Anda di halaman 1dari 107

KAJIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP

SWASEMBADA BERAS DI KABUPATEN BEKASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah


Tugas Akhir Semester VIII Tahun Akademik 2015/2016

Oleh :

ROBBINOV DWI ARDI 10070304022

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1437 H / 2016 M
Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Swasembada
Beras Di Kabupaten Bekasi

PERSETUJUAN
TUGAS AKHIR

Oleh :
ROBBINOV DWI ARDI
10070304022

Dinyatakan disetujui untuk Mengikuti Sidang


Tugas Akhir
Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016

Bandung, 19 Februari 2016

Dosen Pembimbing

Dr. Ina Helena Agustina, Ir., MT.


ABSTRAK

Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah yang memiliki wilayah


pertanian yang cukup luas yang ikut menyokong pangan dalam skala nasional.
Namun perkembangan ekonomi di Kabupaten Bekasi telah mengakibatkan
terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan
didorong oleh peningkatan jumlah penduduk, sementara ketersediaan dan luas
lahan bersifat tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya relokasi penggunaan lahan
dari aktivitas yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih
menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama adalah aktivitas
pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi
lainnya.
Pada kurun waktu 1988 – 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan yeng
cukup signifikan, terutama perubahan penggunaan dari pertanian menjadi lahan
terbangun baik itu untuk perumahan ataupun industri. Pada kurun waktu tersebut
lahan persawahan berkurang dari 82.345,16 pada tahun 1988 menjadi 62.724,82
ha pada tahun 2010 atau berkurang sebesar 18.620,33 ha, sedangkan lahan
terbangun mengalami penambahan dari 20.978,17 ha pada tahun 1988 menjadi
36.974,34 ha pada tahun 2010 atau bertambah sebesar 16.684,44 ha.
Alih fungsi yang dianalisis berupa perubahan lahan pertanian menjadi
fungsi lain. Perubahan lahan pertanian didapatkan dari peta penggunaan lahan
pada tahun 1988 sampai tahun 2010 dikarenakan pada tahun 1988 belum
ditetapkannya Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri. Awal mulanya
berdirinya kawasan industri di Kabupaten Bekasi adalah semenjak dilakukannya
pembebasan tanah waktu tahun 1989 di wilayah Cikarang. Meski tanah di
wilayah tersebut sudah dibebaskan, tapi baru pada tahun 1992 wilayah ini
dikembangin dengan serius oleh para developer. Lahan pertanian yang dianalisis
terbatas pada lahan sawah dan hasil produksinya berupa beras. Swasembada
beras dilihat dari perbandingan produksi beras yang dihasilkan dengan konsumsi
penduduk terhadap beras. Luas kebutuhan sawah yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produksi padi berdasarkan jumlah proyeksi penduduk Kabupaten
Bekasi hasil perhitungan sesuai Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (
RTRW) Kabupaten Bekasi 2011-2031.
Kesimpulan dari studi ini adalah adanya pengaruh yang cukup serius dari
alih fungsi lahan pertanian terhadap swasembada beras di Kabupaten Bekasi.
Pengaruh tersebut adalah Kabupaten Bekasi tidak swasembada beras lagi,
padahal dulu Kabupaten Bekasi dikenal sebagai salah satu lumbung padi
nasional. Pola alih fungsi lahan yang terjadi adalah menjadi lahan sawah menjadi
ladang atau tegalan terlebih dahulu sebelum menjadi permukiman atau industri
yang tentunya tidak dapat dirubah lagi menjadi lahan sawah.

Kata kunci: alih fungsi, lahan pertanian, swasembada beras


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tugas Akhir denga judul “Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap
Swasembada Beras Di Kabupaten Bekasi”. Tidak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
laporan ini, antara lain:

1. Orang tua dan Keluarga yang telah memberikan dorongan, baik moril
maupun material.

2. Ibu Dr. Saraswati, Ir., MT. Selaku Ketua Jurusan Teknik Perencanaan
Wilayah dan Kota.

3. Bapak Dr. H. Ivan Chofyan, Ir., M.SP., selaku Koordinator Tugas Akhir.

4. Ibu Dr. Ina Helena Agustina, Ir., MT. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir.

5. Bapak Weishaguna, ST., MM. Selaku Dosen Wali.

6. Ibu Lely Syiddatul Akliyah, ST., Msi., yang telah memberikan masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

7. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2004 yang telah banyak mengajari


dan memberikan tutor kepada penulis selama masa kuliah.

8. Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu yang tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu.

Wassalam
Bandung, 19 Februari 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat ............................................................. 7
1.4 Ruang Lingkup ................................................................... 8
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah............................................ 8
1.4.2 Ruang Lingkup Materi .............................................. 10
1.5 Metodologi ........................................................................... 10
1.5.1 Kerangka Pemikiran ................................................. 10
1.5.2 Metode Pendekatan Studi ........................................ 12
1.5.3 Metode Pengumpulan Data ...................................... 12
1.5.4 Metode Analisis ........................................................ 13
1.6 Sistematika Pembahasan .................................................... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Lahan Pertanian .................................................................. 17
2.2 Alih Fungsi Lahan ................................................................ 18
2.2.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ................. 19
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan Pertanian ....................................................... 20
2.2.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non
Pertanian .................................................................. 22
2.3 Swasembada Beras............................................................. 23
2.4 Sistem Informasi Geografis Sebagai Alat Bantu
Perencanaan ....................................................................... 24
2.4.1 Pengertian Data dan Informasi ................................. 24
2.4.2 Pengertian Sistem Informasi Geografis .................... 26
2.4.3 Kualitas Sistem Informasi Geografis ......................... 28
2.4.4 Struktur Data Sistem Informasi Geografis................. 29
2.4.5 Sistem Informasi Geografis dan Proses Perencanaan 30
2.4.6 Pembangunan Basis Data ........................................ 32
2.4.7 Ketelitian Basis Data ................................................ 32
2.5 Penelitian Terdahulu ............................................................ 34

ii
BAB III GAMBARAN UMUM
3.1 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bekasi ....................... 36
3.1.1 Kebijakan Pertanian Nasional................................... 36
3.1.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Jawa Barat ............................................................... 38
3.1.2.1 Rencana Struktur Ruang ............................ 38
3.1.2.2 Rencana Pola Ruang .................................. 40
3.1.2.3 Rencana Kawasan Strategis ....................... 42
3.1.3 Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Bekasi 2012-2017 .................................. 44
3.1.4 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Bekasi ...................................................................... 45
3.1.4.1 Rencana Struktur Ruang ............................ 45
3.1.4.2 Rencana Pola Ruang .................................. 50
3.1.4.3 Rencana Kawasan Strategis ....................... 51
3.2 Gambaran Umum Lahan Pertanian Kabupaten Bekasi ........ 55
3.2.1 Perkembangan Spasial Lahan Pertanian.................. 57
3.2.2 Perkembangan Sosial Ekonomi................................ 66
3.2.2.1 Kependudukan ........................................... 66
3.2.2.2 Perekonomian ............................................ 70

BAB IV ANALISIS
4.1 Analisis Perubahan Lahan ................................................... 78
4.2 Analisis Produksi Padi ......................................................... 83
4.3 Analisis Surplus Defisit ........................................................ 85
4.4 Analisis Kebutuhan Lahan ................................................... 87
4.5 Sintesa Hasil Analisis .......................................................... 88

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


5.1 Kesimpulan .......................................................................... 94
5.2 Rekomendasi....................................................................... 95

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kebutuhan Data.......................................................................... 14


Tabel 2.1 Ketelitian Peta Batas Administrasi Kabupaten Bekasi ................ 33
Tabel 3.1 Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat ..................................... 42
Tabel 3.2 Orde Kota Kabupaten Bekasi ..................................................... 47
Tabel 3.3 Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi ........................... 48
Tabel 3.4 Rencana Pola Ruang Kabupaten Bekasi .................................... 52
Tabel 3.5 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 1988 ...... 58
Tabel 3.6 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 1995 ...... 60
Tabel 3.7 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 2008 ...... 62
Tabel 3.8 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 2010 ...... 64
Tabel 3.9 Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2004-2013 ............ 67
Tabel 3.10 Kepadatan Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2004-2013 ....... 68
Tabel 3.11 Jumlah Penduduk Bekerja di Kabupaten Bekasi Tahun
2009-2013 .................................................................................. 69
Tabel 3.12 PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Tahun
2004-2013 .................................................................................. 72
Tabel 3.13 Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar
Harga Berlaku Tahun 2004-2013 ................................................ 73
Tabel 3.14 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2004-2013 .......................................................... 74
Tabel 3.15 PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Konstan 2000
Tahun 2009-2013 ...................................................................... 75
Tabel 3.16 Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga
Konstan 200 Tahun 2009-2013 .................................................. 76
Tabel 4.1 Penyusutan Luas Lahan Pertanian Sawah di Kabupaten Bekasi 79
Tabel 4.2 Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi ............. 80
Tabel 4.3 Perkembangan Luas Lahan Panen dan Produksi Pertanian
Sawah di Kabupaten Bekasi ....................................................... 84
Tabel 4.4 Produksi Padi Yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan
di Kabupaten Bekasi................................................................... 85
Tabel 4.5 Analisis Surplus Defisit Gabah di Kabupaten Bekasi .................. 86
Tabel 4.6 Kebutuhan Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi .......................... 87
Tabel 4.7 Luas Perubahan Lahan Pertanian Tahun 2010 Menjadi Lahan
Terbangun pada RTRW Kabupaten Bekasi ................................ 92

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Orientasi Kabupaten Bekasi .......................................... 9


Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran ............................................................... 11
Gambar 2.1 GIS dan Proses Perencanaan................................................ 31
Gambar 3.1 Peta Rencana Struktur Ruang RTRW Provinsi Jawa Barat .... 39
Gambar 3.2 Peta Rencana Pola Pemanfaatan Ruang RTRW Provinsi
Jawa Barat ............................................................................. 41
Gambar 3.3 Peta Rencana Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat.......... 43
Gambar 3.4 Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Bekasi .................. 49
Gambar 3.5 Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bekasi ....................... 53
Gambar 3.6 Peta Rencana Kawasan Strategis Kabupaten Bekasi ............ 54
Gambar 3.7 Peta Administrasi Kabupaten Bekasi ..................................... 56
Gambar 3.8 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1988 ...... 59
Gambar 3.9 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1995 ...... 61
Gambar 3.10 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2008 ...... 63
Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2010 ...... 65
Gambar 4.1 Diagram Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Kabupaten
Bekasi .................................................................................... 79
Gambar 4.2 Peta Perubahan Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi ......... 82

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai landasan dasar dalam penyusunan studi ini adalah ayat Al –


Quran berikut ini.

Artinya : “Hanya seumpama hidup di dunia seperti air yang Kami turunkan dari
langit, lalu bercampur dengan tumbuh-tumbuhan bumi, diantara
makanan yang dimakan manusia dan binatang ternak. Sehingga
apabila bumi itu telah sampai pada puncak keindahannya serta
berhias dan penduduknya menduga bahwa mereka dapat
menguasainya datanglah perintah Kami waktu malam atau siang, lalu
kami jadikan bumi itu seperti yang telah dipotong tanamannya
seolah-olah tidak ada kemarin itu. Demikinanlah Kami terangkan
beberapa ayat bagi kaum yang memikirkan” (Q.S Yunus ayat 24)

Dari ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan Bumi


beserta isinya agar dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh umat manusia
dalam memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai khalifah di muka bumi
ditugaskan untuk memanfaatkan dan menjaga alam ini, agar keseimbangnya
tetap terjaga. Hubungan ayat di atas dengan studi yang dilakukan ialah wilayah
pada hakekatnya merupakan suatu organisme hidup yang akan berkembang

1
2

terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Perkembangan suatu wilayah


berbeda dengan wilayah yang lain karena setiap wilayah mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda, dan dalam perkembangannya selalu
dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Oleh karena itu dalam
memanfaatkan sumber daya alam sehubungan dengan pengembangan suatu
wilayah perlu pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya
dalam proses perencanaan.

Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan.


Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor
pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Oleh
karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap kegiatan produksi akan
dipengaruhi oleh perkembangan permintaan dari setiap komoditasnya.
Penggunaan lahan harus disesuaikan dengan daya dukungnya, karena lahan
memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini dapat dilihat dari kemampuan lahan
antara lain kemiringan lahan, tekstur tanah, drainase, kedalaman efektif, erosi,
fisiografi, geologi, dan jenis tanah (BPN, 1996:19). Pertimbangan lain karena
lahan sebagai bagian dari ruang mempunyai sifat terbatas dalam kuantitas,
memiliki sifat unit dalam hal lokasi, dan cenderung mengalami penurunan dalam
melayani tuntutan pembangunan. Selain itu lahan merupakan salah satu sumber
daya alam dengan multi dimensi, meliputi dimensi fisik ruang, sosial budaya,
politik dan pertahanan keamanan (BPN, 1996:1).

Salah satu bentuk penggunaan lahan yaitu untuk aktivitas pertanian,


dalam penggunaan lahannya harus memenuhi syarat-syarat lokasi. Secara
fisiografis wilayah Kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang berada pada zona
Jakarta dengan topografinya yang datar. Sebagian besar keadaan tanahnya
merupakan tanah alluvial yang subur untuk daerah pertanian. Oleh karena itu
wilayah Kabupaten Bekasi merupakan wilayah pertanian bersama dengan
wilayah Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon sebagai andalan Jawa Barat
dalam produksi padi. Sebagai daerah pertanian wilayah kabupaten Bekasi selain
ditunjang oleh kondisi iklim terutama cuirah hujan yang tinggi yaitu berkisar
antara 2.000-2.500 mm/tahun juga sudah dilengkapi dengan saluran irigasi baik
saluran primer, sekunder sampai tersier. Sektor pertanian merupakan sektor
yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan
kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB,
penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran
3

terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap


memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara
industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan
salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri
pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk
mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi
fungsi lahan pertanian.

Pembangunan sektor industri bagi Indonesia merupakan hal yang harus


dilakukan, mengingat jumlah angkatan kerja banyak, yang tidak mungkin dapat
diatasi hanya pada sektor pertanian. Dengan industri tenaga kerja akan banyak
terserap baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan pembangunan
industri dapat terbuka bidang-bidang usaha lainnya seperti berbagai kegiatan
dalam sektor jasa. Tidak ada pembangunan yang tidak memerlukan lahan, setiap
pembagunan lebih-lebih pembangunan fisik akan memerlukan lahan. DKI
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara sudah tidak memungkinkan lagi pembangunan
industri, karena lahan terbuka di wilayah ini sudah sangat terbatas. Kabupaten
Bekasi merupakan salah satu daerah yang memiliki wilayah pertanian yang
cukup luas. Kabupaten Bekasi sendiri ikut menyokong pangan dalam skala
nasional. Namun perkembangan ekonomi di Kabupaten Bekasi telah
mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Lokasi
Kabupaten Bekasi yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta menyebabkan wilayah ini
mempunyai nilai sewa lahan atau land rent untuk sektor non pertanian yang
besar. Kepadatan penduduk di Jakarta juga telah meluas dan menyebabkan
struktur demografi Kabupaten Bekasi bertransformasi dari pedesaan menjadi
perkotaan. Hal ini menyebakan permintaan akan lahan industri dan pemukiman
meningkat karena lokasi tersebut dekat dengan pusat kota.

Karakteristik perkembangan penggunaan lahan pada wilayah


Kabupaten Bekasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan fungsional DKI
Jakarta yang cenderung berkembang sebagai pusat pelayanan jasa, sementara
di wilayah Botabek terjadi perkembangan industri. Secara timbal balik,
kecenderungan perkembangan ini sangat berpengaruh pada pola perkembangan
penggunaan lahan yang bersifat linier dan semakin intensif untuk membentuk
jalur koridor barat–timur. Proses transformasi struktural di Wilayah Botabek
sebagai penyangga DKI Jakarta pada dasarnya terjadi baik secara demografis
(dari dominasi penduduk perdesaan ke perkotaan), ekonomi (dari dominasi
4

sektor pertanian ke industri dan jasa), maupun secara fisik. Perkembangan fisik
merupakan manifestasi perkembangan demografis dan ekonomi yang pada
gilirannya perlu diakomodasikan dalam ruang. Memasuki tahun 1990-an di
Kabupaten Bekasi telah banyak proyek yang dibangun yang menyerap ribuan
tenaga kerja. Hal ini tidak terlepas dari sejak dikeluarkannya kebijaksanaan-
kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi berupa penyederhanaan prosedur
perijinan yang memberikan hasil nyata yaitu meningkatnya jumlah investasi dan
kegiatan industri di daerah tersebut. Apalagi dengan adanya keputusan presiden
No.53 Tahun 1989 terutama untuk kawasan industri, serta alokasi lahan untuk
kawasan industri seluas 3.000 Ha di Kabupaten Bekasi, sebagaimana ditetapkan
dalam surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
No.593/SK/BAPPEDA /Tahun 1990.

Tingginya peningkatan kegiatan penanaman modal di Kabupaten Bekasi


tentunya menunjukan tingginya kebutuhan penggunaan lahan, karena berbagai
skala investasi membutuhkan skala ruang yang berbeda pula. Kondisi ini
mendorong tingginya kecenderungan perubahan penggunaan lahan untuk
memenuhi berbagai keperluan investasi di berbagai sektor terutama investasi di
sektor industri dan perumahan. Pada kurun waktu 1988 – 2010 terjadi perubahan
penggunaan lahan dari pertanian ke industri dan perumahan. Perubahan
penggunaan lahan ini terutama terjadi pada daerah-daerah yang mempunyai
nilai aksesibilitas dan ekonomi yang tinggi seperti di Kecamatan Tambun
Selatan, Cibitung, Cikarang Utara, Cikarang Barat dan Kecamatan Cikarang
Selatan. Secara umum faktor utama yang mempengaruhi percepatan perubahan
penggunaan lahan adalah:
1. Dekatnya lokasi Kabupaten Bekasi dengan DKI Jakarta terutama pada
kawasan yang mempunyai aksesiibilitas tinggi dan cenderung untuk tumbuh
dan berkembang menjadi kawasan perumahan.
2. Adanya kebijaksanaan pemerintah terutama alokasi kawasan industri di
Kabupaten Bekasi dan adanya permintaan lahan skala besar untuk kawasan
industri dan perumahan.
3. Adanya acces-road (Jalan Tol) baik secara regional maupun lokal telah
memacu perkembangan di kawasan sekitarnya.

Pertumbuhan dan perkembangan penduduk Kabupaten Bekasi telah


menunjukkan laju kenaikan yang signifikan, seiring lajunya investasi
pembangunan terutama pada sektor industri dan perumahan. Pertambahan
5

penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak


hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang
mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, jalan raya
dan sebagainya. Hal ini menjadi dilema dimana Kabupaten Bekasi yang cocok
untuk pertanian pangan berhadapan dengan penduduknya yang terus bertambah
dan membutuhkan bangunan untuk tempat tinggal, sehingga terjadi alih fungsi
lahan pertanian. Saat ini menurut data Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun
2014, luas lahan sawah di Kabupaten Bekasi sebesar 52.966 ha atau 41,58%
dari luas Kabupaten Bekasi. Adanya alih fungsi lahan pertanian, khususnya pada
lahan sawah, akan mempengaruhi produksi beras yang merupakan bahan
makanan pokok masyarakat Indonesia. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus akan
berpengaruh pada swasembada beras, dimana masyarakat nantinya harus
mengimport beras karena produksi dari sawah yang ada tidak dapat mencukupi
kebutuhan sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian.

1.2 Rumusan Masalah

Sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan


untuk menciptakan peluang kerja yang ditandai oleh banyaknya investor ataupun
masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, semakin
meningkat kebutuhan akan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan didorong oleh
peningkatan jumlah penduduk, sementara ketersediaan dan luas lahan bersifat
tetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya relokasi penggunaan lahan dari aktivitas
yang kurang menguntungkan pada aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas
yang selalu terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang
menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi lainnya.

Kabupaten Bekasi menunjukan pertumbuhan perekonomian yang pesat,


hal ini disebabkan karenan kebijaksanaan industrialisasi yang dipercepat
terutama industri pengolahan. Menurut data yang dikeluarkan BPMPPT
Kabupaten Bekasi, realisasi investasi PMA dan PMDN di Kabupaten Bekasi pada
Triwulan I 2013 menyebutkan bahwa terdapat 153 proyek dengan total investasi
sebesar Rp. 5,9 trilyun. Angka tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Bekasi
menduduki peringkat pertama dengan share terhadap keseluruhan nilai investasi
Provinsi Jawa Barat sebesar 27,64%. Pertumbuhan kegiatan perekonomian yang
sangat cepat ini mengakibatkan permintaan lahan yang tinggi pula tercatat terjadi
6

perubahan penggunaan lahan yang sangatlah cepat dari sektor pertanian


menjadi non pertanian. Kondisi ini dipahami sebagai pengaruh dari
perkembangan Kota Jakarta. Perkembangan permintaan lahan untuk
kepentingan investasi di Kabupaten Bekasi di dorong oleh kedekatannya dengan
Kota Jakarta sehingga menarik bagi para investor. Selain itu juga,
ketidakmampuan Kota Jakarta untuk menampung kegiatan-kegiatan industri
skala besar sehingga memberikan peluang yang cukup besar bagi kabupaten-
kabupaten yang ada di sekitarnya untuk menangkap peluang ekonomi tersebut.

Pulau Jawa merupakan pulau penghasil padi terbesar di Indonesia, lebih


dari 50% produksi padi nasional berasal dari area sawah di Pulau Jawa. Ada
beberapa Kabupaten di Pulau Jawa yang memperoleh predikat sebagai lumbung
padi nasional, salah satunya adalah Kabupaten Bekasi. Pada kurun waktu tahun
1988 sampai 2010 di Kabupaten Bekasi terjadi perubahan penggunaan lahan
yang sangat mencolok terutama untuk permukiman dan industri. Pada tahun
1988 penggunaan lahan terbangun di Kabupaten Bekasi seluas 20.289,90 ha,
penggunaan tersebut meningkat menjadi 36.974,34 ha pada tahun 2010 yang
berarti meningkat sebesar 16.684,44 ha. Di sisi lain terjadi pengurangan lahan
pertanian sawah dari 91.302,23 ha pada tahun 1988 yang terdiri atas sawah,
ladang/tegalan dan perkebunan menjadi hanya 79.551,62 ha pada tahun 2010.
selain itu permintaan lahan untuk kebutuhan investasi berdasarkan data dari
Pemerintah Kabupaten Bekasi pada tahun 2015 sebesar 2.489 ha lahan
pertanian yang berlokasi di Kecamatan Bojongmangu, Kecamatan Cikarang
Pusat, Kecamatan Cibarusah, Kecamatan Cikarang Selatan dan Kecamatan
Serang Baru akan beralih fungsi (http://news.klikbekasi.co). Perubahan
penggunaan lahan pertanian ke non pertanian tersebut akan terus berlangsung
sesuai dengan besarnya permintaan lahan bagi kegiatan pembangunan. Apabila
perubahan penggunaan lahan pertanian ini tidak dikendalikan, maka akan
berdampak pada terus berkurangnya produksi beras.

