Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS DAN BAYI BARU LAHIR

PENYELENGGARAAN IMUNISASI WAJIB

OLEH :

KELOMPOK 1

1. Afifah Rahma Putri (224110401)


2. Ainul Azizah Rahmi (224110402)
3. Alviona Aulia Susanti (224110403)
4. Angela (224110404)

KELAS:2A

DOSEN PENGAMPU : Mardiani Bebasari, M.Keb

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN PADANG


JURUSAN KEBIDANAN
POLTEKKES KEMENKES RI PADANG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus
dan Bayi Baru Lahir.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus dan Bayi Baru Lahir. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang materi yang dibahas bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Mardiani Bebasari, M.Keb selaku dosen
pengajar yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuan nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Padang, 24 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI...................................................................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................

A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................

A. perencanaan kebutuhan dalam penyelenggaraan imunisasi........................................


B. cara penggadaan logistic..................................................................................................
C. pendistibusian vaksin.......................................................................................................
D. penyimpanan vaksin.........................................................................................................
E. tempat pelayanan imunisasi wajib..................................................................................
F. pemantauan dan evaluasi.................................................................................................

BAB III PENUTUP........................................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunisasi sangat penting untuk tubuh seseorang agar kebal dari penyakit. Imunisasi adalah
suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.
Apabila kelak terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut karena
system imun tubuh mempunyai sistem memori daya ingat, ketika vaksin masuk ke dalam tubuh
maka dibentuk antibodi untuk melawan vaksin tersebut dan sistem memori akan menyimpan
sebagai pengalaman (Butarbutar, 2018). Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
yaitu tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, pneumonia, meningitis, polio dan
campak. Imunisasi dasar lengkap adalah imunisasi yang diberikan pada anak sebelum berusia 1
tahun yang terdiri dari imunisasi HB 0, imunisasi BCG, imunisasi DPT-HB-HIB, imunisasi
polio, imunisasi IPV dan imunisasi campak (Kemenkes RI, 2018).

Imunisasi dasar lengkap dapat melindungi anak dari wabah penyakit, kecacatan dan
kematian. Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk memberikan kekebalan kepada bayi agar
dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang
sering berjangkit (Kusumawati, 2017). Tujuan umum program imunisasi dasar adalah turunnya
angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi akibat PD3I sedangkan tujuan khusus dari
program imunisasi dasar adalah tercapainya cakupan imunisasi dasar lengkap ( Sarri, 2018).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perencanaan kebutuhan dalam penyelenggaraan imunisasi?
2. Bagaimana cara penggadaan logistic?
3. Bagaimana pendistibusian vaksin?
4. Bagaimana penyimpanan vaksin?
5. Bagaiaman tempat pelayanan imunisasi wajib?
6. Bagamana penanaganan limbah imunisasi?
7. Bagaimanan pemantauan dan evaluasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetauhi perencanaan kebutuhan dalam penyelenggaraan imunisasi
2. Untuk mengetahui cara penggadaan logistic
3. Untuk mengetahui pendistibusian vaksin
4. Untuk mengatahui penyimpanan vaksin
5. Untuk mengataui tempat pelayanan imunisasi wajib
6. Untuk mengetahui penanaganan limbah imunisasi
7. Untuk mengetauhi pemantauan dan evaluasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perencanaan kebutuhan dalam penyelenggaraan imunisasi


Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terkena dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.sedangkan
Imunisasi wajib adalah imunisasi yang harus diperoleh anak sebelum usia 1 tahun.
Perencanaan merupakan salah satu unsur manajemen yang penting dalam
pengelolaan program imunisasi. Perencanaan nasional penyelenggaraan imunisasi
program dilaksanakan oleh Pemerintah berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh
puskesmas, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah daerah provinsi secara
berjenjang. Dengan demikian, perencanaan di tingkat puskesmas menjadi ujung
tombaknya. Perencanaan sebagaimana dimaksud meliputi penentuan sasaran, kebutuhan
logistik, dan pendanaan. (Kementerian Kesehatan, 2021).
Selain dari perencanaan di atas, perlu disusun juga perencanaan mikro atau
disebut dengan mikroplaning. Mikroplaning disusun dengan tujuan untuk memastikan
seluruh sasaran imunisasi dapat dijangkau dan dilayani sesuai usia sehingga pada
akhirnya dapat meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan
merata. Dengan mikroplaning yang disusun dengan baik, petugas dapat mengidentifikasi
kelompok prioritas, mengatasi kendala/permasalahan yang terjadi serta menyusun
rencana kerja untuk mengatasi kendala/permasalahan tersebut.

Komponen Mikroplaning
Mikroplaning yang disusun dengan baik harus memiliki komponen-komponen
sebagai berikut:
1. Jumlah dan data sasaran
2. Jumlah kebutuhan vaksin dan logistik imunisasi
3. Identifikasi ketersediaan SDM
4. Peta wilayah kerja puskesmas
5. Identifikasi hambatan terhadap akses dan penggunaan pelayanan
6. Identifikasi desa/kelurahan berisiko tinggi
7. Identifikasi solusi untuk mengatasi hambatan
8. Rencana kegiatan beserta pembiayaan

Langkah Penyusunan Mikroplaning

1. Tahap 1: Pendataan/Perhitungan Sasaran


Penentuan sasaran dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan estimasi
berdasarkan proyeksi data sasaran yang dikeluarkan Kemenkes atau pendataan langsung
yang dilakukan 6 oleh puskesmas. Dalam penentuan data sasaran, lakukan koordinasi
dengan pengelola program Kesehatan Keluarga.
a. Sasaran Imunisasi Dasar
1). Sasaran bayi lahir hidup Jumlah bayi lahir hidup digunakan sebagai sasaran
jenis imunisasi yang diberikan pada bayi usia kurang dari 2 bulan (HB0, BCG dan
OPV1). Jumlah bayi lahir hidup di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan dapat dihitung
sebagai berikut: Kecamatan : CBR provinsi x jumlah penduduk kecamatan
atau

