Anda di halaman 1dari 42

RENCANA PENELITIAN

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PENATAAN RUANG DI KOTA SERANG

Mata Kuliah :

Metode Penelitian Administrasi

Dosen Pengampu :

Dr. M. Agus Sjafari, S.Sos, M.Si

Disusun Oleh :

Ardian Havidani 7775210016

Program Studi Magister Adminitrasi Publik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Tahun Akademik 2021-2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayat-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan rencana penelitian ini untuk memenuhi UAS
perkuliahan Metode Penelitian Administrasi pada Program Magister Administrasi
Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul : “ Partisipasi Masyarakat
dalam Penataan Ruang di Kota Serang”. Maka selaku penyusun rencana penelitian
ini mengucapkan terimakasih pada : Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos, M.Si. selaku
Dosen Pengampu Mata Kuliah Metode Penelitian Administrasi yang memberikan
ilmu dan arahan pada peneliti sehingga rencana penelitian ini dapat terselesaikan.

Sebagai peneliti saya menyadari bahwa rencana penelitian yang disusun ini
masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan rendah hati kami memohon kritik
dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan rencana penelitian
ini.

Serang, Desember 2021

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

1.2 Masalah dan Tujuan Penelitian ....................................................................... 9

1.2. 1dentifikasi Masalah ...................................................................................... 9

1.2.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 10

1.2.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 10

1.3. Kajian Pustaka................................................................................................ 10

1.3.1 Pengertian Partisipasi ................................................................................... 10

1.3.2 Perencanaan Partisipatif ............................................................................... 14

1.3.3 Penataan Ruang ............................................................................................ 15

1.3.4 Pemanfaatan Ruang...................................................................................... 16

1.3.5 Penyelenggaraan Pemanfaatan Ruang ......................................................... 17

1.3.6 Pengendalian Pemanfaatan Ruang ............................................................... 17

1.3.7 Lingkup Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang ..................................... 18

1.3.8 Forum Penataan Ruang ................................................................................ 21

iii
BAB II METODE PENELITIAN ...................................................................... 24

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................ 24

2.2 Fokus / Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 24

2.3 Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 24

2.4 Penentuan Informan ....................................................................................... 25

2.5 Alat Bantu Pengumpulan Data ....................................................................... 26

BAB III SISTEM ANALISIS ............................................................................ 28

3.1 Teknik Analisis Data ....................................................................................... 28

3.2 Validasi / Verifikasi Hasil Analis Data ........................................................... 31

3.2.1 Validasi Internal ........................................................................................... 31

3.2.1 Validasi Eksternal ........................................................................................ 32

3.3 Uji Keabsahan Data......................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

Gambar 3.1 Analisis Data ..................................................................................... 7

v
DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

Tabel 1.1 Data Jumlah Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Serang
tahun 2020 ........................................................................................... 7

Tabel 1.2 Penggunaan Lahan Kota Serang tahun 2018-2020 ............................... 7

Tabel 1.3 Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang ........ 19

Tabel 2.1 Penentuan Informan .............................................................................. 26

vi
BAB I

MASALAH PENELITIAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seiring bertambahnya populasi manusia, kebutuhan akan ruang terutama di


perkotaan semakin meningkat. Sementara itu, kondisi ruang yang terbatas menjadi
masalah dalam pembangunan perkotaan. Segala aktivitas / kegiatan pada ruang
perkotaan perlu ditata dengan baik.

Di dalam Pasal 1 sub 10 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kawasan perkotaan
adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama nonpertanian dengan susunan
fungsi kawasan sebagai pemukiman perkotaan, pusat dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah memiliki fungsi yang sangat
signifikan bagi pembangunan, dimana konstribusinya terhadap pemenuhan
kebutuhan hidup warganya menimbulkan berbagai permasalahan. Populasi
penduduk yang terus meningkat dan dikaitkan dengan implikasinya pada ruang kota,
bagi para ahli dan pemerhati lingkungan sangatlah menakutkan. Apalagi terdapat
banyak peristiwa terutama di negara berkembang, kota-kota tersebut berkembang
tak terkendali bahkan tanpa pengendalian. Kondisi tersebut yakni jumlah penduduk
terus bertambah, ruang kota semakin padat dan berkualitas rendah, lalu lintas
semrawut, penghijauan sangat kurang, terjadi banjir dan sebagainya. Urbanisasi
menjadikan kota semakin berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
Penduduk pendatang memilih untuk bermukim di pusat kota. Pertimbangan
pemilihan pusat kota disebabkan adanya keuntungan untuk lebih dekat dengan
lokasi bekerja serta layanan fasilitas publik lainnya. Perkembangan jumlah
penduduk di pusat kota yang semakin tinggi, berdampak pada kebutuhan tempat
tinggal dan pelayanan publik yang semakin bertambah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa minimnya perencanaan
penataan pada permukiman perkotaan banyak menimbulkan dampak negatif,
terutama pada permukiman padat penduduk. Dalam Setiap pembangunan di
wilayahnya perlu adanya peran dari pemerintah untuk melakukan pengawasan.
Meskipun pada dasarnya kota telah dilengkapi dengan RTRW (Rencana Tata
Ruang Wilayah), bahkan dengan perencanaan yang lebih rinci yakni RDTR
(Rencana Detail Tata Ruang Kota) dan Peraturan Zonasi (Zoning Regulation), serta
perencanaannya yang kedalamannya sudah sampai pada RTBL (Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan). Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa rencana yang
telah diterbitkan tidak dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang berupa
izin pendirian pembangunan sarana gedung, perumahan maupun pembangunan
sarana dan prasana kota lainnya.

Paradigma pembangunan partisipatif telah menjadi isu nasional terutama


dengan adanya otonomi daerah. Penataan ruang pun demikian, mengingat penataan
ruang suatu kota tentulah akan mempengaruhi kepada berbagai pemangku
kepentingan terutama masyarakat yang tinggal di kota tersebut.

Dalam hierarki perumusan tata ruang di berbagai level, baik itu tata ruang
nasional, tata ruang pulau, provinsi, kabupaten/kota, dan sebagainya tentu saja tidak
hanya cukup dirumuskan oleh pemerintah bersama legislatif saja. Masyarakat
sebagai sasaran dalam perumusan tata ruang dianggap penting untuk dilibatkan. Hal
ini untuk memastikan bahwa setiap warga negara terjamin haknya atas ruang dan
tidak ada warga negara yang dirugikan dari perumusan tata ruang yang ada. Dalam
istilah perundang-undangan selama ini menyebut partisipasi publik dalam penataan
ruang sebagai “peran serta masyarakat”.

Seperti dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010


tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, bahwa
peran serta yang dimaksud adalah peran serta masyarakat dalam perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 2 PP
68/2010). Adapun tujuan dari pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat
dalam penataan ruang adalah:

2
1. menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang penataan
ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. mendorong peran masyarakat dalam penataan ruang;

3. menciptakan masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam penataan


ruang;

4. mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yang transparan, efektif,


akuntabel, dan berkualitas; dan

5. meningkatkan kualitas pelayanan dan pengambilan kebijakan penataan


ruang.

Perencanaan pembangunan di Indonesia selama ini sering dikatakan


menerapkan pendekatan top-down sehingga hasil pembangunan kurang memberi
manfaat kepada masyarakat setempat. Banyak proyek pembangunan yang berhasil
secara fisik tetapi dalam kenyataannya tidak berhasil secara masyarakat karena
kurang mampu memberdayakan masyarakat, sehingga pembangunan tersebut
dikatakan tidak berhasil. (Adisasmita,2018).

Sistem perencanaan nasional dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004,


dalam aturan pelaksanaannya menerapkan kombinasi pendekatan antara top-down
dan bottom-up. Berbeda dengan sistem perencanaan sebelumnya yang lebih
menganut pendekatan top-down, maka pendekatan bottom-up lebih menekankan
cara-cara aspiratif dan partisipatif.