Kondisi ini akan ditambah dengan adanya ketidaksesuaian antara


alokasi penggunaan lahan untuk industri yang ditetapkan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Barat dengan yang ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Bekasi.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat mengalokasikan penggunaan lahan untuk
industri di Kabupaten Bekasi seluas 3.000 ha, namun pada kenyataannya
pemerintah Kabupaten Bekasi mengalokasikan lahan untuk industri pada
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi seluas 18.244,43 ha.
7

Sedangkan dari data Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten


Bekasi, setiap tahun produksi padi mengalami penurunan sekitar 6,12 persen
bila dalam kondisi normal. Penurunan produksi akan meningkat bila terjadi
bencana seperti banjir besar, yang menggenangi 19 ribu hektar sawah pengguna
irigasi teknis seperti yang terjadi Januari 2014 lalu.

Berdasarkan berbagai informasi di atas, maka permasalahan yang


dapat diambil dalam penelitian ini adalah:
1. Berapakah laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi?
2. Bagaimana dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap swasembada beras
di Kabupaten Bekasi.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan dari


penelitian ini adalah:
1. Menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi dari tahun
1988 sampai tahun 2010.
2. Mengidektifikasi dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap swasembada
beras di Kabupaten Bekasi.

Penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yang dapat diambil


oleh berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan
ilmu bidang perencanaan wilayah dan kota yang telah dipelajari selama
menjalani perkuliahan di Universitas Islam Bandung.
2. Bagi wilayah studi, memberikan gambaran yang jelas mengenai alih fungsi
lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.
3. Bagi Pemerintah Daerah dapat dijadikan pertimbangan d dalam pembuatan
kebijakan pembangunan sektoral dan kebijakan tata ruang yang sejalan
dengan infrastruktur pembangunan pertanian di Kabupaten Bekasi.
4. Bagi civitas akademika, penelitian ini dapat menambah wacana dalam
penelitian dan pengembangan ilmu terapan yang menyangkut dampak alih
fungsi lahan pertanian terhadap swasembada beras.
8

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu ruang lingkup
wilayah dan ruang lingkup materi. Ruang lingkup wilayah merupakan
pembatasan pada wilayah studi dari sudut pandang geografis, sedangkan ruang
lingkup materi berkaitan dengan batasan materi yang akan dibahas dalam
penelitian ini.

1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah

Ruang lingkup wilayah pada studi ini meliputi Kabupaten Bekasi.


Kabupaten Bekasi terletak di sebelah Utara Propinsi Jawa Barat dan berada
pada dataran rendah, 72% wilayah Kabupaten Bekasi berada pada ketinggian 0-
25 meter di atas permukaan air laut. Kabupaten Bekasi terletak pada 6010’-6030’
Lintang Selatan 106048’78”-107027’29” Bujur Timur, luas wilayah Kabupaten
Bekasi 127.388 Ha. Secara administasi Kabupaten Bekasi berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Laut Jawa;
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor;
Sebelah Barat : DKI Jakarta dan Kota Bekasi;
Sebelah Timur : Kabupaten Karawang.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 Peta Orientasi
Kabupaten Bekasi.
9

Gambar 1.1 Peta Orientasi Kabupaten Bekasi


10

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

Dalam penelitian ini diperlukan batasan-batasan yang jelas agar


penelitian lebih terarah dan peneliti dapat lebih fokus dalam melakukan
penelitian. Adapun ruang lingkup materi sebagai batasan-batasan dari penelitian
ini adalah:
1. Alih fungsi yang dianalisis berupa perubahan lahan pertanian menjadi fungsi
lain. Perubahan lahan pertanian didapatkan dari peta penggunaan lahan
pada tahun 1988 sampai tahun 2010 dikarenakan pada tahun 1988 belum
ditetapkannya Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri. Awal mulanya
berdirinya kawasan industri di Kabupaten Bekasi adalah semenjak
dilakukannya pembebasan tanah waktu tahun 1989 di wilayah Cikarang.
Meski tanah di wilayah tersebut sudah dibebaskan, tapi baru pada tahun
1992 wilayah ini dikembangin dengan serius oleh para developer.
2. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil
produksinya berupa beras.
3. Swasembada beras dilihat dari perbandingan produksi beras yang dihasilkan
dengan konsumsi penduduk terhadap beras.
4. Luas kebutuhan sawah yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi padi
berdasarkan jumlah proyeksi penduduk Kabupaten Bekasi hasil perhitungan
sesuai Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW) Kabupaten Bekasi
2011-2031.

1.5 Metodologi

1.5.1 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dalam studi ini memaparkan mengenai alur


pikir Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap rumusan hipotesis :
Ada/tidaknya Swasembada Beras di Kabupaten Bekasi yang dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
11

Gambar 1.2
Kerangka Pemikiran Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Swasembada
Beras di Kabupaten Bekasi
(Sumber: Hasil Perumusan, 2015)
12

1.5.2 Metode Pendekatan Studi

Untuk mencapai tujuan dan sasaran penelitian, maka dilakukan


pendekatan dengan melalui beberapa kegiatan. Pendekatan studi didasarkan
pada aspek-aspek yang berpengaruh dan menjadi bahan pertimbangan untuk
melakukan proses analisis dan perumusan hasil studi. Untuk mencapai studi ini
digunakan analisis spasial dengan menggunakan ArcGIS untuk mengetahui alih
fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi. Data luas lahan yang diambil dari
peta penggunaan lahan Kabupaten Bekasi tahun 1988 hingga tahun 2010.
Adapun perhitungan swasembada beras dilihat dari perbandingan produksi padi
dengan jumlah konsumsi beras per kapita penduduk di Kabupaten Bekasi
dengan menggunakan analisis surplus defisit.

1.5.3 Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data-data yang dipakai dalam studi ini metode yang
dilakukan adalah dengan cara survey data sekunder dan primer. Data sekunder
diperoleh dari instansi-instansi pemerintah terkait seperti Bappeda, BPN,
BPMPPT, Kantor Statistik, dan BIG. Dari instansi-instansi ini didapatkan data-
data yang dibutuhkan.

Sedangkan survey data primer dilakukan dengan cara mengobservasi


keadaan di lapangan, secara umum metode ini tidak terlalu banyak dilakukan,
karena materi studi hanya hanya membahas kebijakan-kebijakan makro saja.
Tetapi sebagai justifikasi metode ini pun dilakukan yang bertujuan untuk melihat
perilaku sistem nyata yang terjadi di lapangan.

Tabel 1.1
Kebutuhan Data
No Kelompok Data Jenis Data
1 Peta Peta Penggunaan Lahan
2 Kebijakan Kebijakan Tata Ruang (RTRW)
Kebijakan Pertanian
3 Kependudukan Jumlah Penduduk
4 Pertanian Jumlah Produksi Pertanian
5 Studi Terdahulu Studi Terkait Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Sumber: Hasil Perumusan, 2015
13

1.5.4 Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode


analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan
dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi data dan informasi
pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju
alih fungsi lahan dan swamsembada beras di Kabupaten Bekasi. Metode analisis
kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju alih fungsi lahan, analisis
spasial, analisis surplur defisit dan analisis kebutuhan lahan sawah. Pengolahan
data dan informasi yang didapat dilakukan secara manual dan menggunakan
komputerisasi dengan program microsoft office excel 2010 dan ArcGis 10.2.

A. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan


interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat,
tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan,
kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh dari suatu fenomena. Data yang diperoleh dari hasil penelitian
kemudian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan
tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.
2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari
kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah
interpretasi data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran
yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi
interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.

Analisis deskriptif akan memperoleh gambaran mengenai pola atau


karakteristik alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.

B. Analisis Spasial

Analisis spatial dilakukan untuk mengetahui perubahan luas alih fungsi


lahan yang terjadi pada kurun waktu tertentu di wilayah Kabupaten Bekasi. Untuk
mengetahui persebaran dan penggunaan lahan dalam kurun waktu tertentu
14

dengan menganalisis peta penggunaan lahan tahun-tahun tersebut. Analisis dan


penyusunan data atribut dilakukan dengan menggunakan software ArcGis
sehingga tersusun format data dalam SIG. Peta alih fungsi penggunaan lahan
dihasilkan melaui proses overlay antara peta penggunaan lahan. Overlay
merupakan proses yang digunakan untuk menyatukan/menggabungkan
informasi dari beberapa data spasial, baik grafis/geometri maupun data
atributnya dan selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan informasi baru.

Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan


teknik operasi tumpang-tindih (overlay) yang dilakukan dengan cara
menumpang-tindihkan peta penggunaan lahan tahun 1988, 1995, 2008 dan peta
penggunaan lahan tahun 2010. Untuk menentukan satuan penggunaan lahan
digunakan 7 (tujuh) jenis penggunaan lahan yakni: (1) sawah, (2) ladang/tegalan,
(3) hutan sekunder, (4) perkebunan/kebun, (5) padang rumput/alang-alang, (6)
lahan terbangun dan (7) badan air.

C. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan

Menurut Sutani (2009) dalam Astuti (2011), dalam perhitungan laju alih
fungsi lahan pertanian digunakan persamaan penyusutan lahan. Laju alih fungsi
lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara
parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut:

𝐿𝐿𝑡𝑡− 𝐿𝐿𝑡𝑡−1
𝑉𝑉 = 𝑥𝑥 100%
𝐿𝐿𝑡𝑡−1

dimana:
V = Laju penyusutan lahan (%);
𝐿𝐿𝑡𝑡 = Luas lahan tahun ke-t (ha);
𝐿𝐿𝑡𝑡−1 = Luas lahan tahun sebelum t (ha).

Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan
tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelum t (t-1). Kemudian dibagi dengan
luas tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan
juga pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap
tahun. Nilai V < 0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.
15

D. Analisis Surplus Defisit

Tujuan penggunaan analisis surplus defisit adalah untuk mengetahui


keberadaan beras di Kabupaten Bekasi, apakah bersifat surplus atau defisit.
Analisis ini membandingkan antara produksi beras yang dihasilkan di Kabupaten
Bekasi dengan konsumsi penduduk Kabupaten Bekasi terhadap beras. Rumus
kebutuhan konsumsi adalah sebagai berikut:

𝐾𝐾𝑘𝑘 = 𝑆𝑆𝑘𝑘 𝑥𝑥 𝑦𝑦𝑡𝑡

dimana:
𝐾𝐾𝑘𝑘 = kebutuhan konsumsi penduduk (kg/kapita/tahun);
𝑆𝑆𝑘𝑘 = standar konsumsi, bernilai 99 kg/kapita/tahun;
𝑦𝑦𝑡𝑡 = Jumlah penduduk tahun ke – t (jiwa).

Selanjutnya kebutuhan konsumsi terhadap beras dikonversi menjadi


kebutuhah terhadap gabah dengan rumus sebagai berikut:

𝐾𝐾𝑔𝑔 = 𝐾𝐾𝑘𝑘 𝑥𝑥 100⁄62,74

dimana:
𝐾𝐾𝑔𝑔 = kebutuhan gabah (kg/kapita/tahun);
𝐾𝐾𝑘𝑘 = konsumsi beras (ton/kapita/tahun);
Nilai 62,74 adalah faktor konversi beras ke gabah berdasarkan pada hasil survei
susut panen dan pasca panen gabah beras kerjasama BPS dan Kementan
(2009).

E. Analisis Kebutuhan Lahan Sawah

Analisis ini digunakan dengan tujuan untuk mengetahui luas lahan


sawah yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi padi yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Rumusnya adalah sebagai berikut:

𝐾𝐾𝑠𝑠 = 𝐾𝐾𝑔𝑔 ⁄𝑃𝑃𝑔𝑔

dimana:
𝐾𝐾𝑠𝑠 = Kebutuhan lahan sawah (ha)
𝐾𝐾𝑔𝑔 = Kebutuhan gabah (ton)
𝑃𝑃𝑔𝑔 = Produksi gabah per hektar (ton/tahun), dimana:
16

𝑃𝑃𝑔𝑔 = 𝑄𝑄𝑡𝑡 𝑥𝑥 𝐼𝐼𝐼𝐼

dimana:
𝑃𝑃𝑔𝑔 = Produksi gabah per hektar (ton/tahun)
𝑄𝑄𝑡𝑡 = Produkstivitas (ton/ha)
𝐼𝐼𝐼𝐼 = Intensitas Pertamanan, dimana:

𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 1 𝑡𝑡𝑡𝑡ℎ𝑢𝑢𝑢𝑢


𝐼𝐼𝐼𝐼 =
𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑙𝑙𝑙𝑙ℎ𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠ℎ

1.6 Sistematika Penyajian

Adapun sistematika penyajian pada penyusunan Tugas Akhir ini adalah


sebagai berikut ini.

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang studi, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat, ruang lingkup studi, ruang lingkup materi,
metodologi serta sistematika pembahasan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini akan membahas lahan pertanian, alih fungi lahan, swasembada
beras, sistem informasi geografis sebagai alat bantu perencanaan dan
penelitian terdahulu.

BAB III GAMBARAN UMUM


Pada bab ini diuraikan kebijakan pembangunan Kabupaten Bekasi yang
berkaitan dengan pertanian serta gambaran umum lahan pertanian di
Kabupaten Bekasi.

BAB IV ANALISIS
Pada bab ini berisi analisis perubahan lahan pertanian, analisis produksi
padi, analisis surplus defisit, analisis kebutuhan luas lahan pertanian
dan sintesa hasil analisis.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


Pada bab ini berisi kesimpulan dari Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Terhadap Swasembada Pertanian di Kabupaten Bekasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Pertanian

Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu


lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Lahan Pertanian adalah bidang
lahan yang digunakan untuk usaha pertanian. Sebagai sumberdaya alam, lahan
merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Sumberdaya lahan merupakan
salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat dalam memenuhi
berbagai kebutuhan manusia, seperti sebagai tempat tinggal, tempat mencari
nafkah, tempat berwisata, dan tempat bercocok tanam. Lahan mempunyai arti
penting bagi masing-masing orang yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi
masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani,
lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup.
Bagi investor swasta, lahan merupakan aset untuk mengakumulasikan modal.
Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara untuk
kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam
penggunaan lahan ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan
antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan
lahan.

Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan


pertanian, seperti sawah, kebun sayuran, dll. Lahan sawah adalah suatu tipe
penggunaan lahan pertanian yang untuk pengelolaannya menggunakan
genangan air. Oleh karena itu sawah selalu merupakan permukaan datar atau
yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan genangan air.
Berdasarkan jenis irigasinya sawah dibagi dalam tiga jenis, yaitu: (1) sawah
irigasi teknis, yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk dan
dialirkan melalui saluran primer dan selanjutnya dibagi-bagi kedalam saluran
sekunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi. (2) sawah irigasi semi
teknis, yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk, akan tetapi

17
18

pemerintah hanya menguasai bangunan penyadap untuk mengatur pemasukan


air. (3) sawah irigasi sederhana, yaitu pengairan sawan dari mata air dan
pembuatan salurannya dibuat tanpa bangunan permanen oleh masyarakat
setempat (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003).
Adapun pada kenyataannya di Indonesia masih terdapat sawah tadah hujan,
yaitu sawah yang pengairannya tidak menggunakan irigasi. Pengairan pada
sawah ini hanya berbasis pada air hujan. Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005),
manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori, use value dan non
use value. Use value atau manfaat penggunaan didapat dari hasil eksploitasi
atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada lahan pertanian. Sedangkan non
use value atau manfaat bawaan merupakan manfaat yang tercipta sendirinya
walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan
pertanian. Yoshida dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto (2005) mengutarakan
pendapat lain tentang manfaat dari lahan pertanian. Menurut mereka lahan
pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan, seperti pencegah banjir,
pengendali keseimbangan air, pencegah erosi, pengurangan pencemaran
lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran
udara yang berasal dari gas buangan.

2.2 Alih Fungsi Lahan

Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu


penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul
banyak terkait dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2005). Alih fungsi
lahan ini secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian
sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Hal ini
umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk
mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Alih fungsi lahan pertanian
sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia. Isu yang berkaitan dengan
alih fungsi lahan pertanian marak diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil
sensus pertanian yang mengungkapkan bahwa antara tahun 1983 hingga 1993
telah terjadi penyusutan lahan sawah sebesar 1,28 juta hektar. Kondisi seperti ini
sulit dihindari karena pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian lebih
memberikan keuntungan finansial dibandingkan pemanfaatan lahan untuk
19

kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada nilai land rent untuk kegiatan pertanian
yang cenderung lebih kecil dibandingkan untuk kegiatan non pertanian.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan


karena ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, terutama pangan.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan
penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas
sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Menurut Barlowe (1978),
faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik
alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu,
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk,
perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan,
selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai yang disebabkan oleh
perkembangan usia. Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama
komoditas pangan terhadap pendapatan bersifat kurang elastis, sedangkan
permintaan komoditas non pertanian pangan bersifat elastis. Konsekuensinya
adalah pembangunan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan cenderung
menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian
dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian.

2.2.1 Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan

Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi


lahan dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang
dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari
pemilik lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena
pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui
alih usaha. Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit
karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang
kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga
mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat
usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri.
Dampak dari alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama.
Kedua, alih fungsi lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik
lahan menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non
pertanian. Para petani yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual
20

lahannya karena tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor.
Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif
dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap
eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.

Menurut Utomo (1992) alih fungsi lahan pertanian dapat bersifat


sementara dan bersifat permanen. Jika lahan sawah berubah menjadi
perkebunan maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada
tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Sedangkan jika lahan
sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka alih fungsi lahan tersebut
bersifa permanen. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen memiliki dampak
yang lebih besar dibandingkan alih fungsi lahan yang bersifat sementara.

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian

Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan


pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut
Pakpahan et al (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor langsung dan tak langsung.
Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor
tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain
kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan
secara ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah. Sedangkan faktor
tak langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor
tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini
mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan
petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang
mempengaruhi pertumbuhan pembangunan pemukiman dan perubahan struktur
ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan
sarana transportasi dan lahan untuk industri.

Witjaksono (1996) turut mendukung pendapat tersebut, dimana beliau


memaparkan lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu
perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan,
pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.
Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Hal ini berkaitan
21

dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat


seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), proses alih fungsi lahan secara langsung
dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem kelembagaan yang
dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan
yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Menurut penelitiannya, alih
fungsi lahan sawah 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan
dengan sistem pertanian yang ada. Sedangkan faktor industrialisasi dan
perkotaan mempengaruhi 32,17 persen dan faktor demografis hanya
mempengaruhi 8,75 persen. Sedangkan Utomo (1992) memaparkan bahwa
secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain
karena pola pemanfaatan lahan yang masih sektoral, delineasi antar kawasan
yang belum jelas, kriteria kawasan yang belum jelas, koordinasi pemanfaatan
ruang yang masih lemah, dan penegakan hukum seperti UUPA (Undang-undang
Pokok Agraria) yang masih lemah. Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara
lain:
1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu
wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut
berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non
pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk
bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan
keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi
lahan.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi
batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara
keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang
cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah
non pertanian.
22

5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari


peraturan yang ada.

2.2.3 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

Penyebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan


terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa. Di satu
sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-
pertanian seperti jasa konstruksi dan industri, akan tetapi juga menimbulkan
dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006)
dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain:
1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang menggangu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non pertanian dimana tenaga kerja lokal
nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi meningkatkan
konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun
menjadi sia-sia karena sawah yang ada dialihfungsikan.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan yang
telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak mungkin
dikembalikan menjadi sawah kembali. Sehingga luas lahan tidur akan
meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan
tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk
selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar
Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.

Dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang sebenarnya


akan langsung dirasakan oleh masyarakat umum adalah terancamnya ketahanan
pangan. Hal ini dikarenakan produk pertanian yang tadinya dapat dihasilkan
sendiri oleh pertanian lokal menjadi berkurang akibat berkurangnya lahan
23

pertanian. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah tentu saja akan


meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pangan. Hal ini bertolak belakang
dengan produksi pangan yang akan menurun jika alih fungsi terhadap lahan
pertanian terus dilakukan. Jika hal ini tidak segera dikendalikan maka pemerintah
harus mengimport pangan dari luar sehingga masyarakat akan semakin
bergantung pada produk import. Konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua
sisi. Pertama, dari fungsinya lahan sawah yang diperuntukan memproduksi padi.
Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan
produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke
bangunan permanen akan berimplikasi pada kerugian akibat sudah
diinfestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem
irigasi. Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Secara faktual alih fungsi lahan ini
menyebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, mengganggu tata air tanah,
serta ekosistem budidaya pertanian semakin sempit.

2.3 Swasembada Beras

Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi


segala kebutuhan. Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini
masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk Indonesia, dan yang menyumbang
lebih dari 50% kebutuhan kalori serta 55% kebutuhan protein. Selain sebagai
bahan pangan pokok, beras juga sudah merupakan komoditi sosial (BPS
Samosir, 2010:1). Swasembada beras adalah kemampuan suatu wilayah dalam
memenuhi kebutuhan beras nya berdasar hasil produksi sendiri.

Kebutuhan beras ini dipengaruhi oleh pola konsumsi makanan


penduduk. Pola konsumsi makanan penduduk merupakan salah satu indikator
sosial ekonomi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan
setempat. Konsumsi beras terdiri atas dua yaitu konsumsi beras rumah tangga
dan konsumsi beras di luar rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan
atas konsumsi makanan maupun bukan makanan tanpa memperhatikan asal
barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga saja,
tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang
24

diberikan kepada pihak lain. Konsumsi di luar rumah tangga adalah konsumsi
makanan yang berbahan baku beras yang diperoleh/dibeil di luar rumah tangga.

2.4 Sistem Informasi Geografis Sebagai Alat Bantu Perencanaan

Dalam masalah perencanaan guna lahan, telah berkembang suatu alat


bantu berbasiskan komputer yang dikenal dengan Sistem Informasi Geografi
(SIG). Aplikasi SIG tidak hanya dalam perencanaan guna lahan saja, tetapi juga
meliputi manajemen sumberdaya alam, penilaian dan perencanaan lingkungan,
penelitian ekologi, kependudukan, pemetaan untuk berbagai kepentingan,
pemilihan rute dan sebagainya. SIG memberikan kemudahan, ketelitian, serta
kecepatan pemrosesan dalam melakukan pengolahan dan analisis-analisis data-
data geografis. SIG akan sangat membantu dalam analisis yang terkait dengan
aspek-aspek spasial, terutama dalam peningkatan mutu hasil pekerjaan.
Digunakannya faktor-faktor spasial dalam pertimbangan melihat pengaruh
kegiatan perekonomian terhadap sistem spasial menjadi salah satu alasan
menggunakan SIG sebagai alat bantu dalam studi.

2.4.1 Pengertian Data dan Informasi

Data dan informasi adalah merupakan dua hal yang berbeda, data pada
dasarnya adalah suatu kenyataan apa adanya sedangkan informasi adalah data
yang mempunyai arti dalam konteks tertentu untuk pemakaiannya. Informasi
sangat penting unuk menganalisis situasi khusus dan menentukan kebutuhan
informasi pemakainya.

