Anda di halaman 1dari 2

Nama : Putri April Liyani

kelas : XI IPS 2

Skenario Jingga dan Senja Jogja


Cerpen Karangan: Husain Haekal Muhammad

Ku termenung diam disalah satu kafe disudut kota Jogja. Senja ini begitu ingin kunikmati dengan
ketenangan yang diberikan oleh siluet jingganya, sembari menatap hiruk pikuk jalanan kota jogja
yang seakan akan tak pernah mengerti kata istirahat. Vanilla Latte yang aku pesan menyeruakkan
aroma hangat sekaligus khas yang dimilikinya, buku tulis kecil yang sedari tadi kubawa masih
bersih dari tulisan yang seharusnya sudah sedari malam terisi rapi oleh skenario skenario alur
cerita.
Pikiranku kacau karna deadline yang diberikan guruku sudah hampir berakhir, aku hanya ingin
tenang sebentar.. batinku dalam hati, aku mengacak rambut sebahu yang aku miliki sembari
mengerang pelan. aku melepas kacamataku sembari perlahan memijit keningku, hingga suara itu
datang, suara yang kurasa tak asing dan telah lama tidak aku dengar kehadirannya
“Kala?”, ucap suara itu, aku menoleh, mencari dari mana sumber suara itu, seorang laki laki
berdiri disamping mejaku sambil menilikku, aku balas menatap laki laki itu, mencoba
memperhatikan perawakannya, ‘rambut comma hair, kacamata bundar, hoody merah maroon..’,
aku mengerutkan kening, gagal mengigat siapa laki laki ini.
“Siapa ya?,” tanyaku pada akhirnya, laki laki itu terkekeh pelan mendengar pertanyaanku,
“Lupa ya?, sebentar, sebelumnya benar ini dengan mba Jingga Sandyakala?”, tanyanya, aku
mengangguk pelan, laki laki itu tersenyum lalu melepas kaca mata miliknya sembari menyugar
rambutnya, aku terkesiap, ingat siapa laki laki ini,
“Kak Senja?”, ucapku pelan, laki laki itu tersenyum kecil sembari mengangguk, aku
mengerjapkan mataku tak percaya,
“Boleh aku duduk disini?”, tanyanya, aku mengangguk, mempersilahkan dirinya untuk duduk,
kemudian dia duduk didepanku, seorang pelayan datang menghampiri dirinya,
“Moccachino satu aja”, ucapnya, kemudian kembali menatap diriku, pelayan itu berlalu pergi,
meninggalkan aku dengan dirinya.
“Kok Kak Senja bisa disini”, tanyaku, dirinya hanya tersenyum kecil seperti menyembunyikan
sesuatu,
“Ya.. lagi gabut aja sih, lagian juga kamu kenapa kesini”, tanyanya balik, ‘malah tanya balik!’,
batinku, dan dari situ pembicaraan kami mulai bergulir kesana kemari,
Nabastala Senja, begitu nama lengkapnya, kakak kelasku waktu aku masih menduduki bangku
SMA, aku bisa menyebutnya sebagai salah satu teman dekatku, seingatku dulu perawakannya
tidak seperti sekarang, walaupun harus aku akui paras tampan yang dimilikinya tidak pernah
berubah, ada satu momen yang tidak sanggup aku lupakan perkara kak Senja, waktu itu aku
kelas 11, kak Senja kelas 12, kak senja mengungkapkan perasaan suka yang dimilikinya kepada
diriku, aku hanya terdiam, menatap mata teduh laki laki itu, aku tidak mampu menjawab apa apa,
ingin sekali aku menangis, bukankah dia tahu aku sudah mempunyai kekasih?, kenapa dia malah
mengungkapkan perasaan yang dirinya miliku kepadaku, bukankah banyak perempuan diluar
sana selain aku, perempuan yang bahkan belum mempunyai kekasih, saat itu, pada akhhirnya
aku menolaknya, aku tertunduk setelah mengatakan kata penolakan itu, dia hanya tersenyum
kecil,
“Tenang.., aku nggak pernah merasa menyesal telah ngomongin perasaanku ke kamu, aku tau
kamu udah punya pacar, aku juga sudah memperkirakan kamu bakal ngomong gitu, yang penting
kamu sudah denger perasaanku itu sudah buat aku lega..”, ucapnya sembari tertawa pelan, aku
hanya terdiam, merasa sebagai orang yang melukai orang lain.
kembali kemasa sekarang, aku terus berbincang seru dengan dirinya, melupakan sejenak tugas
membuat sebuah Skenario yang aku miliki,
“Gimana kabarmu sama Angga?”, tanyanya tiba tiba, aku tersenyum miris, menduga pertanyaan
ini pasti akan keluar dari mulutnya, aku menggeleng pelan sembari terus tersenyum kecil,
suasana hening sekejap, hingga pada akhirnya dia mengusap pelan pipiku, menasihatiku dengan
berbagai kata kata penyemangat, aku tersenyum, mengerti apa yang dia ucapkan, kami terus
bercerita, hingga pada akhirnya waktu yang tak pernah berhenti memutus pembicaraan kami. Dia
berpamitan kepadaku meninggalkan sedikit kenangan yang membuatku kembali membuat
sebuah harapan, punggung laki laki itu perlahan hilang di sebalik pintu kaca kafe.
Vanilla Latte yang aku pesan sudah dingin, aku menatap buku tulis didepanku, tersenyum
sembari menulis skenario terbaik yang sudah diberikan oleh Jogja kepadaku,
“Nabastala Senja”.

Anda mungkin juga menyukai