Menurut santoso (2010) Perspektif baru tentang pemerintah, yaitu


perubahan peran pemerintah menjadi lebih partisipatif dan kemampuannya
mewujudkan kepentingan Bersama, merupakan jantung governance. Intinya adalah
melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan. Partisipasi publik merupakan
proses aktif masyarakat berupa pemberi gagasan dan inisiatif, terlibat aktif dalam
berbagai kegiatan, dan pengembangan fungsi kontrol yang efektif. Keputusan
kolektif lebih memiliki kekuatan dan legitimasi dari pada oleh perseorangan.
Proses-proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pemangku
kepentingan merupakan elemen yang sangat penting dalam penyusunan kebijakan

3
yang efektif. Dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan, pemerintah
akan dapat mengambil keputusan yang mampu menjawab kebutuhan pemerintah
sendiri di satu sisi dan pemangku kepentingan di sisi lain, dan ini akan memberi
jaminan bagi efektifitas implementasi keputusan-keputusan tersebut.

Dari berbagai fakta mengenai perencanaan pembangunan di Indonesia,


aspirasi masyarakat belum menunjukkan peran serta secara maksimal dalam
berbagai proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan peraturan,
kebijakan dan program yang ditawarkan oleh negara. Keputusan – keputusan
tersebut pada dasarnya harus dapat ditanggapi secara kritis oleh masyarakat. Pada
kebanyakan perencanaan tata ruang, khususnya penataan ruang kawasan perkotaan,
publik (masyarakat) seringkali hanya dipandang sekadar sebagai konsumen yang
pasif. Masyarakat diberi ruang untuk menjalankan aktivitas kehidupan, bekerja,
rekreasi, belanja dan bermukim, akan tetapi kurang diberi peluang untuk turut serta
dalam proses penentuan kebijakan dan perencanaan. Pelibatan publik dalam
perencanaan kota di Indonesia masih sering diabaikan, padahal penting sekali
artinya untuk menumbuhkan harga diri, percaya diri dan jati diri. Apalagi bagi
kaum marginal yang termasuk kategori “The silent majority”, keterlibatan mereka
boleh dikata tidak ada, sehingga partisipasi publik (masyarakat) dalam proses
penataan ruang masih sangat terbatas.

Ketidakterlibatan masyarakat tersebut telah mengakibatkan berbagai


dampak seperti munculnya kesenjangan sosial, terciptanya kesenjangan antara
masyarakat dan pemerintah, kesenjangan antara perencanaan dengan kebutuhan
dan kapasitas lokal, penggunaan sumberdaya yang tidak efisien, dan bahkan
telah menciptakan krisis kepercayaan sehingga mengakibatkan iklim
ketidakpastian dalam berbagai aspek pembangunan.

Banyak faktor yang mempengaruhi terganggunya mekanisme penerapan


pendekatan partisipatif tersebut, antara lain tidak transparannya perumusan
pengambilan keputusan, birokrasi yang kuat, pengawasan dan pengendalian yang
lemah serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Untuk meningkatkan kembali
iklim perencanaan pembangunan yang berbasis aspirasi masyarakat sudah

4
selayaknya akan memerlukan suatu strategi penciptaan iklim partisipasi yang
kondusif melalui perencanaan yang berlandaskan potensi, permasalahan, hakikat,
serta hal best practice yang dapat diambil dari berbagai negara yang telah berhasil
melaksanakan berbagai pembangunan berlandaskan partisipasi masyarakat.

Secara normatif publik (masyarakat) berhak untuk dilibatkan dalam


pengaturan tata ruang. Hal tersebut dapat dilihat pada Konsideran butir di Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa “keberadaan ruang yang terbatas
dan pemahaman masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang
sehingga diperlukan penataan ruang yang transparan, efektif dan partisipatif agar
terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan”. Dengan
demkian, dapat dipahami bahwa publik (masyarakat) berhak untuk berperan serta
dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan serta publik
(masyarakat) berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan
berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
produk Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan merupakan hasil
kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders), termasuk publik
(masyarakat).

Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) merupakan langkah strategis


pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan investasi dan penciptaan
lapangan kerja, yang salah satunya diakibatkan oleh tumpang tindih dan
kompleksnya pengaturan penataan ruang Undang-undang Cipta Kerja (UUCK),
terdapat berbagai terobosan kebijakan penataan ruang yang ditargetkan untuk
mendorong kemudahan berinvestasi dan pemanfaatan ruang yang berkelanjutan.

Regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta


Kerja (UUCK) di sektor tata ruang dan pertanahan, menjadi isu yang strategis.
Dengan regulasi turunan ini, dapat menyelesaikan masalah perizinan, pengadaan
tanah untuk kepentingan umum, permasalahan penataan ruang tumpeng tindih
(overlapping) serta masalah batas wilayah, sehingga dapat meningkatkan iklim
investasi dan menciptakan lapangan kerja. Di dalam Undang-Undang Cipta Kerja,
mengintegrasikan tata ruang dengan rencana zonasi dan kawasan sehingga

5
mengikat dan mennghapuskan tingkat kriminalitas pada sektor pertanahan. Selama
ini masyarakat bahkan hingga kepala daerah minim pengetahuan tentang tata ruang.
UU Cipta Kerja akan sedikit memaksa pemerintah daerah dan masyarakat untuk
mengerti dan peduli terhadap tata ruang, karena kita hidup selama ini juga di atas
ruang.

Pada pasal 263 Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan penataan


ruang, dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang secara partisipatif emerintah
Pusat dapat membentuk Forum Penataan Ruang. Dalam hal terjadi sengketa
penataan ruang akibat adanya regulasi yang berbeda antartingkat pemerintahan,
para pemangku kepentingan dapat mengajukan permohonan fasilitasi penyelesaian
kepada Forum Penataan Ruang.

Sebagai ibu kota provinsi Banten, Kota Serang memliki posisi yang sangat
strategis dengan peluang investasi yang besar pada sektor perumahan/permukiman
maupun sektor komersil karena letaknya juga yang dekat dengan kawasan industri
ditunjang dengan jalan tol Tangerang-Merak serta Jalan tol Serang-Panimbang.
Potensi yang dimiliki tersebut berimplikasi pada tingkat pembangunan permukiman
yang semakin tinggi sehingga semakin berkurangnya lahan di Kota Serang.
Berdasarkan Data BPS tahun 2021 Jumlah penduduk Kota Serang Pada tahun 2020
sebesar 692.101 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kota Serang
sebesar 2.595 jiwa/km² dengan laju pertumbuhan penduduk 2010-2020 sebesar
1,76% yang menunjukkan kebutuhan akan pemukiman dan kegiatan pemanfaatan
ruang lainnya semakin meningkat. Untuk data penduduk Kota Serang disajikan
pada tabel 1.1 di bawah ini.

6
Tabel 1.1
Data Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Kota Serang Tahun 2019
Laju
Kepadatan Pertumbuhan
Jumlah
No Kecamatan Penduduk Penduduk
Penduduk (Jiwa)
(Jiwa/km²) 2010-2020
(%)
1 Curug 57.346 1.156 1,88
2 Walantaka 102.543 2.115 2,98
3 Cipocok Jaya 98.907 3.136 1,96
4 Serang 226.196 8.740 0,81
5 Taktakan 100.296 2.095 2,44
6 Kasemen 106.813 1.686 1,93
Jumlah 692.101 2.595 1,76
(Sumber Data : BPS Kota Serang, 2021)

Data BPS tahun 2020-2021, penggunaan lahan Kawasan budidaya seperti


industri/pergudangan, Jasa, Perumahan/pemukiman, perusahaan dalam kurun
waktu tahun 2018-2020 mengalami peningkatan yang signifikan terutama
perumahan. Sementara itu lahan pertanian semakin berkurang pada tahun 2018
memiliki luas 18.472,28 Ha pada tahun 2019 berkurang menjadi 18.452,28, begitu
pula dengan perairan yanga mengalami pengurangan lahan. Pengurangan tersebut
terjadi karena alih fungsi lahan. Lebih jelasnya disajikan pada table 1.2.