Menurut Roos Akbar (1993), peran informasi dalam perencanaan sangat


penting dan terdapat pada setiap fungsi perencanaan. Secara garis besar, fungsi
informasi mempunyai kedudukan sebagai berikut :
1. Membantu proses pengambilan keputusan (data, analisis, rencana).
2. Untuk berbagai fungsi perencanaan akan dibutuhkan berbagai informasi
(formal maupun nonformal).
3. Keputusan yang diambil atas dasar keputusan yang salah akan merupakan
keputusan yang salah, atau dikenal prinsip GIGO (Garbages In Garbage
Out).
25

Sistem informasi geografis dan penataan ruang memiliki keterkaitan


yang erat dalam database yang terstruktur untuk pembuatan model (proyeksi dan
sebagainya), manajemen data (pemantauan dan pembaharuan). Pada negara-
negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka kelengkapan
informasi ruang (peta) merupakan hal yang medesak. Walaupun sangat
membantu dalam proses analisis, Sistem Informasi Geografis tidak bisa
memecahkan semua permasalahan perencanaan tata ruang.

Dalam masalah perencanaan guna lahan, telah berkembang suatu alat


bantu berbasiskan komputer yang dikenal dengan Sistem Informasi Geografi
(SIG). Aplikasi SIG tidak hanya dalam perencanaan guna lahan saja, tetapi juga
meliputi manajemen sumberdaya alam, penilaian dan perencanaan lingkungan,
penelitian ekologi, kependudukan, pemetaan untuk berbagai kepentingan,
pemilihan rute dan sebagainya. SIG memberikan kemudahan, ketelitian, serta
kecepatan pemrosesan dalam melakukan pengolahan dan analisis-analisis data-
data geografis. SIG akan sangat membantu dalam analisis yang terkait dengan
aspek-aspek spasial, terutama dalam peningkatan mutu hasil pekerjaan.
Digunakannya faktor-faktor spasial dalam pertimbangan melihat pengaruh
kegiatan perekonomian terhadap sistem spasial menjadi salah satu alasan
menggunakan SIG sebagai alat bantu dalam studi.

Kemampuan SIG untuk mengintegrasikan informasi dan melakukan


analisis dengan cepat, akan membantu dalam melihat permasalahan yang
dihadapi. Beberapa analisis spasial yang rumit dan komplek akan memakan
waktu yang lama apabila dilakukan dengan metoda konvensional, tetapi dengan
SIG masalah tersebut diatasi dengan cepat dan akurasi yang tinggi. Dengan
kemampuan SIG tersebut diharapkan rekomendasi yang dikeluarkan akan
semakin baik dan mantap.

Ada tiga tugas utama SIG (Scholten dan Stiwell, 1990), yaitu :
1. Penyimpanan, manajemen dan integrasi data spasial dalam jumlah besar.
2. Kemampuan dalam analisis yang berhubungan secara spesifik dengan
komponen data geografis.
3. Mengorganisasikan dan mengatur data dalam jumlah besar, sehingga
informasi tersebut dapat dipergunakan oleh semua pemakainya.
26

SIG dapat dianggap sebagai suatu model yang mempresentasikan


kondisi permukaan bumi sebenarnya dalam bentuk gambar yang disimpan dalam
bentuk digital, dan dapat digunakan untuk melakukan simulasi guna melihat
akibat dari suatu kondisi tertentu. Beda dengan model peta analog yang hanya
merupakan presentasi dari kondisi permukaan bumi dan memuat informasi
tertentu saja, SIG dapat menyimpan, mengolah dan mempresentasikan informasi
lebih lengkap.

Dengan keakuratan dan kemampuan kecepatan analisis dalam


permodelan dan simulasi yang ditawarkan SIG, menuntut konsekuensi basis data
yang lebih akurat. Pembangunan basis data berupa peta analog biasa (peta
Khusus) adalah tidak sekompleks dalam pembangunan basis data digital untuk
SIG. Basis data dalam SIG dituntut untuk memenuhi spesifikasi yang lebih
khusus. Meskipun transfer data antara SIG dan CAD memungkinkan, SIG
menuntut untuk dilakukan modifikasi (editing) terhadap data dari CAD sebelum
dapat digunakan sebagai basis data.

Dalam sebuah perencanaan, SIG dapat digunakan sebagai metode


yang sistematik berdasarkan analisis-analisis keruangan dari kecenderungan
yang ada, serta dapat digunakan untuk membuat skenario-skenario
pengembangan di masa yang akan datang. Dengan SIG dapat dibuat sebuah
model berdasarkan asumsi-asumsi dengan melihat kecenderungan yang ada.
Jelas bahwa SIG sampai saat ini, walaupun tidak terlepas dari keterbatasnnya,
masih merupakan alat bantu yang baik dalam membantu menganalisis dan
memecahkan masalah-masalah perencanaan ruang.

2.4.2 Pengertian Sistem Informasi Geografis

Stan Aronoff mendefinisikan bahwa GIS pada dasarnya dibuat untuk


mengumpulkan, menyimpan dan menganalisa obyek serta fenomena yang posisi
geografisnya merupakan karakteristik pentin untuk dianalisis (Aronof, 1989 : 42).
Menurut Stan Aronof, SIG terdiri atas beberapa komponen yaitu:

1. Pemaskan data, komponen pemasukan data adalah merubah data dari


bentuk asalnya ke dalam bentuk yang dapat dipergunakan oleh SIG.
Biasanya data yang tersedia berupa peta-peta table atribut, foto udara dan
citra satelit.
27

2. Pengaturan data, komponen pengaturan data adalah terdiri dari


penyimpanan data dan pengambilan data dari media penyimpanan. Metoda
Sig dipergunakan untuk memperlihatkan efisiensi yang dihasilkan dalam
pengoperasian data yang ada.
3. Analisis dan pengolahan, komponen ini digunakan untuk menentukan
informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG.
4. Keluaran data menghasilkan laporan data dengan segala kualitas, akurasi
dan kemudahan dalam penggunaannya. Keluaran data bisa dalam bentuk
peta, tabel nilai atau laporan tertulis.

Pendapat lain mengenai komponen SIG menurut Gerrard Linden ialah


sebagai berikut:
1. Subsistem pemasukan data.
2. Subsistem untuk mendapatkan kembali data dan menyimpan data.
3. Subsistem untuk menganalisa dan mengolah data.
4. Subsistem pelaporan dan penampilan data.

Sedabgkan PA Barrough menyatakan bahwa komponen SIG terdiri atas


( Burrogh, 1990 : 7):
1. Perangkat keras komputer.
2. Perangkat lunak komputer.
3. Rangkaian Sistemnya.

Selanjutnya Burrough membagi SIG dalam lima modul dasar (Burrough,


1990 : 8) yaitu:
1. Penyimpanan data dan pemeriksaan data.
2. Penyimpanan data dan pengaturan data dasar.
3. Keluaran data dan presentasi.
4. Pengubahan bentuk data.
5. Interaksi dengan pengguna.

Secara umum komponen SIG dapat dirangkum (martin, 1991) yaitu:


1. Pengumpulan, pemasukan dan koreksi data yang merupakan operasi
pemasukan data kepada sisitem, termasuk digitasi manual, pemasukan
informasi atribut dan pemeriksaan kembali data pada system data base.
Dalam pengumpulan data, dikenal adanya penginderaan jauh yang hasilnya
bisa berupa foto udara dan citra satelit.
28

2. penyimpanan dan pengambilan data, yaitu mekanisme penyimpanan data


ketempatnya berupa disket, hardisk atau tape, dan mekanisme pengambilan
kembali data.
3. pengolahan dan analisis data, berupa teknik untuk mengubah bentuk model
dalam bentuk matematika.

Keluaran dan penampilan data berupa peralihan bentuk data dari


system ke dalam bentuk yang mudah dimengerti oleh pengguna.

2.4.3 Kualitas Sistem Informasi Geografis

Kualitas Data dalam Sistem Informasi Geografis memegang peranan


yang sangat penting. Karena di dalam sistem ini terkandung prinsip GIGO
(Garbages In Garbages Out) yang dapat diartikan secara umum bahwa kualitas
data yang digunakan sangaty menetukan kualitas hasil analisis yang
diperoleh.Stan Arronof menunjukkan komponen yang terkait dalam kualitas data
dalam membangun basis data untuk SIG yaitu (Arronof, 1989 : 135-141):

1. Komponen pada tingkat mikro yang meliputi:


a. Ketelitian data lokasi sampling.
b. Ketelitian data atribut dalam pengkelasan.
c. Konsistensi dalam delinasi, digitasi.
d. Resolusi.

2. Komponen pada tingkat makro yang meliputi:


a. Kelengkapan lingkup, klasifikasi dan verifikasi.
b. Waktu yang menyangkut data tersebut.
c. Sejarah data tersebut.

3. Komponen yang terkait dengan sumber daya organisasi yang meliputi:


a. Aksesibilitas terhadap data
b. Biaya langsung maupun tidak langsung.

Selanjutnya Stan Arronof Menunjukkan kesalahan-kesalahan yang


sering muncul dalam pemakaian SIG adalah (Aronoff,1989 :141):

1. Tahap pengumpulan data yang meliputi:


a. Kesalahan dalam pengumpulan data di lapangan.
b. Kesalahan peta eksisting Yang dipergunakan sebagai sumber data.
29

c. Kesalahan dalam menganalisa data hasil penginderaan jauh.

2. Tahap pemasukan data yang meliputi:


a. Ketidak telitian dalam digitasi karena operator dan keterbatasan alat.
b. Ketidaktelitian karena bentuk geografis.

3. Tahap penyimpanan data yang meliputi:


a. Ketelitian angka yang tidak memadai.
b. Ketelitian ruang yang tidak memadai.

4. Tahap pengolahan data yang meliputi:


a. Kelas-kelas interval yang tidak sesuai.
b. Kesalahan batas.
c. Kesalahan akibat tumpang tindih peta.

5. Tahap keluaran data yang meliputi:


a. Ketidaktelitian skala.
b. Kesalahan akibat ketidaktelitian peralatan keluaran.
c. Kesalahan akibat ketidakstabilan medium.

6. Tahap penggunaan data:


a. Informasi yang dihasilkan tidak dimengerti dengan benar.
b. Informasi digunakan untuk sesuatu yang tidak cocok atau tidak sesuai.

2.4.4 Struktur Data Sistem Informasi Geografis

Ada dua struktur data dalam Sistem Informasi Geografis yaitu struktur
data raster dan vektor. Struktur data raster berarti suatu data yang terdiri dari
kumpulan grid cell, dimana setiap cell memiliki nilai yang berhubungan dengan
atribut. Struktur vektor merupakan kumpulan titik (koordinat), segmen garis yang
mewakili atribut geografi dan merupakan suatu seri dari satu titik ke titik lain.

Keuntungan dan kerugian dari kedua struktur data tersebut menurut PA


Burrough ialah (Burrough, 1990 : 20 – 25 ):

1. Struktur data vector


Keuntungannya ialah:
a. Baik dalam presentasi.
b. Peragaan grafik lebih akurat.
c. Struktur data kompak.
30

d. Topologi dapat dijelaskan dengan jaringan keterkaitan.


Kerugiannya ialah:
a. Struktur data kompleks.
b. Kombinasi dari beberapa peta poligon, atau peta poligon dengan raster
melalui tumpang tindih menimbulkan banyak kesulitan.
c. Tampilan dan peragaan data relatif lebih maha, terutama untuk perangkat
keras dan lunak yang lebih jelas.
d. Tidak memungkinkan melakukan analisis keruangan dan filatering dalam
poligon.

2. Struktur data raster


Keuntungannya ialah:
a. Struktur data sederhana.
b. Tumpang tindih dan kombinasi peta penginderaan jauh lebih mudah.
c. Simulasi lebih mudah karena setiap unit spasial mempunyai uluran dan
bentuk yang sama.
d. Teknologi relatif lebih murah dan cenderung berkembang.
Kerugiannya adalah:
a. Volume data sangat besar.
b. Penggunaan sel-sel yang besar untuk mengurangi volume data kadang-
kadang malah dapat menghilangkan informasi.
c. Kurang baik dalam penyajian.
d. Sulit dalam membentuk keterkaitan jaringan.
e. Transformasi proyeksi sangat memboroskan waktu.

2.4.5 Sistem Informasi Geografis dan Proses Perencanaan

Sistem Informasi Geografis merupakan alat Bantu dalam perencanaan


yang akan mempermudah perencana untuk melakukan berbagai analisis tata
ruang yang akan menggunakan fungsi-fungsi pemodelan peta seperti
penelusuran data, tumpang tindih peta dan sebagainya. SIG sebagai alat bantu
tidaklah berati apa-apa untuk perencanaan apabila perencananya tidak
mempunyai kemampuan yang cukup untuk memanfaatkan alat Bantu tersebut.

SIG merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan, namun


masih sedikit contoh-contoh sukses penggunaan SIG dalam perencanaan (Brail,
31

1989), yang diakibatkan oleh kurangnya kemampuan perangkat lunak SIG dalam
(Yeh, 1991) yang meliputi:
1. Proyeksi yaitu dengan model-model yang diperlukan untuk membuat
keputusan yang rasional mengenai kependudukan, kecenderungan ekonomi,
pola guna lahan, dan permintaan transportasi.
2. Evalusi.
3. Pemakaianny, saat ini masih banyak dirasa kurang popular dan perencana
memang semestinya lebih memperhatikan pemanfaatn informasi
dibandingkan dengan pembuatan/pengolahan data.

Penerapan SIG dapat berbeda-beda dalam setiap tahap perencanaan.


Pada tahap analisis dan proyeksi, SIG dapat membantu dalam perumusan
masalah misalnya dengan model regresi dalam SIG dapat diperkirakan
perkembangan daerah terbangun dari berbagai variabel penentunya. Pada tahap
perumusan recnan, SIG dapat membantu misalnya dalam pembuatan peta
kesesuaian lahan. Selanjutnya dalam analisis terhadap dampak dari masing-
masing alternatif rencana tat ruang sehingga penentuan alternatif yang optimal
akan banyak dibantu dengan SIG. Peranan GIS dalam proses Perencanaan ini
dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1
GIS dan Proses Perencanaan
32

2.4.6 Pembangunan Basis Data

Basis data yang dipakai dalam studi dibangun berdasarkan dari 3


sumber, yaitu:

1. Peta digital rupa bumi skala 1 : 50.000, yang bersumber dari BIG yang
diterbitkan pada tahun 2000. Peta digital tersebut menggunakan sistem
koordinat UTM (Universal Transver Mercator). Peta dasar ini memuat
informasi garis batas administrasi desa, Kecamatan dan Kabupaten, jaringan
jalan, sungai, garis pantai, dan penggunaan lahan. Peta digital rupa bumi ini
kemudian dijadikan sebagai peta dasar dan acuan bagi peta tematik lainnya.

2. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi 2011-2031


bentuk analog, dari Bappeda Kabupaten Bekasi. Peta analog ini mempunyai
skala 1 : 50.000.

3. Peta penggunaan lahan tahun 1988, 1990, 2008 dan 2010 yang bersumber
dari BIG. peta ini berupa peta analog dengan skala 1 : 50.000.

2.4.7 Ketelitian Basis Data

Ketelitian peta – peta yang dihasilkan merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas hasil analisis, sesuai dengan prinsip Garbages In Garbages
Out (GIGO). Peta batas administrasi yang dijadikan sebagai peta sampel dari
peta tematik lainnya untuk mengetahui tingkat ketelitian peta yang dihasilkan.
Pemilihan peta ini didasarkan bahwa peta batas administrasi ini merupakan peta
acuan yang menjadi dasar untuk pembuatan peta tematik lainnya.

Tingkat ketelitian dilihat dengan mengukur tingkat kesalahannya.


Pengukuran tingkat kesalahan dilakukan dengan melihat rata- rata perbandingan
selisih luas tiap kecamatan hasil digitasi dengan luas kecamatan sebenarnya.
Secara matematis pengukuran ketelitian ini ialah:

𝐿𝐿𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 − 𝐿𝐿𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆
𝑇𝑇𝑇𝑇 = 𝑥𝑥 100%
𝐿𝐿𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆

Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka tingkat ketelitian digitasi yang


dihasilkan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
33

Tabel 2.1
Ketelitian Peta Batas Administrasi Kabupaten Bekasi
Luas Data Luas Peta Kesalahan Ketelitian
Kecamatan
(Ha) (Ha) (%) (%)
Setu 6.217 6.466,04 0,04 99,96
Serang Baru 6.380 5.446,30 0,15 99,85
Cikarang Pusat 4.760 4.993,98 0,05 99,95
Cikarang Selatan 5.174 4.013,57 0,22 99,78
Cibarusah 5.040 4.386,75 0,13 99,87
Bojongmangu 6.006 4.639,96 0,23 99,77
Cikarang Timur 5.131 5.536,50 0,08 99,92
Kedungwaringin 3.153 5.426,70 0,72 99,28
Cikarang Utara 4.330 5.412,90 0,25 99,75
Karangbahagia 4.610 5.226,07 0,13 99,87
Cibitung 4.530 3.835,25 0,15 99,85
Cikarang Barat 5.369 2.914,43 0,46 99,54
Tambun Selatan 4.310 15.138,69 2,51 97,49
Tambun Utara 3.443 9.497,02 1,76 98,24
Babelan 6.360 5.966,88 0,06 99,94
Tarumajaya 5.463 5.677,22 0,04 99,96
Tambelang 3.791 4.840,51 0,28 99,72
Sukawangi 6.719 3.865,29 0,42 99,58
Sukatani 3.752 6.852,25 0,83 99,17
Sukakarya 4.240 3.489,06 0,18 99,82
Pebayuran 9.635 4.382,49 0,55 99,45
Cabangbungin 4.970 3.312,16 0,33 99,67
Muaragembong 14.009 5.423,00 0,61 99,39
Kabupaten Bekasi 127.392 126.743,03 0,01 99,99
Sumber: Hasil Perhitungan, 2015

Berdasarkan tabel di atas ialah rata-rata ketelitian hasil digitasi adalah


sebesar 99,99 %, hal ini menunjukan hasil digitasi memenuhi tingkat ketelitian
yang disyaratkan yaitu > 70 %. Dengan demikian basis data yang dibangun valid
dan bisa dijadikan sebagi dasar bagi analisis selanjutnya.
34

2.5 Penelitian Terdahulu

Utama (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa telah terjadi


penurunan luasan lahan sawah sebesar 5.872 hektar di Kabupaten Cirebon
selama rentang waktu antara tahu 1990-2004. Produktifitas padi pun menurun
setiap tahunnya sekitar 2.813,94 ton per tahun. Pada tahun tersebut diasumsikan
harga satu ton Gabah Kering Giling (GKG) adalah Rp 1.850.000, maka rata-rata
nilai produksi yang hilang pertahunnya Rp 5.205.786.533 atau sekitar Rp 5,2
milyar. Berdasarkan penelitian ini juga petani kehilangan peluang memperoleh
pendapatan usaha tani padi sawah sebesar Rp 7.153.000 per tahun.
Kesempatan kerja pun turut menurun, menurut pengamatan dari penelitian ini
kesempatan kerja hilang sebesar 182.032 Hari Orang Kerja (HOK) dan terjadi
kehilangan pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 4.550.800.000. Beliau juga
mengestimasi model regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least
Square (OLS) untuk menganalisis alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten
Cirebon. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan di Kabupaten
Cirebon menurut penelitian ini adalah kepadatan penduduk, produktifitas lahan
sawah, kontribusi PDRB sektor non pertanian, dan pertumbuhan panjang jalan
aspal. Variabel-variabel tersebut secara keseluruhan berpengaruh positif
terhadap laju anih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon.

Sandi (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi


lahan di Kabupaten Karawang dari tahun 1999-2008 menggunakan metode
estimasi OLS. Faktor-faktor yang diestimasi oleh beliau adalah luas lahan
perumahan, laju pertambahan penduduk, dan PDRB sektor industri. Hasil dari
estimasi menunjukan bahwa lusa lahan perumahan dan laju pertambahan
penduduk berkorelasi positif dengan laju konversi lahan di Kabupaten Karawang,
sedangkan PDRB sektor industri tidak berpengaruh secara nyata. Dampak dari
konversi lahan tersebut dinilai dari produksi padi yang hilang, yaitu sebesar
6.028,22 ton atau setara dengan Rp 8.524.375.050. Atas hasil penelitian yang
telah dilakukan, beliau merekomendasikan kebijakan berupa pemberlakuan
kuota lahan sawah yang bisa dikorbankan untuk sektor non pertanian. Sehingga,
pembangunan ekonomi yang berimplikasi terhadap konversi lahan sawah telah
sesuai dengan rencana. Kebijakan lainnya yang disarankan adalah pemberian
insentif atau kompensasi bagi para petani sebagai langkah antisipasif untuk
menekan laju konversi lahan sawah. Adapun instrumen kebijakan yang
35

disarankan adalah penetapan harga komoditas yang lebih melindungi petani


serta pengurangan bahkan pembebasan pajak lahan pertanian.

Sitorus (2011) dalam penelitiannya mengestimasi model regresi linear


berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
di Kabupaten Bogor. Beliau menganalisis model tersebut dengan menggunakan
OLS dengan variabel yang digunakan adalah PDRB sektor bangunan, jumlah
penduduk, harga Gabah Kering Giling (GKG), dan produktifitas padi sawah. Hasil
dari estimasi menunjukan jumlah penduduk berpengaruh secara positif terhadap
alih fungsi lahan dan produksi padi sawah berpengaruh negatif. Sedangkan
PDRB sektor bangunan dan GKG tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi
lahan. Dampak dari alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor ini telah menghilangkan
nilai produksi padi sebesar 27.395,42 ton dimana setara dengan Rp 47.939,33
juta. Pada penelitian tersebut juga didapat nilai elastisitas dari jumlah penduduk
dan produksi padi sawah terhadap konversi lahan sawah, yaitu sebesar 2,52 dan
-2,47. Karena nilai elastisitas jumlah penduduk lebih besar maka beliau
menyarankan pemerintah dapat menanggulangi masalah konversi lahan sawah
dengan cara menggalakan program keluarga berencana dan transmigrasi
penduduk untuk menanggulangi jumlah penduduk yang terus meningkat.

