Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

“STOMATITIS AFTOSA REKUREN DAN ORAL CANDIDIASIS


PADA PASIEN SUSPECT HIV”

Disusun Oleh :
drg. Ana Maliah

Dokter Pendamping:
drg. Dian Ekawati
NIP. 197912132006042017

PROGRAM INTERNSIP DOKTER GIGI INDONESIA


RSUD SITI AISYAH
KOTA LUBUKLINGGAU
PERIODE AGUSTUS – FEBRUARI 2024
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 2
1. Latar Belakang......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5
1. Human immunodeficiency virus (HIV) ..................................................................... 5
2. Oral Candidiasis .................................................................................................... 10
2. Stomatitis Aftosa Rekuren ..................................................................................... 11
BAB III PENATALAKSANAAN KASUS .............................................................. 18
Kasus .................................................................................................................. 18
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................... 21
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 28
Kesimpulan ............................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 29

1
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus asam ribonukleat (RNA)

beruntai tunggal yang menyebabkan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

Infeksi ini masih menjadi masalah kesehatan global yang utama. Pada tahun 2016 terdapat

sekitar 37 juta orang yang hidup dengan HIV di seluruh dunia. Virus ini paling sering

ditularkan melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun laki-laki ke laki-laki)

atau penggunaan alat suntik bersama di antara pengguna narkoba suntikan. Cara penularan

lain yang dapat terjadi adalah dari ibu ke bayi selama kehamilan, kelahiran, menyusui,

paparan pekerjaan terhadap jarum atau benda tajam yang terkontaminasi, darah,

transplantasi organ atau jaringan yang terkontaminasi. 1

Virus ini terutama menargetkan limfosit T CD4+, meskipun sel CD4+ lainnya

(misalnya sel dendritik dan makrofag) juga dapat terinfeksi. Pada tahap awal infeksi, terjadi

ledakan viremia akut, disertai penyebaran dan pembentukan reservoir virus limfoid.

Selanjutnya, terjadi infeksi kronis (laten), dengan tingkat replikasi virus yang rendah. Pada

pasien yang tidak diobati, latensi dapat berlangsung bertahun-tahun sebelum berkembang

menjadi AIDS. Seorang pasien yang terinfeksi HIV didiagnosis menderita AIDS (penyakit

stadium 3) jika jumlah limfosit T CD4+ turun di bawah ambang batas tertentu (<200

sel/mm untuk pasien berusia ≥6 tahun) atau jika terdapat penyakit oportunistik terdefinisi

AIDS. Imunosupresi membuat pasien rentan terhadap infeksi oportunistik dan tumor. 1

2
Recurrent aphthous stomatitis (RAS) adalah kelainan yang ditandai dengan ulkus

berulang yang terbatas pada mukosa mulut pasien. 2 Recurrent aphthous stomatitis (RAS)

cenderung lebih parah pada pasien terinfeksi HIV dibandingkan pada orang sehat. Dalam

konteks infeksi HIV, ulser dapat kambuh dengan frekuensi yang semakin meningkat,

mencapai ukuran yang relatif besar, dan menunjukkan perjalanan penyakit yang kronis.

Selain itu, lesinya bisa sangat nyeri sehingga menyulitkan pasien untuk makan dan minum.

Meskipun ketiga subtipe klinis utama (minor, mayor, herpetiform) dari aphthae dapat

dilihat, hingga dua pertiga pasien yang terkena dampak menunjukkan varian herpetiform

dan mayor. Secara khusus, beberapa peneliti telah mencatat bahwa aphthae mayor

cenderung berkembang pada pasien AIDS dengan jumlah CD4+ T-limfosit yang sangat

rendah (seringkali <100 sel/mm ) dan viral load yang tinggi.1

Candidiasis adalah manifestasi oral yang paling umum dari infeksi HIV. Dalam

beberapa kasus, oral candidiasis merupakan tanda yang mengarah pada diagnosis awal

infeksi HIV. Selain itu, perkembangan oral candidiasis dapat menjadi pertanda

perkembangan AIDS. Berbagai pola klinis oral candidiasis (misalnya pseudomembran,

eritematosa, hiperplastik, angular cheilitis ) dapat terlihat pada infeksi HIV. Pasien dapat

mengalami nyeri, rasa terbakar, dan dysgeusia, yang dapat menyebabkan berkurangnya

asupan makanan yang menyebabkan malnutrisi. 1 Karakteristik infeksi oral

menggambarkan manifestasi paling awal dari infeksi HIV, dan hal ini dapat menjadi

prognosis yang signfikan dalam perkembangan AIDS. 3 Human immunodeficiency virus

(HIV) merupakan infeksi yang sangat menular dan dokter gigi harus mengambil tindakan

pencegahan yang memadai untuk melindungi dirinya dari infeksi serta mencegah

penyebaran infeksi tersebut kepada pasien lain yang mengunjungi kliniknya. 2 Tujuan dari

3
laporan kasus ini adalah untuk melaporkan kasus pasien dengan suspect HIV dengan

manifestasi oral berupa Recurrent aphthous stomatitis (RAS) dan oral candidiasis yang

datang ke poli gigi RSUD Siti Aisyah serta pemeriksan dan penanganan yang dilakukan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Human immunodeficiency virus (HIV)