Tabel 1.2
Penggunaan Lahan Kota Serang Tahun 2018-2020
Luas (Ha)
No. Penggunaan Lahan
2018 2019 2020
1 Hutan 177,32 177,32 177,32
2 Industri/ Pergudangan 216,48 226,52 257,03
3 Perairan 984,96 946,79 946,79
4 Jasa 190,13 194,13 194,13

7
Luas (Ha)
No. Penggunaan Lahan
2018 2019 2020
5 Perumahan / Pemukiman 5.250,27 5.265,84 5.455,08
6 Tanah Perusahaan 1.164,56 1.193,13 1.193,13
7 Pertanian 18.472,28 18.452,28 18.452,28
Jumlah 26.456,14 26.456,14 26.456,14
(Sumber Data : BPS Kota Serang, 2021)

Dinamika pemanfaatan lahan di Kota Serang berlangsung cukup pesat


sehingga memicu berbagai pertumbuhan di banyak sektor. Pertumbuhan ini
ditandai munculnya bangunan berupa bangunan fasilitas umum, fasilitas sosial,
maupun bangunan komersial sebagai wujud dari pemanfaatan ruang. Berbagai
kegiatan yang memanfaatkan ruang selayaknya dapat dikendalikan dan diarahkan
agar sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun untuk mencegah dampak
pembangunan yang negatif.

Demi mencapai sinergitas pembangunan Kota Serang diperlukan dokumen


produk penataan ruang yang bisa dijadikan pedoman untuk menangani berbagai
masalah lokal, lintas wilayah, dan yang mampu memperkecil kesenjangan antar
wilayah yang disusun dengan mengutamakan peran masyarakat secara intensif.
Sehingga, penataan ruang diharapkan memberi stimulan pengembangan wilayah
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berkeadilan sosial
dalam lingkungan hidup yang lestari dan berkesinambungan melalui penataan
ruang.

Dalam penataan ruang perlu adanya keterlibatan semua pihak dalam proses
perencanaan, pemanfaatan dan pengendaliannya. Untuk mencapai hal tersebut
perlu ada sosialisasi terkait penataan ruang. Seperti yang disampaikan oleh Kasubid
BAPPEDA Kota Serang dalam acara sosialisasi Perda No.08 tahun 2020 tentang
Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Serang tahun 2020-2040 :

“Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat ikut mengawasi


dan berperan dalam pelaksanaan pembangunan maupun perencanaan dalam

8
penyusunan tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian tata ruang.
(https://bungasbanten.id, diakses pada tanggal 08 Desember 2021)

Masyarakat Kota Serang memiliki hak untuk dilibatkan dalam proses


penataan ruang. Namun yang terjadi masih minimnya keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam proses penataan ruang tersebut sehingga aspirasi dalam penataan
ruang belum tertuang dengan baik di dalam dokumen perencanaan. Selain itu
terbatasnya pemahaman masyarakat tentang penataan ruang menjadi salah satu
faktor belum optimalnya partisipasi masyarakat Kota Serang dalam penataan ruang,
kondisi ini berdampak terhadap banyak terjadi pelanggaran rencana aturan tata
ruang yang ada. Saat ini di Kota Serang belum terbentuk Forum Penataan Ruang,
yang mana forum tersebut berfungsi sebagai wadah untuk memberikan
pertimbangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti akan mengulas lebih lanjut


terkait dengan hal tersebut, melalui Penelitian yang berjudul : “Partisipasi
Masyarakat dalam Penataan Ruang di Kota Serang ”.

1.2. Masalah dan Tujuan Penelitian

1.2.1. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang peneliti bahas di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi
identifikasi masalah pada penelitian ini:

1. Belum terkendalinya penataan ruang di kota serang


2. Masih minimnya keterlibatan masyarakat Kota Serang dalam penataan
ruang
3. Masih banyak bangunan yang masyarakat dirikan tanpa memperhatikan
aspek tata ruang akibat terbatasnya pemahaman masyarakat tentang
penataan ruang
4. Belum terbentuknya Forum Penataan Ruang

9
1.2.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah peneliti paparkan di atas. Maka


timbul pertanyaan dalam rumusan masalah sebagai Batasan masalah dalam
penelitian ini. Berikut ini adalah rumusan masalah dalam penelitian ini:

1. Apa saja faktor penghambat partisipasi masyarakat Kota Serang dalam


penataan ruang?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam penataan ruang?
3. Bagaimana Langkah pemerintah dalam menumbuhkan tingkat
partisipasi masyarakat Kota Serang dalam penataan ruang?

1.2.3. Tujuan Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah cara kerja ilmiah bertujuan untuk


menemukan, membuktikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Adapun tujuan
dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui faktor penghambat partisipasi masyarakat Kota


Serang dalam penataan ruang
2. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat Kota Serang dalam
penataan ruang
3. Untuk mengetahui Langkah apa saja yang pemerintah lakukan dalam
menumbuhkan tingkat partisipasi masyarakat Kota Serang dalam
penataan ruang.

1.3. Kajian Pustaka

1.3.1. Pengertian Partisipasi

Definisi partisipasi sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni participate.


Kata tersebut memiliki dua pengertian. Pertama, memiliki sejumlah atribut, benda
atau kualitas dari seseorang. Kedua, mengambil bagian dalam suatu kegiatan atau
membagi sesuatu dalam kebersamaan. Perkembangan partisipasi dapat diukur
melalui besar maupun arahnya. Arah tersebut perlu dikendalikan agar tidak
kebablasan atau salah arah. Selain itu, perlu adanya pencermatan keberadaan "bibit"
partisipasi publik di masing-masing daerah. Kualitas bibit lingkungan yang

10
berpengaruh terhadap partisipasi publik dan lain halnya merupakan satu masalah
yang menarik untuk dicermati. Koho (2007:126) menjelaskan bahwa partisipasi
masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang, yakni: a. Partisipasi dalam proses
pembuatan keputusan, b. Partisipasi dalam pelaksanaan, c. Partisipasi dalam
pemanfaatan hasil, d. Partisipasi dalam evaluasi.

Partisipasi adalah suatu proses di mana pembuat kebijakan, isu-isu prioritas,


aksesibilitas untuk barang publik dan jasa dan juga mengalokasikan sumber daya
dipengaruhi oleh pemangku kepentingan. Ini bervariasi dari satu konteks ke lainnya
dan tunduk berbeda proyek dan visi. Proses partisipatif dalam strategi pengurangan
kemiskinan mempromosikan pertukaran informasi dan transparansi dalam proses
pengambilan keputusan. Bank dunia mencatat ini bahwa pada gilirannya akan
meningkatkan dan sebagai hasilnya meningkatkan pemerintahan secara
keseluruhan dan efisiensi ekonomi dari kegiatan pembangunan. (Maksudi, 2018).

Menurut Made Pidarta dalam Siti Irene Astuti D. (2009), partisipasi adalah
pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Keterlibatan dapat
berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam menggunakan segala
kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang
dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas segala
keterlibatan.

Menurut Mikkelsen (2003) bahwa partisipasi adalah peran serta masyarakat


dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya. Bentuk peran serta
masyarakat dalam berpartisipasi tidak harus terbatas dalam bidang pendanaan saja,
setidak-tidaknya potensi yang ada di masyarakat, tokoh-tokoh informal maupun
kelompok pemikiran mereka perlu menjadi bagian dalam proses perbaikan.
(Budiharja, 1998). Partisipasi sendiri menuntut adanya tindakan proaktif yaitu
adanya keiginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak sekedar
berpartisipasi tapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu
kegiatan masyarakat. Mereka melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat
memperkaya hubungan-hubungan sosial dan menguntungkan kelompok, tanpa
merugikan orang lain serta cenderung tidak menyukai bantuan yang sifatnya