Desa/kelurahan: Direkomendasikan untuk melaksanakan pendataan langsung ke


seluruh rumah penduduk sehingga diperoleh data sasaran riil by name by address. Untuk
perhitungan estimasi jumlah bayi lahir hidup tingkat desa/kelurahan dilakukan dengan
cara:

2) .Sasaran bayi bertahan hidup (surviving infant) Jumlah bayi yang bertahan
hidup (Surviving Infant) dihitung/ditentukan berdasarkan jumlah bayi lahir hidup
dikurangi dengan jumlah kematian bayi yang didapat dari perhitungan Angka Kematian
Bayi (AKB) dikalikan dengan jumlah bayi lahir hidup. Jumlah ini digunakan sebagai
sasaran jenis imunisasi yang diberikan pada bayi usia 2-11 bulan.

wilayah agama kabupaten/kota. Sedangkan untuk anak usia sekolah yang tidak
bersekolah data dapat diperoleh dari dinas sosial kabupaten/kota atau dengan melakukan
pendataan langsung oleh kader posyandu dan dasawisma di masyarakat.

3) .Wanita Usia Subur (WUS) WUS yang menjadi sasaran program imunisasi
adalah semua wanita usia 15 s.d 39 tahun, termasuk ibu hamil. Menghitung estimasi
sasaran WUS dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:

2. Tahap 2: Perhitungan Kebutuhan Vaksin dan Logistik Imunisasi


a. Perhitungan kebutuhan vaksin Dalam menghitung jumlah
kebutuhan vaksin, harus diperhatikan beberapa hal, yaitu jumlah
sasaran, jumlah pemberian, target cakupan 100% dan indeks
pemakaian vaksin dengan memperhitungkan sisa vaksin (stok)
sebelumnya.
b. Perhitungan kebutuhan Auto Disable Syringe (ADS) ADS dihitung
sejumlah dengan sasaran yang akan diberikan. Perhitungan
dilakukan untuk masing-masing jenis ADS (0,5 ml; 0,05 ml dan 5
ml).
c. Perhitungan kebutuhan Safety Box (SB) Safety Box dihitung
dengan mempertimbangkan jumlah ADS. Safety box ukuran 2,5
ml : 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝐷𝑆 ÷ 50 Safety box ukuran 5 ml : 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝐷𝑆 ÷
100
3. Tahap 3: Pembuatan Peta Wilayah Kerja Puskesmas
Peta wilayah kerja puskesmas harus mencakup:
● Lokasi dari setiap desa/kelurahan.
● Lokasi-lokasi penting seperti posyandu, fasyankes, tempat ibadah, pasar,
sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya.
● Perkiraan jarak dan waktu tempuh dari puskesmas, fasilitas pelayanan
kesehatan dan posyandu ke setiap komunitas masyarakat
● Lokasi-lokasi rentan/berisiko yaitu wilayah padat penduduk, wilayah kumuh,
wilayah yang terdapat pekerja migran, kelompok marjinal dan pengungsi yang
berdomisili, wilayah pedesaan dan sulit secara geografis, wilayah yang
teridentifikasi adanya penolakan terhadap imunisasi, atau wilayah pemukiman
baru.

4. Tahap 4: Penentuan Wilayah Prioritas


Dalam menentukan wilayah prioritas, perlu dilakukan perhitungan angka Left Out
(LO) dan Drop Out (DO) terlebih dahulu. Pastikan data yang digunakan adalah data yang
valid dan akurat. Left Out adalah anak tidak imunisasi (belum pernah diimunisasi sama
sekali) yang usianya dalam sasaran program imunisasi (eligible). Angka LO menjadi
indikator terhadap akses pelayanan imunisasi. Akses imunisasi adalah kesempatan atau
kontak pertama dengan upaya sendiri untuk mendapatkan pelayanan imunisasi yang
diukur dengan melihat cakupan jenis antigen pertama yang diperoleh anak. Drop Out
adalah anak yang sudah mendapatkan kesempatan pertama imunisasi namun tidak
menyelesaikan rangkaian dosis pemberian sesuai jadwal. Angka DO menjadi Indikator
terhadap pemanfaatan imunisasi. Pemanfaatan imunisasi adalah kesempatan masyarakat
menggunakan fasilitas kesehatan untuk mendapatkan layanan imunisasi.

*Dihitung mulai bulan Januari sampai dengan bulan melakukan analisis (bulan
berjalan) .

DO yang dapat digunakan adalah DO cakupan bayi maupun DO cakupan baduta.


DO cakupan bayi di hitung dengan mencari selisih cakupan DPT-HB-Hib 1 dengan DPT-
HB-Hib 3 atau selisih 9 cakupan DPT-HB-Hib 1 dengan Campak Rubella 1, sedangkan
DO cakupan baduta dihitung dengan selisih antara cakupan DPT-HB-Hib 3 dengan DPT-
HB-Hib 4 atau selisih cakupan Campak Rubela 1 dengan cakupan Campak Rubela 2.
* Campak Rubela 1 dihitung mulai dari Januari s/d bulan berjalan tahun lalu
* Campak Rubela 2 dihitung mulai dari Januari s/d bulan berjalan tahun ini
Agar diperoleh angka DO yang dapat lebih menggambarkan situasi di lapangan,
direkomendasikan untuk menggunakan DO cakupan baduta.