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam

kelompok lentivirus. Retrovirus dapat memanfaatkan RNA dan DNA inangnya untuk

membuat DNA virus dan terkenal karena tahap perkembangbiakannya yang memanjang.4

Human immunodeficiency virus (HIV) terdiri dari 2 RNA virus utama (HIV-1 dan HIV-

2) yang cenderung memberikan gambaran klinis yang sama. 5 Ketika seseorang dengan

HIV tidak mencari pengobatan, maka HIV biasanya berkembang melalui tiga fase, yaitu:5

1. Infeksi Akut (Stadium 1)

Setelah paparan dan masuknya HIV ke dalam jaringan tubuh, terjadi window period

6 hingga 9 minggu sebelum darah pasien menjadi positif HIV. Pada bagian akhir window

period, tes serum pasien positif terhadap antibodi HIV. HIV mencapai tingkat yang tinggi

dalam darah segera setelah konversi tetapi segera turun ke tingkat yang rendah hingga

penyakit mencapai tahap akhir. Pasien sangat menular selama periode 60 hari pertama ini.

Menggunakan tes PCR, para peneliti menunjukkan bahwa tingkat replikasi HIV yang

tinggi terjadi di kelenjar getah bening dan jaringan limfoid lain seperti adenoid dan tonsil.

Hal ini mewakili frekuensi lima kali lipat hingga sepuluh kali lipat lebih besarnya sel yang

terinfeksi di jaringan limfoid dibandingkan di darah yang terinfeksi. Jelasnya, kelenjar

getah bening berfungsi sebagai reservoir utama virus menular. 3 Tanda dan indikasi kondisi

5
retroviral yang parah termasuk demam,mialgia, migrain, mual, keringat malam, penurunan

berat badan, dan ruam. Gejala ini biasanya terjadi dua bulan setelah penyakit, mereda

setelah beberapa hari, dan sering salah didiagnosis sebagai flu atau mononukleosis akut. 4

2. Infeksi klinis asimptomatik atau infeksi kronis ( Stadium 2)

Meskipun pasien yang terinfeksi HIV umumnya memiliki masa "tidak aktif secara

klinis" sehubungan dengan penyakit HIV serta indikasi AIDS yang tidak dapat disangkal,

bukti replikasi HIV dan hilangnya sistem kekebalan tubuh sudah ada sejak awal infeksi.

Sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang mencoba melindungi diri dari HIV.

Ini adalah titik di mana "titik setel virus" diatur. Tumpukan virus tersebut dapat

dimanfaatkan untuk mengantisipasi seberapa cepat pergerakan infeksi akan terjadi.

Seseorang dengan fokus kumpulan viral load yang lebih tinggi sering kali menunjukkan

perpindahan penyakit yang lebih cepat dibandingkan mereka yang fokus kumpulan viral

load lebih rendah. Pada orang dewasa yang terinfeksi HIV, tahap ini mungkin berlangsung

selama 8-10 tahun. Orang yang terinfeksi HIV mungkin tampak sehat selama bertahun-

tahun, dan kemudian tanda-tanda kecil dan efek samping penyakit HIV mulai muncul. Hal

ini dapat memicu terjadinya candidiasis dan limfadenopati tanpa henti. 4

3. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)(Stadium 3)

Pasien yang terinfeksi HIV dengan sistem kekebalan yang lemah dapat mendorong

infeksi berbahaya. Tuberkulosis aspirasi dan kelenjar getah bening, sianosis, malaise terus-

menerus (lebih dari satu bulan), candidiasis persisten, pneumonia bakterial intermiten, dan

penyakit berbahaya lainnya. Viral load terus meningkat, dan jumlah CD4+ turun menjadi di

6
bawah 200-349 sel/μL. Pasien dengan penyakit HIV akut, atau AIDS, dapat terus

mengembangkan infeksi baru, misalnya Pneumocystis jirovecii pneumonia), (sebelumnya

Pneumocystis carinii pneumonia), penyakit cytomegalovirus, toksoplasmosis,

Mycobacterium avium complex, meningitis kriptokokus, leukoensefalopati multifokal

sedang,kaposi sarkoma, dan penyakit lain.

Gambar 1. Stadium infeksi HIV4

Karakteristik infeksi mulut mewakili beberapa manifestasi awal infeksi HIV, dan

beberapa di antaranya mungkin mempunyai arti prognostik dalam perkembangan AIDS. Nilai

prediksi lesi yang menunjukkan penekanan yang parah, peringkat tertinggi adalah ulkus

aphthous mayor, periodontitis nekrotik (ulseratif), kaposi sarkoma, infeksi herpes simpleks

yang sudah berlangsung lama, hairy leukoplakia, dan xerostomia. Oral candidiasis dan hairy

leukoplakia merupakan lesi yang paling umum dan merupakan prognostikator terbaik terhadap

perkembangan AIDS.3

7
Terdapat dua tes yang saat ini digunakan secara luas yaitu EIA, kadang-kadang disebut

sebagai ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), dan tes Western blot. Jika tes EIA

positif, tes Western blot konfirmasi akan dilakukan. Western blot mengidentifikasi antibodi

terhadap protein dan glikoprotein HIV, dan tes positif memberikan bukti adanya paparan HIV

sebelumnya. Hasil dari pengujian dua bagian ini lebih dari 99% akurat. Hasil tes yang negatif

menunjukkan bahwa belum pernah terjadi paparan sebelumnya atau antibodi belum mempunyai

waktu yang cukup untuk berkembang. Tes polymerase chain reaction (PCR) adalah prosedur

penelitian yang mengidentifikasi HIV secara positif dengan menggunakan suatu teknik atau

menyalin materi genetik yang terdapat pada inti dalam virus. PCR memerlukan peralatan dan

teknik laboratorium yang sangat canggih serta bahan sampel yang dirawat dengan cermat. 3

Tabel 1. Klasifikasi lesi oral yang berhubungan dengan infeksi HIV.3

Infeksi HIV merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang

menyebabkan penderitanya harus terus menerus menjalani pengobatan seumur hidupnya.