11
dilayani melainkan lebih banyak melayani secara proaktif . (Hasbullah, 2006)
Menurut Sundariningrum dalam Sugiyah (2001: 38) mengklasifikasikan partisipasi
menjadi 2 (dua) berdasarkan cara keterlibatannya, yaitu :

a. Partisipasi lapangan. Partisipasi yang terjadi apabila individu


menampilkan kegiatan tertentu dalam proses partisipasi. Partisipasi ini
terjadi apabila setiap orang dapat mengajukan pandangan, membahas
pokok permasalahan, mengajukan keberatan terhadap keinginan orang
lain atau terhadap ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung. Partisipasi yang terjadi apabila individu
mendelegasikan hak partisipasinya. Cohen dan Uphoff yang dikutip
oleh Siti Irene Astuti D (2011:61-63) membedakan partisipasi menjadi
empat jenis, yaitu pertama partisipasi dalam pengambilan keputusan,
kedua partisipasi dalam pelaksanaan, ketiga partisipai dalam
pengambilan pemanfaatan, dan keempat partisipasi dalam evaluasi.
1. Partisipasi dalam pengambilan keputusan Partisipasi ini
terutama berkaitan dengan penentuan alternatif dengan
masyarakat berkaitan dengan gagasan atau ide yang
menyangkut kepentingan bersama, wujud partisipasi dalam
pengambilan keputusan ini antara lain seperti ikut
menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam
rapat, diskusi dan tanggapan atau penolakan terhadap
program yang ditawarkan.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan Partisipasi ini meliputi
menggerakkan sumber daya dana, kegiatan administrasi,
koordinasi dan penjabaran program. Partisipasi dalam
pelaksanaan merupakan kelanjutan dalam rencana yang telah
digagas sebelumnya baik yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan maupun tujuan.
3. Partisipasi dalam pengambilan manfaat Partisipasi dalam
pengambilan manfaat tidak terlepas dari hasil pelaksanaan
yang telah dicapai baik yang berkaitan dengan kualitas

12
maupun kuantitas. Dari segi kualitas dapat dilihat dari output,
sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari presentase
keberhasilan program.
4. Partisipasi dalam evaluasi. Partisipasi dalam evaluasi ini
berkaitan dengan pelaksanaan program yang sudah
direncanakan sebelumnya. Partisipasi dalam evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui ketercapaiannya program yang
sudah direncanakan sebelunya. Bentuk partisipasi menurut
Effendi yang dikutip oleh Siti Irene Astuti D (2011: 58),
antara lain :
• Partisipasi vertikal Partisipasi vertikal terjadi dalam
bentuk kondisi tertentu masyarakat terlibat atau
mengambil bagian dalam suatu program pihak lain,
dalam hubungan dimana masyarakat berada sebagai
status bawahan, pengikut, atau klien.
• Partisipasi horizontal Partisipasi horizontal, masyarakat
mempunyai prakasa dimana setiap anggota atau
kelompok masyarakat berpartisipasi horizontal satu
dengan yang lainnya.

Menurut Carter (dalam Santoso, 2005:2), menyebutkan bahwa fungsi dari


partisipasi masyarakat adalah :

1. Partisipasi masyarakat sebagai suatu kebijakan


2. Partisipasi masyarakat sebagai strategi
3. Partisipasi masyarakat sebagai alat komunikasi
4. Partisipasi masyarakat sebagai alat penyelesaian sengketa
5. Partisipasi masyarakat sebagai terapi.

Adapun manfaat dari partisipasi masyarakat adalah :

1. Menuju masyarakat yang lebih bertanggungjawab


2. Meningkatkan proses belajar
3. Meneliminir perasaan terasing

13
4. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah
5. Menciptakan kesadaran politik
6. Keputusan dari hasil partisipasi mencerminkan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
7. Menjadi sumber dari informasi yang berguna merupakan komitmen sistem
demokrasi.

1.3.2. Perencanaan Partisipatif

Lahirnya perencanaan partisipatif dilatarbelakangi karena banyaknya


kegagalan pembangunan sosial kemasyarakatan yang dijalankan oleh pemerintah.
Hal ini diakibatkan penyusunan perencanaan yang sifatnya “top-down” khususnya
yang terjadi pada era sebelum reformasi, bagaimana proses perencanaan yang
hampir seluruhnya di dominasi oleh para aparat dan pengambil kebijakan, yang
tidak mungkin dapat memahami sekian banyak permasalahan, kebutuhan serta
potensi yang dimiliki masyarakat, maupun potensi daerah/wilayah (kearifan lokal)
yang akan menjadi lokasi pembangunan/program. Memasuki era reformasi,
pemerintah dan pemerintah daerah telah menyadari betul panyebab kegagalan
pembangunan kemasyarakatan, termasuk program pemberdayaan masyarakat
dimasa lalu, sehingga belajar dari semua kegagalan tersebut, lahirlah kebijakan agar
para perencana dalam menyusun suatu perencanaan harus menempatkan diri
sebagai seorang fasilitator/pendamping. Dalam kedudukannya sebagai fasilitator,
para aparat perencana telah dibekali pengetahuan dan keterampilan, bagaimana
seharusnya melakukan pendekatan kepada masyarakat dan stakeholder/pihak-pihak
yang terkait lainnya, agar acuan utama yang digunakan sebagai bahan penyusunan
perencanaan adalah betul-betul berdasarkan aspirasi masyarakat setempat (bottom-
up), pendekatan ini dikenal dengan istilah perencanaan partisipatif (Hamid, 2018).

Perencanaan partisipatif menurut Suratman dalam Abady (2010) merupakan


salah satu proses pembelajaran yang penting bagi masyarakat. Perencanaan
partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan
masyarakat, dan dalam prosesnya melibatkan masyarakat baik langsung maupun
tidak langsung. Perencanaan partisipatif artinya menekankan partisipasi luas dari

14
semua stakeholders dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam
pembangunan.

Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan


melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik
langsung maupun tidak langsung). Perencanaan pembangunan partisipatif
merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran
serta masyarakat yang pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus
sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam
perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach).
(Maripah, 2017).

Proses perencanaan pembangunan daerah dengan pendekatan bottom up


mencerminkan adanya desentralisasi dalam proses perencanaan pembangunan
daerah, meskipun masih memerlukan persetujuan dari pemerintah pusat.
Permaslahan sebenarnya bukan pada prosedur perencanaannya, tetapi pada proses
pelaksanaan prosedur yang ada melalui pembenahan proses pelaksanaannya.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya


keikutsertaan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari
melakukan analisis masalah yang dihadapi, memikirkan bagaimana cara
mengatasinya, menemukan rasa percaya diri dalam mengatasi masalah, sampai
pada tahap mengambil keputusan tentang alternatif pemecahan masalah yang
mereka hadapi (Hamid, 2018).

1.3.3. Penataan Ruang

Berdasarkan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang,


Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Ruang adalah wadah kehiupan manusia beserta sumber-sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya, meliputi bumi, air, dan udara sebagai satu kesatuan
(Wahid, 2016). Pengertian tata ruang menurut Wahid (2016), merupakan ekspresi

15
geografis yang merupakan cermin lingkup kebijakan yang dibuat masyarakat terkait
dengan ekonomi, sosial dan kebudayaan. Penataan ruang merupakan suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang (Undang-undang No. 26 tahun 2007).

Tata ruang wilayah merupakan wadah (area) dimana kegiatan usaha dan
pembangunan diletakkan, oleh karena itu harus dipilih dan ditentukan secara tepat,
agar supaya kegiatan ekonomi dan pembangunan tidak mengalami kegagalan.
Terdapat tiga tahapan perkembangan tata ruang wilayah, bermula dari tata ruang
matematik (bersifat statis), kemudian diaplikasikan menjadi tata ruang geografis,
selanjutnya diimplementasikan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan
pembangunan menjadi tata ruang ekonomi . Berbagai teori lokasi dan
pengembangan wilayah telah diformulasikan oleh banyak pakar, yang semuanya
menekankan pada pentingnya fungsi pusat yang masing-masing memiliki wilayah
pengaruhnya (pelayanannya). Dalam pemanfaatan tata ruang wilayah secara efisien
digunakan konsep (1) lansekap ekonomi (penempatan setiap kegiatan usaha harus
sesuai dengan potensi dan kapasitas lahannya, dan (2) optimalitas Pareto (mencapai
output secara optimal). Dalam penyelenggaraan penataan ruang wilayah bertujuan
untuk mewujudkan tata ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
secara harmoni, keterpaduan, perlindungan fungsi tata ruang, dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan. (Adisasmita, 2010)

1.3.4. Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan


pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan
penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan
sumber daya alam lain. (Undang-undang No. 26 tahun 2007).