Puspasari (2012) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian yang


terjadi di Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2006-2011. Tren laju alih
fungsi lahan pertanian pada tahun tersebut mengalami fluktiasi dengan rata-rata
sebesar 0,47 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian tersebut dilihat dari tingkat wilayah dan tingkat petani. Pada tingkat
wilayah, beliau menggunakan model regresi linear berganda dan didapatkan
hasil yaitu jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap wilayah
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Pada
tingkat petani, beliau menggunakan model regresi logistik dan didapatkan hasil
yaitu tingkat usia, luas lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-
rata pendapatan petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan
dari Rp 1.421.514,03 menjadi Rp 1.299.796,30. Beliau juga melihat dampak yang
terjadi akibat alih fungsi lahan pertanian terhadap kondisi lingkungan, Namun
dampak yang terjadi tidak terlalu dirasakan oleh responden pada saat penelitian
dilakukan.
BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bekasi

3.1.1 Kebijakan Pertanian Nasional

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan


Pangan Berkelanjutan disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan
dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Dan Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan
membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan
kawasannya secara berkelanjutan. Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan
sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa:

1. Lahan beririgasi;
2. Lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan/atau
3. Lahan tidak beririgasi.

Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi


masyarakat Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar
penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian.
Dengan demikian, lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial,
bahkan memiliki nilai religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang
berkelanjutan, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha
pertanian, terutama pada kondisi yang sebagian besar bidang usahanya
masih bergantung pada pola pertanian berbasis lahan. Lahan merupakan
sumber daya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi
kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat.

Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian


ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang
serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat

36
37

pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya. Alih


fungsi lahan-lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-
upaya terpadu mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan
pertanian baru yang potensial. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan
menyebabkan makin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering
berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu,
pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan
pertanian pangan merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan
kedaulatan pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

Peningkatan jumlah rumah tangga pertanian tumbuh tidak sebanding


dengan luas lahan yang diusahakan. Akibatnya, jumlah petani gurem dan buruh
tani tanpa penguasaan/pemilikan lahan di Jawa terus bertambah. Hal ini
berdampak pada sulitnya upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan
pengentasan kemiskinan di kawasan perdesaan. Di sisi lain, proses urbanisasi
yang tidak terkendali berdampak pada meluasnya aktivitas-aktivitas perkotaan
yang makin mendesak aktivitas-aktivitas pertanian di kawasan perdesaan yang
berbatasan langsung dengan perkotaan. Alih fungsi lahan berkaitan dengan
hilangnya akses penduduk perdesaan pada sumber daya utama yang dapat
menjamin kesejahteraannya dan hilangnya mata pencarian penduduk agraris.
Konsekuensi logisnya adalah terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke
perkotaan dalam jumlah yang besar tanpa diimbangi ketersediaan lapangan
kerja di perkotaan.

Ancaman terhadap ketahanan pangan telah mengakibatkan Indonesia


harus sering mengimpor produk-produk pangan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Dalam keadaan jumlah penduduk yang masih terus meningkat
jumlahnya, ancaman-ancaman terhadap produksi pangan telah memunculkan
kerisauan akan terjadi keadaan rawan pangan pada masa yang akan datang.
Akibatnya dalam waktu yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan
ketersediaan pangan dan lahan pangan.
38

3.1.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2010 tentang Rencana


Tata Ruang Provinsi Jawa Barat 2009-2029, Kabupaten Bekasi termasuk dalam
Wilayah Perencanaan (WP) Bodebekpunjur sebagai pengembangan kawasan
perkotaan di wilayah Jawa Barat dengan kesetaraan fungsi dan peran kawasan
di KSN Jabodetabekpunjur.

3.1.2.1 Rencana Struktur Ruang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), sistem perkotaan nasional
terdiri atas Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan
Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Penetapan PKN dan PKW di Provinsi Jawa Barat
mengacu pada RTRWN, Kabupaten Bekasi termasuk kedalam Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) Bodebek

Berdasarkan kecenderungan perkembangan sampai saat ini, kota-kota


di sekitar DKI Jakarta berkembang akibat pengaruh perkembangan DKI Jakarta
sebagai pusat pemerintahan nasional. Perkembangan tersebut meluas sampai
ke wilayah Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Provinsi Banten), sehingga
RTRWN menetapkan wilayah tersebut menjadi PKN Kawasan Perkotaan
Jabodetabek, dengan tingkat pertumbuhan paling pesat, yang berimplikasi pada
alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman berskala besar, industri
manufaktur, serta pusat perdagangan dan jasa berskala nasional dan
internasional.
39

Gambar 3.1
Peta Rencana Struktur Ruang RTRW Provinsi Jawa Barat
40

3.1.2.2 Rencana Pola Ruang

Kawasan budidaya yang menjadi kewenangan provinsi dan merupakan


kawasan strategis provinsi, dapat berupa kawasan peruntukan hutan produksi,
kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian pangan,
kawasan peruntukan perkebunan, kawasan peruntukan perikanan, kawasan
peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan
pariwisata, dan kawasan peruntukan lainnya.

Kabupaten Bekasi diarahkan menjadi kawasan penyangga dalam sistem


PKN kawasan perkotaan Jabodetabek, serta untuk mengembangkan sektor
industri ramah lingkungan dan hemat penggunaan air tanah, serta kegiatan
pertambangan mineral logam dan non-logam untuk mendukung pembangunan di
Bodebekpunjur.

Kawasan budidaya pertanian pangan merupakan kawasan yang


ditujukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Karena memiliki fungsi
yang demikian krusial maka arahan pengembangan pertanian difokuskan pada:
1. Mempertahankan kawasan pertanian pangan irigasi teknis
2. Mendukung ketahanan pangan provinsi dan nasional
3. Meningkatkan produktivitas melalui pola intensifikasi, diversifikasi, dan pola
tanam yang sesuai dengan kondisi tanah dan perubahan iklim
4. Ditunjang dengan pengembangan infrastruktur sumberdaya air yang mampu
menjamin ketersediaan air
5. Meningkatkan kesejahteraan petani dan pemanfaatan yang lestari.

Pengembangan kawasan pertanian pangan merujuk pada ketentuan


berikut:
1. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian,
terutama berada dalam di lahan beririgasi teknis memiliki kesesuaian lahan
untuk pengembangan kawasan hortikultura dan memperhatikan aspek
penetapan kawasan hortikultura sesuai ketentuan peraturan perundangan.
2. Kawasan pertanian pangan irigasi teknis, tersebar di Kabupaten Bogor,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Subang.
41

Gambar 3.2
Peta Rencana Pola Pemanfaatan Ruang RTRW Provinsi Jawa Barat
42

3.1.2.3 Rencana Kawasan Strategis

Penetapan KSP Jawa Barat, dilaksanakan dengan memperhatikan


Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang terdapat di Provinsi Jawa Barat.
Kawasan Strategis Nasional (KSN) di Provinsi Jawa Barat ditetapkan
berdasarkan berbagai sudut kepentingan dan kriteria tertentu. Sudut kepentingan
yang dimaksud adalah:

1. Pertahanan dan Keamanan.


2. Pertumbuhan Ekonomi.
3. Sosial dan Budaya.
4. Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan/atau Teknologi Tinggi.
5. Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup

Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan


ekonomi yang berkaitan dengan pertanian ditetapkan dengan kriteria:
1. Memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh.
2. Memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi
nasional.
3. Memiliki potensi ekspor.
4. Didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi.
5. Memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi.
6. Berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan nasional dalam
rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Tabel 3.1
Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat
Kepentingan KSP Kriteria Arahan Penanganan
Pertumbuhan KSP Koridor • Kawasan yang • Berpotensi sebagai
Ekonomi Bekasi- diprioritaskan menjadi kawasan ekonomi untuk
Cikampek kawasan yang dapat persaingan di tingkat
mendorong perekonomian regional
Jawa Barat • Perlu sinergitas
• Penurunan kualitas infrastruktur
lingkungan • Perlu sinergitas
pembangunan antar
daerah
• Perlu dikendalikan agar
tidak merambah
kawasan lahan basah
Sumber: RTRW Provinsi Jawa Barat, 2009-2029
43

Gambar 3.3
Peta Rencana Kawasan Strategis Provinsi Jawa Barat
44

3.1.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)


Kabupaten Bekasi Tahun 2012-2017

Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)


Kabupaten Bekasi Tahun 20012-2017, dijabarkan visi, misi, tujuan dan sasaran
yang akan dicapai Kabupaten Bekasi. Beberapa visi yang berkaitan dengan
kegiatan pertanian dijabarkan sebagai berikut:

Bidang Pertanian, pembangunannya akan diarahkan pada


pengembangan jaringan irigasi, khususnya irigasi pertanian yang
kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Selain peningkatan irigasi
pertanian, dilakukan juga optimalisasi hasil perkebunan dan hasil hutan.
Upaya intensifikasi dan diversifaikasi pertanian juga akan dilakukan
dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi
pertanian. Oleh karena itu, dibutuhkan konsistensi anggaran yang
berpihak pada sektor ini agar dapat menggerakan perekonomian
masyarakat Kabupaten Bekasi secara signifikan, mengingat sektor
pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat Kabupaten
Bekasi.

Untuk dapat mengantisipasi kondisi dan permasalahan dalam


pelaksanaan pembangunan Kabupaten Bekasi serta dalam mewujudkan visi
Kabupaten Bekasi, ditetapkan Misi RPJMD Kabupaten Bekasi 2012-2017, yang
terkait dengan pertanian yaitu:

Misi II : Meningkatkan daya saing daerah dalam bidang perindustrian,


perdagangan dan pertanian. Tujuan dan sasaran dari misi tersebut
antara lain:

1. Meningkatnya daya saing daerah dalam bidang perindustrian, dengan


sasaran:
a. Meningkatnya pembinaan industri kecil dan menengah;
b. Meningkatnya Penataan struktur dan peningkatan kemampuan teknologi
industri;
c. Meningkatnya sentra dan wisata industri.

2. Meningkatnya daya saing dalam bidang perdagangan, dengan sasaran:


a. Terwujudnya kondisi perdagangan yang kondusif dan sistem perdangan
yang berkualitas;
45

b. Terwujudnya perlindungan konsumen dan keamanan perdagangan;


c. Meningkatnya Investasi.

3. Meningkatnya daya saing daerah dalam bidang pertanian, dengan sasaran:


a. Meningkatnya produktivitas pertanian;
b. Meningkatnya Sumber daya pertanian;
c. Tersedianyanya sarana dan prasarana pertanian, perikanan dan
peternakan;
d. Peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir;
e. Terwujudnya optimalisasi lahan dan berkembangnya komoditas andalan;
f. Terwujudnya peningkatan produktivitas peternakan;
g. Pengembangan dan pemantapan kelembagaan bidang perikanan;
h. Pengembangan pengelolaan dan pemasaran produk perikanan dan hasil
laut.

Sedangkan arah kebijakan dari misi meningkatkan daya saing daerah


dalam bidang pertanian adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan produksi, produktivitas dan nilai tambah hasil pertanian;
2. Mengoptimalkan pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan;
3. Mengoptimalkan produksi peternakan.

3.1.4 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi

3.1.4.1 Rencana Struktur Ruang

Rencana sistem perkotaan Kabupaten Bekasi, yaitu:


1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Jabodetabekpunjur, meliputi perkotaan
Tarumajaya, Setu, dan Tambun Selatan;
2. Pusat Kegiatan Lokal (PKL), meliputi perkotaan Cikarang Pusat, Cibarusah,
Sukatani dan Cibitung;
3. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) meliputi, perkotaan Cikarang Selatan,
Cikarang Utara, Cikarang Barat, dan Cikarang Timur;
4. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) meliputi perkotaan Serang Baru,
Bojongmangu, Kedungwaringin, Karang Bahagia, Tambelang, Pebayuran,
Babelan, Tambun Utara, Sukakarya, Cabangbungin, Muaragembong dan
Sukawangi;
46

5. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) meliputi Nagasari, Hegarmukti,


Sukabungah, Cibarusah kota, Serang, Sukaragam, Cibening, Tamansari,
Tanjungbaru, Karang Satria, Bahagia, Pusaka Rakyat, Pantai Bahagia,
Sindang Jaya, Sukamantri, Karanghaur, Karang Mukti, Karang Mekar,
Sukatenang, Sukamulya.

Untuk mendistribusikan pembangunan di wilayah Kabupaten Bekasi,


dibutuhkan pusat-pusat yang mendukung perkembangan tiap zona wilayah.
Dengan pertimbangan utama keseimbangan dan daya dukung wilayah.
Pengembangan beberapa kota sebagai pusat pertumbuhan wilayah,
berdasarkan daya tarik masing-masing kota kecamatan, kondisi eksisting
aktivitas interaksi antar kota kecamatan di dalam wilayah Kabupaten Bekasi
menunjukkan adanya beberapa kota kecamatan berfungsi sebagai pusat
pertumbuhan, yaitu: Cikarang Pusat, Tambun Selatan, Cikarang Barat, Cikarang
Selatan, Cikarang Utara, Setu, Cibitung dan Tarumajaya. Kedelapan kecamatan
tersebut mengakomodir aktivitas sosial ekonomi penduduk kota-kota kecamatan
lain yang menjadi hinterland-nya.

Rencana pengembangan sistem perkotaan Pusat Kegiatan Nasional


(PKN) PKWp, PKL, PKLd dan PPK, terdiri atas:
1. Pusat Kegiatan Nasional (PKN) terdiri atas perkotaan Setu dan Kecamatan
Tambun Selatan yang termasuk ke dalam Kawasan Strategis Nasional yaitu
Jabodetabek.
2. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) terdiri dari Cikarang Pusat, Cibarusah, Sukatani
dan Cibitung. Pusat Kegiatan Lokal (PKL) diharapkan dapat berfungsi
sebagai pusat koleksi dan distribusi lokal di setiap kecamatan terdekat.
Untuk itu, setiap Pusat Kegiatan Lokal (PKL) akan dilengkapi dengan
fasilitas minimum yang perlu ada untuk mendorong berfungsinya Pusat
Kegiatan Lokal (PKL). Sedangkan beberapa bagian yang akan diusulkan
dan dipromosikan menjadi PKLp antara lain perkotaan Cikarang Selatan,
Cikarang Utara, Cikarang Barat, dan Cikarang Timur.
3. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) terdiri dari perkotaan Serang Baru,
Bojongmangu, Kedungwaringin, Karang Bahagia, Tambelang, Pebayuran,
Babelan, Tambun Utara, Sukakarya, Cabangbungin, Muaragembong dan
Sukawangi.
4. Pusat Pelayanan Lingkungan, terdiri dari Nagasari, Hegarmukti,
Sukabungah, Cibarusah kota, Serang, Sukaragam, Cibening, Tamansari,
47

Tanjungbaru, Karang Satria, Bahagia, Pusaka Rakyat, Pantai Bahagia,


Sindang Jaya, Sukamantri, Karanghaur, Karang Mukti, Karang Mekar,
Sukatenang, Sukamulya.

Tabel 3.2
Orde Kota Kabupaten Bekasi
Wilayah Ibukota Pusat
No Kecamatan Fungsi WP
Pengembangan (WP) Kecamatan WP
1 Tambun Selatan Tambun ●
pengembangan industri,
2 Cibitung Wanasari
perdagangan dan jasa,
3 Cikarang Timur Jatibaru
I perumahan dan
4 Cikarang Barat Telaga Asih
permukiman, pariwisata dan
5 Cikarang Utara Cikarang Kota pendukung kegiatan industri
6 Cikarang Selatan Sukadamai
7 Cikarang Pusat Sukamahi ● utama pengembangan
8 Cibarusah Cibarusah pusat pemerintahan
9 Bojongmangu Bojongmangu kabupaten, industri,
II
10 Setu Ciledug perumahan dan
permukiman skala besar,
11 Serang Baru Sukasari pertanian dan pariwisata.
12 Sukatani Sukamulya ●
13 Pebayuran Kertasari
14 Sukakarya Sukakarya
pengembangan pertanian
15 Tambelang Sukarapih
III lahan basah, perumahan
16 Sukawangi Sukawangi
dan permukiman
17 Cabangbungin Lenggahjaya
18 Karang Bahagia Karangbahagia
19 Kedungwaringin Kedungwaringin
20 Tarumajaya Pantai Makmur ● pengembangan wilayah,
21 Muaragembong Pantai Mekar simpul transportasi laut dan
22 Babelan Babelan Kota udara, pertambangan,
perumahan dan
IV
permukiman, pertanian
23 Tambun Utara Sriamur lahan basah dan
pelestarian kawasan hutan
lindung
Sumber: RTRW Kabupaten Bekasi, 2011-2031

Dari hasil proyeksi, untuk tahun perencanaan 2010 diproyeksikan jumlah


penduduk mencapai 2.803.320 jiwa, pada tahun 2015 diproyeksikan jumlah
penduduk adalah 3.206.293 jiwa, tahun 2020 diproyeksikan terdapat 3.609.266
jiwa, serta di tahun rencana 2025 diproyeksikan terdapat 4.092.833 jiwa.
48

Tabel 3.3
Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2010-2030
Luas Proyeksi Penduduk (jiwa)
No Kecamatan
(Ha) 2010 2015 2020 2025 2030
1 Setu 6.216 103.784 115.218 126.651 140.371 154.091
2 Serang Baru 6.380 88.144 103.181 118.218 136.262 154.306
3 Cikarang Pusat 4.760 59.523 70.738 81.952 95.410 108.868
4 Cikarang Selatan 5.174 121.224 150.199 179.174 213.944 248.714
5 Cibarusah 5.039 84.301 97.269 110.237 125.799 141.361
6 Bojong Mangu 6.006 32.166 34.729 37.293 40.369 43.445
7 Cikarang Timur 5.131 99.811 110.847 121.883 135.126 148.369
8 Kedungwaringin 3.153 69.012 75.802 82.592 90.740 98.888
9 Cikarang Utara 4.330 214.825 237.399 259.974 287.063 314.152
10 Karangbahagia 4.610 101.623 109.995 118.367 128.413 138.459
11 Cibitung 4.530 209.806 252.779 295.752 347.319 398.886
12 Cikarang Barat 5.369 215.438 245.617 275.796 312.010 348.224
13 Tambun Selatan 4.310 480.220 555.911 631.602 722.431 813.260
14 Tambun Utara 3.442 126.514 148.218 169.922 195.966 222.010
15 Babelan 6.360 208.959 245.055 281.152 324.467 367.782
16 Tarumajaya 5.463 119.804 143.632 167.460 196.054 224.648
17 Tambelang 3.791 44.371 46.257 48.143 50.406 52.669
18 Sukawangi 6.719 46.507 51.962 57.418 63.964 70.510
19 Sukatani 3.752 85.578 94.714 103.850 114.813 125.776
20 Sukakarya 4.240 58.675 64.506 70.336 77.333 84.330
21 Pebayuran 9.634 123.593 136.495 149.396 164.878 180.360
22 Cabangbungin 4.970 61.262 62.976 64.690 66.747 68.804
23 Muaragembong 14.009 48.182 52.796 57.410 62.947 68.484
Kabupaten Bekasi 127.388 2.803.322 3.206.295 3.609.268 4.092.832 4.576.396
Sumber: RTRW Kabupaten Bekasi, 2011-2031
49

Gambar 3.4
Peta Rencana Struktur Ruang Kabupaten Bekasi
50

3.1.4.2 Rencana Pola Ruang

Penetapan kawasan lindung dimaksudkan untuk mengatur hubungan


antara berbagai kegiatan dalam pembangunan dengan fungsi-fungsi ruang yang
ada agar diperoleh pemanfaatan kawasan yang optimal sesuai dengan daya
dukungnya. Luas kawasan lindung di Kabupaten Bekasi adalah 13.160 Ha
(10,33%).

Kawasan budidaya di Kabupaten Bekasi mempunyai luas 114.228,35


Ha. Untuk mempertahankan lahan sawah, terutama yang beririgasi teknis,
program yang akan dilakukan adalah:
1. Pengukuhan kawasan pertanian lahan basah khususnya lahan sawah
beririgasi teknis.
2. Peningkatan pelayanan infrastruktur pertanian untuk mempertahankan
keberadaan fungsi lahan sawah beririgasi teknis.
3. Mengendalikan alih fungsi lahan sawah.
4. Pengembangan Perikanan.
5. Pengembangan Peternakan.
6. Pengembangan Pariwisata.
7. Pengembangan lahan peruntuhan industri.
8. Pengembangan Kawasan Permukiman.
9. Pengembangan Kawasan khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi.
10. Pengembangan Wilayah Prioritas.

Pengembangan kawasan budidaya pertanian tanaman pangan yang


akan dilakukan di Kabupaten Bekasi mengacu pada Land System Description
tentang komoditi tanaman pertanian lahan basah atau sawah. Hal ini harus
dilakukan agar pengembangan komoditas dimaksud mendapatkan produksi dan
produktivitas yang optimal, tanpa harus melakukan upaya-upaya eliminasi faktor-
faktor penghambat, baik faktor jenis tanah, kedalaman efektif tanah maupun
kelerengan lahan. Pengembangan yang dilakukan pada lahan-lahan yang tidak
sesuai akan menimbulkan biaya tinggi dalam proses produksi.

Kawasan pertanian di Kabupaten Bekasi, terdiri dari:


1. Kawasan pertanian lahan basah berlokasi di Kecamatan Cabangbungin,
Sukawangi, Sukakarya, Sukatani, Karang Bahagia, Pebayuran,
Kedungwaringin, Cikarang Timur, setu, Serang Baru, Cibarusah dan
Bojongmangu.
51

2. Kawasan pertanian lahan kering berlokasi di Kecamatan Serang Baru,


Cibarusah dan Bojongmangu.
3. Kawasan pertanian tanaman tahunan yang berfungsi sebagai resapan air
berlokasi di Kecamatan Cikarang Selatan, Setu, Serang Baru, Cibarusah
dan Bojongmangu.

3.1.4.3 Rencana Kawasan Strategis

Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) adalah kawasan yang penataan


ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, dan
pendayagunaan Sumber daya alam dan teknologi tinggi.

1. Kawasan Strategis Ekonomi


Beberapa wilayah yang termasuk pada kawasan strategis ekonomi antara
lain: Tambun Selatan, Cibitung, Cikarang Utara, Cikarang Selatan, Cikarang
Timur, Cikarang Barat dan Cikarang Pusat. Serta beberapa kecamatan yang
berfungsi sebagai ketahanan pangan/ pertanian lahan basah antara lain:
Sukatani, Karang Bahagia, Pebayuran, Sukakarya, Kedungwaringin,
Tambelang, Sukawangi dan Cabangbungin.

2. Kawasan Strategis Lingkungan


Kawasan strategis lingkungan antara lain adalah kawasan perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup, termasuk kawasan yang diakui sebagai
warisan dunia. Adapun wilayah yang termasuk pada kawasan strategis
lingkungan antara lain: Muaragembong sebagai kawasan lindung.

3. Kawasan Strategis SDA dan Pendayagunaan Teknologi Tinggi


Sebaran lokasi tersebut antara lain di kawasan Tambun Selatan, Babelan,
Cabangbungin, Sukawangi, Karang Bahagia, Cikarang Timur, Pebayuran,
Muaragembong, Tarumajaya dan Cibarusah.