* LO atau DO bernilai negatif termasuk ke dalam kategori buruk (BU). Lakukan


pengecekan akurasi data dan telusuri permasalahannya. Misalnya ada anak yang datang
pertama kali pada usia empat bulan, tetapi dicatat sebagai DPT-HB-Hib 3 (seharusnya
DPT-HB-Hib 1) atau ada sasaran dari luar daerah.
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat ditentukan kategori risiko masing-masing
wilayah. Kategori risiko tersebut adalah sebagai berikut:
● Risiko tinggi: o Angka LO dan DO lebih dari 5% (lima persen) o Angka LO atau DO
lebih dari 5%, disertai kondisi pendukung yaitu padat penduduk, kumuh, terdapat
pekerja migran, kelompok marjinal dan pengungsi yang berdomisili, pedesaan dan
sulit secara geografis, teridentifikasi adanya penolakan terhadap imunisasi, atau
pemukiman baru.
● Risiko sedang: Angka LO atau DO lebih dari 5% tanpa disertai kondisi pendukung
● Risiko rendah: Angka LO dan DO kurang dari 5% (lima persen)

Dengan mengetahui risiko suatu wilayah kita dapat melakukan penentuan wilayah
(desa/kelurahan) prioritas. Wilayah risiko tinggi menjadi prioritas pertama, dilanjutkan
dengan wilayah risiko sedang kemudian rendah. Penentuan wilayah prioritas ini juga
perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber daya.

5. Tahap 5: Identifikasi Hambatan dan Solusi


Lakukan identifikasi hambatan beserta solusi untuk mengatasi hambatan. Format
tabel berikut ini dapat menjadi acuan petugas.
6. Tahap 6: Penyusunan Rencana Kegiatan
Susun rencana kegiatan untuk seluruh desa/kelurahan di wilayah kerja
puskesmas. Rencana kegiatan ini sekurang-kurangnya harus meliputi nama
desa/kelurahan, nama/jenis kegiatan, sasaran kegiatan, jumlah vaksin dan logistik yang
dibutuhkan, jumlah dana yang dibutuhkan, sumber dana, tim pelaksana atau penanggung
jawab kegiatan, serta rencana waktu pelaksanaan. Rencana kegiatan disusun berdasarkan
risiko wilayah. Rencana kegiatan dapat disusun bulanan, triwulan atau setiap 6 bulan.
Rencana kegiatan juga sebaiknya disusun untuk kurun waktu tahunan dan 3 tahunan.

Perencanaan imunisasi merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan oleh petugas yang
profesional. Perencanaan disusun secara berjenjang mulai dari puskesmas, kabupaten/kota,
provinsi, dan pusat (bottom up). Perencanaan puskesmas, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat
(bottom up). Perencanaan imunisasi wajib meliputi:

1. Penentuan Sasaran imunisasi rutin Wajib


a. Bayi pada imunisasi dasar
Jumlah bayi baru lahir dihitung/ditentukan berdasarkan angka yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) atau sumber resmi yang lain. Dapat juga dihitung
dengan rumus: bayi = Cbr x Jumlah Penduduk. Sasaran ini digunakan untuk
menghitung imunisasi HB 0, BCG, dan Polio 1. Jumlah bayi yang bertahan hidup
(surviving infant) dihitung/ditentukan dengan rumus: Surviving Infant (Si) = Jumlah
bayi – (iMr x Jumlah bayi). Sasaran ini digunakan untuk menghitung imunisasi yang
diberikan pada bayi usia 2–11 bulan. Jumlah batita dihitung berdasarkan jumlah
Surviving Infant (SI).

b. Anak sekolah daar pada imunisasi lanjutan

Jumlah sasaran anak sekolah didapatkan dari data yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pendidikan atau Kementerian Agama (untuk siswa MI) atau
pendataan langsung pada sekolah.

c. Wanita usia Subur (WuS) pada imunisasi lanjutan


Batasan Wanita Usia Subur (WUS) adalah antara 15–49 tahun. Rumus untuk
menghitung jumlah sasaran WUS = 21,9% x Jumlah Penduduk. Wanita Usia Subur
terdiri dari WUS hamil dan tidak hamil.
2 .Sasaran imunisasi tambahan
Sasaran imunisasi tambahan adalah kelompok risiko (golongan umur) yang paling
berisiko terkenanya kasus. Jumlah sasaran didapatkan berdasarkan pendataan langsung.

3.Sasaran imunisasi khusus


Sasaran imunisasi khusus ditetapkan dengan keputusan tersendiri (misalnya:
jemaah haji, masyarakat yang akan pergi ke negara tertentu.

4.Perencanaan kebutuhan logistik


Logistik imunisasi terdiri dari vaksin, Auto Disable Syringe dan safety box. Ketiga
kebutuhan tersebut direncanakan secara bersamaan dalam jumlah yang berimbang
(system bundling).

a. Perencanaan Vaksin

1) Menentukan Target Cakupan


Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan yang akan
dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui kebutuhan vaksin yang
akan dibutuhkan. Penetapan target cakupan berdasarkan tingkat pencapaian di tiap-tiap
wilayah kerja.

2) Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin


Indeks pemakaian (IP) vaksin adalah dosis riil setiap kemasan vaksin. Dalam menghitung
jumlah kebutuhan vaksin harus diperhatikan beberapa hal, yaitu jumlah sasaran, jumlah
pemberian, target cakupan dan indeks pemakaian vaksin dengan memperhitungkan sisa
vaksin (stok) sebelumnya. Kebutuhan {Jumlah Sasaran x Jumlah Pemberian x Target
Cakupan} Sisa Stok IP Vaksin Indeks pemakaian vaksin (IP) adalah pemakaian rata-rata
setiap kemasan vaksin. Cara menghitung IP adalah dengan membagi jumlah cakupan dengan
jumlah vaksin yang dipakai
Indeks pemakaian vaksin (IP) adalah pemakaian rata-rata setiap kemasan vaksin. Cara
menghitung IP adalah dengan membagi jumlah cakupan dengan jumlah vaksin yang dipakai

Jika ada kegiatan massal dalam pelayanan imunisasi, Anda akan mendapatkan
IP vaksin lebih besar dari pada pelayanan imunisasi rutin.

3) Menghitung Kebutuhan Vaksin


a) Setelah menghitung jumlah sasaran, menentukan target dan menghitung IP vaksin,
maka data-data tersebut dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan vaksin.
b) Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten/kota untuk dilakukan
kompilasi, kemudian diteruskan ke provinsi dan ke pusat (perencanaan secara bottom up).
Rumus menghitung kebutuhan tiap jenis vaksin
5. Perencanaan Safety Box
Safety box digunakan untuk menampung alat suntik bekas pelayanan imunisasi sebelum
dimusnahkan. Safety box ukuran 2,5 liter mampu menampung 50 alat suntik bekas, sedangkan
ukuran 5 liter menampung 100 alat suntik bekas. Limbah imunisasi selain alat suntik bekas tidak
boleh dimasukkan ke dalam Safety box.

6. Perencanaan kebutuhan Peralatan Cold Chain


Sesuai dengan tingkat administrasi, maka sarana coldchain yang dibutuhkan adalah
sebagai berikut.
1) Provinsi: Coldroom, freeze room, lemari es, dan freezer;
2) Kabupaten/kota: Coldroom, lemari es, dan freezer;
3) Puskesmas: Lemari es.
Cara perhitungan kebutuhan coldchain adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal
vaksin (semua jenis vaksin) dengan volume setiap jenis dan membandingkannya dengan
volume lemari es/freezer.
B.CARA PENGADAAN LOGISTIK
Keberhasilan imunisasi untuk menurunkan kecacatan dan kematian akibat PD3I( PD3I
merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri Untuk penyakit yang disebabkan
oleh virus yaitu Cacar, Campak, Polio, Hepatitis B, Hepatitis A, Influenza, Haemophilus)di
tingkat masyarakat sangat tergantung pada cakupan imunisasi tersebut dan kecukupan logistik
vaksin adalah salah satu hal yang berperan penting dalam mencapai cakupan yang baik.
Perhitungan kebutuhan vaksin dan logistiknya sangat penting dalam membuat perencanaan
kebutuhan dan sebagai dasar dalam melakukan permintaan kebutuhan setiap bulannya baik pada
tingkat Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maupun Dinas Kesehatan Provinsi.

Salah satu kendala dalam perhitungan kebutuhan vaksin dan logistiknya adalah
pencatatan data logistik yang belum terdokumentasikan dengan baik dan pelaporan yang belum
rutin dilakukan. Ketidakakuratan pencatatan dan pelaporan dapat menyebabkan angka kebutuhan
yang dimintakan dari Puskesmas ke Kabupaten dan Kabupaten ke Provinsi menjadi tidak akurat
sehingga vaksin yang terdistribusi hanya berdasarkan angka yang diminta tanpa didasari oleh
analisa stok yang dimiliki oleh masing-masing unit tersebut.

Peran Logistik Di Rumah Sakit

Menurut Febriawati (2013) mengemukakan bahwa:

Peran rumah sakit merupakan suatu satuan usaha melakukan kegiatan produksi. Kegiatan
produksi rumah sakit adalah produksi jasa, sehingga yang dimaksud dengan kegiatan logistik
disini hanya menyangkut manajemen persediaan bahan, barang serta peralatan yang dibutuhkan
dalam rangka produksi jasa tersebut. Barang atau bahan-bahan yang sudah disediakan bagian
logistik rumah sakit tersebut tentunya perlu dilakukan inventory control yang bertujuan untuk
menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan. Menurut Aditama dalam
Febriawati (2013) menyatakan bahwa:

Manajemen logistik adalah suatu ilmu pengetahuan dan atau seni serta proses mengenai
perencanaan dan penentuan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan
serta penghapusan material/alatalat. Prinsip-prinsip dalam manajemen merupakan pegangan
umum untuk dapat terselenggaranya fungsi-fungsi logistik dengan baik.

Menurut Sutedi (2014:6) berpendapat bahwa kedudukan pengadaan barang dan jasa dalam
manajemen logistik, meliputi:

1. Perencanaan
2. Penyimpanan/penggudangan
3. Penganggaran
4. Distribusi/penyaluran
5. Pengadaan
6. Evaluasi/status stok

Selain itu menurut Febriawati (2013:18) mengemukakan mengenai bentukbentuk logistik di


Rumah Sakit, antara lain:

1. Dapur/bahan makanan
2. Barang Inventaris
3. Farmasi
4. Kerumah Tanggaan
5. Laboratorium
6. Suku cadang peralatan medis
7. Air
8. Alat Tenun (Linen dan Londry)
9. Alat Tulis Kantor
10. IPAL (Instalasi Pengelolaan Limbah)

C.PENDISTRIBUSIAN VAKSIN
Distribusi adalah suatu proses penyaluran atau penyampaian barang atau jasa dari
produsen pada konsumen dan pemakai. Dalam Pendistribusian Pemerintah bertanggung
jawab dalam pendistribusian logistik sampai ke tingkat provinsi. Pendistribusian
selanjutnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah secara berjenjang dengan
mekanisme diantar oleh level yang lebih atas atau diambil oleh level yang lebih bawah,
tergantung kebijakan masing-masing daerah.

Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat sampai ke tingkat pelayanan, harus
mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi agar mampu memberikan kekebalan yang
optimal kepada sasaran.
a. Pusat ke Provinsi
1. Penyedia vaksin bertanggung jawab terhadap seluruh pengiriman vaksin
dari pusat sampai ke tingkat provinsi.

2. Dinas kesehatan provinsi mengajukan rencana jadwal penyerapan vaksin


alokasi provinsi yang dikirimkan kepada Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, tembusan
kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan cq. Subdit Imunisasi serta kepada penyedia vaksin paling
lambat 10 hari kerja setelah alokasi vaksin diterima di provinsi.
3. Vaksin akan dikirimkan sesuai jadwal rencana penyerapan dan atau
permintaan yang diajukan oleh dinas kesehatan provinsi.

4. Pengiriman vaksin (terutama BCG) dilakukan secara bertahap (minimal


dalam dua kali pengiriman) dengan interval waktu dan jumlah yang
seimbang dengan memperhatikan tanggal kedaluwarsa dan
kemampuanpenyerapan serta kapasitas tempat penyimpanan.
5. Vaksin untuk kegiatan BIAS dikirimkan 1 (satu) bulan sebelum
pelaksanaan kegiatan.

6. Vaksin alokasi pusat akan dikirimkan berdasarkan permintaan resmi dari


dinas kesehatan provinsi yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan cq. Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan
Matra dengan melampirkan laporan monitoring vaksin pada bulan
terakhir.

7. Dalam setiap pengiriman vaksin harus disertakan dokumen berupa:


i. SP (Surat Pengantar) untuk vaksin alokasi provinsi/
SBBK (Surat Bukti Barang Keluar) untuk vaksin
alokasi pusat.

ii. VAR (Vaccine Arrival Report) untuk setiap nomor


batch vaksin.

iii. Copy CoR (Certificate of Release) untuk setiap batch


vaksin

8. Wadah pengiriman vaksin berupa cold box yang disertai alat untuk
mempertahankan suhu dingin. berupa:

a. Cool pack untuk vaksin TT, Td, DT, hepatitis B, dan DPT-HB.
b. Cold pack untuk vaksin BCG dan campak.
c. Dry ice dan/atau cold pack untuk vaksin polio.

9. Pelarut dan penetes dikemas pada suhu kamar terpisah dengan vaksin
(tanpa menggunakan pendingin).

10. Pada setiap cold box disertakan alat pemantau paparan suhu tambahan
berupa:
a. Indikator paparan suhu beku untuk vaksin sensitive beku (DT, TT, Td,
Hep. B dan DPT-HB).
b. Indikator paparan suhu panas untuk vaksin BCG.

b.Dari Provinsi ke Kabupaten/Kota


1) Merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dengan cara diantar oleh provinsi
atau diambil oleh kabupaten/ kota.
2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
mempertimbangkan stok maksimum dan daya tampung tempat penyimpanan.

3) Menggunakan cold box yang disertai alat penahan suhu dingin berupa:

a. Cool pack untuk vaksin TT, DT, Td, hepatitis B PID dan DPT-HB.

b. Cold pack untuk vaksin BCG, campak dan polio.


4) Apabila vaksin sensitif beku dan sensitif panas ditempatkan dalam satu wadah maka
pengepakannya menggunakan cold box yang berisi cool pack.

5) Dalam setiap pengiriman harus disertai dengan dokumen berupa:


a) VAR (Vaccine Arrival Report) yang mencantumkanseluruh vaksin.
b) SBBK (Surat Bukti Barang Keluar).

6) Pengepakan vaksin sensitif beku harus dilengkapi dengan indikator pembekuan.

c. Dari Kabupaten/Kota ke Puskesmas.

1) Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh puskesmas.

2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan mempertimbangkan


stok maksimum dan daya tampung penyimpanan vaksin.

3) Menggunakan cold box atau vaksin carrier yang disertai dengan cool pack.

4) Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan
Vaccine Arrival Report (VAR).

5) Pada setiap cold box atau vaksin carrier disertai dengan indikator pembekuan.
d. Distribusi dari Puskesmas ke tempat pelayanan.
Vaksin dibawa dengan menggunakan vaksin carrier yang diisi cool pack dengan
jumlah yang sesuai.

D.PENYIMPANAN VAKSIN

Penyimpanan vaksin membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan


sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan. Di dalam Permenkes
Nomor 12 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi disebutkan bahwa vaksin merupakan
produk biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu tertentu, yakni pada suhu
2 s.d 8ºC untuk vaksin sensitif beku (tidak boleh beku), dan pada suhu -15 s.d -25 ºC untuk
vaksin yang sensitif panas. Sekarang, hanya vaksin polio yang masih memerlukan tempat
penyimpanan dengan suhu dibawah 0°C. Sejumlah vaksin, seperti Hepatitis B, DPT-HB-Hib,
IPV, DT, Td akan berpotensi menjadi rusak jika terpapar suhu beku. Sedangkan vaksin Polio,
BCG, dan Campak akan berpotensi rusak jika terpapar suhu panas. Namun secara umum, vaksin
akan rusak jika terpapar oleh sinar matahari secara langsung.