Penataan ruang dilaksanakan oleh berbagai sub sistem pembentuknya,


dimana proses tersebut secara utuh akan bersifat siklikal. Sub sistem penataan ruang
meliputi perencanaan, implementasi, dan pengendalian, yang secara sistematik

16
saling mempengaruhi. Secara struktural, penataan ruang diselenggarakan secara
proporsional oleh pemerintah dan masyarakat (Rustiadi, 2011)

Dalam penataan ruang, pemanfaatan (implementasi) rencana tata ruang dan


pengendalian pemanfaatan ruang justru lebih penting dibandingkan dengan proses
perencanaan tata ruang. Hal ini dikarenakan ketika pemanfaatan ruang berlebihan
dan tidak terkendali, maka penyusunan rencana tata ruang hanya tinggal dokumen
formal yang tidak ada artinya (Sitorus, 2019).

1.3.5. Penyelenggaraan Penataan Ruang

Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan penataan


ruang menjelaskan bahwa penyelenggaran Penataan Ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan Penataan Ruang.
Penyelenggaraan Penataan Ruang diselenggarakan dengan memadukan berbagai
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku
kepentingan. Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang dilakukan melalui
koordinasi dalam satu wilayah administrasi, koordinasi antardaerah, dan koordinasi
antartingkatan pemerintahan.

1.3.6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Dengan terbatasnya ketersediaan setiap ruang maka pemanfaatan ruang


perlu dilakukan secara maksimal tanpa mengesampingkan dampak lingkungan dan
keberlanjutan dari lingkungan. Dengan demikian perlu adanya aturan pengendalian
pemanfaatan ruang, agar tercipta tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang
dapat berupa: peraturan zonasi, perizinan, insentif dan disinsentif dan sanksi
(Sitorus, 2019). Sesuai dengan UU Penataan Ruang No.26 tahun 2007, instrumen
tersebut adalah peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
pengenaan sanksi.

Berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2021 tentang


penyelenggaraan pemanfaatan ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
yang selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan
pemanfaatan ruang dengan RTR. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

17
Dilaksanakan untuk mendorong terwujudnya Tata Ruang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang. KKPR dilaksanakan untuk mendorong setiap orang agar: Menaati
Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan, Memanfaatkan ruang sesuai dengan
Rencana Tata Ruang, Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Muatan Pengendalian
Pemanfaatan Ruang terdiri lagi :

b. Penilaian pelaksanaan KKPR dan pernyataan mandiri pelaku UMK


c. Penilaian perwujudan RTR
d. Pemberian Insentif dan Disinsentif
e. Pengenaan Sanksi
f. Penyelesaian sengketa Penataan Ruang

1.3.7. Lingkup Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan


Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, Masyarakat adalah orang
perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi,
dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penataan ruang.
Sedangkan peran masyarakat itu adalah paerisipasi aktif masyarakat dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Bentuk peran masyarakat adalah kegiatan/aktivitas yang dilakukan
masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang
antara lain berupa masukan serta kerja sama dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tata cara peran
masyarakat dilaksanakan sesuai tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah dan
pemerintah daerah, diharapkan dapat digali segala potensinya agar mereka bisa
mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan
perannya dan sebagai perwujudan dari hak dan kewajiban masyarakat dalam
penataan ruang. Dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur kewajiban, tugas, dan

18
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan
peran masyarakat dalam penataan ruang, antara lain melalui pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan peran masyarakat di bidang penataan ruang,
pembangunan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang, dan pendanaan
(Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010).

Adapun tujuan Pengaturan Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam
Penataan Ruang yakni:

• Menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang


penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;

• Mendorong peran masyarakat dalam penataan ruang;

• Menciptakan masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam penataan


ruang;

• Mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yang transparan, efektif,


akuntabel, dan berkualitas; dan

• Meningkatkan kualitas pelayanan dan pengambilan kebijakan penataan


ruang

Tabel 1.3
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam penataan ruang

Bentuk Peran Masyarakat Tata Cara Peran Masyarakat


Masukan mengenai • menyampaikan masukan mengenai
a. persiapan penyusunan rencana arah pengembangan, potensi dan
tata ruang masalah, rumusan konsepsi/
• Penentuan arah rancangan rencana tata ruang
pengembangan wilayah atau melalui media komunikasi dan/atau
kawasan; forum pertemuan
• Pengidentifikasian potensi • kerja sama dalam perencanaan tata
dan masalah ruang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan

19
Bentuk Peran Masyarakat Tata Cara Peran Masyarakat
pembangunanwilayah atau • menyampaikan masukan terkait
kawasan; arahan dan/atau peraturan zonasi,
• perumusan konsepsi rencana perizinan, pemberian insentif dan
tata ruang; disinsentif serta pengenaan sanksi
• penetapan rencana tata ruang kepada pejabat yang berwenang;
b. Kerjasama dengan Pemerintah, • memantau dan mengawasi
Pemda dan sesama masyarakat pelaksanaan rencana tata ruang;
• masukan terkait arahan • melaporkan kepada instansi
dan/atau peraturan zonasi, dan/atau pejabat yang berwenang
perizinan, pemberian insentif dalam hal menemukan dugaan
dan disinsentif serta penyimpangan atau pelanggaran
pengenaan sanksi; kegiatan pemanfaatan ruang yang
• memantau dan mengawasi melanggar rencana tata ruang yang
pelaksanaan rencana tata telah ditetapkan;
ruang yang telah ditetapkan; • mengajukan keberatan terhadap
• pelaporan kepada instansi keputusan pejabat yang berwenang
atau pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tidak
atas dugaan penyimpangan sesuai dengan rencana tata ruang
pemanfaatan ruang • Penyampaian masukan kebijakan
• pengajuan keberatan pemanfaatan ruang melalui media
terhadap keputusan pejabat komunikasi/ forum pertemuan
yang berwenang terhadap • Kerjasama dalam pemanfaatan
pembangunan yang dianggap ruang
tidak sesuai dengan rencana • Pemanfaatan ruang sesuai dengan
tata ruang Rencana Tata Ruang yang
• masukan mengenai kebijakan ditetapkan
pemanfaatan ruang • Penataan izin pemanfaatan ruang
• kerja sama stakeholders
• Memanfaatkan ruang sesuai
dengan kearifan lokal
• Peningkatan efisiensi,
efektivitas dan keserasian
dalam pemanfaatan ruang
• Menjaga kepentingan
Hankam dan Lingkungan
Hidup
• Investasi pemanfaatan ruang

(Sumber: PP No. 68 Tahun 2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat
dalam penataan ruang)

20
1.3.8. Forum Penataan Ruang

Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/ BPN tentang koordinasi


penyelenggaraan penataan ruang, dalam rangka Penyelenggaraan Penataan Ruang
secara partisipatif dapat dibentuk Forum Penataan Ruang. Anggota Forum
Penataan Ruang di daerah terdiri atas instansi vertikal bidang pertanahan, perangkat
daerah, Asosiasi Profesi, Asosiasi Akademisi, dan tokoh Masyarakat. Forum
Penataan Ruang bertugas untuk memberikan pertimbangan kepada gubernur,
bupati atau walikota dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pertimbangan
diberikan berdasarkan permintaan dari gubernur, Bupati atau Walikota. Forum
penataan ruang di daerah dapat memberikan pertimbangan atas dasar inisiatif
sendiri bila pelaksanaan penataan ruang berpotensi menimbulkan: kerawanan sosial,
gangguan keamanan, kerusakan lingkungan hidup, gangguan terhadap objek vital
nasional. Forum Penataan Ruang di daerah dapat memberikan pertimbangan atas
dasar inisiatif sendiri dalam hal pelaksanaan penataan ruang dinilai berpotensi
menimbulkan: a. kerawanan sosial; b. gangguan keamanan; c. kerusakan
lingkungan hidup; dan/atau d. gangguan terhadap fungsi objek vital nasional.
Forum Penataan Ruang kabupaten/kota memiliki tugas pada aspek: a. perencanaan
tata ruang; b. pemanfaatan ruang; dan c. pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam
Pasal 29 Tugas Forum Penataan Ruang kabupaten/kota dalam perencanaan tata
ruang sebagaimana meliputi: a. memberikan rekomendasi dalam hal terdapat
kebutuhan untuk melakukan peninjauan kembali peraturan kepala daerah
kabupaten/kota tentang RDTR yang diakibatkan oleh: 1. perubahan dan penetapan
kebijakan nasional yang bersifat strategis dalam peraturan perundang-undangan; 2.
rencana pembangunan dan pengembangan objek vital nasional; dan/atau 3.
lokasinya berbatasan dengan kabupaten/kota di sekitarnya. b. memberikan
pertimbangan penyusunan RTR kabupaten/kota; dan c. memberikan pertimbangan
pelibatan peran Masyarakat dalam penyusunan RTR wilayah kabupaten/kota
melalui pelaksanaan penjaringan opini publik, forum diskusi, dan konsultasi publik
yang meliputi atau mewakili kondisi seluruh wilayah kabupaten/kota. Pasal 30
Tugas Forum Penataan Ruang kabupaten/kota dalam pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b meliputi: a. memberikan

