat, akan lebih baik
jika menggunakan metode foto transek kuadrat.
73

DAFTAR PUSTAKA

Alan TW dan Angel CA. 1988. Options For Management. in Kenchington RA dan
Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional
Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta, Indonesia.
pp. 37-46.

Allen G. 1999. A Field Guide for Anglers and Divers : Marine Fishes of South-East
Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.

Aryanto R. 2003. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702): Environmental


Marketing pada Ekowisata Pesisir : Menggerakkan Ekonomi Rakyat Daerah
Otonom. Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1996. Laporan


Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang, Bakosurtanal. Cibinong.

[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten


Belitung. 1994. Penetapan Nama-Nama Pulau Dalam Klasifikasi
Berkembang, Kurang Berkembang dan Tertinggal dalam Kabupaten Daerah
Tingkat II Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung.

[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten


Belitung, Badan Pusat Statistik Tanjungpandan. Belitung Dalam Angka 2004.
Tanjungpandan: BAPPEDA Kabupaten Belitung; 2004.

[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten


Belitung. Master Plan Etalase Perikanan dan Kelautan di Kabupaten
Belitung. Tanjungpandan: BAPPEDA Kabupaten Belitung; 2005.

[BAPPEDA Kabupaten Belitung] Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten


Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan P2O-LIPPI
Tanjungpandan. 2005. Laporan Akhir : Studi Potensi Sumberdaya Ikan dan
Lingkungan Kelautan Kabupaten Belitung. BAPPEDA Kabupaten Belitung.

Ceballos-Lascurian H. 1996. Tourism, Ecotourism and Protected Areas: The State of


Nature-Based Tourism Around the World and Guidelines for It’s
Development. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK xiv + 301 pp.

Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah


Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dal Lautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
74

[DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung] Departemen Kelautan dan Perikanan


Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Bagian Proyek Pengelolaan
Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2005. Laporan
Pendahuluan: Studi Identifikasi Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Belitung dan
Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. PT Wahana Prakarsa
Utama..

English S, C Wilkinson, V Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine


Resources. ASEAN-Australian Marina Science Project: Living Coastal
Resources. Australian Institut of Marine Science.

Kenchington RA dan B Salvat. 1988. Man’s Threat to Coral Reefs. in Kenchington


RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand Book 2nd edt.
UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia.
Jakarta, Indonesia. pp. 23-28.

Gomez ED dan HT Yap. 1998. Monitoring Reef Condition. Page: 187-195 in R. A.


Kenchington dan B. E. T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Hand
Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East
Asia. Jakarta.

Kenchington RA. 1988. Issues and Achievement in Marine Resources Management.


in Kenchington RA dan Brydget ETH (ed) : Coral Reef Management Hand
Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East
Asia. Jakarta, Indonesia. pp. 29-36.

[KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu Air
Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut. KLH RI.

Koordinator Statistik Kantor Desa Tanjung Binga. 2005. Monografi Desa Tanjung
Binga 2005. Koordinator Statistik Kantor Desa Tanjung Binga.

Koordinator Statistik Kecamatan Sijuk dan Kantor Camat Sijuk Kabupaten Belitung.
2003. Kecamatan Sijuk Dalam Angka 2003. Koordinator Statistik Kecamatan
Sijuk dan Kantor Camat Sijuk Kabupaten Belitung.

Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent
Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia

Lienberg K dan DE Hawkins. 1993. Ekoturisme: Petunjuk Untuk Perencana dan


Pengelola. The Ecotourisme Society. North Bennington, Vermont.

Lieske E dan R Myers. 2001. Reef Fishes of the World. Periplus, Singapore.
75

Lowe RH dan Mc Connell. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities.


Cambridge University Press. New York.

Nugroho I. 2004. Buku Ajar : Ecotourism. Program Studi Agribisnis Fakultas


Pertanian Universitas Widyagama Malang. Malang.

Nybakken JW. 1988. Biologi Laut; Suatu Pengantar Ekologi. H M Eidman, D G


Bangen, H Malikusworo dan Sukristijono, penerjemah. Terjemahan dari:
Marine Biology: An Ecology Approach. PT Gramedia. Jakarta.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology (3th edition). W.B. Saunders Company.
Philadelphia. Xiv = 574p.

[P3B Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Tim Penyusun Kamus


Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cet 2 – Jakarta : Balai Pustaka. 1989. xix, 1090 hlm : 25 cm – (seri
B P no 3658).