8
Namun bila terdeteksi pada tahap awal dapat membantu dalam mengurangi infeksi di

dalam tubuh dengan memberikan terapi antiretroviral yang tepat. 4 Terapi obat antiretroviral

menurunkan titik setel virus, menyebabkan peningkatan limfosit T CD4+, meningkatkan

fungsi kekebalan tubuh dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi oportunistik. Pasien

HIV-positif yang bergejala harus diobati dengan obat antiretroviral tanpa memandang

jumlah sel T CD4+ atau viral load mereka. Pasien tanpa gejala dengan sel T CD4+ <

200/mL juga harus memulai pengobatan. Umumnya direkomendasikan agar pasien tanpa

gejala dengan sel T CD4+ >350/mL dan viral load 100.000 kopi/mL menunda terapi karena

kesiapan pasien, kemungkinan kepatuhan, serta efek samping dan interaksi obat. Namun,

mereka yang mempunyai viral load lebih dari 100.000 mL harus mempertimbangkan

untuk memulai terapi antiretroviral. Penyembuhan infeksi HIV memerlukan terapi

antiretroviral yang dapat menembus semua sel tempat virus bereplikasi, kepatuhan pasien

terhadap rejimen obat sampai semua sel yang terinfeksi hancur, dan morbiditas yang

minimal akibat toksisitas obat dan komplikasi. Terapi yang ada saat ini mungkin dapat

mencapai dan mempertahankan viral load pada nilai setidaknya 0,5 log10 salinan per mm

di bawah nilai awal.7

Obat pertama yang efektif melawan HIV adalah azidovudine (AZT), sebuah

nucleoside reverse transkriptase inhibitor (NRTI), yang dilisensikan pada tahun 1987. AZT

juga dikaitkan dengan peningkatan hiperpigmentasi melanin pada lidah dan mukosa mulut.

NRTI lainnya tercantum pada Tabel 2. Fase terapi obat selanjutnya berfokus pada titik-titik

tertentu dalam siklus replikasi virus. Inhibitor protease mendapat lisensi pada tahun 1995.

Terapi kombinasi terbukti menjanjikan, dan dikenal sebagai terapi antiretroviral yang

sangat aktif (HAART). Pada tahun 2003, FDA menyetujui penggunaan enfuvirtide, yang

9
menghambat fusi selubung virus ke membran sel. Strategi terapeutik berpusat pada

hubungan antara titik setel virus tertentu pada individu tanpa gejala yang tidak diobati dan

prognosisnya terhadap perkembangan penyakit. 7

Tabel 2. Terapi obat antiretroviral untuk pasien infeksi HIV. 7

Candidiasis merupakan infeksi jamur oral oportunistik yang paling umum terjadi pada

orang HIV-positif. Berdasarkan kultur, organisme Candida lebih sering ditemukan di rongga

mulut pada pasien HIV dibandingkan pasien normal: 75% hingga 93,4% : 57,4% hingga 68%.

Rata-rata, orang yang terinfeksi HIV memiliki kandungan candida oral yang lebih tinggi juga.

Sekitar 52% orang yang terinfeksi HIV memiliki lesi candida pada tahap awal infeksi.

Mayoritas lesi disebabkan oleh Candida albicans tetapi spesies kandida lainnya juga dapat

semakin meningkat, akibat adanya peningkatan paparan terhadap agen anti jamur dan

berkembangnya strain yang resisten. Terdapat lima tipe klinis candidiasis (pseudomembran,

atrofik, hiper plastik, mucocutaneous, median rhomboid glossitis) yang bisa terjadi pada orang

10
yang terinfeksi HIV. Tidak ada bentuk klinis candidiasis yang tampaknya merupakan prognosis

yang lebih serius terhadap perkembangan AIDS dibandingkan bentuk klinis lainnya. 3

Pengobatan oral candidiasis HIV menimbulkan kekhawatiran khusus karena infeksi

jamur ini sering kambuh, bisa menjadi infeksi sistemik yang mendalam, atau lesi bisa berlanjut

ketika AIDS terjadi. Nistatin tablet dapat digunakan untuk lesi oral candidiasis pada tahap awal

infeksi HIV dan, ketika kasus menjadi tidak responsif, dapat beralih ke imidazol (clotrimazole

[Mycelex]) kemudian ke tablet parenteral imidazol (ketoconazole [Nizoral] bila perlu,

gabungkan penggunaan tablet parenteral oral. Triazol dan poliena (nistatin, amfoterisin B)

bersama-sama mungkin tidak efektif karena triazol menyebabkan perubahan pada membran

jamur, yang mengganggu pengikatan poliena. Itraconazole, triazol antijamur yang lebih baru,

dapat dimasukkan ke dalam rejimen ketika ditemukan resistensi. 3

Flukonazol (Diflucan), tablet parenteral atau pemberian IV, kemudian dapat

digunakan bila lesi tidak merespons obat ini. Ketika lesi gagal merespons terhadap flukonazol,

amfoterisin B dapat digunakan secara intravena untuk kasus yang sulit disembuhkan. Dokter

harus mempertimbangkan efek toksik obat yang sangat signifikan terhadap keseriusan infeksi

candida sistemik lanjut. Gentian violet yang dioleskan pada lesi dan obat kumur klorheksidin

dapat efektif sebagai profilaksis dan juga sebagai pengobatan tambahan yang berguna. Kultur

jamur dan tes sensitivitas dengan antijamur gram sangat membantu dalam mengidentifikasi

Candida dan kerentanan mikroba.3

11
(a) (b)

Gambar 2.(a) Candidiasis pseudomembran pada lateral lidah. 1 2(b) Candidiasis pseudomembran
pada dorsal dan lateral lidah pada kasus.

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) adalah kelainan ulseratif rongga mulut yang

paling sering terjadi, menyerang 10-20% populasi umum. Lesi RAS biasanya muncul sebagai

ulkus dangkal berbentuk bulat atau oval pada mukosa non-keratin, dengan pseudomembran

fibrin berwarna kuning keabu-abuan dan lingkaran eritematosa yang khas. RAS dapat muncul

dalam empat bentuk utama berdasarkan gambaran klinisnya (minor, mayor, herpetiform, dan

berat), dan penatalaksanaannya bergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan lesi. Ulser

pada mulut terjadi akibat hilangnya seluruh epitel sehingga memperlihatkan jaringan ikat di

bawahnya. Bila kehilangan hanya terbatas pada lapisan epitel, maka istilah erosi lebih disukai,

meskipun perbedaan tersebut mungkin sulit dilakukan hanya berdasarkan pemeriksaan klinis

saja.5

Etiologi RAS bersifat multifaktorial dan belum dipahami dengan baik. Teori di masa

lalu mengaitkan RAS dengan beberapa infeksi bakteri dan virus, seperti virus varicella zoster

(VZV), cytomegalovirus (CMV), dan human herpes virus (HHV) 6 dan 7. Faktor risiko dan

pemicu umum yang terkait dengan RAS mencakup faktor lokal (misalnya merokok dan

trauma), kelainan hematologi atau imunologi, dan genetika. 5

12
Seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah penelitian epidemiologi (Axéll 1976; Carrard

dkk. 2011; GarcíaPola Vallejo dkk. 2002; Pentenero dkk. 2008; Shulman dkk. 2004), ulserasi

merupakan lesi paling umum yang menyerang mukosa mulut. Hal ini dapat disebabkan oleh

fakta bahwa penyakit mulut yang paling umum tidak hanya muncul dalam bentuk lesi ulseratif,

tetapi juga ulkus dapat menjadi manifestasi dari sejumlah besar kondisi lokal dan sistemik,

termasuk infeksi virus, bakteri, parasit, dan jamur. , penyakit yang diperantarai kekebalan

tubuh, neoplasma, kelainan hematologi, trauma (mekanik, kimia, termal), dan reaksi obat. 5

Tabel. 2 Penyebab oral ulser (Modified from Scully and Felix 2005)5

Tabel. 3 Jenis-jenis recurrent aphthous stomatitis.5

Penatalaksanaan klinis mencakup inisiasi atau optimalisasi terapi antiretroviral

gabungan. Nyeri dapat diatasi dengan anestesi topikal, bahan pelapis, dan analgesik

13
sistemik. Selain itu, tergantung pada tingkat keparahan aphthae, kortikosteroid topikal

(misalnya larutan deksametason, gel fluocinonide, gel clobetasol, gel betametason

augmented), suntikan kortikosteroid intralesi, dan/atau obat sistemik (misalnya

kortikosteroid, dapson, thalidomide) dapat diberikan. . Namun, agen imunosupresif dan

imunomodulator harus digunakan dengan hati-hati karena risiko memperburuk status

kekebalan, meningkatkan viral load, dan efek samping yang merugikan.1

(a) (b)

Gambar 3.(a) Recurrent aphthous stomatitis pada mukosa labial.6 (b) Recurrent aphthous stomatitis
pada mukosa labial pada kasus.

14
Tabel 4. Anastesi topical dan agen imunosupresif yang digunakan saat tata laksana SAR. 5

15
Diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan untuk Recurrent aphthous stomatitis adalah Ulkus traumatikus

Diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan untuk candidiasis oral (thrush) adalah leukoplakia

Tabel 5. Differential Diagnosis


Lesi Tipe Lesi Etiologi Predisposisi Histopatologi Lokasi Tampilan Klinis Perawatan
DD/ Loss of Trauma Protesa, alat Kehilangan Area dekat Ulser dilapisi eksudat Eliminasi
integrity mekanis ortodontik, permukaan epitel dengan fibrin putih kekuningan trauma,
(ulser) kebiasaan buruk, (diganti jaringan faktor dikelilingi halo eritema, kortikosteroid
gigi fibrin yang trauma. nyeri. topical (bila
crowding/tajam mengandung sakit)
neutrofil).

Ulkus traumatikus
Loss of Tidak Stress, menstruasi, Kehikangan Mukosa SAR Mayor: Ulser putih Vitamin B12
integrity diketahui defisiensi nutrisi, permukaan epitel bukal, keabuan >1cm, crater like, (bila
(ulser) defisiensi mukosa sakit, mungkin didahului defisiensi),
hematologik (zat labial, lateral gejala prodromal sistemik, kortikosteroid
besi, asam folat,
vitamin B12),
dan ventral healing 6 minggu (scar). topikal (bila
kelainan imun, lidah akut),
genetik. SAR Minor: Ulset putih emolien(bila
kekuningan <1cm, oval ringan).
dangkal, agak sakit, tidak
Stomatitis aftosa ada gejala prodromal,
rekuren (SAR) healing 10-14 hari (no
scar).

SAR Herpetiform: Ulser


<5mm, oval, jumlah
sangat banyak, healing 1-2
minggu (no scar).

16
White Candida Antibiotik, obat Hiperkeratosis, Mukosa Plak putih. Bila Terapi
mucosal albicans imunosupresif, respon inflamasi, bukal, dikerok→akan hilang antifungi
lesion penyakit ulserasi (tertutup palatum, seluruhnya, sakit dan
(surface penyebab imun eksudat fibrin) dorsum lidah kemerahan
material) turun

Oral candidiasis tipe


pseudomembranosa
(thrush)

DD/ White Tidak Berhubungan Hiperkeratosis Dasar mulut, Plak putih tebal multiple Hilangkan
mucosal ketahui dengan mungkin disertai lateral dan dengan permukaan seperti faktor
lesion tembakau akantosis dan ventral lidah, papilla yang menonjol. predisposisi
(penebalan (rokok/non displasia sel epitel. bibir , → bila lesi
epitel) rokok), alkohol, palatum, tidak
trauma mukosa membaik (10-
bukal, 14
estibulum, hari)→biopsi
Leukoplakia tipe retromolar →bila hasil
proliverative biopsy
verrucous leukoplakia mengacu pada
leukoplakia→
bedah eksisi

17
BAB III

PENATALAKSANAAN KASUS

KASUS 1
DATA PRIBADI PASIEN
Nama pasien : Periyanto Bin Ismail
Jenis kelamin : pria wanita
Status perkawinan : kawin belum kawin janda/duda
Alamat tetap : Dusun Mangan Jaya, Muara Kelingi, Musi Rawas
Alamat termudah dihubungi : Dusun Mangan Jaya, Muara Kelingi, Musi Rawas
Pekerjaan : Karyawan swasta
Riwayat Penyakit/Kelainan Sistemik:

Penyakit/kelainan sistemik Ada Disangkal

Penyakit lainnya: Suspect HIV √

STATUS UMUM PASIEN


Rujukan : Puskesmas Simpang Periuk

ANAMNESIS :
Keluhan Utama :

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun datang ke poli gigi RSUD Siti Aisyah

dengan keluhan terdapat sariawan pada permukaan lidah dan pada permukaan bibir bagian

dalam sejak ± 1,5 bulan lalu. Sariawan tersebut hilang timbul sejak ± 10 tahun lalu. Pasien

merasa sakit menusuk pada bagian yang terkena sariawan. Rasa sakit makin bertambah

parah saat makan pedas dan panas. Pasien juga mengeluhkan permukaan lidahnya yang

tampak putih dan kotor. Pasien pernah mengkonsumsi obat antibiotik untuk mengatasi

18
keluhannya. Pasien memiliki riwayat penyakit infeksi pada kemaluannya tetapi sudah

sembuh sejak ± 2 bulan lalu.

Keluhan Tambahan : -
Kebiasaan Buruk :-

PEMERIKSAAN EKSTRA ORAL

KEADAAN UMUM INTRA ORAL

Subjektif : Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun datang ke poli gigi RSUD

Siti Aisyah dengan keluhan terdapat sariawan pada permukaan lidah

dan pada permukaan bibir bagian dalam sejak ± 1,5 bulan lalu.

Sariawan tersebut hilang timbul sejak ± 10 tahun lalu. Pasien merasa

sakit menusuk pada bagian yang terkena sariawan. Rasa sakit makin

bertambah parah saat makan pedas dan panas. Pasien juga

mengeluhkan permukaan lidahnya yang tampak putih. Pasien pernah

mengkonsumsi obat antibiotik untuk mengatasi keluhannya. Pasien

memiliki riwayat penyakit infeksi pada kemaluannya tetapi sudah

sembuh sejak ± 2 bulan lalu.

Objektif :

 Terdapat lesi ulser pada lateral lidah, dorsal lidah, serta mukosa

labial, berbentuk oval, single, berukuran diameter ± 0,2 cm,

berwarna putih kekuningan dengan tepi kemerahan.

 Terdapat lesi plak putih pada permukaan dorsal lidah, berbatas

tidak jelas, dapat dikerok dan meninggalkan bekas kemerahan.

19
Assesment :

 Suspect Stomatitis aftosa rekuren (SAR)

 Suspect Oral candidiasis tipe pseudomembranosa (thrush)

Plan :

 Pre-medikasi:

R/ Cream Triamcinolone acetonide 0,1%


Tube 5 gr No. I
S 3 dd applic part dol

 Konsultasi ke bagian penyakit dalam

Gambar 4. Stomatitis aftosa rekuren (SAR) pada dorsal lidah dan mukosa labial (lingkaran biru)
dan oral candidiasis (lingkaran kuning).

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki berusia 38 tahun di poli gigi RSUD Siti Aisyah

mengeluhkan sariawan di permukaan lidah dan pada bibir bagian dalam yang sakit

menusuk terutama saat mengkonsumsi makanan yang pedas dan panas dan sering kambuh

sejak ± 1,5 bulan lalu serta permukaan lidahnya yang tampak putih. Keluhan tersebut

sudah berlangsung selama ± 10 tahun lalu. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit

infeksi pada kemaluannya tetapi sudah sembuh sejak ± 2 bulan lalu. Dari hasil anamnesa

dan temuan klinis pada rongga mulut pasien dicurigai lesi oral muncul disebabkan karena

adanya infeksi HIV sehingga pasien kemudian dirujuk ke poli bagian penyakit dalam

RSUD Siti Aisyah untuk tata laksana selanjutnya.

HIV adalah infeksi retrovirus yang ditularkan melalui darah yang ditularkan

terutama melalui kontak melintasi permukaan mukosa genital, yang difasilitasi oleh

pecahnya penghalang mukosa atau peradangan lokal, seperti ulkus genital atau vaginitis,

inokulasi selama suntikan obat atau selama transfusi, dan, jarang melalui infeksi pada

mukosa mulut. Penularan juga dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi ke bayinya di dalam

rahim, saat melahirkan (peripartum), atau melalui menyusui. Retrovirus menghasilkan

reverse transkriptase, yaitu enzim virus yang memungkinkan virus mengintegrasikan

DNA-nya sendiri ke dalam genom sel yang terinfeksi dan mereplikasi dirinya

menggunakan ribosom sel yang terinfeksi dan sintesis protein. Resiko penularan terkait

erat dengan viral load plasma dari orang HIV-positif yang menularkan. Tes reaksi berantai

polimerase (PCR) dapat mendeteksi gen virus HIV dan digunakan untuk menentukan viral

21
load plasma. Jumlah replikasi virus diukur sebagai salinan virus per mililiter darah, dan

dinyatakan sebagai log jumlah sel T CD4+ yang terinfeksi.7 Pada kasus, setelah dilakukan

anamnesa ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat infeksi pada kemaluannya yaitu

terdapat nanah namun sudah dilakukan pengobatan dan telah sembuh sekitar ± 2 bulan

lalu. Pasien menyatakan keluhan sariawan pada rongga mulutnya selalu kambuh hampir

tiap 1 bulan sekali dan lapisan putih di lidahnya yang tidak pernah hilang. Keluhan

tersebut sudah berlangsung selama ± 10 tahun lalu.

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah jenis ulser yang paling sering dilaporkan

pada pasien HIV-positif dan etiologinya masih belum diketahui. Ulser secara klinis

tampak nyeri, bulat hingga lonjong, kuning atau putih, dan dikelilingi lingkaran eritema.

Pasien HIV-positif biasanya mengalami peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan

ulser yang khas.7 Hubungan antara Stomatitis aftosa rekuren (SAR) dengan derajat

imunosupresi menjadi lebih jelas ketika pasien memiliki jumlah sel CD4+ dan CD8+ yang

lebih rendah. SAR mewakili defek lokal pada imunomodulasi dengan kelainan pada

populasi limfosit (aliran darah dan limfosit ulkus aphtous) yang mengakibatkan

“serangan” sel T CD8+ dan selanjutnya kerusakan epitel. 8

Stomatitis aphthous cenderung lebih parah pada pasien terinfeksi HIV dibandingkan

pada orang sehat. Dalam konteks infeksi HIV, ulser dapat kambuh dengan frekuensi yang

semakin meningkat, mencapai ukuran yang relatif besar, dan menunjukkan perjalanan

penyakit yang kronis. Selain itu, lesinya bisa sangat nyeri sehingga menyulitkan pasien

untuk makan dan minum. Meskipun ketiga subtipe klinis utama (minor, mayor,

herpetiform) dari ulser dapat dilihat, hingga dua pertiga pasien yang terkena dampak

menunjukkan varian herpetiform dan mayor. Penatalaksanaan klinis mencakup inisiasi

22
atau optimalisasi terapi antiretroviral gabungan. Nyeri dapat diatasi dengan anestesi

topikal, bahan pelapis, dan analgesik sistemik. Selain itu, tergantung pada tingkat

keparahan ulser, kortikosteroid topikal (misalnya larutan deksametason, gel fluocinonide,

gel clobetasol, gel betametason augmented), suntikan kortikosteroid intralesi, dan/atau

obat-obatan sistemik (misalnya kortikosteroid, dapson, thalidomide (tidak dianjurkan

digunakan pada ibu hamil)) dapat diberikan. Namun, agen imunosupresif dan

imunomodulator harus digunakan dengan hati-hati karena resiko memperburuk status

kekebalan, peningkatan viral load, dan efek samping yang merugikan. 1 Pada kasus, untuk

tata laksana SAR pada pasien diresepkan obat triamcinolone acetonide 0,1% dalam

sediaan krim tube 5 gram yang dioleskan pada bagian yang sakit sebanyak 3 kali sehari.

Candidiasis adalah manifestasi oral yang paling umum dari infeksi HIV. Dalam

beberapa kasus, oral candidiasis merupakan tanda yang mengarah pada diagnosis awal

infeksi HIV. Selain itu, perkembangan oral candidiasis dapat menjadi pertanda

perkembangan AIDS. Dengan munculnya kombinasi terapi antiretroviral, sebagian besar

penelitian mencatat penurunan prevalensi oral candidiasis secara keseluruhan di antara

pasien yang terinfeksi HIV. Namun demikian, oral candidiasis terkait HIV masih terjadi

dengan frekuensi tertentu, dan ini dapat menjadi tanda klinis kegagalan pengobatan

antiretroviral.1

Berbagai pola klinis oral candidiasis (misalnya pseudomembran, eritematosa,

hiperplastik, angular cheilitis) dapat terlihat pada infeksi HIV.1 Varian pseudomembran,

juga dikenal sebagai candidiasis, adalah gejala yang paling umum, terutama pada anak

dengan HIV positif.7 Pasien dapat mengalami nyeri, rasa terbakar, dan dysgeusia, yang

dapat menyebabkan berkurangnya asupan makanan dan malnutrisi.1 Varian

23
pseudomembran muncul sebagai bahan eksofitik seperti keju atau dadih pada jaringan

epitel di seluruh lokasi rongga mulut, dan dapat dengan mudah dibersihkan. Pemeriksaan

histologis umumnya tidak diperlukan, namun sampel spesimen dapat digunakan untuk

memastikan diagnosis. Biasanya, scrapping dengan blade atau cytology brush digunakan

untuk mengambil sampel, yang dapat dioleskan dengan lembut pada kaca objek dan

dilihat secara mikroskopis setelah menempatkan satu atau dua tetes larutan kalium

hidroksida 10%. Organisme jamur mempunyai ciri pseudohifa dan ciri reproduksi tunas. 7

Oral candidiasis terkait HIV diobati dengan obat antijamur (misalnya, untuk penyakit

ringan: klotrimazol, tablet mikonazol; untuk penyakit sedang hingga berat:flukonazol,

larutan itraconazole, suspensi posoconazole, vorikonazol). Selain itu, inisiasi atau

optimalisasi kombinasi terapi antiretroviral penting untuk mengatasi infeksi HIV yang

mendasarinya dan untuk mengurangi risiko kekambuhan candidiasis.7 Pada kasus, tidak

dilakukan scrapping pada lesi yang dicurigai candidiasis. Tata laksana untuk lesi ini

selanjutnya diserahkan pada poli bagian penyakit dalam.

Pada kasus pasien, manifetasi oral mengarah pada suspect HIV sehingga setelah

dilakukan tata laksana pada manifestasi oral, pasien selanjutnya dirujuk ke bagian poli

penyakit dalam untuk dilakukan tata laksana lebih lanjut dan tes HIV. Setelah dilakukan

tes HIV, hasil yang didapat yaitu antibodi pasien terhadap HIV negatif. Berdasarkan

anamnesis, pasien pernah mengalami infeksi pada kemaluannya, berupa nanah pada

kemaluan namun sudah sembuh ± 2 bulan lalu. Sayangnya, tidak ada keterangan khusus

mengenai riwayat kesehatan pasien yang disertakan pada saat pasien dirujuk dari

Puskesmas Simpang Periuk ke RSUD Siti Aisyah sehingga tidak dapat dipastikan

diagnosis pasti dari kondisi tersebut. Infeksi berupa nanah pada kemaluan dapat didagnosa

24
suspect sifilis. Berdasarkan literatur, oral ulser mewakili beragam etiologi. Untuk oral

ulser yang tidak dapat disembuhkan, diagnosis banding yang luas harus mencakup etiologi

infeksi, termasuk infeksi jamur, mikobakteri, virus, dan spriochetal. Ada kekhawatiran

penting terkait kesehatan masyarakat ketika menangani infeksi menular seksual, sehingga

kesadaran yang lebih luas mengenai sifilis yang muncul di rongga mulut dapat membantu

deteksi dan penatalaksanaan penyakit ini dengan lebih baik. 9 Mengenai oral candidiasis,

belum ditemukan literatur yang menyatakan keterkaitan antara sifilis dengan oral

candidiasis.

Pertimbangan rencana perawatan dental

Dokter gigi harus memperoleh riwayat kesehatan menyeluruh dan melakukan

pemeriksaan kepala dan leher untuk memeriksa pembesaran kelenjar getah bening, dan

pemeriksaan jaringan lunak intraoral, periodontal, dan jaringan keras yang komprehensif

pada penilaian awal. Penilaian laboratorium dasar terhadap pasien HIV-positif yang

dilakukan oleh dokter biasanya mencakup hitung darah lengkap dan pemeriksaan kimia

rutin untuk menilai fungsi hati dan ginjal. Selama pasien menjalani perawatan medis,

pemeriksaan gigi tidak boleh diganggu atau dihentikan. Candidiasis pseudomembran dan

oral hairy leukoplakia merupakan penanda klinis yang sensitif terhadap imunosupresi.

Penyedia layanan kesehatan gigi harus waspada untuk memantau penanda ini pada setiap

kunjungan penilaian. Dengan munculnya HAART, prevalensi oral candidiasis, oral hairy

leukoplakia, dan penyakit periodontal terkait HIV telah menurun pada orang dewasa.

Namun, terdapat bukti peningkatan lesi mulut jinak yang disebabkan oleh human

papilloma virus yang berhubungan dengan lesi oral, termasuk papilloma, condylomas, dan

25
focal epithelial hyperplasia, sejak penggunaan HAART. Prevalensi Kaposi’s sarcoma

tidak berubah.7

Pasien harus menerima konseling tentang faktor risiko yang dapat diubah, seperti

merokok, yang menimbulkan resiko tambahan. Perokok dengan jumlah limfosit T CD4+

yang rendah memiliki resiko lebih besar terkena candidiasis dan oral hairy leukoplakia

dibandingkan bukan perokok. Penggunaan alkohol dan obat-obatan lain sebelumnya atau

saat ini dapat meningkatkan komplikasi, terutama jika hepatomegali terjadi akibat

koinfeksi virus atau terapi obat. Pasien juga harus menerima konseling seks yang aman

mengenai perilaku oral seksual. Misalnya, pasien harus diberitahu bahwa virus Epstein-

Barr dapat ditularkan melalui oral seks.7

Rangkaian urutan perawatan gigi sebagai komponen perawatan medis. Pasien

dengan jumlah limfosit T CD4+ yang rendah (yaitu <200 sel/mL) mempunyai

kecenderungan terhadap infeksi mulut terkait HIV yang memerlukan pengobatan khusus.

Prioritas pertama dokter gigi adalah menghilangkan rasa sakit dan mengobati infeksi.

Selanjutnya, dokter gigi harus menerapkan aturan pencegahan untuk mencegah penyakit

penyerta. Tugas ketiga adalah mengembalikan fungsi agar pasien dapat makan dan

menjaga gizinya. Peningkatan perawatan pencegahan yang mencakup profilaksis dan obat

kumur klorheksidin untuk mencegah radang gusi dapat meningkatkan kesehatan

psikologis pasien, namun tidak ada bukti bahwa hal ini akan mengurangi terjadinya infeksi

oportunistik terkait AIDS.7

Perawatan gigi dapat diberikan secara rawat jalan tanpa rawat inap. Tidak ada

modifikasi prosedur ireversibel atau perawatan bedah yang direkomendasikan kecuali

pasien telah menurunkan jumlah trombosit hingga <60.000 sel/mL, yang dapat

26
mempengaruhi waktu pembekuan, atau jumlah neutrofil sel darah putih <500 sel/mL,

yang dapat memerlukan profilaksis antibiotik. Anamnesis yang cermat akan mendeteksi

perdarahan abnormal atau tanda-tanda kelainan perdarahan parah yang dikenal sebagai

pupura trombositopenia idiopatik, yang ditandai dengan petechiae dan ekimosis mukosa

intraoral yang khas. Penggunaan antibiotik secara rutin merupakan kontraindikasi dan

dapat menyebabkan pasien mengalami superinfeksi dan resistensi obat mikroorganisme.

Konsultasikan dengan dokter pasien mengenai penggunaan antibiotik profilaksis untuk

sendi prostetik atau kondisi katup jantung. Terapi antiretroviral telah dikaitkan dengan

timbulnya intoleransi glukosa dan hiperlipidemia. Pasien mungkin menjalani pemeriksaan

berkala dengan pemeriksaan glukosa darah puasa dan penentuan lipid. 7

27
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dokter gigi harus berkolaborasi dalam perawatan pasien dengan penyakit HIV.

Defisit imunologi pada imunitas seluler menyebabkan kondisi mulut yang memberikan

“jendela” bagi timbulnya infeksi HIV akut. Dengan memeriksa kondisi mulut, penyedia

layanan dapat mengukur kepatuhan dan efektivitas rejimen pengobatan antiretroviral, dan

mendeteksi perubahan kualitas hidup. Riwayat kesehatan yang terperinci harus diambil

dengan menggunakan pendekatan yang tidak menghakimi. Hal ini harus mencakup

pertanyaan spesifik yang tidak menghakimi tentang aktivitas seksual dan penggunaan

obat-obatan terlarang.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Neville BW, Damm DD, Allen CM, Color Atlas of Oral and Maxillofacial Diseases.
Elsevier, Philadelphia, 2019.
2. Umarji HR, Concise Oral Medicine. CBS Publisher, New Delhi, 2018.
3. Wood NK, Goaz PW, Differential Diagnosis of Oral and Maxillofacial Lesions 5th
ed. Mosby, Canada, 1997.
4. Punitha S, Kiruthiga N, Kavitha M. Clinical stage of HIV. HIV Nursing, 21(2), 103-
106 (2021).
5. Farah CS, Balasubramaniam R, Mccullough MJ, Contemporary Oral Medicine.
Springer, Switzerland, 2019.
6. Kahn MA, Hall JM, The ADA Practical Guide to Soft Tissue Oral Disease 2nd ed.
Wiley Blackwell, USA, 2014.
7. Mosca NG, Hathorn AR. HIV-Positive patients: dental management Considerations.
Dent Clin N Am 50, 635-657 (2006).
8. Miziara ID, Filbo BCA, Weber R. AIDS and recurrent aphtous stomatitis. Braz. J of
otorhinolaryngology 71, 517 (2005).
9. Deng F, Thompson LD, Lai J. Unexpected reason for non-healing oral ulcers:
syphilis. J of Head and Neck Pathology 16, 544-549 (2022).

29

Anda mungkin juga menyukai