21
pertimbangan penanganan dan penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan
program dan kegiatan pemanfaatan ruang di kabupaten/kota dalam hal diperlukan;
b. memberikan pertimbangan pelaksanaan sinkronisasi program pemanfaatan ruang
dengan menyelaraskan indikasi program utama dengan program sektoral dan
kewilayahan; c. melakukan kajian dalam rangka penilaian PKKPR untuk kegiatan
berusaha dan kegiatan nonberusaha yang menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten/kota; d. melakukan pembahasan hasil kajian, pertimbangan teknis
pertanahan dan/atau pertimbangan lainnya yang diperlukan; dan e. menyampaikan
hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf d kepada bupati atau wali kota.
Pasal 31 Tugas Forum Penataan Ruang kabupaten/kota dalam pengendalian
pemanfaatan ruang meliputi: a. memberikan pertimbangan penetapan bentuk dan
mekanisme pemberian insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan
ruang daerah kabupaten/kota; b. memberikan pertimbangan penyelesaian sengketa
Penataan Ruang sebagai akibat adanya perbedaan kebijakan pengaturan
antarinstansi pemerintah dalam 1 (satu) kabupaten/kota; dan c. memberikan
pertimbangan penetapan tindakan sanksi atas pelanggaran pemanfaatan ruang
dan/atau kerusakan fungsi lingkungan.

1.3.9. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir digunakan untuk memberikan Batasan terhadap kajian


teori yang berguna untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap penelitian ini,
dan menjabarkan dalam bentuk nyata, karena kajian teori masih bersifat abstrak,
dan sepenuhnya masih belum juga dapat diukur di lapangan.

Gambar 2.1 Alur Kerangka Berpikir

Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang


di Kota Serang

22
Identifikasi Masalah:
1. Belum terkendalinya penataan ruang di kota serang
2. Masih minimnya keterlibatan masyarakat Kota Serang dalam
penataan ruang
3. Masih banyak bangunan yang masyarakat dirikan tanpa
memperhatikan aspek tata ruang akibat terbatasnya
pemahaman masyarakat tentang penataan ruang
4. Belum terbentuknya Forum Penataan Ruang

Koho (2007:126) empat jenjang partisipasi: Bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang
a. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, (PP No 68 tahun 2010) berupa :
b. Partisipasi dalam xczxc
pelaksanaan, masukan serta kerja sama dalam perencanaan tata
c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil, ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
d. Partisipasi dalam evaluasi. pemanfaatan ruang

xczxc
xczxc Output :
• Terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang penataan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
• Terwujudya peran masyarakat dalam penataan ruang;
• Terciptanya masyarakat yang ikut bertanggung jawab dalam penataan ruang;
• Terwujudnya pelaksanaan penataan ruang yang transparan, efektif, akuntabel,
dan berkualitas; dan
• Meningkatnya kualitas pelayanan dan pengambilan kebijakan penataan ruang

Outcome : Terwujudnya Tata Ruang Kota Serang yang aman,


nyaman, produktif, dan berkelanjutan berbasis partisipasi mayarakat

23
BAB II

METODE PENELITIAN

2.1. Tempat, Waktu Penelitian

Tempat dalam penelitian ini yaitu pada Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Serang, BAPPEDA Kota Serang serta lingkungan
masyarakat Kota Serang. Waktu penelitian dilakukan selama 9 bulan mulai dari
pengajuan proposal penelitian hingga sidang akhir.

2.2. Fokus / Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian pada penelitian ini adalah bagaimana partisipasi


masyarakat dalam penataan ruang. Penetapan fokus penelitian bertujuan untuk
memberikan batasan yang jelas dan hasil analisis yang mendalam. Dengan
demikian, maka fokus penelitian diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk
mengkaji secara tepat masalah-masalah yang hendak diteliti, dan mendeskripsikan
secara mendalam. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan hanya paartisipasi
masyarakat Kota Serang dalam penataan ruang. Penentuan lokus tersebut
dikarenakan peneliti tertarik dengan bagaimana pelaksanaan partisipasi masyarakat
dalam penataan ruang di Kota Serang.

2.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kualitatif merupakan pengumpulan data-data


yang bersifat deskriptif yaitu data berupa gejala-gejala hasil wawancara atau
observasi yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya seperti foto, dokumen,
artefak, dan catatan catatan lapangan saat penelitian. Dari semua teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data, kata-kata dan tindakan merupakan data utama,
sedangkan data lainnya merupakan data pendukung. Oleh karenanya, dalam metode
penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan teknik; wawancara, observasi dan
dokumentasi. (Hamzah,2019). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam

24
penelitian ini adalah Interview / wawancara mendalam. Menurut Miles dan
Huberman dalam Hamzah (2019) ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan
dalam melakukan wawancara, yaitu:

1. The setting: peneliti perlu mengetahui kondisi lapangan penelitian untuk


membantu perencanaan pengambilan data. Hal yang perlu diketahui
untuk menunjang keterlaksanaan pengambilan data meliputi tempat
pengambilan data, waktu dan lamanya wawancara, serta biaya yang
dibutuhkan.
2. The actors, mendapatkan data tentang karakteristik calon partisipan. Di
dalamnya termasuk situasi yang lebih disukai partisipan, kalimat
pembuka, pembicaraan pendahuluan dan sikap peneliti dalam
melakukan pendekatan.
3. The events, menyusun protokol wawancara, meliputi: pendahuluan,
pertanyaan pembuka, pertanyaan kunci, dan probing, pada bagian ini
peneliti akan memanfaatkan hasil pada bagian kedua untuk membuat
kalimat pendahuluan dan pernyataan pembuka, serta hasil penyusunan
pedoman wawancara sebagai pertanyaan kunci.
4. The process, berdasarkan persiapan pada bagian pertama sampai ketiga,
maka disusun strategi pengumpulan data mah keseluruhan. Strategi ini
mencakup seluruh perencanaan pengambilan data mulai dari kondisi,
strategi pendekatan dan bagaimana pengambilan data dilakukan.