[PPRTKIM] Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri


Maritim. 1995. Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi
Sumberdaya Manusia, Iptek dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju
Kemandirian. Di dalam: Geologi Pantai Pulau Belitung dan Peluang Sebagai
Pulau Wisata Bahari di Masa Yang Akan Datang. Prosiding Seminar Kelautan
Nasional. Jakarta, 15-16 September 1995. Bab III. Hlm 3-4.

Pemerintah Kabupaten Belitung Kecamatan Sijuk. 2006. Laporan Perkembangan


Kependudukan Kecamatan Sijuk Bulan Maret 2006. Pemerintah Kabupaten
Belitung Kecamatan Sijuk.

Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. Callifornia.

Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. x,


108 hlm 23 1/2 cm.

Tim Expedisi Zooxanthelae VI. 2002. Laporan Ilmiah Expedisi Zooxanthellae VI:
Kondisi dan Potensi Ekosistem Terumbu Karang Pantai Barat Belitung,
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Fisheries Diving Club- Institut
Pertanian Bogor. Bogor. XI + 52 hal.

Tomascik T, AJ Mah, A Nontji dan MK Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas: Part Two. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.xiv. 643 - 1388 p.

Veron J E N. 1995. Corals in Space and Time: Biogeografi and Evolution of the
Scerectinia. UNSW Press. Sydney. Australia.
76

Westmacott S, Kristian Teleki, Sue Wells dan Jordan West. 2000. Pengelolaan
Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland,
Switzerland and Cambridge, UK. Vii + 36 pp.

Wilson R dan James Q. 1985.Watching Fishe and Behavior on Coral Reefs. Harper &
Row Publisher. New York

Yulianda F. 2004. Pedoman Analisis Penentuan Status Kawasan Konservasi Laut.


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan

Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005

77
78

Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar

Nama :
Jenis kelamin : ( L/ P )
Umur :
1. Karakteristik masyarakat
Pendidikan :
Pekerjaan :
Pendapatan/ bulan :
Status dalam keluarga :
Jumlah tanggungan :
2. Keterlibatan masyarakat dengan wilayah penelitian
Pengetahuan tentang Pulau Kera, Lutung & P. Burung :

Kegiatan & frekuensi pemanfaatan perairan ke-3 pulau oleh masyarakat :


a. ............................................................
b. ............................................................
c. ............................................................
Alasan melakukan kegiatan pemanfaatan tersebut :

Pengetahuan tentang ekosistem terumbu karang :

Pengetahuan tentang wisata :

Setujukah bila Pulau Kera, Lutung dan P. Burung dijadikan kawasan ekowisata : (Y/T)
Alasan :

Harapan dari Bpk/Ibu/Sdr bila wilayah tersebut dijadikan kawasan ekowisata :


79

Lampiran 3. Kuisioener Untuk Instansi Pemerintahan Terkait

1. Nama instansi :
2. Nama Responden :
3. Jabatan responden di instansi tsb :
4. Alamat instansi :
5. Apakah sdr tahu instansi mana yang harus mengelola Pulau Kera, Lutung & P. Burung :

6. Keterlibatan instansi dengan daerah penelitian (Pulau Kera, Lutung & P. Burung) :

7.Apakah saudara tahu pemanfaatan Pulau Kera, Lutung & P. Burung oleh:
a. Masyarakat :

b. Swasta :