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2 s.d 8ºC atau pada suhu ruang terhindar dari
sinar matahari langsung. Seharisebelum digunakan.Beberapa ketentuan yang harus selalu
diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara berurutan adalah paparan vaksin terhadap
panas,masa kedaluwarsa vaksin, waktu pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian
sisavaksin.

a. Keterpaparan vaksin terhadap panas


Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan dengan
perubahan kondisi VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa
kedaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh
digunakan.

b. Masa kedaluwarsa vaksin


Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek masa
kedaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO)

c. Waktu penerimaan vaksin (First In First Out/FIFO)


Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka
waktu pemakaian yang lebih pendek.

d. Pemakaian Vaksin Sisa


Vaksin sisa pada pelayanan statis (puskesmas, rumah sakit atau praktik swasta) bisa
digunakan pada pelayanan hari berikutnya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
adalah:

1. Disimpan pada suhu 2 °C s.d. 8 °C.


2. VVM dalam kondisi A atau B.

3. Belum kedaluwarsa.

4. Tidak terendam air selama penyimpanan.

5. Belum melampaui masa pemakaian.Vaksin sisa pelayanan dinamis


(posyandu, sekolah) tidak boleh digunakan kembali pada
pelayanan berikutnya, dan harus dibuang.

e. Monitoring vaksin dan logistik Setiap akhir bulan atasan langsung pengelola vaksin
melakukan monitoring administrasi dan fisik vaksin serta logistik lainnya. Hasil
monitoring dicatat pada kartu stok dan dilaporkan secara berjenjang bersamaan dengan
laporan cakupan imunisasi.

Sarana penyimpanan:
a. Kamar dingin dan kamar beku

1) Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000 liter
(100 M³). Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2°C s.d. +8°C. Kamar
dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin BCG, campak, DPT, TT, DT, hepatitis
B dan DPT-HB.

2) Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M³) sampai dengan 100.000 liter
(100 M³), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15°C s.d. -25°C. Kamar
beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.

Kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi
mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam
jangka waktu yang cukup lama.
b. Lemari es dan freezer
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis B, Campak dan
DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2 °C s.d. + 8 °C dapat juga difungsikan untuk
membuat kotak dingin cair (cool pack). Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio
pada suhu yang ditentukan antara -15°C s.d. -25°C atau membuat kotak es beku (cold
pack).

c. Alat pembawa vaksin


1). Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa vaksin.
Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak dingin (cold box)
ada 2 macam yaitu terbuat dari plastik atau kardus dengan insulasi poliuretan.
2) .Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari puskesmas ke
posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat mempertahankan
suhu +2°C s.d. +8°C.

d. Alat untuk mempertahankan suhu


1). Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi empat yang
diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15°C s.d. -25°C selama
minimal 24 jam.
2). Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang
diisi dengan air kemudian didinginkan dalam lemari es dengan suhu +2°C s.d. +8°C
selama minimal 24 jam.
D.TEMPAT PELAYANAN IMUNISASI WAJIB

Secara operasional, pelayanan imunisasi baik di posyandu, puskesmas, puskesmas


keliling, maupun fasilitas kesehatan lainnya yang memberikan layanan imunisasi mengikuti
kebijakan pemerintah daerah setempat. Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan
standar pelayanan, standar operasional dan standar profesi sesuai peraturan perundang-undangan.
Proses pemberian imunisasi harus diperhatikan keamanan vaksin dan penyuntikan agar tidak
terjadi penularan penyakit dalam pelaksanaan pelayanan imunisasi dan masyarakat serta
terhindar dari KIPI. Sebelum dilaksanakan imunisasi, pelaksana pelayanan imunisasi harus
memberikan informasi lengkap secara massal tentang imunisasi yang meliputi vaksin, cara
pemberian, manfaat dan kemungkinan terjadi bahaya (Permenkes, 2017).

Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh tempat pelayanan vaksinasi yaitu lemari es
standart program. Vaccine Carrrier (termos) adalah alat untuk mengirim atau membawa vaksin.
Cold Box digunakan sebagai tempat penyimpanan vaksin sementara apabila dalam keadaan
darurat seperti listrik padam untuk waktu cukup lama, atau lemari es sedang rusak yang bila
diperbaiki memakan waktu lama. Freeze Tag digunakan untuk memantau suhu vaksin. Auto
Disable Syringe yang selanjutnya disingkat ADS adalah alat suntik sekali pakai untuk
pelaksanaan pelayanan imunisasi. Safety Box adalah sebuah tempat yang berfungsi untuk
menampung sementara limbah bekas ADS yang telah digunakan dan harus memenuhi
persyaratan khusus. Cold Chain adalah sistem pengelolaan vaksin yang dimaksudkan untuk
memelihara dan menjamin mutu vaksin dalam pendistribusian mulai dari pabrik pembuat vaksin
sampai pada sasaran (Permenkes, 2017)Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan Imunisasi Program, wajib menggunakan Vaksin yang disediakan
oleh Pemerintah Pusat.

a. berdasarkan alasan medis yang tidak memungkinkan diberikan Vaksin yang


disediakan oleh Pemerintah Pusat yang dibuktikan oleh surat keterangan dokter
atau dokumen medis yang sah; atau
b. dalam hal orang tua/wali anak melakukan penolakan untuk menggunakan Vaksin
yang disediakan Pemerintah Pusat.
E.PENANGANAN LIMBAH IMUNISASI

Pada tahun 2000, WHO mencatat kasus infeksi akibat tusukan jarum bekas yang
terkontaminasi, yaitu infeksi virus Hepatitis B sebanyak 21 juta (32% dari semua infeksi baru),
infeksi virus hepatitis C sebanyak 2 juta (40% dari semua infeksi baru), dan infeksi HIV
sebanyak 260 ribu (5% dari seluruh infeksi baru). Berikut ini prinsip-prinsip penting dalam
pelaksanaan pengelolaan limbah.
1. The “polluter” principle atau prinsip “pencemar yang membayar” bahwa
semua penghasil limbah secara hukum dan finansial bertanggung jawab untuk
menggunakan metode yang aman dan ramah lingkungan dalam pengelolaan limbah.