2.4. Penentuan Informan

Dalam penelitian ini peneliti menentukan informan dengan teknik purposive


sampling, artinya dengan memilih narasumber yang benar-benar mengetahui
kondisi partisipasi masyarakat dalam penataan ruang di Kota Serang. Menurut
Sugiyono (2019), “purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
sumber data dengan pertimbangan tertentu”. Pertimbangan tertentu ini misalnya,
orang tersebut dianggap paling mengetahui tentang apa yang kita harapkan,
sehingga memudahkan peneliti untuk menjelajahi objek yang diteliti. Untuk

25
melakukan penelitian mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang di
Kota Serang, peneliti telah memilih beberapa informan yang akan peneliti
wawancarai sebagai berikut :

Tabel. 2.1
Penentuan Informan
Jenis Informan Informan Lokasi Wawancara
Pemerintah Kepala Bidang Infrastruktur dan Kantor BAPPEDA
Kewilayahan BAPPEDA KOTA KOTA Serang
Serang
Pemerintah Kepala Sub Bidang Perencanaan Kantor BAPPEDA
Tata Ruang dan Lingkungan KOTA Serang
BAPPEDA KOTA Serang
Pemerintah Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Kantor Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Pekerjaan Umum
Ruang Kota Serang dan Penataan Ruang
Kota Serang
Masyarakat Kota Serang Tokoh masyarakat Masing-masing
wilayah kecamatan
di Kota Serang
Asosiasi Profesi Ketua IAP (Ikatan Ahli Kantor IAP Banten
Perencana) Banten
Asosiasi Profesi Ketua PII (Persatuan Insyinyur Kantor PII
Indonesia) Banten (Persatuan Insyinyur
Indonesia) Banten
Sumber : Peneliti

2.5. Alat Bantu Pengumpulan Data

Instrumen Penelitian Pada penelitian kualitatif instrumennya adalah orang


atau human instrument, yaitu peneliti itu sendiri. Untuk dapat menjadi instrumen,
maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu
bertanya, menganalisis, memotret dan mengkontruksi situasi sosial yang diteliti
menjadi lebih jelas dan bermakna. Data yang dihasilkan berbentuk kata-kata,
kalimat untuk menggambarkan bagaimana kenyataan sosial yang terjadi dengan
mendeskripsikan hal-hal yang sesuai dengan masalah danunit yang diteliti.
Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan dapat

26
menggungkapkan peristiwa atau kejadian yang terjadi sebenarnya di lapangan
(Sugiyono, 2019).

Pencatatan data selama penelitian sangat penting karena data dasar yang
akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu,
pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan seakurat mungkin.
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangat rumit, untuk itu diperlukan
instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan
data (Moleong, 2017).

Apabila untuk memperoleh data kita gunakan metode wawancara, maka di


dalam melakukan wawancara ini, pewawancara menggunakan alat bantu.
Setidaknya alat bantu tersebut berupa perkiraan pertanyaan yang akan ditanyakan
sebagai catatan, dan alat tulis untuk mencatat jawaban yang diterima. Perkiraan
pertanyaan ini disebut pedoman wawancara (interview guide). Karena pedoman
wawancara ini sebagai alat bantu, maka disebut pula instrumen pengumpulan data.
Dengan demikian maka dalam menggunakan metode wawancara, instrument yang
digunakan adalah pedoman wawancara. (Arikunto, 2014)

Menurut Sugiono (2019) agar hasil wawancara dapat terekam dengan baik,
sebagai bukti peneliti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber
data, maka diperlukan alat-alat sebagai berikut:

1. Buku catatan, yang berfungsi dalam hal pencatatan semua hasil percakapan
dengan informan/ sumberdata.
2. Tape recorder, yang berfungsi merekam semua pembicaraan atau
percakapan. Penggunaan tap recorder dalam wawancara perlu memberi tahu
kepada informan apakah dibolehkan atau tidak percakapannya direkam.
3. Camera, untuk memotret atau mendokumentasikan bahwa peneliti sedang
melakukan wawancara dengan informan/ sumber data.

27
BAB III
SISTEM ANALISIS

3.1. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan dan Biklen dalam Hamzah (2019), Analisis data adalah
proses menemukan dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, serta bahan-bahan lain, mudah dipahami, dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam penelitian kualitatif,
data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan
data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus
sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut
mengakibatkan variasi data tinggi sekali (Hamzah, 2019).

Menganalisis data dalam penelitian kualitatif adalah merangkum data


dengan cara yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan (L.R.Gay, 2009).
Sedangkan menurut Hamzah (2019) bahwa analisis data kualitatif bersifat induktif,
yaitu analisis yang didasarkan pada data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan
pola-pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang
sudah dirumuskan, selanjutnya dicarikan data secara berulang-ulang sehingga dapat
disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak. Jika ternyata hipotesis
diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori. Analisis data dalam
penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di
lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

Dalam prosesnya, analisis data dalam penelitian ini menggunakan model


Miles dan Huberman dalam Hamzah (2019) yaitu selama proses analisis data
dilakukan tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, diantaranya reduksi data
(data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan/verifikasi
(verification). Adapun, proses tersebut digambarkan sebagai berikut:

28
Gambar 3.1 Analisis Data

Komponen dalam analisis data. Diadaptasi dari Milles dan Huberman

1. Data reduction (reduksi data): data yang diperoleh di lapangan dicatat secara
teliti dan rinci. Untuk menghindari penumpukan data, maka dilakukan
reduksi data, yaitu dengan merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan
pada hal penting, mencari tema dan polanya dan membuang yang tidak
perlu sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya. Dalam mereduksi data,
difokuskan pada temuan penelitian, oleh karena itu, hal yang tidak sesuai
dengan teori yang melandasi fokus penelitian justru menjadi penting untuk
diperhatikan dalam melakukan reduksi data. Dalam hal ini peneiti
melakukan reduksi data dimulai pada saat pra riset yaitu mencari
objektifitas terkait partisipasi masyarakat dalam penataan ruang selanjutnya
dilakukan pencatatan dan mengolah data-data yang harus ditampilkan dan
mengeleminasi data-data yang tidak diperlukan sehingga peneliti dapat
menjelaskan dan memahami latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan
penelitian. Reduksi data kemudian dilakukan pada hasil wawancara dengan
informan yang berkompeten yang memiliki kapasitas dan memahami
tentang partisipasi masyarakat dalam penataan ruang di kota serang, data
dari wawancara kemudian dipilih agar dapat ditampilkan dengan baik

29
selanjutnya peneliti melakukan reduksi data kembali pada saat pembahasan
dan hasil.
2. Data display (penyajian data): setelah data direduksi, data disajikan dalam
bentuk teks naratif dan 'Matrix' untuk memudahkan pengorganisasian dan
penyusunan dalam pola hubungan. Menurut Miles & Huberman (dalam
Hamzah,2019) dalam penyajian data terdapat enam hal yang dilakukan,
yaitu: (1) contact summary sheet, membuat kertas kerja yang berisi
serangkaian fokus penelitian atau pertanyaan penelitian dengan mengulas
kembali hasil catatan lapangan dan menjawab singkat untuk
mengembangkan kesimpulan, (2) codes and coding, adalah pengodean
seluruh catatan lapangan yang telah disusun berdasarkan pertanyaan
penelitian. Kode kode tersebut diorganisasi sedemikian rupa agar dapat
dikelompokkan berdasarkan segmen yang berhubungan dengan pertanyaan
yang telah dirumuskan, (3) pattern coding, pengkodean inferensial atau
penjelasan, merupakan cara mengelompokkan kesimpulan ke dalam bentuk
kecil berupa tema atau konstruk. Setelah itu data dimasukkan yang ke dalam
satuan analisis yang esensial, (4) memoing, bukan hanya merupakan data
yang terhimpun dari penelitian, lebih namun satu kesatuan yang saling
terkait; merepresentasikan suatu konsep yang utuh, (5) site analysis
meeting, melakukan pertemuan dengan informan untuk menyimpulkan
kondisi lapangan yang diarahkan oleh serangkaian pertanyaan yang
diajukan kemudian dijawab dan dicatat selama pertemuan berlangsung, (6)
interim site summary, berisi sintesis atas pengetahuan yang berhasil didapat
di lapangan dengan memeriksa hal-hal yang mungkin luput dari penelitian,
kilas balik temuan dan menentukan langkah penelitian selanjutnya.
Sedangkan secara lengkap hasil penelitian akan dilampirkan pada bagian
lampiran.
3. Conclusion Drawing/ Verification: Langkah terakhir adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara dan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan

30
data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh kembali bukti-bukti
yang valid dan konsisten di lapangan, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang sahih.