4. Kawasan Strategis Sosial Budaya


KSK aspek sosial budaya yang merupakan kawasan lindung dapat berupa
kawasan adat tertentu ataupun kawasan konservasi warisan budaya.
Adapun sebaran kawasan strategis sosial budaya terdapat di Kecamatan
Cikarang Pusat sebagai pusat pemerintahan, Kecamatan Muaragembong
dan Kecamatan Babelan terdapat kawasan pariwisata.
Tabel 3.4
Rencana Pola Ruang Kabupaten Bekasi
Kawasan Lindung Kawasan Budidaya
Hutan Pertanian Pertanian JUMLAH
Hutan Hutan Sempadan Tanaman Permukiman Permukiman Situ/
Produksi Lahan Lahan Industri TPU TPA Pariwisata (Ha)
Lindung Kota Sungai Tahunan Perdesaan Perkotaan Danau
Terbatas Basah Kering
262,11 562,75 3.347,57 176,92 36,54 4.385,89
444,33 0,06 1.627,34 3.505,15 4,71 5.581,59
7,00 197,41 98,64 2.876,11 2.292,56 24,97 16,80 5.513,49
84,52 452,21 2.486,68 1.589,56 665,99 5.278,96
50,32 186,22 13,66 1.695,98 1.886,56 3.832,74
299,55 3.590,32 375,59 14,31 27,12 4.306,89
141,84 1.841,83 3.063,09 98,70 14.726,88 8.902,77 75,82 48,63 28.899,56
273,37 1.658,66 2.058,95 51,09 200,11 1.242,53 40,43 8,77 6,25 5.540,16
136,19 1.895,73 557,95 49,30 1.457,60 59,75 0,02 4.156,54
516,16 3.775,97 1.073,18 48,71 8,08 5.422,10
135,88 906,87 1.211,25 4.594,67 49,76 18,09 6.916,52
246,31 787,32 0,53 2.798,64 1.398,56 612,81 38,58 5.882,75
1.307,91 3.554,39 4.311,09 100,92 4.210,00 11.226,80 2.978,28 148,89 8,79 71,00 27.918,07
220,89 124,09 1.814,29 1.226,04 12,17 1.446,17 0,01 4.843,66
178,06 2.922,33 1.539,70 4.640,09
197,00 1.502,30 1,71 519,52 756,43 2.976,96
617,28 8.412,71 31,83 9.061,82
212,17 4.505,07 1,52 18,68 1,92 4.739,36
34,44 2.574,21 1.239,09 3.847,74
243,09 3.297,85 0,05 2.293,28 1.020,03 3,27 6.857,57
21,28 3.482,51 0,75 3.504,54
1.724,21 124,09 28.511,27 1.227,80 5.606,03 3.222,63 18,69 37,02 40.471,74
473,51 176,94 340,84 4.192,57 1.194,77 6.378,63
6.461,29 195,73 4.705,17 3.003,73 0,15 0,39 683,27 15.049,73
196,35 45,22 3.065,53 9,38 3.316,48
117,35 3.291,25 1.945,59 5.354,19
7.052,15 569,02 5.046,01 45,22 3.003,73 10.549,50 3.140,75 9,38 683,27 30.099,03
7.052,15 141,84 5.442,97 5.170,10 35.173,97 4.409,79 100,92 8.441,53 42.109,21 18.244,43 252,78 8,79 683,27 156,65 127.388,40
Sumber: RTRW Kabupaten Bekasi 2011-2031

52
53

Gambar 3.5
Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bekasi
54

Gambar 3.6
Peta Kawasan Strategis Kabupaten Bekasi
55

3.2 Gambaran Umum Lahan Pertanian Kabupaten Bekasi

Secara geografis, Kabupaten Bekasi terletak di sebelah Utara Propinsi


Jawa Barat dan berada pada dataran rendah, 72% wilayah Kabupaten Bekasi
berada pada ketinggian 0-25 meter di atas permukaan air laut. Kabupaten Bekasi
terletak pada 6010’-6030’ Lintang Selatan 106048’78”-107027’29” Bujur Timur,
luas wilayah Kabupaten Bekasi 127.388 Ha. Tofografinya terbagi atas dua
bagian, yaitu dataran rendah yang meliputi sebagian wilayah utara dan dataran
bergelombang di wilayah bagian selatan. Wilayah Kabupaten Bekasi terbagi ke
dalam 23 kecamatan yang meliputi 7 kelurahan dan 180 desa. Batas-batas
Kabupaten Bekasi:
Sebelah Utara : Laut Jawa;
Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor;
Sebelah Barat : DKI Jakarta dan Kota Bekasi;
Sebelah Timur : Kabupaten Karawang.

Secara geografis wilayah Kabupaten Bekasi merupakan jalur utama


perekonomian memasuki gerbang ibukota Jakarta, dengan letak yang sangat
strategis yaitu berbatasan langsung dengan Ibukota Negara sehingga
berimplikasi pada pesatnya pembangunan serta adanya pertambahan penduduk
yang cepat. Pesatnya pertumbuhan penduduk sebagai akibat dari tingkat
urbanisasi yang tinggi karena Kabupaten Bekasi merupakan salah satu
barometer perekonomian nasional khususnya sektor industri pengolahan
sehingga ada kecenderungan arus migrasi untuk mencari pekerjaan khususnya
di daerah industri di Kabupaten Bekasi.

Menutur Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Jawa


Barat tahun 2009, Kabupaten Bekasi merupakan daerah yang mendapatkan
investasi paling besar yaitu mencapai 43,64% dari keseluruhan investasi yang
berada di Jawa Barat atau senilai Rp. 30,223 trilyun. Selain itu, dari investasi
yang telah dilakukan, penyerapan tenaga kerja yang terjadi mencapai 95.110
orang, dimana penyerapan tenaga kerja ini merupakan penyerapan tenaga kerja
yang berada pada peringkat pertama diantara kabupaten/kota lainnya di Provinsi
Jawa Barat.
56

Gambar 3.7 Peta Administrasi Kabupaten Bekasi


57

3.2.1 Perkembangan Spasial Lahan Pertanian

Pesatnya pertumbuhan penduduk dan ekonomi wilayah Kabupaten


Bekasi menimbulkan implikasi terhadap perkembangan penggunaan lahan.
Perkembangan kawasan industri dan zona industri yang pesat di Kabupaten
Bekasi akan berdampak terhadap pembangunan permukiman baru untuk
menampung kebutuhan rumah bagi para pekerja industri dan keluarganya.
Dikaitkan dengan kondisi wilayah yang semula didominasi oleh kegiatan
pertanian, perkembangan fisik kawasan terbangun untuk mengakomodasikan
pengembangan industri berakibat terhadap proses alih fungsi lahan pertanian
beserta dampak ikutannya.

Karakteristik perkembangan penggunaan lahan pada wilayah


Kabupaten Bekasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan fungsional DKI
Jakarta yang cenderung berkembang sebagai pusat pelayanan jasa, sementara
di wilayah Botabek terjadi perkembangan industri. Secara timbal balik,
kecenderungan perkembangan ini sangat berpengaruh pada pola perkembangan
penggunaan lahan yang bersifat linier dan semakin intensif untuk membentuk
jalur koridor barat–timur. Proses transformasi struktural di Wilayah Botabek
sebagai penyangga DKI Jakarta pada dasarnya terjadi baik secara demografis
(dari dominasi penduduk perdesaan ke perkotaan), ekonomi (dari dominasi
sektor pertanian ke industri dan jasa), maupun secara fisik. Perkembangan fisik
merupakan manifestasi perkembangan demografis dan ekonomi yang pada
gilirannya perlu diakomodasikan dalam ruang.

Penyediaan lahan untuk industri di wilayah Kabupaten Bekasi


menimbulkan implikasi langsung terhadap perkembangan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi pada tahun 2010 didominasi oleh lahan
persawahan yaitu sebesar 63.724,82 ha atau sebesar 50,71 % dari luas wilayah
Kabupaten Bekasi. Sedangkan penggunaan lahan terbangun seluas 36.974,34
ha atau 29,42 % dari luas wilayah Kabupaten Bekasi. Pada kurun waktu 1988 –
2010 terjadi perubahan penggunaan lahan yeng cukup signifikan, terutama
perubahan penggunaan dari pertanian menjadi lahan terbangun baik itu untuk
perumahan ataupun industri. Untuk lebih jelasnya mengenai komposisi, laju
perkembangan serta persebaran penggunaan lahan di Kabupaten Bekasi dapat
dilihat pada tabel dan gambar berikut ini.
58

Tabel 3.5
Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 1988
Luas Penggunaan Lahan Tahun 1988 (ha)
Padang
No Kecamatan Ladang/ Hutan Perkebunan/ Rumput/ Lahan Badan
Sawah
Tegalan Bakau Kebun Alang- Terbangun Air
Alang
1 Setu 2.254,59 612,70 0,00 965,50 20,58 1.817,93 11,77
2 Serang Baru 4.255,10 110,55 0,00 242,53 0,00 1.217,78 28,36
3 Cikarang Pusat 3.950,01 54,01 0,00 294,76 18,75 1.038,01 71,32
4 Cikarang Selatan 2.282,46 757,72 0,00 66,53 915,34 1.362,20 29,20
5 Cibarusah 2.952,77 125,86 0,00 181,26 139,36 567,28 47,04
6 Bojong Mangu 3.236,28 640,42 0,00 770,22 3,57 729,53 66,27
7 Cikarang Timur 3.943,19 153,79 0,00 114,38 40,49 924,04 50,20
8 Kedungwaringin 2.273,23 1.696,41 0,00 21,28 3,33 541,64 29,90
9 Cikarang Utara 1.632,96 107,82 0,00 13,49 472,13 1.594,61 23,36
10 Karangbahagia 3.732,90 60,75 0,00 26,46 0,00 819,86 0,00
11 Cibitung 3.305,81 97,70 0,00 24,97 107,09 830,03 21,16
12 Cikarang Barat 2.367,85 121,30 0,00 93,32 1.231,17 1.675,45 47,41
13 Tambun Selatan 1.765,82 234,15 0,00 85,73 576,30 1.707,74 14,89
14 Tambun Utara 2.658,10 51,77 0,00 10,59 8,44 555,38 27,88
15 Babelan 4.559,95 269,82 9,19 0,85 102,51 900,10 623,38
16 Tarumajaya 4.198,16 2,24 0,00 0,00 167,75 474,95 18,37
17 Tambelang 3.130,84 11,46 0,00 2,03 1,62 343,10 0,00
18 Sukawangi 6.327,47 42,77 0,00 0,00 0,00 424,09 57,92
19 Sukatani 3.318,27 14,08 0,00 32,48 4,56 495,89 0,00
20 Sukakarya 4.387,81 51,15 0,00 3,14 9,33 370,30 19,60
21 Pebayuran 8.217,00 170,52 0,00 19,42 20,12 937,62 132,33
22 Cabangbungin 4.165,30 100,39 0,00 31,55 52,32 510,47 133,94
23 Muaragembong 3.429,27 461,00 114,84 8,24 24,66 451,92 10.086,03
Kabupaten Bekasi 82.345,16 5.948,36 124,03 3.008,72 3.919,41 20.289,90 11.540,34
Sumber: Hasil Olah Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1988
59

Gambar 3.8 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1988


60

Tabel 3.6
Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 1995
Luas Penggunaan Lahan Tahun 1995 (ha)
Padang
No Kecamatan Ladang/ Hutan Perkebunan Rumput/ Lahan Badan
Sawah
Tegalan Bakau /Kebun Alang- Terbangun Air
Alang
1 Setu 2.226,48 568,09 0,00 993,50 63,64 1.793,77 31,86
2 Serang Baru 4.170,77 71,04 0,00 311,94 127,72 1.218,28 67,20
3 Cikarang Pusat 3.916,72 45,93 0,00 291,47 49,84 1.043,37 79,37
4 Cikarang Selatan 2.321,63 735,50 0,00 74,78 874,89 1.354,81 51,29
5 Cibarusah 2.817,66 123,45 0,00 308,35 138,46 567,36 49,40
6 Bojong Mangu 3.236,34 625,69 0,00 764,01 3,57 729,50 81,00
7 Cikarang Timur 3.946,05 152,58 0,00 114,37 44,23 918,07 50,77
8 Kedungwaringin 2.272,78 44,28 0,00 22,05 26,88 519,06 29,28
9 Cikarang Utara 1.662,53 98,57 0,00 13,49 459,90 1.568,16 32,60
10 Karangbahagia 3.732,61 60,74 0,00 26,46 0,00 811,53 0,00
11 Cibitung 3.255,54 97,69 0,00 24,96 107,13 880,29 21,10
12 Cikarang Barat 2.646,02 99,21 0,00 81,15 937,62 1.696,74 75,75
13 Tambun Selatan 1.403,18 218,76 0,00 86,82 466,12 2.155,24 52,39
14 Tambun Utara 2.498,83 41,16 0,00 8,05 8,44 727,81 27,88
15 Babelan 4.542,27 299,55 9,19 0,85 74,40 935,45 113,27
16 Tarumajaya 4.232,61 0,00 0,00 0,00 97,50 516,31 576,57
17 Tambelang 3.125,55 11,45 0,00 0,00 1,62 345,01 5,19
18 Sukawangi 6.333,08 33,52 0,00 0,00 0,01 415,09 70,26
19 Sukatani 3.318,15 14,09 0,00 32,46 4,56 496,03 0,00
20 Sukakarya 4.389,47 51,15 0,00 3,13 9,43 369,52 17,80
21 Pebayuran 8.086,23 130,93 0,00 19,42 134,00 953,14 173,18
22 Cabangbungin 4.149,71 107,98 0,00 32,82 51,92 513,64 138,64
23 Muaragembong 5.766,56 458,33 375,50 8,22 21,30 449,93 8.055,96
Kabupaten Bekasi 84.050,77 4.089,67 384,69 3.218,30 3.703,16 20.978,17 9.800,76
Sumber: Hasil Olah Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1995
61

Gambar 3.9 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 1995


62

Tabel 3.7
Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 2008
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2008 (ha)
Padang
No Kecamatan Ladang/ Hutan Perkebunan Rumput/ Lahan Badan
Sawah
Tegalan Bakau /Kebun Alang- Terbangun Air
Alang
1 Setu 1.626,70 1.152,19 0,00 959,89 393,04 1.506,86 38,34
2 Serang Baru 2.993,13 878,14 0,00 475,95 370,98 1.211,42 37,26
3 Cikarang Pusat 1.824,41 1.835,48 0,00 301,86 424,38 960,48 80,10
4 Cikarang Selatan 1.229,81 1.583,53 0,00 41,94 277,93 2.233,75 45,94
5 Cibarusah 2.736,27 128,00 0,00 181,30 138,18 777,85 51,97
6 Bojong Mangu 3.163,05 715,38 0,00 760,32 3,96 720,86 82,60
7 Cikarang Timur 3.546,49 67,67 0,00 112,14 87,92 1.334,05 77,80
8 Kedungwaringin 2.283,99 7,98 0,00 21,28 3,33 567,19 30,66
9 Cikarang Utara 1.446,75 131,70 0,00 13,49 478,29 1.732,39 32,63
10 Karangbahagia 3.703,67 30,55 0,00 26,46 30,16 849,12 0,00
11 Cibitung 2.466,06 501,29 0,00 23,09 108,25 1.226,94 61,13
12 Cikarang Barat 457,93 2.300,32 0,00 59,52 379,54 2.220,11 119,09
13 Tambun Selatan 1.317,84 412,18 0,00 73,40 285,29 2.209,32 84,26
14 Tambun Utara 2.290,56 47,07 0,00 7,71 0,00 933,53 33,27
15 Babelan 3.924,19 192,12 9,19 0,85 153,69 1.563,74 622,19
16 Tarumajaya 3.856,64 0,00 0,00 0,00 305,01 754,99 506,01
17 Tambelang 3.126,29 11,46 0,00 0,00 1,62 347,66 2,03
18 Sukawangi 6.299,45 27,86 0,00 0,00 0,00 452,03 72,91
19 Sukatani 3.314,38 9,88 0,00 32,48 8,80 499,75 0,00
20 Sukakarya 4.382,99 51,15 0,00 3,14 9,33 374,30 19,60
21 Pebayuran 8.310,24 10,59 0,00 19,42 21,63 952,50 182,61
22 Cabangbungin 4.187,73 46,93 0,00 31,55 52,32 529,44 146,00
23 Muaragembong 3.419,84 518,22 193,19 8,24 91,41 401,74 10.220,62
Kabupaten Bekasi 71.908,40 10.659,68 202,38 3.154,02 3.625,03 24.360,00 12.547,01
Sumber: Hasil Olah Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2008
63

Gambar 3.10 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2008


64

Tabel 3.8
Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bekasi Tahun 2010
Luas Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha)
Padang
No Kecamatan Ladang/ Hutan Perkebunan Rumput/ Lahan Badan
Sawah
Tegalan Bakau /Kebun Alang- Terbangun Air
Alang
1 Setu 1.766,84 521,26 0,00 0,00 0,00 3.261,90 31,87
2 Serang Baru 1.396,57 0,11 176,78 2.102,40 0,00 2.172,98 117,46
3 Cikarang Pusat 1.550,84 0,00 521,74 1.105,29 0,00 2.169,45 76,22
4 Cikarang Selatan 594,50 0,00 256,74 1.116,73 0,00 3.384,77 60,17
5 Cibarusah 2.221,89 0,00 0,00 358,65 0,00 1.200,58 44,03
6 Bojong Mangu 3.372,39 263,66 0,00 307,95 0,00 1.287,18 73,95
7 Cikarang Timur 2.991,21 609,78 0,00 121,01 0,00 1.454,50 45,59
8 Kedungwaringin 2.019,80 132,71 0,00 0,00 0,00 732,63 27,74
9 Cikarang Utara 590,99 293,02 0,00 121,07 0,00 2.800,38 29,77
10 Karangbahagia 2.516,27 1.029,33 0,00 0,00 0,00 1.094,36 0,00
11 Cibitung 2.839,68 195,17 0,00 0,00 0,00 1.330,79 21,10
12 Cikarang Barat 1.274,42 492,22 0,00 0,00 0,00 3.708,31 76,77
13 Tambun Selatan 985,75 320,91 0,00 155,65 0,00 2.857,86 40,34
14 Tambun Utara 2.042,31 0,00 0,00 0,00 0,00 1.240,68 27,24
15 Babelan 3.329,79 1.001,00 0,00 0,00 0,00 1.967,46 114,33
16 Tarumajaya 4.049,49 94,73 0,00 0,00 0,00 1.080,43 7,51
17 Tambelang 2.039,30 967,18 0,00 0,00 0,00 477,38 5,20
18 Sukawangi 5.451,73 645,66 0,00 0,00 0,00 694,43 60,43
19 Sukatani 2.315,94 858,31 0,00 0,00 0,00 691,03 0,00
20 Sukakarya 4.285,31 0,00 0,00 0,00 0,00 537,40 17,80
21 Pebayuran 8.038,12 0,00 0,00 0,00 0,00 1.288,37 160,68
22 Cabangbungin 2.085,39 2.012,91 0,00 0,00 0,00 742,04 121,12
23 Muaragembong 5.966,29 1.000,08 0,00 0,00 0,00 799,43 7.024,92
Kabupaten Bekasi 63.724,82 10.438,06 955,26 5.388,74 0,00 36.974,34 8.184,25
Sumber: Hasil Olah Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2010
65

Gambar 3.11 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bekasi Tahun 2010


66

Dari tabel dan gambar diatas dapat dilihat pada kurun waktu 1988 –
2010 terjadi perubahan penggunaan lahan yeng cukup signifikan, terutama
perubahan penggunaan dari pertanian menjadi lahan terbangun baik itu untuk
perumahan ataupun industri. Pada kurun waktu tersebut lahan persawahan
berkurang dari 82.345,16 pada tahun 1988 menjadi 62.724,82 ha pada tahun
2010 atau berkurang sebesar 18.620,33 ha, sedangkan lahan terbangun
mengalami penambahan dari 20.978,17 ha pada tahun 1988 menjadi 36.974,34
ha pada tahun 2010 atau bertambah sebesar 16.684,44 ha.

3.2.2 Perkembangan Sosial Ekonomi

Terjadinya perkembangan wilayah Kabupaten Bekasi berpengaruh


terhadap keberadaan lahan pertanian produktif, dimana fenomena ini telah
menimbulkan konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non
pertanian beserta dampak sosial ekonominya.

