PENDAHULUAN
Adapun tujuan dari praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu tentang Pola
Pembelahan yaitu :
1. Mengetahui metode/cara penggergajian yang digunakan dalam industri ini.
2. Mengetahui alat atau mesin yang digunakan dalam proses penggergajian kayu.
3. Mengetahui fungsi dari setiap mesin yang digunakan.
1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Industri pengolahan kayu sebagai sektor hilir kehutanan dimulai ketika Soeharto
berkuasa, yang diatur melalui UU No.5 Tahun 1967 tentang pokok-pokok ketentuan
kehutanan. UU tersebut secara eksplisit mengarahkan pemanfaatan hutan secara intensif
dalam rangka pembangunan ekonomi nasional. Dengan pertimbangan demikian, UU No.5
Tahun 1967 serta peraturan pelaksanaannya mengatur secara legal pemanfaatan hutan yang
berorientasi pada peningkatan pembangunan ekonomi. Atau singkatnya, orientasi
pemanfaatan kayu secara intensif sebagai pendukung utama pembangunan industri
pengolahan kayu menjadi karakteristik penting selama Orde Baru (Greenomics Indonesia,
2004).
Pada tahun 1960-an ditemukan gergaji utama pembuat ceriping kayu untuk kayu-
kayu bulat kecil yang akhirnya tersebar luas di Amerika Utara dan Skandinavia. Kemudian
muncul teknologi-teknologi menggergaji yang baru, khususnya di Eropa dan Amerika,
dengan menggunakan kereta penghantar kayu bulat, gergaji pita regangan tinggi, gergaji
utama dan gergaji pelurus pinggir pembuat ceriping kayu, gergaji bundar rangkap pelurus
pinggir, mesin sortir otomatis untuk kayu gergajian, oven pengering, mesin pasah kecepatan
tinggi, mesin penumpuk, mesin bongkar dan pengepak. Mulai tahun 1973, 65 penggergajian
telah memiliki 129 alat skanning, 41 di antaranya menggunakan komputer untuk
monitoring prosesnya secara tertutup. Perbaikan – perbaikan dalam sistim terus dilakukan
(Hadikusumo, 2004).
Pengoperasian mesin kayu mempunyai peranan sangat penting dalam proses pengecoran
logam, khususnya untuk membuat pola dari kayu. Secara umum pola kayu dibedakan menjadi
dua yaitu pola positif dan pola negatif. Pola kayu positif digunakan langsung untuk membuat
cetakan dari pasir, sedangkan pola kayu negatif digunakan untukmembuat pola resin. Setelah
menyelesaikan modul ini, diharapkan peserta diklat mampu mengoperasikan mesin kayu
secara umum untuk membuat pola kayu, sehingga mampu mengaplikasikan pada pengecoran
logam (Tim Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta, 2004).
Indonesia merupakan negara pengguna, bukan negara penemu dan pengembang
industri. Industri penggergajian yang tertua diyakini berada di Jawa. Sejarah pengelolaan
hutan bermula di Jawa, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan penanaman
dan pengelolaan hutan jati Penggergajian pertama dengan mesin didirikan pada tahun
1926 di Madiun oleh Belanda. Di luar Jawa, penggergajian dengan mesin baru didirikan
2
pada tahun 1950-an, yaitu di Tarakan dan di Sampit. Di Jawa penggergajian yang
“besar” didominasi oleh Perum Perhutani, karena hanya Perum Perhutani sajalah yang
memiliki bahan baku yang cukup dan areal hutan jatinya. Di luar Jawa, penggergajian
yang “besar” didominasi oleh para pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan), karena
hanya merekalah yang memiliki stok bahan baku yang cukup dan area hutan rimbanya
(Budianto, 1987).
Industri pengolahan kayu primer, baik yang memproduksi kayu lapis maupun kayu
gergajian, dan pengolahan kayu sekunder, baik yang memproduksi moulding maupun mebel,
sedang mengalami kekurangan akan ketersedian bahan baju kayu. Salah satu penyebabnya
adalah berkurangnya pasokan kayu sebagai bahan baku yang dihasilkan oleh hutan alam yang
semakin rusak, sementara kapasitas terpasang industri kayu sudah terlanjur besar. Data yang
disajikan oleh Menteri Kehutanan RI memperlihatkan hal itu, yakni kapasitas terpasang
industri berdasarkan izin usaha sebesar 64,5 juta m 3 per tahun, sebaliknya kapasitas
kemampuan pasokan kayu dari hutan alam secara lestari hanya 23,1 juta m 3 per tahun
(Suranto dan Mugiyana, 2009).
3
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM
4
BAB IV. HASIL, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
(Terlampir)
4.2 Pembahasan
Kayu dikenal sebagai salah satu bahan bangunan. Selain fungsinya sebagai bahan
bangunan kayu juga digunakan sebagai bahan bakar, parabot, kemasan (diolah sebagai
kertas) dan lain lain. Pada praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu mengenai
Pengenalan Alat-Alat Penggergajian diketahui bahawa mesin gergaji merupakan alat
yang digunakan dalam proses pemotongan, dalam hal ini adalah kayu. Pemotongan kayu
ini disebut dengan penggergajian. Dalam proses penggergajian kayu terdiri dari tahapan-
tahapan yang disetiap tahapan memerlukan alat atau mesin yang berbeda. Hasil dari
pengolahan ini adalah 60% dan 40% merupakan limbahnya.
Berdasarkan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu yang telah dilaksanakan
diketahui pada industri kayu tersebut terdapat 8 jenis mesin yang digunakan yaitu Mesin
Band Saw besar, mesin Band Saw kecil, mesin Band Saw rel, Silter, mesin siku, mesin
mesin serut, mesin profil dan mesin gogo.
seperti yang telah saya amati dan dijelaskan oleh narasumber bahwa limbah dari
gergajian tersebut terdiri dari 2 macam yaitu limbah yang dihasilkan oleh Band Saw
(limbah Band Saw) akan dimanfaatkan atau diambil oleh masyarakat sekitar pabrik atau
tempat gergajian tersebut dan limbah yang dihasilkan oleh mesin serut akan dijual
dengan harga mulai dari lima ribu rupiah per karung.
Pada proses penggergajian kami menemukan sembilan mesin dengan 9 tahapan
yaitu:
1. Menggunakan mesin band saw besar yaitu kayu masih berbentuk log pasca panen.
2. Menggunakan mesin band saw kecil.
3. Menggunakan mesin band saw rel.
4. Menggunakan mesin silter, untuk membelah atau menyamakan ukuran dari log
menjadi balok
5. Menggunakan mesin siku yang bertujuan untuk meluruskan, disini papan
dimaksudkan untuk meluruskan bagian sisinya.
6. Menggunakan mesin serut (planer), disini papan yang dimasukkan tersebut bertujuan
untuk melicinkan permukaan papan serta menyamakan/mengatur ketebalan
5
7. Menggunakan mesin profil; bertujuan untuk pengamplasan dan pemotongan sesuai
keinginan maupun kebutuhan, salah satunya berupa Lis plank dan segala macam lis
profil seperti pintu, kusen, lis pojok.