3.2. Validasi / Verifikasi Hasil Analisis Data

Dalam studi kualitatif lebih sering menggunakan istilah verifikasi karena


data-data yang diperoleh dalam penelitian didapatkan dari informan yang memiliki
perbedaan konteks antar individu sebagai informan. Validasi dalam penelitian
kualitatif, diperhatikan dalam dua hal, yaitu validasi internal, dan validasi eksternal
(Hamzah, 2019)

3.2.1. Validasi Internal

Validasi internal adalah upaya untuk memastikan akurasi dari informasi


yang didapatkan. Apakah informasi tersebut sesuai dengan realita atau justru
bertentangan, oleh karananya, peneliti harus memastikan bahwa persepsi pribadi
tidak mengganggu interpretasi dari data-data yang dikumpulkan. Seluruh kategori
kategori yang diangkat dari data-data yang terkumpul harus sesuai dengan persepsi
informan, bukan persepsi dari peneliti itu sendiri. Biasanya peneliti akan melakukan
verifikasi pada setiap informan yang terlibat sebagai partisipan dengan
mengkonfirmasi apakah kategori-kategori tersebut dapat diterima oleh partisipan,
dan apakah makna (meaning) dari setiap kategori sesuai dengan persepsi partisipan.

Upaya verifikasi dilakukan dengan menulis kembali wawancara verbal


dengan menggunakan kalimat peneliti sendiri, dan memberikan kategori yang
dianggap sesuai dengan bagian wawancara tersebut. Dokumen tersebut kemudian
dikirimkar kepada setiap partisipan untuk dinilai apakah ada yang terlewat, dan
apakah makna (kategori) yang diberikan peneliti pada bagian wawancara tersebut
telah tepat. Penggunaan kalimat sendiri dalam menulis wawancara verbal penting
dilakukan karena pada penelitian-setelah wawancara verbal dilakukan, rekaman
suara wawancara tidak dimasukkan pada proses transcribing, yaitu mengubahnya
menjadi skrip wawancara untuk kalimat per kalimat yang diucapkan baik partisipan

31
maupun peneliti. Proses transcribing dapat memakan waktu sangat lama. Untuk itu
peneliti memutar ulang rekaman setiap wawancara beberapa kali dan menuliskan
hal-hal penting yang didapatkan dari wawancara tersebut. Hal-hal penting tersebut
kemudian ditulis ulang menggunakan kalimat peneliti sendiri untuk menjamin
bahwa peneliti benar-benar mengerti apa yang dimaksudkan oleh partisipan.

3.2.2. Validasi Eksternal

Upaya memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan tersebut tetap dapat


memenuhi tingkat kebenaran bila diaplikasikan pada konteks di luar konteks
penelitian (tempat, waktu, orang, atau situasi yang berbeda). Karena itu validasi
eksternal berarti generalizationKarena itu peneliti harus membahas ancaman
terhadap validasi eksternal (threat of external validity).

3.3. Uji Keabsahan Data

Pada dasarnya, ketita melakukan validasi hasil penelitian, maka pada saat
yang sama uji keabsahan data dilakukan. Pemeriksaan keabsahan data merupakan
kegiatan akhir pada penelitian kualitatif, namun bukan berarti peneliti tidak kembali
lagi ke lapangan. Jika diperlukan data baru untuk memperkuat temuan, maka
peneliti dapat kembali untuk pengambilan data yang dibutuhkan. Pemeriksaan
keabsahan data dilakukan untuk memastikan hasil analisis dan interpretasi data
dapat dipercaya. Menurut Guba (dalam, Hamzah 2019) melakukan pemeriksaan
keabsahan data dapat dilakukan dengan teknik credibility, transferability, dan
confirmability.

1. Credibility, digunakan untuk mengatasi kompleksitas data yang tidak


mudah untuk dijelaskan oleh sumber data, dengan cara berada di latar atau
tempat penelitian sepanjang waktu (prolonged participation at study site),
melakukan observasi yang cermat (persistent observation) dan melakukan
diskusi dengan sejawat selama proses penelitian berlangsung (peer
debriefing),
2. Transferability (keteralihan), yaitu validitas yang menyatakan bahwa
dependability (kebergantungan) untuk menunjukkan stabilitas data dengan

32
memeriksa data dari beberapa metode yang digunakan sehingga tidak terjadi
perbedaan antara data yang satu dengan yang lain.
3. Confirmability (kepastian) untuk menunjukkan netralitas dan obyektivitas
data yang diperoleh, menggunakan jurnal untuk melakukan refleksi
terhadap data yang dikumpulkan.

Pada penelitian ini, peneliti memeriksa keabsahan data mengadopsi datri Creswell
(2012) yakni :

1. Member checking, dengan melakukan pengecekan temuan dengan


mengajukan pertanyaan pada satu atau lebih partisipan. Aktivitas ini juga
dilakukan untuk mengambil temuan kembali pada partisipan dan
menanyakan pada mereka baik lisan maupun tertulis tentang keakuratan
laporan penelitian. Pertanyaan dapat meliputi berbagai aspek, misalnya
apakah deskripsi data telah lengkap, apakah interpretasi bersifat
representatif dan terpercaya. Untuk bukti bagi peneliti bahwa telah
dilakukan member checking, maka informan diminta pengesahan (tanda
tangan) yang terlampir.
2. Triangulasi, merupakan proses penyokongan bukti terhadap temuan,
analisis dan interpretasi data yang telah dilakukan peneliti yang berasal dari:
(1) individu (informan) yang berbeda (2) tipe atau sumber data (wawancara,
pengamatan dan dokumen), serta (3) metode pengumpulan data
(wawancara, pengamatan dan dokumen).
Menurut Sugiono (2019), Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini
diartikan sebagai pengecekan data dari berbagi sumber dengan berbagai
cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,
triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu
a. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber.

33
b. Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda.

c. Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang


dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat
narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan
data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam
rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara
melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik
lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji
menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang
ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya. Pada
penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam penataan ruang di
Kota Serang peneliti menggunakan triangulasi sumber dan
triangulasi teknik. Triangulasi sumber disini peneliti menanyakan
beberapa sumber informan yang bertujuan untuk melihat
keselarasan antara informan satu dengan informan lainnya dan
menguji keabsahan data melalui observasi,data,dan dokumentasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

A. D., Siti Irene. (2011). Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam


Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011
Adisasmita, R. (2018). Pembangunan Perdesaan (Edisi 2). Yogyakarta: Expert.
Adisasmita, R. (2010). Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu.
Alisjahbana, S.A dan Murningtyas, E. (2018). Administrasi Publik Sustainable
Develompment Goals (SDGs) / Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(TPB). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Anggara, S. (2015). Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Pustaka Setia.
Arikunto, S. (2014). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bappenas. (2018). Peta Jalan SDGs Indonesia Menuju 2030. Jakarta: Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional Republik Indonesia.
Maksudi, I.B. (2018). Dasar-Dasar Administrasi Publik. Depok: Rajawali Pers.
Hamzah. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif Rekonstruksi Pemikiran Dasar
serta Contoh Penerapan Pada Ilmu Pendidikan, Sosial dan Humaniora.
Malang: Literasi Nusantara.
Hamid, H. (2018). Manajemen Pemberdayaan Masyarakat. Makassar: De La
Macca (Anggota IKAPI Sulsel)
Moleong, L. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosada Karya
Mikkelsen, Britha (2013). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya
pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Rustiadi, Ernan, Dkk.(2011). Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Rakyat.
Santoso. (2005). Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam
Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni
Sundariningrum. (2001). Klasifikasi Partisipasi. Jakarta: Grasindo
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta
Sitorus. (2019). Penataan Ruang. Bogor: IPB Press Printing
Wahid, Y. (2016). Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta: Prena Media Group
Zubaedi. (2013). Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik. Jakarta:
Kencana Prena Media Group
Sumber Peraturan Perundang-undangan:

Pemerintah Republik Indonesia. (2007). Undang-undang No. 26 tahun 2007


tentang penataan ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
2007, No. 26. Jakarta
Pemerintah Republik Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2021
tentang penyelenggaraan penataan ruang. Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2021, No. 21 Jakarta
Pemerintah Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2010
tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang.
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2010, No. 68 Jakarta

Kementerian Agratian dan Tata Ruang. (2021). Peraturan Menteri ATR/ BPN No.
15 tahun 2021 tentang koordinasi penyelenggaraan penataan ruang.
Direktorat Jenderal Tata Ruang. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai