Week 7
Pemungutan Pajak
Sedangkan istilah pemungutan berarti memungut atau menambah yang berkaitan dengan
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya diterima atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Pemungutan pajak dilakukan oleh penerima penghasilan atau pihak yang menerima
pembayaran. Namun, dalam kondisi tertentu dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan,
sebagai contoh: pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dilakukan oleh Bendaharawan
Pemerintah. Untuk jenis pajak yang dipungut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
Pemotongan dan pemungutan pajak juga memiliki persamaan, yaitu terletak pada pihak yang
melakukannya. Baik pihak yang melakukan pemotongan ataupun pemungutan pajak sama-
sama merupakan kepanjangan tangan dari otoritas pajak (fiskus) untuk dapat mengambil dan
menyetorkan pajak kepada kas negara.
Wajib Pajak yang berbentuk badan telah ditunjuk oleh Undang-Undang (UU) perpajakan
sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan atau
diterima oleh karyawan maupun yang bukan merupakan karyawannya. Namun, Wajib Pajak
orang pribadi juga dapat ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ini
apabila mendapatkan penunjukkan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak
orang pribadi terdaftar.
Wajib Pajak berbentuk badan memang ditunjuk untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 23, namun Wajib Pajak orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23. Maka, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang
termasuk ke dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dan pihak pemberi
penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 23, maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh pihak pemotong yang bersangkutan.
Dalam hal ini, Wajib Pajak berbentuk badan saja yang ditunjuk untuk memotong Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2), sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi tidak
mendapatkan penunjukkan untuk memotong. Sama halnya dengan Pemotongan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23, apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang termasuk ke
dalam objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi
penghasilan atau pemberi kerja juga merupakan pihak pemotong Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 4 ayat (2), maka penghasilan yang diterimakan tersebut nantinya akan dipotong atas
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) oleh pihak pemotong yang bersangkutan. Namun,
apabila Wajib Pajak menerimakan penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi yang bukan
merupakan pemotong, maka Wajib Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk menyetorkan
sendiri Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) tersebut. Hal ini misalnya menyangkut
dalam proses transaksi sewa atau penjualan properti tanah atau bangunan.
Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut ataupun sekaligus sebagai pihak
yang dipungut atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22.
II PPh Pasal 15
1. Pelayaran Dalam Negeri 1,2% Peredaran Bruto Final
2. Penerbangan Dalam Negeri 1,8% Peredaran Bruto
3. Pelayaran dan atau
2,64% Peredaran Bruto Final
Penerbangan Luar Negeri
4. WP LN yang mempunyai
Kantor Perwakilan Dagang di 0,44% Nilai Ekspor Bruto Final
Indonesia
5. Pihak-pihak yang melakukan Jumlah Bruto dari
kerjasama dalam bentuk Nilai Tertinggi
Perjanjian Bangunan Guna antara Nilai Pasar
5%
Serah (Built Operate and dengan NJOP
Transfer) Bagian Bangunan
yang Diserahkan
IV PPh Pasal 22
1. Pembelian Barang oleh
Bendaharawan dan 1,5% Harga Pembelian
BUMN/BUMD
2. Impor Barang :
a. Importir mempunyai API 2,5% Nilai Impor
b. Importir tidak mempunyai
7,5% Nilai Impor
API
V PPh Pasal 23
1. Dividen Tidak dikenakan Tidak dikenakan
2. Bunga 15% Jumlah Bruto
3. Royalti 15% Jumlah Bruto
4. Hadiah dan Penghargaan
selain yang telah dipotong PPh 15% Jumlah Bruto
Pasal 21
5. Bunga Simpanan yang
15% Jumlah Bruto Final
dibayarkan Koperasi
6. Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan
15% x 20% atau 3% Jumlah Bruto*
penggunaan harta, khusus
kendaraan angkutan darat
7. Sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali
Persewaan Tanah dan
15% x 40% atau 6% Jumlah Bruto*
Bangunan dan Penghasilan
Lain sehubungan dengan
penggunaan harta, khusus
Kendaraan Angkutan Darat
8. Jasa Profesi, Jasa
Konsultan Kecuali Konsultan
Konstruksi, Jasa Akuntansi 15% x 50% atau 7,5% Jumlah Bruto*
dan Pembukuan, Jasa Penilai,
Jasa Aktuaris
9. Jasa Teknik dan Jasa 15% x 40% atau 6% Jumlah Bruto*
VI PPh Pasal 26
1. Bunga termasuk Premium,
Diskonto, Premi SWAP, dan
20% atau Tarif P3B Jumlah Bruto* Final
imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang
2. Royalti, Sewa, dan
Penghasilan lain sehubungan 20% atau Tarif P3B Jumlah Bruto* Final
dengan penggunaan harta
3. Imbalan sehubungan dengan
20% atau Tarif P3B Jumlah Bruto* Final
jasa, pekerjaan, dan kegiatan
4. Hadiah dan Penghargaan 20% atau Tarif P3B Jumlah Bruto* Final
5. Pensiunan dan Pembayaran
20% atau Tarif P3B Jumlah Bruto* Final
berkala lainnya
6. Penjualan Harta di
Indonesia, kecuali yang diatur
20% x Perkiraan Phs
dalam Pasal 4 ayat (2) UU Harga Jual Final
Neto atau Tarif P3B
PPh yang diterima WP LN
selain BUT di Indonesia
Ketentuan PPh Pemotongan dan Pemungutan
2. Perlakuan Pajak jika WPLN bukan merupakan resident negara Treaty Partner (Non Treaty
Partner)
Untuk passive income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di Indonesia
wajib memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif UU PPh yaitu 20% dari jumlah
bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut
memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal
23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
Sebaliknya untuk active income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di
Indonesia wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto jika WPLN tersebut
tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN memiliki BUT di Indonesia maka pihak
pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.
Dalam praktek, pihak pembayar mengambil posisi untuk mengenakan PPh Pemotongan
Pemungutan dengan tarif tertinggi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk apabila saat
pemeriksaan pajak, tim pemeriksa pajak beranggapan bahwa atas pembayaran jasa tersebut
dikenakan tarif yang tertinggi. Dalam hal ini, pihak penerima pembayaran dapat tidak setuju
dengan perlakuan pemotongan pemungutan yang dilakukan pihak pembayar, paling tidak atas
opportunity cash yang hilang karena pemotongan pajak lebih besar. Kalaupun pihak
pembayar setuju dengan tarif pemotongan pemungutan PPh yang disarankan pihak penerima
pembayaran, umumnya pihak pembayar akan meminta garansi (warranty) bahwa penerima
pembayaran akan bertanggung jawab atas selisih kekurangan atas pemotongan pemungutan
PPh tersebut. Untuk itu, antara keduanya dapat memasukkan klausul indemnity atau warranty
atas resiko perpajakan tadi dalam kontrak yang ditandatanganinya.
Dari sisi penerima pembayaran, klausul indemnity atau warranty sebenarnya dapat
diantisipasi dengan beberapa cara, antara lain:
1. Penerima pembayaran dapat melakukan riset perpajakan atas perlakuan pajak yang
pernah ada sebelumnya yang analog dengan jasa yang dikerjakan oleh penerima
pembayaran berdasarkan regulasi yang pernah dikeluarkan oleh pihak otoritas
perpajakan.
2. Penerima pembayaran dan pihak pembayar dapat menunjuk pihak independen, misal:
Konsultan Pajak, untuk memberikan opini atas perlakuan perpajakan yang sesuai
secara teknis maupun praktis atas kasus yang masih belum mendapatkan titik temu
diantara keduanya.
3. Dengan pengajuan private rulling oleh salah satu pihak kepada otoritas pajak selaku
tax regulator. Jawaban berupa konfirmasi, penegasan atau klarifikasi yang diberikan
oleh pihak otoritas pajak akan dijadikan sebagai acuan utama untuk memberlakukan
pemotongan pemungutan pajak atas transaksi yang diperlukan.
Pemotongan dan pemungutan adalah dua istilah yang berbeda. Pemotongan dapat
berarti memotong atau mengurangi pembayaran yang berkaitan dengan jumlah yang
diterima atau dapat juga dikatakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Pemotongan pajak biasanya dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan atau pihak
yang membayarkan. Sedangkan istilah pemungutan berarti memungut atau menambah
yang berkaitan dengan jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya diterima atau
Dasar Pengenaan Pajak (DPP).