8. Menggunakan mesin gogo mesin sirkular yang membelah dolok menjadi kasau.
9. Tahap akhir adalah finishing yaitu penghalusan, dimana pada tahap ini merupakan
tahap akhir yang berupa produk dari kayu dan sesuai dengan pesanan atau yang
diinginkan oleh konsumen. Pada tahap ini terdapat kegiatan yang menyambung
beberapa bagian dengan lem fox untuk dijadikan produk sesuai dengan keinginan
konsumen.
Limbah yang terdapat di industri ini sangat besar,limbah ini berbentuk serutan dan
serbuk-serbuk kecil dan halus, biasanya digunakan untuk lapisan kandang anak ayam,
dan limbah ini pun dijual Rp 5.000/karung. Namun ternyata limbah ini juga
dimanfaatkan untuk hal lain yaitu untuk media tumbuh jamur. Namun ada juga limbah
yang menumpuk pada industri ini yaitu limbah dari proses pengolahan balok menjadi
kasau. Limbah ini sepertinya tidak dimanfaatkan sehingga disamping tempat pengelolaan
terlihat limbah ini menggunung. Sebenarnya untuk jenis limbah ini diberikan kebebasan
kepada masyarakat untuk mengambil dan memanfaatkanya.
6
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun saran berdasarkan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu ini dan untuk
praktikum selanjutnya yaitu :
1. Diharapkan untuk praktikan untuk datang tepat waktu sesuai dengan waktu yang
telah disepakati agar praktikum tidak memakan waktu yang lama.
2. Dalam penggergajian ini menghasilkan debu yang tinggi, sebaiknya bagi pekerja
untuk memakai masker
7
BAB I. PENDAHULUAN
Kayu gergajian adalah kayu persegi empat dengan ukuran tertentu yang diperoleh
dengan menggergaji kayu bundar atau kayu lainnya. Sedangkan kayu gergajian rimba
adalah kayu gergajian selain Jati.
Kayu gergajian adalah kayu persegi empat dengan ukuran tertentu yang diperoleh
dengan menggergaji kayu bundar atau kayu lainnya. Pada dasarnya penetapan isi kayu
gergajian ini sangat sederhana, yaitu dengan cara mengalikan dimensi tebal, lebar dan
panjang.
Perkembangan industri penggergajian di Indonesia jauh lebih kemudian
dibandingkan dengan negara Eropa dan Amerika. Indonesia merupakan negara
pengguna, bukan negara penemu dan pengembang industri. Industri penggergajian
yang tertua diyakini berada di Jawa. Sejarah pengelolaan hutan bermula di Jawa, yang
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan penanaman dan pengelolaan hutan jati
Penggergajian pertama dengan mesin didirikan pada tahun 1926 di Madiun oleh
Belanda. Di luar Jawa, penggergajian dengan mesin baru didirikan pada tahun 1950-an,
yaitu di Tarakan dan di Sampit.
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu tentang Pola
Pembelahan yaitu :
1. Untuk mengetahui jenis pola pembelahan pada penampangan batang dari log yang ada
di penggergajian.
2. Untuk mengetahui jenis penggunaan dan ukuran yang bisa digunakan dari log kayu
yang diukur.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada tahun 1960-an ditemukan gergaji utama pembuat ceriping kayu untuk kayu-
kayu bulat kecil yang akhirnya tersebar luas di Amerika Utara dan Skandinavia. Kemudian
muncul teknologi-teknologi menggergaji yang baru, khususnya di Eropa dan Amerika,
dengan menggunakan kereta penghantar kayu bulat, gergaji pita regangan tinggi, gergaji
utama dan gergaji pelurus pinggir pembuat ceriping kayu, gergaji bundar rangkap pelurus
pinggir, mesin sortir otomatis untuk kayu gergajian, oven pengering, mesin pasah kecepatan
tinggi, mesin penumpuk, mesin bongkar dan pengepak. Mulai tahun 1973, 65 penggergajian
telah memiliki 129 alat skanning, 41 di antaranya menggunakan komputer untuk
monitoring prosesnya secara tertutup. Perbaikan – perbaikan dalam sistim terus dilakukan
(Hadikusumo, 2004).
Indonesia merupakan negara pengguna, bukan negara penemu dan pengembang
industri. Industri penggergajian yang tertua diyakini berada di Jawa. Sejarah pengelolaan
hutan bermula di Jawa, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan penanaman
dan pengelolaan hutan jati Penggergajian pertama dengan mesin didirikan pada tahun
1926 di Madiun oleh Belanda. Di luar Jawa, penggergajian dengan mesin baru didirikan
pada tahun 1950-an, yaitu di Tarakan dan di Sampit. Di Jawa penggergajian yang
“besar” didominasi oleh Perum Perhutani, karena hanya Perum Perhutani sajalah yang
memiliki bahan baku yang cukup dan areal hutan jatinya. Di luar Jawa, penggergajian
yang “besar” didominasi oleh para pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan), karena
hanya merekalah yang memiliki stok bahan baku yang cukup dan area hutan rimbanya
(Budianto, 1987).
Industri pengolahan kayu primer, baik yang memproduksi kayu lapis maupun kayu
gergajian, dan pengolahan kayu sekunder, baik yang memproduksi moulding maupun mebel,
sedang mengalami kekurangan akan ketersedian bahan baju kayu. Salah satu penyebabnya
adalah berkurangnya pasokan kayu sebagai bahan baku yang dihasilkan oleh hutan alam yang
semakin rusak, sementara kapasitas terpasang industri kayu sudah terlanjur besar. Data yang
disajikan oleh Menteri Kehutanan RI memperlihatkan hal itu, yakni kapasitas terpasang
industri berdasarkan izin usaha sebesar 64,5 juta m 3 per tahun, sebaliknya kapasitas
kemampuan pasokan kayu dari hutan alam secara lestari hanya 23,1 juta m 3 per tahun
(Suranto dan Mugiyana, 2009).
9
Di Kalimantan Selatan, pada tahun 2001 produksi kayu gergajian mencapai
2.183.154,939 m3, kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan, yaitu menjadi
357.513.046 m3. Penurunan produksi diperkirakan karena keberadaan potensi alam semakin
berkurang; dan kondisi ini akan berdampak terhadap kebutuhan balok dan papan yang
digunakan untuk bahan bangunan dan mebel bagi masyarakat. Dalam industri penggergajian
kayu dihasilkan limbah kayu yang berupa sebetan, dan limbah tersebut belum dimanfaatkan
secara maksimal (Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 2003 dalam Purwanto,
2011).
Penggergajian kayu dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
masalah pada laju pengeringan pada kayu. Hal ini disebabkan karena pola penggergajian kayu
serta posisi kayu di dalam batang pohon. Penggunaan kayu yang sesuai untuk bahan
bangunan, mebel, papan partikel, papan lamina, arang dan lain-lain memerlukan suatu
ketentuan tertentu yang berkaitan erat dengan sifat dasar kayu (Siska, 2012).