2. The “precautionary” principle atau prinsip “pencegahan” merupakan prinsip kunci yang
mengatur perlindungan kesehatan dan keselamatan melalui upaya penanganan yang
secepat mungkin dengan asumsi risikonya dapat terjadi cukup signifikan.

3. The “duty of care” principle atau prinsip “kewajiban untuk waspada” bagi yang
menangani atau mengelola limbah berbahaya karena secara etik bertanggung jawab
untuk menerapkan kewaspadaan tinggi.

4. The “proximity” principle atau prinsip “kedekatan” dalam penanganan limbah


berbahaya untuk meminimalkan risiko dalam pemindahan.

Limbah imunisasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut.


1. limbah infeksius
Limbah infeksius kegiatan imunisasi merupakan limbah yang ditimbulkan setelah pelayanan
imunisasi yang mempunyai potensi menularkan penyakit kepada orang lain, yaitu limbah medis
tajam (berupa ADS yang telah dipakai, alat suntik untuk pencampur vaksin, alat suntik yang
telah kadaluwarsa) dan limbah farmasi berupa sisa vaksin dalam botol atau ampul, kapas
pembersih/usap, vaksin dalam botol atau ampul yang telah rusak karena suhu atau kedaluwarsa.

a. limbah infeksius tajam


Pengelolaan limbah medis infeksius tajam dapat dilakukan dengan cara berikut.
1) Menggunakan Incinerato

2).menggunakan bak beton

2).menggunakan bak beton


3).pengelolaan jarum

4).pengelolaan syringe
2. Pengelolaan limbah non-infeksius
Limbah non-infeksius kegiatan imunisasi seperti limbah kertas pembungkus alat suntik dan
kardus pembungkus vaksin dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Limbah
tersebut dapat disalurkan ke pemanfaat atau dapat langsung dibuang ke tempat pembuangan
akhir (TPA).

F.PEMANTAUAN DAN EVALUASI

1. Pemantauan
Pemantauan merupakan fungsi penting dalam manajemen program agar kegiatan sejalan
dengan ketentuan program. Beberapa alat pemantauan yang dimiliki adalah sebagai berikut.

a. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)


Alat pemantauan ini untuk meningkatkan cakupan, sifatnya lebih memantau kuantitas
program.
Prinsip PWS:
1) Memanfaatkan data yang ada dari cakupan/laporan cakupan imunisasi.
2) Menggunakan indikator sederhana tidak terlalu banyak
Indikator PWS, untuk masing-masing antigen:
(a) Hepatitis B 0–7 hari: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan;
(b) BCG: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan;
(c) DPT-HB 1: Jangkauan/aksesibilitas pelayanan;
(d) Campak: Tingkat perlindungan (efektivitas program);
(e) Polio 4: Tingkat perlindungan (efektivitas program);
(f) Drop out DPT-HB1–Campak: efisiensi/manajemen program.
3) Dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan setempat.
4) Teratur dan tepat waktu (setiap bulan)
a. Teratur untuk menghindari hilangnya informasi penting;
b. Tepat waktu agar tidak terlambat dalam mengambil keputusan.

5) Lebih dimanfaatkan sendiri atau sebagai umpan balik untuk dapat mengambil
tindakan daripada dikirimkan laporan.

b. Data Quality Self Assessment (DQS)


DQS terdiri dari suatu perangkat alat bantu yang mudah dilaksanakan dan dapat
disesuaikan dengan kebutuhan. DQS dirancang untuk pengelola imunisasi pada tingkat
nasional, provinsi atau kabupaten/kota untuk mengevaluasi aspek-aspek yang berbeda dalam
rangka menentukan keakuratan laporan imunisasi dan kualitas sistim pemantauan evaluasi.

Pemantauan mengacu pada pengukuran pencapaian cakupan imunisasi dan indikator sistem
lainnya. Misalnya, pemberian imunisasi yang aman, manajemen vaksin, dan lain-lain.
Pemantauan berkaitan dengan pelaporan karena melibatkan kegiatan pengumpulan data dan
prosesnya. DQS bertujuan untuk mendapatkan masalah-masalah melalui analisis dan
mengarah pada peningkatan kinerja pemantauan kabupaten/kota dan data untuk perbaikan.

c. Effective Vaccine Management (eVm)


EVM adalah suatu cara untuk melakukan penilaian terhadap manajemen penyimpanan
vaksin, sehingga dapat mendorong suatu provinsi untuk memelihara dan melaksanakan
manajemen dalam melindungi vaksin. EVM didasarkan pada prinsip jaga mutu. Kualitas
vaksin hanya dapat dipertahankan dan ditangani dengan tepat mulai dari pembuatan hingga
penggunaan. Manajer dan penilai luar hanya dapat menetapkan bahwa kualitas terjaga
apabila rincian data arsip dijaga dan dapat dipercaya. Jika arsip tidak lengkap atau tidak
akurat, sistem penilaian tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun vaksin disimpan dan
didistribusikan secara benar, sistem tidak dapat dinilai. Dengan demikian, vaksin tidak
terjamin mutunya dan tidak dapat dinilai memuaskan dalam EVM.

d. Supervisi Suportif
Supervisi suportif merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan, meliputi pemantauan, pembinaan, dan pemecahan masalah, serta tindak
lanjut. Kegiatan ini sangat berguna untuk melihat bagaimana program atau kegiatan
dilaksanakan sesuai dengan standar dalam rangka menjamin tercapainya tujuan kegiatan
imunisasi. Supervisi suportif didorong untuk dilakukan dengan terbuka, komunikasi dua
arah, dan membangun pendekatan tim yang memfasilitasi pemecahan masalah. Kegiatan
supervisi dimanfaatkan untuk melaksanakan “on the job training” terhadap petugas di
lapangan. Supervisi diharapkan akan menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja
petugas lapangan.
d. supervisi suportif untuk memantau kualitas pelaksanaan program

e. surveilens KIPI untuk memantau keamanan Vaksin

f. recording and reporting (RR) untuk memantau hasil pelaksanaan imunisasi

G. stock management system (SMS) untuk memantau ketersediaan Vaksin dan logistik

h. Cold Chain equipment management (CCEM) untuk inventarisasi peralatan Cold Chain

i. rapid convinience assessment (RCA) untuk menilai secara cepat kualitas pelayanan
Imunisasi survei cakupan Imunisasi untuk menilai secara eksternal pelayanan Imunisasi

k .pemantauan respon imun untuk menilai respon antibodi hasil pelayanan Imunisasi.
2. evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan apabila
dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Berdasarkan sumber data, ada 2 macam
evaluasi, yaitu evaluasi dengan data sekunder dan evaluasi dengan data primer.

a. evaluasi dengan Data Sekunder


Angka-angka yang dikumpulkan oleh puskesmas, selain dilaporkan perlu pula dianalisis.
Cara menganalisis data harus baik dan teratur sehingga akan memberikan banyak informasi
penting yang dapat menentukan kebijaksanaan program.
1) Stok Vaksin
Stok vaksin dilaporkan oleh petugas puskesmas, kabupaten dan provinsi ke tingkat yang di
atasnya untuk pengambilan atau distribusi vaksin. Grafik dibuat menurut waktu, dapat
dibandingkan dengan cakupan dan batas stok maksimum dan minimum untuk menilai
kesiapan stok vaksin menghadapi kegiatan program. Data stok vaksin menghadapi kegiatan
program. Data stok vaksin diambil dari kartu stok.

2) Indeks Pemakaian Vaksin


Dari pencatatan stok vaksin setiap bulan diperoleh jumlah vial/ampul vaksin yang
digunakan. Untuk mengetahui berapa rata-rata jumlah dosis diberikan untuk setiap
vial/ampul, yang disebut indeks pemakaian vaksin (IP). Perhitungan IP dilakukan untuk
setiap jenis vaksin. Nilai IP biasanya lebih kecil dari jumlah dosis per vial/ampul. Hasil
perhitungan IP menentukan berapa jumlah vaksin yang harus disediakan untuk tahun
berikutnya. Apabila hasil perhitungan IP dari tahun ke tahun untuk tiap-tiap vaksin
divisualisasikan, pengelola program akan lebih mudah menilai apakah strategi operasional
yang diterapkan di puskesmas sudah memperhatikan masalah efisiensi program tanpa
mengurangi cakupan dan mutu pelayanan.

3) Suhu Lemari Es
Pencatatan suhu lemari es atau freezer dilakukan setiap hari pada grafik suhu yang tersedia
untuk tiap-tiap unit. Pencatatan suhu dilakukan 2 kali setiap pagi dan sore hari. Dengan
menambah catatan saat terjadinya peristiwa penting pada grafik tersebut, seperti sweeping,
KLB, KIPI, penggantian suku cadang, grafik suhu ini akan menjadi sumber informasi
penting.

4) Cakupan per Tahun


Untuk setiap antigen grafik cakupan per tahun dapat memberikan gambaran secara
keseluruhan tentang adanya kecenderungan:
a) Tingkat pencapaian cakupan imunisasi;
b) Indikasi adanya masalah;
c) Acuan untuk memperbaiki kebijaksanaan atau strategi yang perlu diambil
untuk tahun berikutnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara


aktif terhadap suatu penyakit sehingga bila suatu saat terkena dengan penyakit tersebut tidak
akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.sedangkan Imunisasi wajib adalah imunisasi
yang harus diperoleh anak sebelum usia 1 tahun.

Perencanaan merupakan salah satu unsur manajemen yang penting dalam pengelolaan
program imunisasi. Perencanaan nasional penyelenggaraan imunisasi program dilaksanakan
oleh Pemerintah berdasarkan perencanaan yang dilakukan oleh puskesmas, pemerintah
daerah kabupaten/kota, dan pemerintah daerah provinsi secara berjenjang. Dengan demikian,
perencanaan di tingkat puskesmas menjadi ujung tombaknya. Perencanaan sebagaimana
dimaksud meliputi penentuan sasaran, kebutuhan logistik, dan pendanaan. (Kementerian
Kesehatan, 2021).

B. Saran

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis meminta
kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah penulis kedepannya. Atas perhatiannya
penulis ucapkan terimakasih

DAFTAR PUSTAKA
Askeb Neonatus, Bayi, Balita Dan Anak Prasekolah Series Imunisasi - Putu Dian Prima Kusuma Dewi,
S.S.T., M.Kes., Putu Sukma Megaputri, S.S.T., M.Kes. - Google Buku

03Buku-Ajar-Imunisasi-06-10-2015-small20200707-22450-pulo2e-libre.pdf
(d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net)

Anda mungkin juga menyukai