3.2.2.1 Kependudukan

Jumlah dan pertumbuhan penduduk di suatu wilayah akan


mempengaruhi perkembangan tata guna lahan di wilayah tersebut. Selain itu,
perkembangan penduduk ini juga akan mempengaruhi kebutuhan dan tingkat
pelayanan sarana dan prasarana wilayah tersebut. Dari data kependudukan
tahun 2004 – 2013 terlihat jelas pesatnya pertumbuhan penduduk Kabupaten
Bekasi, terutama dalam kurun waktu 2009 -2010, dimana jumlah penduduk
bertambah dari 2.630.401 jiwa pada tahun 2009 menjadi 2.630.401 jiwa pada
tahun 2010 atau bertambah sebanyak . Sedangkan menurut data yang ada rata–
rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bekasi sebesar 2.037 jiwa/km² pada
tahun 2013. Dilihat dari pesebarannya, kecamatan yang meiliki kepadatan
penduduk tertinggi adalah wilayah Kecamatan Tambun Selatan yaitu sebesar
10.897 jiwa/km² pada tahun 2013, sedangkan kecataman yang meiliki kepadatan
penduduk paling rendah ialah Kecamatan Muaragembong yaitu sebesar 257
jiwa/km². Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah dan kepadatan penduduk
Kabupaten Bekasi 10 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3.9
Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2004-2013
Jumlah Penduduk (jiwa)
No Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Setu 73.888 76.830 77.776 80.476 83.016 86.099 111.670 117.478 118.615 128.816
2 Serang Baru 59.943 62.329 63.168 65.353 67.443 69.934 103.587 112.976 114.263 127.747
3 Cikarang Pusat 39.712 41.291 41.804 43.250 44.644 46.272 56.756 60.605 61.162 67.630
4 Cikarang Selatan 78.155 81.270 82.385 85.260 87.969 91.208 143.030 155.845 157.956 185.228
5 Cibarusah 57.921 60.232 61.042 63.188 65.289 67.589 74.587 77.722 78.501 83.968
6 Bojongmangu 23.446 24.378 24.691 25.505 26.286 27.205 25.033 25.131 25.077 25.534
7 Cikarang Timur 70.955 73.781 74.759 77.348 79.823 82.769 91.326 94.423 95.418 100.598
8 Kedungwaringin 49.575 51.551 52.224 54.025 55.737 57.792 55.654 56.415 56.833 58.400
9 Cikarang Utara 154.216 160.363 162.546 168.181 173.601 180.012 230.563 240.997 244.312 262.608
10 Karangbahagia 73.964 76.908 77.951 80.654 83.232 86.318 90.654 92.512 93.485 96.952
11 Cibitung 138.398 143.914 145.850 150.881 155.679 161.453 195.566 207.945 210.997 231.335
12 Cikarang Barat 149.594 155.566 157.631 163.079 168.261 174.483 211.578 222.181 225.160 243.264
13 Tambun Selatan 328.110 341.175 345.780 357.781 369.233 382.896 417.008 434.567 441.315 469.668
14 Tambun Utara 85.609 89.017 90.221 93.347 96.326 99.924 137.099 148.101 150.004 166.630
15 Babelan 141.500 147.139 149.132 154.301 159.247 165.147 209.564 222.099 225.234 248.270
16 Tarumajaya 79.204 82.363 83.492 86.381 89.124 92.419 109.296 115.257 116.606 128.866
17 Tambelang 33.374 34.703 35.119 36.294 37.410 38.785 35.376 35.386 35.341 35.523
18 Sukawangi 39.879 41.466 41.972 43.418 44.780 46.437 43.119 43.544 43.735 44.770
19 Sukatani 61.057 63.487 64.339 66.597 68.743 71.294 70.299 71.566 72.255 74.655
20 Sukakarya 42.085 43.760 44.328 45.859 47.343 49.089 42.468 42.569 42.740 43.106
21 Pebayuran 88.349 91.867 93.049 96.316 99.444 103.130 92.821 93.370 93.944 95.167
22 Cabangbungin 46.552 48.404 48.998 50.686 52.259 54.186 47.844 47.672 47.859 47.336
23 Muara Gembong 34.723 36.108 36.538 37.780 38.967 40.401 35.503 35.600 35.736 36.041
Kabupaten Bekasi 1.950.209 2.027.902 2.054.795 2.125.960 2.193.856 2.274.842 2.630.401 2.753.961 2.786.548 3.002.112
Sumber: Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005-2014

67
Tabel 3.10
Kepadatan Penduduk Kabupaten Bekasi Tahun 2004-2013
Kepadatan Penduduk (jiwa/km²)
No Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Setu 1.189 1.236 1.251 1.295 1.336 1.385 1.796 1.890 1.908 2.072
2 Serang Baru 940 977 990 1.024 1.057 1.096 1.624 1.771 1.791 2.002
3 Cikarang Pusat 834 867 878 909 938 972 1.192 1.273 1.285 1.421
4 Cikarang Selatan 1.511 1.571 1.592 1.648 1.700 1.763 2.764 3.012 3.053 3.580
5 Cibarusah 1.149 1.195 1.211 1.254 1.294 1.341 1.480 1.542 1.558 1.666
6 Bojongmangu 390 406 411 425 438 453 417 418 418 425
7 Cikarang Timur 1.383 1.438 1.457 1.507 1.556 1.613 1.780 1.840 1.860 1.961
8 Kedungwaringin 1.572 1.635 1.656 1.713 1.768 1.833 1.765 1.789 1.803 1.852
9 Cikarang Utara 3.562 3.704 3.754 3.884 4.009 4.157 5.325 5.566 5.642 6.065
10 Karangbahagia 1.604 1.668 1.691 1.750 1.805 1.872 1.966 2.007 2.028 2.103
11 Cibitung 3.055 3.177 3.220 3.331 3.437 3.564 4.317 4.590 4.658 5.107
12 Cikarang Barat 2.786 2.897 2.936 3.037 3.134 3.250 3.941 4.138 4.194 4.531
13 Tambun Selatan 7.613 7.916 8.023 8.301 8.567 8.884 9.675 10.083 10.239 10.897
14 Tambun Utara 2.487 2.586 2.621 2.712 2.799 2.903 3.983 4.303 4.358 4.841
15 Babelan 2.225 2.314 2.345 2.426 2.504 2.597 3.295 3.492 3.541 3.904
16 Tarumajaya 1.450 1.508 1.528 1.581 1.631 1.692 2.001 2.110 2.134 2.359
17 Tambelang 880 915 926 957 987 1.023 933 933 935 937
18 Sukawangi 594 617 625 646 666 691 642 648 651 666
19 Sukatani 1.627 1.692 1.715 1.775 1.932 1.900 1.874 1.907 1.926 1.990
20 Sukakarya 993 1.032 1.045 1.082 1.117 1.158 1.002 1.004 1.008 1.017
21 Pebayuran 917 954 966 1.000 1.032 1.070 963 969 975 988
22 Cabangbungin 937 974 986 1.020 1.052 1.090 963 959 963 952
23 Muara Gembong 248 258 261 270 278 288 253 254 255 257
Kabupaten Bekasi 1.531 1.592 1.613 1.669 1.722 1.786 2.065 2.162 2.187 2.357
Sumber: Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005-2014

68
69

Tenaga kerja adalah penduduk yang berumur pada batas usia kerja,
dimana batas usia kerja setiap negara berbeda-beda. Usia kerja adalah
penduduk berumur 15 tahun keatas yang telah dianggap mampu melaksanakan
pekerjaan, mencari kerja, bersekolah, mengurus rumah tangga dan kelompok
lainnya seperti pensiunan (Disnaker, 2008). Industri pengolahan menjadi sektor
yang sangat potensial dalam meningkatkan perekonomian, karena selain sumber
pendapatan pajak yang sangat besar bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi dan
pemerintah pusat, juga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar,
sehingga memberi peluang bagi kesejahteraan masyarakat dan kualitas
daerahnya. Di Kabupaten Bekasi terdapat 844 industri besar dan sedang dan
sudah menyerap 286.855 tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja ini meningkat
2% dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2013, kelompok usia kerja di Kabupaten Bekasi meliputi


68.95% dari jumlah seluruh penduduk Kabupaten Bekasi. Dari keseluruhan
penduduk usia kerja tingkat partisipasi angkatan kerja tahun 2013 mencapai
63,14%. tingkat partisipasi tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai 64,12%. Berdasarkan perbandingan menurut lima
sektor utama, pilihan bekerja di sektor manufaktur atau industri dan perdagangan
mendominasi pasar kerja di Kabupaten Bekasi. Pada tahun 2013 terdapat
517.881 orang bekerja pada sektor manufaktur atau industri, sedangkan tenaga
kerja yang terserap pada sektor perdagangan sebanyak 282.222 orang. Namun
demikian lapangan kerja yang tersedia belum cukup dapat menyerap seluruh
angkatan kerja di Kabupaten Bekasi. Untuk lebih jelasnya penduduk usia kerja di
Kabupaten Bekasi dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.11
Jumlah Penduduk Bekerja di Kabupaten Bekasi Tahun 2009-2013

Jumlah Pekerja (jiwa)


Sektor
2009 2010 2011 2012 2013
Pertanian 130.995 120.896 126.634 128.253 102.692
Manufaktur 251.961 367.403 457.854 483.565 517.881
Perdagangan 274.664 321.393 236.706 275.130 282.222
Jasa 109.145 165.138 168.628 156.454 186.557
Lainnya 144.950 168.987 158.283 154.764 179.296
Bekerja 911.715 1.143.817 1.148.105 1.198.166 1.268.648
Sumber: Statistik Kabupaten Bekasi Tahun 2012-2014
70

3.2.2.2 Perekonomian

Kabupaten Bekasi merupakan daerah yang berkembang sangat pesat,


baik dilihat dari pembangunan perekonomiannya, daerah ini menjadi daerah
yang sangat strategis karena letaknya yang menjadi penyangga daerah ibu kota
Jakarta. Posisi demikian menjadi menarik bagi para pelaku ekonomi untuk
menanamkan modalnya di wilayah ini. Terutama berkaitan dengan
pengembangan kawasan industri dan kebijakan pemerintah DKI untuk
menggeser kawasan industrinya keluar dari DKI Jakarta. Perekonomian
Kabupaten Bekasi pada awasalnya ditopang oleh sektor pertanian, kini telah
mengalami pergeseran signifikan, digantikan oleh sektor industri sebagai
penyangga utama. Kegiatan para pelaku ekonomi telah menciptakan berbagai
macam kegiatan ekonomi, sehingga menyebabkan perubahan struktur
perekonomian dari daerah agraris ke sektor-sektor non agraris. Keadaan ini
semakin kelihatan jelas dengan banyaknya kegiatan para pengembang untuk
membangun daerah kawasan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menciptakan
pasar yang pada gilirannya menyebabkan pengembangan perekonomian di
kawasan ini. Perkembangan sektor industri pengolahan di Kabupaten Bekasi
mendorong berkembangnya aktifitas ekonomi dari sektor-sektor lainnya, seperti
sektor angkutan, perdagangan dan jasa.

Berkembangnya perekonomian ke arah sektor sekunder dan tersier,


menyebabkan peranan sektor pertanian menjadi semakin menurun. Kondisi ini
diikuti dengan banyaknya terjadi konversi lahan dari pertanian menjadi kawasan
industri. Meskipun demikian, sektor pertanian tetap menjadi salah satu motor
penggerak roda perekonomian Kabupaten Bekasi diantara sektor pendukung
lainnya seperti perdagangan, perbankan dan lain-lain. Dari catatan BAPPENAS,
setiap tahunnya wilayah Kabupaten Bekasi menyumbang sekitar Rp. 40 tryliun
uang pajaknya ke negara dari sektor industri yang dimulai sejak tahun 1980an,
itulah salah satu faktor mengapa Kabupaten Bekasi menjadi daerah yang sangat
berpotensi di bidang perekonomian.

Kontribusi sektor industri sebagai sektor utama Kabupaten Bekasi


mencapai 80% terhadap PDRB totalnya, dan memberikan kontribusi besar
terhadap PDB Indonesia mencapai 27,9%. Dalam konteks Jawa Barat, kontribusi
PDRB Kabupaten Bekasi berada pada peringkat pertama, yaitu mencapai
26,42% dari total PDRB Propinsi Jawa Barat (BPS Jawa Barat, 2008). Selain itu,
71

adanya kegiatan industri menjadikan Kabupaten Bekasi sebagai wilayah yang


memiliki tingkat investasi dan penyerapan tenaga kerja tertinggi di Jawa Barat.
Perkembangan perekonomian diindikasikan melalui Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi, tercatat meningkat sekitar 12.74% dari tahun
sebelumnya sebesar Rp. 119.339.821,74 juta di tahun 2012 menjadi Rp.
134.548.286,01 juta di tahun 2013. Sedangkan atas dasar harga konstan,
mengalami peningkatan dari Rp. 62.021.948,77 juta pada tahun 2012 menjadi
Rp. 65.810.681,31 juta di tahun 2013, atau mengalami peningkatan laju
pertumbuhan sebesar 6,11%. Hal ini menunjukkan pertumbuhan yang cukup
baik.

Sektor industri merupakan sektor andalan PDRB Kabupaten Bekasi.


Besarnya kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Bekasi mencapai
kurang lebih 76,31% dengan laju pertumbuhan ekonominya sebesar 12,27% di
tahun 2013 yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu pada tahun
2012 sebesar 10,75%. Selain sektor industri, kontribusi sektor ekonomi lainnya di
Kabupaten Bekasi berada pada kisaran 1-2%. Jika dibandingkan dengan
kontribusi sektor industri, angka tersebut ketinggalan jauh tetapi di Kabupaten
Bekasi juga ada satu sektor yang cukup tinggi kontribusinya, yaitu sektor
perdagangan, hotel dan restoran, dimana kontribusinya sekitar 10,46%.

Penopang utama kinerja ekonomi yang diukur dengan nilai PDRB dan
laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bekasi masih terdapat pada sektor
industri. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami
peningkatan sejalan dengan pertumbuhan sektor industri. Jika pada tahun 2012
sektor industri hanya tumbuh sebesar 10,75%, tahun 2013 tumbuh sebesar
12,27%. Walaupun pertumbuhan sektor industri hanya 1,52% tetap
mempengaruhi kinerja ekonomi Kabupaten Bekasi karena sektor industri sangat
dominan dan outputnya cukup besar, sampak ini berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja. Sektor unggulan kedua yakni sektor perdagangan,
hotel dan restoran yang pada tahun 2013 tumbuh sebesar 16,09%. Untuk lebih
jelasnya nilai PDRB Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas
Dasar Harga Konstan 200 menurut Lapangan Usaha dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 3.12
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004-2013 (juta
rupiah)
No Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Pertanian 1.075.082 1.195.392 1.307.709 1.499.043 1.727.887 1.963.978 2.233.340 2.523.638 2.690.275 3.036.423
2 Pertambangan dan Penggalian 637.621 936.096 1.184.350 1.337.136 1.521.509 1.588.019 1.777.325 1.922.219 1.756.857 1.558.578
3 Industri Pengolahan 38.762.016 45.831.406 53.380.233 58.962.715 65.216.650 69.659.344 75.037.440 82.574.745 91.449.278 102.673.539
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.311.133 1.461.785 1.534.164 1.699.075 1.894.723 2.091.706 2.302.109 2.533.409 2.774.183 3.246.078
5 Bangunan 504.931 598.771 679.305 803.754 1.188.305 1.422.164 1.645.159 1.915.102 2.311.303 2.809.998
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 3.991.279 4.758.799 5.526.634 6.296.696 7.315.043 8.405.349 9.424.762 10.692.526 12.118.726 14.069.135
7 Pengangkutan dan Komunikasi 648.574 781.906 903.690 1.020.633 1.370.231 1.509.043 1.666.073 1.866.136 2.054.348 2.399.237
Keuangan, Persewaan dan Jasa
8 509.821 585.809 655.265 751.220 1.012.605 1.163.521 1.306.609 1.468.227 1.591.333 1.820.346
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 947.898 1.025.953 1.348.180 1.497.490 1.730.601 1.932.670 2.133.906 2.357.285 2.593.518 2.934.952
PDRB 48.388.355 57.175.917 66.519.529 73.867.761 82.977.554 89.735.793 97.526.722 107.853.286 119.339.822 134.548.286
Sumber: Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005-2014

72
Tabel 3.13
Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2004-2013 (%)
No Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Pertanian 2,22 2,09 1,97 2,03 2,08 2,19 2,29 2,34 2,25 2,26
2 Pertambangan dan Penggalian 1,32 1,64 1,78 1,81 1,83 1,77 1,82 1,78 1,47 1,16
3 Industri Pengolahan 80,11 80,16 80,25 79,82 78,60 77,63 76,94 76,56 76,63 76,31
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 2,71 2,56 2,31 2,30 2,28 2,33 2,36 2,35 2,32 2,41
5 Bangunan 1,04 1,05 1,02 1,09 1,43 1,58 1,69 1,78 1,94 2,09
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 8,25 8,32 8,31 8,52 8,82 9,37 9,66 9,91 10,15 10,46
7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,34 1,37 1,36 1,38 1,65 1,68 1,71 1,73 1,72 1,78
Keuangan, Persewaan dan Jasa
8 1,05 1,02 0,99 1,02 1,22 1,30 1,34 1,36 1,33 1,35
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 1,96 1,79 2,03 2,03 2,09 2,15 2,19 2,19 2,17 2,18
PDRB 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005-2014

73
Tabel 3.14
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun
2004-2013 (%)

No Lapangan Usaha 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Pertanian 10,60 11,19 9,40 14,63 15,27 13,66 13,72 13,00 6,60 12,87
2 Pertambangan dan Penggalian 45,43 46,81 26,52 12,90 13,79 4,37 11,92 8,15 -8,60 -11,29
3 Industri Pengolahan 11,33 18,24 16,47 10,46 10,61 6,81 7,72 10,04 10,75 12,27
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26,54 11,49 4,95 10,75 11,52 10,40 10,06 10,05 9,50 17,01
5 Bangunan 16,68 18,58 13,45 18,32 47,84 19,68 15,68 16,41 20,69 21,58
6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 12,60 19,23 16,14 13,93 16,17 14,90 12,13 13,45 13,34 16,09
7 Pengangkutan dan Komunikasi 13,95 20,56 15,58 12,94 34,25 10,13 10,41 12,01 10,09 16,79
Keuangan, Persewaan dan Jasa
8 7,98 14,90 11,86 14,64 34,79 14,90 12,30 12,37 8,38 14,39
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 23,06 8,23 31,41 11,07 15,57 11,68 10,41 10,47 10,02 13,16
PDRB 18,16 16,34 11,05 12,33 8,14 8,68 10,59 10,65 12,74
Sumber: Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005-2014

74
75

Tabel 3.15
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi Atas Dasar Harga
Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2013 (juta rupiah)
LAPANGAN USAHA 2009 2010 2011 2012 2013
1. PERTANIAN 990.908,29 1.041.797,11 1.098.034,60 1.147.820,69 1.195.672,68
a. Tanaman Bahan Makanan 636.201,14 664.576,89 704.097,88 736.797,20 769.453,02
b. Tanaman Perkebunan 3.955,80 3.980,89 4.054,93 4.075,90 4.116,81
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 292.291,59 310.121,38 324.030,33 337.415,90 348.422,06
d. Kehutanan 369,21 365,89 364,97 364,40 362,81
e. Perikanan 58.090,53 62.752,06 65.486,49 69.167,29 73.317,97
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 678.180,90 744.832,90 747.781,53 629.720,56 516.060,42
a. Minyak dan Gas Bumi 672.688,28 739.559,99 742.656,26 624.736,46 511.214,74
b. Pertambangan tanpa Migas - - - - -
c. Penggalian 5.492,62 5.272,91 5.125,27 4.984,10 4.845,68
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 40.653.221,28 42.896.819,96 45.402.607,90 48.238.395,60 51.078.304,41
a. Industri Migas - - - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - -
2. Gas Alam Cair - - - - -
b. Industri Tanpa Migas 40.653.221,28 42.896.819,96 45.402.607,90 48.238.395,60 51.078.304,41
1. Makanan, Minuman dan Tembakau 1.943.770,55 2.035.127,77 2.174.127,00 2.377.967,70 2.595.177,54
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 4.021.883,44 4.070.146,04 4.157.247,17 4.072.610,10 3.847.977,79
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya 102.133,23 96.107,37 100.423,90 107.093,80 117.703,13
4. Kertas dan Barang Cetakan 351.708,51 371.404,19 396.696,81 439.584,30 491.870,74
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 9.162.394,95 9.459.722,44 9.970.358,26 10.681.110,30 11.243.180,39
6. Semen & Brg. Galian bukan logam 159.095,54 158.459,15 160.107,03 184.495,90 197.500,54
7. Logam Dasar Besi & Baja 506.190,47 483.424,40 485.467,23 514.573,20 553.028,92
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 23.683.929,88 25.464.208,17 27.160.124,44 29.027.814,00 31.169.462,63
9. Barang lainnya 722.114,69 758.220,43 798.056,06 833.146,30 862.402,73
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 940.190,20 1.014.336,16 1.080.212,47 1.147.807,00 1.229.585,29
a. Listrik 802.695,73 867.794,35 922.595,57 978.161,20 1.045.913,73
b. Gas 121.024,43 128.818,41 138.570,33 148.686,10 160.402,10
c. Air Bersih 16.470,03 17.723,40 19.046,57 20.959,70 23.269,46
5. BANGUNAN 711.629,09 802.717,61 883.517,63 997.191,07 1.125.489,75
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 5.244.796,77 5.722.772,86 6.202.826,34 6.676.402,00 7.216.387,14
a. Perdagangan Besar & Eceran 4.852.537,64 5.296.544,84 5.744.632,53 6.193.198,60 6.696.966,94
b. Hotel 20.776,36 22.463,40 24.409,29 26.047,40 28.457,48
c. Restoran 371.482,77 403.764,62 433.784,52 457.156,00 490.962,73
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 803.964,40 867.276,13 948.099,02 1.017.268,10 1.117.372,51
a. Pengangkutan 484.139,77 517.976,47 562.577,74 603.813,20 659.900,47
1. Angkutan Rel 1.048,78 1.131,43 1.198,64 1.296,20 1.410,84
2. Angkutan Jalan Raya 409.069,55 436.599,94 474.362,32 509.618,40 557.085,14
3. Angkutan Laut - - - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 298,04 292,08 291,74 301,40 288,22
5. Angkutan Udara - - - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 73.723,39 79.953,02 86.725,04 92.597,20 101.116,27
76

LAPANGAN USAHA 2009 2010 2011 2012 2013


b. Komunikasi 319.824,62 349.299,66 385.521,28 413.454,90 457.472,03
1. Pos dan Telekomunikasi 319.824,62 349.299,66 385.521,28 413.454,90 457.472,03
2. Jasa Penunjang Komunikasi - - - - -
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA
579.516,75 626.897,00 679.286,54 722.068,40 785.354,68
PERUSAHAAN
a. Bank 167.271,77 185.838,93 207.396,25 218.238,90 241.973,24
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 69.908,56 75.109,76 80.968,32 86.778,00 94.413,28
c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - -
d. Sewa Bangunan 283.170,51 302.256,21 323.852,41 344.869,30 371.186,51
e. Jasa Perusahaan 59.165,91 63.692,10 67.069,56 72.182,20 77.781,65
9. JASA-JASA 1.187.159,48 1.271.957,69 1.363.660,18 1.445.275,36 1.546.454,49
a. Pemerintahan Umum 783.672,47 830.907,49 885.502,55 941.732,56 1.002.957,92
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 462.238,81 481.344,18 506.789,76 530.658,50 557.181,21
2. Jasa Pemerintah lainnya 321.433,66 349.563,31 378.712,79 411.074,05 445.776,71
b. Swasta 403.487,01 441.050,20 478.157,63 503.542,80 543.496,57
1. Sosial Kemasyarakatan 123.137,17 133.135,91 142.974,66 151.407,50 162.642,53
2. Hiburan & Rekreasi 11.182,05 12.125,81 13.024,94 13.755,40 14.746,61
3. Perorangan & Rumahtangga 269.167,79 295.788,48 322.158,03 338.379,90 366.107,43
PDRB DENGAN MIGAS 51.789.567,15 54.989.407,42 58.406.026,21 62.021.948,77 65.810.681,36
PDRB TANPA MIGAS 51.116.878,86 54.249.847,43 57.663.369,95 61.397.212,32 65.299.466,62
Sumber: PDRB Kabupaten Bekasi Menurut Lapangan Usaha 2009-2013

Tabel 3.16
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bekasi
Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2013 (%)
LAPANGAN USAHA 2009 2010 2011 2012 2013
1. PERTANIAN 5,94 5,14 5,40 4,53 4,17
a. Tanaman Bahan Makanan 6,33 4,46 5,95 4,64 4,43
b. Tanaman Perkebunan -0,94 0,63 1,86 0,52 1,00
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 5,50 6,10 4,49 4,13 3,26
d. Kehutanan -0,25 -0,90 -0,25 -0,16 -0,44
e. Perikanan 4,48 8,02 4,36 5,62 6,00
2. PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 3,39 9,83 0,40 -15,79 -18,05
a. Minyak dan Gas Bumi 3,46 9,94 0,42 -15,88 -18,17
b. Pertambangan tanpa Migas - - - - -
c. Penggalian -4,05 -4,00 -2,80 -2,75 -2,78
3. INDUSTRI PENGOLAHAN 4,06 5,52 5,84 6,25 5,89
a. Industri Migas - - - - -
1. Pengilangan Minyak Bumi - - - - -
2. Gas Alam Cair - - - - -
b. Industri Tanpa Migas 4,06 5,52 5,84 6,25 5,89
1. Makanan, Minuman dan Tembakau 9,45 4,70 6,83 9,38 9,13
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 2,59 1,20 2,14 -2,04 -5,52
3. Brg. Kayu & Hasil Hutan lainnya -2,35 -5,90 4,49 6,64 9,91
77