10
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM
Adapun waktu pelaksanaan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu adalah pukul 08.00
– 09.30 WITA dan tempat pelaksanaannya di Desa Meninting, Senggigi, Lombok Barat.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum yaitu :
1. Kertas Kalkir
2. Pita ukur
3. Penggaris
4. Pensil
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan yaitu log kayu jati putih.
3.3 Langkah Kerja
Langkah kerja yang digunakan dalam praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu
tentang Pola Pembelahan ini adalah sebagai berikut :
1. Diukur panjang log kayu yang telah disediakan, dalam hal ini digunakan log kayu
jenis kayu Jati Putih.
2. Diukur diameter kedua pangkal dari log kayu Jati Putih tersebut.
3. Digambar pola penampang yang terdapat pada ujung log kayu Jati Putih tersebut
diatas kertas kalkir.
4. Dibentuk pola pembelahan pada penampang batang yang telah digambar pada kertas
kalkir.Digambar berbagai jenis rendemen yang dapat terbentuk berdasarkan pola
pembelahan yang terdapat pada kertas kalkir tersebut yaitu pola pembelahan
penampang log kayu Jati Putih.
11
BAB IV. HASIL, ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
2.1 Hasil
Kayu dikenal sebagai salah satu bahan bangunan. Selain fungsinya sebagai bahan
bangunan kayu juga digunakan sebagai bahan bakar, parabot, kemasan (diolah sebagai
kertas) dan lain lain. Pada praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu mengenai Pola
Pembelahan pada log-log kayu yaitu dengan digergaji. Pada praktikum ini
memperkenalkan pola-pola pembelahan kayu yang dapat memanfaatkan kayu secara
bijak yaitu salah satunya memanfaatkan bagian-bagian kecil pada kayu untuk dijadikan
produk-produk seperti dalam pembuatan Lis dan jalusi, bingkai reng dan kaso.
Dalam praktikum pengolahan hasil hutan kayu ini kelompok 8 mendapatkan kayu
atau log kayu jenis Jati Putih. Berdasarkan perhitungan yang telah kami lakukan terhadap
13
log jati putih, untuk satu log kayu yang panjangnya 204 cm atau 2 meter 4 cm, dapat
dimanfaatkan sebanyak 15 jenis rendemen yang dapat dihasilkan yaitu jenis Lis dan
jalusi, papan, bingkai reng dan kaso dan bahkan dari log jati putih tersebut kelompok
kami dapat memanfaatkannya untuk membuat 3 buah balok dengan ukuran 8x18 cm dan
10x12 cm.
Volume log yang dihitung berdasarkan perkalian luas penampangnya terhadap
panjang log ketika dibelah menjadi beberapa lembar papan atau balok, total volume log
tersebut akan terpecah menjadi beberapa bagian dari yang terbesar adalah balok, lalu
serpihan kayu dan serbuk gergaji. Dari perhitungan kelompok kami didapatkan volume
total sebesar 89,7% berarti dari 100% volume kayu log, ada 89,7% yang menjadi kayu
gergajian. Sisanya sebesar 20,3% telah menjadi serpihan kayu dan serbuk gergaji.
Persentase ini tidaklah nilai yang mutlak karena akan bisa berubah lebih tinggi atau lebih
rendah tergantung dari berbagai faktor misalnya jenis kayu, bentuk penampang kayu dan
metode penggergajian, akan tetapi berdasarkan perhitungan yang dihasilkan ini bisa
mengurangi dihasilkannya jiwaran – jiwaran serta limbah – limbah dari proses
penggergajian kayu tersebut karena sebagian besar penempang kayu dapat dimanfaatkan
atau dapat dihasilkan berbagai macam produk atau jenis pemakaian kayu. Jadi total
rendemen yang dihasilkan oleh log kayu Jati Putih ada 15 jenis yaitu, 3 jenis balok, 3
jenis papan, 5 jenis Bingkai reng dan kaso serta 4 jenis Lis dan jalusi.
14
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun saran berdasarkan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu ini dan
untuk praktikum selanjutnya adalah diharapkan untuk praktikan untuk datang tepat
waktu sesuai dengan waktu yang telah disepakati agar praktikum tidak memakan
waktu yang lama.
15
BAB 1. PENDAHULUAN
16
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Pengeringan kayu adalah proses penurunan kadar air kayu sampai mencapai kadar air
lingkungan tertentu atau kadar air yang sesuai dengan kondisi udara dimana kayu tersebut
ditempatkan (Tsoumis, 1991).
Tiga syarat utama yang harus dipenuhi dalam mengeringkan kayu, yaitu:
1. Cukup energi panas
Energi panas digunakanuntuk memanaskan/menguapkan air dari dalam kayu, terutama pada
kayu yang kadar airnya sudah mencapai 30 %. Untuk mengeringkan kayu tersebut hingga ke
kadar air di bawah 15 % memerlukan penambahan panas.
2. Cukup kelembaban
Kelembaban ini disesuaikan dengan tingkat kadar air kayu.
3. Sirkulasi udara
Sirkulasi udara yang baik dapat menghantarkan panas secara merata mengenai seluruh
permukaan kayu dari setiap tumpukan. Makin cepat peredaran udara semakin cepat kayu
mengering dan semakin merata tingkat kekeringannya. Sirkulasi udara yang normal untuk
pengeringan adalah 2 m/detik (Basri, 2012).
Selama proses pengeringan, sirkulasi udara perlu diatur. Sirkulasi udara yang terlalu
lambat menyebabkan waktu yang dibutuhkan permukaan kayu untuk mencapai titik
keseimbangan kadar air menjadi lebih lama, selain itu memeberikan kesempatan untuk
tumbuhnya jamur. Tahap pengeringan kayi meliputi tahap proses evaporasi konstan, tahap
transisi dan tahap eksponental. Tahap eveporasi konstan adalah proses evaporasi air bebas sel
kayu yang tidak berpengaruh pada dimensi kayu. Tahap transisi adalah proses pengeluaran air
terkait dari dinding sel, yang berakibat pada perubahan dimensi kayu. Tahap eksponental
adalah tahap penyesuaian akhir kayu terhadap lingkungannya (Sucipto, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua, yaitu faktor yang berhubungan
dengan udara pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara pengering, dan kelembapan
udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang dikeringkan berupa
ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial bahan (Yustinus Suranto, Riris Trideny
Situmorang)
Pada industri penghasil komponen bangunan atau furnitur, proses pengolahan kayu
dilakukan melalui tahap-tahap: pengawetan, pengeringan, pemesinan, perangkaian dan reka
oles (finishing). Bagi industri berukuran besar, proses pengeringan pada umumnya dilakukan
17
dengan teknologi pengeringan secara konvensional (kiln drying) (Rasmussen, 1961).
Sebaliknya, bagi industri berukuran kecil dan menengah, proses pengeringan pada umumnya
dilakukan dengan teknologi pengeringan secara alami, meskipun ada pula sebagian kecil yang
menerapkan pengeringan secara radiasi matahari (solar drying) atau secara tungku (biomass-
burning-in-stove drying) (Rietz dan Page, 1971).