6. Konsep atau rencanapengembangan Pulau Kera, Lutung & P. Burung yang sesuai dengan
Visi Misi Sektoral Instansi :

7. Harapan dari Pengembangan yang akan dilaksanakan di Pulau Kera, Lutung & P. Burung :

8. Persetujuan bila Pulau Kera, Lutung & P. Burung dijadikan kawasan wisata bahari : (Y/T)
Alasan :
80

Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no.51 Tahun 2004

Lampran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari


No Parameter Satuan Baku Mutu
FISIKA
1 Warna Pt. Co 30
2 Bau - tidak berbau
3 Kecerahana m >6
4 Kekeruhana ntu 5
5 Padatan terseuspensi totalb mg/l 20
6 Suhuc o
C alami3(C)
7 Sampah - nihil1(4)
8 Lapisan Minyak - nihil1(5)
KIMIA
1 pHd - 7-8.5(d)
2 Salinitase ‰ alami3(e)
3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4 BOD5 mg/l 10
5 Amoniak bebas (NH3-N) mg/l Nihil1
6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0.015
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0.008
8 Sulfida (H2S) mg/l Nihil1
9 Senyawa fenol mg/l Nihil1
10 PAH (poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0.003
11 PCB (poliklor bifenil) Nihil1
mg/l
12 Surfaktan (detergen) MBAS 0.001
13 Minyak dan Lemak mg/l Nihil1(f)
14 Pestisidaf
Logam terlarut
1 Raksa (Hg) mg/l 0.002
2 kromium heksavalen (Cr(Vl)) mg/l 0.002
3 Arsen (As) mg/l 0.025
4 Cadmium (Cd) mg/l 0.002
5 Tembaga (Cu) mg/l 0.05
6 Timbal (Pb) mg/l 0.005
7 Seng (Zn) mg/l 0.095
8 Nikel (Ni) mg/l 0.075
Biologi
MPN/100
1 E Coliform (faecal)g ml 200(g)
MPN/100
2 Coliform (total)g ml 1000(g)
Radio Nuklida
1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
81

Keterangan :
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai
dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik
internasional maupun nasional
3. Alami adalah kondisi sormal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim)
4. Pengamatan oleh manusia (visual)
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan
tipis (thin layer) dengan ketebalan 0.01 mm
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata
musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata
musiman.

Lampiran 4.2. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut


No Parameter Satuan Baku Mutu
FISIKA
1 Kecerahana m Coral: > 5
Mangrove: -
Lamun: > 3
2 Kebauan - Alami3
3 Kekeruhana NTU <5
4 Padatan Tersuspensi Total mg/l Coral : 20
Mangrove : 80
Lamun :20
5 Sampah - Nihil1(4)
6 Suhuc o
C Alami3c
Coral: 28-32c
Bersambung...
82

Lampiran 4.2. Lanjutan


No Parameter Satuan Baku Mutu
Mangrove : 28-32c
Lamun : 28-30c
7 Lapisan minyak5 - Nihil1(5)

KIMIA
1 pHd - 7-8,5(d)
2 Salinitas ‰ Alami3(e)
Coral : 33-34(e)
Mangrove : s/d34(e)
Lamun : 33-34(e)
3 Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4 BOD5 mg/l 20
5 Ammonia total (NH3-N) mg/l 0,3
6 Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7 Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8 Sianida (CN-) mg/l 0,5
9 Sulfida (H2S) mg/l 0,01
10 PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003

1 Senyawa fenol total mg/l 0,002


2 PCB total (Poliklor bifenil) µg/l 0,01
3 Surfaktan (detergen) mg/l MBAS 1
4 Minyak & Lemak mg/l 1
5 Pestisidaf µg/l 0,01
6 TBT (Tributil tin) µg/l 0,01

Logam terlarut :
1 Raksa (Hg) mg/l 0,001
2 Kromium heksavalen (Cr(VI) mg/l 0,005
3 Arsen (As) mg/l 0,012
4 Kadmium (Cd) mg/l 0,001
5 Tembaga (Cu) mg/l 0,008
6 Timbal (Pb) mg/l 0,008
7 Seng (Zn) mg/l 0,05
8 Nikel (Ni) mg/l 0,05

BIOLOGI
1 Coliform (total)g MPN/100ml 1000(g)
2 Patogen sel/100 ml Nihil1
3 Plankton sel/100 ml tidak bloom6

RADIO NUKLIDA
1 Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
83

Keterangan :
1 Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai
dengan metode yang digunakan)
2 Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik
internasional maupun nasional
3 Alami adalah kondisi sormal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim)
4 Pengamatan oleh manusia (visual)
5 Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan
tipis (thin layer) dengan ketebalan 0.01 mm
6 Tidak bloom adalah tidak terjadi perubahan yang berlebihan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi
oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri
7 TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman eufotik
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata
musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata
musiman.
84

Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang

Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Kera


Genus Karang Bentuk Pertumbuhan
Aropora ACB
Astreopora ACT
Ctenactis CB
Cyphastrea CE
Diploastrea CF
Echinophylia CM
Echinopora CMR
Favia CS
Favites
Fungia
Galaxea
Goniastrea
Goniopora
Lobophylia
Merulina
Montipora
Pavona
Pectinia
Plerogyra
Platygira
Porites
Turbinaria
22 8

Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Lutung


Genus Karang Bentuk Pertumbuhan
Acropora ACB
Alveopora ACD
Astreopora ACT
Barabattoia CB
Catalaphylia CE
Cyphastrea CF
Diploastrea CM
Echinopora CMR
Favia CS
Favites
Fungia
Galaxea
Goniastrea
Goniopora
Lobophylia
Bersambung...
85

Lampiran 5.2. Lanjutan


Genus Karang Bentuk Pertumbuhan
Merulina
Montipora
Pavona
Pachyseris
Pectinia
Plerogyra
Pocilopora
Porites
23 9

Lampiran 5.3. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang di P. Burung


Genus Karang Bentuk Pertumbuhan
Acropora ACB
Ctenactis ACD
Cyphastrea ACT
Diploastrea CB
Echinophylia CE
Echinopora CF
Favia CM
Favites CMR
Fungia CF
Galaxea CS
Goniastrea CB
Goniopora
Hydnophora
Leptoria
Leptoseris
Lobophylia
Merulina
Montipora
Pachyseris
Pavona
Pectinia
Platygira
Plerogyra
Pocilopora
Porites
Sandalolitha
26 11
86

Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang

Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Kera


No. Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
1 Labridae Halichoeres chloropterus 5 7 6 11 29
2 Halichoeres richmondi 3 1 2 2 8
3 Halichoeres marginatus 0 0 1 0 1
4 Halichoeres vrolikii 1 0 1 1 3
5 Choerodon anchorago 2 5 1 2 10
6 Anampses meleagrides 0 1 3 4
7 Hemigymnus melapterus 2 7 0 5 14
8 Stethojulis trilineata 0 1 0 0 1
9 Halichoeres purpurescens 1 0 0 0 1
10 Pomacentridae Amblyglyphidodon curacau 6 22 35 19 82
11 Chromis ternatensis 2 0 21 3 26
12 Stegastes fasciolatus 0 0 1 4 5
13 Neopomacentrus violaceus 5 0 2 0 7
14 Pomacentrus brachialis 9 14 11 0 34
15 Dischistodus prosopotaenia 5 2 3 2 12
16 Hemiglyphidodon plagiometopon 4 0 5 4 13
17 Cheiloprion labiatus 0 0 4 0 4
18 Neoglyphidodon melas 1 0 1 6 8
19 Dischistodus perspicillatus 2 0 1 2 5
20 Pomacentrus nagasakiensis 1 0 1 0 2
21 Abudefduf vaigiensis 0 0 2 0 2
22 Abudefduf sexfasciatus 0 7 3 0 10
23 Abudefduf septemfasciatus 0 0 1 0 1
24 Paraglyphidodon thoracotaeniatus 0 0 0 5 5
25 Pomacentrus taeniometopon 0 0 0 1 1
26 Amphiprion sandaracinos 0 0 0 2 2
27 Amphiprion ocellaris 0 0 0 5 5
28 Amblyglyphidodon aureus 0 10 0 0 10
29 Pomacentrus chrysurus 3 1 0 0 4
30 Abudefduf bengalensis 0 5 0 0 5
31 Apogonidae Apogon aureus 0 0 7 0 7
32 Apogon compressus 40 0 2 1 43
33 Haemulidae Plectorhynchus chaetodontoides 0 1 1 0 2
34 Serranidae Labracinus melanotaenia 0 0 2 0 2
35 Epinephelus ongus 0 0 1 2 3
36 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 3 5 13 1 22
37 Chelmon rostratus 1 5 1 4 11
38 Pomacanthidae Chaetodontoplus mesoleucus 0 1 1 1 3
39 Pomacanthus sextriatus 0 0 0 1 1
40 Lutjanidae Lutjanus kasmira 0 2 1 1 4
41 Bleniidae Salarias fasciatus 0 0 1 1 2
42 Cirripectes castaneus 0 1 1 0 2
43 Nemipteridae Pentapodus trivittatus 0 2 1 4 7
44 Scolopsis margaritifer 1 1 0 1 3
45 Scolopsis lineatus 0 5 0 0 5
Bersambung...
87

Lampiran 6.1. Lanjutan


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
46 Monacanthidae Acreichthys tomentosus 3 1 2 2 8
47 Scaridae Chlorurus sordidus 0 2 0 2 4
48 Siganidae Siganus virgatus 0 2 0 2 4
49 Siganus punctatus 0 8 0 0 8
50 Mullidae Upeneus tragula 0 1 0 0 1
Jumlah 14 53 100 119 137 100 456

Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Lutung


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
1 Labridae Anampses Caeruleopunctatus 0 0 0 1 1
2 Cheilinus fasciatus 1 0 1 1 3
3 Cheilinus trilobatus 1 2 2 1 6
4 Choerodon anchorago 6 1 4 9 20
5 Diproctacanthus xanthurus 3 0 1 0 4
6 Halichoeres chloropterus 2 8 3 3 16
7 Halichoeres marginatus 0 0 6 0 6
8 Halichoeres melanurus 2 0 0 5 7
9 Halichoeres melanochir 1 0 0 0 1
10 Halichoeres ornatissimus 6 0 0 0 6
11 Halichoeres purpurescens 3 0 2 5
12 Halichoeres richmondi 3 1 5 5 14
13 Halichoeres scapularis 5 0 0 0 5
14 Halichoeres trimaculatus 0 0 0 1 1
15 Hemigymnus melapterus 14 0 2 2 18
16 Lobroides dimidiatus 1 0 3 4
17 Thalassoma lunare 13 0 2 1 16
18 Thalassoma lutescens 3 0 0 0 3
19 Stethojulis trilineata 3 0 0 0 3
20 Pomacentridae Amblyglyphidodon curacao 13 0 16 17 46
21 Pomacentrus alexanderae 2 0 0 0 2
22 Dischitodus persipicillatus 1 0 0 0 1
23 Pomacentrus moluccensis 3 0 0 4 7
24 Amphiprion oscellaris 4 0 0 4 8
25 Chrysiptera caeruleopunctata 2 0 0 0 2
26 Neoglyphidodon melas 7 0 2 0 9
27 Neoglyphidodon oxyodon 0 0 0 14 14
28 Dischistodus prosopotaenia 2 1 1 4 8
29 Stegastes fasciolatus 4 0 5 18 27
30 Pomacentrus tripunctatus 11 0 1 12
31 Pomacentrus brachialis 0 0 28 0 28
32 Pomacentrus chrysurus 1 1 2 0 4
33 Amphiprion frenatus 0 0 2 2 4
34 Stegastes moluccensis 0 0 1 0 1
35 Abudefduf sexfasciatus 1 0 12 1 14
36 Abudefduf vaigiensis 1 0 1 0 2
37 Abudefduf septempasciatus 1 0 0 1
Bersambung...
88

Lampiran 6.2. lanjutan


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
38 Chromis notata 0 0 3 19 22
39 Hemiglyphidodon plagiometopon 0 0 0 3 3
40 Amblypomacentrus breviceps 0 0 0 3 3
41 Pomacentrus nagasakiensis 0 9 0 1 10
42 Stagastes albifasciatus 0 0 0 11 11
43 Amblyglyphidodon ternatensis 0 0 0 9 9
44 Neoglyphidodon thoracotaeniatus 0 0 0 8 8
45 Pomacentrus lepidogenys 0 13 0 0 13
46 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 18 1 9 13 41
47 Chelmon rostratus 5 2 1 3 11
48 Pomacanthidae Pomacanthus sextriatus 1 0 1 2
49 Chaetodontoplus mesoleucus 1 0 2 2 5
50 Serranidae Cephalopholis argus 2 0 1 0 3
51 Labracinus cyclophthalmus 1 0 2 0 3
52 Plectropomus leopardus 0 0 1 1
53 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 2 0 2 2 6
54 Scolopsis lineatus 10 2 0 0 12
55 Pentapodus trivittatus 0 0 0 3 3
56 Apogonidae Apogon compressus 23 0 2 0 25
57 Apogon aureus 23 0 0 2 25
58 Cheilodipterus singapurensis 0 0 0 14 14
59 Haemulidae Plectorinchus chaetodontoides 1 0 0 0 1
60 Lutjanidae Lutjanus kasmira 1 3 5 4 13
61 Lutjanus vitta 0 2 0 0 2
62 Siganidae Siganus puellus 0 0 9 0 9
63 Bleniidae Cirripectes castaneus 0 0 2 0 2
64 Caesionidae Caesio cuning 0 0 0 19 19
65 Kyphosidae Kyposus bigibbus 0 0 0 8 8
66 Mullidae Upeneus tragula 0 0 0 1 1
67 Scaridae Scarus globiceps 0 1 0 0 1
68 Scarus ghobban 1 0 0 0 1
69 Hipposcarus longiceps 9 0 0 0 9
70 Lethrinidae Gnathodentex aurolineatus 0 1 0 0 1
Jumlah 16 69 218 48 139 221 626

Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang di P. Burung


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
1 Pomacentridae Amphiprion oscellaris 13 18 0 13 44
2 Abudefduf vaigiensis 9 0 0 0 9
3 Amblyglyphidodon curacau 412 52 28 41 533
4 Abudefduf sexfasciatus 16 0 0 10 26
5 Neoglyphidodon melas 6 1 5 2 14
6 Pomacentrus brachialis 11 2 0 2 15
7 Neopomacentrus violaceus 7 1 7 0 15
8 Pomacentrus moluccensis 6 2 2 3 13
9 Amphiprion frenatus 6 1 0 2 9
Bersambung...
89

Lampiran 6.3. Lanjutan


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
10 Chromis ternatensis 1 0 0 0 1
11 Paraglyphidodon thoracotaeniatus 0 17 18 14 49
12 Dischistodus prosopotaenia 0 2 3 5 10
13 Amblyglyphidodon ternatensis 0 8 0 0 8
14 Amphiprion sandaracinos 0 2 0 0 2
15 Daschylus melanurus 0 1 0 0 1
16 Chromis alpha 0 0 0 39 39
17 Dischistodus perspicillatus 0 0 0 1 1
18 Lepidozygus tapeinosoma 0 0 0 7 7
19 Premnas biaculeatus 0 0 0 2 2
20 Pomacentrus chrysurus 0 0 1 4 5
21 Pomacentrus bankanensis 0 0 1 0 1
22 Chromis atripectoralis 2 0 1 0 3
23 Amphiprion clarkii 0 0 2 0 2
24 Pomacentrus alexanderae 84 0 0 0 84
25 Neoglyphidodon thoracotaeniatus 21 0 0 0 21
26 Labridae Hemigymnus melapterus 2 0 3 1 6
27 Halichoeres richmondi 7 1 4 3 15
28 Thalassoma lunare 8 0 1 2 11
29 Halichoeres melanurus 5 0 0 0 5
30 Diproctacanthus xanthurus 2 0 1 3 6
31 Cheilinus fasciatus 6 2 1 0 9
32 Gomphosus varius 1 0 0 0 1
33 Halichoeres urolikii 1 2 3 2 8
34 Halichoeres Chloropterus 1 1 2 4 8
35 Halichoeres purpurescens 7 3 6 3 19
36 Anampses meleagrides 0 1 0 0 1
37 Thalassoma lutescens 0 1 0 0 1
38 Choerodon anchorago 2 0 0 5 7
39 Labroides dimidiatus 1 0 1 3 5
40 Oxycheilinus celebicus 0 0 0 3 3
41 Halichoeres trimaculatus 1 0 0 5 6
42 Epibulus insidiatus 0 0 0 1 1
43 Cheilinus trilobatus 0 0 1 0 1
44 Halichoeres marginatus 0 0 1 0 1
45 Stethojulis trilineata 1 0 1 0 2
46 Thalassoma hardwickei 1 0 0 0 1
47 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 23 5 6 9 43
48 Chelmon rostratus 4 1 2 2 9
49 Caesionidae Caesio cuning 43 0 3 0 46
50 Pterocaesio tile 4 0 0 0 4
51 Lutjanidae Lutjanus kasmira 8 0 4 1 13
52 Bleniidae Cirripectes castaneus 1 0 0 0 1
53 Serranidae Cephalopolis argus 2 0 0 1 3
54 Labracinus melanotaenia 2 0 6 3 11
55 Plectropomus areolatus 0 0 1 0 1
56 Pomacanthidae Chaetodontoplus mesoleocus 7 1 1 2 11
Bersambung...
90

Lampiran 6.3. Lanjutan


No Famili Spesies Barat Timur Utara Selatan Total
57 Pomacanthus annularis 1 0 0 0 1
58 Pomacanthus sexstriatus 1 0 0 0 1
59 Nemipteridae Scolopsis margaritifer 3 1 3 1 8
60 Scolopsis trilineatus 1 0 0 1 2
61 Scolopsis lineata 0 0 1 0 1
62 Pentapodus trivittatus 0 0 1 0 1
63 Scaridae Hipposcarus longiceps 0 2 6 0 8
64 Scarus prasiognathus 0 0 0 8 8
65 Chlorurus sordidus 1 0 9 1 11
66 Scarus bihoban 0 0 1 0 1
67 Chlorurus perspicillatus 0 0 1 0 1
68 Scarus bleekeri 0 0 1 0 1
69 Scarus ghobban 2 0 0 0 2
70 Apogonidae Apogon compressus 9 10 0 11 30
71 Apogon aureus 49 0 0 45 94
72 Apogon moluccensis 0 0 0 37 37
73 Cheilodepterus lineatus 0 0 0 6 6
74 Apogon bandanensis 31 0 0 0 31
75 Apogon guamensis 3 0 0 0 3
76 Sphyraenidae Sphyraena obtusata 0 1 0 0 1
77 Monacanthidae Acreichthys tomentosus 0 0 0 2 2
78 Siganidae Siganus virgatus 0 0 3 5 8
79 Siganus argenteus 0 0 7 0 7
80 Haemulidae Plectorhynchus chaetodontoides 0 0 1 0 1
81 Pseudochromidae Labracinus melanotaenia 3 0 0 0 3
82 Holocentridae Sargocentron rubrum 7 0 0 0 7
83 Centriscidae Aeoliscus strigatus 7 0 0 0 7
84 Acanthuridae Zebrasoma scopas 1 0 0 0 1
Jumlah 19 85 853 139 150 315 1457
Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Lampiran 7.1 Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Kera

Barat Timur Utara Selatan


Parameter Rata-rata
0m 3m 0m 1,5m 0m 3m 0m 2m
Fisika
Kecerahan 6,2 m 6,4 m 6,1 m 5.5 m 6,05 m ± 0,39
Kec arus 0,03 m/s 0,09 m/s 0,05 m/s 0,05 m/s 0,06 m/s ± 0,03
Suhu 30,7 oC 29 oC 30,5 oC 30,5 oC 31,2 oC 29 oC 30,6 oC 30,5 oC 30,25 oC ± 0,81
Turbidity 0 0 0 0 0 0 1 ntu 1 ntu 0,25 ntu ± 0,46
Kimia
DO 5,23 mg/l 5,12 mg/l 5,34 mg/l 5,33 mg/l 5,28 mg/l 5,26 mg/l 5,19 mg/l 5,14 mg/l 5.24 mg/l ± 0.08
pH 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8
Salinitas 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ ± 0.00

Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Lutung

Barat Timur Utara Selatan


Parameter Rata-rata
0m 2m 4m 0m 3m 0m 3m 0m 2m
Fisika
Kecerahan 6.5 m 6,5 m 6,5 m 6,5 m 6,5 m ± 0
Kec arus 0,15 m/s 0,03 m/s 0,15 m/s 0,08 m/s 0, 10 m/s ± 0.06
Suhu 31,2 oC 30,75 oC 29,5 oC 31,4 oC 30,8 oC 31,3 oC 30,7 oC 30,8 oC 30,5 oC 30,77 oC ± 0.56
Turbidity 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kimia
DO 5,49 mg/l 5,48 mg/l 5,48 mg/l 5, 17 mg/l 4,99 mg/l 5,5 mg/l 5,48 mg/l 4,98 mg/l 4,98 mg/l 5.28 mg/l ± 0.25
pH 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8
Salinitas 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 31 ‰ 31 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 31 ‰ 31 ‰ 31.6 ‰ 0.53

91
Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan P. Burung

BARAT TIMUR UTARA SELATAN


Parameter Rata-rata
0m 3m 7m 0m 3m 0m 3m 0m 3m
Fisika
Kecerahan 5.5 m 5,5 m 5.3 m 5m 5,33 m ± 0,24
Kec Arus 0,08 m/s 0,07 m/s 0,13 m/s 0,13 m/s 0,10 m/s ± 0,03
Suhu 30,8 oC 30,2 oC 31,8 oC 30,4 oC 29,5 oC 30,3 oC 31,4 oC 30,8 oC 30,6 oC 30,64 oC ± 0,67
Turbidity 6 ntu 7 ntu 9 ntu 9 ntu 6 ntu 9 ntu 9 ntu 9 ntu 10 ntu 8,2 ntu ± 1,48
Kimia
DO 5,35 mg/l 5,72 mg/l 5,70 mg/l 6,67 mg/l 6,61 mg/l 6,2 mg/l 6,11 mg/l 6,5 mg/l 4,53 mg/l 5,91 mg/l ± 0,74
pH 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8 7,5 - 8
Salinitas 32 ‰ 32 ‰ 32 ‰ 31 ‰ 31 ‰ 31 ‰ 31 ‰ 32 ‰ 31 ‰ 31,4 ‰ ± 0,55

92
93

Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari


Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Kera
Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Kera Secara Umum
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas TK (%) 8 31,48 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 16 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 53 S3 12 96
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2-5 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,06 S1 14 84
Jumlah 660
Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Kera


(S: 02035’202’’; E: 107037’10”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 19,09 N 4 32
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 7 S3 12 96
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 22 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,03 S1 14 84
Jumlah 516
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Kera


(S: 02035’335’’; E: 107036’94”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 48,82 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 5 S3 12 96
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 26 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 1,5 N 2 12
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,09 S1 14 84
Jumlah 520
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.1.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Kera


(S: 02035’151’’; E: 107036’07”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 34,60 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 33 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,05 S1 14 84
Jumlah 596
Kelas Kesesuaian S3
94

Lampiran 8.1.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Kera


(S: 02035’375”; E: 107037’04”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 23,42 N 4 32
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 6 S3 12 96
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 30 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,05 S1 14 84
Jumlah 516
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung


Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Lutung Secara Umum
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas TK (%) 8 49,17 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 69 S3 12 96
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2-5 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,10 S1 14 84
Jumlah 660
Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Lutung


(S: 02035’283”; E: 107037’54”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 44,18 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 45 S3 12 96
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 4 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,15 S1 14 84
Jumlah 660
Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Lutung


(S: 02035’279”; E: 107037’63”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 69,73 S2 14 112
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 3 N 4 32
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 15 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,03 S1 14 84
Jumlah 532
Kelas Kesesuaian S3
95

Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Lutung


(S: 02035’283”; E: 107037’36”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 35,24 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 33 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,15 S1 14 84
Jumlah 596
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Lutung


(S:02035’481”; E:107037’39”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 52,89 S2 14 112
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 40 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 2 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,08 S1 14 84
Jumlah 612
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung


Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di P. Burung Secara Umum
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 93,89 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas TK (%) 8 49,43 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 11 S1 16 128
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 85 S2 14 112
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 5 - 10 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,10 S1 14 84
Jumlah 692
Kelas Kesesuaian S2

Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat P. Burung


(S: 02034’315”; E: 107037’45”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 78,57 S2 18 180
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 51,16 S2 14 112
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 9 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 51 S3 12 96
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 7 S2 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,08 S1 14 84
Jumlah 656
Kelas Kesesuaian S2
96

Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur P. Burung


(S: 02034’197”; E: 107037’10”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 48,53 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 7 S3 12 96
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 26 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,07 S1 14 84
Jumlah 580
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara P. Burung


(S: 02033’861”; E: 107037’50”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 43,99 S3 12 96
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 7 S3 12 96
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 40 N 4 32
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,13 S1 14 84
Jumlah 580
Kelas Kesesuaian S3

Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan P. Burung


(S: 02034’016”; E: 107037’80”)
No Parameter Bobot Kondisi Kelas Skor Nilai
1 Kecerahan Perairan (%) 10 100 S1 20 200
2 Tutupan Komunitas Terumbu Karang (%) 8 52,32 S2 14 112
3 Bentuk Pertumbuhan Karang 8 8 S2 14 112
4 Jumlah Ikan (spesies) 8 42 S3 12 96
5 Kedalaman Dasar Laut (m) 6 3 S3 12 72
6 Kecepatan Arus (m/detik) 6 0,13 S1 14 84
Jumlah 676
Kelas Kesesuaian S2
97

Lampiran 9. Foto Pulau-pulau

Lampiran 9.1. Foto P. Kera

Lampiran 9.2. Foto P. Lutung


98

Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung


99

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Mengkubang, Belitung pada


tanggal 05 April 1985 sebagai anak pertama dari dua
bersaudara pasangan Bapak Sahani Saleh dan Ibu
Asmara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1
Tanjungpandan. dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada jurusan
Manajemen Sumberdya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
(FPIK) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif sebagai kepanitiaan lepas
dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan di fakultas maupun jurusan. Selain itu,
penulis aktif pada salah satu organisasi kemahasiswaan yang bersifat semi otonom di
lingkungan FPIK yaitu Fisheries Diving Club (FDC) sejak tahun 2003 dan dipercaya
untuk menjabat sebagai koordinator bidang publikasi dan dokumentasi pada tahun
2005 dan ketua panitia kegiatan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) untuk
beberapa SMU yang ada di Kabupaten Bogor. Di bidang akademik, penulis juga
dipercaya untuk menjadi asisten pada mata kuliah Ikhtiologi (2004), Biologi Laut
(2004), Ekologi Laut Tropis (2005) dan koordinator asisten Ikhtiologi (2006).
Pada tahun 2006 penulis melaksanakan penelitian dengan judul
“Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari
(Snorkeling dan Selam) di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan
Sijuk, Kabupaten Belitung” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studinya
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan dinyatakan lulus pada tanggal 12
Desember 2006.

Anda mungkin juga menyukai