LAPANGAN USAHA 2009 2010 2011 2012 2013


4. Kertas dan Barang Cetakan 14,02 5,60 6,81 10,81 11,89
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 3,91 3,25 5,40 7,13 5,26
6. Semen & Brg. Galian bukan logam -0,01 -0,40 1,04 15,23 7,05
7. Logam Dasar Besi & Baja 0,84 -4,50 0,42 6,00 7,47
8. Alat Angk., Mesin & Peralatannya 3,83 7,52 6,66 6,88 7,38
9. Barang lainnya 7,86 5,00 5,25 4,40 3,51
4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 7,22 7,89 6,49 6,26 7,12
a. Listrik 7,11 8,11 6,32 6,02 6,93
b. Gas 7,89 6,44 7,57 7,30 7,88
c. Air Bersih 7,71 7,61 7,47 10,04 11,02
5. BANGUNAN 14,02 12,80 10,07 12,87 12,87
6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN 9,84 9,11 8,39 7,63 8,09
a. Perdagangan Besar & Eceran 10,00 9,15 8,46 7,81 8,13
b. Hotel 8,95 8,12 8,66 6,71 9,25
c. Restoran 7,88 8,69 7,44 5,39 7,40
7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 8,79 7,87 9,32 7,30 9,84
a. Pengangkutan 8,28 6,99 8,61 7,33 9,29
1. Angkutan Rel 8,00 7,88 5,94 8,14 8,84
2. Angkutan Jalan Raya 8,24 6,73 8,65 7,43 9,31
3. Angkutan Laut - - - - -
4. Angk. Sungai, Danau & Penyebr. 0,89 -2,00 -0,12 3,31 -4,37
5. Angkutan Udara - - - - -
6. Jasa Penunjang Angkutan 8,55 8,45 8,47 6,77 9,20
b. Komunikasi 9,56 9,22 10,37 7,25 10,65
1. Pos dan Telekomunikasi 9,56 9,22 10,37 7,25 10,65
2. Jasa Penunjang Komunikasi - - - - -
8. KEU. PERSEWAAN, & JASA
8,86 8,18 8,36 6,30 8,76
PERUSAHAAN
a. Bank 12,10 11,10 11,60 5,23 10,88
b. Lembaga Keuangan tanpa Bank 8,02 7,44 7,80 7,18 8,80
c. Jasa Penunjang Keuangan - - - - -
d. Sewa Bangunan 7,55 6,74 7,14 6,49 7,63
e. Jasa Perusahaan 7,36 7,65 5,30 7,62 7,76
9. JASA-JASA 8,31 7,14 7,21 5,99 7,00
a. Pemerintahan Umum 8,73 6,03 6,57 6,35 6,50
1. Adm. Pemerintah & Pertahanan 8,21 4,13 5,29 4,71 5,00
2. Jasa Pemerintah lainnya 9,49 8,75 8,34 8,55 8,44
b. Swasta 7,50 9,31 8,41 5,31 7,93
1. Sosial Kemasyarakatan 6,66 8,12 7,39 5,90 7,42
2. Hiburan & Rekreasi 6,39 8,44 7,42 5,61 7,21
3. Perorangan & Rumahtangga 7,94 9,89 8,92 5,04 8,19
PDRB DENGAN MIGAS 5,04 6,18 6,21 6,19 6,11
PDRB TANPA MIGAS 5,07 6,13 6,29 6,48 6,36
Sumber: PDRB Kabupaten Bekasi Menurut Lapangan Usaha 2009-2013
BAB IV
ANALISIS

4.1 Analisis Perubahan Lahan

Terjadinya perkembangan kawasan terbangun yang pesat di Kabupaten


Bekasi berpengaruh terhadap keberadaan lahan pertanian produktif, dimana
fenomena ini telah menimbulkan konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian beserta dampak sosial-ekonominya. Hal ini pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari kedudukan Kabupaten Bekasi sebagai
bagian dari wilayah Pantai Utara Jawa Barat yang selama ini masih merupakan
sentra produksi padi sehingga alih fungsi lahan sawah, apa lagi yang beririgasi
teknis mempunyai dampak yang berarti terhadap upaya untuk mempertahankan
swasembada pangan.

Adanya penyusutan lahan pertanian di Kabupaten Bekasi pada


dasarnya mengindikasikan telah terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian. Proses alih fungsi lahan pertanian sawah terlebih
dahulu menjadi lahan pertanian tegalan/ladang sebelum menjadi lahan
terbangun. Angka penyusutan berarti bahwa luasan lahan pertanian yang
berubah fungsi tidak dapat lagi diimbangi dengan penambahan luas atau
pencetakan lahan sawah baru. Dalam kurun 1988 – 2010 di Kabupaten Bekasi
terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 931,02 ha per tahun. Sedangkan laju
alih fungsi lahannya sebesar -22,61%, maka ini mengidentifikasikan terjadinya
penyusutan lahan pertanian. Laju penyusutan yang terbesar terjadi di Kecamatan
Cikarang Selatan yaitu sebesar 73,95%, Kecamatan Serang Baru sebesar
67,18% dan Kecamatan Cikarang Utara sebesar 63,81%. Secara rinci
perkembangan lahan pertanian di Kabupaten Bekasi dapat dilihat pada tabel dan
gambar berikut ini.

78
79

90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
1988
1995
2008
2010

Sawah Ladang/Tegalan Perkebunan/Kebun

Gambar 4.1
Diagram Perkembangan Luas Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi

Tabel 4.1
Penyusutan Luas Lahan Pertanian Sawah di Kabupaten Bekasi

Luas Lahan Sawah (ha) Rata-Rata Laju


No Kecamatan Penyusutan Penyusutan
1988 1995 2008 2010 Per Tahun (ha) Lahan (%)
1 Setu 2.254,59 2.226,48 1.626,70 1.766,84 -24,39 -21,63
2 Serang Baru 4.255,10 4.170,77 2.993,13 1.396,57 -142,93 -67,18
3 Cikarang Pusat 3.950,01 3.916,72 1.824,41 1.550,84 -119,96 -60,74
4 Cikarang Selatan 2.282,46 2.321,63 1.229,81 594,50 -84,40 -73,95
5 Cibarusah 2.952,77 2.817,66 2.736,27 2.221,89 -36,54 -24,75
6 Bojong Mangu 3.236,28 3.236,34 3.163,05 3.372,39 6,81 4,21
7 Cikarang Timur 3.943,19 3.946,05 3.546,49 2.991,21 -47,60 -24,14
8 Kedungwaringin 2.273,23 2.272,78 2.283,99 2.019,80 -12,67 -11,15
9 Cikarang Utara 1.632,96 1.662,53 1.446,75 590,99 -52,10 -63,81
10 Karangbahagia 3.732,90 3.732,61 3.703,67 2.516,27 -60,83 -32,59
11 Cibitung 3.305,81 3.255,54 2.466,06 2.839,68 -23,31 -14,10
12 Cikarang Barat 2.367,85 2.646,02 457,93 1.274,42 -54,67 -46,18
13 Tambun Selatan 1.765,82 1.403,18 1.317,84 985,75 -39,00 -44,18
14 Tambun Utara 2.658,10 2.498,83 2.290,56 2.042,31 -30,79 -23,17
15 Babelan 4.559,95 4.542,27 3.924,19 3.329,79 -61,51 -26,98
16 Tarumajaya 4.198,16 4.232,61 3.856,64 4.049,49 -7,43 -3,54
17 Tambelang 3.130,84 3.125,55 3.126,29 2.039,30 -54,58 -34,86
18 Sukawangi 6.327,47 6.333,08 6.299,45 5.451,73 -43,79 -13,84
19 Sukatani 3.318,27 3.318,15 3.314,38 2.315,94 -50,12 -30,21
20 Sukakarya 4.387,81 4.389,47 4.382,99 4.285,31 -5,13 -2,34
21 Pebayuran 8.217,00 8.086,23 8.310,24 8.038,12 -8,94 -2,18
22 Cabangbungin 4.165,30 4.149,71 4.187,73 2.085,39 -104,00 -49,93
23 Muaragembong 3.429,27 5.766,56 3.419,84 5.966,29 126,85 73,98
Kabupaten Bekasi 82.345,16 84.050,77 71.908,40 63.724,82 -931,02 -22,61
Sumber: Hasil Analisis, 2015
80

Tabel 4.2
Luas Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi Tahun 1988-2010
Penggunaan Lahan Luas
No Kecamatan %
Tahun 1988 Tahun 2010 (ha)
1 Setu Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 282,71 0,23
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 748,52 0,60
Sawah Lahan Terbangun 439,16 0,35
2 Serang Baru Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 51,16 0,04
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 111,08 0,09
Sawah Lahan Terbangun 762,42 0,61
3 Cikarang Pusat Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 2,56 0,00
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 23,28 0,02
Sawah Lahan Terbangun 1.105,11 0,88
4 Cikarang Selatan Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 384,42 0,31
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 38,02 0,03
Sawah Lahan Terbangun 814,25 0,65
5 Cibarusah Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 50,54 0,04
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 64,02 0,05
Sawah Lahan Terbangun 483,64 0,39
6 Bojong Mangu Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 100,26 0,08
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 152,55 0,12
Sawah Lahan Terbangun 321,64 0,26
7 Cikarang Timur Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 89,89 0,07
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 36,41 0,03
Sawah Lahan Terbangun 404,41 0,32
8 Kedungwaringin Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 30,52 0,02
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 17,62 0,01
Sawah Lahan Terbangun 141,59 0,11
9 Cikarang Utara Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 101,92 0,08
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 13,48 0,01
Sawah Lahan Terbangun 657,03 0,53
10 Karangbahagia Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 57,40 0,05
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 26,46 0,02
Sawah Lahan Terbangun 190,83 0,15
11 Cibitung Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 38,61 0,03
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 12,33 0,01
Sawah Lahan Terbangun 436,46 0,35
12 Cikarang Barat Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 39,85 0,03
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 52,92 0,04
Sawah Lahan Terbangun 1.004,93 0,80
13 Tambun Selatan Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 83,92 0,07
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 32,78 0,03
Sawah Lahan Terbangun 905,01 0,72
14 Tambun Utara Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 50,92 0,04
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 10,57 0,01
Sawah Lahan Terbangun 615,72 0,49
15 Babelan Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 112,43 0,09
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 0,85 0,00
Sawah Lahan Terbangun 948,90 0,76
16 Tarumajaya Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 0,53 0,00
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 0 0,00
Sawah Lahan Terbangun 575,39 0,46
17 Tambelang Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 6,42 0,01
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 2,03 0,00
Sawah Lahan Terbangun 124,32 0,10
81

Penggunaan Lahan Luas


No Kecamatan %
Tahun 1988 Tahun 2010 (ha)
18 Sukawangi Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 35,65 0,03
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 0,00 0,00
Sawah Lahan Terbangun 234,67 0,19
19 Sukatani Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 13,93 0,01
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 21,21 0,02
Sawah Lahan Terbangun 158,95 0,13
20 Sukakarya Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 14,32 0,01
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 0,02 0,00
Sawah Lahan Terbangun 151,10 0,12
21 Pebayuran Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 51,01 0,04
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 15,01 0,01
Sawah Lahan Terbangun 283,06 0,23
22 Cabangbungin Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 45,51 0,04
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 8,99 0,01
Sawah Lahan Terbangun 174,12 0,14
23 Muaragembong Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 126,00 0,10
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 3,53 0,00
Sawah Lahan Terbangun 115,05 0,09
Kabupaten Bekasi Ladang/Tegalan Lahan Terbangun 1.770,46 1,42
Perkebunan/Kebun Lahan Terbangun 1.391,68 1,11
Sawah Lahan Terbangun 11.047,77 8,83
Sumber: Hasil Analisis, 2015

Pada tabel diatas dapat dilihat perubahan lahan pertanian menjadi lahan
terbangun berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 1988 dan 2010. Terjadi
perubahan lahan pertanian ladang/tegalan sebesar 1.770,46 ha atau sekitar
1,42% dari luas Kabupaten Bekasi, sedangkan untuk perkebunan/kebun sebesar
1.391,68 ha atau 1,11% dan yang terbesar berubah adalah lahan pertanian
sawah yaitu sebesar 11.047,77 ha atau 8,83% dari luas Kabupaten Bekasi.
82

Gambar 4.2 Peta Perubahan Lahan Pertanian Tahun 1988-2010 di Kabupaten


Bekasi
83

4.2 Analisis Produksi Padi

Lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi non pertanian akan


berakibat langsung terhadap jumlah produksi padi di wilayah tersebut. Jumlah
produksi padi yang hilang dipengaruhi antara lain oleh luas panen yang hilang,
produktivitas lahan sawah, dan pola tanam. Luas panen merupakan jumlah
luasan sawah yang digarap atau berhasil panen dalam satu tahun. Pada
penelitian ini diasumsikan petani menggarap seluruh lahan sawah yang hilang
tersebut dan tidak ada gagal panen. Diasumsikan juga pola tanam dalam satu
tahun untuk seluruh lahan dipanen dua kali. Artinya luas panen yang hilang
tersebut dua kali lipat dari luas lahan sawah yang terkonversi. Produktivitas lahan
sawah adalah hasil panen per hektar lahan sawah. Produktivitas untuk seluruh
tipe atau jenis sawah pada penelitian ini disumsikan sama, sehingga tidak ada
pembedaan tipe irigasi dan jenis padi yang ditanam. Luas panen untuk padi
sawah dan padi ladang di Kabupaten Bekasi mengalami penurunan, namun laju
pertumbuhan produksi padi sawah tetap meningkat 0,67%. Untuk lebih jelasnya
perubahan luas lahan panen dan produksi pertanian lahan basah di Kabupaten
Bekasi dapat dilihat pada Tabel 4.3 Perkembangan Luas Lahan Panen dan
Produksi Pertanian Sawah di Kabupaten Bekasi.

Berdasarkan tabel 4.3, maka dapat diasumsikan produksi pertanian


sawah di Kabupaten Bekasi akibat adanya perubahan lahan pertanian. Produksi
pertanian sawah diasumsikan hasil perhektar komoditas padi sawah dan padi
ladang yaitu sebesar 57,27 kw/ha atau 5,7 ton/ha. Dengan menggunakan peta
penggunaan lahan tahun 1988-2010, maka didapatkan produksi sawah di
Kabupaten Bekasi berkurang 106.638,64 ton atau 4.847,21 ton setiap tahunnya
akibat terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Untuk lebih jelasnya produksi padi
yang hilang di Kabupaten Bekasi akibat alih fungsi lahan dapat dilihat pada
Tabel 4.4 Produksi Padi Yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan di
Kabupaten Bekasi.
Tabel 4.3
Perkembangan Luas Lahan Panen dan Produksi Pertanian Sawah di Kabupaten Bekasi
Rata- Laju
No Jenis Tanaman 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Rata Pertumbuhan
1 Padi Ladang
Luas Panen (Ha) 1.806 554 593 662 423 907 520 144 262 159 603 -4,96
Hasil Per Hektar (Kw/Ha) 31,29 28,27 30,57 27,93 35,35 29,99 33,41 33,26 34,80 38,87 32,37 3,17
Produksi (Ton) 5.650 1.566 1.813 1.849 1.775 2.720 1.737 479 912 618 1.912 -6,19
2 Padi Sawah
Luas Panen (Ha) 108.125 96.352 98.127 103.388 104.420 108.390 104.245 100.790 96.288 98.425 101.855 -0,92
Hasil Per Hektar (Kw/Ha) 53,61 54,72 56,20 55,38 55,99 61,18 60,17 63,11 62,00 61,93 58,43 1,67
Produksi (Ton) 579.707 527.228 551.479 572.562 584.599 663.164 627.202 636.093 597.027 609.585 594.865 0,76
3 Padi Sawah & Ladang
Luas Panen (Ha) 109.931 96.906 98.720 104.050 104.843 109.297 104.765 100.934 96.550 98.584 102.458 -1,07
Hasil Per Hektar (Kw/Ha) 53,25 54,57 56,05 55,11 55,89 60,92 60,03 63,07 51,93 61,90 57,27 2,12
Produksi (Ton) 585.357 528.794 553.292 573.411 586.374 665.884 628.939 636.572 597.939 610.203 596.677 0,67
Sumber: Laporan Tahunan Pembangunan Pertanian Tahun 2013

84
85

Tabel 4.4
Produksi Padi Yang Hilang Akibat Alih Fungsi Lahan di Kabupaten Bekasi
Sawah
Luas Alih Produksi
No Kecamatan
Fungsi Padi Yang
Lahan (ha) Hilang (ton)
1 Setu 487,75 2.793,35
2 Serang Baru 2.858,53 16.370,81
3 Cikarang Pusat 2.399,17 13.740,06
4 Cikarang Selatan 1.687,97 9.666,99
5 Cibarusah 730,88 4.185,74
6 Bojong Mangu 136,11 779,50
7 Cikarang Timur 951,99 5.452,03
8 Kedungwaringin 253,42 1.451,35
9 Cikarang Utara 1.041,97 5.967,35
10 Karangbahagia 1.216,63 6.967,62
11 Cibitung 466,13 2.669,52
12 Cikarang Barat 1.093,44 6.262,11
13 Tambun Selatan 780,07 4.467,43
14 Tambun Utara 615,79 3.526,60
15 Babelan 1.230,16 7.045,12
16 Tarumajaya 148,67 851,44
17 Tambelang 1.091,54 6.251,28
18 Sukawangi 875,74 5.015,38
19 Sukatani 1.002,33 5.740,34
20 Sukakarya 102,50 587,03
21 Pebayuran 178,89 1.024,49
22 Cabangbungin 2.079,91 11.911,63
23 Muaragembong 2.537,02 14.529,52
Kabupaten Bekasi 18.620,33 106.638,64
Sumber: Hasil Analisis, 2015

4.3 Analisis Surplus Defisit

Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Bekasi jika terus
berlanjut akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut. Lahan
pertanian yang terus menurun akan menyebabkan produksi beras yang menurun
pula. Hal ini bertabrakan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, dimana
kebutuhan akan beras akan terus meningkat. Simulasi ini dilakukan dengan
membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dan jumlah beras yang
dibutuhkan masyarakat pada tahun mendatang. Menurut data Kementerian
Pertanian dan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2015 konsumsi beras perkapita
penduduk Indonesia sebesar 114 kg per tahun. Jika di konversi ke Gabah Kering
Giling (GKG), maka kebutuhan per kapita penduduk Kabupaten Bekasi adalah
181,70 kg/kapita/tahun (angka faktor konversi Gabah Kering Giling ke beras
adalah 62,74%). Selanjutnya dari Gabah Kering Giling (GKG) ke Gabah Kering
86

Panen (GKP) dengan angka konversi 83,12%, maka kebutuhan Gabah Kering
Panen (GKP) per kapita penduduk Kabupaten Bekasi adalah 218,60
kg/kapita/tahun.

Produksi padi di Kabupaten Bekasi berdasarkan data Badan Pusat


Statistik (BPS) Kabupaten Bekasi pada tahun 2013 sebesar 610.203 ton.
Penduduk Kabupaten Bekasi pada tahun 2013 sebesar 3.002.112 jiwa, maka
kebutuhan Gabah Kering Panen (GKP) penduduk Kabupaten Bekasi pada tahun
2010 sebesar 656.261.683,2 kg atau 656.261,68 ton. Jika dibandingkan dengan
produksi padi, maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten Bekasi mengalami defisit
beras. Jika diproyeksikan kedepan, dengan luas lahan sawah dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi 2011-2031 seluas 35.173,97 ha
akan memperbesar defisit beras di Kabupaten Bekasi. untuk lebih jelasnya
analisis surplus defisit gabah di Kabupaten Bekasi, dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

Tabel 4.5
Analisis Surplus Defisit Gabah di Kabupaten Bekasi
Jumlah Produksi Konsumsi Surplus (+)
Tahun Penduduk Padi Gabah /Defisit (-)
(jiwa) (ton) (ton) (ton)
2004 1.950.209 585.357 426.315,69 159.041,31
2005 2.027.902 528.794 443.299,38 85.494,62
2006 2.054.795 553.292 449.178,19 104.113,81
2007 2.125.960 573.411 464.734,86 108.676,14
2008 2.193.856 586.374 479.576,92 106.797,08
2009 2.274.842 665.884 497.280,46 168.603,54
2010 2.630.401 628.939 575.005,66 53.933,34
2011 2.753.961 636.572 602.015,87 34.556,13
2012 2.786.548 597.939 609.139,39 -11.200,39
2013 3.002.112 610.203 656.261,68 -46.058,68
Proyeksi Penduduk
2015 3.206.295 400.983,26 700.896,09 -299.912,83
2020 3.609.268 400.983,26 788.985,98 -388.002,73
2025 4.092.832 400.983,26 894.693,08 -493.709,82
2030 4.576.396 400.983,26 1.000.400,17 -599.416,91
Sumber: Hasil Analisis, 2015

Dari tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa sejak tahun 2012,
Kabupaten Bekasi telah mengalami defisit beras dikarenakan kebutuhan
berasnya lebih besar daripada produksi berasnya. Kebutuhan gabah pada tahun
2030 diperkirakan sebesar 1.000.400,17 ton dengan produksi diperkirakan hanya
87

400.983,26 ton. Hal ini menjadi tidak baik dikarenakan dahulu Kabupaten Bekasi
merupakan lumbung padi nasional sekarang mengalami defisit karena alih fungsi
lahan pertanian.

4.4 Analisis Kebutuhan Lahan

Jumlah penduduk yang selalu meningkat di Kabupaten Bekasi


mengakibatkan terjadinya defisit beras. Dengan mengetahui produksi gabah
rata-rata per hektar dan kebutuhan gabah dapat diketahui kebutuhan luas lahan
sawah ideal agar Kabupaten Bekasi swasembada beras.

92.550 ℎ𝑎𝑎
𝐼𝐼𝐼𝐼 =
52.966 ℎ𝑎𝑎

𝐼𝐼𝐼𝐼 = 1,82

Produksi gabah per hektar = 5,2 𝑥𝑥 1,82

Produksi gabah per hektar = 9,46 𝑡𝑡𝑜𝑜𝑜𝑜/ℎ𝑎𝑎

Kebutuhan lahan sawah = 609.139,39⁄9,46

Kebutuhan lahan sawah = 64.363,84 ℎ𝑎𝑎

Kebutuhan sawah Kabupaten Bekasi agar swasembada beras pada


tahun 2012 adalah 64.363,84 ha, atau kurang 11.367,84 ha dari luas lahan
sawah di Kabupaten Bekasi pada tahun 2012 yaitu sebesar 52.966 ha. Untuk
kebutuhan luas lahan sawah pada tahun-tahun lainnya agar Kabupaten Bekasi
swasembada beras dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.6
Kebutuhan Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi
Jumlah Kebutuhan Produksi Kebutuhan Luas
Tahun Penduduk Gabah Per Tahun Lahan Sawah
(jiwa) (ton/tahun) (ton) (ha)
2012 2.786.548 609.139,39 9,46 64.391,06
2013 3.002.112 656.261,68 9,46 69.372,27
2015 3.206.295 700.896,09 9,46 74.090,50
2020 3.609.268 788.985,98 9,46 83.402,32
2025 4.092.832 894.693,08 9,46 94.576,44
2030 4.576.396 1.000.400,17 9,46 105.750,55
Sumber: Hasil Analisis, 2015
88

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kebutuhan luas lahan di Kabupaten
Bekasi agar swasembada beras terus meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk. Luas lahan sawah pada Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Bekasi 2011-2031 yang hanya 35.173,97 ha tentunya tidak
akan mencukupi kebutuhan beras penduduk Kabupaten Bekasi itu sendiri, ini
mengakibatkan terus defisitnya beras di Kabupaten Bekasi.

4.5 Sintesa Hasil Analisis

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh alih fungsi


lahan pertanian terhadap swasembada beras di Kabupaten Bekasi. Pengaruh
tersebut dinilai negatif karena menjadikan Kabupaten Bekasi defisit beras yang
sebelumnya merupakan salah satu lumbung padi nasional. Pengaruh yang
diperlihatkan melalui perubahan luas lahan pertanian sawah, berkurangnya
produksi sampai tidak tercapainya swasembada beras di Kabupaten Bekasi. Alih
fungsi lahan pertanian sawah yang diamati terjadi pada kurun waktu 1988-2010
atau 22 tahun. Dengan demikian maka alih fungsi lahan pertanian menjadikan
Kabupaten Bekasi tidak lagi swasembada beras. Alih fungsi lahan pertanian
terjadi akibat dari suatu konsekuensi pembangunan, yaitu strategi Pembangunan
Negara Indonesia. Menurut informasi BAPPENAS (Badan Pembangunan
Nasional) setiap tahunnya wilayah Kabupaten Bekasi menyumbang sekitar Rp.
40 tryliun uang pajaknya ke negara dari sektor industri. Pendapatan negara
tahun 2015 sebesar Rp 1.793,6 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.039,5
triliun (defisit sebesar Rp 245,9 triliun atau 12,06 %). Dengan demikian maka Rp
40 trylyun sumbangan dari sektor pajak Kabupaten Bekasi memberikan
kontribusi sebesar 2% untuk kebutuhan APBN. Angka yang sangat signifikan
untuk pembangunan suatu negara.

Pembangunan ekonomi mengakibatkan suatu transformasi perubahan


sosial budaya masyarakat Kabupaten Bekasi, terutama budaya pertanian.
Perubahan sosial menuju masyarakat industri merupakan sesuatu yang tidak
terelakkan di Kabupaten Bekasi. Proses industrialisasi seperti yang dikatakan
Gunnar Myrdal, yang diwujudkan dengan pendirian pabrik-pabrik besar dan
modern dianggap sebagai simbol dari kemajuan (Rahardjo, 1984: 3). Di samping
itu, industrialisasi sering dinilai sebagai ‘kunci’ yang bisa membawa masyarakat
ke arah kemakmuran pembangunan ekonomi. Namun demikian industrialisasi
89

bukanlah suatu perjalanan sejarah yang unilineal dari masyarakat agraris ke


masyarakat industri, masyakat tradisional ke masyarakat modern, tetapi suatu
evolusi yang multilineal (Kuntowijoyo, 1998: 172). Demikian pula dengan
masyarakat di Kabupaten Bekasi, membutuhkan suatu penelitian lanjutan
terhadap fenomena transformasi ini. Akan tetapi pemikiran beberapa ahli
menunjukkan suatu konsekuensi perubahan budaya yang sangat mendasar
akibat dari perubahan pertanian ke industri.

Seperti pandangan Kuntowijiyo, yang menyatakan bahwa dalam


masyarakat dengan dualisme ekonomi, industrialisasi tidak menyebabkan
perubahan gaya hidup masyarakat bawah, sekalipun pengaruh dari perubahan
itu dapat dilihat pula (Kuntowijoyo, 1998: 172). Perkebunan dan industri
transportasi di Indonesia, misalnya, memang telah mengubah pasar tenaga kerja
di masyarakat bahkan sejak pertengahan abad ke-19, tetapi tidak berarti bahwa
masyarakat telah meninggalkan ciri-ciri tradisional pada waktu yang bersamaan.
Semuanya sangat tergantung kepada intensitas industrialisasi dan siapa-siapa
pelaku proses perubahan itu. Johnson (1984) mengklasifikasikan akibat-akibat
industrialisasi yang bersifat negatif terhadap kesejahteraan manusia, di
antaranya keterasingan (alienation), yaitu perasaan keterasingan dari diri,
keluarga, dan kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah, dan
kecemasan. Menurut Frans Dahler (2006: 73-82) salah satu dampak dari
industrialisasi adalah adanya sekularisme, yaitu di mana masyarakat
melepaskan diri dari dominasi agama, dengan lebih mengutamakan kehidupan
duniawi daripada norma-norma agama.

Dalam masyarakat industri, masyarakat diorganisasi secara efisien dan


mirip sebuah mesin. Proses rasionalisasi dalam masyarakat yang demikian
mempunyai akibat melonggarnya ikatan-ikatan tradisi yang digantikan
peranannya oleh hubungan-hubungan yang bersifat rasional, legal, dan
kontraktual (Kuntowijoyo, 1983: 65). Berger mengatakan bahwa di dalam
masyarakat industri telah terjadi “krisis kredibilitas” terhadap agama. Definisi
agama tentang realitas tidak akan mendapat tempat lagi, sehingga agama
berhenti sebagai kekuatan sejarah, sebagai sebuah variabel yang merdeka
(Berger, 1969: 132). Dinamika masyarakat industri sangat berbeda dengan
masyarakat agraris. Untuk memasuki sebuah masyarakat industri bukan saja
perangkat-perangkatnya yang diperlukan, tetapi lebih penting dari itu ialah
perubahan kesadaran masyarakat dan perorangan. Kesadaran perorangan tidak
90

selalu sama kecepatannya dengan perubahan institusional, oleh karena itu


sering dijumpai adanya ketertinggalan budaya yang dapat mempunyai akibat
yang bermacam-macam.

Penelitian Scott menunjukan bahwa penggunaan teknologi pertanian


mempunyai dampak terhadap perubahan struktur masyarakat, dan akhirnya
berpengaruh terhadap pola-pola institusional masyarakat. Menurut Parson,
dinamika masyarakat berhubungan dengan perubahan masyarakat. Kemudian,
terdapat beberapa unsur yang berinteraksi satu sama lain. Unsur-unsur tersebut
adalah: (1) orientasi manusia terhadap situasi yang melibatkan orang lain; (2)
pelaku yang mengadakan kegiatan dalam masyarakat; (3) kegiatan sebagai
hasil orientasi dan pengolahan pemikiran pelaku tentang bagaimana mencapai
cita-cita; (4) lambang dan sistem perlambangan yang mewujudkan komunikasi
dalam mencapai tujuan. Selanjutnya suatu sistem sosial merupakan hasil
individu, yang terjadi dalam lingkungan fisik dan sosial. Dengan demikian maka
dampak perubahan teknologi pertanian akan berbenturan terhadap perubahan
struktur sosial.

Sejarah menunjukkan pula bahwa sejak kemunculannya di Eropa Barat


yaitu di Inggris (1750-1850), industrialisasi bukan saja telah membawa manfaat
seperti pemenuhan kebutuhan teknis dengan cara memudahkan manusia, tetapi
juga membawa problem (efek sampingan negatif) bagi masa depan manusia.
Industrialisasi ternyata menuntut pengorbanan biaya material, mental, kultural,
dan moral. Rusaknya lingkungan sebagai akibat dari eksploitasi alam yang
berlebihan; urbanisasi yang melahirkan pengangguran, kemiskinan dan
kriminalitas; sakit mental semisal stres dan kekerasan, penyalahgunaan obat
terlarang, sekularisme yang melahirkan dekadensi moral, dan penjajahan yang
telah berlangsung di muka bumi ini, diyakini sebagai sesuatu yang tak terelakkan
dari proses industrialisasi tersebut (Karim, 1994). Betty R. Scharf (1995)
menyatakan bahwa industrialisasi memiliki pengaruh sekularisasi di Jepang.
Perubahan-perubahan dalam agama Jepang pada abad industrialisasi yang lalu
dalam sekala besar dimaksudkan untuk menanggalkan berbagai peribadatan
dan keyakinan lama. Berbagai gejala serupa telah terjadi di negara industri
lainnya.

Konsekuensi pembangunan yang dapat merubah tatanan budaya


bangsa. Termasuk akan berakibat pada degradasi keyakinan beragama suatu
91

masyarakat. Ini adalah suatu wujud kebijakan pembangunan atau suatu


konsekuensi pembangunan yang ditetapkan oleh negara demi mengamankan
devisa Negara atau sumber keuangan Negara. Fenomenanya berwujud pada
hilangnya profesi petani. Petani adalah suatu profesi yang erat dengan tata nilai
budaya bangsa termasuk tata nilai agama dan keyakinan. Hilangnya profesi
petani terutama petani penggarap mengakibatkan hilangnya tatacara atau pola
pertanian yang telah berlangsung secara turun temurun dan hilangnya
keyakinan akan tata nilai yang berhubungan dengan alam semesta. Lebih
mendasar lagi adalah berkurang dan mungkin saja akan hilang penggarap
kebutuhan pangan untuk umat manusia. Kehilangan profesi petani penggarap
merupakan suatu konsekuensi logis dari transformasi kebudayaan menuju
industrialisasi.

Kebijakan pembangunan lahan basah untuk kawasan budidaya


pertanian di Kabupaten Bekasi ditetapkan berdasarkan RTRW seluas 35.173,97
Ha. Berdasarkan kebijakan RTRW tersebut kemudian mengasumsikan bahwa
jika rata-rata produksi padi di Kabupaten Bekasi adalah 5,7 Ton/ha (rata-rata
produksi dari BPS Kabupaten Bekasi) dengan setiap tahunnya terjadi 2 kali
panen, dengan demikian akan terjadi produksi padi sebanyak 400.983,26 ton.
Jika konsumsi beras per kapita penduduk Kabupaten Bekasi sebesar 114
kg/kapita/tahun (Kementrian pertanian tahun 2015) maka luas lahan basah
berdasarkan RTRW tersebut tidak mampu memberikan produksi padi untuk
penduduk Kabupaten Bekasi. Persoalannya adalah kebijakan RTRW tahun
2011-2031 memperluas lahan pertanian yang sebesar 35.173,97 Ha tersebut ,
mengingat terjadinya penyusutan lahan pertanian yang terjadi pada tahun 1988
– 2010 seluas 931,02 ha pertahun. Selain itu juga kebijakan RPJMD tahun 2012-
2017 bidang pertanian lebih memproteksi pada sistem infrastruktur, intensifikasi
dan diversivikasi pertanian saja. Tidak memproteksi kebijakan luas lahan abadi
atau luas lahan pangan berkelanjutan untuk pertanian dan tidak memproteksi
profesi petani atau kesejahteraan petani penggarap. Dengan demikian maka
kebijakan ini sangat rentan untuk menjadikan profesi petani semakin tidak
menarik. Akibatnya akan terancam swasembada pangan di Kabupaten Bekasi.
Selain itu untuk kebijakan RTRW tahun 2011-2031 terjadi upaya konversi lahan
sebesar 27.298,72 ha untuk penyediaan lahan terbangun Lebih jelas hasil
perhitungan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
92

Tabel 4.7
Luas Perubahan Lahan Pertanian Tahun 2010 Menjadi Lahan Terbangun pada
RTRW Kabupaten Bekasi
Penggunaan Lahan Luas
No Kecamatan
Tahun 2010 RTRW (ha)
1 Setu Ladang/Tegalan Industri 5,85
Ladang/Tegalan Permukiman 294,44
Sawah Industri 21,64
Sawah Permukiman 755,04
2 Serang Baru Hutan Sekunder Industri 114,85
Hutan Sekunder Permukiman 61,92
Perkebunan/Kebun Industri 276,09
Perkebunan/Kebun Permukiman 368,00
Sawah Industri 30,85
Sawah Permukiman 533,95
3 Cikarang Pusat Hutan Sekunder Industri 94,14
Hutan Sekunder Permukiman 427,58
Perkebunan/Kebun Industri 334,11
Perkebunan/Kebun Permukiman 740,06
Sawah Industri 279,61
Sawah Permukiman 677,00
4 Cikarang Selatan Hutan Sekunder Industri 13,10
Hutan Sekunder Permukiman 243,64
Perkebunan/Kebun Industri 255,63
Perkebunan/Kebun Permukiman 755,47
Sawah Industri 167,21
Sawah Permukiman 277,38
5 Cibarusah Perkebunan/Kebun Permukiman 38,09
Sawah Permukiman 539,82
6 Bojong Mangu Perkebunan/Kebun Industri 0,00
Sawah Industri 350,79
7 Cikarang Timur Perkebunan/Kebun Permukiman 37,27
Ladang/Tegalan Industri 7,69
Ladang/Tegalan Permukiman 52,93
Sawah Industri 378,34
Sawah Permukiman 598,15
8 Kedungwaringin Sawah Industri 290,99
Sawah Permukiman 6,74
9 Cikarang Utara Perkebunan/Kebun Permukiman 63,75
Ladang/Tegalan Industri 0,67
Ladang/Tegalan Permukiman 251,65
Sawah Industri 172,04
Sawah Permukiman 373,45
10 Karangbahagia Ladang/Tegalan Permukiman 0,92
Sawah Permukiman 445,75
11 Cibitung Ladang/Tegalan Industri 28,90
Ladang/Tegalan Permukiman 130,84
Sawah Industri 26,75
Sawah Permukiman 683,08
12 Cikarang Barat Ladang/Tegalan Industri 321,54
Ladang/Tegalan Permukiman 99,64
Sawah Industri 573,00
Sawah Permukiman 566,50
13 Tambun Selatan Perkebunan/Kebun Permukiman 151,10
Ladang/Tegalan Permukiman 307,67
93

Penggunaan Lahan Luas


No Kecamatan
Tahun 2010 RTRW (ha)
Sawah Industri 200,87
Sawah Permukiman 640,05
14 Tambun Utara Sawah Permukiman 1.384,71
15 Babelan Ladang/Tegalan Industri 302,47
Ladang/Tegalan Permukiman 423,28
Sawah Industri 614,72
Sawah Permukiman 2.469,45
16 Tarumajaya Ladang/Tegalan Industri 94,73
Sawah Industri 1.449,80
Sawah Permukiman 2437,4476
17 Tambelang Ladang/Tegalan Permukiman 0,20
Sawah Permukiman 0,20
18 Sukawangi Ladang/Tegalan Industri 0,01
Ladang/Tegalan Permukiman 0,02
Sawah Industri 0,01
Sawah Permukiman 377,14
19 Sukatani Ladang/Tegalan Permukiman 82,76
Sawah Permukiman 190,49
20 Sukakarya
21 Pebayuran
22 Cabangbungin Ladang/Tegalan Industri 9,39
Ladang/Tegalan Permukiman 1,52
Sawah Industri 1,11
Sawah Permukiman 0,58
23 Muaragembong Ladang/Tegalan Permukiman 766,43
Sawah Industri 0,00
Sawah Permukiman 3.393,64
Kabupaten Bekasi Hutan Sekunder Industri 222,09
Hutan Sekunder Permukiman 733,14
Perkebunan/Kebun Industri 865,84
Perkebunan/Kebun Permukiman 2.153,75
Ladang/Tegalan Industri 771,25
Ladang/Tegalan Permukiman 1.644,36
Sawah Industri 4.557,73
Sawah Permukiman 16.350,56
Sumber: Hasil Analisis, 2015
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari studi ini adalah adanya pengaruh yang cukup serius
dari alih fungsi lahan pertanian terhadap swasembada beras di Kabupaten
Bekasi. Pengaruh tersebut adalah Kabupaten Bekasi tidak swasembada beras
lagi, padahal dulu Kabupaten Bekasi dikenal sebagai salah satu lumbung padi
nasional. Pola alih fungsi lahan yang terjadi adalah menjadi lahan sawah menjadi
ladang atau tegalan terlebih dahulu sebelum menjadi permukiman atau industri
yang tentunya tidak dapat dirubah lagi menjadi lahan sawah. Laju penyusutan
lahan pertanian sawah selama kurun waktu 1988-2010 yaitu 22 (dua puluh dua)
tahun terakhir di Kabupaten Bekasi sebesar 22,61% atau seluas 931,02 ha per
tahunnya. Akibat terjadi penyusutan lahan pertanian sawah, maka produksi padi
di Kabupaten Bekasi juga mengalami pengurangan yaitu sebesar 106.638,64 ton
atau 4.847,21 ton setiap tahunnya.

Hasil studi ini juga menjawab sasaran studi yang memperlihatkan tidak
terjadi swasembada beras lagi Kabupaten Bekasi mulai dari tahun 2012, yaitu
terjadi kekurangan kebutuhan gabah sebesar 11.200,39 ton. Kebijakan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi 2011-2031 yang menetapkan
luas lahan pertanian yang hanya sebesar 35.173,97 ha dikarenakan
ditetapkannya Kabupaten Bekasi sebagai wilayah penyangga PKN Jabodetabek
yang ruang wilayahnya diperuntukkan untuk permukiman, industri dan jasa.
Karena faktor tersebut tidak terkendalinya laju pertumbuhan penduduk
Kabupaten Bekasi yang menyebabkan besarnya penduduk Kabupaten Bekasi
yang juga memerlukan kebutuhan pangan, salah satunya beras. Dengan luas
lahan pertanian sawah sebesar 35.173,97 ha tidak akan mencukupi kebutuhan
beras. Idealnya untuk memenuhi swasembada beras di Kabupaten Bekasi maka
dibutuhkan lahan seluas 105.750,55 ha atau Kabupaten Bekasi kekurangan
lahan pertanian sawah sebesar 70.576,58 ha.

94
95

5.2 Rekomendasi

Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi adalah untuk


melakukan studi lanjutan sesuai dengan arah kebijakan untuk materi teknis
pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bekasi. Arah kebijakan yang dihasilkan
dari studi Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Swasembada Beras di
Kabupaten Bekasi adalah:

1. Adanya Peraturan Daerah untuk menetapkan lahan abadi atau lahan


pertanian berkelanjutan sesuai dengan tuntutan Undang-Undang nomor 41
tahun 2009;
2. Meningkatkan peran Dewan Ketahanan Pangan yang memiliki kapasitas
maupun akses terhadap kekuatan hukum dalam memproteksi aset lahan
pertanian di Kabupaten Bekasi;
3. Pengelolaan atau tata niaga pertanian dilakukan secara profesional dibawah
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Bekasi;
4. Memberikan stimulus (sarana dan prasarana) bagi profesi petani miskin di
Kabupaten Bekasi dengan subsidi pendapatan dan subsidi pendidikan bagi
keluarga petani miskin tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

a. Kelompok Buku
1. Agus H Atmadilaga dan Dodi Sukjadi. 1998. Pemetaan Citra Satelit
(Space Map) sebagai Pemacu Industri Jasa Penginderaan Jauh dan
SIG di Indonesia. Jakarta: Direktorat Teknologi Inventarisasi Sumber
Daya Alam BPPT.
2. Arronof, S. 1989. Geographyc Information System: A Management
Perspectif. WDL Publication. Canada.
3. Barlowe R. 1978. Land Resources Economics: The Economics of
Real Estate. Prentice-Hall. New Jersey.
4. Departemen Agama RI. 1999. Al Qur’an dan Terjemahan. CV. Asy
Syifa’ Semarang.
5. Sumaryanto, et al. 2005. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan
Sawah ke. Penggunaan Non Pertanian. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2003.
Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian.
Departemen Petanian. Jakarta.

b. Artikel dari suatu jurnal ilmiah


7. Pakpahan A, N Sumaryanto, Syafa'at. 1993. Analisis Kebijaksanaan
Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

c. Disertasi, Tesis, Tugas Akhir


8. Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Perubahan
Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
9. Utama D. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi
Lahan Sawah ke Penggunaan non Sawah di Kabupaten Cirebon.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
10. Sandi R. 2009. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah di Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
11. Sitorus S. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi
Lahan Sawah di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
12. Puspasari A . 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian dan dampaknya di Kecamatan Karawang Timur. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

d. Laporan yang Dipublikasi


13. Badan Informasi Geospasial, (2015). Peta Penggunaan Lahan
Kabupaten Bekasi Tahun 1988.
14. Badan Informasi Geospasial, (2015). Peta Penggunaan Lahan
Kabupaten Bekasi Tahun 1995.
15. Badan Informasi Geospasial, (2015). Peta Penggunaan Lahan
Kabupaten Bekasi Tahun 2008.
16. Badan Informasi Geospasial, (2015). Peta Penggunaan Lahan
Kabupaten Bekasi Tahun 2010.
17. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Bekasi, (2012). Rencana Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bekasi
2012-2017.
18. Badan Pusat Statistik, 2015. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2014.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
19. Badan Pusat Statistik, 2014. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2013.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
20. Badan Pusat Statistik, 2013. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2012.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
21. Badan Pusat Statistik, 2012. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2011.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
22. Badan Pusat Statistik, 2011. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2010.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
23. Badan Pusat Statistik, 2010. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2009.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
24. Badan Pusat Statistik, 2014. Statistik Daerah Kabupaten Bekasi 2013.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
25. Badan Pusat Statistik, 2013. Statistik Daerah Kabupaten Bekasi 2012.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
26. Badan Pusat Statistik, 2012. Statistik Daerah Kabupaten Bekasi 2011.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
27. Badan Pusat Statistik, 2011. Statistik Daerah Kabupaten Bekasi 2010.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
28. Badan Pusat Statistik, 2010. Statistik Daerah Kabupaten Bekasi 2009.
Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.
29. Badan Pusat Statistik, 2015. PDRB Kabupaten Bekasi Menurut
Lapangan Usaha 2009-2013. Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi.

e. Prosiding Konperensi, Simposium


31. Sumaryo, S Tahlim. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan
Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya.
Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian
Pertanian Abadi. LPPM IPB. Bogor.
32. Widjanarko et al. 2006. Aspek Pertanahan dalam Pengendaliaan Alih
Funsi Lahan Pertanian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Lahan Sawah. Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.
33. Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Funsi Tanah Pertanian
dan Implementasinya. Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan
dan Pencapaian Pertanian Abadi. LPPM IPB. Bogor.

f. Makalah pada Konperensi, Seminar, Simposium dan Poster


34. Ivan Chofyan dan Ade Sofyan. 2014. Upaya Mempertahankan
Kabupaten Karawang Sebagai Lumbung Padi Nasional. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Menciptakan Nilai Tambah dalam
Pembangunan Bekelanjutan. Universitas Islam Bandung. Bandung.
35. Utomo. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis. Makalah disajikan
pada Seminar Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan.
Universitas Lampung. Lampung.

g. Undang-Undang, Peraturan Daerah


36. Republik Indonesia. 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Sekretariat Negara. Jakarta.
37. Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor
41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Sekretariat Negara. Jakarta.
38. Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 22
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat.
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung.
39. Kabupaten Bekasi. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor
12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bekasi. Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi. Cikarang.

h. Internet
37. http://news.klikbekasi.co/2015/09/07/alih-fungsi-lahan-pertanian-di-
kabupaten-bekasi-kebanyakan-untuk-industri-dan-perumahan/

Anda mungkin juga menyukai