18
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
19
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Berat kayu
Sample kayu Sebelum Sesudah
A 1,431 0,695
B 1,224 0,583
C 1,293 0,593
20
Tabel 4.5 Berat potongan kayu oven
Kode Sample A Sample B Sample C
kayu Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
1 3,26 2,95 2,89 2,63 2,47 2,27
2 3,21 2,92 2,46 2,25 2,47 2,27
3 3,56 3,23 3,24 2,94 2,78 2,53
21
4.2.2 Kadar Air Kering Tanur
Sample 1A Sample 1B
Berat KU −berat KT Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 % Kadar air KT= x 100 %
Berat KT Berat KT
3 ,26−2 , 95 3 ,21−2 ,92
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 95 2 , 92
0 ,31 0 ,28
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2, 95 2 ,92
¿ 0,105 x 100 % ¿ 0,095 x 100 %
¿ 10 , 5 % ¿9,5%
Sample 1T
Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 %
Berat KT
3 ,56−3 , 23
¿ x 100 %
3 , 23
0 ,33
¿ x 100 %
3 ,23
¿ 0,102 x 100 %
¿ 10 , 2 %
Sample 2A Sample 2B
Berat KU −berat KT Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 % Kadar air KT= x 100 %
Berat KT Berat KT
2, 89−2 ,63 2, 46−2 , 25
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 63 2 , 25
0 ,26 0 ,21
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 ,63 2 ,25
¿ 0,098 x 100 % ¿ 0,093 x 100 %
¿9,8% ¿9,3%
Sample 2T
22
Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 %
Berat KT
3 ,24−2 , 94
¿ x 100 %
2 , 94
0,3
¿ x 100 %
2, 94
¿ 0,102 x 100 %
¿ 10 , 2 %
Sample 3A Sample 3B
Berat KU −berat KT Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 % Kadar air KT= x 100 %
Berat KT Berat KT
2, 47−2 , 27 2, 47−2 , 27
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 27 2 , 27
0 ,2 0 ,2
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2, 27 2, 27
¿ 0,088 x 100 % ¿ 0,088 x 100 %
¿8,8% ¿8,8%
Sample 3T
Berat KU −berat KT
Kadar air KT= x 100 %
Berat KT
2, 78−2 ,53
¿ x 100 %
2 , 53
0 ,25
¿ x 100 %
2 ,53
¿ 0,098 x 100 %
¿9,8%
23
1.328 ,05 1431−2 , 95
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 ,95 2 , 95
¿ 484 , 08 x 100 % 1.428 ,05
¿ x 100 %
¿ 48,408 % 2 ,95
¿ 484 , 08 x 100 %
Sample 1B
Berat basah−berat KT ¿ 48,408 %
Kadar air= x 100 %
Berat KT
Sample 1T
Berat basah−berat KT
Kadar air= x 100 %
Berat KT
1431−3 , 23
¿ x 100 %
3 , 23
1.427 ,77
¿ x 100 %
3 ,23
¿ 442 , 03 x 100 %
¿ 44,203 %
Sample 2A Sample 2B
Berat basah−berat KT Berat basah−berat KT
Kadar air= x 100 % Kadar air= x 100 %
Berat KT Berat KT
1224−2, 63 1224−2, 25
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2, 63 2, 25
1.221, 37 1.221, 75
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2, 63 2, 25
¿ 464 , 2, 29 x 100 % ¿ 543 x 100 %
¿ 46,439 % ¿ 54,300 %
Sample 2T
Berat basah−berat KT
Kadar air= x 100 %
Berat KT
1224−2, 94
¿ x 100 %
2, 94
24
1.221, 06
¿ x 100 %
2 , 94
¿ 415 ,32 x 100 %
¿ 41,532 %
Sample 3A Sample 3B
Berat basah−berat KT Berat basah−berat KT
Kadar air= x 100 % Kadar air= x 100 %
Berat KT Berat KT
1293−2 , 27 1293−2 , 27
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 27 2 , 27
1.290 ,73 1.290 ,73
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2, 27 2, 27
¿ 568 , 60 x 100 % ¿ 568 , 60 x 100 %
¿ 56,860 % ¿ 56,860 %
Sample 3T
Berat basah−berat KT
Kadar air= x 100 %
Berat KT
1293−2 , 53
¿ x 100 %
2 , 53
1.290 , 47
¿ x 100 %
2 ,53
¿ 510 , 06 x 100 %
¿ 51,006 %
4.2.4 Penyusutan
Sample L1A 2,085
¿ x 100 %
Dimensi basah−dimensi kering 2 ,25
Penyusutan= x 100 %
dimensi basah ¿ 92 , 6 %
2, 25−0,165 Sample C1A
¿ x 100 %
2 , 25 Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x
dimensi basah
25
2, 25−0 , 13 2 ,12
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 25 2, 25
¿ 94 ,2 %
Sample R1A Sample L2A
Dimensi basah−dimensi kering Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x 100 %Penyusutan= x
dimensi basah dimensi basah
2, 13−0,135 1, 9−0 , 12
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 13 1,9
1,995 1, 78
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 ,13 1,9
¿ 93 , 6 % ¿ 93 , 6 %
Sample C2A Sample R2A
Dimensi basah−dimensi kering Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x 100 %Pen yusutan=
dimensi basah dimensi basah
2, 05−0,115 1, 95−0,135
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 , 05 1 , 95
1,935 1,815
¿ x 100 % ¿ x 100 %
2 ,05 1 ,95
¿ 94 ,3 % ¿ 93 , 0 %
26
Sample R1B Sample L2B
Dimensi basah−dimensi kering Dimensi basah−dimensi kering
penyusutan= penyusutan=
x 100 % x 100 %
dimensibasah dimensibasah
1, 75−0 ,11 2, 08−0,085
¿ x 100 % ¿ x 100 %
1 ,75 2 , 08
1, 64 1,995
¿ x 100 % ¿ x 100 %
1 ,75 2 ,08
¿ 93 , 7 % ¿ 95 , 9 %
Sample C2B Sample R2B
Dimensi basah−dimensi kering Dimensi basah−dimensi kering
penyusutan= xpenyusutan=
100 % x
dimensibasah dimensibasah
1, 9−0,085 1, 95−0,055
¿ x 100 % ¿ x 100 %
1,9 1 , 95
1,815 1,895
¿ x 100 % ¿ x 100 %
1 ,9 1 ,95
¿ 95 , 5 % ¿ 97 , 1 %
2−0 , 1
¿ x 100 %
2
1, 9
¿ x 100 %
2
¿ 95 %
Sample C1C
Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x
dimensi basah
1, 7−0 , 95
¿ x 100 %
1,7
0 ,75
¿ x 100 %
1, 7
Sample L1C
¿ 44 ,1 %
Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x 100 %
dimensi basah
Sample R1C 1, 75−0 , 09
¿ x 100 %
Dimensi basah−dimensi kering 1 , 75
Penyusutan= x 100 %
dimensi basah 1, 66
¿ x 100 %
1 ,75
27
¿ 94 ,8 % 2, 05−0,105
¿ x 100 %
2 , 05
Sample L2C
1,945
Dimensi basah−dimensi kering ¿ x 100 %
Penyusutan= x 100
2 ,05%
dimensi basah
¿ 94 ,8 %
Sample C2C
Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x 100 %
dimensi basah
1, 9−0 , 13
¿ x 100 %
1,9
1, 77
¿ x 100 %
1, 9
¿ 93 , 1 %
Sample R3C
Dimensi basah−dimensi kering
Penyusutan= x 100 %
dimensi basah
1, 95−0,125
¿ x 100 %
1 , 95
1,825
¿ x 100 %
1 ,95
¿ 93 , 5 %
28
4.3 Pembahasan
Pengeringan kayu merupakan suatu sistem yang melibatkan banyak
unsur (elemen). Unsur – unsur itu dipadukan secara bersama-sama agar
proses pengeringan kayu dapat berlangsung. Secara konsepsional, unsur –
unsur itu dapat diperinci sebagaii berikut:
1. Kayu
2. Air
3. Panas
4. Media pembawa panas
5. Sirkulasi udara
6. Suhu udara
7. Kelembaban udara
8. Alat (mesin) pengering
9. Ilmu pengeringan
10. Waktu
Biomassa kayu berupa benda padat yang mempunyai sifat yang sangat
bervariasi dalam hal sifat-sifat dasar kayu.
Tujuan pengeringan dilakukan pada kayu adalah untuk:
1. Mengurangkan kandungan lembapan
2. Mengelakkan pengecutan
3. Mengelakkan kayu meleding dan pecah
4. Memudahkan kerja yang akan dilakukan pada kayu
5. Kerja mengecat akan lebih kemas
6. Kayu lebih ringan.
Pengeringan alami atau disebut juga sebagai pengeringan udara adalah
suatu sistem pengeringan kayu gergajian yang unsur – unsur pengeringan
berupa suhu udara, kelembaban udara dan sirkulasi udara yang dilibatkan
di dalam pengeringan diperoleh secara alami dari atmosfer atau lingkungan
tempat kayu tersebut dikeringkan.
Dalam praktikum pengeringan secara alami ini hal yang dilakukan
adalah melakukan perlakuan kayu pada kadar air kayu kering udara, kadar
air kering tanur, dan menghitung penyusutan yang terjadi selama proses
pengeringan.
29
Pada praktikum ini, sesuai dengan judul dari praktikum yaitu
pengeringan kayu secara alami yaitu dimaksudkan untuk memanfaatkan
semaksimal mungkin angin dan sinar yang tersedia secara gratis. Dalam
proses pengeringan ini seringkali terjadi cacat pada kayu yang dikeringkan.
Cacat pengeringan dapat menyebabkan kerugian dalam bentuk penurunan
kualitas kayu dan dapat mengurangi nilai kayu, karena adanya kehilangan
mekanisme pengukuran ukuran panjang kayu. Cacat akibat pengeringan
alami disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: karena penyusutan
kayu, infeksi penularan jamur/ fungi, reaksi kimia khusus zat ekstraktif,
dan serangga insekta (terutama rayap).
30
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan yaitu:
1. Untuk mengetahui kadar air yang terkandung dalam sortimen sebelum proses
pengeringan.
2. Untuk mengetahui kadar penyusutan yang terjadi akibat proses pengeringan.
5.2 Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanaka, saran yang dapat diberikan terkaitan
dengan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu tentang Pengawetan kayu adalah:
1. Diharapkan untuk praktikan agar meletakkan sampel sesuai dengan kelompok
sehingga pada saat pengukuran kembali dapat dengan mudah ditemukan sampelnya.
2. Diharapkan kepada praktikan untuk standby jika ada jam kosong untuk digunakan
sebagai waktu penimbangan atau pengukuran.
31
BAB I. PENDAHULUAN
32
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
33
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM
34
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Berat kayu
Kode Kayu Sebelum Sesudah
8A 0,171 0,103
8B 0,163 0,098
8C 0,182 0,102
35
BK Sesudah di Awetkan ( kg )−BK Sebelum di Awetkan (kg)
Absorbsi= 3
Volume Kayu(m )
0,102−0,182
¿
7680
−0 , 08
¿
7680
¿−1 ,04 x 10 ‾ 5 kg/m3
4.2.2 Retensi teoritis
Sample A
Retensi teoritis= Absorbsi x Konsentrasi larutan
¿−8 , 85 x 10 ‾ ⁶ x 24 kg
¿−2 ,12 x 10 ‾ ⁴
Sample B
Retensi teoritis= Absorbsi x Ko nsentrasilarutan
¿(−8 , 46 x 10 ‾ ⁶) x 24 kg
¿−2 ,03 x 10 ‾ ⁴
Sample C
Retensi Teoritis= Absorbsi x Konsentrasi larutan
¿ ¿5) x 24 kg
¿−2 ,5 x 10 ‾ ⁴
4.2.3 Retensi aktual
Sample A
BK . KU Sesudah diawetkan ( kg )−BK . KU Sebelum diawetkan(kg)
RA= 3
Volume kayu (m )
0,103−0,171
¿
7680
−0,068
¿
7680
¿−8 , 85 x 10 ‾ ⁴ kg/m3
Sample B
BK . KU Sesudah di Awetkan ( kg )−BK . KU Sebelum di Awetkan (kg)
RA= 3
Volume kayu(m )
0,098−0,163
¿
7680
36
−0,065
¿
7680
¿−8 , 46 x 10 ‾ ⁴ kg/m3
Sample C
BK . KU Sesudah di Awetkan ( kg )−BK . KU Sebelum di Awetkan (kg)
RA= 3
Volume kay u (m )
0,102−0,182
¿
7680
−0,078
¿
7680
¿−1 ,04 x 10 ‾ ⁴ kg/m3
4.3 Pembahasan
Absorbsi didefinisikan sebagai jumlah larutan bahan pengawet yang meresap ke
dalam kayu segera sesudah proses pengawetan selesai, dinyatakan dalam berat per satuan
volume kayu. Abasorbsi lazim dinyatakan dalam kg per meter kubik volume kayu.
Dengan demikian rumus absorbsi sebagai berikut:
BK Sesudah diawetkan ( kg ) −BK Sebelum diawetkan(kg)
Absorbsi= 3
Volume kayu(m )
Untuk menghitung retensi dapat dilakukan dua cara sebagai berikut. Pertama,
retensi teoritis, yang dilakukan dengan mengalikan absorbsi dengan konsentrasi larutan.
Retensi teoritis = Absorbsi x Konsentrasi Larutan
Kedua, retensi aktual atau retensi yang nyata-nyata ada dalam kayu, yaitu dengan
menghitung selisih berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan pada kadar air yang
sama.
Apabila kadar air yang sama tersebut disebut kadar air kering udara, maka rumus retensi
aktual sebagai berikut:
BK Sesudah diawetkan ( kg ) −BK Sebelum diawetkan(kg)
Absorbsi= 3
Volume kayu(m )
Absorbsi dan retensi bahan pengawet dinyatakan di dalam satuan berat maka
konsentrasi larutan bahan pengawet harus dihitung atau diukur menurut perbanding berat.
Dengan demikian, maka di dalam larutan dengan konsentrasi 1% terdapat satu gram
bahan pengawet di dalam 100 gram larutan, atau 1 kg bahan pengawet di dalam 100 kg
larutan. Karena larutan terdiri atas bahan yang dilarutkan (yaitu bahan pengawet) dan
pelarut maka di dalam larutan dengan konsentrasi 1% terdapat 1 gram bahan pengawet
37
dan 99 gram pelarut di dalam 100 gram larutan, atau 1 kg bahan pengawet dan 99 kg
pelarut di dalam 100 kg larutan. Apabila pelarutnya air, maka 9 gram air volumenya 99
cm3 atau 99 liter.
Berdasarkan data praktikum diketahui jumlah larutan bahan pengawet yang
meresap ke dalam kayu segera sesudah proses pengwetan selesai pada sampel A, B, C
berturut-turut adalah −8 , 85 x 10 ‾ ⁶, −8 , 46 x 10 ‾ ⁶, −1 , 04 x 10 ‾ 5. Jumlah larutan bahan
pengawet yang meresap ke dalam kayu segera sesudah proses pengwetan selesai
(Absorbsi) pada ketiga sampel menunjukkan bahwa sampel kayu contoh C adalah sampel
kayu yang paling banyak peresapan bahan pengawet dalam proses pengawetan.
Kemudian diikuti oleh sampel kayu contoh dan B dan A. Untuk sampel kayu contoh A,
dalam 8,85 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat 36,75 m 3 pelarut (air). Untuk sampel kayu
contoh B, dalam 8,46 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat 37,14 m3 pelarut (air). Untuk
sampel kayu contoh C, dalam 1,04 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat 44,56 m3 pelarut
(air).
Dilihat dari berat kayu sebelum dan sesudah pengawetan sampel kayu contoh B
memiliki kadar air yang lebih kecil dibandingkan dengan sampel kayu A dan C. Tetapi
berdasarkan hasil praktikum ini berat sampel kayu contoh C memiliki berat yang lebih
ringan dibandingkan dengan berat sampel kayu contoh A, padahal jika dilihat dari hasil
penimbangan sebelum pengawetan berat sampel kayu contoh C memiliki berat yang
paling besar dibandingkan dengan sampel kayu contoh A dan B. Sedangkan jumlah
bahan pengawet tanpa pelarut yang meresap dan tertinggal di dalam kayu (Retensi)
adalah berturut-turut sampel kayu contoh A, B, C ¿ 2 ,12 x 10 ‾ 4 , 2 , 03 x 10 ‾ ⁴ ,2 , 5 x 10 ‾ ⁴ .
Sedangkan jumlah bahan pengawet tanpa pelarut yang meresap dan tertinggal di dalam
kayu paling banyak terjadi pada sampel kayu contoh B, diikuti oleh sampel kayu contoh
A dan B.
Untuk jumlah bahan pengawet tanpa pelarut yang meresap dan tertinggal di dalam
kayu yang nyata-nyata ada di dalam kayu (retensi aktual) yaitu sampel kayu contoh A, B,
C secara berturut-turut = 8 , 85 x 10 ‾ 4 , 8 , 46 x 10 ‾ ⁴ ,1 , 04 x 10 ‾ ⁴ kg/m3. Untuk sampel
kayu contoh A, dalam 8,85 x 10 -4 kg bahan pengawet terdapat 36,75 m 3 pelarut (air).
Untuk sampel kayu contoh B, dalam 8,46 x 10 -4 kg bahan pengawet terdapat 37,14 m 3
pelarut (air). Untuk sampel kayu contoh C, dalam 1,04 x 10 -4 kg bahan pengawet terdapat
44,56 m3 pelarut (air), sama dengan absorbsi.
38
Untuk Retensi teoritis berturut-turut sampel kayu contoh A, B, C adalah -2,12 x 10 -
4
; -2,03 x 10-4; 2,5 x 10-4 dimana jumlah larutan bahan pengawet yang meresap ke dalam
kayu sesudah proses pengawetan dikalikan konsentrasi larutan.
39
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun hasil yang didapat berdasarkan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu
yang telah dilaksanakan yaitu:
Absorbsi : 1 , 04 x 10 ‾ ⁴ kg/m3, 8 , 46 x 10 ‾ ⁴ kg/m3, 8 , 85 x 10 ‾ ⁴ kg/m3 yaitu
sampel kayu contoh A, dalam 8,85 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat
36,75 m3 pelarut (air). Untuk sampel kayu contoh B, dalam 8,46 x 10-4
kg bahan pengawet terdapat 37,14 m3 pelarut (air). Untuk sampel kayu
contoh C, dalam 1,04 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat 44,56 m3
pelarut (air).
Retensi teoritis : Retensi teoritis berturut-turut sampel kayu contoh A, B, C adalah -
2,12 x 10-4; -2,03 x 10-4; 2,5 x 10-4 dimana jumlah larutan bahan
pengawet yang meresap ke dalam kayu sesudah proses pengawetan
dikalikan konsentrasi larutan.
Retensi Aktual : 8 , 85 x 10 ‾ ⁴ , 8 , 46 x 10 ‾ ⁴ kg/m3, 1 , 04 x 10 ‾ ⁴ kg/m3kg/m3 yaitu
sampel kayu contoh A, dalam 8,85 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat
36,75 m3 pelarut (air). Untuk sampel kayu contoh B, dalam 8,46 x 10-4
kg bahan pengawet terdapat 37,14 m3 pelarut (air). Untuk sampel kayu
contoh C, dalam 1,04 x 10-4 kg bahan pengawet terdapat 44,56 m3
pelarut (air).
5.2 Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanaka, saran yang dapat diberikan
terkaitan dengan praktikum Pengolahan Hasil Hutan Kayu tentang Pengawetan kayu
adalah:
1. Diharapkan untuk praktikan agar meletakkan sampel sesuai dengan kelompok
sehingga pada saat pengukuran kembali dapat dengan mudah ditemukan sampelnya.
2. Diharapkan kepada praktikan untuk standby jika ada jam kosong untuk digunakan
sebagai waktu penimbangan atau pengukuran.
40
BAB I PENDAHULUAN
41
2. Untuk mengetahui jumlah bahan perekat yang digunakan.
42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kayu laminasi (glued laminated wood) adalah suatu batang yang dibuat dari beberapa
lapisan kayu dengan lebar tertentu, biasanya antara 2,5-5,0 cm direkat dengan lain sehingga
semua lapisan arah seratnya sama dengan sumbu memanjang (Hansen, 1948).
Melalui Konstruksi kayu Indonesia tahun 1961 balok laminasi disebut “Konstruksi
berlapis majemuk”, yaitu konstruksi yang menggunakan papan tipis yang diletakkan satu
dengan yang lain sehingga menjadi balok uang berukuran besar. Tetapi tebal tipisnya suatu
papan disarankan 25-50 mm. Disamping itu, balok laminasi memilki cara penempatan
berdasarkan bebannya, yaitu: balok laminasi horizontal dan vertical. Sedangkan bentuk kayu
yang berdasarkan bentuk penampang melintang dibedakan menjadi balok T, balok I, balok
papan dan balok persegi panjang (Bodig dan Jayne, 1982).
Balok laminasi memilki sifat fisis dan mekanis yang dapat diketahui, yaitu: BJ (berat
jenis) dari kayu, kadar air tidak boleh lebih dari 18% dan antara papan kadar airnya paling
besar 3%, proses pengembangan atau penyusutan balok laminasi, sifat kekakuan, dan
keteguhan lentur elastic statis (MOR). Menurut Manik (1997) ada banyak faktor yang
mempengaruhi kualitas kayu lamina antara lain adalah bahan baku, persyaratan bahan baku
adalah memiliki kerapatan serat dan berat jenis yang berdekatan. Selain itu juga lem yang
digunakan harus sesuai dengan tujuan penggunaan kayu lamina. Untuk itu perlu dilakukan
pengujian terlebih dahulu yang memenuhi standar sebelum kayu lamina digunakan, terutama
apabila tujuan penggunaannya adalah untuk struktural.
Di Kalimantan Selatan, pada tahun 2001 produksi kayu gergajian mencapai
2.183.154,939 m3, kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan, yaitu menjadi
357.513.046 m3 (Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, 2003). Penurunan produksi
diperkirakan karena keberadaan potensi alam semakin berkurang; dan kondisi ini akan
berdampak terhadap kebutuhan balok dan papan yang digunakan untuk bahan bangunan dan
mebel bagi masyarakat. Dalam industri penggergajian kayu dihasilkan limbah kayu yang
berupa sebetan, dan limbah tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Oleh masyarakat
sekitar industri untuk bahan bakar keperluan rumah tangga, atau pagar rumah.
43
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM
44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1.1 Hasil perhitungan luas bidang perekat
No kayu Kode bidang Panjang (cm) Lebar (cm) Luas bidang rekat (cm2)
A 21,1 2,9 61,19
1
B 5,4 2,9 15,66
A 14 2,8 39,2
2
B 5,4 2,8 15,12
3 A 5,8 2,9 16,82
A 10,3 2,3 23,69
4
B 4,7 2,8 13,16
A 20,3 2,8 56,84
5
B 4,7 2,8 13,16
6 A 20,4 2,8 57,12
A 20,3 2,8 56,84
7
B 4,4 2,8 12,32
A 20,4 2,8 57,12
8
B 4,2 2,8 11,76
9 A 10,3 2,8 28,84
A 10,2 2,9 29,58
10
B 4,5 2,9 13,05
A 20,3 3 60,9
11
B 4,5 3 13,5
12 A 20,3 2,8 56,84
13 B 5,5 3 16,5
14 B 5,3 3 15,9
Jumlah 685,11
Kayu 2
Bidang a : Bidang b
P = 14 cm P = 5,4 cm
45
L = 2,8 cm L = 2,9 cm
A=PxL A=PxL
A = 14 x 2,8 A = 5,4 x 2,8
A = 39,2 cm2 A = 15,12 cm2
Kayu 3
Bidang a :
P = 5,8 cm
L = 2,9 cm
A=PxL
A = 5,8 x 2,9
A = 16,82 cm2
Kayu 4
Bidang a : Bidang b
P = 10,3 cm P = 4,7 cm
L = 2,3 cm L = 2,8 cm
A=PxL A=PxL
A = 10,3 x 2,3 A = 4,7 x 2,8
A = 23,69cm2 A = 13,16 cm2
Kayu 5
Bidang a : Bidang b
P = 20,3 cm P = 4,7 cm
L = 2,8 cm L = 2,8 cm
A=PxL A=PxL
A = 20,3 x 2,8 A = 4,7 x 2,8
A = 56,84 cm2 A = 13,16 cm2
Kayu 6
Bidang a :
P = 20,4 cm
L = 2,8 cm
A=PxL
A = 20,4 x 2,8
A = 57,12 cm2
Kayu 7
Bidang a : Bidang b
P = 20,3 cm P = 4,4 cm
L = 2,8 cm L = 2,8 cm
A=PxL A=PxL
A = 20,3 x 2,8 A = 4,4 x 2,8
A = 56,84 cm2 A = 12,32 cm2
Kayu 8
Bidang a : Bidang b
46
P = 20,4 cm P = 4,2 cm
L = 2,8 cm L = 2,8 cm
A=PxL A=PxL
A = 20,4 x 2,8 A = 4,2 x 2,8
A = 57,12cm2 A = 11,76 cm2
Kayu 9
Bidang a :
P = 10,3 cm
L = 2,8 cm
A=PxL
A = 10,3 x 2,8
A = 28,84 cm2
Kayu 10
Bidang a : Bidang b
P = 10,2 cm P = 4,5cm
L = 2,9 cm L = 2,9 cm
A=PxL A=PxL
A = 10,2 x 2,9 A = 4,5 x 2,9
A = 29,58 cm2 A = 13,05 cm2
Kayu 11
Bidang a : Bidang b
P = 20,3 cm P = 4,5 cm
L = 3 cm L = 3 cm
A=PxL A=PxL
A = 20,3 x 3 A = 4,5 x 3
A = 60,9 cm2 A = 13,5 cm2
Kayu 12
Bidang a :
P = 20,3 cm
L = 2,8 cm
A=PxL
A = 20,3 x 2,8
A = 56,84 cm2
Kayu 13
Bidang b
P = 5,5 cm
L = 3 cm
A=PxL
A = 5,5 x 3
A = 16,5 cm2
47
Kayu 14
• Bidang b
P = 5,3 cm
L = 3 cm
A=PxL
A = 5,3 x 3
A = 15,9 cm2
4.3 Pembahasan
Pembuatan papan laminasi membutuhkan keterampilan khusus terutamanya dalam
mengamplas sortimen papan, meratakan permukaan kayu, serta dalam merekatkannya
dengan bahan perekat. Tentu dalam merekatkan kayu ada teknik khusus yang harus
diketahui diantaranya yakni, teknik tekanan pada saat mengelem atau memberi bahan
perekat pada kayu, memeberi beban tekanan supaya tidak bergerak dan
menyenderkannya pada bidang permukaan yang datar. Pada praktikum ini sebelum
membuat papan laminasi, terlebih dahulu dihaluskan kayu untuk dilakukan pengeleman.
Pengeleman yang dilakukan pada praktikum ini yaitu dengan perekat sintetis yaitu lem
PVAC. Sebelum proses pengeleman dilakukan terlebih dahulu menghaluskan kayu yang
akan digunakan pada saat pengeleman pada bagian kayu serta permukaan kayu yang akan
diolesi dengan lem. Perlakuaan atau pengeleman ini difungsikan sebagai pencegah
48
terjadinya koleps pada bidang permukaan kayu. Perataan atau penghalusan ini
difungsikan sebagai pengurangan penggunaan bahan perekat.
Dalam proses pengeleman jumlah bahan perekat yang digunakan sebanyak
16,44264 gram, yang didapatkan dari perhitungan luas bidang rekat yaitu pada 22 bidang
yang diukur. Digunakan dalam pencarian luas bidang rekat dihitung panjang dikalikan
dengan lebar kayu. Tidak semua ujung dari sortimen yang dilakukan pengeleman.
Berdasarkan praktikum dari 14 bauh sortimen yang digunakan dalampembuatan
papan laminasi diketahui bahwa perekatan hanya dilakukan antara 22 bagian bidang yang
akan disambung. Perekatan yang pertama yakni dalam merekatkannya dibuat paraler
terlebih dahulu dengan cara ditekan pada bidang datar dan juga diletakkan pada
permukaan yang rata. Selanjutnya setelah diberi bahan perekat pada bidang paralel maka
diberikan perekat pada bidang radial atau ujung yang kemudian disusun secara zig-zag.
Menurut manik (1997), keunggulan teknologi laminasi adalah sebagai berikut:
1. Pengadaan material di pasaran mudah karena ketebalan papan pelapis yang digunakan
maksimum 2 cm, panjang pelapis tidak dibatasi.
2. Penggunaan material kayu lebih efisien, penyedian kayu akan lebih cepat dan murah
karena potongan kayu yang tipis (sampai 5 mm), pendek, serta ada cacatnya masih
bisa digunakan untuk membuat kontruksi.
3. Sedikit menggunakan bahan pengikat mekanis dengan dimensi lebih kecil dan bersifat
hanya menyatukan permukaaan bidang leman.
4. Mudah dilakukan pemerikasaan cacat kerena dimensi bahan baku penyusun laminasi
lebih kecil dan tipis. Mudah dalam pemilihan bahan penyusun laminasi yang baik
tanpa cacat.
5. Kekedapan dapat terjamin, kontruksi rigit atau kaku, perubahan dimensi kayu dapat
teratasi dengan peraturan arah serat kayu yang efektif.
6. Perlindungan yang berganda dapat dilaksanakan, kayu yang kering dan dijenuhkan
(kayu oven) akan lebih tahan terhadap kerusakan, dan sifat lapisan lem yang
diciptakan khusus juga merupakan perlindungan terhadap kerusakan pula.
Namun Nurleni (1993) cit Wirjomartono (1958) menyatakan bahwa balok
laminasi mempunyai beberapa kekurangan:
1. Persiapan pembuatan kayu berlapis mejemuk umunya memerliukan biaya yang lebih
besardari kontruksi biasa.
49
2. Karena baik buruknya bergantung kepada kekuatan sambungannya, maka
pembuatannya memerlukan alat-alat khusus dan orang-orang ahli.
3. Kesukaran – kesukaran pengangkutan untuk yang besar seperti perlengkapan dan orang
– orang ahli.
Kesukaran – kesukaran pengangkutan untuk yang besar seperti perlengkungan dan
sebagainya.
50
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dihasilkan berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan
adalah sebagi berikut :
1. Cara pembuatan papan laminasi yaitu sebelum membuat papan laminasi, terlebih
dahulu dihaluskan kayu untuk dilakukan pengeleman. Sebelum proses pengeleman
dilakukan terlebih dahulu menghaluskan kayu yang akan digunakan pada saat
pengeleman pada bagian kayu serta permukaan kayu yang akan diolesi dengan lem.
dilakukan dengan mempersiapkan bahan baku papan (sortimen kayu) dan bahan
perekat (Lem PVAC), sortimen kayu dihaluskan terlebih dahulu bagian ujung dan
permukaan, kemudian diberikan lem pada bagian yang akan direkatkan. Selanjutnya
setelah pemberian lem papan yang telah direkatkan ditekan dengan benda yang
permukaannya rata. Ditunggu beberapa hari kemudian sampai lemnya merekat dengan
kuat.
2. Pengeleman yang dilakukan pada praktikum ini dengan perekat sintetis yaitu lem
PVAC. Jumlah bahan perekat yang digunakan dalam merekatkatkan kayulaminan
berdasarkan hasil perhitungan luas permukaan bidang rekat sebanyak 16,44264 gram.
5.2 Saran
Adapun saran dari praktikum sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat kekuatan dari pemberian lem papan
laminasi.
2. Adanya penggunaan perekat jenis atau bahan lain untuk mengetahui serta
membandingkan kekuatannya atau sifat mekanisnya.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S. dan Djarwanto. 2000. Pengawetan Kayu Rendaman. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian: Sesuatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Basri, Efrida. 2012. Modul Bimbingan Teknis pengeringan Kayu. UPT Pusat Perkayuan
Dinas Kelauatan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta.
Bodig, J. and B. A. Jayne. 1982. Mechanics of and Wood Composites. VNR Company INC.
New York.
Brown, H. P., A.J. Panshin and C.C. Forsaith. 1952. Text Book of Wood Technology, volume
II. Mc Graw Hill Company, Inc. New York.
Budianto, Dodong A., 1987. Teknik Dasar Pemilihan Mesin Dan Perlengkapan Industri
Kayu, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Indonesia.
Budianto, A. Dodong. 1996. Sistem Pengeringan Kayu. Kansius. Semarang.
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 2003
Djoko Purwanto, 2011, Pembuatan Balok Dan Papan Dari Limbah Industri Kayu (Board And
Wood Block Making From Waste Of Wood Industries), Jurnal Riset Industri Vol. V,
No. 1, Hal. 13-20
Greenomics Indonesia, 2004, Industri Pengolahan Kayu: Evolusi Terhadap Mekanisme
Perizinan, Kewenangan dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu, Kertas Kerja
No.8, Hal. 3.
Hadikusumo, Sutjipto A, 2004, Penggergajian kayu (Bahan Ajar), Fakultas kehutanan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hansen, H. J. 1948. Timber Engineers Handbook. John Wiley and Sons, INC. New York.
Manik, P. 1997. Teknologi Pembuatan Papn Kayu Laminasi Fakultas Teknik. UNDIP.
Nurleni, L. 1994. Produktifitas Pembuatan Papan Sambung di PT Albasi Parahyangan
Banjar – Ciamis [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun (Eds.) 1999. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Suranto, Yustinus dan Mugiyana, 2009, Pengaruh Metode Pengeringan Dan Jenis Sortimen
Kayu Suren Terhadap Kecepatan dan Cacat Pengeringan, Jurnal Ilmu Kehutanan,
Volume III, No.1, Hal. 57-58.
Siska, Grace, 2012, Pemanfaatan Kayu Pupu Pelanduk (Neoscortechinia Kingii) Famili
Euphorbiaceae Sebagai Bahan Baku Kayu Pertukangan Pada Arah Aksial Dan
52
Radial Batang (Wood Utilization Pupu Pelanduk (Neoscortechinia kingii) Family
Euphorbiaceae as Wood Carpentry of Raw Materials In The Direction Of Axial And
Radial Stem), ISSN 1412-1468, Volume 33, Nomor 1, Halaman 61-66.
Tim Fakultas Teknik, 2004, Operasi Mesin Kerja Kayu Secara Umum, Bagian Proyek
Pengembangan Kurikulum Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional,
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Tsoumis, G. 1991. Sciense and Technology of Wood; Structure, properties, utilization. Van
Nostrand reinhold. New York.
Yustinus, Suranto dan Mugiyana. 2009. Pengaruh Metode Pengeringan Dan Jenis Sortimen
Kayu Suren Terhadap Kecepatan dan Cacat Pengeringan, Jurnal Ilmu Kehutanan,
Volume III, No.1, Hal. 57-58.
53